09 September 2008

SEBERAPA DALAM KITA MENGASIHI-NYA? (Denny Teguh Sutandio)

SEBERAPA DALAM KITA MENGASIHI-NYA?

oleh: Denny Teguh Sutandio



Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.
(Matius 22:37)

Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anak-anak Allah, yaitu apabila kita mengasihi Allah serta melakukan perintah-perintah-Nya.
Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat,
sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita.

(1Yoh. 5:2-4)



I. PENDAHULUAN DAN LATAR BELAKANG
Apakah kasih itu? Dunia kita banyak memiliki definisi kasih. Mereka mengajarkan dan menilai kasih/cinta itu hanya sebatas hal-hal fenomenal. Misalnya, jika seseorang memberikan sesuatu kepada pasangan atau teman/rekannya, itulah cinta/kasih. Bahkan tidak sedikit orang Kristen masih memiliki pandangan serupa bahwa kasih/cinta itu adalah sesuatu yang fenomenal sifatnya. Bagaimana pandangan Alkitab sendiri mengenai kasih khususnya berkenaan dengan Allah adalah Kasih?






II. KONSEP ALKITAB MENGENAI KASIH: ALLAH ADALAH KASIH
Kasih pertama kali ditunjukkan oleh Allah yang adalah Kasih (1Yoh. 4:16). Kasih Allah ditunjukkan dengan menciptakan dunia dan manusia ini. Kasih-Nya juga ditunjukkan dengan memelihara ciptaan-Nya. Tetapi dosa mengakibatkan manusia tidak lagi melihat dan merasakan cinta kasih Allah. Dosa mengakibatkan manusia curiga kepada Allah, seolah-olah Allah itu tidak lagi mengasihi mereka dengan memberikan pengecualian untuk tidak makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Kecurigaan itu akhirnya berakhir dengan dikeluarkannya Adam dan Hawa dari Taman Eden. Dari Taman Eden, manusia terus berdosa dan makin tidak menghormati dan mengasihi-Nya. Mengapa? Karena di titik pertama, mereka sudah terlepas dari kasih-Nya. Semakin seseorang terlepas dari kasih Allah, maka orang tersebut tentu tidak mampu mengasihi Allah. Orang yang tidak mengasihi Allah tentu akan mengasihi diri dan hal-hal lain di luar Allah yang mengenakkan. Bagi orang ini, Allah hanyalah pengganggu bagi kebebasannya. Tidak heran juga, peristiwa Menara Babel adalah peristiwa di mana manusia mulai menyingkirkan Allah dengan mendirikan menara yang tingginya sampai ke langit (Kej. 11). Untuk menyadarkan manusia ini, Allah mengacaukan bahasa mereka, sehingga akhirnya mereka terserak. Karena manusia sudah tidak lagi mampu mengasihi Allah akibat dosa, maka tidak ada jalan lain bagi keselamatan manusia, kecuali satu-satunya jalan yang Allah sendiri sediakan, yaitu Allah mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa umat-Nya, sehingga mereka dapat mengasihi Allah kembali. Penebusan Kristus menjadi satu-satunya teladan penting bagi umat-Nya untuk memiliki Kasih sejati dan mengasihi Allah. Penebusan Kristus mengajarkan adanya kasih yang rela berkorban. Kristus yang adalah Putra Tunggal Allah (Pribadi kedua Allah Trinitas) rela merendahkan diri-Nya menjadi manusia (tanpa meninggalkan atribut Ilahi-Nya) untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa dan membawanya kepada kehidupan kekal (Yoh. 3:16). Kristus yang tidak berdosa rela membuat diri-Nya “berdosa” untuk menyelamatkan manusia berdosa. Kristus yang tidak seharusnya menanggung murka Allah rela menanggung murka Allah demi menyelamatkan manusia berdosa dari murka Allah. Kristus rela mendamaikan Allah yang Mahakudus dengan manusia yang berdosa. Semua itu dilakukan-Nya karena kasih-Nya kepada umat-Nya. Manusia yang sudah diselamatkan oleh penebusan Kristus dan mengalami penebusan itu pasti memiliki suatu kerinduan untuk mengasihi Allah lebih dalam lagi atas dorongan Roh Kudus di dalam hati umat-Nya.






