27 June 2008

GEREJA; MAU KE MANA?: KONSERVATIF DAN RADIKAL (Rev. Dr. John R. W. Stott, CBE)

GEREJA; MAU KE MANA?:
KONSERVATIF DAN RADIKAL


oleh: Rev. DR. JOHN R. W. STOTT, CBE



Di dalam gereja kontemporer ada dua ekstrim yang tidak seharusnya ada, yaitu aliran konservatif dan aliran radikal. Sebaiknya kita memberikan definisi untuk kedua istilah ini terlebih dahulu. Yang disebut aliran konservatif ditunjukkan kepada sebagian orang yang bertekad untuk memelihara hal-hal yang sudah lewat dan meneruskannya, sehingga menolak perubahan apapun. Sedangkan aliran radikal ditunjukkan kepada sebagian manusia yang melawan tradisi-tradisi yang sudah lampau sehingga senantiasa mencari perubahan di dalam kegelisahan.

Pada tahun 1968 saya mengikuti Sidang Raya IV dari Dewan Gereja Sedunia yang diadakan di Upsala, Swedia sebagai penasehat. Setiba di sana saya mendapatkan bahwa kami semua secara serentak sudah diklasifikasikan, khususnya di dalam surat kabar pada hari itu. Jika bukan dihina dan digolongkan sebagai aliran tradisionil yang konservatif, anti perombakan, pemelihara kondisi sekarang atau aliran tradisionil yang tidak menginginkan kemajuan, maka akan langsung digolongkan dan diterima secara hangat ke dalam aliran radikal yang bersifat perubahan dan revolusionir. Bukankah ini semua merupakan klasifikasi yang tidak berarti sama sekali? Sebenarnya setiap orang Kristen yang seimbang harus berjejak di atas kedua wilayah itu sekaligus. Ijinkan saya memberi penjelasan lebih mendetail mengapa setiap orang Kristen harus sekaligus menjadi konservatif dan juga radikal, khususnya di dalam pengertian tertentu.

Setiap orang Kristen seharusnya bersifat konservatif karena seluruh gereja dipanggil oleh Tuhan untuk memelihara Wahyu-Nya, sehingga boleh memelihara mandat yang diberikan serta mempertahankan kebenaran yang satu kali sudah diberikan kepada orang suci. (Yudas 17, “Ingatlah akan apa yang dahulu telah dikatakan kepada kamu oleh rasul-rasul Tuhan kita, Yesus Kristus"). Tugas gereja bukan menemukan Injil yang baru secara terus menerus atau menemukan theologi baru atau moral baru atau kekristenan yang baru, melainkan menjadi pemelihara yang setia bagi satu-satunya Injil yang bersifat kekal. Wahyu yang diberikan Allah sendiri sudah sempurna di dalam Anak-Nya Yesus Kristus dan kesaksian- kesaksian rasul-rasulNya terhadap Kristus yang sudah dicatat di dalam seluruh Kitab Suci. Pewahyuan dari diri Allah tidak boleh diubah dengan bentuk dan cara apapun – tidak perduli ditambahkan atau dikurangi – kebenaran dan otoritas Kitab Suci tidak boleh diubah.

Penulis dari buku “Pertumbuhan dan Persatuan” mengutarakan konsep ini dengan dinamis, “Tugas gereja yang utama adalah memelihara keutuhan Injil. Untuk membicarakan kebiasaan mental ini dengan maksud mengatakan, barang itu memang kuno serta penentang segala pikiran baru, sama sekali bukan maksud kita. Penggemar hal-hal kuno dan penentang pencerahan merupakan kebiasaan buruk orang Kristen, sedangkan konservatifisme merupakan kebajikan orang Kristen.”

Namun disesalkan ada sebagian orang Kristen yang tidak hanya membatasi konservatifisme mereka di dalam theologi Alkitabiahnya, tetapi juga dalam hal-hal lain. Bahkan mereka memiliki kepribadian yang konservatif, sehingga mereka selalu bersifat konservatif di dalam pandangannya tentang politik dan sosial, di dalam bentuk hidupnya, pakaiannya, model rambutnya bahkan mode jenggotnya dan segala bentuk hidup yang bisa kita bayangkan. Mereka semua sangat kuno adanya. Bukan saja mereka telah menjerumuskan diri ke dalam lumpur saja, melainkan lumpur yang sudah membeku sebagai semen. Mereka membenci segala macam perubahan. Mereka mirip dengan seorang guru besar yang pernah berbicara di dalam universitas Cambridge pada masa mahasiswanya, “Perubahan macam apa saja di dalam waktu apa saja dengan alasan apa saja, semuanya harus disesalkan!” Motto yang paling digemari adalah “Sebagaimana permulaan dunia ini tetaplah sekarang dan selama-lamanya seperti itu juga sampai selama-lamanya, Amin!”

