04 July 2010

Ujilah Segala Sesuatu!-1: PENDAHULUAN (Denny Teguh Sutandio)

UJILAH SEGALA SESUATU!-1: PENDAHULUAN

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”
(1Tes. 5:21)

“Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia. Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah, dan setiap roh, yang tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari Allah. Roh itu adalah roh antikristus dan tentang dia telah kamu dengar, bahwa ia akan datang dan sekarang ini ia sudah ada di dalam dunia. Kamu berasal dari Allah, anak-anakku, dan kamu telah mengalahkan nabi-nabi palsu itu; sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia. Mereka berasal dari dunia; sebab itu mereka berbicara tentang hal-hal duniawi dan dunia mendengarkan mereka. Kami berasal dari Allah: barangsiapa mengenal Allah, ia mendengarkan kami; barangsiapa tidak berasal dari Allah, ia tidak mendengarkan kami. Itulah tandanya Roh kebenaran dan roh yang menyesatkan.”
(1Yoh. 4:1-6)



Banyak manusia di zaman sekarang mulai mengatakan bahwa semua agama dan bahkan semua gereja itu sama saja. Mereka mengatakan bahwa tidak peduli agama dan gereja mana saja, yang penting masing-masing individu beribadah kepada “Tuhan” yang sama dengan cara yang berbeda. Benarkah demikian? TIDAK. Justru para penganut relativisme agama sendiri tidak pernah konsisten dengan dirinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa semua agama dan gereja itu sama, namun herannya mereka tidak mau menerima orang lain yang berbeda konsep dengan mereka (seharusnya jika mereka konsisten, maka mereka juga menerima semua orang bahkan orang yang berbeda konsep dengan mereka). Jika Rev. Prof. D. A. Carson, Ph.D. menyebut Intolerance of Tolerance (Intoleransi dari Toleransi—sebuah kontradiksi), maka saya menyebut gejala ini: Inrelativism of Relativism (Inrelativisme dari Relativisme). Di sini letak jebolnya semangat zaman yang dipengaruhi dosa.

Bagaimana dengan kita? Apakah sebagai orang Kristen kita mau terus-menerus mengikuti arus zaman di mana setiap zamannya pasti memiliki spirit yang berbeda, berubah, dan bahkan berkontradiksi? Firman Tuhan di dalam Roma 12:2 mengajar kita bahwa kita jangan dijadikan serupa oleh dunia ini, namun kita harus diubah oleh pembaharuan pemikiran, supaya kita mengetahui/menyetujui manakah kehendak Allah yang baik, disenangi Allah, dan sempurna (mengikuti terjemahan Indonesia dari teks asli Yunaninya; sumber: Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia, 2006, hlm. 862). Yang lebih unik, frase “jangan dijadikan serupa” dan “diubah oleh pembaharuan pemikiran” dalam struktur teks Yunaninya menggunakan bentuk present, pasif, dan imperatif. Dengan kata lain, dua aktivitas ini terjadi bukan dari diri kita, namun atas anugerah Allah melalui karya Roh Kudus. Roh Kudus memimpin hati dan pikiran kita sehingga hati dan pikiran kita tidak lagi ditipu oleh dunia, namun hati dan pikiran kita makin sesuai dengan kehendak Allah di dalam firman-Nya. Nah, bagaimana caranya kita melakukan dua aktivitas tersebut? Roh Kudus mengajar kita melalui Alkitab bahwa caranya adalah dengan menguji segala sesuatu berdasarkan standar satu-satunya kebenaran mutlak yaitu Alkitab. Kata menguji baik dalam 1 Tesanolika 5:21 maupun 1 Yohanes 4:1 sama-sama menggunakan kata Yunani dokimazo yang berarti prove (=membuktikan) atau examine (=menguji/meneliti/memeriksa).