III. SEBERAPA DALAM KITA MENGASIHI-NYA
A. Mengasihi Allah
Setelah kita mengetahui konsep Alkitab tentang kasih di mana Allah adalah Kasih, lalu, pertanyaan selanjutnya, bagaimana kita mengasihi Allah?
1. Kita mengasihi Allah dengan totalitas hidup kita
Di dalam Matius 22:37, Tuhan Yesus mengajar bahwa kita harus mengasihi Allah dengan hati, jiwa, dan akal budi kita. Di sini, Ia menyebut: hati, jiwa, dan akal budi. Mengasihi Allah dimulai dari hati kita. Hati berbicara mengenai inti hidup kita. Tuhan Yesus mengajar bahwa segala sesuatu keluar dari hati (Mat. 15:18-19). Ketika hati kita busuk, maka kita berkata hal-hal yang busuk. Oleh karena itulah, di titik pertama, Ia mengajar kita bagaimana hati kita terlebih dahulu harus mengasihi-Nya. Percuma saja, seorang Kristen aktif pergi ke gereja, membaca Alkitab dan buku-buku theologi, berdoa, melayani Tuhan, dll, tetapi hatinya tidak lagi mengasihi Allah. Mereka melakukan syariat-syariat agama, tetapi hatinya menjauh dari Allah, persis seperti yang dilakukan oleh orang Israel. Bacalah peringatan Allah kepada umat-Nya di dalam Yesaya 29:13, “Dan Tuhan telah berfirman: "Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,” Bagaimana kita bisa memiliki hati yang mengasihi Allah? Kita bisa memiliki hati yang mengasihi Allah ketika hati kita benar-benar diserahkan kepada Allah, sehingga hati kita sinkron dengan hati Allah. Ketika Allah sedih, kita ikut sedih. Ketika Allah bersukacita, kita pun ikut bersukacita. Konsep ini mirip seperti sebuah judul/kalimat lagu rohani kontemporer, “Brikanku hati seperti hati-Mu.” Bagaimana dengan kita? Apakah kita memiliki hati seperti hati Allah yang mencintai: kebenaran, keadilan, kejujuran, kesucian, dan kemuliaan (dignitas)? Ataukah hati kita lebih condong kepada setan yang lebih mencintai diri, kejahatan, dusta, kenajisan, dll? Biarlah kita mengintrospeksi diri kita masing-masing.

Kemudian, setelah hati kita mengasihi Allah, pikiran kita pun perlu mengasihi Allah. Caranya adalah mensinkronkan pikiran kita dengan pikiran Allah, sehingga kita memikirkan apa yang dipikirkan Allah, yaitu: yang baik, menyenangkan Allah (berkenan kepada Allah), dan sempurna (bdk. Rm. 12:1-2; Flp. 4:8).


2. Kita mengasihi Allah dengan mengasihi firman-Nya
Lalu, bagaimana kita mensinkronkan hati dan pikiran kita dengan hati dan pikiran Allah? Cara kedua kita mengasihi Allah adalah kita mengasihi firman-Nya. Firman-Nya menundukkan dan membawa hati dan pikiran kita kepada hati dan pikiran Allah. Dengan mengasihi firman-Nya dengan membacanya, kita beroleh hati dan pikiran yang bijaksana sesuai dengan hati dan pikiran Allah (meskipun tidak 100% sempurna). Pemazmur menyingkapkan bagi kita betapa agung firman-Nya di dalam Mazmur 119. Mari kita menyelidikinya.

Mazmur 119:16, “Aku akan bergemar dalam ketetapan-ketetapan-Mu; firman-Mu tidak akan kulupakan.” Di ayat 24, pemazmur mengatakan, “Ya, peringatan-peringatan-Mu menjadi kegemaranku, menjadi penasihat-penasihatku.” Pemazmur bersukacita akan ketetapan-ketetapan-Nya dan bahkan ia tidak akan melupakan firman-Nya. Luapan sukacita ini bisa timbul karena ia mengasihi firman-Nya. Orang yang mengasihi firman-Nya tidak akan pernah melupakan firman-Nya. Ia bahkan menyimpan terus firman-Nya dan menggunakan firman-Nya untuk diaplikasikan di dalam kehidupannya sehari-hari. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengasihi firman-Nya seperti yang pemazmur inginkan dan lakukan ini?

