06 March 2007

UMR : HAK ATAU ANUGERAH ? (Pdt. Sutjipto Subeno)

UMR : HAK atau Anugerah ?

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.


UMR (Upah Minimum Regional) seringkali menjadi anjang keributan antara pengusaha dan pekerja. Hal ini terjadi karena masalah UMR hanya dilihat dari satu sisi yang, - saya pikir - , menjadi pola pikir dasar dari penetapan UMR itu, yaitu bagaimana seseorang bisa hidup dengan gaji yang diperoleh. Pemikiran ini tidak salah, tetapi pemikiran ini belum selesai. Mengapa? Karena isu masalah UMR hanya menyentuh sebagian dari seluruh pekerja atau dunia kerja.
Mengapa orang-orang yang duduk menjadi staf atau bahkan manager tidak pernah ribut dengan UMR atau bertanya berapa UMR tahun ini dikotanya? Karena gajinya sudah jauh di atas UMR. Mengapa orang-orang ini bisa mendapatkan penghasilan di atas UMR, bahkan berpuluh kali lipat dari nilai UMR? Jika hari ini UMR ditetapkan 700 ribu rupiah, maka ada manager yang bergaji 7 juta rupiah, bahkan 70 juga rupiah. Disini kita perlu mengerti hakekat UMR, sehingga para pengambil kebijakan dan juga para orang-orang yang terkait dengan masalah UMR meletakkan problematika UMR di posisi yang tepat. Jika hakekat UMR bisa dikembalikan ke posisinya yang tepat, maka setiap pengambilan keputusan dan landasan pijak yang dipakai akan menjadi kokoh dan tidak memberikan kesempatan untuk terjadinya keributan atau polemik masalah UMR. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
1. UMR terjadi karena kualitas kerja yang tak memadai dengan kualitas hidup
Seorang yang bekerja akan mendapat upahnya. Yang tidak bekerja tidak usah makan. Demikian kebenaran dasar hidup. Orang yang tidak bekerja tetapi mau menikmati hidup, ia akan menjadi parasit bagi sesamanya. Jika negara dipenuhi orang seperti ini, maka negara itu akan celaka, bangsa itu akan menjadi bangsa yang tidak adil dan miskin, karena orang yang bekerja dengan susah payah, hasilnya disedot oleh mereka yang tidak bekerja tetapi mau hidup nikmat. Orang yang bekerja baik, dia mendapat upah yang baik pula. Jika satu perusahaan tidak mau memberikan upah yang baik kepadanya, maka orang itu akan "dibajak" dan ditarik ke perusahaan lain yang bisa menghargai dia lebih. Maka semakin orang itu berkualitas, semakin tinggi penghasilan yang didapat, dan tentu semakin baik juga kualitas hidupnya. Seseorang yang mempunyai penghasilan di atas 50 juta rupiah, tentulah secara standard ia akan berkendaraan mobil pribadi ke tempat kerja, berbeda dengan dia yang bergaji 1 juta rupiah. Yang berpenghasilan 1 juta rupiah sulit untuk berkendaraan mobil pribadi, karena penghasilannya tidak mampu menutup biaya operasi dan perawatan mobilnya. Demikian juga dengan pola makan, fasilitas studi, kemampuan menikmati berbagai kemudahan dan kemewahan hidup tertentu. Orang yang berpenghasilan 50 juta rupiah, pasti memberikan kualitas kerja yang memadai dengan penghasilannya tersebut (kecuali ia melakukan kejahatan.)
UMR terjadi karena kualitas kerja yang dilakukan ternyata tidak memadai jika diberlakukan hukum umum di atas. Artinya, kualitas kerja itu hanya menghasilkan nilai kerja mungkin separuh UMR atau sepertiga UMR. Maka kalau dia dibayar sesuai kapasitasnya, ia tidak bisa hidup yang paling sederhana. Jadi dengan kata lain, orang-orang yang masih memerlukan UMR adalah orang-orang yang secara mendasar kualitas kerjanya tidak mencapai kualitas yang dituntut oleh pemberi kerja untuk mendapatkan penghasilan seperti yang diinginkan. Boleh saja seorang buruh meminta gaji 2 juta rupiah, asal saja ia mempunyai kualitas kerja di atas atau memadai dengan itu. Dan mereka yang memang sudah