Di pihak lain aliran radikal adalah mereka yang bertanya-tanya tentang agama negara. Mereka menganggap tidak ada tradisi kebiasaan atau organisasi yang begitu suci sehingga tidak boleh diganggu atau diubah; juga menganggap tidak ada pribadi manusia yang begitu suci sehingga tidak boleh dikritik. Sebaliknya mereka bersedia untuk mengadakan penghakiman dan pengritikan terhadap segala sesuatu yang diwarisi dari masa lampau. Bukan saja demikian, penghakiman semacam ini senantiasa memimpinnya menuju perombakan yang tuntas, jika perlu menuju revolusi (sebagai seorang Kristen mungkin ia tidak memakai kekuatan yang rusuh).

Dilihat sepintas lalu aliran konservatif berlawanan dengan aliran radikal sehingga kita tidak mungkin menghindarkan diri dari keekstriman di dalam masalah ini, tetapi faktanya tidak demikian. Ini semua disebabkan oleh kurangnya pengertian kita bahwa Tuhan kita Yesus Kristus adalah sekaligus konservatif dan radikal, tetapi di dalam segi- segi yang berbeda.

Sikap Tuhan terhadap Alkitab bersifat konservatif – kitab Suci tidak bisa digugurkan. Ia berkata, “Aku datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi melainkan untuk menggenapinya.” (Matius 5:17). Juga berkata, “Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat sebelum semuanya terjadi.” (Matius 5:18). Teguran utama Yesus terhadap pemimpin Yahudi sezamannya adalah mereka tidak menghormati kitab Suci Perjanjian Lama serta kekurangan ketaatan yang sejati terhadap otoritas kitab Suci yang kudus.

Tetapi Yesus juga sebenarnya harus disebut sebagai radikalis, Dia merupakan pengeritik yang tajam terhadap aliran penguasa Yahudi yang tajam, tanpa ketakutan apapun, bukan hanya karena mereka tidak setia kepada firman Allah secara sempurna, juga karena mereka terlampau setia kepada tradisi mereka sendiri. Yesus pernah secara tegas menghapuskan tradisi yang sudah diturunkan secara berabad-abad demi supaya firman Allah boleh dilihat kembali dengan jelas serta terpelihara.

Yesus sangat berani di dalam mendobrak segala kebiasaan sosial. Ia menegaskan pentingnya memperhatikan lapisan masyarakat yang rendah yang selalu dihina dan diabaikan. Ia berbicara dengan perempuan di hadapan umum, yang tidak diijinkan dalam zaman itu, Ia mengundang anak kecil datang kepada-Nya, sedangkan di dalam masyarakat orang Romawi anak-anak buangan selalu terlantar dan sangat kotor sehingga umumnya manusia menganggap lumrah jika tidak mau diganggu oleh anak-anak kecil. Ia mengijinkan para pelacur mendekati-Nya (umumnya orang Farisi menghindarkan diri dari perempuan macam ini karena membencinya), sedangkan Yesus sendiri sungguh-sungguh menjamah orang berpenyakit kusta yang sebenarnya dilarang untuk dijamah (orang Farisi umumnya melempar batu kepada mereka supaya memelihara diri dari mereka dalam jarak tertentu) di dalam cara-cara seperti ini dan sebagainya. Yesus menolak untuk diikat oleh kebiasaan dan adat manusia, hati nurani dan jiwa-Nya hanyalah diikat oleh firman Allah. Sebab itu Yesus merupakan sesuatu kombinasi yang unik dari sifat konservatif dan radikal. Ia bersifat konservatif terhadap Kitab Suci tetapi jika diperhatikan secara saksama Ia bersifat radikal terhadap hal-hal lain yang Ia temukan.

“Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada tuannya.” (Matius 10:24) demikianlah perkataan Kristus yang pernah diucapkan-Nya. Maka jika Yesus dapat mengkombinasikan semangat radikal dan semangat konservatif, kita yang menyebut diri sebagai pengikutNya juga dapat meneladaniNya. Secara fakta jika kita hendak setia kepadaNya kita haruslah demikian. Pada masa ini kita sangat memerlukan lebih banyak orang-orang radikal konservatif sehingga orang Kristen Injili memperkembangkan daya penelitian yang lebih bersifat kritis untuk membedakan apakah yang boleh dan harus diubah serta apa yang tidak perlu dan tidak boleh diubah.