Di ayat 36, pemazmur berucap, “Condongkanlah hatiku kepada peringatan-peringatan-Mu, dan jangan kepada laba.” Bukan hanya menjadi kegemaran pemazmur saja, firman-Nya juga menjadi tambatan hati pemazmur. Ia tidak mau dicondongkan hatinya kepada apa pun termasuk laba, sebaliknya ia hanya mau dicondongkan hatinya hanya kepada peringatan-peringatan-Nya. Firman-Nya menjadi satu-satunya pembimbing jalan hidup pemazmur. Bagaimana dengan kita? Benarkah firman Tuhan (Alkitab) menjadi satu-satunya sumber penuntun hidup kita (dan bukan uang, diri, dll)?

Di ayat 66, pemazmur mengajarkan kepada kita, “Ajarkanlah kepadaku kebijaksanaan dan pengetahuan yang baik, sebab aku percaya kepada perintah-perintah-Mu.” Bagi pemazmur, firman Allah juga sebagai jalan untuk mendapatkan kebijaksanaan dan pengetahuan yang baik (bdk. ay. 104). Pemazmur mengajarkan kepada kita bahwa kita percaya kepada firman-Nya baru setelah itu kita beroleh kebijaksanaan dan pengetahuan yang baik (bdk. Ams. 1:7a). Mengapa ia bisa menyimpulkan bahwa firman-Nya adalah sumber bijaksana dan hikmat sejati? Karena ia tahu bahwa firman-Nya adalah firman Allah yang tidak bersalah (bdk. ay. 89).

Sebagai kesimpulan, saya akan mengambil ayat 105 sebagai penutup kesimpulan pemazmur tentang betapa agung firman-Nya, yaitu, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Firman-Nya adalah pelita bagi kita kita dan terang yang menerangi jalan kita, sehingga setiap hidup kita mendapat penerangan dan pencerahan terus-menerus di dalam firman-Nya melalui Roh Kudus.

Setelah kita menelusuri sekilas tentang ungkapan sukacita pemazmur akan agungnya firman-Nya, sekarang saya akan membahas tentang bagaimana kita mengasihi firman-Nya. Jangan pernah percaya kepada orang Kristen yang katanya dia mengasihi firman-Nya, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, baik hati, pikiran, perkataan, tingkah laku, dan kelakuan mereka tidak sesuai dengan firman-Nya. Lalu, bagaimana kita tahu dan kita mengoreksi diri kita apakah kita benar-benar mengasihi firman-Nya? Ada beberapa prinsip:
a. Mengasihi firman-Nya berarti percaya akan ketidakbersalahan Alkitab dan menjadikan firman-Nya sebagai satu-satunya standar mutlak kebenaran dan kehidupan.
Pertama-tama, seorang yang mengasihi firman-Nya harus mengakui bahwa firman-Nya (Alkitab) itu tidak bersalah. Ini adalah presuposisi iman yang paling penting. Orang yang sudah percaya bahwa firman Tuhan itu tidak bersalah, maka tentu ia akan lebih mengasihi firman-Nya, karena ia percaya bahwa firman-Nya adalah kehendak-Nya baginya. Tidak mungkin ada orang yang berkoar-koar berkata bahwa ia mengasihi firman-Nya, tetapi ia adalah seorang yang curiga akan kebenaran Alkitab. Dengan demikian, jika kita katanya mengasihi firman-Nya, tetapi masih curiga akan kebenaran Alkitab, lebih baik bagi kita untuk membereskan presuposisi iman kita dahulu sebelum terlambat.