Mengapa kita harus menguji segala sesuatu dengan Alkitab? Ketika Allah memerintahkan kita untuk menguji segala sesuatu, Ia mau agar kita lebih setia, taat, dan mencintai Allah dan kebenaran-Nya. Orang Kristen yang semakin mencintai Allah, seharusnya makin berwaspada dan menguji segala sesuatu dari perspektif Allah, karena ia hanya mau menyenangkan-Nya. Allah melalui firman-Nya memerintahkan kita untuk menguji segala sesuatu, mengapa kita tidak mau menguji segala sesuatu dengan Alkitab? Bukankah ini suatu tindakan tidak bertanggungjawab dan melanggar firman-Nya?

Jika demikian, bagaimana kita menguji segala sesuatu (dengan Alkitab)?
Pertama, ujilah diri kita sendiri terlebih dahulu. Prinsip penting sebelum menguji segala sesuatu adalah ujilah diri kita apakah kita sudah layak menguji atau belum. Artinya, ujilah diri kita apakah iman dan kerohanian kita sudah cukup “baik” dan apakah pengetahuan Alkitab kita sudah cukup beres. Mintalah Tuhan menguji terlebih dahulu hati, pikiran, iman, dan kerohanian kita, sehingga ketika menguji segala sesuatu, kita tidak terlalu gegabah menghakimi sesuatu yang kita uji tersebut (mungkin karena emosional kita). Mari kita berkata seperti pemazmur, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mzm. 139:23-24)

Kedua, belajarlah Alkitab dengan bertanggungjawab. Setelah menguji diri kita, maka kita perlu belajar terus-menerus akan kebenaran Alkitab dengan bertanggungjawab. Caranya adalah bacalah Alkitab secara rutin dan dengan teliti dari Kejadian s/d Wahyu, beli dan bacalah buku-buku rohani dan tafsiran Alkitab yang bertanggungjawab, ikutilah seminar atau pembinaan iman Kristen yang bermutu, dan berdiskusilah dengan sesama orang Kristen atau hamba-hamba Tuhan yang bertanggungjawab untuk menumbuhkan iman, pengetahuan, dan kerohanian kita.

Ketiga, ujilah ajaran-ajarannya apakah sesuai dengan Alkitab atau tidak. Setelah menguji diri dan belajar Alkitab, maka kita perlu menguji segala sesuatu khususnya ajaran-ajaran dari yang kita uji itu apakah sesuai dengan Alkitab atau tidak. Mengapa saya mengatakan menguji ajaran itu penting? Karena ajaran merupakan basic belief (kepercayaan dasar) dari sesuatu yang diuji. Dari ajaran tertentu, muncullah sikap dan tingkah laku dari para penganutnya. Nah, ketimbang kita menguji sikap dari para penganutnya yang belum tentu sesuai dengan ajaran aslinya, maka ujilah ajaran sebagai intinya. Ajaran tersebut bisa kita teliti dari perkataan-perkataan pendiri utamanya (dan juga para penerusnya). Dengan kata lain, menurut Prof. Mark A. Gabriel, Ph.D. dalam bukunya Jesus and Muhammad: Profound Differences and Surprising Similarities, kita harus menemukan original sources (sumber original/asli)-nya untuk mengetahui ajaran obyektif yang kita selidiki. Bagaimana kita mengetahui bahwa ajaran tertentu sesuai dengan Alkitab atau tidak? Prinsip-prinsipnya simple namun mendalam, yaitu: segala sesuatu yang melawan ajaran-ajaran Kristen orthodoks, yaitu: kedaulatan Allah, Allaah sebagai Pencipta alam semesta, Allah Tritunggal, manusia sebagai peta dan teladan Allah, kerusakan total manusia akibat dosa, kelahiran Kristus dari anak dara Maria, kematian dan kebangkitan Kristus yang menyelamatkan, keutamaan dan finalitas Kristus (keselamatan HANYA ada di dalam Kristus), karunia Roh Kudus (sebagai Pribadi) yang melahirbarukan umat-Nya, dan kedatangan Kristus kedua kalinya, maka ajaran itu jelas tidak bertanggungjawab (bahkan mungkin bisa dikatakan: SESAT).

