29 November 2009

HERE, I STAND: Sebuah Perenungan tentang Panggilan Kekristenan di Era Postmodern (Denny Teguh Sutandio)

HERE, I STAND:
Sebuah Perenungan tentang Panggilan Kekristenan di Era Postmodern


oleh: Denny Teguh Sutandio




PENDAHULUAN
Zaman adalah suatu era di mana kita hidup, tinggal, dan bersosialisasi di dalamnya. Setiap zaman memiliki semangat zaman (Inggris: spirit of the age; Jerman: zeitgeist). Dan setiap semangat zaman itu juga memiliki dampak positif dan negatifnya. Dampak negatif dari semangat zaman ini disebut oleh Pdt. Dr. Stephen Tong sebagai krisis zaman. Saya menyebut ketidakberesan ini sebagai penyakit zaman. Mari kita menelusuri setiap zaman dan semangat zaman di dalamnya. Lalu, saya akan memfokuskan pada pembahasan postmodernisme karena kita sedang hidup di dalam zaman postmodern. Setelah itu, kita akan menelusuri dampak semangat postmodernisme di dalam Kekristenan dan sikap Kristen yang benar. Artikel ini dibuat bukan sebagai bahan studi akademis, namun sebagai perenungan.




ZAMAN PREMODERN DAN MODERN
Di zaman premodern, orang-orang masih percaya akan hal-hal yang bersifat ilahi/ketuhanan. Bahkan di zaman Abad Pertengahan, theologi disebut ratu ilmu pengetahuan. Namun, zaman berubah. Zaman premodern berubah menjadi zaman modern yang menitikberatkan akan peran rasio. Meskipun pada permulaan zaman ini, agama dan iman masih diakui, namun rasio mulai mendapat tempat penting. Kemudian, zaman modern benar-benar terlihat ketika di abad Pencerahan, agama dibuang dan diinjak-injak dan diganti dengan superioritas rasio sebagai satu-satunya tolok ukur kebenaran. Minat terhadap filsafat-filsafat Yunani mulai bangun. Meskipun hal ini ada dampak positifnya, namun sayangnya dampak negatiflah yang lebih banyak dihasilkan. Dampak positifnya adalah manusia di abad modern berusaha semaksimal mungkin mendayagunakan rasio mereka dengan bertanggungjawab, meskipun banyak di luar iman. Di abad ini juga, keteraturan masih dipertahankan. Gedung dan arsitektur memperlihatkan adanya keteraturan dan simetris. Sedangkan dampak negatif dari abad ini adalah Alkitab dipertanyakan validitas (keabsahan)nya, namun sayangnya rasio tidak pernah dipertanyakan validitasnya. Inilah kelucuan abad Pencerahan.




ZAMAN POSTMODERN DAN POSTMODERNISME: DAMPAK POSITIF DAN PENYAKIT-PENYAKITNYA
Zaman modern telah usai dan diganti dengan zaman postmodern. Jika di zaman modern, manusia mempergunakan rasio dan mengutamakan keteraturan, maka di zaman postmodern, manusia lebih mementingkan perasaan, me“mutlak”kan kerelatifan, dan mengutamakan ketidakteraturan. Di dalam zaman postmodern, keluarlah ide postmodernisme yang memengaruhi budaya postmodernitas di dalam kehidupan sehari-hari. Ide postmodernisme keluar sebagai bentuk protes terhadap modernisme yang mementingkan rasio. Mereka menyadari hal ini setelah 2 kali meletusnya Perang Dunia yang memakan banyak korban jiwa. Dari sini, mereka sadar bahwa rasio bukan segala-galanya. Akibatnya, mereka tidak lagi menekankan fungsi rasio, namun merambah ke dalam seluruh bidang kehidupan manusia. Tidak heran, istilah-istilah seperti EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient), dll mulai dimunculkan. Hal-hal ini tentu tidak salah, karena kepintaran seseorang tidak bisa diukur hanya dari kemampuan intelektualitas semata-mata, namun juga bisa diukur dari sisi emosi dan spiritual/rohani. Hal ini juga menjadi teguran bagi beberapa Reformed yang suka mengoleksi pengajaran melalui khotbah-khotbah dan buku-buku, namun kerohaniannya kering dan statis, apalagi relasi sosialnya benar-benar menyedihkan, heheheJ.


Selain itu, postmodernisme juga menekankan kerelatifan. Bagi postmodernisme, segala sesuatu itu relatif. Meskipun ada sedikit benarnya bahwa segala sesuatu di dunia ini relatif (dan hanya Allah dan firman-Nya saja yang mutlak), namun konsep ini mengandung bahaya dan berisi kekontradiksian di dalam dirinya sendiri. Bahaya dari konsep ini adalah bagi para penganut postmodernisme, karena segala sesuatu itu relatif, maka nilai pun menjadi relatif. Sesuatu yang berharga tidak bisa dibedakan dengan sesuatu yang tidak berharga. Segala sesuatu yang relatif akhirnya menjadi segala sesuatu sesuai dengan nilai sendiri yang berbeda-beda antar manusia. Akibatnya keluarlah ide (mengutip perkataan Pdt. Sutjipto Subeno), “My business is not your business. Your business is not my business. Let us do our own business.” Atau istilah dari Ev. Ivan Kristiono, generasi postmodern adalah generasi EGP (Emang Gue Pikirin). Budaya cuek-isme telah beredar di zaman ini. Kedua, kekontradiksian konsep ini begitu kentara. Orang postmodern gemar menyuarakan “segala sesuatu itu relatif”, tetapi tolong tanya, bagaimana mereka menyuarakan ide mereka? Tentu dengan semangat kemutlakan bukan? Jadi, istilahnya, mereka me“mutlak”kan ide bahwa segala sesuatu itu relatif. Suatu permainan istilah yang lucu yang mereka ciptakan sendiri.


Karena menekankan ide segala sesuatu itu relatif, maka filsafat postmodernisme menghasilkan suatu ketidakteraturan. Di bidang arsitektur, kita bisa melihat perbedaan ciri khas bangunan ala modernisme vs postmodernisme. Di abad modern, gedung dibangun dengan arsitektur yang teratur dan simetris, sedangkan di zaman postmodern, dengan ide relativisme, mereka membangun gedung-gedung dengan arsitektur yang kacau dan asimetris. Mengapa? Karena mereka bosan dengan gaya modern yang teratur. Bukan hanya dalam bidang arsitektur, ketidakteraturan juga merambah ke dalam bidang seni. Dalam bidang seni musik, di abad modern, manusia masih menyukai musik-musik berkualitas, namun sayang di abad postmodern, manusia lebih menyukai musik-musik tidak bermutu. Yang disukai oleh manusia postmodern adalah musik-musik yang menyenangkan telinga dan menggoyangkan badan. Dalam bidang seni sastra, bahasa bukan lagi sebagai suatu alat komunikasi yang jelas dan terarah, namun sudah menjadi kacau. Adanya ambiguitas menandakan ketidakteraturan bahasa di abad postmodern. Satu kata bisa berbagai arti. Begitu juga halnya dengan hermeneutika (ilmu penafsiran). Jika di zaman modern tidak ada ambiguitas makna sehingga hampir tidak mungkin adanya kesalahan penafsiran, maka di zaman postmodern yang sarat dengan ambiguitas makna, maka penafsiran pun semakin banyak tidak bertanggungjawab, sehingga masing-masing orang bisa menafsirkan semaunya sendiri tanpa mau mengerti dari sumber pertamanya.


Karena menekankan ketidakteraturan, maka postmodernisme melahirkan suatu semangat yang benar-benar mengerikan: PEMBERONTAKAN! Karena tidak mau terikat pada tradisi lama, maka banyak manusia postmodern mulai memberontak. Memberontak terhadap tradisi lama yang kaku, memberontak terhadap iman yang beres, memberontak terhadap segala hal yang bernilai, dll. Semangat pemberontakan akhirnya menghasilkan sikap-sikap asusila, seperti: lesbian, homo, banci, dll. Sikap-sikap ini bukan diberantas, malah didukung bahkan oleh Presiden Amerika Serikat yang baru, Barack H. Obama.




DAMPAK POSTMODERNISME KE DALAM KEKRISTENAN DAN TINJAUAN KRITIS TERHADAPNYA
Postmodernisme yang begitu mengerikan ternyata tidak hanya berlaku di dalam dunia, bahkan telah meresap dan memengaruhi Kekristenan. Pengaruh ini bersifat positif dan lebih bersifat negatif.


Pertama, Kekristenan yang menyeluruh (tidak hanya mementingkan masalah otak). Sebenarnya secara dasar dan sumber asal, Kekristenan yang berdasarkan Alkitab memperhatikan seluruh aspek kehidupan manusia. Kalau mau ditelusuri lebih dalam, Alkitab mementingkan masalah hati ketimbang rasio (1Sam. 16:7; Mat. 15:18-19). Dengan kata lain, urutannya: hati --> rasio --> perkataan --> perbuatan. Namun sayangnya, dasar manusia berdosa, mereka suka menekankan hal-hal tertentu lebih daripada yang lainnya. Di abad premodern, Kekristenan menekankan mistisisme. Di abad modern, Kekristenan menekankan rasio. Nah, di abad postmodern, Kekristenan mulai sadar dan tidak lagi terlalu menekankan rasio, melainkan merambah ke semua bidang kehidupan. Hadirnya Gerakan Reformed Injili yang didirikan oleh hamba-Nya yang setia, Pdt. Dr. Stephen Tong membuktikan bahwa Kekristenan harus menggunakan rasio untuk mengerti kebenaran firman Tuhan, mengkritisi zaman sesuai firman Tuhan, dan mengembalikan zaman kepada Kristus. Namun, Kekristenan juga tetap memerlukan pengalaman rohani sebagai respons terhadap mengenal Allah secara kognitif. Selain itu juga, Kekristenan memperhatikan perkataan dan tindakan yang selaras dengan kebenaran firman Tuhan.


Kedua, kerelatifan segala sesuatu. Karena memercayai ide bahwa segala sesuatu itu relatif, maka beberapa (atau mungkin banyak?) orang Kristen pelan namun pasti sedang gembira menyambut teori ini dan mengaplikasikannya ke dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karena segala sesuatu itu relatif, maka tidak ada standar kebenaran yang bisa dipegang. Akibatnya, orang Kristen sendiri pun memiliki kebenaran versi mereka sendiri yang banyak tidak sesuai dengan Alkitab. Karena masing-masing orang Kristen memiliki kebenaran versi sendiri, mereka secara “konsisten” tidak akan menganggu kebenaran versi orang Kristen lain. Bagi mereka, semua itu benar dan benar tergantung diri mereka sendiri. Mereka akan marah sekali jika ada orang Kristen tertentu yang menegur iman orang Kristen lainnya yang tidak sesuai dengan Alkitab. Kemarahan mereka dibalut dengan kata-kata “rohani” yang seolah-olah didukung oleh ayat Alkitab: “Jangan menghakimi.” Padahal pernyataan mereka ini tidak konsisten. Mereka berkata, “Jangan menghakimi gereja lain”, padahal secara tidak sadar, mereka pun sedang menghakimi. Bukankah ini suatu teori yang melawan diri sendiri? Aneh bukan? HeheheJ Benarlah apa yang dikatakan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong bahwa semua filsafat dunia yang melawan Alkitab selalu berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Kerelatifan lainnya juga ditunjukkan dengan kerelatifan nilai. Makin hari Kekristenan bukan makin bijaksana dalam menentukan nilai, melainkan makin parah. Apa yang sungguh-sungguh bernilai dianggap tidak bernilai, sebaliknya apa yang sebenarnya sampah dianggap bernilai. Dan yang lebih parah mereka lebih memerhatikan fenomena ketimbang esensi! Tidak heran, para pemuda/i yang mengaku “Kristen” terlibat dalam hal ini. Mereka memilih lawan jenis bukan karena imannya, tetapi karena faktor-faktor fenomena yang sebenarnya tidak bertanggungjawab, misalnya: ganteng/cantik, tinggi, seksi, kaya (tajir), cocok kalau ngobrol dengannya, dll. Yang lebih parah lagi, ada seorang anak aktivis gereja tertentu di Surabaya yang memilih lawan jenisnya BUKAN karena iman, melainkan karena cocok kalau ngobrol dengannya. Yang mengasihankan, lawan jenisnya yang dijadikan pacarnya adalah BEDA AGAMA! Luar biasa. Nilai makin lama makin hancur dan pelan namun pasti itu sedang dan akan terus terjadi di dalam Kekristenan. Oleh karena itu, berhati-hatilah akan tipu daya iblis!