memadai dengan itu, perusahaan memang membayarnya dengan nilai tersebut, dan kalau tidak diperlakukan demikian, orang ini akan ditarik oleh perusahaan lain yang lebih menghargai hasil kerjanya. Maka, untuk buruh mau meningkatkan penghasilannya, yang harus diupayakan adalah peningkatan kualitas kerjanya. Ini yang seringkali tidak dikerjakan dan diperjuangkan sekeras perjuangan UMR. Banyak buruh mau UMR tinggi, tetapi mereka tidak berjuang bagaimana kualitas kerja mereka melampaui UMR sehingga ia menjadi "rebutan" perusahaan yang mau membayar dia di atas UMR. Ini yang harus diperjuangkan oleh serikat buruh dan semua instansi terkait, khususnya Departemen Tenaga Kerja. Mentalitas kerja perlu diubah, bukan mau mempunyai kualitas hidup di atas kualitas kerja, tetapi mempunyai kualitas kerja di atas kualitas hidup. Jika rakyat mempunyai kualitas kerja di atas kualitas hidup, maka rakyat itu akan makmur dan maju. Maka negara akan berubah dan menjadi negara yang maju.
2. UMR terjadi karena hak lebih dibicarakan ketimbang kewajiban
Perdebatan dan pergunjingan UMR seringkali lebih kepada seberapa saya berhak hidup layak. Lalu mereka menghitung berapa biaya transport, berapa uang makan, pakaian, sekolah dll. Seluruh tindakan ini tidak sepenuhnya salah, tetapi ini seharusnya bukan isu utama. Isu utama adalah bagaimana menciptakan keseimbangan di dalam dunia kerja. Ketika buruh memperjuangkan UMR, ia tidak bertanya bagaimana kewajiban kerjanya? Kalau memang ia dibutuhkan sedemikian hebat oleh perusahaan, maka seharusnya ia bisa keluar dari perusahaan itu jika tidak dibayar sesuai yang dia harapkan. Tetapi ketika ia keluar, apakah ada perusahaan lain yang mau membayar dia lebih tinggi? Kalau tidak ada perusahaan lain mau membayar dia lebih tinggi, berarti kewajiban kerjanya belum memadai, dan itu berarti ia harus memenuhi kewajiban kerja yang memadai untuk honor atau penghasilan yang dia inginkan.
Penetapan UMR belum pernah disertai dengan sangsi kewajiban kerja dari pihak buruh. Berapa kualitas yang diharapkan oleh perusahaan sehingga ia dibayar dengan nilai UMR tersebut. Dan ketika UMR tidak dibayarkan sesuai dengan nilainya, buruh marah, tetapi ketika kualitas kerja begitu rendah dan tidak memadai, perusahaan tidak bisa marah atau menurunkan gaji mereka sesuai dengan nilai kerja. Disini semangat UMR menjadi semangat yang menuntut hak dan merugikan perusahaan. Hal seperti ini tidak terjadi di kalangan pekerja yang lebih tinggi kualitas kerjanya. Seluruh pekerja yang berkualitas baik, dengan sendirinya mereka dibayar secara wajar, melalui pertanggung-jawaban kerja. Seorang pekerja yang bekerja bertanggung jawab, ia akan mendapatkan penghasilan yang semakin baik, bahkan menjadi rebutan dari banyak perusahaan yang menginginkan keberadaan pegawai tersebut di perusahaan mereka. Sebaliknya, yang tidak bertanggung jawab , disisihkan dari dunia kerja. Pergumulan menuntut hak akan selalu merugikan hak orang lain, ini kesadaran yang harus dimiliki oleh pemerintah dan semua instansi yang membicarkaan masalah UMR. Sebaliknya, yang harus ditekankan adalah tuntutan tanggung jawab. Tuntut perusahaan bertanggung jawab sebagai perusahaan, dan tuntut pekerja bertanggung jawab sebagai pekerja. Tuntut pimpinan bertanggung jawab sebagai pimpinan dan tuntut buruh bertanggung jawab sebagai buruh. Dengan semua menjalankan kewajiban, maka semua hak akan lebih dipenuhi.
3. UMR adalah Anugerah