Keempat, ujilah ajaran-ajaran tersebut dari sudut pandang logika Kristen. Sebagai orang Kristen, selain Alkitab, Allah menganugerahkan akal budi kepada kita untuk berpikir, sehingga adalah bijaksana jika kita menggunakan akal budi Kristiani untuk menguji ajaran tertentu. Misalnya, jika ajaran tertentu benar, maka mengutip Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div., kebenaran harus memenuhi syarat-syarat tertentu: universal (berlaku umum), kekal (melampaui kesemantaraan), integral (menyeluruh dan tidak ada pengecualian), dan moral (memiliki etika). Saya menambahkan satu syarat lagi, yaitu: KONSISTEN. Konsisten yang saya maksud ini ada dua: konsisten antar ajaran-ajarannya sendiri dan konsisten antara ajaran dan tindakan (apakah ajaran tersebut bisa secara konsisten dihidupi). Sebuah ajaran jika tidak memenuhi kelima syarat di atas, maka ajaran tersebut tentu saja tidak benar. Contoh, jika ada pendiri suatu kepercayaan yang mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah ilusi, maka di titik pertama, Anda sebagai orang Kristen TIDAK perlu mendengarkan ocehannya, karena secara tidak sadar, si pendiri sedang mengatakan sesuatu yang ilusi. Kita bukan orang yang kurang kerjaan mendengar sesuatu yang tidak masuk akal (akal Kristiani) kan? Hehehe…

Kelima, ujilah sikap dan tingkah laku para penganutnya. Setelah menguji ajarannya, maka kita perlu menguji aplikasi ajaran tersebut di dalam sikap dan tingkah laku para pendiri dan penganutnya. Aplikasi ajaran tersebut bisa dikatakan sikap dan tingkah laku pendiri dan para penganutnya sebagai hasil dari ajaran-ajarannya. Meskipun kita tidak bisa mengatakan bahwa sikap yang ngawur dari salah seorang atau beberapa penganutnya mencerminkan kesalahan suatu ajaran, namun kita tetap bisa menguji suatu ajaran/kepercayaan dari sikap dan tingkah lakunya, karena Tuhan Yesus sendiri berfirman, “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri? Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik. Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka.” (Mat. 7:15-20) Jika sebuah kepercayaan mengajarkan mutlaknya perang untuk memberantas para kafir dan kepercayaan ini dijalankan oleh pendiri dan banyak penganutnya, maka sudah pasti kepercayaan itu ngaco.

Setelah melakukan 5 tahap pengujian ini, biarlah kita makin peka terhadap kondisi zaman kita yang makin lama makin tidak karuan, lalu kita dituntut untuk cerdas dan teliti meneliti tanda-tanda zaman sesuai dengan Alkitab, dan kemudian menjadi saksi Kristus di tengah zaman yang rusak ini, agar banyak orang yang telah tersesat oleh filsafat dunia dapat kembali kepada Kristus. Biarlah renungan singkat ini mengingatkan kita betapa pentingnya firman Tuhan yaitu Alkitab di dalam kehidupan orang Kristen yang cinta Tuhan. Amin. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-99: STOP DATING THE CHURCH! (Rev. Joshua Eugene Harris)

...Dapatkan segera...




Buku
STOP DATING THE CHURCH!:
Menghentikan Kebiasaan Berpindah-pindah Gereja dan Menjadi Jemaat yang Berkomitmen


oleh: Rev. Joshua Eugene Harris

Penerbit: Gloria Graffa, 2006

Penerjemah: Andina M. Rorimpandey





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Orang Kristen disebut Kristen karena ia adalah pengikut Kristus atau “kristus-kristus” kecil. Karena disebut pengikut Kristus, maka orang Kristen sudah seharusnya hidupnya hanya bagi Kristus yang diikuti-Nya. Hidup bagi Kristus adalah hidup yang makin menyerupai Kristus. Untuk mencapai hidup yang makin menyerupai Kristus, diperlukan suatu proses pendewasaan iman dan karakter Kristen. Di dalam proses pendewasaan tersebut dibutuhkan peran serta Roh Kudus yang menggunakan Alkitab dan orang-orang seiman (gereja) untuk saling menguatkan, menegur, menghibur, dan mengajar. Itulah pentingnya gereja. Gereja dibagi menjadi dua: gereja kelihatan dan gereja yang tidak kelihatan (universal). Dengan alasan bahwa dirinya adalah gereja yang universal, maka beberapa (atau banyak) orang Kristen enggan berpartisipasi di dalam gereja yang kelihatan. Apa alasan mereka? Mengapa demikian? Seberapa signifikansikah berpartisipasi di dalam gereja yang kelihatan? Kesemuanya itu dibahas dengan sederhana namun jelas oleh Rev. Joshua Eugene Harris di dalam bukunya Stop Dating the Church! yang menguraikan bahwa orang Kristen harus menghentikan kebiasaan berpindah-pindah gereja dan bagaimana menjadi jemaat gereja yang berkomitmen. Di dalam buku ini, Rev. Joshua Harris menguraikan tentang 10 dasar memilih gereja dan bagaimana menghargai hari Minggu sebagai hari sakral untuk beribadah kepada Tuhan di gereja. Buku ini ditutup dengan tantangan dari Rev. Joshua Harris untuk menerapkan teori dari ke-6 bab yang sudah diuraikannya. Biarlah buku ini menjadi berkat bagi kita tentang mengerti signifikansi gereja yang kelihatan di dalam pembangunan tubuh Kristus.




Apresiasi:
“Bukannya menanyakan apa yang dapat mereka berikan atau bagaimana mereka dapat melayani, begitu banyak pengunjung gereja yang hanya tertarik dengan apa yang dapat mereka peroleh. Gereja layak mendapatkan jauh lebih banyak daripada sekadar komitmen setengah hati atau sikap acuh yang apatis, yang terlalu sering diterimanya. Sebenarnya, seperti yang diamati Harris dengan jeli, kehidupan Kristiani tidak dapat dijalani secara utuh apabila terpisah dari kerinduan yang sungguh-sungguh terhadap gereja. Inilah saatnya, orang percaya tidak menyepelekan gereja, dan inilah alasan mengapa pesan dari buku ini begitu penting.”
Rev. John F. MacArthur, Jr., Litt.D., D.D.
(Pendeta pengajar di Grace Community Church, Sun Valley, California, U.S.A., penulis, pembicara konferensi, Presiden dan Professor of Pastoral Ministries di The Master's College and Seminary; Bachelor of Arts—B.A. dari Los Angeles Pacific College; Master of Divinity—M.Div. dari Talbot Theological Seminary; dan mendapat anugerah gelar: Doctor of Letters—Litt.D. dari Grace Graduate School dan Doctor of Divinity—D.D. dari Talbot Theological Seminary)

“Orang Kristiani penginjil memiliki penekanan yang baik dan memadai atas keselamatan pribadi. Namun, penekanan itu tidak diimbangi dengan kehidupan Kristiani yang bersifat dasar menyatu. Orang Kristiani adalah milik gereja – satu-satunya tempat yang memungkinkan kita bertumbuh dan berkembang secara rohani. Dalam buku ini, Joshua Harris menguraikan hal ini dengan bijak, jelas, dan luwes.”
Charles W. Colson
(Prison Fellowship, Washington, D.C.)