Setelah kita percaya akan ketidakbersalahan Alkitab, kita juga perlu menjadikan firman-Nya sebagai satu-satunya standar mutlak kebenaran dan kehidupan. Prinsip Reformasi dari Dr. Martin Luther adalah Sola Scriptura (hanya Alkitab). Berarti, Alkitab adalah satu-satunya standar kebenaran dan kehidupan umat-Nya. Artinya, sebagai standar kebenaran, Alkitab menjadi patokan kita menguji segala doktrin Kristen dan dunia ini. Sebagai standar kehidupan, Alkitab menjadi satu-satunya patokan kita menapaki hidup kita baik dalam pendidikan, pekerjaan, dan pasangan hidup. Tetapi yang sering kali terjadi dengan banyak orang Kristen adalah mereka “sangat memegang teguh” prinsip Sola Scriptura tetapi hanya berlaku untuk masalah doktrin. Ketika sudah menyangkut masalah kehidupan sehari-hari, terutama panggilan Allah di dalam pendidikan, pekerjaan, dan pasangan hidup, mereka tidak lagi memegang Sola Scriptura, tetapi Sola Diri (hanya diri), Sola Orangtua (hanya orangtua), Sola Pacar (hanya pacar), dll. Kehidupan semacam ini adalah kehidupan yang terpecah (fragmented) dan Tuhan tidak suka hidup umat-Nya adalah hidup yang dualisme memisahkan sakral dan sekular. Tuhan menginginkan hidup umat-Nya adalah hidup yang terintegrasi memuliakan-Nya.

b. Mengasihi firman-Nya berarti membaca, mempelajari, dan merenungkan firman-Nya.
Adalah suatu ketidakmasukakalan (absurditas) jika katanya orang Kristen mengasihi firman-Nya, tetapi kita tidak suka menggali kelimpahan firman-Nya itu. Orang yang tidak suka menggali kelimpahan firman-Nya adalah orang yang sebenarnya tidak pernah mengasihi firman-Nya. Mereka hanya mengasihi firman-Nya yang cocok dengan pola pikir mereka yang humanis dan materialis. Sudah saatnya orang Kristen bertobat dan kembali kepada firman-Nya serta mengasihi firman-Nya. Mengasihi firman-Nya tahap kedua adalah dengan menggalinya. Menggali firman-Nya tentu dengan membaca, mempelajari, dan merenungkan firman-Nya.
Tahap pertama menggali firman-Nya dengan membaca firman-Nya. Menggali firman Tuhan tidak mungkin bisa dilakukan jika tidak ada keinginan untuk membaca firman-Nya. Membaca firman-Nya bukan hanya di gereja saja, tetapi di dalam kehidupan kita yang rutin setiap hari. Ini adalah tindakan disiplin rohani kita sebagai umat-Nya. Sungguh suatu keanehan jika kita mengaku diri Kristen, tetapi tidak suka membaca Alkitab, melainkan lebih suka membaca koran, majalah, novel, dll. Sungguh suatu keanehan juga jika kita katanya Kristen, tetapi tidak mau meluang waktu untuk membaca Alkitab, sebaliknya selalu ada waktu untuk membaca koran, majalah, novel, dll. Bagaimana dengan kita? Seberapa rindu kita membaca firman-Nya? Kerinduan kita menandakan tingkat kematangan rohani kita. Semakin matang rohani kita, semakin kita rindu membaca firman-Nya.
Tahap kedua menggali firman-Nya adalah mempelajari firman-Nya. Setelah kita membaca, hendaklah kita juga mempelajari firman-Nya. Mempelajari di sini bukan hanya sekadar membaca sambil lalu, tetapi membaca dengan teliti dengan memerhatikan segala aspek di dalam penafsiran Alkitab, misalnya memerhatikan: konteks, latar belakang, perbandingan terjemahan, dll. Di sini, kita membutuhkan studi intensif yang akurat memerhatikan satu ayat yang kita pelajari. Untuk studi ini, kita memerlukan berbagai peralatan (tools), seperti: Konkordansi Alkitab, variasi terjemahan Alkitab (Inggris, Indonesia, Mandarin, dll), Interlinear (Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani), Tafsiran Alkitab yang bertanggung jawab, dll. Semakin kita menggali kedalaman firman-Nya dengan mempelajari Alkitab, semakin kita menemukan banyak berkat yang terkandung di dalamnya. Ini bukan hanya sekadar teori kosong belaka. Saya sudah membuktikannya ketika saya sekali seminggu menggali kekayaan Surat Roma dan secara pribadi saya menemukan banyak berkat yang indah dari penggalian Surat Roma itu yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Bagaimana dengan kita? Apakah kita cukup hanya membaca Alkitab saja tanpa mau mempelajarinya secara mendalam? Hari ini, biarlah kita bertobat dari penyakit kemalasan kita mempelajari firman-Nya.
Tahap terakhir menggali firman-Nya adalah dengan merenungkan firman-Nya. Mempelajari firman-Nya itu belum cukup, kita dituntut juga untuk merenungkan firman-Nya. Mengapa? Karena jika kita hanya berhenti pada aspek mempelajari firman-Nya, kita menjadikan firman Tuhan hanya sebagai objek penelitian kita, padahal sesungguhnya, firman Tuhan lah yang mengoreksi hidup kita (subjek). Itu sebabnya, mempelajari firman-Nya harus disertai dengan tindakan selanjutnya yaitu merenungkan firman-Nya. Merenungkan adalah tindakan reflektif yang korektif. Setelah kita mempelajari firman-Nya, kita bertanya kepada diri sendiri, apakah kita sudah melakukan apa yang sudah kita pelajari tersebut? Jika kita pikir kita belum melakukannya, maka komitmen apa yang harus kita buat untuk melakukannya? Jika kita sudah melakukannya, biarlah kita pun mengintrospeksi diri kita, dengan motivasi kita melakukannya, apakah sungguh-sungguh memuliakan Tuhan atau hanya ingin menjalankan syariat agama tertentu supaya tidak dihukum? Semua ini kita lakukan sebagai langkah introspeksi reflektif sekaligus korektif yang mempertumbuhkan iman dan kerohanian kita. Spiritualitas yang dipisahkan dari merenungkan firman-Nya adalah spiritualitas yang berbahaya dan tidak ada bedanya dengan spiritisme ala Gerakan Zaman Baru (spiritualitas tanpa ikatan yang benar). Biarlah spiritualitas kita ditumbuhkan dengan mempelajari dan merenungkan firman-Nya, sehingga hidup kita makin memuliakan-Nya.