Jika kita mengkaji lebih dalam, maka UMR adalah anugerah dari perusahaan terhadap para pekerja yang belum mencapai kualitas kerja. Jika UMR adalah anugerah, maka hal ini seharusnya diletakkan secara proporsional dalam rangka kesehatan perusahaan. Itu berarti ada orang-orang di atas (para pegawai yang lebih tinggi) yang dikorbankan penghasilannya untuk menunjang mereka yang disubsidi dengan UMR. Mengapa muncul pengertian ini? Karena perusahaan akan terus menjalankan keseimbangan secara natural. Kalau perusahaan memiliki pengeluaran yang lebih besar dari efisiensi perusahaan, maka perusahaan itu cepat atau lambat akan bangkrut. Ini yang menyebabkan banyak perusahaan hengkang dari Indonesia, karena merasa kesulitan untuk memelihara keseimbangan perusahaan. Jika mau tetap seimbang, perusahaan bisa mencapai keuntungan yang memadai, maka ia harus menjaga agar produksi bisa dipelihara seimbang. Itu berarti, seluruh total penghasilan harus dijaga tidak melampaui nilai tertentu. Semakin besar subsidi UMR, maka uang subsidi terhadap efisiensi kerja, harus diambil dari gaji orang-orang yang lain, yang seharusnya bisa dibayar lebih tinggi. Sampai batas tertentu mungkin para atasan masih rela sebagian honornya (meskipun tidak kentara) diambil untuk mendukung UMR. Tetapi kalau terlalu besar, maka gaji bagi para staf dan manager menjadi kecil, maka mereka-mereka akan ditarik oleh perusahaan-perusahaan lain yang lebih mampu membayar mereka. Ketika perusahaan kehilangan top manager dan orang-orang yang baik dalam perusahaan, maka perusahaan itu akhirnya goncang dan ambruk. Maka semua akhirnya rugi, dan terjadilah PHK besar-besaran seperti belakangan ini. Sebaliknya, perusahaan yang bisa menjaga keseimbangan dan membayar tenaga menengah ke atas dengan baik, maka kinerja perusahaan akan terjaga baik, dan itu membuat perusahaan mampu bertahan dalam persaingan yang semakin sulit belakangan ini. Disini para buruh harus menyadari bahwa dengan mereka mendapat UMR, mereka telah merugikan orang lain, dan mereka mendapat anugerah dari orang-orang yang dirugikan ini. Dengan demikian, maka semua instansi terkait perlu memikirkan secara total, bukan sekedar menyatakan bahwa untuk bisa hidup layak seseorang membutuhkan sekian rupiah. Memang untuk hidup layak seseorang membutuhkan sekian rupiah, dan seharusnya Departemen Sosial yang menunjang gap (kekurangan) antara kualitas kerja dan kualitas hidup yang diharap. Tetapi ternyata ini tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi dialihkan menjadi subsidi dari semua pegawai atasan lainnya.
Penutup
Maka dalam kaitan masalah UMR, ada baiknya seluruh bangsa ini merubah seluruh mentalitas dengan tidak menciptakan bangsa pengemis, tidak mentolerir semua bentuk pengemis, baik yang kelihatan nyata di pinggir jalan, maupun yang tak kentara seperti di dalam berbagai format UMR atau berbagai cara dunia kerja lainnya. Kita harus memacu diri, sehingga tidak perlu lagi ada UMR, karena setiap orang memang layak dibayar dan berpenghasilan di atas UMR, setara dengan kualitas kerjanya yang memang cukup baik. Dari mana dimulai? Pertama, dari para pemimpin negara, yang tidak mencari fasilitas, tetapi menyatakan kualitas kerjanya, sampai orang merasa senang memberikan penghasilan yang memadai, dan tidak marah-marah ketika gaji para pejabat mau dinaikkan; dan kedua, dari sekolah, dari anak-anak, yang dibangun mentalitas kerjanya, tidak biasa meminta-minta anugerah, mendapatkan dispensasi dan berbagai kemudahan, tetapi dilatih belajar keras dan bekerja keras, dengan para pimpinan menjadi teladan. Mungkinkah usulan ini suatu saat bisa dipertimbangkan?

Oleh: Sutjipto Subeno, wong cilik yang mau melihat bangsa tercinta ini maju, berubah, berkembang menjadi bangsa yang kuat, yang punya harga diri dan berkualitas kerja yang mampu bersaing di dunia kini dan yang akan datang.

No comments: