29 March 2009

KREDO REFORMED-3: Katekismus Heidelberg (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

KREDO REFORMED-3:
Katekismus Heidelberg


oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.




Pengantar
Kata “katekismus” berasal dari bahasa Yunani kathcew yang berarti “mengajar” (Luk. 1:4; Kis. 18:25; 21:21, 24; Rm. 2:18; 1Kor. 14:19; Gal. 6:6). Pada awalnya kata “katekismus” bisa merujuk pada apa saja yang diajarkan. Mulai abad ke-16 arti kata ini menjadi semakin sempit dan merujuk pada pedoman pengajaran iman Kristen yang bersifat populer (tidak teknis/akademis) dan biasanya dalam bentuk tanya-jawab (D. F. Wright, “Catechism”, Evangelical Dictionary of Theology, Walter Elwell, 195). Proses mengajarkan katekismus disebut “katekisasi”, orang yang mengajarkan katekismus disebut “katekist” (catechist), sedangkan yang diajar disebut “katekumen” (catechumen).

Praktik pengajaran iman Kristen kepada para petobat baru sebenarnya sudah dimulai sejak awal kekristenan. Pada abad ke-2 sudah ada satu buku yang bernama didach. Bapa gereja Agustinus dan Gregory Nissa pun membuat buku untuk para petobat baru. Di gereja-gereja lain katekisasi bahkan mencakup pengajaran dari tradisi lisan. Walaupun praktik katekisasi sudah dimulai sejak dahulu, namun belum ada bahan tertulis resmi yang diakui bersama oleh gereja-gereja. Selama abad pertengahan, pengajaran iman Kristen mengalami dekadensi. Pada masa reformasi katekisasi dipopulerkan kembali. Pada periode selanjutnya masing-masing aliran dalam gereja memiliki katekismus sendiri-sendiri yang resmi. Golongan Lutheran memakai Katekismus Besar dan Kecil karangan Martin Luther. Gereja Anglikan merumuskan Katekismus Anglikan. Gereja Roma Katolik pun memiliki Katekismus [Gereja] Roma (Catechismus Romanus). Waktu yang diperlukan untuk katekisasi dari dahulu sangat beragam, mulai satu tahun sampai tiga tahun. Di akhir pengajaran, katekumen diharuskan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, menunjukkan perubahan hidup yang signifikan dan kadangkala menghafalkan Doa Bapa Kami, Sepuluh Perintah Allah maupun Pengakuan Iman Rasuli.

Istilah “Heidelberg” didasarkan pada tempat dirumuskan dan ditetapkannya Katekismus Heidelberg. Katekismus ini memang ditulis di kota Heidelberg, Jerman. Setelah ditulis, katekismus ini juga disahkan penggunaannya secara resmi di kota yang sama. Karena itu, katekismus ini dikenal dengan sebutan Katekismus Heidelberg. Istilah lain yang kadangkala dipakai adalah Katekismus Palatinate (Palatinate Catechism), sebuah daerah otonom yang di dalamnya mencakup kota Heidelberg (daerah selatan dan barat Mainz).


Latar Belakang Perumusan
Perumusan Katekismus Heidelberg tidak dapat dipisahkan dari peranan penting Ferderick III, seorang pemimpin di Palatinate, sebuah daerah otonom di bagian barat Jerman. Pertobatan Frederick dari Katolik ke Protestan didorong oleh dekadensi moral yang dia lihat di dalam gereja Katolik Roma. Akhirnya ia dengan sukarela memeluk iman Protestan pada tahun 1537 ketika dia menikahi putri Maria Brandenburg-Kulmbach, seorang pengikut Lutheran tradisional yang sungguh-sungguh. Melalui Maria, Frederick semakin hari menjadi semakin saleh dan memahami iman Protestan.

Perubahan iman Frederick ke Reformed dimulai dari peselisihan intern di Palatinate antara Tilemann Hesshus dan Wilhelm Klebitz. Hesshus adalah pendeta di Gereja Roh Kudus dan rektor di College Hikmat, sedangkan Klebitz adalah asisten pendeta. Hesshus berpegang pada theologi Lutheran, sedangkan Klebitz adalah pengikut Zwinglian yang sangat bersemangat. Perselisihan semakin parah ketiga College Hikmat menganugerahi gelar theologi kepada Klebitz di saat Husshes tidak ada di tempat. Situasi ini membuat Husshes sangat marah dan ia menuntut gelar itu dicabut serta Klebitz diusir dari Palatinate. Tuntutannya ternyata tidak digubris, sehingga Husshes bertambah marah. Suatu ketika Klebitz sedang melayani perjamuan kudus. Ketika dia sedang mengangkat cawan anggur, Husshes datang dan merebut cawan itu dari tangan Klebitz. Jemaat sangat terkejut melihat apa yang terjadi. Frederick yang baru saja datang ke Palatinate langsung menyadari bahwa hal ini merupakan masalah yang sangat serius, karena menyangkut doktrin perjamuan kudus yang memang sejak lama selalu menjadi fokus perselisihan.

Frederick sempat menanyakan solusi dari masalah ini kepada Melanchthon, sahabat dan penerus Luther. Oleh Melanchthon dia dinasehati untuk mengikuti doktrin yang sudah ditetapkan (maksudnya doktrin Lutheran yang terangkum dalam Pengakuan Iman Augsburg artikel XI), namun jawaban ini tidak memuaskan Frederick karena semakin lama dia mempelajari perbedaan antara Lutheran dan Zwinglian, dia semakin berpihak pada Zwinglian. Atas usul istrinya yang disampaikan oleh menantu mereka, Frederick akhirnya mengadakan debat antara dua orang pemikir Lutheran dan Zwinglian pada tahun 1560. Pihak non-Lutheran diwakili oleh Peter Boquin (Calvinis) dan Thomas Erastus (Zwinglian). Setelah perdebatan publik ini, Frederick memutuskan untuk memeluk ajaran Reformed.

Pada Januari 1561 Christopher Wurrttemberg mengadakan konferensi di Naumburg dan mengundang semua gubernur dan anak-anak mereka untuk menerima Pengakuan Iman Augsburg sebagai deklarasi iman yang resmi. Para pemimpin tersebut diberi dua pilihan: Pengakuan Iman Augsburg versi asli (ditulis Melanchthon; doktrin perjamuan kudus dalam versi ini sudah diterima secara resmi pada tahun 1530) atau versi kedua (berisi beberapa perubahan oleh Melanchthon, terutama artkel ke-10 tentang perjamuan kudus yang juga telah disetujui Calvin). Semua pemimpin waktu itu berhasil dibujuk oleh Frederick untuk memilih versi ke-2, kecuali menantunya sendiri.

Frederick terus bergumul tentang alternatif Lutheran-Reformed. Pergumulan ini bukan hanya penting bagi pertumbuhan spiritual dia secara pribadi, tetapi juga bagi stabilitas keamanan di daerah kekuasaannya. Di tengah pergumulan ini dia sangat terbantu oleh kehadiran dua pemikir besar: Caspar Olevianus (1536-1587) dan Zacharias Ursinus (1534-1583). Olevianus adalah orang yang pernah mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan anak Frederick yang hanyut di sungai sewaktu mereka masih tinggal di kota Trier. Walaupun anak itu tetap tidak terselamatkan, namun Frederick tetap menghormati usaha Olevianus. Pasca peristiwa itu Olevianus memikirkan ulang cita-cita dan dia akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang pendeta, bukan ahli hukum. Dia belajar di bawah bimbingan Calvin, Beza dan Peter Martyr (Vermigli) yang merupakan 3 tokoh Reformed terkemuka waktu itu. Setelah pulang kembali ke Trier (1559), Olevianus mengobarkan reformasi Reformed dan dengan cepat mendapat sambutan pubik yang sangat besar. Kekuatiran dewan kota Trier bahwa perubahan ini akan diketahui pihak uskup Yohanes ternyata terbukti. Olevianus diperintahkan untuk berhenti berkotbah tetapi dia menolak. Sebagai respons terhadap penolakan ini, uskup Yohanes mengirimkan tentara ke Trier dan membawa bencana besar bagi mereka: ladang dibakar, pasokan air ke kota dihentikan, penduduk yang ke luar kota dirampok dan puncaknya kota itu diporak-porandakan. Olevianus dan 12 orang pemimpin lainnya ditangkap dan dipenjara. Setelah ditahan selama 10 minggu, uskup Yohanes menerima suat dari Frederick yang disertai dengan sejumlah besar uang dan janji bahwa Olevianus tidak akan kembali lagi ke Trier setelah dia dilepaskan. Olevianus sendiri menyetujui undangan Frederick untuk berkotbah di Gereja Roh Kudus dan ia langsung bertolak ke Heidelberg.

Di tempat lain Tuhan juga sedang menyiapkan Ursinus. Kehebatan Ursinus dengan cepat diketahui oleh Melanchthon dan dengan bantuan Melanchthon dia berhasil menjadi pemimpin Sekolah Elizabeth di Breslau pada waktu usianya baru awal 20-an. Beberapa pandangan Melanchthon – yang sering dianggap “crypto-Calvinis” – juga turut membentuk pemikiran Ursinus. Pasca kematian Melanchton pada tahun 1560, Ursinus kembali ke Zurich di mana dia belajar di bawah bimbingan Peter Martyr. Ketika Frederick meminta Peter Martyr untuk memimpin College Wisdom, Peter merekomendasikan Ursinus untuk posisi itu, karena ia merasa terlalu tua (60 tahun) untuk menghadapi tantangan baru dan menurut dia Ursinus sudah memiliki pengetahuan theologi dan kesalehan yang luar biasa sekalipun Ursinus masih berumur 20-an tahun. Akhirnya Frederick menyetujui usulan ini dan Ursinus pergi ke Heidelberg untuk memimpin sekolah tersebut.

Kehadiran dua pemikir hebat di atas semakin meyakinkan Frederick bahwa tiba saatnya untuk merumuskan sebuah pengakuan iman yang resmi dan definitif. Katekismus ini dimaksudkan sebagai bahan pengajaran bagi orang-orang muda dan pedoman bagi para pendeta maupun pengajar. Dia menugasi Olevianus dan Ursinus untuk merealisasikan hal itu. Olevianus yang waktu itu baru berusia 26 tahun dan Ursinus yang berusia 28 tahun akhirnya berhasil menyelesaikan sebuah karya tulis yang sampai sekarang diakui sebagai “katekismus dengan kekuatan dan keindahan yang luar biasa”. Ursinus kemungkinan besar lebih berperan penting dalam hal isi, sedangkan Olevianus lebih pada peredaksian, karena dalam perkembangan selanjutnya Ursinus merupakan pembela dan penafsir utama dari katekimus ini.

Setelah dirumuskan oleh Olevianus dan Ursinus, Frederick mengumpulkan semua rohaniwan dan pemikir untuk meninjau katekismus ini pada Januari 1563. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Frederick, dosen-dosen fakultas theologi Heidelberg dan para pejabat gereja di Palatina juga turut andil dalam hasil akhir Katekismus Heidelberg. Mereka akhirnya menyetujui isi dari katekismus tersebut, termasuk bagian tentang perjamuan kudus yang menyatakan secara eksplisit bahwa “roti kudus tidak berubah menjadi tubuh Kristus”. Frederick sendiri yang menulis kata pengantar dalam katekismus ini. Katekismus yang akhirnya dikenal dengan sebutan Katekismus Heidelberg ini diterbitkan tahun 1562 dan mulai ditetapkan secara resmi di Palatine pada tahun 1563.

Sikap Frederick di atas menimbulkan masalah yang serius, karena pengantar yang dia tulis dan beberapa bagian Katekismus Heidelberg bertentangan dengan Pengakuan Iman Augsburg dan ajaran Katolik Roma. Pihak Katolik menghembuskan rumor bahwa Olevianus dirasuk iblis dan Frederick tidak bisa tidur malam hari karena diganggu iblis. Christopher dari Wurrttemberg menantang Frederick berdebat secara publik pada April 1564. Debat ini tidak menghasilkan konsensus apa pun, sehingga Christopher akhirnya melaporkan Frederick ke Kaisar Maximillian II dengan tuduhan bahwa Frederick telah melanggar Pengakuan Iman Augsburg. Walaupun Maximillian adalah pengiktu Katolik moderat, tetapi dia tetap harus memperhatian protes para gubernur Protestan karena stabilitas kekaisarannya dipengaruhi oleh para pemimpin regional tersebut. Akhirnya pada tahun 1566 ia dipanggil oleh Kaisar Maximilian II di hadapan 6 gubernur lain dan para penasehat mereka untuk menghadiri pertemuan di Augsburg. Kalau dia tidak mau mengubah pendiriannya, ia bisa saja diusir dari Jerman atau mungkin dihukum mati. Banyak orang memprediksi bahwa Frederick pasti akan kalah dalam pertemuan itu, karena para pengikut Lutheran sudah melobi kaisar secara intensif, kaisar sendiri adalah orang Katolik dan beberapa pendukung Reformed tidak berani menyatakan hal itu secara publik. Pada tanggal 14 Mei 1566 tuduhan terhadap Frederick sebagai pengikut ajaran sesat dibacakan. Dia didesak untuk meninggalkan iman Reformed atau dikucilkan. Paksaan ini tidak menciutkan nyali Frederick. Sambil mengingat bagian awal Katekismus Heidelberg – pertanyaan “apakah penghiburan manusia yang terutama?” dan jawaban “bahwa aku, baik tubuh atau jiwa, dalam hidup maupun kematian, bukanlah milikku tetapi juru selamatku yang setia, Yesus Kristus” – dia dengan penuh percaya diri, tenang dan lemah-lembut menjelaskan isi dan tujuan Katekismus Heidelberg.

Keputusan akhir dalam pertemuan ini ternyata mengagetkan banyak orang. Keberanian dan kelemahlembutan Frederick berhasil menimbulkan kesan yang mendalam, bahkan pada diri musuh-musuhnya dan Maximillian II. Beberapa pangeran yang menjadi pengikut Lutheran yang moderat membujuk kaisar untuk tidak menyensor maupun menghukum Frederick. Akhirnya Maximilian II membebaskan Frederick dari semua tuduhan dan ancaman hukuman. Ia bahkan menyebut Frederick sebagai “Orang Yang Saleh”.

Dengan cepat Katekismus Heidelberg dikenal dan diakui oleh gereja-gereja Reformed di bagian utara Jerman dan Swiss. Tidak lama berselang katekismus ini juga diakui oleh gereja-gereja di wilayah lain. Berturut-turut katekismus ini disahkan dalam konsili di Wesel (1568), Emden (1571), Dort (1578), the Hague (1586). Keputusan penting diambil pada konsili internasional di Dort (1618-1619). Pada perkembangan berikutnya Katekismus Heidelberg diterjemahkan dalam berbagai bahasa di Asia dan Afrika. Terjemahan dalam bahasa Melayu pun sudah dibuat oleh Pendeta Seb. Danckaerts pada tahun 1623. Pada abad ke-19 dan ke-20 para utusan injil dari Belanda dan para pendeta Protestan di Indonesia tetap menggunakan katekismus ini sebagai salah satu pedoman doktrin. Begitu terkenalnya katekismus ini di seluruh dunia sampai-sampai katekismus ini masuk sebagai salah satu buku yang paling banyak disirkulasikan di seluruh dunia setelah Alkitab, The Imitation of Christ (Thomas A. Kempis) dan Pilgrim’s Progress (John Bunyan).