Ketiga, ketidakteraturan segala sesuatu. Karena percaya bahwa segala sesuatu itu relatif, maka banyak orang Kristen tidak lagi mementingkan keteraturan. Bidang pertama yang sering dijumpai adanya ketidakteraturan di dalam Kekristenan adalah ibadah. Ibadah bukan lagi dilakukan dengan sikap hormat di hadapan Tuhan, tetapi makin lama ibadah Kristen makin liar. Lagu-lagu rohani zaman dahulu dibuang dan diganti dengan lagu-lagu rohani kontemporer. Meskipun saya TIDAK mengatakan bahwa semua lagu rohani kontemporer itu salah semua dan semua lagu klasik itu semua benar, namun kecenderungan banyak gereja Kristen zaman postmodern ini adalah mulai meninggalkan warisan bermutu dari lagu-lagu rohani zaman dahulu. Saya menghargai dan bahkan menyukai beberapa lagu rohani kontemporer yang benar sesuai dengan konsep Alkitab yang terintegrasi, namun harus diakui banyak lagu rohani kontemporer yang digubah dengan isi dan arti yang berlawanan dengan Alkitab karena si penggubah lagu rohani tersebut kurang mengerti prinsip Alkitab secara terintegrasi (bandingkan hal ini dengan banyak penggubah lagu rohani klasik seperti G. F. Handel, J. S. Bach, dll yang membaca buku-buku theologi dan Alkitab).

Bidang kedua yang saya jumpai tidak teratur di dalam Kekristenan adalah masalah bahasa. Karena ikut-ikutan dengan konsep dunia berdosa, maka Kekristenan juga mengimpor ide ambiguitas bahasa alias penggunaan bahasa yang semaunya sendiri. Bahasa-bahasa atau istilah-istilah rohani dipakai untuk sesuatu yang tidak beres motivasi dan tujuannya. Misalnya, istilah bergumul yang seharusnya berarti sebuah proses tindakan yang mengetahui Kebenaran dan risiko melakukannya, namun terus berjuang mengalahkan godaan iblis dan sebaliknya taat kepada Kebenaran, sekarang istilah tersebut mengalami deviasi demi kepuasan sesaat seorang muda/i “Kristen”. Atas nama “cinta” dan kecocokan, banyak muda/i “Kristen” dengan mudahnya menjual iman mereka (sambil tetap katanya “melayani Tuhan”) dengan alasan-alasan konyol, namun tetap menggunakan istilah-istilah “rohani”, seperti: “saya sedang menggumulkan dia.” Benarkah mereka bergumul? TIDAK. Mereka sedang suka dengan lawan jenis yang beda agama, namun mereka sungkan kalau berkata demikian, maka supaya kelihatan “rohani”, maka mereka mengatakan, “Saya menggumulkan dia.” Yang lebih parah lagi, ambiguitas bahasa ini dimuati oleh presuposisi dasar dari diri yang berpura-pura. Tambah klop dech, postmo abizzz, heheheJ Kemunafikan atau bermuka dua dari diri seseorang mengakibatkan sikap semaunya sendiri dalam menggunakan bahasa. Untuk mengatakan TIDAK saja menggunakan beragam bahasa yang katanya tujuannya agar tidak menyakiti orang lain, namun sayang, pelan namun pasti (yang tidak disadari atau sebenarnya pura-pura tidak disadari), jika diketahui, justru perkataannya itu lebih menyakitkan. Dengan kata lain, di mana-mana bermuka dua dibenci orang. Pertama-tama, Alkitab membencinya (baca: Rm. 12:9) dan orang pada umumnya juga membencinya. Koko sepupu saya yang beragama Kristen Katolik yang tidak terlalu religius mengungkapkan kebenciannya pada orang yang bermuka dua. Yang lebih mengerikan adalah ada orang Kristen bahkan Reformed yang bisa-bisanya bermuka dua. Itu mengerikan!

Bidang ketiga ketidakteraturan adalah bidang penafsiran. Bahasa yang bisa bermakna lebih dari satu mengakibatkan ketidakteraturan penafsiran. Apakah kekacauan penafsiran selalu diakibatkan oleh ambiguitas bahasa? Bisa ya, bisa tidak. Ya, karena kekacauan bahasa mengakibatkan orang yang menafsirkan bahasa tersebut menjadi bingung. Saya sering mengalami kebingungan/kesulitan menafsirkan satu kata dari seseorang. Tidak, karena meskipun ada kata yang jelas artinya, namun dasar manusia berdosa selalu menafsirkan semaunya sendiri. Misalnya, sudah jelas-jelas Alkitab mengajarkan tentang realitas dosa, namun tetap saja ada hamba Tuhan yang menyangkalnya dan/atau menyebut dosa itu sebagai penyimpangan atau kesalahan saja. Contoh praktis bidang penafsiran adalah beragam tafsiran Alkitab. Mengapa Alkitab yang satu bisa menghasilkan banyak tafsiran Alkitab? Masih untung kalau antar tafsiran Alkitab itu ada kesesuaiannya, bagaimana kalau beberapa tafsiran Alkitab bisa bertolak belakang? Itu mengenaskan. Beragam tafsiran Alkitab yang berbobot itu sah dan baik, namun yang menjadi persoalannya adalah orang-orang postmodern melalui beberapa hamba Tuhan yang tidak pernah sekolah theologi baik-baik berani menulis dan menerbitkan buku tafsiran Alkitab bahkan berani berkhotbah di atas mimbar.


Keempat, pemberontakan. Ide postmodernisme keempat yang memengaruhi Kekristenan adalah pemberontakan. Ide ini pertama kali muncul di dalam gaya ibadah Kristen. Jika gereja zaman dahulu mengutamakan keteraturan, maka gereja postmodern mulai mendengungkan pemberontakan terhadap keteraturan dan menganggap keteraturan itu sebagai tindakan membatasi kuasa “Roh Kudus.” Jadi bagi mereka, “Roh Kudus” adalah roh yang tidak teratur. Sejak kapan Alkitab mengajar demikian? Coba baca 1 Korintus 14:40 dan 2 Timotius 1:7. Kedua ayat ini mengajar kita bahwa Roh Kudus dan karunia-karunia-Nya identik dengan keteraturan dan ketertiban, bukan kekacauan apalagi pemberontakan. Dengan kata lain, kalau kita mempelajari Alkitab, siapakah yang dicatat memiliki jiwa pemberontakan? Siapa lagi, kalau bukan si setan. Dari sejak kitab Kejadian, iblis sudah mengajak Adam dan Hawa untuk memberontak melawan Allah. Kemudian, kitab-kitab selanjutnya juga menceritakan hal serupa. Jadi, ide siapa ide pemberontakan itu? Jelas, si setan. Jadi, barangsiapa yang ikut-ikutan memberontak, pengikut siapakah itu? Jawab sendiri, heheheJ




PANGGILAN KEKRISTENAN DI DALAM ZAMAN POSTMODERN
Bagaimana sikap Kristen yang benar terhadap postmodern? Ada dua pandangan yang sedang beredar.
Pandangan pertama adalah pandangan mayoritas Kristen yang dengan “sukacita” menerima dan menyebarkan ide-ide postmodernisme. Mereka dengan mudahnya melahap semua ide postmodernisme baik secara eksplisit maupun implisit. Nah, kalau sudah melahapnya, mereka akan dengan sendirinya mengindoktrinasi orang Kristen lain untuk mengadopsi pikiran mereka secara langsung maupun tidak langsung. Itulah dosa. Dosa tidak mau hanya dimiliki pribadi, namun juga dibagikan ke orang lain. Sayangnya orang Kristen yang beres di dalam memberitakan Injil tidak bisa seantusias ketika menyebarkan ide postmodernisme ini, heheheJ

Pandangan kedua adalah anti-postmodernisme. Ada kalangan Kristen yang benar-benar anti terhadap postmodernisme. Pendetanya mati-matian menyalahkan semua ide postmodernisme (tanpa melihat sedikitpun sisi positif di dalam postmodernisme). Sebenarnya mengapa bisa timbul reaksi demikian? Si pendeta secara sepihak langsung merujuk ke Roma 12:2 yang mengajar bahwa kita harus mengubah paradigma kita sesuai dengan kehendak Allah. dengan tidak mengikuti paradigma duniawi.


Di antara kedua pandangan yang tidak bertanggung jawab dan ekstrem ini, bagaimana sikap orang Kristen yang normal dan bertanggung jawab? Saya menyebut posisi saya terhadap postmodernisme adalah PARADOKS dan BIJAKSANA. Paradoks, berarti kita TIDAK 100% menerima postmodernisme dan juga TIDAK 100% menolak postmodernisme. Bijaksana, berarti kita bisa menyetujui ide-ide postmodernisme yang TIDAK melawan Alkitab dan tentunya menolak dengan tegas ide-ide postmodernisme yang jelas-jelas melawan Alkitab. Di dalam melihat ajaran-ajaran dunia yang tidak bertanggung jawab, Alkitab TIDAK ekstrem menolak semua ajaran ataupun menerima semua ajaran, namun Alkitab BIJAKSANA mengambil sikap. Apakah sikap Alkitab terhadap ajaran dunia? Rasul Paulus di dalam 1 Tesalonika 5:21 mengatakan, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” Kedua pernyataan ini digabungkan, maka artinya kita dituntut Tuhan melalui Paulus untuk menguji segala sesuatu dan setelah itu, berpegang pada yang baik. Hal inilah yang akan saya jelaskan berikut ini tentang sikap Kristen yang paradoks dan bijaksana tersebut.
1. Mutlak Vs Relatif (dan Aplikasinya)
Di titik pertama, Kekristenan harus memiliki konsep nilai yang bertanggung jawab dan sesuai dengan Alkitab. Nilai yang saya maksudkan berkaitan bukan hanya masalah bermutu atau tidak, tetapi juga mutlak atau tidak. Kekristenan yang bijaksana mampu membedakan mana yang mutlak vs relatif. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengajarkan bahwa yang mutlak jangan direlatifkan dan yang relatif jangan dimutlakkan. Berarti ada wilayah-wilayah kemutlakan yang harus dipertahankan secara tegas, sedangkan ada hal-hal yang relatif yang tidak perlu terlalu kaku dipegang teguh. Apa saja yang perlu dipertahankan? Iman, kerohanian, pengertian Kebenaran secara dasar, kebijaksanaan, etika, dll. Apa saja yang tidak perlu dipertahankan mutlak? Ajaran Kristen yang sekunder (seperti baptisan anak, perbedaan cara baptisan, perbedaan doktrin akhir zaman, dll), tradisi, ilmu, kebudayaan, gaya hidup, dll. Orang yang tidak bisa membedakan dua hal ini saya sebut sebagai orang lebay (berlebih-lebihan) atau ekstrem. Dari konsep doktrinal sampai hal-hal sehari-hari, ada saja orang-orang lebay. Gejala orang ekstrem atau lebay ini ditandai dengan sikap yang memutlakkan semua hal bahkan yang relatif sekalipun. Berarti tidak ada kompromi sedikitpun di dalam diri orang ini, bahkan untuk hal-hal yang tidak penting. Kekristenan memang mengajarkan bahwa kita tidak boleh kompromi, namun kita harus mengerti bahwa kita tidak boleh kompromi untuk hal-hal seperti apa. Untuk hal-hal mutlak, kita memang tidak boleh berkompromi sedikitpun, namun untuk hal-hal sekunder bahkan tersier, kita boleh berkompromi. Kalau semua orang tidak boleh berkompromi untuk semua hal, maka jangan heran, biasanya orang lebay jika dibiarkan terus-menerus akan menjadi stres, karena orang ini akan seperti anak kecil yang marah-marah kalau melihat orang lain berbeda dari dirinya. Nah, kalau orang stres seperti ini cocoknya masuk ke rumah sakit jiwa, hahahaJ Secara realitas, orang-orang model seperti ini sudah ada lho. Modelnya sih benar-benar kaku, jarang senyum, pemikir, dan tidak gaul (istilah kerennya: jadul/jaman dahulu). Apa ini ya ciri khas Kristen (apalagi Reformed)? HeheheJ Saya pribadi tidak mau seperti itu. Saya Reformed secara prinsip, namun gaul di dalam relasi dengan orang lain, karena saya masih muda, heheheJ Ini bukan kontradiksi!


2. Iman atau Rasio atau Aspek Integratif?
Setelah mengerti perbedaan mutlak vs relatif, maka kita masuk ke dalam pengertian berikutnya tentang iman atau rasio atau aspek integratif. Di dalam modernisme yang ditekankan adalah fungsi rasio. Sesuatu disebut kebenaran jika cocok dengan rasio manusia. Postmodernisme muncul sebagai reaksi terhadap modernisme yang mengilahkan rasio. Dalam hal ini, postmodernisme benar ketika mendobrak bahwa kebenaran bukan hanya didominasi oleh rasio saja, tetapi semua aspek: emosi, spiritual, dll. Namun postmodernisme kurang mengerti satu hal bahwa seluruh aspek integratif ini tidak bertanggung jawab jika tidak diletakkan di atas iman. Iman adalah hal yang mendasari dan menentukan seluruh aspek kehidupan manusia: pikiran, kehendak, emosi, perkataan, tingkah laku, dan perbuatan. Iman yang tidak beres menghasilkan pikiran, kehendak, emosi, dll yang tidak beres. Sebaliknya iman yang beres menghasilkan seluruh totalitas aspek hidup manusia menjadi beres, meskipun itu membutuhkan proses. Dari konsep ini, maka ketika kita hendak menilai pikiran atau tingkah laku seseorang, coba periksa iman mereka, bereskah iman mereka? Saya mengutip contoh ini dari pemaparan Pdt. Sutjipto Subeno. Misalnya, seorang penganut evolusionisme, sebenarnya seorang evolusionis bukan berpikir evolusi, namun beriman pada evolusi. Jadi, evolusionisme dilawan dengan iman Kristen.

Terlalu banyak saya menjumpai realitas orang yang imannya sudah tidak beres, perbuatan dan nilai hidupnya pun tambah tidak beres. Orang ini sih mengaku diri “Kristen”, anak aktivitas gereja, ikut melayani di gereja tersebut, sering mendengar khotbah yang mengajar bahwa kalau memilih pasangan hidup harus seiman dan yang rohani, namun sayang, khotbah yang didengar hanya masuk melalui telinga kiri dan keluar lagi melalui telinga kiri (alias tidak pernah nyangkut di otaknya). Orang ini mungkin sekali adalah penilai-penilai khotbah mimbar, namun sayangnya bukan pelaksana apa yang dikhotbahkan di atas mimbar. Baginya, khotbah hanya berlaku pada hari Minggu, setelah itu, tidak lagi. Jadi, mengutip Pdt. Sutjipto Subeno, orang ini kalau hari Minggu sementara menjadi “anak Tuhan”, Senin s/d Sabtu kembali lagi menjadi anak setan. Mungkinkah orang ini anak Tuhan sejati? Mungkin sekali, namun belum kelihatan dan saya terus mendoakan orang seperti ini segera bertobat (asalkan orang ini adalah orang Kristen yang rendah hati). Sebaliknya, mungkinkan orang ini anak setan? Mungkin juga, bahkan kecenderungannya lebih ke arah ini. Jangan mengira semua orang Kristen adalah anak Tuhan, karena mengutip Pdt. Dr. Stephen Tong, ada juga anak setan yang sedang indekos di dalam gereja. Bedanya antara anak Tuhan vs anak setan itu tipis. Mereka sama-sama kelihatannya pergi ke gereja, bahkan melayani di gereja, namun perbedaan di antara keduanya adalah perbedaan iman dan implikasi iman. Anak Tuhan sejati beriman beres dan terus berupaya agar apa yang diimaninya diimplikasikan di dalam kehidupannya sehari-hari. Sedangkan anak setan jelas beriman tidak beres (meskipun secara rasio mendengar banyak doktrin), maka aplikasi iman pun tambah tidak beres dan kacau tidak karuan, namun sayangnya berani menggunakan istilah-istilah agung dan rohani, seperti: “bergumul”, dll.

Tetapi bagaimana jika kita menjumpai seseorang bahwa imannya sudah beres, namun perkataan dan perbuatannya masih kurang beres? Apakah itu pertanda bahwa imannya tidak beres? TIDAK juga. Di sini, ada kemungkinan tertentu. Jika ada orang yang demikian, maka mungkin sekali ia beriman beres namun masih dalam proses pengudusan yang Roh Kudus kerjakan. Dengan kata lain, kita tidak berhak sama sekali menghakimi orang Kristen ini dan malahan kita harus mendoakannya agar Roh Kudus terus memampukan dirinya menaati apa yang Tuhan mau demi kemuliaan-Nya.

Bagaimana supaya iman yang beres diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari? Tidak ada formula khusus untuk itu. Yang mendorong kita menjalankan iman kita adalah Roh Kudus. Roh Kudus berkuasa mendorong dan mencerahkan kita untuk makin menjalankan apa yang Tuhan kasihi dan kehendaki. Dorongan ini mengakibatkan kita menjalankan kehendak Tuhan. Jadi, Roh Kuduslah yang memulai di dalam diri kita ketaatan pada kehendak Tuhan dan kita yang menjalankannya. Selain Roh Kudus, anak Tuhan juga dituntut untuk rendah hati dan rela hati dibentuk oleh Roh Kudus agar makin setia dan taat pada kehendak-Nya. Merelakan dan merendahkan hati kita di bawah kehendak-Nya tidaklah mudah, karena hal tersebut membutuhkan usaha yang keras untuk berusaha mengalahkan kehendak diri kita yang berdosa. Tidak sedikit orang Kristen yang kalah di dalam pergumulan hidup ini dan menyerah kepada godaan dunia karena lebih mencintai dunia dan segala hawa nafsunya, meskipun masih mengklaim diri sedang “melayani Tuhan.” Ingatlah satu hal, iman Kristen yang beres selalu berkaitan erat dengan kerendahan hati. Jangan berani mengklaim diri seorang Kristen apalagi Reformed jika tidak memiliki kerendahan hati. Dr. John Calvin sendiri sebagai pendiri theologi Reformed/Calvinisme adalah sosok theolog dan hamba Tuhan yang rendah hati yang menyerahkan hatinya kepada Tuhan. Mengapa banyak orang/hamba Tuhan Reformed menjadi sombong dan tidak lagi rendah hati? Yang paling saya soroti adalah BEBERAPA hamba Tuhan Reformed yang sudah sekolah theologi akhirnya bukan makin rendah hati, namun makin sombong. Bahkan ada hamba Tuhan Reformed (yang melankolis kalau berkhotbah) yang berani berkata, “Siapa yang berani menegur saya?” Sombong sekali perkataan yang seharusnya TIDAK layak diucapkan oleh seorang hamba Tuhan (apalagi Reformed). Inilah ironisnya yang sangat mengasihankan. Saya sangat menghargai hamba Tuhan (Reformed) yang rendah hati mau belajar dan dikoreksi, karena saya sendiri pun terus berusaha untuk semakin rendah hati belajar dan dikoreksi jika salah dan bertentangan dengan Alkitab. Orang yang terus-menerus mau dikoreksi adalah orang yang terus berusaha mengalahkan gengsinya. Sedangkan orang yang tidak mau dikoreksi dengan segudang argumentasi (bahkan didukung oleh ratusan bahkan ribuan ayat Alkitab dan kata-kata bijak dari theolog, filsuf, dll) sebenarnya adalah orang yang masih mempertahankan gengsi diri. Orang yang masih mempertahankan gengsi, masih layakkah disebut orang Kristen (pengikut Kristus)? Orang yang gengsinya tinggi, sudah merasa diri hebat dan mengetahui segala sesuatu sebenarnya, kata Alkitab, adalah orang yang tidak tahu apa-apa. Mengapa? Karena manusia bukan siapa-siapa di hadapan Allah yang Mahatahu dan Mahabijaksana. So, jangan berani menyombongkan diri.


3. Perbedaan atau Keseragaman?
Jika iman menjadi penentu dan dasar segala sesuatu bagi pikiran, perasaan, emosi, perkataan, tingkah laku, dan perbuatan, maka kita masuk ke dalam problematika perbedaan vs keseragaman. Mengutip Pdt. Billy Kristanto, jika di dunia modern, kita diajar untuk merayakan keseragaman, maka di era postmodern ini, kita diajar untuk merayakan perbedaan dengan begitu rupa. Maka bagaimana respons Kekristenan? Iman Kristen yang beres dengan jelas mengajar kita untuk berpikir paradoks dan bijaksana. Ini bukan masalah either or (salah satu, artinya: kalau tidak X, ya Y; kalau tidak Y, ya X), tetapi paradoks. Artinya, di satu sisi kita harus seragam untuk hal-hal primer/penting, sedangkan di sisi lain kita tetap boleh berbeda. Misalnya, di dalam iman Kristen, untuk hal-hal primer seperti doktrin Trinitas, dwi-natur Kristus, superioritas dan otoritas Alkitab, keberdosaan manusia, kelahiran Kristus melalui anak dara Maria, penebusan melalui darah Kristus, dan kedatangan Kristus kedua kalinya, kita harus seragam. Yang menolak doktrin-doktrin orthodoks ini harus disebut bidat/ajaran sesat dan kita perlu mendoakan mereka agar segera bertobat. Namun untuk hal-hal sekunder yang tidak terlalu penting, kita boleh berbeda. Misalnya, liturgi ibadah, baptisan anak, cara baptisan, perbedaan doktrin akhir zaman (amillenialisme, premillenialisme, dispensasionalisme, dan postmillenialisme), dll. Meskipun berbeda, kita tetap perlu menyatakan kepercayaan kita sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab yang bisa dipertanggung jawabkan keakuratannya. Namun di sisi lain, kita tetap menghargai mereka yang berbeda keyakinan untuk hal-hal sekunder dari kita. Perbedaan doktrin sekunder memperkaya iman Kristen, bukan malahan memperuncing permusuhan.

Namun sangat disayangkan, golongan tertentu dari Reformed menjadi begitu ekstrem. Doktrin sekunder dianggap primer dan yang tidak menjalankan doktrin sekunder tertentu disebut bidat/ajaran sesat. Orang yang menegakkan perkataan seperti ini rupa-rupanya hanya dikuasai oleh emosi sesaat, padahal orang yang sama mengajar di atas mimbar bahwa emosi harus ditundukkan di bawah rasio. Suatu kontradiksi yang aneh di dalam diri orang ini, heheheJ

Lalu, apa yang menyebabkan keekstreman terjadi di kalangan Reformed tertentu?
Pertama, aspek non-iman. Hal ini berkaitan dengan poin no. 2 yang saya bicarakan di atas. Jika orang Kristen apalagi Reformed menempatkan iman sebagai dasar dan sumber dalam doktrin dan kehidupan Kristen, maka iman sajalah yang menuntun segala doktrin dan kehidupan Kristen. Namun, sayangnya, meskipun orang ini mengaku bahwa iman itu dasar dan sumber, namun yang terjadi adalah emosi dan pikiran lah yang menguasai, sehingga beda doktrin atau cara pandang tertentu dalam hal-hal sekunder sudah dianggap sesat.