Yang lebih patut kita perhatikan adalah kita perlu lebih jelas di dalam membedakan Kitab Suci dan kebudayaan. Karena Kitab Suci merupakan firman Allah yang tidak berubah untuk selama-lamanya. Sedangkan kebudayaan dibentuk oleh tradisi gereja, kebiasaan dan adat masyarakat serta daya kreatif manusia. Segala otoritas yang dimiliki kebudayaan adalah diwarisi oleh masyarakat dan gereja.[1] Sebaliknya kebudayaan berubah sesuai zaman dan tempat. Lebih dari itu kita orang Kristen menyatakan kerelaan kita hidup di bawah otoritas firman Allah, maka seharusnya kita menaklukkan kebudayaan zaman kita di bawah penghakiman Alkitab yang terus menerus tanpa henti sehingga sama sekali tidak merasa bosan atau menentang perubahan kebudayaan. Kita seharusnya berpihak dan berdiri di front mereka yang mengusulkan serta merombak kebudayaan, sehingga kebudayaan boleh menyatakan dengan sungguh-sungguh kehormatan sifat manusia serta menyenangkan Allah Pencipta kita.

Pada suatu kunjungan saya ke sekolah theologi Trinitas (Trinity Evangelical Divinity School, ed.) di Deerfield, Illinois di Amerika Serikat, mahasiswa sekolah ini memberi kesan yang dalam bagi saya. Meskipun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, namun mereka menemukan bersama bahwa di dalam pengabdian mereka terhadap Kekristenan yang Alkitabiah. Mereka bersatu untuk melepaskan diri dari agama Kristen Amerika kontemporer serta bertekad bulat untuk menerapkan Kitab Suci di dalam segala masalah besar hari ini. Maka mereka bersama-sama membentuk satu persekutuan doa dan studi yang bersifat gabungan. Organisasi tersebut bertumbuh menjadi kesatuan Kekristenan rakyat, sedangkan jurnal mereka adalah “Manusia Amerika yang berlalu.” Cover edisi perdananya melukiskan Kristus yang sedang memakai mahkota duri, tangan yang terbelenggu sedang menudungi bendera yang bergaris dan berbintang. Ada yang menganggap gambaran ini bersifat menghujat tetapi saya tidak berpikir demikian. Lukisan ini merupakan pernyataan jenius yang memperhatikan kemuliaan Kristus. Jimmy Wallace di dalam tajuk rencananya mengumumkan, “Serangan terhadap agama yang ada berupa berita yang menjelekkan kekristenan yang bersifat melepaskan agama dari kebudayaan. Lembek dan tanpa daya hidup sehingga dengan sendirinya ditolak oleh generasi kita ini secara gampang... . Kita menemukan bahwa gereja Amerika sangat diikat oleh nilai kebudayaan kita dan bentuk kehidupan kita...”

Ikatan terhadap gereja yang bersifat Amerika ini mengakibatkan hal yang sangat disesalkan yaitu mempersamakan gaya hidup Amerika dengan gaya hidup Kekristenan. Di dalam tempat-tempat lain di dunia penyataan kebudayaan kekristenan juga demikian. Di dalam dunia ketiga dan bagi banyak gereja ini merupakan masalah utama. Kekristenan dicangkokkan oleh misionari dan Eropa dan Amerika Utara, sedangkan gereja sekarang sedang mencari identitas mereka dengan kebudayaan yang ada. Mereka menemukan masalah dalam menghadapi dua kebudayaan.

Pertama mengenai kebudayaan setempat atau suku mereka, khususnya di Afrika, pemimpin Kristen setempat menyadari meskipun banyak kebiasaan tradisional Afrika – yang berfungsi merefleksikan sumber kebudayaan mereka yang kafir tetapi bukan saja tidak merugikan iman, kasih, keadilan, dan hal-hal baik lainnya di dalam kemoralan dan kerohanian, secara faktual mereka harus menaati kedaulatan Kristus yang memungkinkan hidup secara kelimpahan.