Beragam Edisi
Setelah ditetapkan secara resmi pada tahun 1563, pada tahun itu juga diterbitkan tiga edisi Jerman yang lain (termasuk edisi yang singkat) dan terjemahan Latin. Perubahan ini sangat terkait dengan situasi pada waktu itu. Ada beberapa perubahan penting yang perlu kita ketahui. Pertama, penambahan referensi ayat Alkitab. Pada edisi Jerman yang ke-1, Alkitab dalam bahasa Jerman belum dibagi ke dalam ayat-ayat, sehingga kutipan teks Alkitab hanya diberi nama kitab dan nomer pasal. Pada edisi selanjutnya (edisi Latin) hal ini diperbaiki dengan cara memberikan ayat-ayat sesuai dengan pengaturan Alkitab bahasa Jerman yang baru.

Kedua, pertanyaan dan jawaban nomer 80. Bagian ini (dalam edisi kita sekarang) tidak ditemukan dalam edisi ke-1. Pada edisi ke-2 sebagian dari pertanyaan dan jawaban itu sudah ditambahkan, tetapi belum secara lengkap. Baru pada edisi ke-3 bagian tersebut diredaksi ulang menjadi seperti sekarang. Para theolog menduga perubahan ini dipicu oleh keputusan Konsili Trente pada 17 September 1562 yang salah satu keputusannya meneguhkan kembali doktrin misa Katolik Roma dan mengutuk praktik sakramen oleh golongan Protestan. Keputusan ini tidak sempat direspon secara khusus dalam edisi-edisi sebelumnya, karena keterbatasan waktu. Baru pada awal tahun sesudahnya para pemimpin gereja Reformed sempat membahas hal ini secara eksplisit.

Ketiga, pemberian nomer untuk pertanyaan dan jawaban. Pada beberapa edisi awal pertanyaan dan jawaban tidak diberi nomer seperti sekarang. Baru pada tahun 1573 Katekismus Heidelberg diberi nomer (129 nomer) dan dibagi menjadi 52 bagian sehingga satu bagian dapat dikotbahkan setiap minggu selama satu tahun. Edisi terakhir inilah yang diakui pada konsili Dort (1619) dan dijadikan dasar bagi terjemahan Inggris yang beredar..


Karakteristik
Katekismus Heidelberg memiliki beberapa keunikan yang membuat katekismus ini sebagai salah satu katekismus paling favorit selain Katekismus Westminster.
· Referensi ayat yang sangat melimpah. Dalam bagian pengantar yang asli, Frederick III menyatakan bahwa teks-teks itu telah diselidiki begitu rupa (“...selected with great pains...”) untuk dijadikan dasar bagi doktrin yang diajarkan.
· Konsep yang sangat Reformed. Hal ini dapat dipahami karena tujuan perumusan katekismus ini bukan sekadar membedakan orang Reformed dari Roma Katolik, tetapi juga dari golongan Lutheran.
· Pengaturan topik. Para perumus Katekismus Heidelberg memang mengenal katekismus yang ditulis Calvin sebelumnya (1536/1545) dan secara doktrinal pasti dipengaruhi oleh katekismus itu, tetapi mereka tetap memilih pengaturan topik yang berbeda. Tidak seperti Pengakuan Iman Prancis maupun Belgia yang menyusun topik-topik sesuai logika pengaturan doktrin (dari Allah, manusia, keselamatan, Kristus, gereja akhir zaman), Katekismus Heidelberg dibagi menjadi tiga bagian sesuai dengan pengaturan Surat Roma: nomer 1-11 membahas kondisi manusia yang mengenaskan di dalam dosa (Roma 1-3); nomer 12-85 tentang penebusan di dalam Kristus dan iman orang percaya (Roma 4-11); nomer 86-129 tentang ucapan syukur orang percaya atas kasih Allah berupa ketaatan (Roma 12-16). Untuk memudahkan pemahaman, tiga bagian ini sering kali disebut 3G (Guilt – Grace – Gratitude = kesalahan/pelanggaran – anugerah – ucapan syukur) atau 3S (Sin – Salvation – Servitude = dosa – keselamatan, pelayanan).
· Nuansa yang moderat. Walaupun muncul dari konteks kontroversi doktrinal, namun katekismus ini tetap mempertahankan peredaksian yang moderat atau tidak ofensif (kecuali mungkin melawan kepausan di nomer 80). Karakteristik ini membuat Katekismus Heidelberg menjadi lebih mudah diterima oleh orang-orang lain di luar Palatinate yang tidak memiliki sangkut-paut dengan latar belakang kontroversi yang ada.
· Sifat yang devosional. Katekismus ini bukanlah pemaparan doktrinal yang kering dan di abstrak. Katakismus ini sangat bersentuhan dengan kehidupan praktis orang percaya. Pemakaian kata ganti “aku” yang menyiratkan keyakinan pribadi menunjukkan sisi subjektif dari katekismus ini. Bagian awal katekismus ini bahkan berbicara tentang penghiburan bagi orang percaya. Tidak heran katekismus ini sering kali disebut sebagai “kitab penghiburan bagi semua orang Kristen”.


Beberapa Topik Penting
Sebagai sebuah katekismus yang dirumuskan dan diterima oleh orang-orang Reformed, Katekismus Heideberg mengajarkan beberapa hal yang memang menjadi ciri khas aliran Reformed. Pertama, konsep tentang perjamuan kudus (nomer 75-85). Roti dan anggur selamanya tidak akan pernah berubah menjadi tubuh dan darah Kristus (nomer 79), baik secara langsung (kontra transubstansiasi) maupun melalui iman (kontra konsubstansiasi). Sakramen perjamuan kudus hanyala simbol yang melaluinya kita diingatkan kepada karya penebusan Kristus yang oleh pekerjaan Roh Kudus ita mengambil bagian dalam karya tersebut.

Kedua, konsep tentang pemeliharaan Allah yang mutlak. Sama seperti Pengakuan Iman Belgia, Katekismus Heidelberg juga mengajarkan kedaulatan Allah yang penuh atas segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang terjadi di dunia ini – baik yang kita anggap positif atau negatif – yang tidak datang dari tangan Bapa (nomer 27).

Ketiga, konsep perbuatan baik sebagai respons terhadap keselamatan. Mulai nomer 86 sampai selesai Katekismus Heidelberg mengajarkan tentang apa yang harus kita lakukan sebagai orang yang sudah diselamatkan oleh Kristus. Respons ini berupa perbuatan baik (nomer 86) yang terdiri dari dua bagian: kematian manusia lama (nomer 89) dan kebangkitan manusia baru (nomer 90). Suatu tindakan bisa disebut baik jika memenuhi beberapa kriteria: timbul dari iman yang sungguh-sungguh, seturut hukum Allah, memuliakan Allah, bukan didasarkan pada kemauan maupun aturan manusia. Selanjutnya perbuatan baik ini dijabarkan dalam bentuk penjelasan detil tentang Sepuluh Perintah Allah (nomer 92-115) dan Doa Bapa Kami (nomer 116-129).

Keempat, konsep tentang disiplin gereja. Katekismus Heidelberg sangat menentang orang-orang tertentu yang mengaku Kristen tetai tidak mau hidup sesuai dengan Firman Tuhan. Orang-orang ini tidak diperbolehkan mengikuti perjamuan kudus (nomer 81-82) dan tidak akan diselamatkan (nomer 87). Mereka ini harus didisiplin oleh gereja dalam bentuk pengucilan (nomer 83-85).


Sumber:
Pendalaman Alkitab GKRI Exodus, 17 Februari 2009
(http://www.gkri-exodus.org/page.php?HIS-Kredo_Reformed-03)





Profil Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.:
Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus.org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.




Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.

KREDO REFORMED-2: Pengakuan Iman Belgia (1559) oleh Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.

KREDO REFORMED-2:
Pengakuan Iman Belgia (1559)


oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.




Pendahuluan
Pengakuan Iman Belgia (Belgic Confession) merupakan pengakuan iman Reformed tertua setelah Pengakuan Iman Prancis (Gallic Confession). Sebutan “Belgic Confession” diambil dari istilah Latin pada abad ke-17, yaitu “Confessio Belgica”. Pada masa itu kata “Belgica” tidak hanya merujuk pada negara Belgia seperti sekarang, tetapi juga seluruh Negara-negara Bawah (Low Countries), baik utara maupun selatan. Pada masa modern Low Countries mencakup daerah-daerah yang dikuasai oleh Belgia dan Belanda. Jadi, sekalipun nama yang dipakai adalah “Pengakuan Iman Belgia”, namun pengakuan ini merupakan kesatuan theologi dari orang-orang Reformed di Belgia dan Belanda. Sebagian orang bahkan lebih senang menyebut pengakuan iman ini sebagai “Pengakuan Iman Belanda” (Netherlands Confession). Sebagian lagi memakai istilah “Pengakuan Iman Wallon” (Wallon Confession).


Latar Belakang
Sama seperti Pengakuan Iman Prancis, perumusan Pengakuan Iman Belgia juga sangat berkaitan dengan penganiayaan yang dialami oleh orang-orang Reformed. Gerakan reformasi sendiri sebelumnya sudah menyebar ke daerah Belgia dan Belanda melalui para tentara, pedagang dan buku-buku. Keadaan ini menimbulkan keresahan bagi penguasa sipil yang sangat mendukung Gereja Katolik Roma. Sejak 1521 Charles V sudah mengeluarkan perintah untuk menekan bidat (baca: ajaran reformasi) di daerahnya. Penganiayaan ini menjadi semakin intensif pada zaman Philip II dari Spanyol. Semangatnya untuk membinasakan setiap penganut reformasi direalisasikan oleh Duke of Alva. Begitu hebatnya penganiayaan ini sampai-sampai sebagian ahli sejarah berani menyatakan bahwa jumlah korban penganiayaan pada periode itu dan pada satu provinsi telah melampaui jumlah keseluruhan martyr pada abad ke-16. Sebagian bahkan meyakini jumlah ini melampaui jumlah martyr pada tiga abad pertama penganiayaan di bawah pemerintahan Romawi. Jumlah kurban penganiayaan di Belgia dan Belanda waktu itu diperkirakan mencapai 100 ribu orang.

Sebagai respons terhadap penganiayaan yang sedemikian hebat di atas, pengikut reformasi merumuskan pengakuan iman sebagai sebuah apologi (pembelaan) bahwa mereka bukanlah pemberontak. Mereka adalah para pengikut ajaran Alkitab dan warga negara yang taat. Penjelasan ini sangat diperlukan dalam konteks waktu itu karena pemerintah sipil selalu menganggap pengikut reformasi sebagai pengikut bidat (sesuai dengan perspektif Gereja Katolik Roma). Pengikut reformasi juga sering dituduh sebagai para pemebrontak yang tidak mau menunjukkan loyalitas kepada pemerintah. Tuduhan ini didasarkan pada ketidakmampuan pemerintah untuk membedakan antara aliran Anabaptis dan aliran-aliran lain dalam gerakan reformasi.

Perumusan Pengakuan Iman Belgia tidak dapat dipisahkan dari seorang figur yang bernama Guido de Bres (1522-1567). Ia dibesarkan dalam tradisi Katolik. Melalui penyelidikan Alkitab yang teliti ia akhirnya berpuat pada doktrin injili. Setelah diusir dari daerah asalnya di Mons (Hennegeu), ia melakukan perjalanan keliling untuk belajar maupun berkotbah. Ia ada di Inggris pada masa Edward IV, belajar di Lausanne, kemudian menjadi pengkhotbah keliling di daerah Belgia dan Prancis. Selama pelayanannya ia menyempatkan diri merumuskan sebuah pengakuan iman. Ia dibantu oleh Adrien de Saravia (profesor theologi di Leyden dan Cambridge), Modetus (sempat menjadi pendeta William of Orange) dan G. Wingen (yang menerjemahkan ke bahasa Prancis sekaligus membuktikan iman Reformed dari perspektif Alkitab). Pengakuan iman yang sudah disiapkan selanjutnya direvisi oleh Francis Junius, salah seorang murid Calvin dan pendeta di Antwerp. Junius mempersingkat pernyataan ke-16 dan membuat beberapa salinan untuk dikirim ke Genewa dan daerah-daerah lain supaya dipelajari dan disetujui. Akhirnya pada tahun 1561 pengakuan iman ini dicetak untuk kalangan lebih luas.

Sekitar setahun setelah dicetak, salah satu cetakan dikirimkan ke Raja Philip II dengan cara dilemparkan ke dalam benteng yang telah dibangun di Tournai (Doornik). Pengiriman ini disertai dengan sebuah pernyataan yang luar biasa indah dan berani. Mereka siap untuk mematuhi pemerintah sipil dalam segala sesuatu yang benar, tetapi akan “menyerahkan punggung mereka dicabik-cabik, lidah mereka untuk dipotong, mulut mereka disumpal dan seluruh tubuh mereka dibakar dengan api, dengan sungguh-sungguh menyadari bahwa mereka yang mengikut Yesus harus memikul salib-Nya dan menyangkali diri mereka” daripada menyangkali kebenaran yang dinyatakan dalam pengakuan iman.

Tidak ada bukti bahwa orang-orang Katolik secara serius pernah membaca atau terpengaruh oleh pengakuan iman ini. Penganiayaan pun juga tidak kunjung mereda. Bagaimanapun, apa yang tertulis berhasil menyatukan dan menguatkan orang-orang Reformed. Pada tahun 1562 pengakuan iman yang awalnya ditulis dalam bahasa Prancis ini akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan dengan cepat mendapat penerimaan resmi. Tahun 1566 konsili di Antwerp menerima rumusan iman tersebut secara resmi dengan sedikit revisi. Berturut-turut pengakuan iman diteguhkan kembali di Wesel (1568), Emden (1571) Dort (1574), Middelburg (1581) dan Dort (1619).

Pada tahun 1567 de Bres ditangkap dan dipenjara. Penangkapan ini terkait dengan semakin meningkatnya upaya penganiayaan sehubungan dengan kontroversi gambar (oconoclastic controversy). Penghancuran dan perusakan gambar maupun patung dalam gereja-gereja Katolik telah memancing amarah pemerintah sipil. Masalah lain berhubungan dengan pelanggaran terhadap keputusan pengadilan Brussels, terutama berkaitan dengan penyelenggaraan perjamuan kudus di jemaat-jemaat Reformed. Selama di dalam penjara de Bres rajin menulis surat kepada keluarganya dan menggambarkan kematian yang akan ia jalani sebagai sebuah perjamuan kawin. Bersama ribuan orang Reformed lain, de Bres akhirnya mati demi kebenaran yang ia yakini. Salah satu kalimatnya yang terkenal adalah “Saudara-saudaraku, hari ini akau dihukum mati karena doktrin Anak Allah. Biarlah Dia dipuji karena hal ini. Aku bersukacita atas hal ini. Aku tidak pernah berpikir bahwa Allah akan menunjukkan kepadaku penghormatan seperti itu. Aku merasa htiku dipenuhi dengan anugerah yang Allah turunkan ke atasku lebih dan lebih lagi dan aku dari waktu ke waktu terus dikuatkan. Hatiku memancar dengan sukacita dalam diriku”. Kematian ini tidak pernah sia-sia, karena ajaran dan semangatnya tetap dinyatakan dalam Pengakuan Iman Belgia.