c. Mengasihi firman-Nya berarti melaksanakan seluruh kebenaran firman.
Bukan hanya membaca, mempelajari, dan merenungkan firman-Nya, sebagai orang Kristen, kita dituntut untuk melaksanakan seluruh kebenaran firman. Ini adalah tindakan dan bukti terakhir kita benar-benar mengasihi firman-Nya. Adalah suatu keanehan jika kita mengaku diri Kristen dan mengasihi firman-Nya, tetapi itu hanya kita imani dan pelajari saja, tanpa kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, wilayah prinsip Sola Scriptura lebih luas lagi. Sola Scriptura bukan hanya berlaku di wilayah doktrinal saja, tetapi di seluruh aspek kehidupan sehari-hari (ada kaitannya dengan poin a). Di poin a tadi kita membahas bahwa mengasihi firman-Nya berarti menjadikan Alkitab sebagai satu-satunya fondasi bagi kehidupan kita sehari-hari. Maka di poin terakhir ini, kita mengimplementasikan konsep di poin a itu dengan segala konsekuensinya. Misalnya, jika firman Tuhan mengajarkan bahwa kita harus taat mutlak kepada pimpinan Allah di dalam segala sesuatu (bahkan di dalam memilih pekerjaan paruh waktu), tetapi orangtua, teman, pacar, saudara, dll menghalangi kita untuk menaati-Nya, maka kita harus berani TIDAK mematuhi halangan mereka dan kembali tetap taat mutlak kepada pimpinan Allah. Ini berarti Sola Scriptura bukan hanya berlaku di dalam kehidupan sehari-hari saja, tetapi kita aplikasikan dengan tegas tanpa kompromi, meskipun harus menerima aniaya dan tekanan dari pihak luar. Ingatlah, kita harus lebih taat kepada Sumber Otoritas, yaitu Allah dan bukan pada otoritas turunan, seperti: orangtua, pemerintah, guru, dll. Jika kita lebih menaati otoritas turunan ketimbang Sumber Otoritas, kita pun berdosa karena telah menggantikan Sumber Otoritas dengan otoritas turunan yang merupakan manusia yang dicipta, terbatas, dan berdosa (Pdt. Dr. Stephen Tong: created, limited, and polluted).




B. Kerinduan Kita Mengasihi Allah Lebih Dalam Lagi
Setelah kita membahas mengenai bagaimana kita mengasihi Allah, kita merenungkan terlebih dahulu seberapa dalam kita mengasihi-Nya. “Seberapa dalam” mengindikasikan adanya ukuran/tingkat kita mengasihi-Nya. Kita tidak mengasihi-Nya dengan sembarangan, tetapi kita mengasihi-Nya lebih dalam lagi. Hal ini ibarat seorang pria mengasihi pasangan (pacar/istri)nya. Pria mengasihi pasangannya tentu bukan sebatas rutinitas, tetapi ada suatu hati yang ingin mengasihi pasangannya lebih dalam lagi. Artinya, si pria ini mau memberikan yang terbaik kepada pasangannya, misalnya, memberikan apa yang pasangannya sukai.
Bagaimana kita bisa memiliki kerinduan untuk mengasihi Allah lebih dalam lagi?
1. Kerinduan untuk mengenal Allah lebih dalam lagi
Kita bisa memiliki kerinduan untuk mengasihi Allah lebih dalam lagi ketika kita memiliki kerinduan untuk mengenal-Nya lebih dalam lagi. Di sini, kasih dikaitkan dengan pengenalan. Di dalam dunia sekuler saja, kita mengetahui bahwa seorang cowok baru bisa mengasihi pasangan (pacar/istri)nya lebih dalam lagi tatkala pria tersebut mengenal pasangannya. Artinya, si cowok ini mengenal pasangannya secara keseluruhan. Misalnya, si cewek suka warna tertentu, maka tentu sebagai pasangannya, si cowok harus mengetahui favorit warna pasangannya. Begitu juga sebaliknya dengan si cewek juga harus mengenal warna favorit apa dari cowoknya. Bukan hanya di dalam hal itu, masing-masing pasangan juga harus mengenal karakter, iman, dll dari pasangannya. Misalnya, cowok pasti mengenal ceweknya yang agak sensitif (mudah marah), begitu juga sebaliknya, cewek pasti mengenal cowoknya yang mungkin penyabar. Itulah yang dinamakan pengenalan. Dunia kita mengenal hal ini dengan baik, tetapi anehnya, justru orang Kristen yang tidak mengenalnya dalam kaitan dengan hal-hal kerohanian. Di dalam hal rohani, kita katanya mengasihi Allah, tetapi ketika kita disuruh mengenal Allah, kita malas. Bagaimana kita mengenal Allah lebih dalam lagi? Ya, jelas, melalui Alkitab, kita mengenal Allah, karena di dalam Alkitab, firman Allah, kita mengenal banyak mengenai Allah yang adalah Mahakudus, Kasih, Mahaadil, Mahabijak, Mahaagung, dll. Nah, masalahnya adalah kita malas membaca Alkitab, sehingga kita tidak mengenal Allah secara penuh, tetapi hanya parsial. Bagaimana kita bisa mengasihi Allah jika kita tidak mengenal-Nya lebih dalam lagi? Kita kalau disuruh melayani Tuhan, kita giat sekali, tetapi kalau kita disuruh belajar firman-Nya, kita malasnya bukan main. Ini tanda kita sebenarnya tidak pernah mengasihi Allah dengan sungguh-sungguh, karena kita maunya melayani-Nya tanpa mau belajar Pribadi yang kita layani. Inilah kegagalan orang Kristen di zaman postmodern, suka menonjolkan diri, tetapi tidak mau belajar/merendah. Bagaimana dengan kita? Apakah kita lebih suka melayani Tuhan saja ataukah kita lebih suka mengenal Pribadi yang kita layani sambil melayani-Nya sebagai wujud kita mengasihi-Nya? Biarlah kita mengintrospeksi diri kita masing-masing.