Kedua, aspek paranoid terselubung dan gejala peng-imunan. Keekstreman terjadi bisa karena aspek paranoid terselubung dari hamba Tuhan kepada jemaat yang digembalakannya. Paranoid terselubung ini ditandai dengan cara mengundang hamba-hamba Tuhan yang merupakan anak buahnya sendiri untuk berkhotbah di mimbar gerejanya, alasannya sih, aturan dari gereja pusat. Kalau mengundang hamba Tuhan dari gereja lain (meskipun bertheologi sama), si gembala sidang ini ketakutan, jemaatnya bahkan diracuni oleh ajaran-ajaran yang tidak bertanggung jawab. Bukankah di dalam pikiran si gembala sidang, ajaran di gereja lain (meskipun bertheologi sama) dianggap sesat, meskipun berbeda dalam hal-hal sekunder? Gejala paranoid kedua ditandai dengan tidak mendukung agenda kegiatan gereja/sekolah theologi awam lain (meskipun seasas), karena dilatarbelakangi oleh faktor dendam sesaat kepada pemimpinnya yang menurut si gembala sidang “tidak beres”.
Selain paranoid, juga ada gejala peng-imunan. Biasanya gejala ini ditandai dengan beberapa jemaat yang digembalakannya malas membaca buku lagi dan hanya memercayai pengajaran dan khotbah si hamba Tuhan, karena menganggap si hamba Tuhan seolah-olah mengetahui segala sesuatu. Kalau pun ada jemaat yang suka membaca buku, biasanya buku-buku tersebut harus ditanya posisi doktrinalnya, baru ia membacanya. Bahkan untuk buku-buku tentang cinta, pacaran, dll, ia menanyakan posisi doktrinalnya: Reformed atau Arminian. Tindakan lebay ini saya pikir suatu kekonyolan, heheheJ


Realitas banyaknya keekstreman yang terjadi seharusnya TIDAK membuat kita terpengaruh atas keekstreman tersebut, namun bangkit dan menjadi bijaksana. Tuhan tidak menyuruh kita untuk rajin memperhatikan doktrin yang salah dan menyatakan doktrin tertentu sebagai bidat karena berbeda dalam hal-hal sekunder, namun Ia menyuruh kita mengajar doktrin yang beres, berwaspada terhadap ajaran yang tidak beres, bersungguh-sungguh melayani Tuhan, dan memuliakan-Nya dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita memang dituntut untuk peka terhadap zaman (dan penyakitnya), namun jangan menjadi ekstrem, terlalu sensitif sekali terhadap penyakit zaman, yang melahirkan sikap paranoid terselubung.




KESIMPULAN
Akhir kata, sebagai penutup, saya akan mencoba menyimpulkan poin-poin penting. Zaman dan semangat zaman adalah produk manusia berdosa yang tentu memiliki dampak positif dan negatifnya. Tugas kita adalah kritis dan peka terhadap semangat di dalam setiap zaman. Artinya, dengan berdasarkan standar uji Alkitab (Sola Scriptura), kita mengkritisi semangat zaman dengan: mengambil hal-hal positif darinya dan menolak hal-hal negatif darinya. Memang kita diperintahkan Allah untuk tidak menuruti arus zaman (Rm. 12:2), namun jangan lupa, di sisi lain, kita tetap hidup di dalam dunia. Berarti, secara prinsip dan konsep, kita sebagai orang Kristen harus teguh beriman di dalam Kristus dan Alkitab sebagai satu-satunya Kebenaran hakiki, namun secara praktek, kita menghadirkan kebenaran Injil dengan kasih dan kebenaran (dan terutama TIDAK KAKU). Itulah iman Kristen yang beres dan bijaksana dalam memandang semangat zaman.


Bagaimana dengan kita? Biarlah perenungan ini boleh menyadarkan kita akan panggilan Kekristenan kita di tengah arus dunia yang makin lama makin tidak karuan ini. Biarlah nama Allah Trinitas dipermuliakan selama-lamanya. Amin. Soli Deo Gloria.

19 November 2009

Eksposisi 1 Korintus 1:3 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 1:3

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 1:3



Sebagaimana surat kuno pada umumnya, Paulus menutup pembukaan suratnya dengan sebuah salam untuk para penerima surat. Dalam hal ini Paulus memodifikasi salam yang lazim digunakan oleh orang-orang pada waktu itu dengan sebuah salam yang lebih bernuansa Kristiani. Salam yang lazim digunakan waktu itu hanya memakai satu kata, yaitu cairein (“salam”, bdk. Kis 15:23; 23:26; Yak. 1:1), sedangkan Paulus mengubah salam umum ini menjadi salam Kristiani yang memerlukan 12 kata.

Usaha Paulus untuk memodifikasi salam di atas menunjukkan bahwa bagi Paulus salam merupakan sesuatu yang sangat penting. Memberikan salam bukan hanya sekadar formalitas dalam sebuah surat (jika hanya formalitas belaka maka Paulus pasti akan memakai salam yang lebih lazim). Memberi salam merupakan pengungkapan harapan yang baik untuk penerima salam. Dalam seluruh suratnya terlihat bahwa Paulus sangat menghargai arti sebuah salam di antara sesama orang Kristen. Dia memerintahkan orang-orang Kristen untuk saling memberi salam (Rm. 16:16; 1Kor. 16:20; 2Kor. 13:12). Dia sendiri juga banyak memberikan salam kepada orang lain atau sebuah jemaat lokal (bdk. Rm. 16:1-15).

Modifikasi salam yang dilakukan Paulus bukan hanya menunjukkan bahwa tindakan memberikan salam merupakan sesuatu yang penting, namun juga mengindikasikan bahwa salam Kristiani memiliki keunikan tersendiri. Alkitab memang memberikan perintah untuk memberikan salam yang bersifat umum dan hanya merupakan bagian dari budaya Yahudi (Mat. 5:47; bdk. 1Sam. 10:4; 13:10; 25:6, 14; 2Sam. 6:20; 2Raj. 4:29; Mat. 26:49). Bagaimanapun, Alkitab juga mengajarkan bahwa ada salam yang unik dan tidak secara otomatis layak diterima oleh orang yang mendengarkan salam itu (Mat. 10:12-13). Paulus sendiri menyatakan bahwa kasih karunia dan damai sejahtera hanya akan turun atas orang-orang yang sungguh-sungguh menerima kebenaran injil yang sejati (Gal. 6:16). Dengan konsep seperti ini pula Yohanes melarang jemaat untuk memberikan salam kepada para antikris yang mengajarkan kesesatan (2Yoh. 1:10-11). Dari dua macam salam ini terlihat bahwa orang Kristen diperintahkan untuk memberikan salam umum kepada semua orang sebagai bagian dari budaya dan salam Kristiani kepada sesama orang percaya. Salam yang kedua inilah yang dimaksud Paulus dalam setiap salam pembuka di semua suratnya.


Isi Salam (ay. 3a)
Tidak seperti salam pada umumnya, Paulus (dan mayoritas penulis Perjanjian Baru) memakai dua kata yang kental dengan nuansa Kristiani. Kata pertama yang dipakai adalah kata caris (“kasih karunia”). Kata ini dipakai untuk menggantikan kata cairein yang biasa dipakai orang-orang pada waktu itu. Pentingnya kata caris bagi Paulus dapat dilihat dari posisinya di awal kalimat (secara hurufiah ayat 3 dapat diterjemahkan “kasih karunia bagi kalian dan damai sejahtera...”). Ketika Paulus ingin mengakhiri surat 1Korintus ia sekali lagi mengatakan “kasih karunia (caris) Tuhan Yesus menyertai kamu” (16:23).

Paulus tentu saja tidak sekadar mengganti kata cairein dengan kata lain yang bunyinya mirip. Dia memiliki maksud teologis tertentu ketika ia memakai kata caris, karena kata ini merupakan salah satu kosa kata favorit Paulus. Dalam surat-suratnya Paulus sangat sering memakai kata ini. Dari 155 kali pemunculan kata ini di Perjanjian Baru, 100 di antaranya ditemukan dalam tulisan Paulus.

Sebagian penafsir membatasi arti caris hanya pada kasih karunia keselamatan. Sekalipun arti ini memang yang paling penting, namun kita sebaiknya tidak membatasi arti kata ini. Ada beberapa alasan untuk ini: (1) kata caris di 1 Korintus 1:4 – pemunculan paling dekat – berhubungan dengan keselamatan maupun karunia rohani; (bdk. 1Kor. 1:4-5); (2) dalam tulisan Paulus kata caris dipakai dalam beragam konteks. Kata ini kadangkala digunakan dalam konteks pelayanan atau jabatan tertentu (Rm. 1:5; 12:3; 15:15; 1Kor. 3:10), keselamatan (Rm. 3:24; 4:16; 5:2, 15, 17, 20, 21; 6:1; 11:5-6), karunia rohani (Rm. 12:6), kemampuan tertentu (1Kor. 15:10), dsb; (3) dalam surat 1 Korintus kata caris dipakai dalam beragam arti juga sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian; (4) kata caris dikaitkan dengan kata “damai sejahtera” yang dalam konsep berpikir orang Yahudi juga memiliki arti luas mencakup semua aspek kehidupan (lihat eksposisi selanjutnya).

Dari arti kata caris yang sangat luas di atas kita dapat melihat bahwa semua aspek kehidupan orang Kristen merupakan kasih karunia Allah. Semua yang kita miliki adalah pemberian cuma-cuma dari Allah. Semua diberikan Allah kepada kita sekalipun kita tidak layak untuk menerima semua itu.

Dalam konteks jemaat Korintus, salam seperti ini pasti memiliki makna yang mendalam. Jemaat Korintus tampaknya mengalami kesulitan untuk menghargai kasih karunia Allah. Mereka telah menjadi sombong secara intelektual, padahal mereka dulu adalah orang-orang yang tidak terpandang menurut dunia (1Kor. 1:25-31). Mereka membanding-bandingkan para pemimpin mereka, padahal pelayaan para pemimpin sebenarnya adalam kasih karunia (1Kor. 3:10). Mereka merasa diri lebih baik dan tidak membutuhkan Paulus (1Kor. 4), sehingga Paulus perlu memberikan pertanyaan retoris sebagai refleksi bagi mereka “Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?” (1Kor. 4:7). Paulus sendiri sangat memahami arti kasih karunia ketika dia mengatakan “tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang” (1Kor. 15:10). Berdasarkan konsep anugerah ini Paulus memberanikan diri mendorong jemaat Korintus berpartisipasi dalam upaya membantu jemaat di tempat lain. Dia akan mengirim orang-orang terpercaya untuk membawa pemberian (caris) jemaat Korintus ke Yerusalem (16:3).

Salam kedua yang digunakan Paulus adalah eirhnh (“damai sejahtera”). Ungkapan yang merupakan tipikal salam Yahudi ini merupakan terjemahan dari kata Ibrani shalom (1Sam. 25:5-6; Dan. 10:19; Yak. 2:16). Berbeda dengan orang-orang Yunani yang melihat eirhnh hanya sebagai “ketidakadaan perang”, orang Yahudi memahami kata ini secara lebih luas, merujuk pada kesejahteraan hidup, baik jasmani maupun rohani, baik dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat. Dari pemahaman seperti ini kita dapat melihat bahwa melalui salam pembuka dalam suratnya Paulus berharap agar jemaat Korintus mengalami sejahtera secara menyeluruh.

Arti umum dari kata eirhnh di atas tidak menghilangkan arti eirhnh sebagai ketidakadaan perang. Dalam theologi Paulus, eirhnh sering dipakai untuk perdamaian antara Allah Dan umat-Nya (Rm. 5:1). Paulus juga memakai kata ini untuk perdamaian antar orang Kristen (Rm. 14:19). Dalam surat 1Korintus, kata eirhnh juga dipakai dalam konteks relasi antar jemaat (7:15; 14:33; 16:11).

Salam seperti ini tentu saja sangat relevan bagi jemaat Korintus. Mereka sedang berselisih dan terjebak pada favoritisme pemimpin (ps. 1-3). Mereka bahkan menyerang Paulus (ps. 4). Perselisihan mereka mencakup aspek legal yang melibatkan orang-orang kafir (ps. 6). Pertengkaran seputar masalah daging persembahan berhala juga muncul (ps. 8-10). Dalam ibadah pun mereka juga mengalami disharmoni antara orang kaya dan orang miskin (ps. 11). Karunia rohani yang seharusnya dipakai untuk membangun seluruh jemaat pun dapat dijadikan pemicu pertengkaran (ps. 12-14).

Dengan meletakkan “damai sejahtera” setelah “kasih karunia” Paulus ingin mengajarkan bahwa damai yang sejati hanya dapat muncul dari kasih karunia Allah. Jemaat dapat hidup berdamai dengan orang lain kalau mereka lebih dahulu mendapat kasih karunia Allah dalam bentuk perdamaian dengan Bapa. Perdamaian yang sejati inilah yang memampukan jemaat untuk mengasihi orang lain.


Sumber Salam (ay. 3b)
Salam bagi orang Kristen bukan sekadar basa-basi. Salam juga bukan kata-kata sakti yang memiliki kekuatan dalam dirinya sendiri. Salam bukan bersumber dari kekuatan orang yang menyampaikan salam. Kunci realisasi salam terletak pada diri Allah (dalam hal ini dari Allah Bapa dan Tuhan Yesus Kristus). Allahlah yang menjadi sumber dan penentu realisasi dari yang disalamkan (diharapkan). Allah Bapa memberikan kasih karunia dan damai melalui karya penebusan Yesus Kristus.

Yang menarik dari ayat 3b ini adalah pemunculan frase “Yesus Kristus”. Frase ini sebelumnya telah muncul sebanyak tiga kali (ay. 1-2). Dari frekwensi pemunculan ini terlihat bahwa cara pandang Paulus adaah sangat kristosentris (berpusat pada Kristus). Semua berkat rohani yang diterima oleh orang Kristen hanya berasal dari Yesus Kristus.



Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 26 Agustus 2007

15 November 2009

DUA KISAH PENCIPTAAN? (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

DUA KISAH PENCIPTAAN?
(Kejadian 1 dan 2
)


oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.





Pembacaan sekilas terhadap Kejadian 1 dan 2 kadangkala menimbulkan kesan adanya dua kisah penciptaan yang berbeda. Kesan ini akan semakin jelas bagi mereka yang terbiasa membaca kisah-kisah Alkitab secara kronologis (menurut urutan waktu). Kalau ada dua kisah penciptaan di pasal 1 dan 2 berarti kisah di pasal 2 merupakan kelanjutan dari kisah di pasal 1. Dengan demikian, dua kisah penciptaan ini pasti berbeda.

Ada beberapa pertanyaan yang biasanya muncul sehubungan dengan hal ini. Apakah penciptaan binatang di 2:19 sama dengan di 1:24-25? Apakah penciptaan manusia di dua pasal ini juga sama? Seandainya sama, apakah maksud penulis kitab Kejadian menceritakan lagi kisah penciptaan di pasal 2?

Pertanyaan pertama sehubungan dengan penciptaan binatang akan dibahas tersendiri di bagian selanjutnya. Dalam bagian ini kita hanya akan membahas apakah dua kisah penciptaan manusia di dua pasal pertama kitab Kejadian ini berbeda. Kita juga akan menyelidiki tujuan pemaparan kisah penciptaan di pasal 2.

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kita sebaiknya memiliki pemahaman sedikit tentang pembagian ayat, perikop maupun pasal dalam Alkitab. Dalam naskah asli Alkitab (autografa) dipastikan tidak ada pembagian semacam ini. Hal ini terlihat dari berbagai salinan Alkitab kuno yang tidak memakai pembagian ayat, perikop maupun pasal. Pembagian seperti ini merupakan usaha para editor dan penerjemah modern untuk membantu pembaca memahami inti dari suatu teks.

Sehubungan dengan Kejadian 1 dan 2, kita perlu memahami lebih dahulu kapan kisah penciptaan berakhir. Pembacaan yang teliti akan membawa kita pada kesimpulan bahwa kisah penciptaan alam semesta berakhir di Kejadian 2:4a. Ada beberapa hal yang mendukung hal kesimpulan ini. Pertama, Kejadian 2:4a “demikianlah riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan” sangat sesuai untuk menutup suatu bagian tertentu. Kedua, rujukan tentang urutan hari di Kejadian 2:1-4a (hari ke-7) menunjukkan bahwa bagian ini masih terkait dengan kisah penciptaan di hari ke-1 sampai ke-6.

Seandainya kisah penciptaan alam semesta diakhiri di pasal 2:4a, maka bagian selanjutnya dimulai dari ayat 4b sampai 25. Pembagian seperti ini akan semakin menolong kita untuk menemukan inti kisah penciptaan di pasal 2:4b-25, yaitu penciptaan manusia (laki-laki dan perempuan). Hal ini terlihat dari cara Musa menempatkan manusia sebagai tokoh utama di Kejadian 2:4-25. Kisah penciptaan di Kejadian 2:4 langsung dimulai dengan penciptaan manusia. Ciptaan lain (terang, cakrawala, benda-benda penerang, dll.) bahkan tidak disinggung sama sekali. Tumbuhan (2:9, 15, 17) dan binatang (2:19-20) disebut dalam kisah ini hanya dalam kaitan dengan kisah penciptaan manusia.

Selanjutnya kita perlu mengetahui bahwa kisah penciptaan manusia di bagian ini merupakan penjelasan detail tentang apa yang sudah disinggung secara umum di pasal 1:26-30. Ada baiknya kita menyelidiki hal ini dalam bentuk tabel supaya terlihat lebih jelas.
Pasal 1:26-30
Pasal 2:4b-25
Penekanan pada kejamakan jenis kelamin manusia, dibandingkan dengan penciptaan binatang yang hanya disebutkan “menurut jenisnya” (tanpa menyebut adanya perbedaan jenis kelamin di antara binatang)
Penjelasan tentang bagaimana keberadaan perempuan merupakan hal yang penting. Di ayat 18 Allah berkata “Tidak baik manusia [laki-laki] seorang diri saja”
Penekanan pada kejamakan yang tunggal antara laki-laki dan perempuan. Ayat 27 mencatat “Maka Allah menciptakan manusia itu [tunggal] menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia [tunggal]; laki-laki dan perempuan [jamak] diciptakan-Nya mereka [jamak]”
Penjelasan detail tentang bagaimana laki-laki dan perempuan benar-benar memiliki kesatuan: perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (ay. 21-22), mereka harus menjadi satu daging (ay. 23-24)
Pemberitahuan bahwa makanan manusia adalah dari berbagai tumbuh-tumbuhan berbiji (ayat 29)
Penjelasan konkret bahwa letak tumbuh-tumbuhan berbiji tersebut mula-mula terbatas pada yang terdapat di Taman Eden

Cara pemaparan suatu kisah kuno dari kisah yang umum ke kisah khusus yang lebih spesifik bukanlah sesuatu yang asing. Seorang teolog yang bernama Kenneth Kitchen berhasil menemukan cara penulisan yang sangat mirip dengan Kejadian 1 dan 2, yaitu dalam sebuah prasasti Mesir. Dalam kisah kuno ini diceritakan tentang bangsa-bangsa yang ditaklukkan dewa Haldi. Selanjutnya, kemenangan ini diulang lagi dalam bentuk yang lebih spesifik untuk menunjukkan bahwa kemenangan diraih pada saat pemerintahan Raja Urartu.

Lalu, apakah tujuan Musa menuliskan ulang penciptaan manusia? Pertanyaan ini bisa dijawab dalam dua sisi. Pertama, dari sisi teologis. Apa yang dicatat di Kejadian 2:4b-25 merupakan sebuah konsep penciptaan manusia yang unik menurut ukuran waktu itu. Beberapa tulisan kuno, misalnya Epic Gilgamesh, menceritakan bahwa dewa membentuk manusia dari tanah. Perbedaan hakiki dengan kisah Kejadian terletak pada seberapa jauh perpaduan antara unsur insani dan ilahi dalam diri manusia. Orang Babel kuno, dalam tulisan Atrahasis Epic, menganggap manusia diciptakan dari campuran tanah liat dan darah dewa. Orang Mesir percaya bahwa manusia diciptakan dari tanah dan air mata dewa serta memiliki jiwa seperti para dewa. Tulisan Instructions of Merikare memang mencatat pemberian nafas dewa ke manusia, tetapi kisah keseluruhan dalam tulisan ini tetap menunjukkan adanya unsur atau natur ilahi dalam diri manusia.

Sebagai kontras terhadap berbagai catatan kuno di atas, Kejadian 2:4b-25 mengajarkan bahwa meskipun manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26-27) serta menjadi mahkota ciptaan (Kej. 1:28), namun mereka bukanlah makhluk ilahi. Mereka diciptakan dari debu tanah (Kej. 2:7). Manusia memang berasal dari Allah, tetapi itu hanya sebatas Allah sebagai pemberi kehidupan. Manusia tidak bersifat ilahi maupun mewarisi hakekat keilahian. Pendeknya, ada jurang yang sangat dalam antara manusia sebagai ciptaan dengan Allah sebagai pencipta.

Kedua, dari sisi sastra. Kisah di pasal 2:4b-25 merupakan kelanjutan yang logis dari pasal 1. Karena pasal 1 diakhiri dengan penciptaan manusia, maka sangat wajar apabila bagian selanjutnya memberikan penjelasan detail tentang bagian terakhir dari kisah penciptaan di pasal 1. Selain itu, keberadaan pasal 2 merupakan sebuah pengantar yang mutlak ada bagi pasal 3. Tanpa pasal 2, kita tidak mungkin bisa memahami apa yang terjadi di pasal 3. Seandainya kitab Kejadian tidak memiliki pasal 2, kita pasti bertanya-tanya mengapa manusia dianggap bersalah pada waktu memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat (bdk. Kej. 2:16-17 dan 3:11). Kita juga pasti bertanya mengapa manusia tiba-tiba berada di sebuah taman yang indah dan setelah itu mereka dibuang dari sana.



Sumber:
http://www.gkri-exodus.org/page.php?FAQ-Dua_Penciptaan?



Profil Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.:
Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus.org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.
Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.

Eksposisi 1 Korintus 1:2 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 1:2

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 1:2



Setelah Paulus menjelaskan identitas dirinya sebagai penulis (ay. 1), sekarang dia memberikan penjelasan tentang identitas penerima suratnya (ay. 2). Seperti penjelasan sebelumnya, penjelasan di ayat 2 juga dipilih Paulus sedemikian rupa sehingga berhubungan dengan isi surat yang akan disampaikannya. Dengan kata lain, ayat 1-2 merupakan pembuka surat yang sekaligus berfungsi untuk mempersiapkan pembaca pada isi surat secara keseluruhan.


Gereja Allah di Korintus (ay. 2a)
Sekilas kita mungkin menganggap diskripsi ini sebagai sesuatu yang biasa saja. Penyelidikan yang lebih teliti menunjukkan bahwa Paulus memiliki maksud tertentu mengapa dia memakai penjelasan seperti ini. Dalam dua suratnya sebelum surat 1 Korintus Paulus memakai diskripsi “jemaat Tesalonika dalam Allah” (the church of the Thessaloniansin God, 1Tes. 1:2; 2Tes. 1:1). Dalam 1 Korintus 1:2 Paulus memilih “jemaat Allah di Korintus” (the church of God in Corinth, lihat juga 2Kor. 1:1). Ungkapan ini sangat mungkin berasal dari konsep “jemaat Allah” di Perjanjian Lama (Bil. 16:3; 20:4; Ul. 4:10; 23:1; 1Taw. 28:8).

Melalui diskripsi “jemaat Allah” Paulus ingin menyatakan bahwa jemaat di Korintus adalah milik Allah. Hal ini memang perlu ditegaskan Paulus karena mereka sering kali berpikir bahwa mereka milik rasul tertentu (1:12), padahal rasul-rasul itu hanyalah para pekerja saja (3:5-7). Ibarat sebuah bangunan, para rasul hanyalah pekerjanya, sedangkan pemilik bangunan adalah Allah (3:9). Semua adalah milik Allah (3:21-23).


Yang Dikuduskan Dalam Kristus Yesus (ay. 2b)
Paulus selanjutnya menyatakan bahwa jemaat Korintus dikuduskan dalam Kristus Yesus. Kata “dikuduskan” (hagiasmenois) di ayat memakai perfect tense yang menunjukkan aktivitas yang sudah terjadi di masa lampau tetapi hasilnya masih ada sampai sekarang. Melalui penggunaan tense ini Paulus ingin mengingatkan jemaat Korintus bahwa pengudusan yang dilakukan Kristus di atas kayu salib bukanlah sesuatu yang tidak berdampak langsung atau dimaksudkan sebagai akhir dari sebuah proses pengudusan. Pengudusan adalah sebuah proses terus-menerus. Penebusan harus berujung pada pengudusan (Ef. 1:4; 1Tes. 4:3).

Penegasan seperti ini perlu dilakukan oleh Paulus, karena jemaat Korintus memiliki konsep tentang spiritualitas yang salah. Mereka lebih menyukai hal-hal yang tampak spektakuler. Mereka melihat orang yang memiliki karunia bahasa roh sebagai orang yang rohani (ps. 12-14). Mereka menyukai berbagai penglihatan yang sebenarnya sering kali menyesatkan (2Kor. 11-12). Di tengah situasi seperti ini Paulus menyatakan bahwa yang paling penting adalah kekudusan hidup. Buah Roh (Gal. 5:21-22) lebih penting daripada karunia roh (1Kor. 12:1-11).


