29 September 2010

KESEMBUHAN ILAHI: MASIH ADAKAH? (Denny Teguh Sutandio)

KESEMBUHAN ILAHI: MASIH ADAKAH?
(Sebuah Tinjauan Iman Kristen Terhadap Fenomena Kesembuhan Ilahi)


oleh: Denny Teguh Sutandio



Hidup manusia makin lama makin susah. Penderitaan silih berganti, penyakit datang silih berganti, kemiskinan, dll mencekam kehidupan kita. Banyak dari kita yang mengalami penderitaan menginginkan penderitaan tersebut segera berakhir. Tidak heran, demi mendapatkan jalan keluar terhadap penderitaan tersebut, banyak orang yang menghalalkan segala cara, misalnya mencari pengobatan alternatif, dukun, dll. Bagaimana dengan Kekristenan? Di dunia Kekristenan, kita menjumpai fenomena menarik yang disuguhkan sebagai solusi terhadap berbagai penyakit, yaitu adanya kesembuhan ilahi yang ditawarkan dalam bentuk ibadah atau Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) dengan variasi nama. Misalnya, di Indonesia muncul KKR Kesembuhan Ilahi dan Perjamuan Kudus yang dipromotori oleh Bp. Yesaya Pariadji, selain itu di Surabaya, muncul Festival Kuasa Allah (FKA) yang dipromotori oleh Bp. Philip Mantofa, B.RE. yang pada tahun ini (2010) memasuki seri ke-13. Ada juga yang menjadi sebuah gerakan: Healing Movement dan berbentuk crusade: Mujizat Crusade. Banyak orang Kristen begitu tergiur oleh janji-janji yang disuguhkan di dalam kebaktian kesembuhan ilahi. Sedangkan beberapa orang Kristen tidak percaya akan adanya kesembuhan Ilahi karena mereka berpendapat bahwa semua karunia Roh Kudus telah berhenti ketika Alkitab telah selesai ditulis (pandangan ini disebut: cessationist). Bagaimana pandangan orang Kristen yang tepat sesuai dengan Alkitab? Masih adakah kesembuhan Ilahi? Jika masih ada, bagaimana wujudnya? Bagaimana tinjauan Alkitab terhadap fenomena kesembuhan Ilahi yang terjadi di sekitar kita: apakah dari Allah, sugesti diri, ataukah dari setan?


A. PRESUPOSISI KESEMBUHAN ILAHI
Sebelum kita membahas mengenai kesembuhan Ilahi, kita harus mengerti beberapa poin di bawah ini:
Pertama, Alkitab adalah satu-satunya kebenaran mutlak (2Tim. 3:16-17). Di titik pertama, sebagai orang Kristen yang normal, kita harus percaya 100% bahwa Alkitab yang adalah firman Allah adalah satu-satunya kebenaran mutlak yang menjadi dasar/sumber dari iman dan praktik hidup Kristen. Jika ada ajaran yang bertentangan dengan Alkitab, kita harus berani menolaknya dengan tegas, meskipun orang banyak berbondong-bondong mengikutinya. Prinsipnya: jangan pernah ikut arus zaman jika ajaran di balik arus tersebut melawan Alkitab.

Kedua, Allah adalah Allah yang berdaulat atas segala sesuatu (Yes. 44:6-8). Karena kita percaya bahwa Alkitab itu adalah firman Allah yang tak mungkin bersalah dalam naskah aslinya, maka kita tentu percaya akan inti Alkitab bahwa Allah adalah Allah yang berdaulat atas segala sesuatu. Kedaulatan-Nya ditunjukkan dengan Allah menciptakan alam semesta ini dan memeliharanya. Allah yang memelihara adalah Allah yang mengatur alam semesta ini berjalan dengan tepat sesuai dengan kehendak-Nya. Karena Ia adalah Allah yang memelihara dengan mengatur alam semesta, Allah yang sama juga bisa membuat segala sesuatu terjadi di luar kondisi normal. Artinya, pengaturan alam semesta dari Allah ini memungkinkan juga munculnya mukjizat atau hal-hal supernatural. Dengan kata lain, semua hal supernatural SEJATI harus bersumber dari Allah yang berdaulat. Karena Ia adalah Allah yang berdaulat, maka Ia sanggup/mampu melakukan apa pun sesuai dengan natur dan kehendak-Nya dan di saat yang sama, Ia pun sanggup untuk tidak melakukan apa pun sesuai dengan kehendak dan natur-Nya. Dengan kata lain, Ia bebas untuk bertindak sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya dan TIDAK ada seorang pun yang layak untuk menjadi penasehat-Nya akan apa yang perlu Ia kerjakan. Jika ada orang yang berani mengklaim (janji) Allah identik dengan merasa diri layak untuk menasehati-Nya dan di saat yang sama, orang tersebut merasa diri lebih pandai dan bijak dari Allah. Jika kasusnya demikian, lain kali, suruhlah orang tersebut untuk bertindak “seperti Allah” yang mengatur alam semesta ini tanpa terjadi kekacauan sambil membuktikan apakah dia layak menjadi “Allah”.


B. KESEMBUHAN ILAHI: MASIH MUNGKINKAH TERJADI?
Jika kita percaya bahwa dasar iman Kristen kita yang teguh adalah Alkitab dan Allah adalah Allah yang berdaulat, maka pertanyaan selanjutnya adalah masih mungkinkah kesembuhan Ilahi terjadi? Jawabannya yang pasti adalah: MUNGKIN. Mengapa kesembuhan ilahi masih mungkin terjadi sekarang ini? Karena: Allah yang berdaulat yang yang mencipta dan memelihara dengan mengatur alam semesta ini di dalam suatu tatanan yang ada di dalam tangan-Nya adalah Allah yang sama yang juga bisa mengintervensi kuasa-Nya di luar tatanan yang telah diciptakan-Nya melalui mukjizat dan hal-hal supernatural lainnya. Jika Allah tidak bisa berkuasa mengintervensi kuasa-Nya di luar tatanan yang telah diciptakan-Nya tersebut berarti Ia telah dibatas oleh tatanan tersebut dan secara otomatis, Ia bukan Allah yang berdaulat. Inilah kegagalan pola pikir orang Kristen yang percaya bahwa kesembuhan ilahi tidak mungkin terjadi di zaman sekarang.

Jika mukjizat dan hal-hal supernatural (termasuk kesembuhan Ilahi) masih bisa terjadi, pertanyaan selanjutnya, apakah semua yang mengklaim sebagai kesembuhan ilahi itu pasti berasal dari Allah? Mengapa kita perlu mempertanyakan ini? Karena Alkitab sendiri mengajar kita tiga poin penting, yaitu: “Sebab orang-orang itu adalah rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus. Hal itu tidak usah mengherankan, sebab Iblispun menyamar sebagai malaikat Terang.” (2Kor. 11:13-14), “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” (1Tes. 5:21), dan “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia.” (1Yoh. 4:1) Alkitab sendiri memerintahkan kita untuk menguji segala sesuatu, karena iblis dapat menyamar sebagai malaikat terang dan secara otomatis para pesuruh iblis dapat menyamar sebagai para pesuruh “Allah”. Oleh karena itu, tidaklah salah untuk menguji fenomena kesembuhan ilahi dari perspektif Alkitab, sehingga kita tidak mudah ditipu oleh setan dan kroni-kroninya.


C. TINJAUAN KRITIS IMAN KRISTEN TERHADAP FENOMENA KESEMBUHAN ILAHI
Kesembuhan ilahi memang masih bisa terjadi di zaman sekarang, namun fakta membuktikan bahwa TIDAK semua yang mengklaim sebagai kesembuhan ilahi itu pasti berasal dari Allah. Bagaimana kita mengetahui fakta ini? Ada beberapa tolok ukur dari Alkitab sendiri untuk menguji kesembuhan ilahi apakah berasal dari Allah, sugesti diri, atau bahkan dari setan:
Pertama, kesembuhan Ilahi SEJATI terjadi menurut kehendak-Nya yang berdaulat. Karena fenomena supernatural SEJATI terjadi karena adanya campur tangan Allah yang berdaulat, maka secara otomatis, kesembuhan Ilahi SEJATI pasti terjadi menurut kehendak-Nya yang berdaulat. Dengan kata lain, kesembuhan Ilahi dapat terjadi pada diri seseorang dan juga bisa TIDAK terjadi pada diri seseorang. Tidak ada seorang pun yang patut mengkomplain akan hal ini. Dari pemikiran ini, maka tidaklah bijak jika ada yang memutlakkan bahwa orang Kristen harus sembuh dan bahkan ada yang mengajarkan bahwa orang yang tidak sembuh itu karena kurang beriman. Jika semua orang Kristen harus sembuh, pertanyaan saya adalah bagaimana dengan Paulus yang mengalami (penyakit) duri di dalam daging yang TIDAK disembuhkan Tuhan? (2Kor. 12:7-10) Apakah kasus Paulus ini menandakan bahwa Paulus kurang beriman?

Kedua, kesembuhan Ilahi SEJATI terjadi untuk memuliakan Allah. Karena bersumber dari Allah, maka secara otomatis kesembuhan Ilahi sejati terjadi supaya Allah dipermuliakan. Tuhan Yesus mengadakan berbagai tanda mukjizat di dalam kitab Injil bermaksud agar semua orang pada zaman-Nya mengerti tanda bahwa Ia adalah Mesias yang datang dari Allah. Ketika Petrus atas kuasa Kristus menyembuhkan seorang yang lumpuh yang duduk di dekat pintu gerbang Bait Allah, maka Alkitab mencatat, “Ia melonjak berdiri lalu berjalan kian ke mari dan mengikuti mereka ke dalam Bait Allah, berjalan dan melompat-lompat serta memuji Allah.” (Kis. 3:8)

Ketiga, kesembuhan Ilahi SEJATI berkaitan dengan pemberitaan Injil Kristus yang MURNI. Karena bertujuan untuk memuliakan Allah, maka secara otomatis peristiwa kesembuhan Ilahi SEJATI pasti berkaitan dengan pemberitaan Injil Kristus yang MURNI yang membawa orang yang telah disembuhkan kepada Kristus dengan pengertian yang bertanggung jawab. Mari kita kembali kepada nats Kisah Para Rasul 3:8. Setelah orang lumpuh disembuhkan dan orang banyak menjadi tercengang karenanya, maka Petrus langsung berkhotbah di Serambi Salomo tentang Injil Kristus yang murni (ay. 11-26). Di ayat 11-12, ia langsung berkata bahwa kesembuhan ini terjadi bukan karena kuasa atau kesalehannya dan para murid-Nya yang lain, tetapi karena Kristus (ay. 13-26). Bandingkan hal ini dengan fenomena kesembuhan ilahi hari-hari ini yang disisipi oleh berita “theologi” kemakmuran bahwa semua orang yang percaya kepada Yesus pasti kaya, sehat, disembuhkan, berkelimpahan, dll, bahkan seorang pencetus Word of Faith, Kenneth E. Hagin berani berkata, “Orang percaya harus mengabaikan gejala-gejala penyakit dan percaya bahwa mereka telah disembuhkan” Jerry Savelle juga berkata, “Penyakit adalah usaha iblis merampok hak-hak ilahi orang percaya dalam memiliki kesehatan yang sempurna.” (seperti dikutip dalam artikel Teologi Kemakmuran oleh Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.: http://www.gkri-exodus.org/image-upload/APO%2009%20Teologi%20Kemakmuran.pdf)

Keempat, kesembuhan Ilahi SEJATI TIDAK untuk disebarluaskan. Karena tujuannya untuk memuliakan-Nya, maka secara otomatis kesembuhan Ilahi tidak untuk disebarluaskan dengan diceritakan kepada banyak orang. Di dalam Injil, beberapa kali Alkitab mencatat bahwa Tuhan Yesus melarang untuk menyebarluaskan mukjizat yang telah Ia lakukan (Mat. 8:4; 9:30; 12:16). Rasul-rasul Kristus pun ketika menyembuhkan seorang yang sakit atas kuasa Kristus TIDAK pernah satu kalipun menyebarluaskan atau bahkan menggelar kebaktian kesembuhan ilahi atau memfestivalkan kuasa Allah seperti yang gemar dilakukan oleh seorang pemimpin gereja di Surabaya. Jika fenomena kesembuhan ilahi dewasa ini mengklaim berasal dari Allah, permisi tanya, mengapa kesembuhan ilahi di zaman Tuhan Yesus dan para rasul-Nya TIDAK pernah bersifat spektakuler? Lalu, dari manakah ide kesembuhan ilahi dewasa ini?

Kelima, kesembuhan Ilahi SEJATI terjadi secara LANGSUNG. Fakta kesembuhan harus dibedakan menjadi dua: kesembuhan Ilahi dan kesembuhan natural. Kesembuhan natural adalah kesembuhan biasa yang terjadi secara PROSES melalui obat-obatan, dokter, dll dan ini pun terjadi karena kedaulatan Allah yang menyembuhkan. Sedangkan kesembuhan Ilahi adalah suatu kesembuhan dari Allah yang bersifat LANGSUNG yang tidak memakai proses lama. Alkitab TIDAK pernah mencatat bahwa kesembuhan Ilahi terjadi secara bertahap. Namun ada seorang pendeta bercerita bahwa ada seorang yang mengaku dipenuhi “roh kudus” lalu berkata memakai otoritas “Allah” bahwa “Ia” akan menyembuhkan orang tertentu secara pelan-pelan.

Keenam, kesembuhan Ilahi SEJATI berlangsung lama. Secara fenomenal, kesembuhan Ilahi SEJATI pasti berlangsung lama, mengapa? Karena Allah yang menyembuhkan adalah Allah yang menjaga kesembuhan yang dikerjakan-Nya itu secara konstan dan TIDAK ada tipuan di dalam kesembuhan yang Ia kerjakan. Alkitab TIDAK pernah mencatat satu kalipun bahwa orang yang telah disembuhkan Allah kemudian kembali lagi kepada-Nya dalam beberapa hari dan mengeluh bahwa penyakit tersebut kambuh lagi. Namun perhatikan fenomena kesembuhan ilahi hari-hari ini. Meskipun tentu ada orang yang benar-benar disembuhkan Allah, namun fakta justru berkata bahwa mayoritas TIDAK disembuhkan. Kalaupun ada orang yang disembuhkan pada waktu kebaktian kesembuhan ilahi, ia sembuh pada saat kebaktian tersebut, namun begitu pulang ke rumahnya, orang tersebut kembali menderita penyakit yang katanya telah disembuhkan. Ketika menyalami jemaat seusai berkhotbah di Gereja Bethel Tabernakel (GBT) di Semarang, seorang jemaat yang menghadiri KKR Kesembuhan Ilahi dari Peter Youngren berkata kepada Ir. Herlianto, M.Th., “Minggu yang lalu dalam KKR Peter Jongren saya sudah bisa berjalan tidak menggunakan tongkat, tapi sesampai di rumah saya harus pakai tongkat lagi.” (Artikel 9_ 2006, http://www.yabina.org/layout2.htm) Bahkan ada pendeta lain bercerita bahwa ada seorang jemaat yang kurang mampu yang berkacamata kemudian datang ke kebaktian kesembuhan ilahi, lalu ia mengaku dapat melihat dan kacamatanya diinjak-injak dan dibuang, namun sesampainya di rumah, ia tidak bisa melihat lagi dan kemudian terpaksa membeli kacamata lagi.

Ketujuh, kesembuhan Ilahi SEJATI tidak berlaku selama-lamanya. Meskipun berlangsung lama, kesembuhan Ilahi SEJATI TIDAK pernah menjamin bahwa orang yang telah disembuhkan Allah itu akan terus-menerus sembuh dan tidak pernah sakit lagi atau bahkan meninggal. Dengan kata lain, kesembuhan Ilahi SEJATI tidak pernah berlaku selama-lamanya. Mengapa? Karena kesembuhan Ilahi yang dimaksud adalah berkaitan dengan tubuh jasmani manusia yang bersifat fana yang suatu saat pasti sakit dan mengalami kematian. Namun Kenneth E. Hagin, salah satu tokoh kesembuhan ilahi dengan percaya diri menyatakan bahwa ia tidak pernah mengalami sakit kepala selama 45 tahun (In the Name of Jesus, hlm. 44; seperti dikutip oleh Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. di dalam artikel Teologi Kemakmuran: http://www.gkri-exodus.org/image-upload/APO%2009%20Teologi%20Kemakmuran.pdf). Jika Hagin mengklaim telah menerima kesembuhan ilahi sehingga tidak pernah sakit kepala selama 45 tahun, apakah itu berarti ia tidak akan pernah selama-lamanya sakit kepala atau menderita sakit yang lainnya?

Kedelapan, kesembuhan Ilahi SEJATI tidak (terus-menerus) menggunakan media apa pun. Jika kita menyelidiki Alkitab, maka hampir semua mukjizat kesembuhan yang dilakukan oleh Kristus dan para rasul TIDAK menggunakan media apa pun. Injil hanya mencatat satu kali Tuhan Yesus menggunakan ludah-Nya untuk menyembuhkan orang (Yoh. 9:6). Media ludah ini sebenarnya hanya cara-Nya menyembuhkan orang dan media ini BUKAN media yang terus-menerus dipakai-Nya ketika menyembuhkan orang. Bandingkan hal ini dengan fenomena kesembuhan Ilahi dewasa ini yang kebanyakan menggunakan media yang terus-menerus dipakai. Misalnya, Bp. Pariadji memakai sarana Perjamuan Kudus dan minyak urapan untuk menyembuhkan orang. Di Jakarta, saya pernah membaca di sebuah majalah rohani, pemimpin gereja menggunakan tali rafia sebagai media kesembuhan ilahi. Di Surabaya, di dalam Festival Kuasa Allah (FKA) di mana saya menonton sendiri DVDnya (saya lupa FKA tahun berapa), Bp. Philip Mantofa, B.RE. mengajak semua jemaatnya bergandengan tangan untuk mendapatkan aliran “kuasa allah”—tenaga dalam ala Gerakan Zaman Baru (untungnya menurut pengakuan dari teman saya, fenomena bergandengan tangan ala tenaga dalam ini TIDAK dilakukan pada FKA tahun-tahun sesudahnya). Meskipun beberapa pengikut mereka mengaku bahwa media-media tersebut hanya sarana saja, pertanyaan saya adalah mengapa di setiap kebaktian kesembuhan ilahi, media-media itu terus-menerus dipakai? Kalau hanya sekadar sarana, bukankah TIDAK perlu terus-menerus dipakai?!

Kesembilan, kesembuhan Ilahi SEJATI mendapatkan pengakuan dari orang banyak. Karena berlangsung lama, maka secara otomatis, kesembuhan Ilahi SEJATI pasti disaksikan dan bisa diuji oleh banyak orang. Di dalam Injil saja, kita menjumpai fakta demikian. Setelah menyembuhkan orang yang sakit kusta, Kristus menyuruh orang tersebut untuk memperlihatkan dirinya kepada imam dan mempersembahkan persembahan (Mat. 8:4). Mengapa harus memperlihatkan diri kepada imam? Karena konteks waktu itu adalah orang kusta dianggap najis dan dikutuk Allah, sehingga orang kusta dijauhi oleh masyarakat sekitar waktu itu. Dengan memperlihatkan diri kepada imam bahwa ia tidak menderita kusta lagi berarti ia tidak lagi dijauhi oleh masyarakat sekitar. Di dalam Matius 15:31, Alkitab mencatat bahwa banyak orang menjadi takjub dan memuliakan Allah tatkala melihat kesembuhan Ilahi terjadi. Bahkan setelah Petrus menyembuhkan seorang lumpuh yang duduk di dekat pintu gerbang Bait Allah dan si lumpuh itu sembuh, Alkitab mencatat, “Seluruh rakyat itu melihat dia berjalan sambil memuji Allah, lalu mereka mengenal dia sebagai orang yang biasanya duduk meminta sedekah di Gerbang Indah Bait Allah, sehingga mereka takjub dan tercengang tentang apa yang telah terjadi padanya.” (Kis. 3:9-10) Namun fakta yang terjadi saat ini begitu bertolak belakang. Banyak kebaktian kesembuhan ilahi justru banyak menghasilkan penipuan sesaat. Sebagai contoh, Ir. Herlianto, M.Th. di dalam artikel Kesembuhan Ilahi memaparkan bahwa Evander Holifield dikatakan menderita sakit jantung dan dipercaya disembuhkan secara mukjizat oleh Benny Hinn, namun dari diagnosis dokter tinju, Holifield memang TIDAK menderita sakit jantung. Lalu, Holifield disembuhkan dari apa? ((Artikel 9_ 2006, http://www.yabina.org/layout2.htm))


D. KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Setelah menyimak 9 ciri kesembuhan Ilahi SEJATI yang dibandingkan dengan fenomena kesembuhan ilahi dewasa ini, diharapkan orang Kristen makin lama makin kritis dan bijaksana dalam menyikapi fenomena Kekristenan hari-hari ini serta menempatkan Alkitab sebagai bahan penguji yang tegas terhadap fenomena-fenomena zaman di sekitar kita. Amin. Soli Deo Gloria.

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:3-6 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:3-6

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 9:3-6



Setelah Paulus menegaskan statusnya sebagai orang bebas dan rasul (9:1-2) ia lalu memaparkan hak-hak yang ia miliki sebagai rasul (9:4-6). Menariknya, ia mengungkapkan ini sebagai “pembelaan” bagi mereka yang mengritik dia (9:3). Tuduhan apa yang ditujukan kepada Paulus? Siapa yang memberikan kritikan ini? Mengapa Paulus merasa perlu untuk menggarisbawahi hak-haknya sebagai rasul di tengah kritikan yang dilontarkan kepada dirinya? Pembahasan kali ini akan mencoba memberikan jawaban terhadap semua pertanyaan tersebut.

1 Korintus 9:3-6 memiliki struktur teks yang cukup mudah untuk diikuti. Ayat 3 merupakan pengantar bagi pembelaan yang akan diberikan di ayat 4-6. Melalui ayat 3 ini kita tahu bahwa pemaparan berbagai hak di ayat 4-6 bukan hanya berfungsi sebagai pendahuluan bagi sikap Paulus yang mau melepaskan hak (9:15-18), tetapi sekaligus sebagai pembelaan. Sesudah memberikan pengantar pembelaan Paulus menyatakan bahwa ia berhak diperlakukan seperti rasul-rasul lain dengan semua hak yang menyertainya (ay. 4-6). Secara khusus ia menyinggung tentang hak untuk makan dan minum (ay. 4), hak untuk membawa istri dalam perjalanan (ay. 5), dan hak untuk dibebaskan dari pekerjaan tangan (ay. 6).


Pengantar Pembelaan (ay. 3)
Posisi ayat ini dipahami secara berbeda oleh para penerjemah. RSV, NIV, dan ESV menganggap ayat 3 sebagai penutup dari paragraf sebelumnya (ay. 1-2). KJV dan NASB di sisi lain memperlakukan ayat 3 sebagai pendahuluan bagi paragraf sesudahnya (ay. 4-6). Pilihan manakah yang lebih tepat? Berdasarkan pertimbangan posisi kata “ini” (haute) di akhir kalimat, ayat 3 sebaiknya diterjemahkan “pembelaanku kepada mereka yang mengritik aku adalah ini”. Dalam hal ini terjemahan NASB “My defense to those who examine me is this:” tampaknya paling jelas mengekspresikan maksud Paulus.

Paulus menyebut apa yang akan dia sampaikan sebagai “pembelaan” (apologia). Kata ini menjadi asal dari kata Inggris “apology” maupun “apologetic”. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa makna kata apologia sangat kontras dengan kata apology dalam arti “permintaan maaf”. Kata apologia dalam Alkitab sama sekali tidak menyiratkan kesalahan yang dilakukan oleh pembela. Dalam Alkitab apologia dipakai secara beragam. Apologia bisa dipakai untuk pembelaan secara hukum (Kis. 25:16), pembelaan Injil (Flp. 1:7, 16) atau pembelaan doktrin (1Ptr. 3:15). Sesuai konteks 1 Korintus 9, pembelaan Paulus sebaiknya dipahami dalam konteks pembelaan pribadi yang sangat berkaitan dengan Injil. Tuduhan yang dilancarkan kepadanya sekilas memang terlihat pribadi, namun sebenarnya tuduhan ini menyerang pribadi Paulus sebagai pemberita Injil (rasul) dan dengan demikian juga menyerang Injil yang ia beritakan.

Pembelaan perlu dilakukan oleh Paulus karena ada yang mengritik (anakrino) dia. Kata anakrino memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar kritikan biasa. Kata ini biasa dipakai dalam konteks hukum dengan arti “menginterogasi” (Luk. 23:14; Kis. 4:9; 12:19; 28:18). Tidak heran NIV memperjelas arti ini dengan “sit in judgment”, walaupun versi lain cenderung pada makna yang lebih luas, yaitu “examine” (KJV/RSV/NASB/ESV). Mengingat konteks 1 Korintus 9 bukanlah sebuah pengadilan resmi, maka kita harus memahami penggunaan kata anakrino di sini sebagai upaya Paulus untuk menggambarkan apa yang dilakukan jemaat Korintus kepada mereka. Mereka telah memposisikan diri sebagai hakim atau penguasa yang sedang mendudukkan Paulus di kursi terdakwa (4:3-4), walaupun mereka sebenarnya tidak lebih dari orang-orang yang berpikiran duniawi dan tidak layak untuk memberikan penilaian (2:14-15). Mereka menyoroti setiap sisi kehidupan Paulus untuk menemukan kesalahan yang akan dipakai sebagai senjata untuk menyerang Paulus.

Kapankah Paulus diperlakukan demikian? Apakah ini terjadi dahulu waktu Paulus ada di Korintus (Kis. 18), pada saat Paulus menulis surat 1 Korintus atau ini hanya antisipasi Paulus belaka? Beberapa versi memilih alternatif yang terakhir (RSV/NRSV/ESV “would examine”), sedangkan yang lain mengambil alternatif kedua (KJV “do examine”/NASB “examine”). Jika ditilik dari penggunaan tense present pada partisipel anakrinousin, kita sebaiknya memilih alternatif kedua. Hal ini juga sesuai dengan nuansa penghakiman di bagian lain (2:14-15; 4:3-4).

Mengapa Paulus perlu memberikan pembelaan? Apakah kaitan tuduhan yang dilontarkan dengan hak-hak sebagai rasul di ayat 4-6? Dengan bantuan studi sosiologis kuno yang semakin berkembang para penafsir mampu melihat inti permasalahan secara lebih kentara. Semua ini berkaitan dengan keputusan Paulus yang tidak mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus. Hal ini tampaknya terus menjadi problem di antara mereka (9:15; 2Kor. 11:7-12; 12:13). Keputusan untuk tidak mau menerima tunjangan dipahami secara keliru oleh jemaat Korintus. Mereka melihat tindakan ini sebagai peneguhan bahwa Paulus tidak layak disejajarkan dengan para orator ulung pada waktu itu, baik di kalangan filsuf maupun rasul, karena para pengkhotbah hebat hanya hidup dari tunjangan yang mereka terima. Pandangan negatif ini juga sangat berkaitan dengan kritikan jemaat terhadap Injil yang diberitakan Paulus (1:18, 23) maupun cara penyampaian Paulus (2:1-5) yang dianggap tidak sesuai dengan keunggulan ilmu retorika pada waktu itu. Semua faktor ini – Injil yang dianggap kebodohan, cara retorika yang tidak persuasif maupun penolakan untuk menerima tunjangan – semakin menguatkan persepsi jemaat bahwa Paulus memang tidak layak disebut rasul.

Situasi inilah yang mendorong Paulus untuk memberikan pembelaan bahwa ia adalah rasul (9:1-2) dan berhak diperlakukan seperti rasul-rasu lain (9:4-6). Sikap Paulus yang tidak mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus harus dipahami secara sempit dan luas. Maksudnya, dalam konteks Korintus Paulus memang memiliki alasan khusus seperti yang diterangkan di atas. Bagaimanapun, sikap ini ternyata sudah dipraktekkan Paulus sebelum Paulus melayani di Korintus. Di Tesalonika Paulus mengambil sikap yang sama (1Tes. 2:9; bdk. Kis. 17). Dengan demikian pasti ada alasan lain yang lebih umum di balik tindakan ini. Jika kita mengamati beberapa teks lain yang menyinggung tentang hal ini, kita akan tahu bahwa pertimbangan di balik penolakan ini bukanlah masalah finansial. Paulus mau menerima tunjangan dari jemaat Makedonia yang sangat miskin (2Kor. 8:2; 11:9; Flp. 4:14-20), tetapi ia menolak dukungan dari jemaat Korintus yang kaya raya (2Kor. 8:13-14). Pertimbangan Paulus sebenarnya ada dua: efektivitas Injil dan teladan Kristiani. Paulus tidak ingin penerimaan tunjangan sebagai pemberita Injil justru akan berkontra produktif dengan efektivitas Injil yang diberitakan, misalnya dengan menerima dukungan Paulus malah disamakan dengan pemberita filsafat sehingga Injil kehilangan kekuatannya (9:15) atau dengan menerima tunjangan Paulus dituduh mengambil keuntungan materi dari pelayanannya (1Tes. 2:5). Paulus juga bermaksud untuk memberikan teladan bagaimana setiap orang Kristen harus rajin bekerja dan membantu orang lain secara materi (2Tes. 3:7-9).


Paulus berhak diperlakukan seperti rasul-rasul lain (ay. 4-6)
Di bagian ini Paulus berupaya menunjukkan bahwa pelayanannya yang tanpa didukung secara materi oleh orang lain tidak berarti bahwa ia tidak layak menerima dukungan. Sama seperti para filsuf keliling dan rasul yang lain, Paulus berhak mendapatkan hak yang sama. Jadi, pokok permasalahan yang sesungguhnya bukan terletak pada kelayakan Paulus dalam menerima semua hak itu, tetapi pada ketidakmauannya daam menggunakan hak-hak itu.

Hak untuk makan dan minum (ay. 4)
Penekanan dalam ayat ini terlihat dari pemakaian kata “tidak” sebanyak dua kali (me ouk). Melalui pemakaian ini Paulus ingin menegaskan bahwa ia sungguh-sungguh punya hak untuk makan dan minum. Kata “hak” (exousia) merupakan salah satu akar masalah dalam jemaat. Hal ini terlihat dari frekwensi pemunculan kata ini di beberapa bagian (8:9; 9:4, 5, 6, 12, 18, kata kerja exousiazō muncul di 6:12, sedangkan exestin di 6:12 dan 10:23). Pemunculan kata yang bisa berarti “kebebasan” (8:9) maupun “hak” (9:4, 5, 6, 12, 18) secara berulang-ulang ini menyiratkan bahwa jemaat Korintus memiliki problem dengan arti kebebasan Kristiani. Bagi mereka kebebasan berarti mutlak tanpa perlu memperhatikan kepentingan orang lain. Bagi Paulus kebebasan berarti bebas untuk tidak menggunakan kebebasan tersebut. Sebagian penafsir memahami hak untuk makan dan minum di 1 Korintus 9:4 dalam kaitan dengan makanan berhala (8:1, 4). Menurut mereka, Paulus sedang membicarakan haknya sebagai orang Kristen yang mendapat kebebasan dalam Kristus sehingga tidak terikat pada hal-hal yang materi. Pemahaman seperti ini tidak dapat dipertahankan. Ungkapan “makan dan minum” jelas bermakna luas. Selain itu, tidak ada isu tentang minum yangd iangkat di pasal 8.

Kelemahan lain berkaitan dengan konteks spesifik dari pasal 8. Di pasal ini Paulus hanya menyinggung tentang makan makanan berhala di kuil (8:7, 10). Sikap Paulus dalam hal ini sangat tegas, yaitu melarang. Di pasal 10 Paulus bahkan lebih eksplisit lagi menegur praktek makan di kuil sebagai penyembahan berhala (10:14-22). Di tengah larangan yang keras seperti itu tidak masuk akal jika Paulus di 9:4 justru menegaskan haknya untuk makan dan minum di kuil berhala (sesuai konteks pasal 8).

Kelemahan lain dari pandangan ini adalah inkonsistensi dengan sikap Paulus tentang makanan. Berangkat dari konsep bahwa makanan tidak penting (bdk. Rm. 14), Paulus bersikap sangat fleksibel dalam masalah ini (9:19-23; 10:29b-30, 31). Ia kadangkala makan (tetapi bukan yang di kuil), tetapi tidak jarang ia juga menghindari makanan tersebut demi orang lain. Hak untuk makan dan minum sebaiknya dipahami sebagai ungkapan lain untuk kebutuhan hidup yang pokok. Yesus sendiri mengajarkan bahwa seorang pemberita Injil berhak mendapatkan upah berupa makan dan minum (Luk. 10:7; juga Mat. 10:10). Menariknya, ucapan Yesus ini juga dikutip oleh Paulus di 1 Korintus 9:14.

Hak untuk membawa istri Kristen (ay. 5)
Sama seperti ayat sebelumnya, ayat 5 juga menggunakan penekanan dalam bentuk mē ouk. Kali ini Paulus menyinggung tentang membawa seorang istri Kristen (adelphē gunē, lit. “istri yang saudari seiman”, bdk. versi Inggris “believing wife”). Prinsip bahwa orang Kristen hanya boleh memiliki pasangan seiman merupakan ajaran Paulus yang tegas (7:39; 2Kor. 6:14). Beberapa penafsir menolak menerjemahkan adelphe gune sebagai istri Kristen, karena hal itu dipandang tidak relevan, mengingat Paulus tidak memiliki istri (7:7). Mereka berusaha menafsirkan adelphe gune sebagai wanita Kristen yang ikut dalam perjalanan Paulus dan memberi bantuan secara materi (bdk. pelayanan Yesus di Luk. 8:1-3). Walaupun hal ini tampak menarik, tetapi tidak bisa dibenarkan. Cara pelayanan seperti ini akan membawa Paulus dekat dengan berbagai gosip yang tidak sedap, karena situasi pelayanannya berbeda dengan Yesus. Yesus selalu dikerumuni banyak orang (paling tidak ada 12 murid yang selalu menyertai Dia), sedangkan Paulus seringkali sendirian atau dalam kelompok yang sangat kecil. Keberadaan wanita tertentu (yang bukan istri) dalam kelompok tersebut jelas akan menimbulkan gosip negatif.

Pertimbangan tata bahasa juga tidak berpihak pada tafsiran di atas. Pandangan ini akan menjadikan frase adelphē gunē sebagai pengulangan yang tidak diperlukan. Kata adelphē sendiri sudah berarti “saudari seiman/wanita Kristen”. Jika gune diterjemahkan “wanita”, maka akan terjadi pengulangan. Jauh lebih masuk akal jika gune dipahami sebagai “istri”, sehingga frase adelphē gunē mengandung arti “istri yang merupakan saudari seiman”. Jika adelphē gunē berarti “istri Kristen”, sedangkan Paulus hidup selibat, apakah relevansi pembelaan Paulus di ayat 5? Para penafsir umumnya mengaitkan hal ini dengan tuduhan jemaat terhadap gaya hidup selibat yang dijalani Paulus. Mereka menganggap gaya hidup ini sebagai hal yang aneh bagi seorang rasul, karena rasul-rasul lain memiliki istri. Istri mereka bahkan seringkali menyertai dalam pelayanan dan mendapat dukungan materi dari jemaat setempat. Melalui ayat 5 Paulus ngin menjelaskan bahwa ia pun sebenarnya berhak atas dukungan itu, tetapi ia memang memilih untuk tidak memiliki istri dan tidak mau menggunakan hak itu. Jadi, ayat ini mengajarkan bahwa jemaat tidak hanya wajib mendukung kebutuhan pokok pemberita Injil, namun juga kebutuhan lain yang terkait dengan pelayanan.

Di ayat ini Paulus secara gamblang menyejajarkan dirinya dengan tiga kelompok: para rasul, saudara-saudara Tuhan Yesus, dan Kefas (sebagai perwakilan 12 murid?). Istilah “rasul” dalam tulisan Paulus tidak terbatas pada 12 murid Yesus. Pemakaian di 1 Korintus 15:5-7 malah menyiratkan bahwa “rasul” dibedakan dari “12 murid”. Beberapa nama lain yang termasuk golongan rasul tetapi bukan dari 12 murid antara lain Paulus, Yakobus, Andronikus dan Yunias (1Kor. 15:7; Gal. 1:19; Rm. 16:7). Kita tidak bisa memastikan apakah Paulus di 1 Korintus 9:5 memikirkan makna yang sempit (12 murid) atau luas mencakup nama-nama lain di luar 12 murid); yang terakhir tampaknya lebih tepat.

Penyebutan “saudara-saudara Tuhan Yesus” (Mrk. 6:3; Mat. 13:55) dalam perjalanan misi sesuai dengan keterangan Alkitab yang lain bahwa mereka telah mengalami perubahan hidup. Ketika Yesus hidup di dunia mereka tidak percaya kepada-Nya (Mrk. 3:31; Yoh. 7:3). Setelah kebangkitan mereka termasuk dalam golongan orang percaya (Kis. 1:14). Perubahan ini sangat mungkin terjadi setelah Yesus menampakkan diri kepada mereka (1Kor. 15:6-7). Pemunculan nama Kefas di 1 Korintus 9:5 telah menimbulkan banyak penafsiran. Sebagian menduga Kefas perlu disebut karena pengaruhnya yang besar di jemaat Korintus (1:12; 3:22).

Kesulitan dari pandangan ini adalah absennya nama Apolos, walaupun ia lebih berpengaruh daripada Petrus (1:12; 3:4, 5, 6, 22; 4:6; 16:12). Sebagian lagi berpendapat bahwa Kefas sengaja disebut karena ia adalah satu-satunya rasul yang disebutkan dalam Alkitab sebagai orang yang sudah menikah (Mat. 8:14). Kelemahan dari dugaan ini adalah bahwa surat 1 Korintus ditulis lebih dahulu daripada Injil Matius. Beberapa penafsir memandang pemunculan nama Kefas berkaitan dengan fakta historis bahwa Kefas memang pernah berkeliling sampai ke Korintus dan dikenal secara langsung oleh jemaat. Problem dalam dugaan ini adalah tidak ada bukti historis yang mendukung. Apakah Kefas pernah ke Korintus? Tidak ada seorang pun yang bisa memastikan. Selain itu, Barnabas (9:6) dan Yakobus (15:7) juga disebut dalam surat ini walaupun mereka kemungkinan tidak pernah ke Korintus. Sebaliknya, Apolos yang sudah jelas-jelas pernah ke sana (19:1) justru tidak disebut namanya. Kemungkinan lain adalah melihat Kefas di sini sebagai perwakilan dari 12 murid Tuhan Yesus (bdk. 15:5), walaupun dugaan lain tidak bisa diabaikan begitu saja.

Hak untuk tidak bekerja (ay. 6)
Di bagian ini Paulus memberikan pembelaan yang lebih eksplisit. Ia langsung membahas tentang pekerjaannya yang selama ini dipakai Tuhan untuk menopang kehidupannya. Ia ingin menekankan bahwa pekerjaan yang ia lakukan bukanlah keharusan atau karena ia tidak berhak didukung secara materi. Penyebutan nama Barnabas sedikit mengejutkan, karena ia hanya muncul sekali di surat ini. Lagipula pada waktu Paulus ke Korintus (Kis. 18) ia sudah berpisah dengan Barnabas (Kis. 15:36-39). Mengapa ia perlu menyebut nama Barnabas? Kemungkina besar Paulus dan Barnabas sudah sedemikian terkenal sebagai rasul yang mandiri (tidak menerima tunjangan dari jemaat). Barnabas adalah orang kaya (Kis. 4:36-37) dan baik hati (Kis. 11:24). Sama seperti Paulus, ia suka bekerja sendiri supaya bisa berbagi berkat dengan orang lain. Tidak heran namanya disebutkan Paulus di sini.

Jika kita menyelidiki lebih teliti, yang dipersoalkan jemaat Korintus bukan sekadar keputusan Paulus untuk bekerja, tetapi juga jenis pekerjaan yang ia lakukan. Ia adalah pembuat tenda (Kis. 18:3). Pekerjaan ini memang cukup diperlukan karena kebutuhan prajurit dalam peperangan dan para pelancong ketika mengikuti pertandingan Istmian di dekat Kota Korintus. Bagaimanapun, pekerjaan ini tampaknya dipandang sebagai pekerjaan kasar dan hina. Paulus menyebutkan pekerjaan ini dalam deretan kehinaan yang harus ia derita selama pelayanan (4:10-12). Jenis pekerjaan ini jelas sangat kontras dengan para filsuf keliling yang hanya berkhotbah, dikagumi banyak orang, dianggap terpelajar, dan menikmati tunjangan materi yang melimpah dari banyak orang. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 27 Desember 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2009%20ayat%2003-06.pdf