2. Kerinduan untuk menyenangkan hati Allah
Kedua, setelah kita rindu mengenal Allah, selanjutnya kita dituntut untuk menyenangkan hati Allah. Saya akan memberikan ilustrasi. Setelah kita mengenal pasangan kita, kita tentu memiliki kerinduan untuk menyenangkan hatinya. Misalnya, jika pasangan kita menyukai makanan tertentu, kita berusaha menyenangkan hatinya, minimal ikut makan dengannya. Misalnya, jika iman pasangan kita lemah, kita harus menguatkannya. Bagaimana hubungan kita dengan Allah? Setelah kita mengenal Allah, apa yang kita lakukan kemudian? Pengenalan akan Allah tidak cukup hanya sebatas rasio yang mengerti theologi, tetapi pengenalan akan Allah mencakup tindakan bagaimana menyenangkan hati Allah. Kata “berkenan kepada Allah” dalam Roma 12:2 di dalam bahasa Yunani bisa diterjemahkan sebagai disenangi Allah.1 Uniknya, Roma 12:2 ini dikaitkan dengan ibadah sejati. Ibadah sejati adalah ibadah yang tidak dipengaruhi oleh dunia (secara pasif) dan mengubah pola pikir kita sesuai dengan kehendak Allah yang: baik, berkenan kepada Allah, dan yang sempurna (secara aktif). Dengan kata lain, bagaimana kita menyenangkan Allah? Kita menyenangkan hati Allah dengan terus berusaha melakukan apa yang Ia inginkan. Alkitab mengajar, “Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anak-anak Allah, yaitu apabila kita mengasihi Allah serta melakukan perintah-perintah-Nya.” (1Yoh. 5:2) Dengan kata lain, kita dapat mengasihi Allah lebih dalam lagi tatkala kita menyenangkan hati-Nya dan kita bisa menyenangkan hati-Nya tatkala kita melakukan apa yang diperintahkan-Nya. Bagaimana kita bisa melakukan apa yang diperintahkan-Nya?
a. Kerelaan untuk taat mutlak.
Kita bisa melakukan apa yang diperintahkan-Nya dengan pertama-tama kita rela untuk taat mutlak. Apa artinya taat mutlak? Berarti, kita menundukkan diri kita secara mutlak kepada Allah. Menundukkan diri berarti kita patuh dan tidak bertanya apa pun kepada Allah. Menundukkan diri juga berarti mengatakan TIDAK kepada kehendak diri yang bertentangan dengan kehendak Allah. Ketika Allah memanggil Abraham keluar dari Urkasdim, Abraham taat. Artinya adalah Abraham tidak bertanya apa pun kepada Allah tentang masa depannya ketika ia keluar dari Urkasdim. Mengapa Abraham tidak bertanya apa pun? Karena ia beriman pada dan di dalam Allah. Iman inilah yang mengakibatkan ia berkomitmen menjalankan perintah Allah dengan segala risiko yang harus ia tanggung. Iman yang sama juga terdapat di dalam diri Paulus. Karena iman, ia rela taat mutlak akan pimpinan Allah ke mana pun ia diutus. Paulus tak pernah bertanya risiko yang harus ia hadapi. Hanya satu yang ia lakukan yaitu TAAT. Mengapa para tokoh di Alkitab bisa memiliki ketaatan kepada Allah? Karena mereka yang sudah diselamatkan memiliki komitmen iman untuk terus menyenangkan Allah dengan melakukan perintah-Nya. Bagaimana dengan kita? Ketika firman Tuhan diberitakan baik melalui pembacaan Alkitab maupun di dalam khotbah, bagaimana reaksi kita? Ketika firman Tuhan mengajar kepada kita untuk menyangkal diri dan memikul salib, sudahkah kita siap untuk taat mutlak? Apakah kita masih bertanya dan menimbang untung ruginya kita ketika menyangkal diri? Mari kita introspeksi diri masing-masing: seberapa rindukah kita rela taat mutlak kepada perintah Allah?

b. Kerelaan untuk ditegur dan ingin bertumbuh terus-menerus.
Kita sudah taat mutlak, tetapi mungkin sekali di dalam proyek ketaatan kita, ada hal-hal yang belum kita jalankan atau kita belum taat 100%. Di sini, kita membutuhkan kerelaan untuk ditegur oleh saudara seiman kita dan ingin bertumbuh di dalam iman terus-menerus. Orang yang dewasa TIDAK diukur dari seberapa tinggi pendidikan akademis yang dia peroleh atau seberapa hebat dia menguasai segala sesuatu. Orang yang dewasa diukur dari seberapa dia mau DITEGUR. Orang dewasa yang ketika ditegur, langsung marah-marah, itu membuktikan orang itu sebenarnya masih kekanak-kanakan (childish behavior). Dewasa ini, teguran adalah sesuatu yang “haram.” Di dalam Kekristenan postmodern, ketika ada hamba Tuhan yang bertanggung jawab menegur dosa jemaat/gereja lain yang menyeleweng dari Alkitab, hamba Tuhan itu dicap kurang cinta kasih, “menghakimi,” dll, lalu memakai Matius 7:1 untuk mendukung argumentasinya yaitu perkataan Tuhan Yesus yang mengajarkan agar kita jangan menghakimi. Apakah benar Matius 7:1 mengajarkan agar kita jangan menghakimi? TIDAK! Matius 7:1 memang mengajar bahwa kita jangan menghakimi, tetapi jangan lupa, di ayat 2-5, Tuhan Yesus menajamkan makna di ayat 1 yaitu kita harus menghakimi dengan standar/ukuran yang benar. Artinya, kita jangan menghakimi kesalahan orang, jika kita sendiri memiliki kesalahan yang sama dengan kesalahan orang yang kita hakimi. Misalnya, kita adalah koruptor, lalu kita menghakimi koruptor lain. Itu adalah penghakiman yang tidak adil, karena kita menghakimi kesalahan orang lain, padahal kesalahan kita tidak berbeda dengan kesalahan orang yang kita hakimi. Jika memang “benar” bahwa di Matius 7:1, Tuhan Yesus menyuruh kita untuk tidak menghakimi, mengapa di ayat 15-23, Tuhan Yesus yang sama menghakimi siapa yang sesat dan tidak? Di sini, kita harus mengerti totalitas pengertian Alkitab tentang menghakimi yang benar, bukan dengan motivasi yang sembrono dan tidak bertanggung jawab. Kita menghakimi sesuai dengan ukuran yang benar yaitu Kebenaran Allah, selebihnya kita menyerahkannya kepada Allah (bdk. Rm. 12:19).

Konsep teguran atau/dan penghakiman yang benar ini mengakibatkan kita semakin taat kepada Allah dan semakin rindu bertumbuh. Mengapa? Karena dengan teguran itu, kita disadarkan akan kekurangan kita di dalam proyek ketaatan kita, kemudian kita dibangkitkan kembali hasrat untuk terus bertumbuh di dalam pengenalan akan Kristus melalui karya Roh Kudus. Roh Kudus bisa memakai teguran dari saudara seiman kita untuk mempertumbuhkan iman kita. Oleh karena itu, jangan sepelekan teguran dari saudara seiman kita. Pikirkanlah baik-baik teguran itu dari perspektif kebenaran Allah. Jika teguran itu benar, terimalah dengan kerendahan hati dan ubahlah seluruh kekurangan kita dengan bantuan Roh Kudus. Sudahkah hati kita terbuka pada teguran Roh Kudus baik secara langsung maupun melalui saudara seiman kita untuk menjalankan perintah-Nya? Pertumbuhan iman dan karakter kita dimulai dari kerinduan kita ditegur.

c. Kerelaan untuk saling menguatkan sesama umat Tuhan.
Setelah kita rela ditegur, selanjutnya kita bukan hanya menerima teguran, tetapi kita pun dituntut untuk menguatkan sesama umat Tuhan lainnya. Di sini, kita membutuhkan satu komunitas hidup (istilah yang saya pinjam dari Pdt. Sutjipto Subeno ketika mengeksposisi Matius: life community­–komunitas hidup). Komunitas hidup adalah komunitas yang saling menguatkan iman dan karakter satu sama lain. Komunitas yang saling menguatkan adalah komunitas yang ingin bertumbuh bersama untuk menjalankan perintah Tuhan. Misalnya, jika kita sudah menjalankan perintah Tuhan tertentu, kita bisa mengingatkan sesama kita yang belum menjalankannya, begitu juga sebaliknya. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita sebagai anggota tubuh Kristus mengingatkan dan menguatkan umat Tuhan lainnya ketika mereka berada di dalam jalan yang menyeleweng dari kebenaran?




Setelah kita merenungkan seberapa dalam kita mengasihi-Nya, bagaimana respon kita? Sudahkah kita memiliki kerinduan yang dalam untuk lebih lagi mengasihi Allah dan firman-Nya dengan menaati apa yang difirmankan-Nya? Amin. Soli Deo Gloria.




Catatan kaki:
1 Hasan Sutanto, PBIK Jilid 1: Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2006), hlm. 862.