Kedua adalah mengenai kebudayaan kafir (tidak perduli Eropa atau Amerika) yaitu masalah setelah Injil dikabarkan di dunia ketiga. Masalah ini sebagian disebabkan seolah-olah Injil, yang mengakibatkan kebudayaan kekristenan, merupakan penghinaan terhadap kehormatan kebudayaan bangsa mereka, sehingga seruan, “Usirlah agama orang putih!” timbul di sana sini. Padahal seruan ini salah adanya. Karena agama Kristen bukan milik orang putih atau organisasi yang lain. Yesus Kristus merupakan Tuhan dari setiap bangsa, negara dan segala usia, tanpa perbedaan. Tetapi untuk orang Asia, Afrika maupun Amerika Latin yang menemukan serta memperkembangkan cara untuk mengutarakan penerapan kebenaran Kristus dan kehidupan kekristenan melalui kebudayaan yang ada pada mereka merupakan hal yang tepat. R. Peddila di dalam kongres Penginjilan Sedunia di Lausanne pada tahun 1974 telah memperdebatkan lagi dengan semangat yang menggebu-gebu tentang masalah kebudayaan Kekristenan.

Itu sebabnya para pemimpin Kristen dari gereja-gereja Gerakan Baru bukan hanya memerlukan hikmat untuk membedakan kebudayaan bangsa dan kebudayaan impor, juga harus dapat membedakan kebudayaan yang bernilai dan kebudayaan yang tidak bernilai. Mereka juga harus memiliki keberanian untuk memelihara yang satu dan menolak yang lain.

Kekristenan di Eropa juga harus demikian, sebab sumbernya boleh ditelusuri sampai 2000 tahun yang lalu. Kekristenan di daerah ini juga terpendam di bawah kebudayaan Spanyol pada abad-abad tersebut. Pada saat kita membicarakan gereja Lutheran, Anglican, Presbyterian atau Brethern kita perlu membedakan secara saksama. Karena setiap aliran mengandung bentuk, tradisi atau kebudayaan Kekristenan. Warna bentuk kebudayaan tradisionil bukan hanya ditemukan di dalam pengutaraan dotrinal, tetapi juga tidak luput dari liturgi dan musik, arsitektur dan gaya serta pandangan peranan ulama dan kaum awam, juga metode penggembalaan dan pemberitaan Injil. Pada faktanya setiap hal dalam gereja kita adalah demikian dan setiap hal harus ditaklukkan ke bawah penelitian Alkitab yang bersifat ketat dan kritis.

Maka pada saat kita menolak perubahan tidak peduli di dalam gereja atau masyarakat, kita perlu instrospeksi sendiri apakah ini sesuai dengan kitab Suci yang kita pertahankan (bila kebiasaan kita adalah mempertahankan secara ketat), atau hanya terbatas di dalam tradisi yang dihargai oleh sebagian tua-tua gereja atau tradisi kebudayaan saja. Ini tidak berarti semua tradisi harus dibuang hanya karena semua adalah tradisi. Aliran anti adat tanpa sifat kritis sama bodohnya dengan aliran konservatif tanpa kekritisan, bahkan kadang-kadang lebih berbahaya. Yang mau saya tegaskan adalah tidak ada tradisi yang berhak meloloskan diri dari penelitian ulang dan tidak ada hak istimewa pada tradisi tertentu.

Di lain pihak pada waktu kita tergesa-gesa di dalam perubahan, kita harus mengerti dengan jelas Alkitab tidak melawan hal-hal yang ingin kita ubah. Sebaliknya ada tradisi-tradisi yang tidak Alkitabiah sebenarnya boleh diteruskan serta memerlukan perubahan untuk membenarkannya. Jikalau ada yang tidak Alkitabiah dan nyata-nyata melawan prinsip Alkitab, kita harus berani mendongkel serta menghentikannya sekuat tenaga. Jika tradisi yang tidak Alkitabiah seolah-olah tidak relevan dengan Alkitab, minimalnya kita harus mempertimbangkannya dengan kritis.

Pada umumnya kita mengetahui dan mengakui sifat otoritas dari pikiran, kebudayaan yang kita bayangkan, namun kebenaran dan kekekalan hanya dimiliki Kitab Suci. Kebudayaan telah menjadi sebagian perasaan keamanan kita. Bila hal-hal ini diancam, kita juga merasakan ancaman itu sehingga kita selalu menghindari bahaya dan berusaha mempertahankannya.

Kadang-kadang kita kurang menaruh perhatian terhadap otoritas Alkitab. Kita memperlakukan Firman Allah sama dengan cara kita memperlakukan tradisi dan konsep manusia, sehingga gampang melalaikannya. Dengan ini membuktikan kita masih orang Kristen duniawi, yang secara tuntas sudah menerima sikap anti otoritas yang dimiliki oleh orang dunia, sehingga tidak bersedia hidup di bawah otoritas Allah serta otoritas pemerintahanNya terhadap umat-Nya.

Orang Kristen zaman ini dipanggil untuk menjalankan tali keseimbangan ini. Kita tidak menolak segala perubahan, juga tidak mengubahnya secara total secepat mungkin, lebih dari itu terhadap hal-hal yang diperbolehkan oleh Alkitab dan yang dapat diubah juga kita serang dengan serampangan. Setiap orang Kristen yang percaya Allah di dalam sejarah dan pekerjaan Roh Kudus sepanjang sejarah gereja tidak mungkin merasa senang untuk mengubah sesuatu hanya disebabkan ingin mengubahnya. Kadang-kadang yang lama ada juga baiknya, karena telah bertahan dalam ujian waktu. Kita perlu sikap peka terhadap orang Kristen tua yang beraliran konservatisme. Mereka tidak mudah membiasakan diri terhadap perubahan tetapi lebih gampang merugikan dan menghambat perubahan. Dari pandangan Alkitab kita mengetahui yang kita butuhkan adalah daya membedakan yang bijaksana. Maka kita harus bisa menikmati tradisi yang lampau serta berdaya responsif terhadap aliran- aliran baru. Hanya dengan demikian baru kita dapat mempergunakan penghakiman dari Kitab Suci yang radikal di dalam segala macam kebudayaan, serta di bawah pimpinan Tuhan baru mungkin mencapai perubahan yang lebih baik.

Kiranya Tuhan memberikan kebijaksanaan yang sama kepada kita saat ini. Kiranya Dia juga memberikan keberanian kepada kita sehingga mempergunakan kebijaksanaan ini bukan hanya untuk urusan gerejani, tetapi dapat juga diterapkan ke dalam wilayah sosial, etika, dan politik.

Mungkin saya boleh mempergunakan terminologi biologis untuk mengutarakan maksud saya. Yaitu kita memerlukan kutu sapi Kristen (orang yang membenci kita) untuk mengganggu dan menusuk kita sehingga kita melangsungkan perubahan. Pada saat yang sama kita juga memerlukan anjing penjaga Kristen (pengawal) pada saat kita menyatakan tanda- tanda mengkompromikan kebenaran Alkitab. Di dalam keadaan bagaimanapun, pengawal itu dapat menggonggong dengan suara keras yang bertahan lama. Tidak perduli yang menusuk orang atau menggonggong orang, kedua macam pribadi ini sulit kita ajak kerja sama. Mereka pun tidak gampang menemukan minat persamaan antara mereka sendiri. Namun yang menusuk harus tidak menggigit yang menggonggong dan yang menggonggong harus tidak menelan yang menusuk. Mereka harus belajar hidup rukun dalam gereja Kristus serta mengkonsentrasikan perhatian terhadap umat Tuhan yang begitu banyak, guna melaksanakan tugas mereka masing-masing. Kita sebenarnya sangat membutuhkan kedua macam hamba Tuhan ini.

Setelah peringatan tentang bahaya dari perubahan yang terlalu banyak dan perubahan yang terlalu sedikit, sekarang marilah kita mengambil kesimpulan, yaitu bahaya yang lebih besar (paling sedikit di dalam aliran Injili) adalah salah menanggapi unsur kebudayaan sebagai unsur Alkitabiah sampai akhirnya menjadi terlampau konservatif dan terlampau terikat oleh tradisi. Sehingga tidak bisa melihat hal-hal gerejawi dan sosial yang tidak berkenan kepada Tuhan. Konsekuensinya kita menjadi terlalu kolot di dalam ikatan kondisi sekarang serta menolak pengalaman yang paling tidak enak yaitu perubahan.


BENTUK DAN KEBEBASAN
Dari membicarakan ekstrim konservatif dan radikal mari kita beralih kepada ekstrim berorganisasi dan tidak berorganisasi. Organisasi sekuler sedang mengalami perpecahbelahan di sana sini. Secara global manusia melawan bentuk dan struktur yang kaku serta mengejar kebebasan dan fleksibilitas. Gereja Kristen telah diakui di seluruh dunia sebagai satu struktur organisasi yang menonjol dan mantap. Sehingga kita tidak mungkin luput dari tantangan zaman yang satu ini. Kita harus ingat tantangan ini berasal dari sudut internal maupun eksternal. Banyak orang Kristen yang muda sedang menuntut sesuatu agama Kristen tanpa organisasi untuk menanggalkan beban gereja Kristen yang harus ditanggungnya. Mari kita menganalisa gerakan ini di dalam 3 pernyataannya yang utama.

Pertama orang sedang mencari gereja yang tidak memiliki bentuk yang tetap. Kelompok-kelompok Kekristenan seluruh dunia sedang menerobos tradisi dan mengerjakan segala hal menurut caranya sendiri.

Kedua, orang Kristen sedang mencari macam penyembahan yang tidak terikat peraturan. Pendeta tidak lagi memimpin setiap upacara melainkan mendorong jemaat untuk berpartisipasi, organ sudah diganti oleh gitar, liturgi yang kuno sudah diganti oleh bahasa sehari-hari. Makin banyaknya kebebasan berarti makin sedikitnya upacara. Makin banyaknya inisiatif berarti makin sedikit hal-hal yang statis.

Ketiga, melawan denominasionalisme dan suatu hal yang ditekankan yaitu kebebasan. Rupanya generasi yang baru ini sangat puas dengan membuang segala sesuatu yang lampau. Bahkan semua ikatan gereja-gereja lain pada saat ini. Mereka suka menyebut diri sebagai Kristen dan tidak mau panji denominasi apapun.

Kita tidak perlu ragu bahwa ketiga tuntutan ini mempunyai kekuatan yang meyakinkan. Mereka memiliki perasaan yang berkobar-kobar dan mereka berbicara secara dinamis. Kita tidak bisa mengabaikannya atau menganggapnya sebagai gila, maupun menganggap mereka adalah kaum pemuda yang tidak bertanggung jawab. Karena ini merupakan sesuatu gejala global yang menuntut kebebasan, fleksibilitas, kemandirian dan non-organisasi. Orang Kristen generasi tua dan yang agak bersifat tradisionil perlu mengerti hal ini. Kita harus bisa bersimpati dan sebisa mungkin berjalan bersama dengan mereka. Kita harus mengakui bersama bahwa Roh Kudus mungkin dan kadang-kadang sudah dibelenggu di dalam struktur organisasi kita.[2] Dan terbatas di dalam bentuk yang ada pada kita.

Namun saya masih ingin sampaikan bahwa kebebasan dan kacau balau tidak mempunyai arti yang sama, apakah sebabnya kita memerlukan semacam bentuk dan organisasi tertentu.

Pertama, gereja yang berorganisasi. Orang Kristen berasal dari latar belakang gereja yang berbeda-beda dan mengasihi serta menghargai tradisi yang berbeda-beda. Meskipun tidak semuanya, tapi paling tidak mayoritas menyetujui bahwa pendiri gereja yang asli, yaitu Kristus, menghendaki gereja-Nya mempunyai organisasi yang tampak. Gereja juga mempunyai aspek yang tidak bisa dilihat, ini merupakan satu fakta. Di situ hanya ada “orang-orang” yang diketahui sebagai milik-Nya sendiri. Tetapi tidak boleh kita memakai alasan bahwa gereja sejati adalah yang tidak kelihatan untuk menyangkal bahwa Yesus Kristus mengharapkan umat-Nya boleh dilihat dan diketahui oleh dunia, Dia sendirilah yang telah menetapkan sakramen pembaptisan sebagai upacara masuk ke dalam gereja, dan baptisan merupakan sesuatu yang terbuka dan bisa dilihat. Dia juga mendirikan sakramen perjamuan suci bagi persekutuan orang Kristen, yang melaluinya gereja boleh dipersatukan dan dengan ini pun mengeksklusifkan orang-orang yang bukan anggota. Sehingga boleh melaksanakan disiplin di dalam anggota-anggota gerejanya. Bukan saja demikian, Dia juga mengutus gembala-gembala untuk memelihara kaum dombaNya. Maka tidak perduli di mana pun, jika ada baptisan, perjamuan suci, pendeta atau istilah-istilah tradisionil, penginjil, sakramen, maka di sana ada organisasi. Mungkin organisasi ini bersifat lebih sederhana dari denominasi-denominasi historis. Mungkin lebih fleksibel tetapi tetap ada sesuatu organisasi yang jelas dan tegas. Lebih dari ini seseorang boleh menyatakan perlawanan yang keras terhadap nilai pemberitaan firman dan nilai sakramen namun pemberitaan firman dan sakramen tetap diakui bersama oleh gereja-gereja yang berbeda.

Kedua, penyembahan yang resmi. Secara pribadi saya sama sekali menyetujui penyembahan kaum muda yang timbul dari dalam hati yang melimpah dengan sukacita dan ramai-ramai. Meskipun kadang-kadang saya merasakan kepahitan di dalamnya seperti pengalaman saya satu kali di suatu tempat. Telinga saya hanya berjarak beberapa inchi dari loud speaker yang keras sekali.

Kadang-kadang penyembahan kita terlalu formil, terlalu tinggi dan monoton. Bahkan di dalam kebaktian modern boleh dikatakan sama sekali sudah kehilangan ibadat sehingga sangat merisaukan. Sebagian orang Kristen seolah-olah menganggap bukti utama penyertaan Roh Kudus adalah keramaian dan inspirasi inisiatif. Bukankah ini mengisyaratkan bahwa kita sudah melupakan bahwa merpati, angin, dan api sama-sama adalah tanda Roh Kudus? Pada saat Roh Kudus hadir dengan kuasa-Nya di tengah- tengah umat, kadang-kadang Ia mendatangkan ketenangan, kesejahteraan, keagungan dan mengakibatkan perasaan takut kepada Tuhan. Suara kecil-Nya boleh didengar. Di dalam ketakutan terhadap Roh, manusia berlutut di hadapan kuasa Allah yang hidup dan sejati. Menyembah dengan “hanya Tuhan ada di dalam Bait-Nya yang suci, manusia seluruh bumi sepatutnya berdiam diri dan hormat di hadapan-Nya.” Saya tidak bermaksud untuk mengatakan ibadat dan bentuk pasti bersatu. Karena kebaktian yang tidak resmipun kadang-kadang bersifat ibadat. Sedang penyembahan resmi yang memakai upacara yang agung kadang-kadang tidak memiliki ibadat yang bersifat rohani. Namun di mana terjadi persatuan antara keagungan lahiriah dan ibadat batiniah, di sana penyembahan yang dipersembahkan paling memuliakan Allah.

Ketiga, prinsip yang berelasi. Mayoritas kita menegaskan gereja lokal paling sedikit harus memiliki sifat kemerdekaan tertentu. Sedangkan menurut Kitab Suci gereja lokal adalah penyataan yang nampak di dalam satu tempat yang bersifat gereja global. Sedangkan gereja lokal bukan saja adalah gereja global, juga disebut sebagai Bait Allah dan tubuh Kristus. (Gereja lokal: 1 Korintus 3:16; 12:27, gereja global: Efesus 2:19-22; 4:4, 16). Namun gereja lokal mungkin terlalu menekankan prinsip otonomi gereja lokal ini sehingga melalaikan orang Kristen dari zaman lampau dan zaman sekarang. Pada saat terjadinya kondisi semacam ini gereja lokal akan menjadi terlampau memuaskan diri sehingga menekan gereja Tuhan baik secara waktu dan ruang.

Maka kita perlu mengingatkan diri tentang kebenaran-kebenaran Alkitab yang senantiasa mudah dilupakan oleh kaum muda. Apakah anda hanya tertarik dengan keadaan sekarang, apakah generasi ini khusus menggemari kalimat Henry Ford yang menganggap sejarah itu hampa adanya? Kadang-kadang seolah-olah ini benar. Namun Allah macam apakah yang anda percaya? Allah di dalam Kitab Suci adalah Allah sejati, Allah Abraham, Ishak, Yakub, Allah Musa dan nabi-nabi, Allah Yesus Kristus dan rasul-rasulNya, Allah gereja abad permulaan, Dialah yang melampaui segala abad untuk merealisasikan kehendak-Nya. Jika Allah memang adalah Tuhan sejarah, bagaimana kita boleh melalaikan sejarah atau tidak tertarik kepadanya? Ia adalah juga Allah dari seluruh gereja. Persatuan gereja berasal dari persatuan sifat ilahi karena hanya ada satu Bapa, satu keluarga, karena hanya ada satu Tuhan, satu iman, satu pengharapan, satu baptisan dan hanya karena ada satu Roh Kudus maka hanya ada satu tubuh (gereja).