Yang Dipanggil Sebagai Orang-orang Kudus (ay. 2c)
Sekilas penjelasan ini tampak seperti pengulangan yang tidak diperlukan. Ternyata, Paulus memiliki maksud lain dengan memilih ungkapan ini. Ungkapan yang secara hurufiah berarti “terpanggil sebagai [orang-orang] kudus” (klhtois {agiois) ini bersumber dari Keluaran 19:5-6 (bdk. 1Ptr. 2:9). Dalam Perjanjian Lama maupun berbagai tulisan Yahudi lain, ungkapan “umat yang kudus” menyiratkan eksistensi sebuah umat yang telah ditebus dan harus memiliki perbedaan hidup dengan bangsa kafir. Perbedaan ini bahkan sampai mencakup makanan yang boleh dan dilarang untuk dimakan (Im. 11, terutama ay. 45). Jadi, ungkapan “terpanggil sebagai orang-orang kudus” merujuk pada status khusus yang dimiliki jemaat Korintus di antara orang-orang kafir, sedangkan ungkapan “dikuduskan dalam Kristus Yesus” lebih terfokus pada prosesnya.

Jemaat Korintus perlu menyadari bahwa mereka adalah umat Allah yang telah ditebus dengan darah-Nya sendiri (bdk. Kis 20:28 “his own blood”, KJV/ASV/NIV/NASB). Sebagai jemaat (ekklhsia) Allah, mereka harus membedakan diri dengan ekklhsia sekuler. Mengapa Paulus perlu menegaskan hal ini? Karena jemaat Korintus menunjukkan gaya hidup yang tidak berbeda dengan kumpulan orang kafir lainnya. Mereka berpola hidup duniawi, misalnya sering berseteru (3:3-4), hidup amoral (5:11), mencari keadilan pada orang dunia (6:1-2).


Bagian dari Gereja Universal (ay. 2d)
Surat 1 Korintus tidak ditujukan pada setiap gereja di seluruh dunia, karena isu yang dibahas sangat berkaitan dengan situasi khusus yang dihadapi jemaat Korintus. Pertanyaannya adalah mengapa Paulus perlu menyertakan ungkapan “dengan semua orang di segala tempat yang berseru kepada Tuhan Yesus”? Mengapa dia perlu menegaskan bahwa Tuhan Yesus adalah “Tuhan mereka dan Tuhan kita”? Bukankah bagi kita ungkapan seperti ini tampaknya sangat janggal?

Paulus ternyata memiliki maksud khusus dengan ungkapan yang dia pakai. Dia memang sengaja menekankan hal ini untuk menunjukkan bahwa jemaat Korintus adalah hanyalah bagian kecil dari gereja universal yang sangat besar. Sebagai potongan puzzle kecil di dalam gambar yang sangat besar, jemaat Korintus seharusnya memahami kesamaan esensial antara mereka dengan jemaat yang lain. Mereka tidak boleh merasa diri lebih baik atau hebat dibandingkan jemaat-jemaat yang lain. Mereka tidak boleh memandang diri mereka begitu unik atau istimewa.

Pemahaman seperti itu sangat relevan dengan situasi dalam jemaat Korintus. Beberapa teks menunjukkan bahwa mereka telah terjebak pada “eksklusivitas Kristen” yang salah. Ketika mereka mempertanyakan hidup dan ajaran Palus, Paulus menegaskan bahwa ajaran yang dia sampaikan kepada jemaat Korintus adalah ajaran yang sama yang dia beritakan di mana-mana (4:17). Ketika jemaat Korintus menganggap bahwa aturan ibadah bukanlah hal yang penting, Paulus membantah dengan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan tidak pernah dijumpai dalam ibadah orang Kristen lainnya (11:16). Ketika jemaat Korintus merasa diri memiliki “pengetahuan”, Paulus melontarkan pertanyaan sindiran yang tajam untuk menegur mereka bahwa firman Tuhan tidak dimulai dari mereka dan bukan hanya mereka saja yang layak menerima firman itu (14:33, 36). Ketika mereka lebih mempercayai filsafat dunia yang menolak kebangkitan orang mati (15:12), Paulus menyatakan bahwa kebangkitan Kristus adalah ajaran dalam tradisi Kristen mula-mula (15:1-3).

Eksklusivitas jemaat Korintus merupakan sebuah ironi. Mereka seharusnya memiliki pola hidup yang berbeda dengan dunia, mereka justru menjadi sama dengan dunia. Mereka seharusnya sama dengan jemaat-jeaat lain, ternyata mereka malah memiliki pandangan dan gaya hidup yang berbeda.

Paulus mungkin memiliki maksud lain ketika dia menegaskan bahwa jemaat Korintus adalah bagian dari gereja universal. Dia sangat mungkin memaksudkan hal ini sebagai pengantar bagi nasehatnya kepada jemaat Korintus untuk membantu orang-orang kudus di Yerusalem (bdk. 1Kor. 16; 2Kor. 8). Dengan kesadaran bahwa sebuah gereja lokal adalah bagian dari gereja universal, maka gereja tersebut dimotivasi untuk saling berbagi dan menguatkan.


Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 12 Agustus 2007

Resensi Buku-83: KARIER: Panggilan atau Pilihan? (Prof. Lee Hardy, Ph.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
THE FABRIC OF THIS WORLD
(KARIER: Panggilan atau Pilihan?)


oleh: Prof. Lee Hardy, Ph.D.

Penerbit: Yayasan Pancar Pijar Alkitab, 2009

Penerjemah: Ev. Paul Santoso Hidayat, M.Th.





Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio:
Dunia berdosa mengajar kita untuk memisahkan hal religius dengan hal “sekuler”. Hal religius berurusan dengan hal pribadi dan tidak boleh bersentuhan dengan hal-hal “sekuler.” Tidak heran muncul suatu pernyataan dari seorang dosen “Kristen” yaitu, “Agama dan sains tidak ada hubungannya.” Filsafat dualisme yang diimpor dari Plato ini sudah, sedang, dan terus akan meracuni Kekristenan. Dan akibatnya Kekristenan pelan namun pasti akan merosot menjadi salah satu agama yang tidak ada bedanya dengan agama lain yang humanis atheis. Benarkah hal religius dan “sekuler” tidak ada hubungannya? Jika “benar”, maka sungguh sangat disayangkan orang yang berkata demikian, karena orang ini meskipun beragama ternyata pada “Allah” yang terkotak pada urusan agama/rohani dan tidak pada urusan politik, pendidikan, dll. Konsep ini jelas DITENTANG oleh Alkitab, karena Alkitab TIDAK mengajar pemisahan dua hal tersebut. Tuhan Yesus mengajar kita untuk menjadi garam dan terang dunia (Mat. 5:13-16). Dengan kata lain, Ia mengajar kita untuk menjadi berkat dan pembawa terang kebenaran dan kasih Kristus ke tengah dunia berdosa. Bagaimana caranya? Dengan cara menjalankan mandat budaya, yaitu menebus budaya kita yang berdosa ini dan menaklukkannya di bawah Kristus sebagai Pusat Kebenaran.

Salah satu cara menjalankan mandat budaya ini adalah dengan mengintegrasikan Kekristenan dengan semua bidang kehidupan, termasuk pekerjaan/karier. Kekristenan yang beres yang bersumber dari Alkitab mengajar kita bahwa Allah memanggil kita bukan hanya menjadi umat pilihan-Nya, tetapi juga menjadi berkat bagi sesama melalui talenta yang Ia anugerahkan kepada kita. Oleh karena itulah, kita bisa menjadi berkat bagi sesama melalui talenta kita yaitu melalui karier kita. Melalui pekerjaan kita, Tuhan memanggil kita untuk memuliakan-Nya. Itulah tesis dari Prof. Lee Hardy, Ph.D. di dalam bukunya KARIER: Panggilan atau Pilihan? Melalui tesis ini, Dr. Hardy menguraikan tentang karier ini ke dalam dua hal: konsep dan aplikasi. Secara konsep, Dr. Hardy memaparkan sejarah dari orang-orang zaman dahulu memandang karier dan sejarah para reformator gereja memandang karier. Secara aplikasi, Dr. Hardy memaparkan bagaimana orang Kristen menggenapkan panggilan Allah di dalam kerja: memilih jenis pekerjaan, tempat kerja, dll. Kemudian di bab terakhir (Bab 4), Dr. Hardy memaparkan beragam teori manajemen dan tinjauan kritisnya. Di akhir buku ini, ditambahkan Diskusi untuk mereview buku ini dari Bab 1 s/d 4 sebagai bahan refleksi bagi kita. Biarlah buku ini boleh menyadarkan dan mencerahkan kita bahwa karier pun ada di dalam pemeliharaan dan panggilan Allah bagi kita sebagai umat-Nya.






Profil Dr. Lee Hardy:
Prof. Lee Hardy, Ph.D. adalah Adjunct Professor of Philosophical Theology di Calvin Theological Seminary, U.S.A. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) di Trinity Christian College pada tahun 1976; Master of Arts (M.A.) di Dusquesne University pada tahun 1979; M.A. di University of Pittsburgh pada tahun 1981; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) di Dusquesne University pada tahun 1987. Bukunya yang pertama ini (The Fabric of This World) diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, Spanyol, dan Mandarin. Beliau menikah dengan Judy dan mereka memiliki 4 anak. Lee dan keluarganya adalah anggota Eastern Avenue Christian Reformed Church di Grand Rapids, Michigan, U.S.A.

Roma 16:16: KASIH, KESATUAN, DAN PERSEKUTUAN DI DALAM TUBUH KRISTUS: Pendahuluan

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-14


Kasih, Kesatuan, dan Persekutuan Di Dalam Tubuh Kristus: Pendahuluan

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 16:16



Setelah memberi salam kepada orang-orang di ayat 1 s/d 15, maka di ayat 16, Paulus mengatakan, “Bersalam-salamlah kamu dengan cium kudus. Salam kepada kamu dari semua jemaat Kristus.” Ayat ini merupakan pendahuluan tentang konsep kasih, kesatuan, dan persekutuan di dalam tubuh Kristus yang akan dijelaskan pada ayat 17-20. Kata “bersalam-salamlah” di dalam terjemahan Inggris menggunakan beragam kata yang intinya bermakna sama. Analytical-Literal Translation (ALT), English Majority Text Version (EMTV), English Standard Version (ESV), God’s Word, International Standard Version (ISV), Literal Translation of the Holy Bible (LITV), Modern King James Version (MKJV), dan New International Version (NIV) menggunakan kata greet (=memberi salam/menyambut). Sedangkan Bishops’ Bible 1568, 1889 Darby Bible, King James Version (KJV), James Murdock New Testament, Revised Version (RV), 1833 Webster Bible, 1912 Weymouth New Testament (WNT), dan 1898 Young’s Literal Translation (YLT) menggunakan kata salute (=menyalami/memberi hormat). Terjemahan Indonesia dari teks Yunani adalah bersalam-salamlah (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 880). Uniknya, kata ini di dalam struktur teks Yunaninya adalah sebuah bentuk perintah (imperative). Berarti Paulus memerintahkan jemaat Roma untuk saling bersalam-salaman. Uniknya lagi, cara bersalaman ini adalah dengan cium kudus. Terjemahan Inggrisnya: holy kiss (ciuman kudus). Kata kiss ini di dalam bahasa Yunaninya philēma dan kata Yunani ini diambil dari phileō yang berarti kasih persahabatan. Dengan kata lain, cium kudus ini bukan seperti yang sering disalahartikan, yaitu cium yang didasari oleh nafsu birahi, tetapi ciuman ini adalah ciuman kudus yang didasarkan pada kasih persahabatan. Nelsonn’s Compact Series Compact Bible Commentary menafsirkan bahwa ciuman kudus ini adalah ciuman di pipi merupakan simbol dari kasih dan kesatuan (unity) di dalam jemaat mula-mula (hlm. 802). Tidak heran, cium kudus ini ditemukan juga di dalam 1 Korintus 16:20; 2 Korintus 13:12; 1 Tesalonika 5:26; dan 1 Petrus 5:14. Kata Yunani yang dipakai di dalam empat bagian Alkitab ini sama dengan yang dipakai di Roma 16:16.

Dari studi ini, kita belajar betapa hangatnya kasih persaudaraan di antara tubuh Kristus pada waktu tersebut. Bahkan kasih yang hangat itu ditunjukkan dengan ciuman kudus yang melambangkan kasih dan kesatuan. Hal ini patut menjadi contoh dan teladan bagi gereja Kristen zaman ini. Yang kita teladani bukan tradisi ciuman kudusnya, tetapi esensi di balik cium kudus tersebut, yaitu adanya kasih dan kesatuan. Gereja Kristen zaman sekarang terpecah-pecah dan yang lebih parahnya saling menyerang doktrin yang sekunder. Jika kita melihat ke belakang ke zaman gereja mula-mula, hal tersebut tidak separah gereja zaman sekarang. Pada waktu gereja mula-mula berdiri, para jemaat saling mengasihi dan bersatu di dalam Firman. Namun gereja zaman sekarang tidak ada kasih mesra seperti demikian, karena masing-masing jemaat sibuk dengan urusannya sendiri. Dan yang lebih parah, Firman Tuhan pun diabaikan, kecuali pada hari Minggu saja. Tidak heran, gereja zaman sekarang makin terpecah dan menjauh dari Firman. Keperbedaan itu tidak menjadi masalah, selama perbedaan itu didasarkan pada prinsip Firman Tuhan yang jelas. Kalau gereja terpecah hanya untuk urusan-urusan remeh dan sekunder, misalnya hanya gara-gara masalah uang, dll, gereja seperti demikian patut bertobat! Mari kita belajar dari teguran Paulus di ayat 16 ini. Memang secara konteks yaitu antara gereja mula-mula dengan gereja zaman sekarang itu berbeda, yaitu pada waktu gereja mula-mula, para rasul Kristus masih hidup (sehingga para jemaat mula-mula mendengar pengajaran langsung dari mereka), sedangkan pada masa gereja zaman sekarang, para rasul sudah meninggal. Namun meskipun ada perbedaan konteks, inti yang mau disampaikan Paulus harus kita renungkan baik-baik. Masih adakah kasih mesra di antara tubuh Kristus? Ataukah hanya karena perbedaan doktrin sekunder, kita sudah seperti kebakaran jenggot dan menghina tubuh Kristus lainnya sebagai sesat?

Bukan hanya kasih dan kesatuan di dalam tubuh Kristus, Paulus juga menunjukkan unsur persekutuan di dalam tubuh Kristus. Di ayat 16b, ia mengajar, “Salam kepada kamu dari semua jemaat Kristus.” ESV dan ISV menerjemahkannya, “All the churches of Christ greet you.” (=Semua jemaat Kristus memberi salam kepadamu.) KJV menerjemahkannya, “The churches of Christ salute you” (=Semua jemaat Kristus menyalami/memberi hormat kepadamu.) NIV menerjemahkannya, “All the churches of Christ send greetings.” (=Semua jemaat Kristus memberi salam.) Ayat ini sedang mengajarkan bahwa Paulus mewakili semua jemaat Kristus lainnya memberi salam kepada jemaat di Roma. Dengan kata lain, ada unsur persekutuan sesama tubuh Kristus. Kasih dan kesatuan ditunjukkan dengan adanya persekutuan yang hangat. Demikian juga persekutuan harus disertai dengan kasih dan kesatuan di antara tubuh Kristus. Persekutuan itu ditandai dengan hubungan saling: saling menegur, menasihati, mengajar, menghibur, dll. Namun sayangnya, akibat trauma dengan konsep persekutuan yang ngawur, ada seorang hamba Tuhan yang “anti” dengan persekutuan. Dia mengajar bahwa persekutuan bisa seperti busa yang menggelembung di dalam minuman bersoda, namun isinya kosong. Hal itu memang benar, tetapi TIDAK berarti dengan adanya konsep persekutuan yang ngawur, maka persekutuan itu tidak penting! Itu ekstrim namanya! Trauma-isme ini harus dihilangkan. Memang kita perlu berwaspada dengan konsep persekutuan yang dunia tawarkan, namun tidak berarti kita anti terhadap persekutuan. Persekutuan yang beres dibangun di atas dasar Firman Tuhan. Dengan kata lain, saya berani menafsirkan bahwa di dalam persekutuan antar tubuh Kristus diperlukan tingkat kedewasaan rohani yang salah satu cirinya adalah kerendahan hati. Tanpa ada kerendahan hati, sesama jemaat tidak bisa saling menegur dan menasihati, padahal itu penting bagi pertumbuhan rohani antar jemaat. Namun sayangnya, di gereja-gereja yang terlalu mengajar doktrin yang muluk-muluk, tindakan saling menegur antar sesama jemaat menjadi hilang (apalagi ditambahi unsur budaya sungkan-isme ala dunia Timur). Gereja, khususnya gereja Timur, harus bertobat dari kebiasaan sungkan-isme ini dan kembali kepada Alkitab! Berdirilah teguh di atas dasar Kebenaran dan Kasih di dalam persekutuan tubuh Kristus, bukan sungkan-isme!

Bagaimana dengan kita? Setelah merenungkan satu ayat ini, adakah kita memiliki keterbukaan hati untuk saling berbagi dan mengasihi di antara tubuh Kristus? Biarlah Roh Kudus memampukan kita bertindak demikian demi hormat dan kemuliaan nama-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.

05 November 2009

Roma 16:14-15: SALAM KEPADA SAUDARA SEIMAN-7

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-13


Salam Kepada Saudara Seiman-7

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 16:14-15



Setelah kita membahas sosok Rufus, maka Paulus memberikan salam kepada orang lain di ayat 14-15. Beberapa tafsiran tidak membahas detail sosok orang-orang di dalam dua ayat tersebut. Tetapi beberapa tafsiran membahasnya. Siapa saja mereka itu?

Pertama, Asinkritus (Asunkriton). Menurut Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible, nama ini adalah nama Yunani. Menurut Robertson’s Word Pictures (RWP), dia adalah budak Kaisar Augustus yang telah dibebaskan. Setelah dibebaskan, Dr. Gill memaparkan bahwa dia menjadi salah satu dari ke-70 murid Kristus (Luk. 10:1) dan menjadi bishop (uskup) di Hyrcania.

Kedua, Flegon (Phlegonta). Dr. John Gill juga menyebut Flegon sebagai salah satu dari ke-70 murid Kristus di Lukas 10:1 dan menjadi Uskup di Marathon.

Ketiga, Hermes (Hermēn). King James Version (KJV) menerjemahkannya Hermas. New International Version (NIV) menerjemahkannya Hermes. RWP menafsirkan bahwa Hermes adalah nama umum dari seorang budak pada zaman itu. Menurut Dr. Gill, nama ini adalah nama salah satu dewa Yunani di Listra (Kis. 14:12). Dr. Gill juga menjelaskan bahwa Hermes juga salah seorang dari ke-70 murid Kristus tersebut dan menjadi Uskup di Dalmatia.

Keempat, Patrobas (Patroban). RWP menafsirkan bahwa Patrobas adalah singkatan dari Patrobius dan budak Kaisar Nero yang dilepaskan. Patrobas, menurut Dr. John Gill, juga termasuk salah satu dari ke-70 murid Kristus. Dr. John Gill menafsirkan bahwa nama ini adalah nama Roma yang disusun dari dua kata: πατηρ (Yunani) atau Pater (Latin) dan kata Syria אבא (Abba). Dr. Gill mengatakan bahwa mungkin Patrobas adalah seorang Yahudi yang kemudian menjadi Uskup di Puteoli.

Kelima, Hermas (Hermān). KJV menerjemahkannya Hermes. NIV menerjemahkannya Hermas. Nama Hermes dan Hermas dalam terjemahan Indonesia dan NIV terbalik dengan terjemahan KJV dan yang paling benar adalah terjemahan Indonesia dan NIV karena hal tersebut sesuai dengan teks Yunaninya. RWP menafsirkan bahwa Hermas juga adalah nama umum seorang budak pada waktu itu dan nama ini kepanjangan dari Hermagoras, Hermogenes, dll. Dr. Gill menafsirkan bahwa mungkin sekali Hermas ini adalah Uskup di Philippi atau Aquileia, saudara Paus Pius Pertama, dan penulis buku Pastor atau Shepherd (The People’s New Testament: “The Shepherd of Hermas”), yang dikutip oleh banyak orang kuno.

Keenam, saudara-saudara yang bersama-sama dengan mereka. Saudara-saudara di sini, menurut Dr. Gill, bukan dimengerti secara jasmaniah, tetapi secara rohaniah/spiritual. RWP menafsirkan bahwa mungkin sekali ini menunjuk kepada gereja kecil di sana.

Ketujuh, Filologus (Philologon). RWP menafsirkan bahwa Filologus adalah nama budak yang umum. Dr. Gill menjelaskan bahwa nama ini adalah nama Yunani yang berarti a lover of learning (=pecinta pengetahuan). Filologus juga dianggap sebagai salah satu dari ke-70 murid Kristen dan menjadi Uskup di Sinope.

Kedelapan, Yulia (Ioulian). RWP menafsirkan bahwa Yulia adalah nama budak perempuan yang paling umum yang mengurusi rumah tangga kekaisaran pada zaman Julius Caesar. Baik RWP dan Dr. Gill sama-sama menafsirkan bahwa kemungkinan Yulia (atau Yunia) adalah istri dari Filologus.

Kesembilan, Nereus (Nērea) dan saudara perempuannya. Dr. Gill menafsirkannya bahwa nama ini artinya kekuatan (strength).

Kesepuluh, “Olimpas, dan juga kepada segala orang kudus yang bersama-sama dengan mereka.” Olimpas (Olumpān) adalah singkatan dari Olympiodorus. Dr. Gill menafsirkan bahwa Olimpas sama dengan Olimpus yang adalah salah satu dari ke-70 murid Kristus dan menjadi seorang martir di Roma. Semua orang kudus di sini sama dengan yang dimaksud Paulus dengan “saudara-saudara” di ayat 14. Berarti saudara-saudara rohani di dalam Kristus juga adalah orang-orang kudus (bdk. 1Ptr. 1:2)


Dari salam kepada 10 orang ini, kita mendapatkan penjelasan bahwa Paulus adalah sosok rasul Kristus yang mengenal semua murid Kristus termasuk pekerjaan mereka yang dahulu, dan tidak lupa memberikan salam kepada mereka semua. Ada kasih yang hangat di dalam diri Paulus bagi mereka semua, entah itu pria maupun wanita. Mereka disebut sebagai orang-orang kudus.


Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita sebagai pengikut Kristus juga mengenal saudara seiman kita dan bersekutu dengan mereka serta saling bertumbuh di dalam pengenalan akan Kristus? Biarlah dua ayat ini memberikan informasi sekaligus teladan bagi kita dari Paulus. Amin. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-82: WHEN DREAMS COME TRUE (Eric dan Leslie Ludy)

…Dapatkan segera…




Buku
WHEN DREAMS COME TRUE:
Kisah Nyata yang Menginspirasi Setiap Insan yang Merindukan Cinta Sejati


oleh: Eric dan Leslie Ludy

Penerbit: Gloria Graffa, 2006 (cetakan kedua)

Penerjemah: Ag. Budi Satrio





Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio:
Cinta adalah suatu hal yang begitu indah jika kita mengertinya. Tetapi cinta sejati jauh lebih indah dari sekadar cinta. Adakah cinta sejati itu? Mari temukan kisah cinta sejati yang dialami oleh Eric Ludy dan Leslie Runkles. Mereka berdua dahulu bermain-main dengan “cinta.” Eric dulu meniru teman cowoknya yang memiliki konsep bahwa cewek hanya sebagai obyek seks. Begitu juga dengan Leslie Runkles. Leslie sering berganti pacar demi sebuah gengsi. Namun, Tuhan mengubah kedua orang ini. Eric diajar oleh kakaknya, Krissy untuk menyerahkan hidupnya kepada Kristus melalui sebuah kado (buku rohani) untuk Eric. Saat itu, Tuhan menjamah Eric dan kemudian ia dipanggil Tuhan untuk melayani-Nya sebagai misionaris. Eric memutuskan untuk mengikuti sekolah misionaris. Tuhan menjamah kehidupan Leslie melalui sosok Eric yang ditemuinya di Gereja Komunitas Creekside. Persahabatan mereka begitu dekat sampai Leslie menaruh hati pada Eric, namun untuk beberapa saat, Eric tidak menganggap Leslie sebagai pasangan hidupnya, karena Eric berusia 5 tahun lebih tua dari Leslie. Namun, akhirnya, waktu-Nya sajalah yang bekerja. Tuhan mengetuk pintu hari Eric sehingga Eric terbuka dan mulai mencintai Leslie. Akhirnya, mereka berpacaran dan menikah. Mereka mengaku beberapa tahun setelah menikah, mereka tetap bahagia, karena mereka menempatkan Kristus di atas hubungan cinta mereka.





Profil Eric dan Leslie Ludy:
Eric dan Leslie Ludy (www.ericandleslie.com) adalah penulis best-seller, pembicara internasional, dan artis rekaman yang menantang anak muda seluruh dunia untuk mengejar kehidupan yang diabdikan secara penuh kepada Yesus Kristus. Buku-buku mereka di antaranya: When God Writes Your Love Story, When Dreams Come True, Authentic Beauty, dan God’s Gift to Women. Mereka tinggal di dekat Rocky Mountains di kota Colorado yang indah.

Eksposisi 1 Korintus 1:1 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 1:1

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 1:1



Sama seperti surat-surat kuno lainnya, surat 1 Korintus dimulai dengan penjelasan tentang identitas penulis. Cara penulisan seperti ini berbeda dengan cara modern yang meletakkan nama pengirim di akhir surat. Identitas pengirim berfungsi lebih dari sekedar pemberian tentang siapa yang mengirim surat itu. Apa yang dicantumkan dalam identitas penulis seringkali berkaitan dengan isi surat dan menjelaskan relasi antara penulis dan penerima surat. Dalam surat 1 Korintus terdapat dua nama sebagai pengirim surat, yaitu Paulus dan Sostenes. Masing-masing nama ini memiliki sebutan tersendiri yang menjelaskan relasi mereka dengan penerima surat.


Paulus (ay. 1a)
Banyak orang sering salah memahami nama “Paulus”. Nama ini dianggap sebagai nama baru yang dimiliki Saulus setelah dia bertobat. Hal ini tentu saja tidak tepat. Ada beberapa penjelasan tentang hal ini. Pertama, sebagai seorang Yahudi yang memiliki kewarganegaraan Romawi (Kis. 16:37; 21:39; 22:25) dan lahir di diaspora (Kis. 22:3), Paulus memiliki nama Yahudi (Saulus) maupun Latin (Paulus). Nama Latin “Paulus” secara hurufiah berarti “kecil”. Nama ini mungkin dipakai sesuai dengan postur tubuh Paulus yang kecil (Acts of Paul and Techla, bdk. 1Kor. 2:3; 2Kor. 10:10).

Setelah pertobatannya (Kis. 9) nama “Saulus” tetap dipakai (Kis. 11:25, 30; 12:25; 13:1, 2, 4, 7, 9). Ketika dia menjelaskan kisah pertobatannya di hadapan orang-orang Yahudi, Paulus tetap memakai nama “Saulus” (Kis. 22:7, 13). Demikian pula ketika dia menceritakan kisah itu di depan Raja Herodes Agripa (Kis. 26:14) yang menguasai budaya Yahudi (Kis. 26:3a).

Nama “Paulus” baru dipakai secara konsisten setelah Paulus bersama Barnabas diutus untuk memberitakan Injil kepada orang-orang non-Yahudi (Kis. 13:7, 9, 13, 16, 42, 43, 45, 46, dst). Pengubahan penyebutan ini hanya merupakan salah satu strategi pekabaran Injil yang dilakukan Paulus. Dalam istilah modern strategi ini disebut kontekstualisasi Injil.

Dari cara penulisan nama penulis di 1 Korintus 1:1 terlihat bahwa Paulus berusaha membedakan antara dirinya dengan Sostenes. Hal ini terlihat dari penggunaan kata sambung kai (“dan”) yang memisahkan antara Paulus dan Sostenes. Sebutan yang dipakai untuk keduanya pun berbeda: Paulus disebut sebagai rasul, sedangkan Sostenes sebagai saudara. Dalam Perjanjian Baru, kata rasul (apostolos) bisa merujuk pada tiga kelompok: 12 murid (Mat. 10:2//Luk. 6:13), orang-orang tertentu yang memegang kepempinan dalam gereja secara resmi (misalnya Paulus dan Barnabas, Kis. 14:14; Rm. 1:1) dan orang-orang Kristen secara umum yang memberitakan Injil (1Kor. 9:5-6; 2Kor. 8:3, 23; Flp. 2:25).

Dalam 1 Korintus 1:1 (dan mayoritas suratnya yang lain) Paulus tidak hanya mengklaim diri sebagai rasul. Dia menjelaskan beberapa aspek penting dari kerasulannya. Dalam konteks 1 Korintus, aspek-aspek tersebut perlu mendapat penekanan, karena kerasulan Paulus sedang dipermasalahkan: sebagian lebih menyukai rasul lain (1:12), jemaat Korintus menghakimi (4:1-5) dan menguji (9:1-23; bdk. 2Kor. 11:7-9) kerasulan Paulus. Pada masa sesudahnya pun mereka justru lebih mempercayai rasul-rasul palsu (2Kor. 11:4-5, 21).

Dipanggil (klhtos)
Paulus menjelaskan bahwa kerasulannya adalah hasil dari panggilan ilahi. Dalam teks Yunaninya, kata ini diletakkan dalam urutan pertama setelah nama Paulus. Posisi seperti ini menunjukkan bahwa aspek kerasulan ini adalah yang sangat penting. Aspek ini berkaitan dengan peristiwa panggilan khusus yang diterima Paulus ketika dia dalam perjalanan menuju Damsyik (Kis. 9:1-18). Aspek ini perlu ditegaskan oleh Paulus karena dia tidak termasuk saksi mata dari kehidupan Yesus maupun orang yang dipanggil Yesus untuk menjadi pengikut-Nya, padahal menjadi saksi mata dan dipanggil Yesus merupakan salah satu persyaratan untuk menjadi rasul (bdk. Kis. 1:21-22). Melalui penjelasan “dipanggil” (klhtos) di sini Paulus ingin menyatakan bahwa dia pun sebenarnya sama seperti 12 rasul lain, yaitu menerima panggilan dari Tuhan Yesus. Dia pun layak disebut sebagai saksi mata, walaupun dia hanya menyaksikan Tuhan yang bangkit.

Oleh kehendak Allah
Penjelasan ini sekilas hanya mengulang penjelasan sebelumnya, namun ungkapan “oleh kehendak Allah” di sini memiliki penekanan yang berbeda. Kalau ungkapan “dipanggil” (klhtos) lebih menyoroti aspek proses, ungkapan “oleh kehendak Allah” lebih pada sumber inisiatif dari kerasulan Paulus. Di berbagai kesempatan Paulus menyatakan bahwa inisiatif tersebut bukan berasal dari manusia, baik dari dirinya sendiri maupun orang lain (Gal. 1:1). Dia menggambarkan pertobatan dan panggilannya sebagai bayi yang lahir secara prematur (1Kor. 15:8-9). Kepada jemaat Galatia yang juga meragukan kerasulan dan ajarannya, Paulus menegaskan bahwa kerasulannya bukan berasal dari manusia (Gal. 1:16-17). Panggilan kerasulannya berasal dari Allah sendiri yang sejak dari dalam kandungan telah memilih dia (Gal. 1:15).

Mengapa Paulus perlu menyatakan bahwa inisiatif kerasulannya berasal dari Allah? Hal ini kemungkinan besar terkait dengan kecurigaan sebagian orang terhadap Paulus. Dia kadangkala dicurigai hanya ingin menyenangkan hati manusia (bdk. Gal. 1:10), terutama melalui ajarannya tentang anugerah yang dianggap membuka peluang yang besar bagi kebebasan manusia dan dosa (bdk. Rm. 3:8).

Dengan menyatakan bahwa kerasulannya bersumber dari inisiatif Allah, Paulus ingin memberitahu jemaat di Korintus bahwa dia sendiri sebelumnya tidak menginginkan untuk menjadi rasul, apalagi mencari keuntungan materi bagi diri sendiri (bdk. 1Kor. 9:12, 15, 18; 2Kor. 11:7-9). Dalam 2 Korintus 11:23-28 dia bahkan menjelaskan semua penderitaan yang harus dia tanggung selama menjadi rasul.

(Rasul) Kristus Yesus (cristou Ihsou)
Ungkapan “rasul Kristus Yesus” dapat dipahami dalam dua cara. Jika frase “Kristus Yesus” di sini berfungsi sebagai possesion genitive, maka ungkapan ini berarti “rasul milik Kristus Yesus”. Jika berfungsi sebagai subjective genitive, maka berarti “rasul yang diutus oleh Kristus Yesus”. Dari dua alternatif ini, kemungkinan yang terakhir tampaknya yang paling sesuai, sekalipun makna yang pertama juga pasti termasuk di dalamnya. Bentuk subjective genitive ini lebih sesuai dengan dua aspek kerasulan sebelumnya. Bedanya, ungkapan “rasul Kristus Yesus” di sini lebih menekankan pada subjek yang memanggil Paulus sebagai rasul.

Apakah maksud Paulus menjelaskan bahwa dia adalah rasul Kristus Yesus? Ungkapan ini tampaknya dimaksudkan untuk menekankan bahwa Paulus memiliki tugas kerasulan yang khusus dari Kristus Yesus, yaitu memberitakan Injil. Dalam 1 Korintus 1:17a dia menyatakan “sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil”. Seorang rasul memiliki dan berhak menjabat beragam tugas, namun Paulus mengetahui dengan pasti bahwa panggilannya yang terutama dan khusus adalah memberitakan Injil (bdk. Kis. 9:15-16).


Sostenes
Sama seperti beberapa suratnya yang lain (2Kor. 1:1; Flp. 1:1; Kol 1:1; 1Tes. 1:1; 2Tes. 1:1; Fil 1:1), dalam 1 Korintus 1:1 Paulus juga menyebutkan nama rekan sekerjanya. Kali ini nama yang disebut adalah Sostenes. Siapakah Sostenes di sini? Mengapa dia disebut dalam pembukaan surat ini?

Sostenes kemungkinan besar adalah sekretaris Paulus yang menuliskan surat 1 Korintus. Hal ini tersirat dari kata ganti “kami” yang muncul beberapa kali dalam surat ini. Bagaimanapun, Paulus pasti memiliki alasan lain ketika menyebutkan nama Sostenes, karena di suratnya yang lain dia tidak menyebutkan nama sekretarisnya (bdk. Rm. 1:1 dan 16:22). Terlepas dari sedikitnya data Alkitab yang ada, Sostenes di sini tampaknya lebih tepat dilihat sebagai kepala rumat ibadat orang Yahudi di Korintus ketika Paulus pertama kali mengabarkan Injil di sana (Kis. 18:17). Tradisi gereja mendukung dugaan ini. Di samping itu, pemakaian artikel di depan kata “saudara” (lit. “the brother”) menyiratkan bahwa jemaat Korintus pasti sudah mengenal Sostenes. Sostenes yang disebut di sini adalah orang tertentu yang dikenal jemaat Korintus sekalipun pada waktu itu ada banyak orang dengan nama Sostenes.

Mengapa Paulus perlu mencantumkan nama Sostenes dalam suratnya? Selain karena Sostenes terlibat langsung dalam penulisan surat sebagai sekretaris, Paulus merasa perlu menyebut namanya sebagai salah satu contoh bukti dari kekuatan Injil yang dia beritakan (bdk. 1Kor. 1:22-23) dan otentisitas kerasulannya (bdk. 1Kor. 9:1-2).

Penyebutan Sostenes sebagai “saudara” bukanlah sekedar sapaan formalitas. Sebutan ini sering kali dipakai sebagai persamaan kata “orang Kristen” (bdk. 1Kor. 5:11). Jadi, sebutan ini memiliki makna rohani di dalamnya. Tidak semua orang layak disebut sebagai “saudara”. Yang layak disebut sebagai “saudara” adalah mereka yang sama-sama menyebut Allah sebagai Bapa melalui pekerjaan Roh Kudus dan karya Kristus (Rm. 8:15//Gal. 4:6).


Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 22 Juli 2007