“Joshua Harris mengingatkan kita akan tugas mulia surgawi yang telah hilang dari kehidupan kita ketika kita menghindari sentuhan pribadi yang terkait dengan komitmen mengenai konsep gereja sebagai ‘rumah’. Banyak orang ingin merasa nyaman dan kenyang tatkala berada di gereja, tetapi kehidupan bersama adalah masalah besar yang harus diselesaikan oleh hati kita. Melalui gereja, tulis Joshua Harris, ‘Kuasa Injil bukan sekadar mengubah pribadi manusia, tetapi sekaligus menciptakan jenis kemanusiaan baru.”
Sara Groves, B.Sc.
(Penyanyi/Penulis Lagu; Bachelor of Science—B.Sc. dalam bidang Sejarah dan Inggris dari Evangel University)

“Joshua Harris memiliki talenta menyampaikan isu yang sedang berkembang dengan cara yang jelas, tegas, dan mudah diingat. Stop Dating the Church! adalah bentuk tulisan yang dinanti-nantikan serta disukai para pembaca, karena apa yang dikatakannya benar-benar dan realistis. Dengan cara yang menarik ia menunjukkan buah pemikiran yang keliru dari orang-orang yang sekadar menginginkan persekutuan dengan Yesus, tetapi tidak menghendaki persekutuan dengan umat-Nya. Saya percaya Tuhan akan memakai buku ini untuk mengobarkan kasih terhadap apa yang Yesus kasihi: mempelai wanita-Nya, gereja-Nya, di dalam hati banyak orang.”
Rev. Prof. Donald S. Whitney, D.Min., Th.D. (Cand.)
(Associate Professor of Biblical Spirituality dan Senior Associate Dean of the School of Theology di Southern Baptist Theological Seminary, U.S.A.; B.A. dari Arkansas State University; M.Div. dari Southwestern Baptist Theological Seminary, Fort Worth, Texas, U.S.A.; Doctor of Ministry—D.Min. dari Trinity Evangelical Divinity School, Deerfield, Illinois; dan Doctor of Theology—Th.D. (candidate) dalam bidang Spiritualitas Kristen di University of South Africa; website beliau: www.BiblicalSpirituality.org)

“Apakah Anda pendeta yang sedang mencari buku bermutu untuk menolong para pengunjung gereja memahami alasan mereka harus bergabung dengan sebuah gereja? Inilah buku itu! Jelas, sederhana, digambarkan dengan baik, dan bersifat mendorong. Buku kecil ini mencerminkan kasih Kristus terhadap gereja dan menjelaskannya dengan istilah-istilah yang sederhana dan menarik. Bacalah dan manfaatkanlah.”
Rev. Mark E. Dever, Ph.D.
(Pendeta senior di Capitol Hill Baptist Church, Washington, D.C., Direktur Eksekutif dari 9Marks Ministries {dahulu dikenal sebagai the Center for Church Reform}, anggota dari Alliance of Confessing Evangelicals, dan memimpin the Alliance Forum; B.A. magna cum laude dari Duke University; M.Div. summa cum laude dari Gordon-Conwell Theological Seminary; Master of Theology—Th.M. dari The Southern Baptist Theological Seminary; dan Doctor of Philosophy—Ph.D. dalam bidang Sejarah Gereja dari Cambridge University, U.K.)

“Dalam Stop Dating the Church! Joshua Harris dengan semangat yang menyala-nyala mengomunikasikan perlunya umat Allah menjawab panggilan kita di dunia ini serta memberi kita peralatan untuk mulai mengerjakannya. Saya menghargai Josh yang tidak sekadar mengisi bukunya dengan berbagai petunjuk; ia menulisnya sebagai seseorang yang juga bergumul bersama kita untuk menemukan tempat di dalam tubuh Kristus.”
Derek Walsh Webb
(Penyanyi/Penulis Lagu)






Profil Rev. Joshua E. Harris:
Rev. Joshua Eugene Harris lahir pada tahun 1974 di Dayton, Ohio, U.S.A. dari orangtua: Gregg dan Sono Harris. Sejak tahun 2004, beliau menjadi Senior Pastor di Covenant Life Church (www.covlife.org), Gaithersburg, Maryland, U.S.A. Beliau juga adalah anggota dari Council on Biblical Manhood and Womanhood (CBMW) bersama Rev. John S. Piper, D.Theol., dkk. Beliau juga anggota dari the council of The Gospel Coalition. Pada tahun 1998, beliau menikah dengan Shannon dan dikaruniai 3 orang anak. Untuk memperoleh informasi tentang pekerjaan pelayanan Joshua, khotbah online, dan kisah-kisah dari para pembaca, kunjungilah website: www.joshharris.com.

PERENUNGAN UNTUK ORANG SOMBONG (Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.)

PERENUNGAN UNTUK ORANG SOMBONG

oleh: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.



“Semakin sombong seseorang semakin ia membenci kesombongan dalam diri orang lain.”
(C. S. Lewis)



Suatu malam, seorang mahasiswa berkata kepada saya dalam pergumulannya, “Pak, saya sedang bergumul dengan diri saya. Saya merasa sombong dan ini mengganggu saya.” Melihat ekspresi wajahnya yang serius dan tulus, saya menjawabnya, “Tenang saja, kesombonganmu jelas masih dalam taraf yang belum puncak. Pernyataanmu bahwa kamu merasa sombong menunjukkan bahwa kamu tidak benar-benar sombong.” Setelah itu kami berbicara panjang lebar dan saling mendukung.

Komentar saya di atas mencerminkan sebuah keyakinan bahwa mereka yang sombong total biasanya tidak menyadari kesombongannya dan mereka yang mampu mengakui kesombongannya, masih memiliki sisa-sisa kerendahan hati. Hal ini seperti, orang yang agak mabuk sadar bahwa ia agak mabuk, namun orang yang mabuk total tidak sadar bahwa ia mabuk; atau orang yang setengah tertidur sadar bahwa ia setengah tertidur, tetapi mereka yang tertidur lelap tidak sadar bahwa ia sedang tertidur.

Nah, dalam pergulatan melawan dosa yang sama sekali tidak pantas ini, saya tiba pada karya C. S. Lewis, seorang profesor Cambridge yang menulis buku Mere Christianity dan banyak novel seperti The Chronicles of Narnia.

Jika C. S. Lewis ditanya tentang ciri-ciri orang sombong, jelas sekali ia akan menjawab: “orang sombong adalah orang yang sering kali tersinggung dengan orang sombong lainnya.” Kalimat itu bukan kata-katanya, tetapi rangkuman dari pemahamannya. Dalam bahasanya sendiri, ia berkata bahwa kesombongan adalah dosa yang “semakin kita memilikinya semakin kita tidak menyukainya dalam diri orang lain.” Pendeknya, ketika Anda tidak terima, jengkel, dan tersinggung dengan orang yang Anda anggap sombong, sangat mungkin kesombongan dalam diri Anda sedang memberontak melawan kesombongan orang lain. “Emangnya dia aja yang bisa, gua juga bisa tahu!” Begitulah ketika orang sombong tersinggung dengan orang sombong lainnya.

Kebenarannya adalah, semakin sering Anda tersinggung dan tidak menyukai orang-orang yang Anda anggap sombong, semakin mungkin bahwa Anda sendiri adalah orang yang sombong.

Pertama-tama, saya kurang sreg dengan pemikiran C. S. Lewis ini. Bukankah mungkin, seseorang yang pandai menganalisa orang lain (misalnya: psikolog) mampu menemukan kesombongan dalam diri orang lain tanpa terjatuh dalam kesombongan yang sama? Begitu kata saya dalam hati (dan mungkin juga Anda!). Namun, jelaslah bahwa hal ini adalah kesalahpahaman terhadap pemikiran C. S. Lewis. Ia tidak berkata bahwa orang yang sombong adalah orang yang mampu menemukan kesombongan orang lain, tetapi bahwa orang yang sombong adalah orang yang tidak menyukai kesombongan dalam diri orang lain. Selanjutnya, yang harus diingat adalah bahwa motivasi ketidaksukaan (dalam pemikiran C. S. Lewis) ini bukanlah karena kita tahu bahwa kesombongan itu ditentang Allah, melainkan karena kita merasa tersinggung, marah dan tidak suka ketika ada orang yang menyombongkan diri di hadapan kita. Nah, kesombongan jenis inilah yang dibicarakan C. S. Lewis.