Salah satu konsili yang paling penting adalah konsili agung di Dort (1619). Pada waktu itu ada desakan dari penganut Armenian untuk mengubah sebagian isi Pengakuan Iman Belgia. Di sisi lain, pengakuan iman ini juga telah mengalami beberapa proses terjemahan dan sedikit revisi. Berdasarkan dua hal ini, konsili di Dort memutuskan untuk menyelidiki ulang semua edisi yang ada (Prancis, Belanda, Latin) supaya dirumuskan yang baku. Edisi revisi terakhir inilah yang selanjutnya –bersama dengan Katekismus Heidelberg-- ditetapkan sebagai patokan iman gereja-gereja Reformed di Belgia maupun Belanda. Mereka berkomitmen untuk mengajarkan pengakuan iman ini dalam kotbah dan pengajaran mereka. Mereka berjanji tidak akan mengajarkan sesuatu yang berbeda dari yang sudah ditetapkan. Apabila ada suatu pemikiran yang muncul di kemudian hari yang terkesan tidak sesuai dengan pengakuan iman ini, mereka berjanji tidak akan mengajarkan pemikiran tersebut kepada orang lain sampai hal itu dibawa ke jenjang yang lebih tinggi (konsistori, klasis, sinode) untuk diputuskan. Sampai kini pengakuan iman tersebut sudah melampaui batasan Low Countries. Gereja-gereja Reformed di Amerika dan belahan dunia lain dengan mantap menerima rumusan iman ini sebagai ciri khas theologi mereka.


Garis Besar, Isi, dan Karakteristik
Secara umum garis besar maupun isi Pengakuan Iman Belgia didasarkan pada Pengakuan Iman Prancis (Gallic Confession) yang juga sangat dipengaruhi oleh karya monumental Calvin, Institutio. Pengaturan topik yang ada juga serupa dengan urutan theologi sistematika modern.
Pernyataan 1-11 tentang Allah
Pernyataan 12-15 tentang manusia
Pernyataan 16-21 tentang Kristus
Pernyataan 22-26 tentang keselamatan
Pernyataan 27-35 tentang gereja
Pernyataan 36 tentang pemerintah sipil
Pernyataan 37 tentang akhir zaman

Berdasarkan keunikan theologi dan tujuan penulisan, isi Pengakuan Iman Belgia dapat dibedakan menjadi beberapa bagian. Pertama, bagian yang menyerang konsep Anabaptis. Bagian ini mencakup topik seputar kemanusiaan Yesus yang sempurna (18), hakekat gereja yang umum/am, bukan sektarian (28-29), baptisan anak-anak (34) dan pemerintah sipil sebagai wakil Allah (36). Kedua, bagian yang sama dengan keyakinan Katolik Roma. Pemaparan topik-topik dalam bagian ini berguna sebagai pijakan yang sama dengan para musuh mereka. Bagian ini mencakup topik seputar Tritunggal (1, 8, 9), inkarnasi (10, 18, 19) dan gereja yang am (27-29). Ketiga, bagian yang menentang Gereja Katolik Roma. Bagian ini mencakup topik tentang otoritas mutlak dari Kitab Suci sekaligus penolakan terhadap Apokrifa (3-7), kecukupan dari karya penebusan Kristus, terlepas dari partisipasi gereja (21-23, 26), perbuatan baik (24), dua sakramen yang diajarkan Alkitab (34-35). Keempat, bagian yang mengajarkan ciri khas theologi Reformed. Bagian ini mencakup topik seputar providensia (13), kerusakan natur manusia sebagai akibat dari dosa asal (14-15), predestinasi (16), tanda gereja yang sejati (29), pemerintahan gereja (30-32) dan perjamuan kudus (35).

Dari sisi karakteristik, kita dapat menemukan beberapa hal: (1) pemakaian kata “kami” untuk memberi kesan personal pada pengakuan iman ini sekaligus membedakan penerimanya dengan komunitas Kristen yang lain; (2) pengutipan ayat-ayat Alkitab yang sedikit bebas; dalam arti tidak selalu lengkap dan secara hurufiah sesuai dengan bahasa aslinya; (3) tidak terlalu polemis seperti Pengakuan Iman Prancis; (4) penjelasan yang agak detil – terutama seputar Tritunggal, inkarnasi, gereja dan sakramen – sehingga menjadikannya sebagai simbol pernyataan iman Reformed yang terbaik setelah Pengakuan Iman Westminster.


Teks
Seperti sudah disinggung sebelumnya, Pengakuan Iman Belgia mengalami beberapa kali revisi. Perubahan ini hanya berkaitan dengan pemilihan kata dan peredaksian, bukan dari sisi doktrin. Kita tidak bisa mengetahui secara persis bagaimana edisi awal dalam bahasa Prancis. Tidak ada salinan yang berhasil dipelihara. Pada tahun 1580 Sinode Antwerp memerintahkan untuk membuat salinan yang sama persis dengan revisi yang dibuat oleh Junius sebagai arsip mereka. Salinan ini selanjutnya ditandatangi oleh setiap rohaniwan Reformed. Gereja-gereja Reformed di Belgia biasanya menganggap salinan ini sebagai yang otentik. Konsili agung di Dort (1619) memerintahkan untuk membuat edisi revisi yang resmi dengan cara membandingkan semua edisi yang ada dengan salinan dari manuskrip tahun 1580. Edisi Leyden (1669) memaparkan dalam dua kolom: yang satu sesuai salinan asli dan yang satu sesuai keputusan Dort. Edisi Rotterdam, Psalter tahun 1787 memaparkan edisi asli dengan meletakkan versi Dort sebagai catatan.


Sumber:
Pendalaman Alkitab GKRI Exodus, 10 Februari 2009
(http://www.gkri-exodus.org/page.php?HIS-Kredo_Reformed-02)




Profil Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.:
Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus.org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.




Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.

Resensi Buku-70: DISALIBKAN OLEH MEDIA (Rev. Prof. C. Marvin Pate, Ph.D. dan Sheryl L. Pate, M.A.)

...Dapatkan segera...
Buku
DISALIBKAN OLEH MEDIA:
Fakta dan Fiksi tentang Yesus Sejarah


oleh:
Rev. Prof. C. Marvin Pate, Ph.D. dan Sheryl L. Pate, M.A.

Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta, 2008

Penerjemah: Yeri Ekomunajat.





Apakah yang Sesungguhnya Dikatakan dan Dilakukan oleh Yesus?
Adakah Injil-injil yang Hilang?
Benarkah Yesus Menikah?
Temukan jawabannya di dalam buku ini!






Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio:
Di dalam Matius 16:13, Tuhan Yesus bertanya kepada para murid, “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Lalu, para murid menjawab di ayat 14, “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” Jawaban mereka mewakili opini manusia yang pernah mereka dengar. Orang lain melihat Kristus bukan dengan perspektif yang benar, dengan perspektif manusia berdosa yang menginginkan kebebasan dari penjajah pada waktu itu. Namun, bukan itu yang dibutuhkan Kristus. Maka di ayat 15, Kristus bertanya langsung kepada para murid-Nya, “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Melalui anugerah Allah, Rasul Petrus menjawab, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (ay. 16) Jawaban ini mewakili iman Petrus dan juga menjadi iman kita atas anugerah Allah. Selain itu, jawaban ini juga menjadi pertanda pembeda antara para pengikut Kristus yang termasuk anak-anak Allah Vs anti-Kristus yang TIDAK termasuk anak-anak Allah (meskipun beberapa atau bahkan banyak dari mereka beribadah dan religius). Perhatikan reaksi antara para murid Kristus dengan banyak ahli Taurat dan orang Farisi terhadap Kristus. Para murid-Nya mewakili pengikut Kristus yang setia, karena mereka percaya dan menjalankan apa yang Kristus firmankan, sedangkan banyak ahli Taurat dan orang Farisi mewakili para anti-Kristus, karena mereka tidak menerima Pribadi Kristus yang berbeda dari hasrat mereka yang berdosa yang menginginkan kebebasan dari penjajahan. Hal ini menjadi refleksi bagi kita juga. Mereka yang mengikut Kristus dengan setia percaya kepada dan di dalam Kristus, setia kepada firman-Nya, dan taat menjalankan firman-Nya. Sedangkan mereka yang seolah-olah aktif di gereja namun sebenarnya anti-Kristus adalah mereka yang pura-pura percaya kepada Kristus di dalam mulut, namun tidak pernah mengerjakan apa yang difirmankan-Nya. Atau mungkin juga, para anti-Kristus adalah mereka yang bertoha “pendeta” atau “pemimpin gereja”, namun sudah tidak lagi percaya akan finalitas Kristus sebagai Tuhan dan satu-satunya Juruselamat, lalu kompromi dengan semua agama. Yang lebih parah, para anti-Kristus itu muncul dalam cara-cara terselubung yang seolah-olah baik namun menyesatkan dan menghujat Kristus, yaitu melalui media.

Melalui media, para anti-Kristus di zaman postmodern ini tidak lagi takut menyuarakan apa yang mereka sebut sebagai “kebenaran.” “Kebenaran” yang mereka suarakan sebenarnya menghujat pribadi, kematian, kebangkitan, dan kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Apa saja yang cocok menurut pikiran mereka yang berdosa, mereka anggap sebagai “kebenaran,” namun jika ada yang tidak cocok dengan pikiran mereka, mereka akan menganggapnya sebagai bidat/sesat, eksklusif, dll. Munculnya Jesus Seminar, “Injil” Gnostik (berupa “Injil” Thomas, “Injil” Yudas, dll) yang diklaim sebagai “Injil” asli yang seharusnya menggantikan posisi Injil Yohanes, novel (dan film) The Da Vinci Code dari Dan Brown, 3 teori yang menyanggah kebangkitan Kristus dari beberapa pakar “theologi.” Tidak hanya itu, buku The Bible Code dari Michael Drosnin yang sempat mengguncang dunia seolah-olah memberi tahu kita tentang kedatangan Kristus yang kedua kali. Kemudian, di zaman postmodern yang meneriakkan relativisme, finalitas Kristus dan Kitab-kitab Injil dipertanyakan oleh mereka yang justru berpendidikan “theologi.”

Jika demikian, bagaimana sikap orang Kristen? Ada pemimpin gereja yang ketakutan jemaatnya diracuni oleh hal-hal seperti demikian, lalu mati-matian melarang jemaatnya menonton film atau membaca buku-buku yang mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan Alkitab. Tindakan ini seolah-olah baik, namun sayangnya, ekstrem, fanatik, dan kekanak-kanakan (childish). Di sisi lain, ada pemimpin gereja yang sudah diracuni oleh filsafat dunia berdosa di atas menerima mentah-mentah argumentasi mereka yang konyol, lalu mengajarkannya di gereja dengan mengatakan bahwa yang penting bukan Yesus menurut sejarah, melainkan Kristus menurut iman. Di antara dua sisi ekstrem, bagaimana sikap orang Kristen seharusnya? Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa ketika kita beriman kepada Kristus dan kebenaran Alkitab, itu terjadi bukan karena kita mengerti terlebih dahulu, tetapi melalui anugerah Allah (bdk. Ibr. 11:3). Namun, anugerah Allah yang memberikan iman tersebut tidak berhenti sampai di situ. Menurut bapa gereja Augustinus, iman harus mencari pengertian (credo ut intelligam), sehingga iman Kristen yang kokoh tetap harus belajar mengerti apa yang diimani dan pengertian itu semakin memperkokoh iman kita, begitu seterusnya. Pengertian akan historisitas iman Kristen inilah yang dipaparkan dengan begitu jelas, tegas, bertanggungjawab, dan Alkitabiah oleh Rev. Prof. C. Marvin Pate, Ph.D. dan istri, Sheryl L. Pate, M.A. di dalam bukunya Disalibkan oleh Media ini. Di dalam bukunya, kedua penulis membahas alur cerita dari masing-masing problem (misalnya, Jesus Seminar, The Da Vinci Code, penemuan kain kafan Turin, dll), lalu disusul dengan perdebatan yang muncul di antara mereka yang pro dan kontra dengan problem tersebut, dan diakhiri dengan analisa cermat dan teliti dari kedua penulis ini berdasarkan Alkitab dan logika Kristen yang bertanggungjawab.
Biarlah buku ini boleh menjadi berkat untuk memmperkuat iman Kristen ini agar makin mencintai Allah dan firman-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.






Profil Rev. Dr. C. Marvin Pate dan Sheryl L. Pate:
Rev. Prof. C. Marvin Pate, Ph.D. adalah Ketua Departemen Theologi Kristen dan Elma Cobb Professor of Christian Theology di Chesley and Elizabeth Pruet School of Christian Studies, Ouachita Baptist University, U.S.A. dan melayani di Caddo Valley Baptist Church. Beliau adalah anggota dari: Society of Biblical Literature dan National Association of Baptist Professors of Religion. Beliau menyelesaikan studi Diploma di Moody Bible Institute, Chicago, IL., U.S.A. pada tahun 1974; Bachelor of Arts (B.A.) di University of Illinois, Chicago, IL., U.S.A. pada tahun 1976; Master of Arts (M.A.) di Wheaton College, Wheaton, IL., U.S.A. pada tahun 1982; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) di Marquette University, Milwaukee, WI, U.S.A. pada tahun 1988. Buku-buku yang ditulis oleh beliau:
Ø “The Church,” dalam Evangelical Dictionary of Biblical Theology. Ed. Walter A. Elwell (Grand Rapids, MI: Baker Books, 1996), pp.95-98.
Ø “First and Second Corinthians,” dalam Evangelical Dictionary of Biblical Theology. Ed. Walter A. Elwell (Grand Rapids, MI: Baker Books, 1996), pp. 118-123.
Ø The Reverse of the Curse: Paul, Wisdom, and the Law. WUNT II/114, diedit oleh Martin Hengel dan Otfried Hofius (J.C.B. Mohr/Paul Siebeck, 2000)
Ø Behind the Masks: Personality Disorders in the Church. Ditulis bersama Sheryl L. Pate (Broadman and Holman, 2000).
Ø Communities Living in the Last Days: The Dead Sea Scrolls, the New Testament and the Story of Israel. (InterVarsity Press, 2000).
Ø Four Views of Revelation. Editor dan kontributor (Zondervan, 1998).
Ø Doomsday Delusions. Ditulis bersama Calvin B. Haines (InterVarsity Press, 1995).
Ø Luke: Moody Gospel Series (Moody Press, 1995).
Ø The End of the Age Has Come: The Theology of Paul (Zondervan, 1995).
Ø The Glory of Adam and the Afflictions of the Righteous: Pauline Suffering in Context (Edwin Mellen Press, 1993).
Ø Adam Christology as the Exegetical and Theological Substructure of 2 Corinthians 4:7-5:21 (University Press of America, 1991).
Ø The Story of Israel: A Biblical Theology. Editor dan kontributor (InterVarsity, October, 2004)
Ø Deliverance Now and Not Yet: The New Testament and the Great Tribulation. C. Marvin Pate dan Douglas Kennard (Baltimore, MD: Peter Lang Publisher, 2004).
Ø Iraq: Babylon of the End-Times? C. Marvin Pate dan J. Daniel Hays (Grand Rapids, MI: Baker Books, 2003).
Ø The Apocalypse: A Historical Novel. J. Daniel Hays dan C. Marvin Pate (Grand Rapids, MI: Zondervan, 2004).
Ø Crucified in the Media: Finding the Real Jesus amidst the Headlines. C. Marvin dan Sheryl L. Pate (Grand Rapids, MI: Baker, January, 2005).

Tulisan beliau baru-baru ini:
· Dictionary of Biblical Prophecy, ditulis bersama Scott Duvall dan Danny Hays, Zondervan
· Introduction to Johannine Literature, Zondervan

Sheryl L. Pate, M.A.
adalah seorang penulis buku-buku laris yang meraih gelar Bachelor of Arts (B.A.) dan Master of Arts (M.A.) dalam bidang pendidikan dari Concordia University. Beliau mengajarkan pembuatan catatan harian dan mengajar kelas-kelas di Pusat Keluarga dan Masyarat Ben M. Elrod di Ouachita Baptist University dan telah memberikan banyak presentasi mengenai manfaat dokumentasi pengalaman hidup seseorang melalui tulisan. Beliau dan suaminya telah menggembalakan sepuluh gereja sepanjang pernikahan mereka yang telah berlangsung hampir 30 tahun. Buku pertama yang mereka tulis bersama-sama adalah Behind the Masks: Personality Disorders in the Church (Broadman & Holman).

Roma 14:7-9: KONSEP MENGHAKIMI-3: Alasan Jangan Menghakimi-2

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-16


Konsep Menghakimi-3: Alasan Jangan Menghakimi-2

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 14:7-9.



Setelah mengatakan bahwa perbedaan hal-hal sekunder di dalam Kekristenan itu tidak perlu diributkan dengan alasan masing-masing orang mempertanggungjawabkan dan melakukannya di hadapan dan untuk Tuhan, maka Paulus menjelaskan alasan di balik alasan tersebut yaitu kita hidup untuk Tuhan karena Tuhan sudah berkorban bagi kita. Alasan di balik alasan ini dijelaskan Paulus di ayat 7 s/d 9.


Orang yang makan segala jenis makanan atau yang tidak makan semuanya tetap melakukannya demi Tuhan karena mengucap syukur kepada-Nya, mengapa? Paulus menjelaskannya di ayat 7, “Sebab tidak ada seorangpun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorangpun yang mati untuk dirinya sendiri.” Jelas sekali, kita melakukan segala sesuatu untuk Tuhan, karena kita tidak hidup dan tidak mati bagi diri kita sendiri. Orang yang hidup dan mati hanya bagi diri sendiri adalah orang yang menghambur-hamburkan uang demi kenikmatannya sendiri. Dia akan cuek dengan hidup dan matinya termasuk hidup dan matinya orang lain. Baginya, hidup adalah kenikmatan, sehingga perlu dinikmati. Itulah kesia-siaan hidup manusia di luar Tuhan. Manusia dunia sering kali merasa bahwa hidup bersama Tuhan itu tersiksa, karena banyak larangannya, tetapi mereka tidak sadar bahwa larangan-larangan itulah yang menyelamatkan kita dari kebinasaan hidup. Dan lagi, bukan hanya larangan, justru di dalam pemeliharaan Allah, hidup kita terjamin dan aman (meskipun tidak tentu berarti lancar dan sukses). Oleh karena itu, di ayat ini, Paulus mengingatkan kita sekali lagi untuk melakukan apa pun sambil bersyukur kepada Allah, karena kita sebagai anak-anak-Nya tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri dan mati untuk diri sendiri. Orang Kristen yang mengaku diri “Kristen,” tetapi masih hidup untuk diri sendiri, segeralah bertobat. Apa tanda orang “Kristen” yang masih hidup untuk diri sendiri? Orang “Kristen” tersebut secara fenomena mungkin aktif melayani di gereja, tetapi realitasnya adalah mereka masih hidup berpusat pada kenikmatan diri, bekerja untuk diri/uang, menuntut orang lain untuk melayani dan memperhatikan dirinya yang “hebat dan pandai”, suka mengkompromikan dosa jika berada di luar gereja, dll. Semua hal ini membuktikan dia belum pernah sungguh-sungguh mengikut Kristus. Orang Kristen yang masih suka memikirkan untung ruginya jika mengerjakan segala sesuatu, berhati-hatilah, mungkin dia adalah anak setan yang masih indekos di gereja yang masih hidup untuk diri sendiri. Jika kita masih demikian, hari ini, segeralah bertobat, bukalah hatimu dikoreksi dan dipimpin Roh Kudus agar hidup kita makin serupa Kristus, Kakak Sulung kita.


Bukan hanya kita tidak lagi hidup dan mati untuk diri kita sendiri, Paulus mengingatkan di ayat 8, “Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.” Di ayat ini, Paulus lebih tajam melihat fokus hidup anak Tuhan dan alasan di balik alasan agar kita tidak menghakimi saudara kita dalam hal-hal SEKUNDER, yaitu hidup dan mati kita adalah untuk Tuhan, karena kita adalah milik-Nya. Di sini, Paulus memaparkan dua hal yang bisa kita pelajari, yaitu:
Pertama, kita adalah milik Tuhan. King James Version (KJV), New King James Version (NKJV), Modern King James Version (MKJV), Literal Translation of the Holy Bible (LITV), Revised Version (RV), 1833 Webster Bible, 1898 Young’s Literal Translation (YLT), Analytical-Literal Translation (ALT), 1901 American Standard Version (ASV), 1965 Bible in Basic English (BBE), dan English Standard Version (ESV) menerjemahkannya, “we are the Lord’s.” (kita adalah milik Tuhan) International Standard Version (ISV) dan New International Version (NIV) menerjemahkannya, “we belong to the Lord.” (kita milik Tuhan) James Murdock New Testament menerjemahkannya, “we are our Lord’s.” (kita adalah milik Tuhan kita) Kata “Tuhan” dalam ayat ini dalam bahasa Yunaninya kurios merujuk kepada God, Lord, master, etc (Allah, Tuhan, tuan, dll) yang menunjukkan suatu supremasi di dalam otoritas. Ketika dipergunakan di dalam ayat ini, jelas berarti Tuhan itu berotoritas dan berkuasa dalam alam semesta ini bahkan manusia yang diciptakan-Nya. Realitas yang terjadi adalah beberapa manusia yang telah Ia pilih dan tebus di dalam Kristus sekarang menjadi milik-Nya. Menjadi milik Tuhan adalah suatu hak istimewa (privilege). Mengapa? Karena menjadi milik Tuhan berarti identik dengan menjadi anak-anak-Nya yang memiliki hubungan intim dengan Bapa. Bayangkan jika Anda adalah anak raja, Anda akan mendapat hak istimewa, meskipun tentu juga berarti Anda harus menjalankan apa yang ayah Anda kerjakan dan teruskan kepada Anda. Begitu juga dengan kita sebagai milik-Nya dan tentu juga anak-Nya. Kita adalah ahli waris perjanjian-Nya (Rm. 8:17). Sebagai ahli waris perjanjian-Nya, kita tidak hidup enak-enakan, tetapi kita hidup menjadi saksi terang Kristus, supaya orang di sekitar kita melihat kita dan memuliakan Allah Bapa (Mat. 5:16). Ketika kita dituntut oleh Allah untuk menjadi terang Kristus, masa kita meributkan hal-hal SEKUNDER? Jika sesama Kristen saling ribut untuk hal-hal SEKUNDER yang tidak berguna (seperti: cara baptisan, dll), lalu bagaimana reaksi orang non-Kristen melihat hal ini? Bukankah mereka malah takut untuk menjadi Kristen dan nama Tuhan dihina? Hal ini TIDAK berarti kita tidak usah belajar doktrin. Doktrin itu penting, karena itu memimpin kita belajar dan mengerti firman-Nya, dan tentunya melindungi kita dari serangan ajaran sesat. Tetapi yang perlu kita perhatikan adalah sampai di mana doktrin itu “mendarat” di dalam hidup kita sehari-hari, bukan sebagai ajang debat theologi. Doktrin yang tidak disertai dengan spiritualitas yang dewasa dan pengalaman rohani bersama Tuhan yang nyata adalah doktrin yang sia-sia dan kering. Biarlah doktrin Kristen yang sehat dan bertanggungjawab diimplikasi di dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya di dalam spiritualitas dan pengalaman rohani kita bersama Tuhan.

Kedua, hidup dan mati untuk Tuhan. Kita sering kali terlena dengan status kita sebagai milik/anak Tuhan. Kita pikir sebagai “anak Tuhan,” kita mengalami banyak mujizat, kesuksesan, kelancaran, kesembuhan, dll. Itu yang didengungkan di banyak gereja kontemporer. Mereka pikir bahwa menjadi anak Tuhan berarti bebas dari masalah. TIDAK! Paulus mengingatkan kita agar kita TIDAK terlena dengan status kita caranya dengan mengajarkan tanggung jawab kita sebagai milik-Nya yaitu hidup dan mati untuk Tuhan. Apa artinya? Paulus di dalam suratnya kepada jemaat di Filipi menyatakan hal ini, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” (Flp. 1:21) Kepada jemaat di Galatia, ia mengajarkan hal ini, “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Gal. 2:20) Hidup dan mati untuk Tuhan berarti:
Pertama, hidup kita difokuskan hanya kepada Kristus (Solus Christus). Hidup yang berfokus kepada Kristus adalah hidup yang menjadikan Kristus sebagai Tuhan dan Raja di dalam hidup kita. Hanya Kristus yang bertakhta di hati kita. Mungkin ini sulit bagi kita khususnya yang sedang jatuh cinta atau berpacaran. Bagi kita (pria atau wanita) yang sedang jatuh cinta, bukan Kristus yang ada di hati kita, tetapi wanita atau pria yang kita cintailah yang ada di hati kita. Bahkan kita sampai mengatakan bahwa tanpanya, kita tidak bisa hidup. Perkataan ini sangat berbahaya karena sudah menggantikan posisi Kristus di hati dan hidup kita. Biarlah kita waspada akan hal ini. Jangan pernah menggeser Kristus dari takhta-Nya di hati kita. Biarlah kita belajar dari syair lagu rohani kontemporer dari judul “Tempat Pertama”, “Nama-Mu selalu ada di tempat pertama di hatiku dan selalu menjadi yang utama di hidupku. Di mana pun ku berada, tak pernah berubah. Nama-Mu selalu berada di tempat pertama.” Lalu, bagaimana kita bisa menjadikan Kristus sebagai Tuhan dan Raja dalam hati dan hidup kita? Caranya adalah menyesuaikan kehendak kita dengan kehendak-Nya. Bagaimana caranya menyesuaikan kehendak kita dengan kehendak-Nya yang pasti bertolak belakang? Seorang hamba Tuhan dari gereja Karismatik bernama Indri Gautama pernah mengatakan bahwa kita harus mematikan kehendak/keinginan hati kita. Ya, kita bisa menyesuaikan kehendak kita dengan kehendak-Nya dengan cara mematikan kehendak kita. Mematikan kehendak kita bukan berarti kita tidak lagi memiliki kehendak sama sekali, tetapi mematikan kehendak berarti mengatakan TIDAK kepada setiap kehendak kita yang terbatas dan sebaliknya, selalu mengatakan YA kepada kehendak Tuhan yang kekal dan berotoritas. Jika kita terus mengutamakan kehendak Tuhan, apakah kita masih memiliki waktu untuk meributkan hal-hal SEKUNDER? Yang sering terjadi adalah kebalikan. Kita masih bisa meributkan hal-hal SEKUNDER, karena kita mengatakan TIDAK kepada kehendak Tuhan, dan YA kepada kehendak diri, sehingga apa pun yang tidak sesuai dengan kehendak kita, kita bisa marah-marah, bahkan tidak sedikit “hamba Tuhan” yang melakukan hal ini. Biarlah kita baik sebagai jemaat Tuhan dan hamba-Nya diingatkan agar tidak terlalu mengurusi hal-hal yang tidak perlu (SEKUNDER) dan utamakan kehendak Tuhan di atas kehendak (baca: nafsu) pribadi. Bertobatlah selama Tuhan masih memberi kita kesempatan.
Kedua, hidup menjalankan kehendak Tuhan. Hidup Kristen bukan hanya berfokus kepada Kristus, tetapi hidup menjalankan kehendak Tuhan. Kita bukan hanya mengenal kehendak-Nya, tetapi juga menjalankan apa yang Tuhan kehendaki. Ibu Indri Gautama kembali mengutip pernyataan seorang hamba Tuhan luar negeri yang mengatakan, “To know the will of God is the greatest knowledge and to do the will of God is the greatest achievement.” (Mengenal/mengetahui kehendak Allah adalah pengetahuan terbesar dan melakukan kehendak Allah adalah pencapaian terbesar.) Di sini, kita belajar bahwa pengetahuan tentang kehendak Allah bukan hanya di wilayah rasio saja, tetapi harus kita aplikasikan. Sayang, banyak orang yang mengaku diri “Kristen” suka mendengarkan khotbah-khotbah yang bagus, tetapi isi khotbah itu tidak pernah mereka aplikasikan. Mereka bisa menyetujui isi khotbah tersebut yang mengatakan bahwa kita harus menjalankan kehendak Tuhan, tetapi kenyataannya kita TIDAK pernah bahkan TIDAK akan pernah mau menjalankan kehendak Tuhan. Mungkin sekali secara theologi, orang itu Reformed (berpusat pada kedaulatan Allah), tetapi secara kehidupan sehari-hari, orang itu Arminian (berpusat pada kehendak bebas manusia) bahkan atheis praktis yang menganggap bahwa Tuhan hanya ada di gereja, dan tidak berkuasa apa pun di luar gereja (termasuk ilmu pengetahuan). Itu adalah dualisme di dalam pribadi seorang yang mengaku diri “Kristen.” Jika kita masih berlaku demikian, hari ini, izinkanlah saya menegur Anda, bertobatlah, buka hatimu, terimalah Roh Kudus menegur dan memimpin Anda untuk hidup hanya menjalankan kehendak Allah.
Bagaimana menjalankan kehendak Tuhan? Tidak ada langkah-langkah praktis agar kita bisa menjalankan kehendak Allah. Hanya satu hal yang bisa kita lakukan, yaitu: TAAT. Ketika Tuhan memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu, kita hanya taat. Lalu, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa Tuhan memerintahkan kita? Tidak ada jalan lain, kecuali kita harus terlebih dahulu membina hubungan yang intim dengan Tuhan sehari-hari. Saya melihat ada orang Kristen yang tidak pernah bergumul dengan Tuhan, lalu tiba-tiba ketika ada masalah baik dalam pekerjaan ataupun pasangan hidup, tiba-tiba, ia bergumul, berdoa puasa, dll selama seminggu bahkan sebulan. Ini tidak benar. Kalau kita sehari-hari tidak pernah berelasi dengan Tuhan baik dalam saat teduh, berdoa, dll, kita tidak mungkin bisa mengetahui kehendak Tuhan, apalagi menjalankan kehendak Tuhan itu. Baiklah kita berelasi dengan-Nya setiap hari, supaya kita mengerti apa yang Tuhan mau dan kita menjalankannya. Di dalam menjalankan kehendak Tuhan, kita harus siap menerima risiko apa pun bahkan yang pahit sekalipun. Ingat, dunia tidak akan pernah bersahabat dengan orang-orang yang hatinya untuk Tuhan apalagi menjalankan kehendak Tuhan. Ketika kita sudah berkomitmen menyerahkan hati kita untuk Tuhan dan menjalankan kehendak-Nya, bersiap-siaplah menghadapi serangan dunia yang kejam. Kita bisa menerima perlakuan tidak adil, seperti: difitnah, dibunuh secara psikologis (dihina), dll. Itu adalah perlakuan yang wajar yang harus kita terima, karena dunia kita sudah dikuasai setan dan kroni-kroninya. Masalahnya adalah di dalam penderitaan itu, masihkah kita berkomitmen menjalankan kehendak Tuhan? Atau kita rela mengkompromikan kehendak Tuhan agar kita lebih diterima orang dunia? Biarlah kita mengintrospeksi diri kita masing-masing. Ketika kita mau menjalankan kehendak Tuhan, di saat itulah, kita tidak lagi meributkan hal-hal SEKUNDER, karena kita berfokus hanya taat menjalankan apa yang Tuhan percayakan kepada kita (bukan kepada orang lain). Ini tidak berarti kita cuek dengan orang lain. Kita boleh memperhatikan orang lain, terutama dalam hal ajaran yang tidak benar, tetapi satu hal yang harus kita ingat, kita tidak boleh menghakiminya tanpa dasar dan memusuhinya.


Mengapa kita bisa memiliki komitmen untuk hidup dan mati hanya untuk Tuhan? Apakah pendeta yang menyogok kita? TIDAK. Alasannya dipaparkan Paulus di ayat 9, “Sebab untuk itulah Kristus telah mati dan hidup kembali, supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati, maupun atas orang-orang hidup.” Kita bisa hidup dan mati untuk Tuhan karena Tuhan telah mati dan hidup bagi umat-Nya. Ayat ini unik karena membalik urutan “hidup dan mati” dari ayat 8. Di ayat 8, Paulus menyebutkan “hidup dan mati”, sedangkan di ayat 9, Paulus menyebutkan bahwa Kristus telah mati dan hidup. Dengan kata lain, Kristus yang telah mati dan hidup kembali telah menghidupkan kita yang mati, sehingga kita yang dahulu mati bisa hidup dan mati demi Dia. Kematian dan kebangkitan Kristus memberikan jaminan kepada umat-Nya bahwa kita bisa hidup kekal bersama-Nya. Bukan hanya hidup kekal di sorga, kita pun akan menikmati indahnya hidup bersama Tuhan ketika kita hidup di dunia yang rusak dan gelap ini. Ini adalah sukacita terbesar umat Tuhan. Sukacita ini yang mengakibatkan umat-Nya memiliki kepastian iman menjalani hidup hari demi hari, mengapa? Karena, seperti syair refrein lagu rohani yang berjudul “S’bab Dia Hidup”, “S’bab Dia hidup, ada hari esok. S’bab Dia hidup, ku tak gentar, karna ku tahu Dia pegang hari esok. Hidup jadi berarti s’bab Yesus hidup.” Sudahkah kita mengalami kemenangan Kristus tersebut di tengah penderitaan yang harus kita hadapi? Biarlah ini menguatkan kita ketika kita mengalami penderitaan hidup.

Bukan hanya kematian dan kematian Kristus saja yang membuat kita bisa hidup dan mati hanya untuk Tuhan, Paulus mengatakan bahwa Kristuslah yang menjadi Tuhan atas umat-Nya yang mati dan hidup itulah yang lebih menguatkan kita. Ketika Kristus menjadi Tuhan bagi umat-Nya, di situ ada pemeliharaan yang luar biasa dahsyat. Ia yang memilih kita sebelum dunia dijadikan, Ia pula yang menebus kita melalui karya Kristus di salib. Ia yang menebus kita, Ia pulalah yang memimpin hidup kita hari lepas hari sampai hari kedatangan Kristus yang kedua kalinya untuk menjemput kita. Inilah providensi (pemeliharaan) Allah bagi umat-Nya dan inilah yang sesungguhnya menguatkan kita. Ia adalah Tuhan sekaligus Sahabat kita yang terdekat. Setiap kita menghadapi penderitaan, Kristus menjadi pendamping hidup kita menguatkan iman kita. Alamilah setiap jamahan Tuhan tersebut di dalam hati kita.


Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita berkomitmen benar-benar menyerahkan hati dan hidup kita hanya untuk Tuhan saja? Jangan sekali-kali menomerduakan Tuhan. Utamakan dan akuilah Dia di dalam segala kehidupan kita, itulah arti percaya di dalam Dia (Ams. 3:5-7). Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 13:53-58: RESPONSE TO THE KINGDOM (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 20 Mei 2007

Response to the Kingdom

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 13:53-58


Pada bagian terakhir tentang hal Kerajaan Sorga, Tuhan Yesus tidak lagi mengajar menggunakan perumpamaan tetapi Tuhan Yesus membukakan akan kondisi riil dan bagaimana seharusnya orang berespon terhadap Kerajaan Sorga. Penduduk Nazaret harusnya sangat bersyukur atas anugerah besar sebab Tuhan Yesus, Sang Kebenaran itu sendiri datang dan mengajar dengan penuh hikmat dan kuasa yang luar biasa bahkan dicatat mereka sangat takjub namun ironisnya, mereka menolak Yesus karena mereka mengenal orang tua dan semua saudara Yesus. Sungguh tak habis pikir, setelah mereka dibuat takjub oleh perbuatan dan pengajaran Tuhan Yesus, tiba-tiba pikiran mereka langsung tertutup; kuasa kebenaran dan berita firman dikalahkan oleh pengenalan mereka terhadap diri Yesus yang hanya seorang anak tukang kayu yang miskin. Pikiran mereka telah dikuasai sedemikian oleh pikiran berdosa dan sebagai kesimpulan mereka kecewa lalu menolak Tuhan Tesus. Sangatlah menyedihkan, hal ini sekaligus menjadi evaluasi bagi kita. Perhatikan, pandangan kita terhadap sesuatu sangatlah menentukan reaksi dan respon kita.
Ketika orang Yahudi melihat Kristus dari aspek Kerajaan Sorga – Yesus adalah Allah yang berinkarnasi, Sang Raja dan Dia telah membuktikan siapa diri-Nya dengan pengajaran-Nya dan kuasa mujizat yang dahsyat, mereka sangat takjub namun semua kekaguman ini langsung hilang setelah mereka melihat dari aspek kerajaan dunia – Yesus tidak lebih hanya seorang anak tukang kayu. Pastilah respon dan pandangan orang Yahudi akan diri Yesus menjadi berbeda kalau seandainya Tuhan Yesus itu anak dari seorang raja besar seperti Herodes; mereka akan menghormati Dia. Inilah jiwa manusia berdosa. Mata manusia menilai segala sesuatu dari sudut pandang dunia seperti status, kekayaan, jabatan sehingga orang sulit melihat misi Kerajaan Sorga akibatnya orang menjadi kecewa. Keadaan inilah yang terjadi saat ini karena apa yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan sehingga muncul penolakan dan perlawanan dalam diri. Seandainya, orang Yahudi dapat melihat setitik saja dari sudut pandang Allah bahwa secara kapasitas, Yesus anak tukang kayu ini berbeda dibandingkan dengan orang lain – hanya Mesias yang sanggup melakukan kuasa mujizat dan hanya Allah saja yang mempunyai hikmat maka reaksi dan respon mereka pasti berbeda, orang akan semakin menyembah Dia karena Dia adalah Raja atas segala raja. Namun sayang, pikiran mereka telah dikunci oleh sekularisme yang materialistik akibatnya orang tidak dapat melihat hal spiritual, orang tidak dapat melihat apa yang menjadi rencana dan maksud Allah atas hidup mereka. Hendaklah kita mengevaluasi diri kita, seberapa jauhkah dalam kehidupan kita melihat Kristus bekerja dalam setiap momen?
Orang Yahudi adalah orang yang sangat pandai, mereka menguasai segala bidang namun terbukti, kepandaian bukanlah hal yang utama untuk orang dapat memahami tentang hal Kerajaan Sorga. Merupakan kesalahan fatal, orang melakukan analisa dan langsung menarik kesimpulan padahal kesimpulan tersebut belum tentu benar namun toh orang tidak mau dikoreksi atau mengevaluasi diri melihat kebelakang. Mind set atau pemikiran itu telah terbentuk sedemikian rupa, pemikiran mereka telah dicemari oleh dosa sehingga sulit untuk diubahkan dan hal ini menjadi titik awal dari kehancurannya. Orang tidak pernah bertanya kenapa muncul pemikiran seperti itu? Orang tidak pernah berpikir apakah pemikirannya itu benar atau salah?
Perhatikan, orang boleh saja pandai tetapi kalau cara berpikir mereka salah maka hasil akhirnya pun salah, semua keputusan bersifat dosa dan licik. Jadi, titik permasalahan bukan pada kepandaian seseorang. Ingat, dunia tidak membutuhkan orang pandai tetapi dunia membutuhkan orang bijaksana yang berhikmat. Orang bijak adalah orang yang dapat melihat segala sesuatu, point of view dengan tepat lalu memperbandingkan semua aspek dan mengambil keputusan sesuai dengan kehendak Tuhan. Betapa bahagia kalau kita bisa menjadi murid dan duduk di bawah orang bijak, kita ikut merasakan bagaimana Tuhan bekerja dan pimpinan Tuhan atas dirinya. Sangatlah disayangkan, orang Yahudi yang pandai itu apalagi mereka dekat dengan Tuhan Yesus harusnya memiliki kapasitas yang memungkinkan untuk mereka dapat mengambil keputusan dengan tepat namun pengajaran Tuhan Yesus yang bijaksana itu malah ditanggapi dengan kepandaian mereka akibatnya keputusan yang diambil berakibat fatal.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana menegakkan Kerajaan Sorga di dunia?
Pertama, Jangan menggarap Kerajaan Sorga memakai struktur duniawi yang mengandalkan connectivity atau relasi. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa hidup di dunia membutuhkan relasi namun di sisi lain, Alkitab juga mencatat banyak orang percaya kepada Yesus, Dia dihormati oleh banyak orang tetapi Dia tidak mempercayakan diri kepada siapapun karena Dia tahu, siapa mereka (Yoh. ). Disini diungkapkan tentang konsep relasi yang sangat penting. Ingat, Kerajaan Sorga berbeda dengan kerajaan dunia karena itu, hati-hati, jangan terjebak dalam format dunia ketika Kerajaan Sorga ditegakkan di dunia. Kerajaan Sorga itu berada di atas relasi, Kerajaan Sorga itu menjadi inti untuk membangun relasi bukan sebaliknya, relasi yang dibangun dan Kerajaan Sorga mengikut dibelakangnya. Hal inilah yang terjadi hari itu, orang hanya melihat Yesus sebatas hubungan relasi antar manusia – Yesus yang mereka kenal sebagai anak tukang kayu yang miskin.
Hari ini, dunia modern telah dipengaruhi oleh filsafat posmodern menegakkan networking atau community yang dikenal sebagai sebagai kesatuan gereja atau oikumene (berasal dari bahasa Yunani, oikos berarti rumah dan nomos). Salah satu ajarannya adalah karena berasal dari satu tempat yang sama maka pemberitaan firman tidak boleh menyinggung komunitas atau aliran gereja yang lain. Perhatikan, kalau benar kita berdiri di atas firman yang adalah kebenaran sejati maka ketika firman diberitakan, harus ada koreksi terhadap pikiran yang salah. Kebenaran firman harusnya menjadi yang utama dan berada di atas semua ajaran yang berkembang, ini dinamakan dengan interdenominasi. Kerajaan Sorga harus berada di atas komunitas. Hari ini yang dilakukan oleh orang-orang oikumene adalah meletakkan komunitas di atas Kerajaan Sorga, komunitas mencengkeram Kerajaan Sorga sedemikian rupa. Tanpa sadar, Kekristenan telah dirusak oleh semangat posmodern yang melanda gereja hari ini.
Kota Nazaret merupakan tempat dimana Tuhan Yesus dibesarkan dan seharusnya menjadi komunitas terdekat-Nya namun hal ini sekaligus sangat berbahaya sebab orang-orang terdekat ini, yakni orang tua dan saudara Tuhan Yesus akan menuntut dan memperlakukan Tuhan Yesus layaknya anak dan saudara mereka. Sejak awal, Tuhan Yesus telah menetapkan bahwa Dia adalah Tuhan dan Raja atas Kerajaan Sorga. Bukanlah hal yang salah kalau kita mempunyai banyak relasi tetapi titik persoalan adalah kalau semua relasi itu mengunci Kerajaan Sorga maka itu menjadikan kita berdosa sebab hal ini bukan sekedar urusan komunitas biasa tetapi lebih tepatnya adalah antara Kerajaan Sorga dan kerajaan dunia dan mana yang harus lebih utama di antara keduanya? Ingat, komunitas bukanlah sandaran atau landasan dari misi Kerajaan Sorga. Kerajaan Sorga harus berada di atas komunitas.
Kedua, Kristus mengajar dengan penuh hikmat dan bijaksana, ini berarti unsur intelektualitas, unsur bijaksana sangat penting dalam mengambil keputusan. Adalah pendapat yang salah kalau orang beranggapan bahwa berita yang disampaikan dengan bijaksana tertinggi akan menjadikan orang bertobat. Tidak! Alkitab membukakan bijaksana yang tajam dan hikmat yang luar biasa yang diberitakan oleh Tuhan Yesus namun justru ditolak karena orang beranggapan kebenaran itu bertentangan dengan konsep berpikir mereka. Kerajaan Sorga dalam penyebarannya ternyata tidaklah seperti yang manusia pikirkan. Perhatikan, pertama kali ketika Kerajaan Sorga diberitakan maka semua benih firman yang ditebarkan adalah benih yang baik. Letak permasalahannya bukan pada benihnya tetapi tempat dimana benih itu jatuh.
Persoalan Kerajaan Sorga ternyata tidaklah sesederhana yang kita pikirkan – bukan sekedar intelektualitas. Dan hal ini baru disadari oleh Calvin yang menegakkan Institute of Christian Religion didalamnya berisi pengajaran yang komprehensif dan teratur. Ternyata, setelah mendapat pengajaran yang begitu ketat tidak menjadikan orang bertobat; orang justru menolak dan melawan kebenaran. Jadi, jelaslah bahwa reformed is not matter of teaching. Hanya anugerah semata kalau kita dapat mengerti tentang hal Kerajaan Sorga dan kita dapat menjadi warga Kerajaan Sorga. Semua itu bukan karena kehebatan atau kepandaian atau kekayaan kita. Tidak! Pengajaran sehebat apapun bahkan Tuhan Yesus, Sang Kebenaran yang mengajarkan tidak menjadikan mereka bertobat, mereka malah melawan dan menolak kebenaran. Karena sekalipun melihat, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar dan tidak mengerti.
Kalau kita diberikan anugerah kita dapat memahami rahasia Kerajaan Sorga, menyadari dosa, mengerti kebenaran firman dan kita bertobat maka hal ini harusnya menjadikan kita bersyukur senantiasa. Karena Allah mencintai kita sehingga Dia beranugerah pada kita, manusia berdosa yang seringkali menyakiti hati Tuhan yang seharusnya dibuang namun Tuhan masih berkenan menyelamatkannya. Ingat, Kerajaan Sorga sekedar kekuatan intelektualitas atau ketrampilan kita memaparkannya.
Ketiga, Kerajaan Sorga bukan ditegakkan di atas mujizat. Perhatikan, mujizat dahsyat yang dilakukan oleh Tuhan Yesus tidak menjadikan orang bertobat. Dunia hanya ingin mujizat saja, mereka tidak mau Kristus Sang Raja, dunia hanya ingin hasil dari Kerajaan Sorga itu, yakni kekayaan, kesembuhan dan berkat-berkat jasmani. Ketika orang menolak Kristus, disitu Tuhan Yesus tidak melakukan mujizat. Mujizat itu bukan untuk menarik orang supaya bertobat; mujizat bukan untuk membuat orang jadi tertarik dan mengikut Tuhan Yesus. Tidak! Mujizat itu dimaksudkan supaya orang tahu Tuhan Yesus yang membuat mujizat itu lalu tunduk kepada-Nya? Dunia hanya ingin sesuatu yang supranatural sesuatu yang mengenyangkan aspek duniawi. Berbeda halnya dengan Kerajaan Sorga, mujizat itu dimaksudkan supaya kita dapat melihat Kristus Sang Raja yang memerintah dan berkuasa.
Kerajaan dunia hanya ingin memanipulasi seluruh pekerjaan mujizat Allah untuk kepentingan kehidupan kedagingan yang bersifat sekular. Tentang hal ini dipaparkan dalam Injil Yohanes pasalnya yang ke-5 dan ke-6, Tuhan Yesus melakukan mujizat yang paling besar, yakni memberi makan lebih dari 5000 orang dengan 5 roti dan 2 ikan. Alkitab mencatat, setelah mereka dikenyangkan, orang banyak itu ingin menjadikan Kristus sebagai raja dan Tuhan Yesus tahu apa yang menjadi tujuan mereka tersebut maka Tuhan Yesus menegur dengan keras. Pada pasal berikutnya, Tuhan Yesus mulai mengajar tentang Roti Hidup dan orang banyak yang tadinya mau menjadikan Dia sebagai raja, satu per satu mulai pergi meninggalkan Dia. Hal ini membuktikan iman seperti apa yang mereka miliki. Gejala semacam ini sampai hari ini masih tetap sama, orang mengaku Kristen tetapi sesungguhnya, iman mereka palsu – mereka hanya ingin mendapatkan kuasa dan berkat mujizat demi memenuhi keinginan daging maka tidaklah heran ketika orang mengalami penderitaan dan tantangan, mereka langsung meninggalkan Tuhan. Orang tidak mau taat dan tunduk mutlak pada Kristus Sang Raja. Pertanyaan sekaligus evaluasi bagi kita, apa artinya mujizat bagi kita?
Ingat, mujizat bukan untuk kepentingan manusia. Mujizat untuk menyatakan siapa Kristus yang sesungguhnya, apa itu Kerajaan Sorga maka ketika manusia menolak Kristus Sang Raja, Tuhan Yesus pun tidak melakukan mujizat. Sungguh sangatlah memprihatinkan, hari ini orang yang mendapatkan mujizat justru begitu egoisnya seolah-olah dirinya yang paling beriman diantara semua orang lain. Salah! Kalau Tuhan berkenan memberikan mujizat pada seseorang, sesungguhnya itu bukan karena kita beriman atau karena Tuhan lebih mengasihi kita tetapi lebih tepatnya karena Tuhan kasihan pada kita karena kita lemah iman, Tuhan tahu kita tidak mampu menghadapi tantangan sehingga ia memberikan mujizat pada kita. Sebaliknya, orang yang beriman sejati seperti Ayub misalnya terkadang Tuhan sengaja membawa mereka masuk dalam berbagai-bagai ujian – Tuhan sedang membentuk dia dan menjadikan lebih indah.
Hati-hati dengan akal licik iblis yang memutarbalikkan kebenaran – orang dikatakan baik ketika ia memenuhi dan memuaskan keinginan atau ego kita. Sebaliknya, ketika ego kita ditegur maka kita langsung mengatai dia sebagai orang jahat. Egois itu sendiri merupakan kejahatan dan ironisnya, ketika kejahatan memenuhi kejahatan maka ia dikatakan baik, sebaliknya orang yang menegur egois diri dikatakan jahat. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ada kebaikan sejati di dunia ini? Adakah kebaikan yang tidak tergantung pada obyek atau subyek? Aristotle, seorang yang bukan Kristen menyadari akah hal ini maka ia pun mulai memikirkan akan arti kebaikan sejati dan ia pun menyimpulkan bahwa kebaikan sejati haruslah baik yang secara esensi baik, berasal dalam dirinya sendiri dan perbuatan baik itu yang dilakukan untuk kebaikan dan motivasinya kembali untuk kebaikan itu sendiri.
Hendaklah kita sadar setiap saat dalam hidup kita, Tuhan membuat mujizat; setiap detik yang kita lewati merupakan mujizat. Kalau pekerjaan Allah dapat dikerjakan dan digenapkan di tengah dunia ini maka itu merupakan mujizat namun orang tidak merasakan hal ini sebagai mujizat karena mujizat itu tidak memenuhi egois diri. Ingat, Tuhan sudah melakukan mujizat besar dalam hidup kita, yaitu keselamatan jiwa kita. Kalau kita bisa mengaku dosa dan bertobat, kembali pada Tuhan maka itu merupakan mujizat terbesar dalam hidup kita. Cara kerja dan cara berpikir Kerajaan Sorga itu berbeda dengan kerajaan dunia.
Puji Tuhan, hari ini kita telah merenungkan secara keseluruhan dan utuh tentang misi Kerajaan Sorga, the mission of the Kingdom mulai dari Kerajaan itu dibangun, berdirinya, meluasnya sampai seluruh kekayaan nilai yang terkandung di dalamnya hingga bagaimana kita harus berespon maka kiranya hal ini mengubahkan konsep berpikir kita dengan demikian kita dapat dipakai menjadi saksi bagi-Nya. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)



Sumber:
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2007/20070520.htm

22 March 2009

Roma 14:4-6: KONSEP MENGHAKIMI-2: Alasan Jangan Menghakimi-1

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-15


Konsep Menghakimi-2: Alasan Jangan Menghakimi-1

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 14:4-6.



Setelah membahas mengenai dasar untuk jangan menghakimi di ayat 1-3, maka Paulus melanjutkan mengapa kita tidak boleh menghakimi hal-hal yang sekunder. Alasan ini akan kita uraikan dalam tiga bagian, di mana bagian pertama ini, kita akan membahas ayat 4-6.

Di ayat 4, Paulus mengingatkan alasan jemaat Roma untuk tidak menghakimi hal-hal yang sekunder, yaitu, “Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri. Tetapi ia akan tetap berdiri, karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri.” Di ayat ini, Paulus mengatakan, “Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain?” Mengapa Paulus tidak mengatakan, “..., sehingga kamu menghakimi orang lain?” Apa signifikansi kata “hamba” di ayat ini? Kata Yunani yang dipakai untuk “hamba” bukan doulos, tetapi oiketēs yang bisa diartikan (household) servant (atau pembantu rumah tangga) Dengan kata lain, kita mendapatkan gambaran bahwa setiap orang dihubungkan dengan tuan yang memilikinya. Ambil contoh, bos X tidak bertanggungjawab atas karyawan bos Y, karena karyawan bos Y harus bertanggungjawab terhadap bos Y, bukan kepada bos X. Begitu juga dengan Allah kita. Allah memelihara setiap umat-Nya. Pemeliharaan umat-Nya ini digambarkan Paulus dengan kata “berdiri” dan “jatuh.” Seorang penafsir menafsirkan “berdiri” sebagai seorang yang melayani Tuhan, sedangkan “jatuh” sebagai orang yang telah keluar dari anugerah Allah. Dengan kata lain, di dalam kedaulatan-Nya, Ia membiarkan seseorang melayani-Nya (di dalam anugerah-Nya), di sisi lain, Ia juga membiarkan orang-orang tertentu keluar dari anugerah-Nya (reprobasi/tertolak). Siapa pun orang yang dipilih Allah untuk menjadi anak-Nya atau bukan itu tergantung pada kedaulatan Allah dan kita tidak punya wewenang untuk menghakimi seseorang sebagai orang yang tidak dipilih Allah hanya gara-gara orang lain tidak menganut doktrin seperti yang kita anut (doktrin sekunder). Bagaimana dengan kita? Kita terkadang terlalu mudah menghakimi orang lain bahkan gereja lain yang berbeda doktrin dalam hal-hal SEKUNDER. Bukan hanya menghakimi, kita dengan mudahnya menjatuhkan lagnat, fitnahan, bahkan kutukan kepada mereka yang tidak setuju dengan pemikiran kita. Ambil contoh, gereja-gereja tertentu langsung mengatakan bahwa baptisan bayi dan percik itu tidak “Alkitabiah,” hanya gara-gara gerejanya menjalankan penyerahan anak dan baptisan selam. Hal-hal sekunder ini biarlah tidak memancing perdebatan tanpa arah yang jelas. Sebisa mungkin, belajarlah untuk menerima ajaran gereja lain dalam hal-hal SEKUNDER. Jika dimungkinkan, marilah kita sama-sama belajar dari Alkitab tentang suatu ajaran. Jika salah satu pihak tidak mau menerima, ya, biarkan saja, karena itu hal-hal sekunder yang tidak perlu diributkan. Hal ini tidak berarti kompromi! Jangan pernah mengkompromikan doktrin-doktrin dasar iman Kristen orthodoks, tetapi kita boleh bersikap “agak fleksibel” untuk doktrin-doktrin sekunder dalam iman Kristen.

Bukan hanya masalah “berdiri” dan “jatuh,” Paulus juga membahas tentang “berdiri,” yaitu “Tetapi ia akan tetap berdiri, karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri.” Seseorang dapat “berdiri” atau melayani Tuhan, itu semua adalah anugerah Allah, sehingga umat Tuhan yang saling melayani hendaklah saling bersekutu dan membangun, bukan menjatuhkan. Berapa banyak dari kita yang katanya melayani Tuhan, sebenarnya kita tidak melayani Tuhan, tetapi kita melayani diri kita sendiri. Kita melayani Tuhan sambil menjatuhkan sesama pelayan Tuhan lainnya dengan beribu alasan, salah satunya tidak sesuai dengan “konsep pelayanan” kita. Biarlah kita yang suka menjatuhkan orang lain di dalam pelayanan hari ini segera bertobat. Ingatlah, Tuhan yang memberi anugerah kepada kita untuk melayani-Nya. Biarlah kita melayani-Nya dengan bertanggungjawab, gentar, dan takut akan Tuhan.


Alasan kedua Paulus melarang jemaat Roma agar tidak terlalu cepat menghakimi hal-hal sekunder adalah karena setiap orang harus bertanggungjawab di hadapan Tuhan. Alasan ini diuraikan Paulus di ayat 5-6. Di ayat 5, Paulus membahas tentang perbedaan konsep tentang hari. Ada orang yang menganggap hari tertentu lebih penting dari hari yang lain, sedangkan orang yang lain menganggap semua hari itu sama saja. Perbedaan ini bagi Paulus tidaklah penting, yang terpenting adalah iman dari orang-orang yang percaya itu. Jika seseorang diyakinkan dalam hatinya bahwa hari tertentu lebih penting ketimbang hari lain, biarlah ia melakukannya untuk Tuhan. Bukan hanya tentang hari, di ayat 6, Paulus juga membahas tentang makan atau tidak makan (bdk. ay. 2) dalam hubungannya dengan sayur-sayuran atau tidak. Yang unik di ayat 6 adalah Paulus mengatakan bahwa mereka yang makan atau tidak makan semua jenis makanan, semuanya melakukan hal tersebut (makan) untuk Tuhan dan ia mengucap syukur kepada Allah (terjemahan NIV: karena ia mengucap syukur kepada Allah). Dengan kata lain, orang yang makan atau tidak makan, biarlah mereka melakukannya dengan tanggung jawab penuh kepada Allah, karena mereka bersyukur kepada-Nya. Bagaimana dengan kita? Kadang kita terlalu mempermasalahkan suatu cara baptisan, bahkan ada yang mengutuk bahwa baptisan percik itu tidak “Alkitabiah” dan barangsiapa yang dibaptis percik tidak selamat, sehingga harus dibaptis selam. Kedua ayat ini mengingatkan kita tentang sikap kita di dalam menghadapi doktrin-doktrin sekunder yang tidak perlu diperdebatkan. Ketika ada orang yang mempercayai baptisan selam, biarlah ia melakukannya untuk Allah dengan penuh tanggung jawab sebagai ungkapan syukur kepada-Nya, begitu juga dengan penganut baptisan percik. Penganut baptisan selam JANGAN memaksa orang Kristen dari gereja yang menganut baptisan percik untuk diselam lagi. Yang dipentingkan BUKAN cara baptisan, tetapi esensi baptisan, yaitu pengakuan iman di depan umum, bukan syarat keselamatan! Setiap penganut cara baptisan yang berbeda biarlah mempertanggungjawabkan masing-masing di hadapan Tuhan nanti. Begitu juga halnya dengan hal-hal sekunder lainnya.


Biarlah setelah kita merenungkan tiga ayat ini secara singkat, kita mendapatkan penjelasan tentang alasan jangan menghakimi orang lain di dalam hal-hal SEKUNDER. Sudahkah kita berkomitmen untuk lebih taat kepada Kebenaran Firman, ketimbang pada suatu denominasi/ajaran tertentu? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 13:51-53: THE RICHNESS OF THE TRUTH OF THE KINGDOM (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 13 Mei 2007

The Richness of the Truth of the Kingdom
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 13:51-53



Pendahuluan
Injil Matius pasalnya yang kedua belas telah membukakan pada kita bahwa Kerajaan Sorga, Firman, dan Kristus – Firman yang hidup dan Sang Raja saling berkait erat dan tidak dapat dilepaskan. Hari ini sampailah kita pada bagian akhir sekaligus penutup dari keseluruhan perumpamaan tentang Kerajaan Sorga. Pada bagian penutup ini kembali Tuhan Yesus memberikan satu perumpamaan dimana perumpamaan ini sangat sulit dipahami maka perhatikan, janganlah sembarangan menafsir ayat. Orang sering melakukan kesalahan dalam penafsiran sebab mereka melepaskan ayat dari konteksnya secara keseluruhan. Setelah Tuhan Yesus memaparkan delapan perumpamaan tentang hal Kerajaan Sorga maka Dia pun bertanya, ”Mengertikah kamu semuanya itu?” Mereka menjawab: “Ya, kami mengerti.” Dan Tuhan Yesus pun kemudian memberikan satu perumpamaan tentang ahli Taurat yang menjadi murid dalam Kerajaan Sorga itu seperti seorang hartawan, land owner yang mengeluarkan harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya. Perhatikan, respon orang Yahudi, mereka menolak Tuhan Yesus. Ironis, setelah orang memberikan pernyataan bahwa dia sudah mengerti tetapi di sisi lain, Dia ditolak di tempat asalnya sendiri.
I. Mengertikah Kamu?
Pertanyaan Tuhan Yesus “Mengertikah kamu semuanya itu?” bukanlah pertanyaan yang sama seperti yang diajukan oleh dunia saat ini yang hanya menilai segala sesuatu dari aspek manajemen marketing dan menggunakan pendekatan psikologis untuk meraih keuntungan. Tidak! Ingat, rasio harus diletakkan pada posisi paling atas, dan emosi di posisi kedua dan kemudian kehendak terletak di posisi paling bawah. Dan Allah menciptakan pria yang selalu menggunakan rasio dalam berpikir untuk menjadi kepala, headship. Ini berarti rasio memimpin disertai dengan emosi yang benar akan menghasilkan kehendak yang tepat. Dunia humanistik yang berdosa mencoba memutar posisi ini akibatnya tentu saja, kehancuran. Kerusakan pertama yang membuat orang tidak dapat kembali pada kebenaran sejati karena kalimat ”mengertikah kamu semuanya ini?” tidak diselesaikan dengan tuntas. Pertanyaan Tuhan Yesus ini bukanlah pertanyaan yang mempertanyakan emosi kita. Tidak! Kebenaran sejati tidak mengabaikan aspek emosi tetapi emosi harus ditundukkan dibawah rasio.
Seorang kristen sejati harus mempunyai pengertian yang benar akan kebenaran sejati, memikirkan apa yang menjadi kehendak Allah. Namun sangatlah disayangkan, hari ini orang mudah sekali masuk dalam tipuan dunia salah satu penyebabnya adalah karena orang mudah sekali dibawa dan terlarut dalam emosi sehingga orang sulit berpikir dan membedakan mana yang benar dan yang salah. Emosi bukan terletak pada posisi utama sebab emosi sifatnya relatif. Sebagai contoh, satu orang berpendapat dia cantik tapi orang lain berkata tidak; orang suka warna biru namun tidak dengan orang lain maka kita melihat disini unsur emosi sukar diverifikasi. Emosi sifatnya relatif subyektif berarti tidak ada batasan yang dapat menguncinya. Hati-hati, ketika emosi sudah memuncak maka orang tidak rasional maka saat itulah manusia mudah sekali masuk dalam jebakan. Pertanyaan Tuhan Yesus menjadi evaluasi bagi kita, sudahkah kita mempunyai pengertian yang benar akan kebenaran sejati?
II. Ahli Taurat
Ahli taurat hidup berkutat dengan firman, orang yang belajar firman terus menerus. Setiap orang Kristen harusnya memiliki jiwa ini, yakni belajar firman dan emosi menyertai di belakangnya. Ingat, jangan lepaskan pikiran dari emosi atau sebaliknya. Jadi, mengerti Firman adalah hal yang paling utama dengan demikian kita tidak mudah digoyahkan oleh tipuan iblis yang menyerang dari sisi emosional. Iman kristen bukanlah iman yang membabi buta atau fanatik. Tidak! Hal inilah yang membedakan dengan Kekristenan dengan kepercayaan lain. Kekristenan tidak pernah takut dengan pengajaran lain yang mencoba memfitnah Kekristenan karena semua itu akan hancur dengan sendirinya. Kebenaran sejati tidak bersifat emosional; kebenaran sejati akan memberikan pengertian pada kita. Hal ini membukakan pada kita satu hal, ketika Tuhan Yesus mempertanyakan: mengertikan kamu dengan semuanya ini? Merupakan topik yang paling sentral di dalam misi kehadiran-Nya. Dengan kata lain orang yang mengaku sebagai murid-Nya tetapi kita tidak mengerti kebenaran sejati maka dia bukanlah murid sejati. Kristen tidak cukup hanya rutin ke gereja setiap Minggu. Tidak! Kristen sejati dituntut untuk belajar dan mengerti Firman dan ketika Tuhan Yesus bertanya: ”Mengertikah kamu semuanya itu?” kita dapat menjawab: “Ya, kami mengerti.” Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apa yang kau mengerti?
Ahli Taurat adalah seorang yang hidupnya sehari-hari belajar firman namun ironis, ketika Firman itu datang mereka tidak mengenal Dia dan menolak-Nya. Ahli taurat merasa dirinya sudah ahli namun sesungguhnya tidaklah demikian sebab mereka tidak mengerti perumpamaan tentang hal Kerajaan Sorga. Tuhan Yesus mengajar dengan perumpamaan bukan supaya orang mengerti. Tidak! Hal ini dipaparkan supaya mereka yang melihat tidak dapat melihat, mereka yang mendengar tidak mendengar dan tidak mengerti. Jadi, sungguh merupakan suatu anugerah kalau orang dapat mengerti firman.
Ketika seseorang sudah masuk dalam penilaian yang bersifat subyektif maka itu menjadi titik awal dari kehancuran. Pertanyaan apakah kita berhak menilai diri sendiri atau orang lain? Lalu siapakah yang berhak menentukan semua nilai yang ada di dunia? Jawabnya hanya satu, yakni Allah; semua harus dikembalikan pada obyektifitas Allah. Ketika seorang ahli Taurat mengunci dirinya sendiri lalu ia merasa dia tahu maka itulah titik awal kehancuran. Karena itu, sebelum orang melakukan diskusi theologis, kedua belah harus sepakat kalau kedua belah pihak bisa salah barulah kemudian kita mengambil langkah berikutnya, yakni menundukkan diri di bawah penilaian obyektif. Dengan kata lain, orang berpotensi besar untuk salah maka segala sesuatu tidak bisa menurut diri kita sendiri, kita harus kembali pada Firman, kebenaran sejati yang sifatnya obyektif, kita mau menjadi murid Kerajaan Sorga. Orang yang mengaku ahli justru membuktikan sebaliknya ia bukan seorang yang ahli. Seorang ahli tidak membutuhkan pengakuan tetapi pembuktian. Celakalah hidup kita kalau kita mengikut pada seorang yang mengaku ahli padahal ia bukan seorang ahli. Seorang ahli sejati tidak takut diuji.
III. Menjadi Murid
Terjemahan yang tepat untuk ahli Taurat yang menerima pelajaran dari hal Kerajaan Sorga… adalah ahli Taurat yang sudah menjadi murid-Nya Kerajaan Sorga. Kata murid atau matetheo (bahasa Yunani) telah hilang dalam terjemahan Indonesia. Yang dimaksud murid disini bukan sekedar status tetapi orang yang mempunyai keinginan untuk terus menerus belajar. Melalui perumpamaan tentang ahli taurat ini, Tuhan Yesus ingin menyadarkan akan kebodohan mereka yang selama ini merasa diri sudah ahli. Perhatikan, hafal taurat dan mengerti taurat merupakan dua hal yang berbeda sebab orang bisa hafal tanpa dia mengerti. Namun celakanya, mereka tidak mengerti maksud Tuhan Yesus malahan mereka menjawab: ya, kami mengerti. Benarkah kedua belas murid itu sudah mengerti? Tidak! Tuhan Yesus telah berulang kali mengajarkan tentang hal Kerajaan Sorga tapi terbukti, sampai Tuhan Yesus naik ke sorga pun mereka masih bertanya, ”Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?” (Kis. 1:6).
Konsep sekularisme itu begitu melekat dalam pemikiran para murid dan orang Yahudi. Agama sifatnya spiritual; agama adalah sesuatu tentang esensi kekekalan. Lawan kekekalan adalah kesementaraan namun sampai hari ini, hampir semua agama termasuk Kristen membawa kekekalan masuk dalam kesementaraan. Semua pemikiran agama disekularisasi. Banyak orang yang beragama karena ia ingin mendapat kesembuhan, berkat jasmani, dan lain-lain yang diukur secara duniawi. Hal ini masih kita jumpai hari ini, orang masih beranggapan bahwa dunia kekekalan itu sama seperti di dunia sekarang yang bersifat materi. Hal yang sama juga terjadi pada para murid, celakanya, ketika Tuhan Yesus menanyakan, mengertikah kamu semuanya itu? Mereka menjawab: ya, kami sudah mengerti padahal mereka tidak mengerti sama sekali.
Tuhan Yesus datang dan mengajarkan mereka akan Kerajaan Sorga supaya mereka bertobat dan pemikiran mereka diubahkan dan dibentuk oleh Kristus Yesus sendiri. Seorang murid adalah seorang yang mau belajar dan tidak mencari pembenaran diri ketika ia ditegur tetapi sebaliknya teguran itu justru membuatnya semakin belajar dan dibentuk semakin indah. Orang yang sudah merasa diri benar, selamanya ia tidak akan pernah belajar apapun. Orang yang sudah bisa memberikan alasan, alasan itu diterima berarti kita mendapatkan pembenaran, kita telah menempatkan diri pada suatu posisi tertentu dan tidak mau menerima pembelajaran apapun. Memang, bukanlah hal yang mudah bagi manusia egois untuk mengalahkan konsep pemikiran kita sendiri, mengakui kesalahan dan kembali pada Firman. Namun ingat, sebagai murid dari Kerajaan Sorga kita harus menanggalkan segala pemikiran duniawi kita untuk dibentuk oleh-Nya. Maukah anda?
Dunia modern sulit memahami konsep Kerajaan Sorga sebab dunia telah terbiasa membangun keyakinan diri, membangun apa yang dianggap benar dan tidak mau ditundukkan pada kebenaran Firman. Percayalah, hidup kita akan melimpah dengan sukacita ketika kita kembali pada kebenaran dan berada dalam pimpinan Tuhan. Hari ini, orang selalu bertanya-tanya bagaimana mengerti kehendak Tuhan? Benarkah orang mau mengerti kehendak Tuhan atau sesungguhnya, mereka hendak mencari pembenaran diri saja? Orang yang mau mengerti kehendak Tuhan maka di titik pertama seharusnya sudah melepaskan semua konsep pemikirannya namun celakanya, orang mau kehendak dirinyalah yang jadi dengan kata lain orang mencari persetujuan dari Tuhan maka tidaklah heran kalau orang selalu mengemukakan berbagai alasan untuk melawan Tuhan untuk mencari pembenaran diri.
Bukanlah hal yang mudah untuk mengubah paradigma berpikir yang telah sekian lama terbentuk apalagi konsep kerajaan Daud yang telah melekat dalam pikiran mereka bahkan sampai hari ini mereka terus menanti-nantikan Kerajaan Daud. Sangatlah disayangkan, orang Yahudi dan orang Kristen pada hari inipun masih terus berpikir bahwa Kerajaan Sorga itu bersifat duniawi. Tidak! Kerajaan Sorga itu bersifat spiritual dan seumpama biji sesawi, ia akan bertumbuh menjadi sebuah pohon yang besar mulai dari Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8). Seorang murid sejati adalah seorang yang mau belajar Firman dengan sungguh-sungguh dan taat pada kebenaran sejati.
IV. Kekayaan Kebenaran
Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa Tuhan Yesus menggambarkan setiap ahli Taurat atau dalam bahasa aslinya seorang murid Kerajaan Sorga itu seumpama tuan rumah, land owner yang mengeluarkan harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya? Seorang anak Tuhan sejati yang belajar Firman dengan sungguh bukan hanya sekedar belajar Firman secara duniawi dimana Firman sekedar menjadi pengetahuan saja tetapi seorang murid sejati yang taat dan tunduk mutlak pada kebenaran sejati maka hidupnya penuh berlimpah anugerah. The richness of the truth, kekayaan anugerah Allah yang melimpah itu akan terus menerus terpancar keluar dan tidak akan pernah habis. Perumpamaan ini membukakan pada kita bahwa orang yang mengerti Kerajaan Sorga maka ia akan mengerti dua hal sekaligus, yakni harta yang lama sekaligus harta yang baru. Harta yang lama dan harta yang baru ini mewakili Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kekayaan terbesar adalah ketika seseorang dapat membagikan kekayaan kebenaran yang tidak pernah habis dari alam semesta ini seperti halnya sebuah sumber mata air yang tidak pernah kering yang terus melimpah keluar.
Perhatikan, ketika Tuhan Yesus mengatakan tentang harta lama dan harta baru, hari itu Perjanjian Baru belum ada bahkan konsep tentang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itupun tidak ada sebab pada jaman itu, orang hanya tahu satu, yakni Kitab Suci atau Taurat. Harta baru yang dimaksud Tuhan Yesus disini adalah Kerajaan Sorga dimana hal Kerajaan Sorga ini seharusnya bukanlah hal yang baru lagi bagi orang Yahudi sebab dalam Kitab Suci sudah diungkapkan tentang hal ini namun para ahli Taurat tidak mengerti akibatnya mereka kehilangan keduanya, harta yang lama maupun harta yang baru. Seseorang belum dapat dikatakan kaya karena ia mempunyai separuh harta. Seseorang barulah dikatakan kaya ketika ia mendapatkan harta secara keseluruhan. Sangatlah disayangkan, banyak orang yang tidak mengerti konsep ini.
Perhatikan, tanpa Perjanjian Baru (PB), kita tidak akan pernah mengerti Perjanjian Lama (PL). PB merupakan standar untuk kita dapat memahami PL. Alkitab menegaskan bahwa secara prinsip kita harus berdasarkan dari kitab para rasul dan para nabi. Sebagai kesimpulan, untuk mendapatkan kekayaan PL maka kita harus melihat dari PB dan kita akan mendapat kedua-duanya. Itulah kaya yang sejati, kekayaan akan kebenaran itu tidak akan pernah habis. Semakin kita mengeluarkan dan membagi kekayaan kebenaran itu maka kita akan mendapatkan kebenaran dengan berkelimpahan. Tuhan Yesus mau membukakan betapa hidup kita berlimpah dengan anugerah ketika kita hidup berpaut dengan Kerajaan Sorga. That is the great heritages. Faktanya, banyak orang yang melewatkan anugerah indah ini. Orang membuang anugerah dengan begitu saja. Merupakan suatu anugerah besar dan limpah kalau orang Yahudi hari itu dapat hidup sejaman dengan Tuhan Yesus; mereka mendapatkan pengajaran langsung dari Sang Kebenaran sejati namun amatlah disayangkan, mereka justru menolak Tuhan Yesus.
Orang tidak mengerti betapa mahal dan betapa bernilainya kalau kita mendapatkan harta yang terpendam, harta yang lama dan harta yang baru. Inilah manusia berdosa.yang bebal yang tidak meletakkan suatu nilai dengan tepat, tidak dapat menghargai sesuatu yang sangat bernilai. Sebagai anak Tuhan sejati, hendaklah kita peka akan setiap momen yang datang pada kita. Jangan lewatkan momen yang indah itu. Hal ini menjadi evaluasi bagi kita, sudahkah kita menghargai anugerah Tuhan dengan memakai segala kesempatan yang ada untuk belajar firman dan dibentuk oleh-Nya? Memang tidaklah mudah untuk kita diproses dan dididik, kita akan merasa sakit tapi ingatlah, semua itu justru menjadikan kita lebih indah. Kita telah diberikan anugerah yang berlimpah, kita diberikan kekayaan akan kebenaran maka jangan sia-siakan anugerah itu. Kerajaan Sorga itu lebih bernilai dari segala harta yang ada di dunia.
Penutup
Kiranya bagian penutup ini menyadarkan dan membukakan kita akan konsep berpikir kita yang salah selama ini dan kita mau diproses dan dirubah untuk menjadi murid Kerajaan Sorga sehingga ketika Tuhan Yesus bertanya: “Mengertikah kamu semuanya itu?” maka kita dapat menjawab: “Ya, saya mengerti.” Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

15 March 2009

KREDO REFORMED-1: Pengakuan Iman Prancis (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

KREDO REFORMED-1:
Pengakuan Iman Prancis (1559)


oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.




Pendahuluan
Pengakuan Iman Prancis sering dikenal dengan sebutan Pengakuan Iman Gallic (Gallic Confession). Kata “Gallic” berasal dari kata Latin “Gallia” yang berarti “Prancis” (sebutan asli adalah Confessio Fidei Gallicana). Sebutan ini berkaitan dengan tempat dirumuskannya pengakuan iman tersebut, sekalipun pengaruh dari pengakuan iman ini jauh melampaui batasan negara Prancis. Pengakuan ini mempengaruhi pengakuan iman Reformed lain yang disahkan di luar Prancis. Pada perkembangan selanjutnya Pengakuan Iman Prancis bahkan di diterima oleh gereja-gereja Reformed di luar Prancis.

Tidak banyak yang bisa diketahui tentang latarbelakang Pengakuan Iman Prancis. Buku-buku yang membahas hal ini pun tidak sebanyak buku-buku tentang pengakuan iman Reformed yang lain. Ada beberapa hal yang turut menciptakan situasi seperti ini: (1) pengakuan iman ini dirumuskan pada masa penganiayaan, sehingga kerahasiaan tentang para penulisnya merupakan sesuatu yang sangat penting (Th. van den End, Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme, 1). Kita tidak memiliki data historis yang detail tentang asal-usul maupun para perumus pengakuan iman ini; (2) penerimaan pengakuan iman tidak seluas pengakuan iman Reformed yang lain, walaupun Pengakuan Iman Prancis juga diterima di luar Prancis. (3) pengakuan iman ini relatif pendek dan sebagian besar rumusannya nanti akan dibahas di berbagai pengakuan iman Reformed yang lain yang ditulis sesudahnya.


Latar Belakang Perumusan
Mulai pertengahan tahun 1550-an, gerakan reformasi di Prancis semakin memiliki pengaruh. Semua ini tidak lepas dari peranan vital John Calvin. Pada tahun 1555 sebuah jemaat dibentuk secara terorganisir dan melakukan aktivitas kegerajaan yang teratur. Dengan cepat persekutuan seperti ini berkembang di seluruh Prancis.

Setelah penganiayaan dari pemerintah Prancis sedikit mereda. Pada tanggal 23-27 Mei 1559 perwakilan dari masing-masing jemaat berkumpul bersama secara rahasia di Paris untuk mengadakan konsili. Pertemuan yang dimoderasi oleh Francis de Morel, seorang pendeta lokal di sana, menetapkan dua hal yang sangat penting.

Pertama, sistem disiplin gereja. Ide untuk mengadakan disiplin gereja memang sudah ada sebelum reformasi Reformed di Prancis. Tokoh-tokoh ternama dalam sejarah gereja yang dibunuh oleh gereja karena dianggap sebagai penyesat merupakan bukti bahwa gereja sudah melakukan disiplin gereja. Persoalannya adalah tindakan tersebut sering kali ditujukan pada orang yang salah dan dilakukan dengan cara yang salah pula. Konsili di Prancis berusaha membenahi hal tersebut. Gereja tidak bisa seenaknya menjalankan disiplin. Gereja harus memahami prinsip theologis, prosedur dan pelaksana disiplin gereja.

Kedua, pengakuan iman. Asal mula dari rancangan (draft) pengakuan iman yang nanti disahkan dalam konsili Prancis tidak diketahui dengan pasti. Sebagian sarjana menduga bahwa rancangan awal berasal dari usulan gereja-gereja di Prancis selama penganiayaan yang kemudian direvisi oleh Calvin dan teman-temannya. Sebagian lagi berpendapat bahwa rumusan awal berasal dari Calvin sendiri. Mayoritas sarjana bahkan lebih mengaitkan rumusan awal ini dengan seorang murid Calvin yang bernama Antoine de la Roche Chandieu (De Chandieu). Tradisi mana yang lebih tepat sulit untuk ditentukan, namun satu hal yang pasti adalah bahwa rumusan awal ini berjumlah 35 pernyataan dan bahwa rumusan ini mewakili gereja-gereja di Genewa. Semua pernyataan tersebut akhirnya diterima secara resmi dan dua pernyataan yang paling awal dikembangkan lagi sehingga keseluruhan pernyataan sekarang berjumlah 40.

Pada tahun 1560 sebuah salinan dari Pengakuan Iman Prancis dikirimkan kepada Raja Francis II yang sangat mendukung Gereja Katolik Roma. Tahun berikutnya Theodorus Beza mengirimkan pengakuan iman yang sama kepada Charles IX. Tujuan dari upaya ini adalah supaya Francis II menghentikan penganiayaan terhadap penganut reformasi. Mereka menuntut toleransi keagamaan. Mereka menjelaskan bahwa tidak ada yang salah dari iman mereka yang dapat dijadikan alasan oleh raja untuk menganiaya mereka.

Apa yang dilakukan oleh para penganut reformasi Reformed di atas tidak banyak membawa perubahan. Bagaimanapun, Pengakuan Iman Prancis terus memiliki peranan yang vital dalam mepersatukan ajaran gereja-gereja Reformed di Prancis. Pada waktu konsili nasional ke-7 tahun 1571 pengakuan ini direvisi dan disahkan kembali di La Rochelle. Berdasarkan hal ini Pengakuan Iman Prancis juga kadangkala disebut sebagai Pengakuan Iman Rochelle. Persekutuan gereja-gereja Jerman juga mengadopsi pengakuan iman yang sama melalui pertemuan di Wesel (1568) dan Emden (1571).


Pengaturan Topik
Struktur Pengakuan Iman Prancis tidak mudah untuk dideteksi. Sebagian sarjana mengusulkan 4 (empat) pembagian yang mencakup topik tentang Allah, Kristus, Roh Kudus, Gereja. Usulan ini tampaknya terlalu umum dan gagal mencakup topik seputar keselamatan maupun pemerintah sipil. Kita sebaiknya memandang seluruh isi Pengakuan Iman Prancis sebagai sebuah penjelasan doktrinal yang tersusun secara logis tanpa mengotak-kotakkannya ke dalam kategori tertentu.

Berikut ini adalah runtutan topik secara keseluruhan. Untuk isi setiap pernyataan, lihat Th. van den End, Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme, 2-17 atau http://www.ccel.org/ccel/schaff/creeds3.iv.vii.html. Mengingat makalah ini lebih difokuskan pada pengantar Dalam makalah ini kita lebih memfokuskan pada pengantar setiap pengakuan iman, maka kita tidak akan membahas setiap pernyataan secara detail. Kita hanya akan menyinggung beberapa poin yang penting.
Pernyataan 1 Allah yang esa dengan segala sifat-Nya yang ilahi
Pernyataan 2 Allah yang menyatakan diri melalui alam dan Kitab Suci
Pernyataan 3-5 Batasan, dasar dan kesempurnaan Kitab Suci
Pernyataan 6 Allah Tritunggal
Pernyataan 7-8 Penciptaan dan pemeliharaan Allah atas segala sesuatu
Pernyataan 9-11 Keberdosaan seluruh umat manusia
Pernyataan 12 Pemilihan Allah
Pernyataan 13-17 Kristus sebagai pokok keselamatan
Pernyataan 18-23 Pembenaran, pengampunan, iman dan perbuatan baik
Pernyataan 24 Penegasan: Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan
Pernyataan 25-33 Seluk-beluk Gereja: pentingnya jabatan rohaniwan, perlunya bersekutu dalam gereja lokal, ciri-ciri gereja yang sejati, kumpulan “gereja” yang tidak benar, pemerintahan gereja.
Pernyataan 34-38 Sakramen
Pernyataan 39-40 Pemerintahan sipil


Bagian Pengantar
Pengakuan Iman Prancis dimulai dengan sebuah kalimat “dibuat secara sepakat oleh orang-orang Prancis yang ingin hidup sesuai dengan kemurnian injil Tuhan kita Yesus Kristus”. Pendahuluan ini menyiratkan maksud tersendiri. Para perumus ingin menekankan beberapa hal: (1) pengakuan ini bukanlah pengakuan iman yang bersifat sektarian dan melenceng dari tradisi gereja yang benar. Sebaliknya, pengakuan ini adalah hasil kesepakatan gereja-gereja di Prancis; (2) Injil yang dipegang oleh penganut reformasi adalah Injil yang benar, sebagai kontras terhadap Injil yang dipegang oleh Gereja Katolik Roma.

Ketika pengakuan iman ini dikirimkan kepada Francis II, pengakuan ini disertai dengan sebuah surat pengantar di bagian awal. Ada beberapa hal yang ingin disampaikan melalui surat pengantar ini. Pertama, alasan penganiayaan. Penganiayaan yang mereka alami setiap hari merupakan konsekuensi dari komitmen mereka untuk hidup sesuai kemurnian injil dan kedamaian dalam hati nurani. Alasan lain adalah kebencian dari para penganiaya yang tidak memahami ajaran reformasi yang sebenarnya. Ajaran reformasi tidak bertentangan dengan Firman Tuhan maupun ketundukan kepada pemerintah sipil.

Kedua, dasar dari pengakuan iman. Semua yang tertulis dalam pengakuan iman bersumber dari keyakinan bahwa Allah telah menyatakan kehendak-Nya melalui para nabi, rasul dan bahkan Yesus Kristus sendiri. Keyakinan ini menuntut penghormatan tertinggi kepada Kitab Suci, melebihi tradisi Gereja Katolik Roma yang merupakan hasil pemikiran manusia belaka dan sering kali keluar dari tradisi bapa-bapa gereja awal.

Keyakinan di atas pula yang memampukan penganut reformasi untuk bertahan dalam penganiayaan yang hebat. Kesediaan mereka untuk mati demi pengakuan iman yang benar seharusnya menjadi bukti bahwa dalam diri mereka ada semangat lain yang bukan berasal dari manusia. Manusia secara natural cenderung mencari kenyaman dan kedamaian diri mereka sendiri dan bukan kemuliaan Allah.

Ketiga, permohonan kepada raja. Penganiayaan terhadap para penganut reformasi menyebabkan mereka takut dan menyembunyikan diri, sehingga mereka justru tidak dapat memenuhi kewajiban mereka kepada pemerintah. Berangkat dari hal ini dan sesuai dengan janji-janji pemerintah untuk melindungi rakyat yang tidak berdaya, mereka meminta raja untuk membaca dan menilai sendiri ajaran mereka melalui Pengakuan Iman Prancis. Dalam pengakuan ini tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan pemberontakan maupun kesesatan.

Keempat, isi permohonan. Mereka meminta agar raja memberikan kebebasan bagi mereka untuk beribadah di suatu gereja tertentu sehingga mereka bisa mendengarkan firman Tuhan, memuji Tuhan dan menjalankan sakramen. Pemberian tempat seperti ini justru akan memungkinkan pihak-pihak lain untuk menyelidiki sendiri apakah para penganut reformasi melakukan kesalahan tertentu. Jika permohonan ini ditolak, mereka mengharapkan agar raja tidak keberatan dengan pertemuan-pertemuan pribadi mereka.

Kelima, alasan pengabulan permohonan. Mereka mendesak raja mengabulkan permohonan mereka karena ini adalah permohonan dari sejumlah besar rakyat. Alasan lain berkaitan dengan sumber kekuasaan raja. Dengan mengabulkan permohonan ini, raja tidak hanya memberi kesempatan mereka untuk melayani dia, tetapi juga untuk melayani Yesus Kristus yang telah memberikan kuasa dan kehormatan kepada raja.

Terakhir, doa untuk raja. Salah satu bukti bahwa penganut reformasi tetap loyal kepada raja adalah harapan mereka agar Tuhan selalu memberikan yang baik kepada raja: umur panjang, kekuasaan dan kehormatan, kemenangan dan keadilan. Melalui semua ini raja akan dimampukan untuk bertindak bijak dan dengan demikian mampu menggantikan kesakitan dan penderitaan dengan kedamaian dan kebebasan, air mata dan ratapan dengan ucapan syukur kepada Tuhan maupun raja.


Beberapa Problem
Berkaitan dengan isi Pengakuan Iman Prancis, ada dua hal yang perlu kita bahas secara khusus. Sebagian sarjana menduga bahwa para peserta konsili telah memasukkan apa yang disebut sebagai theologi natural ke dalam perumusan iman yang diusulkan gereja-gereja Genewa. Pendapat ini didasarkan pada rujukan tentang wahyu umum yang ditambahkan oleh mereka. Semula rujukan ini tidak ada dalam rancangan awal.

Apakah benar ada unsur theologi natural dalam keputusan konsili? Sebelumnya kita perlu membedakan antara wahyu umum dan theologi natural. Alkitab memang mengajarkan bahwa manusia bisa mengenal Allah melalui hal-hal yang alami, misalnya ciptaan (Rm. 1:19-20; bdk. Mazmur 19) maupun hati nurani (Rm. 2:14-15). Bagaimanapun, Alkitab yang sama juga mengajarkan bahwa manusia dalam kenyataannya tidak bisa sampai pada maksud tersebut. Mereka sebenarnya tahu, tetapi mereka sengaja menindas kebenaran dengan kelaliman (Rm. 1:18, 21, 23, 25). Dosa dalam diri mereka sudah sedemikian menguasai seluruh perasaan, kehendak dan pikiran mereka. Tanpa intervensi Allah secara langsung melalui wahyu khusus, maka manusia tidak akan bisa sampai pada pengenalan yang benar tentang Allah. Di sisi lain theologi natural mengajarkan bahwa wahyu umum sudah cukup untuk membuat manusia mengenal Allah. Pengenalan kepada Allah lebih dipandangs ebagai proses yang alamiah daripada hasil intervensi Allah yang supranatural.

Berkaca dari perbedaan di atas, peserta konsili di Paris tampaknya tidak layak dikategorikan sebagai pendukung theologi natural warisan dari para pemikir skolastik. Rujukan tentang wahyu umum disampaikan secara singkat. Walaupun mereka memang menambahkan 5 pasal pertama pada usulan rumusan dari gereja-gereja Genewa, tetapi jika diamati dengan seksama penambahan ini justru berfokus pada Alkitab. Pernyataan 3-5 secara khusus membahas tentang batasan, otoritas dan kesempurnaan Alkitab. Cara penambahan seperti ini sama sekali tidak menunjukkan adanya pengaruh theologi natural.

Selain isu tentang theologi natural, beberapa sarjana juga menganggap bahwa konsep predestinasi yang diajarkan terkesan moderat (N. V. Hope, “Gallic Confession”, Evangelical Dictionary of Theology, Walter A. Elwell, 439). Sayangnya, pendapat seperti ini tidak disertai dengan penjelasan yang memadai tentang batasan “moderat”, kutipan langsung dari pengakuan iman maupun edisi rumusan iman yang dimaksud (draft usulan, hasil konsili 1559 atau 1571?). Yang jelas, dalam perumusan resmi tahun 1559 doktrin predestinasi diajarkan secara ketat. Pernyataan 12 secara eksplisit menjelaskan bahwa predestiansi didasarkan pada rencana Allah yang kekal dan tidak berubah. Rencana ini tidak didasarkan pada perbuatan baik manusia, melainkan kebaikan dan kemurahan Allah. Mereka yang tidak dipilih oleh Allah mendapatkan keadilan-Nya. Pilihan inilah yang membedakan manusia (selamat dan tidak), walaupun sebelumnya mereka semua tidak ada yang lebih baik daripada yang lain.



Sumber:
Pendalaman Alkitab GKRI Exodus, 3 Februari 2009
(http://www.gkri-exodus.org/page.php?HIS-Kredo_Reformed-01)




Profil Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.:
Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus.org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.




Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.