Jikalau kita tidak boleh melalaikan masa lampau, maka kita juga tidak boleh melalaikan masa sekarang. Seluruh masalah yang berelasi dengan orang Kristen yang lain adalah sangat kompleks dan mudah menimbulkan perselisihan. Alkitab tidak memberikan jaminan untuk menemukan atau memelihara persatuan tanpa kebenaran, tetapi Alkitabpun juga tidak memberikan jaminan bahwa kita boleh menemukan kebenaran tanpa persatuan. Ini benar adanya namun persekutuan di dalam kepercayaan pengakuan bersama itu pun benar adanya.

Sekali lagi saya menyerukan di dalam masalah ini janganlah kita terus menempuh cara ekstrim. Di dalam gereja Kristus berorganisasi atau tanpa organisasi, formil atau tidak formil, suasana khidmat atau inspirasi inisiatif, independen atau bersekutu, kita harus memberikan tempat kepada keduanya.

Gereja masa permulaan telah memberikan teladan yang sempurna kepada kita di dalam masalah ini. Bukankah kita membaca setelah hari Pentakosta orang Kristen yang baru dipenuhi Roh Kudus berbakti ke dalam rumah sembahyang dan memecahkan roti di dalam rumah mereka sendiri. Maka mereka tidak langsung menolak gereja orang Yahudi, tetapi memperbaikinya berdasarkan Injil yang diterimanya, bahkan mereka memakai kebaktian di rumah mereka untuk mengisi penyembahan dan permintaan yang formal di dalam Bait Allah. Apa yang saya lihat di sini setiap gereja lokal seolah-olah harus menampung baik ibadah yang formal di dalam gereja dan persekutuan tidak formal di dalam rumah ke dalam pengaturan programnya. Sedangkan generasi tua dan anggota gereja tradisionil yang senang kepada penyembahan formal memerlukan pengalaman kebebasan dalam penyembahan keluarga. Sedangkan anggota gereja yang muda, yang gemar kepada keramaian dan inspirasi inisiatif memerlukan pengalaman penyembahan gerejani yang bersifat khidmat dan formil. Karena kombinasi semacam ini adalah sangat sehat.


Catatan dari Pdt. Dr. Stephen Tong:
[1] Hal ini merupakan refleksi masyarakat Barat di mana gereja mempunyai peranan penting dalam masyarakat, bukan refleksi masyarakat Timur di mana gereja merupakan minoritas masyarakat.
[2] Sebenarnya Roh Kudus yang membebaskan tidak mungkin dibelenggu oleh kita. Kalimat ini harus dimengerti sebagai berikut, yaitu: Jika kita mementingkan organisasi dan struktur kita, kita akan mengikat diri di dalam keterbatasan kita sendiri sehingga tidak mengalami berkat dan kuasa Roh Kudus yang melampaui keterbatasan kita, maka kitalah yang menjadi terbelenggu, bukan Roh Kudus.


Sumber:
Judul Majalah: Momentum 7
Judul Artikel: Gereja; Mau Kemana? Konservatif dan Radikal
Pengarang: John R. W. Stott
Penerbit: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1989
Halaman: 6-11


Disarikan dari:
http://reformed.sabda.org


Profil Rev. DR. JOHN R. W. STOTT:
Rev. Dr. John Robert Walmsley Stott,
CBE adalah seorang pemimpin Kristen dari Inggris dan pendeta gereja Anglikan yang tercatat sebagai seorang pemimpin dari gerakan Injili di seluruh dunia. Beliau terkenal sebagai salah seorang penulis terpenting dari Lausanne Covenant pada tahun 1974. Beliau lahir di London pada tahun 1921 dari Sir Arnold dan Lady Stott. Stott belajar modern languages di Trinity College, Cambridge di mana beliau lulus dengan dua gelar dalam bidang bahasa Prancis dan Theologi. Di universitas, beliau aktif di Cambridge inter-collegiate Christian Union (CICCU).
Setelah ini, beliau berpindah ke
Ridley Hall Theological College (juga the University of Cambridge) sehingga beliau dapat ditahbiskan menjadi pendeta Anglikan pada tahun 1945 dan menjadi pembantu pendeta di the Church of All Souls, Langham Place (1945-1950) (website: www.allsouls.org) kemudian Pendeta (1950-1975). Beliau dipilih menjadi Pendeta bagi Ratu Inggris Elizabeth II (1959-1991) dan Pendeta luar biasa pada tahun 1991. Beliau menerima CBE pada tahun 2006 dan menerima sejumlah gelar doktor kehormatan dari sekolah-sekolah di Amerika, Inggris dan Kanada. Salah satunya adalah Lambeth Doctorate of Divinity pada tahun 1983.