Pemikiran C. S. Lewis di atas sungguh sederhana sekaligus mendalam karena ia telah berhasil menemukan ciri-ciri orang yang sombong, bahkan mungkin ciri yang terutama. Selanjutnya C. S. Lewis berkata, “Kesombongan pada hakikatnya bersifat kompetitif – naturnya itu sendiri bersifat kompetitif – sementara kejahatan-kejahatan lainnya, bisa dikatakan hanya berkompetisi secara kebetulan.” Ia menjelaskan, “Kesombongan tidak merasa senang karena memiliki sesuatu, tetapi hanya jika ia memiliki sesuatu yang melebihi apa yang dimiliki oleh orang di sebelahnya.” Kesombongan selalu membuat orang kompetitif terhadap orang lain. Kesombongan eksis dalam konteks perbandingan dengan orang lain dan bukan kesendirian.

Selanjutnya, jika Anda mengamati semua dosa yang lain, misalnya orang yang suka korupsi waktu kerja atau uang perusahaan, pornografi, pornoaksi, mabuk-mabukan, mencuri, bahkan membunuh, Anda akan menemukan bahwa mereka yang melakukannya tidak selalu keberatan jika orang lain juga melakukannya. Itulah sebabnya kita dapat menemukan sekelompok mahasiswa tukang contek yang saling bersahabat, “persekutuan” para pemabuk, kumpulan orang-orang cabul, kelompok para pencuri waktu kerja, dan geng para pembunuh. Dalam bahasa C. S. Lewis, “Kejahatan-kejahatan lainnya terkadang bisa mempersatukan orang: Anda mungkin menemukan persekutuan dan senda gurau dan persahabatan yang erat di engah orang-orang yang mabuk dan tidak suci.”

Namun demikian, kesombongan adalah dosa yang amat berbeda. Kesombongan selalu berarti perseteruan-kesombongan adalah perseteruan. Dan bukan hanya perseteruan antara manusia dengan manusia, tetapi perseteruan dengan Allah. Singkatnya, dalam hikmat C. S. Lewis, dosa-dosa yang lain masih bisa mempersatukan orang-orang, tetapi kesombongan selalu berarti perseteruan, pertikaian, dan konflik yang tidak dengan orang lain. Oleh karena itu, jika ada suatu konflik tak berkesudahan, baik itu di dalam persahabatan, pernikahan, pekerjaan, C. S. Lewis akan menebak, pasti ada orang yang sombong di dalamnya, sehingga begitu sulitnya hal itu diselesaikan. Tentu saja semakin sulit lagi, jika pihak yang sombong selalu berpikir bahwa pihak lawanlah yang sombong. Ini benar-benar lingkaran setan! Tidak ada yang bisa menyelesaikan masalah seperti ini kecuali Tuhan.

Akhirnya, terhadap kesombongan ini C. S. Lewis ingin memberikan peringatan yang tegas, “Selama Anda menjadi orang yang sombong Anda tidak bisa mengenal Allah” Mengapa? “Sebab kesombongan adalah kanker spiritual: yang memakan habis setiap kemungkinan dari kasih, atau perasaan cukup, atau bahkan akal sehat.” Pemikiran C. S. Lewis hanyalah gema cerdas dari kebenaran Alkitab yang berkata, “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong” (1Kor. 13:4). C. S. Lewis menutup pembahasannya dengan menunjukkan jalan menuju kerendahan hati. Ia berkata, “Langkah pertama adalah menyadari bahwa Anda adalah orang yang sombong. Dan langkah itu sekaligus merupakan langkah yang cukup besar. Setidaknya, tidak ada sesuatupun yang bisa dilakukan sebelumnya. Jika Anda berpikir bahwa Anda tidak tinggi hati, itu berarti Anda memang tinggi hati” Selamat Merenung.




Sumber: e-mail yang dikirim langsung dari penulis




Profil Penulis:
Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau mendapat sertifikat dari Ravi Zacharias International Ministry, Academy of Apologetics, India.




Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio