25 March 2010

Renungan Memperingati Jumat Agung 2010: SUDAH SELESAI! (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Jumat Agung 2010



SUDAH SELESAI!

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: "Sudah selesai." Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya.”
(Yoh. 19:30)




Apakah signifikansi dari kematian seseorang? Biasanya jika seorang yang berpengaruh di masyarakat atau negara (entah itu filsuf, ilmuwan, presiden, pejabat, para pendiri agama, nabi, dll), maka kematiannya memiliki signifikansi tertentu, yaitu pada saat pemakamannya, banyak orang yang melayat sebagai tanda ikut berbela sungkawa. Atau mungkin juga kematiannya memberikan dampak langsung kepada masyarakat di sekitarnya melalui teori-teori yang diajarkannya ketika dia masih hidup. Tetapi semua signifikansi tersebut bersifat sementara saja, karena berorientasi pada hal-hal duniawi. Namun, ada kematian yang memberikan signifikansi luar biasa dahsyat yang bukan hanya berorientasi di dunia ini saja, tetapi juga di dunia akan datang. Kematian siapakah itu? Jelas, kematian ini bukan kematian seorang pendiri agama atau nabi, tetapi kematian dari Pribadi Tuhan Yesus Kristus.


Apa signifikansi kematian Kristus ini? Kita bisa mengerti signifikansi penting kematian Kristus melalui satu pernyataan teragung yang tidak akan pernah diucapkan oleh pendiri agama mana pun, yaitu “Sudah selesai.” (Yoh. 19:30) Apa arti “sudah selesai”? Bukankah kedua kata ini bermakna biasa saja di dalam dunia kita? Kedua kata ini telah banyak disalahmengerti. Ada yang menafsirkan bahwa perkataan Kristus ini sebagai sebuah bentuk keputusasaan. Benarkah demikian? Jika kita tidak mengerti kata aslinya, kita akan bisa menyalahtafsirkan kedua kata ini. Apa pentingnya kedua kata ini? Pada momen memperingati Jumat Agung, kita akan merenungkan makna kedua kata ini dan pengaruhnya yang luar biasa dahsyat.


“Sudah selesai” dalam terjemahan King James Version (KJV) maupun English Standard Version (ESV) diterjemahkan, “It is finished.” Dalam teks Yunaninya, kata ini adalah τελέω (teleō) yang bisa berarti telah dipenuhi atau lengkap atau diselesaikan. Dalam struktur katanya, kata ini berbentuk: Verb (kata kerja), third person (orang ketiga), singular (tunggal), perfect, passive (pasif), dan indicative. Di dalam terjemahan Indonesia, “Sudah selesai” tidak bisa dikategorikan apakah bentuk aktif atau pasif, namun dari kata Yunani, kita bisa mengerti bahwa kata ini berbentuk pasif. Dengan kata lain, artinya: sudah diselesaikan atau sudah dibayar. Apa yang diselesaikan atau dibayar oleh Kristus di atas kayu salib?


Pertama, utang dosa. DOSA adalah hal yang semakin langka di tengah dunia postmodern ini. Banyak psikolog non-Kristen TIDAK mau menyebut DOSA secara terus terang, karena bagi mereka, DOSA itu bisa melemahkan semangat dan kemampuan (baca: kehebatan) orang. Oleh karena itu, tidak heran, kata ini berusaha diperhalus dengan istilah-istilah, seperti: kelemahan, ketidakmampuan, dll. Penghalusan kata DOSA ini mengakibatkan manusia berpikir bahwa hal-hal seperti: kelemahan, ketidakmampuan, dll itu hal sepele dan bisa diatasi. Sehingga tidak heran, semakin kata DOSA diperhalus, manusia bukan makin mengerti artinya, tetapi makin berbuat dosa. Inilah ironisnya. Namun, sadar atau tidak sadar, kita harus mengakui satu hal bahwa DOSA itu eksis. Ambil contoh, ketika diberi atau memiliki 2 permen, anak kecil yang tidak diajar oleh siapa pun TIDAK mau membagikan permennya itu kepada temannya. Aneh bukan? Apakah ini yang namanya manusia lahir itu tanpa dosa seperti kertas putih (teori tabula rasa)? Hidup egois, apakah itu tidak berdosa? Mau tidak mau, suka tidak suka, DOSA telah meracuni kita sejak kecil, namun anehnya, kita sering kali tidak sadar (atau sebenarnya pura-pura tidak sadar)! Jika dari kecil kita sudah memiliki bibit dosa, lalu, bagaimana jalan keluarnya? Semua agama, filsafat, etika, kebudayaan, tradisi, ilmu, dll menawarkan beragam solusi. Solusi yang mereka tawarkan adalah solusi yang pragmatis dan berpusat pada manusia, yaitu berbuat baik. Meskipun ada agama yang mengajarkan tentang rahmat Allah, namun sayang, definisi rahmat dan aplikasinya tidak ada pada agama tersebut. Semua agama hanya memberi solusi untuk lepas dari dosa yaitu dengan berbuat baik, misalnya memberikan amal, zakat, menunaikan ibadah tertentu, bertarak (askese), dll. Secara logis, mungkinkah seorang yang berbuat baik bisa terlepas dari dosa? Mari kita berpikir sejenak. Ingatlah, kita dari kecil sudah membawa bibit dosa (dosa asal). Sebagai akibatnya, secara otomatis, apa yang ada pada diri kita, termasuk hati, pikiran, perkataan, tingkah laku, dan tindakan kita telah dicemari oleh dosa. Dosa asal mengakibatkan dosa tindakan. Setiap aspek hidup kita telah dicemari dosa, maka pertanyaan selanjutnya, mampukah kita berbuat baik? Kedua, ketika seseorang menyatakan “perbuatan baik”, tolong tanya, “baik” itu menurut standar apa dan siapa? Banyak orang mendefinisikan baik itu artinya: suka menolong, membantu, memberi, dll. Lalu, bagaimana dengan menegur dosa? Itu dianggap TIDAK BAIK. Mengapa? Karena itu bukan menyenangkan orang lain. Dengan kata lain, BAIK didefinisikan sebagai suatu tindakan yang berpusat kepada diri. Jika definisi BAIK sudah mengalami deviasi ini, maka logiskah seseorang (atau agama) yang mengajar bahwa agar terlepas dari dosa dan masuk “sorga”, manusia berbuat baik, padahal perbuatan baik itu sendiri tidak ada standarnya dan bahkan perbuatan baik itu berpusat kepada manusia? Inilah ketidakkonsistenan paradigma manusia berdosa. Pdt. Sutjipto Subeno memakai istilah: illogical logic (logika yang tidak logis).

Lalu, bagaimana solusinya? DOSA manusia TIDAK bisa diselesaikan dengan cara manusia, karena hal tersebut sia-sia adanya. Makin manusia berusaha berbuat baik, sebenarnya mereka makin tidak baik, karena motivasinya berbuat baik bukan untuk kebaikan itu sendiri. Jika mereka akhirnya tidak masuk “sorga”, apakah mereka masih berbuat baik? Sebuah tanda tanya yang besar… Tetapi puji Tuhan, Allah yang telah mencipta manusia dan menetapkan/mengizinkan dosa masuk ke dalam diri manusia adalah Allah yang juga telah menyediakan solusinya. Itulah dahsyatnya Allah kita. Dari kekekalan, Ia telah mempersiapkan Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dan menyelamatkan umat pilihan-Nya yang berdosa. Pada saat yang telah ditetapkan Bapa, Kristus berinkarnasi dan menjalankan semua tugas yang diemban-Nya dari Sang Bapa. Hal ini TIDAK berarti Kristus bukan Allah seperti yang dituduhkan oleh para Unitarian (“Kristen” yang menolak Allah Tritunggal dan memercayai satu pribadi Allah). Kristus yang menjalankan mandat dari Bapa juga tetap bernatur Allah, karena natur Allah di dalam Pribadi Kristus itu telah ada sebelum inkarnasi. Puncak karya Kristus adalah pada kematian-Nya di kayu salib. Kematian-Nya bukan seperti kematian para pendiri agama. Kematian para pendiri agama adalah kematian sebagai akibat dosa (upah dosa ialah maut—Rm. 6:23). Namun kematian Kristus bukan kematian akibat dosa, tetapi kematian yang mematikan dosa (theolog Dr. John Owen menulis bukunya berjudul, “The Death of Death in the Death of Christ”; diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Momentum dengan judul: “Kematian yang Menghidupkan”). Kematian-Nya juga membayar lunas utang dosa kita kepada Allah Bapa. Sebagai manusia berdosa, kita berutang dosa kepada Allah. Kita yang telah diciptakan-Nya bukannya hidup memuliakan-Nya, malahan justru menghina bahkan membuang-Nya dari hidup kita. Itulah utang dosa kita kepada Allah. Namun, melalui Kristus, utang dosa kita yang harus kita tanggung sendiri di hadapan Allah telah lunas dibayar oleh Kristus melalui kematian-Nya. Ada orang non-Kristen yang berkata bahwa Kekristenan itu tidak adil: mengapa yang berdosa manusia, yang menanggung hukuman dosa itu Yesus? Sepintas dari perspektif dunia berdosa, memang hal ini tidak adil, namun sesungguhnya hal ini adalah hal teragung sepanjang sejarah. Mengapa teragung? Karena di dalam sejarah, Allah, Sang Pencipta dan Pemelihara alam semesta menjelma menjadi manusia (tanpa meninggalkan natur Ilahi-Nya) demi menyelamatkan manusia yang berdosa. Kristus yang tidak berdosa dijadikan berdosa demi kita yang layak dihukum mati akibat dosa. Bukankah ini suatu keagungan yang terbesar sepanjang sejarah?

Jika kita telah dimerdekakan dari utang dan kuasa dosa, maka sudah seharusnya kita sebagai umat-Nya berusaha melawan dosa. Sebagai umat pilihan-Nya, kita masih bisa berdosa, tetapi kita TIDAK lagi dikuasai oleh dosa. Artinya, meskipun masih bisa berdosa, kita bisa juga terus-menerus melawan dosa. Bagaimana caranya? Berfokuslah kepada Kristus dan karya penebusan-Nya bagi kita, maka kita akan dimampukan untuk hidup terus-menerus memuliakan-Nya dengan melawan dosa. Tentu hal ini tidak mudah, tetapi biarlah Roh Kudus memampukan kita melakukannya demi hormat dan kemuliaan-Nya.


Kedua, kuasa iblis. Dosa mau tidak mau berkaitan erat dengan iblis, karena iblis adalah bapa dosa, tetapi tidak berarti kita dapat mengkambinghitamkan iblis sebagai alasan kita berbuat dosa. Kita berbuat dosa karena kita dengan mudahnya ditipu oleh si iblis. Kembali. Pada mulanya, iblis itu adalah Lucifer, malaikat Allah yang melayani Allah. Ia memiliki talenta suara yang merdu. Namun karena memberontak kepada Allah, maka Allah membuang Lucifer dan para pengikutnya menjadi iblis. Dengan kata lain, iblis berarti pemberontak/penantang Allah. Kejadian ini berlangsung sebelum Allah menciptakan manusia. Iblis yang telah dibuang Allah mulai beroperasi di dunia ini. Pertama, ia mencobai Hawa dan kemudian Adam. Pencobaan ini berhasil, sebagai akibatnya, Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden. Kemudian, pencobaan itu terus berlanjut kepada anak Adam dan Hawa, yaitu Kain dan kembali, pencobaan itu berhasil, di mana Kain membunuh Habil. Tidak cukup sampai di situ, iblis mencobai manusia terus melalui dosa, hingga Allah benar-benar merasa “menyesal” telah menciptakan manusia (Kej. 6:6), bahkan Ia berjanji akan menghapuskan manusia (Kej. 6:7). Iblis terus mencobai manusia, bahkan para nabi pun tidak luput dari pencobaan tersebut. Sampai Tuhan Yesus pun, iblis pun nekat mencobai-Nya. Mengapa iblis mau mencobai Tuhan Yesus? Karena ia tahu bahwa kedatangan-Nya ke dunia ini untuk meremukkan kuasa iblis. Tetapi ia tidak menyadari bahwa yang dicobainya itu bukan manusia biasa, tetapi Allah. Tidak heran, pencobaan iblis kepada Tuhan Yesus sebanyak 3x ga-tot (gagal total), bahkan pada pencobaan ketiga, Kristus menghardik iblis. Apakah iblis menyerah? TIDAK. Iblis terus melancarkan serangan dahsyatnya kepada Tuhan Yesus, yaitu melalui para ahli Taurat dan orang Farisi yang mencari-cari kesalahan-Nya sampai pemerintah Pontius Pilatus dan Herodes. Yang paling fatal, salah satu murid Yesus, Yudas Iskariot dirasuk iblis (Yoh. 13:2) untuk melakukan tugas penyaliban Yesus. Menjelang kematian Kristus pun, iblis tidak segan-segan mencobai-Nya. Ketika kita melihat film The Passion of the Christ, Mel Gibson dengan tajam menggambarkan pencobaan iblis tersebut, yaitu ketika Kristus berdoa di Taman Getsemani, iblis yang digambarkan sebagai seorang yang berkepala gundul dengan membawa seorang anak mencobai-Nya dengan mengingatkan bahwa yang akan Ia alami itu begitu berat. Iblis juga datang dalam bentuk ular yang mau mematuk Yesus. Apakah Kristus menyerah? TIDAK. Justru Ia menang di titik awal, yaitu dengan meremukkan kepala si ular. Penggambaran Mel Gibson di dalam film ini begitu tajam.

Kemenangan Kristus dengan meremukkan kepala si ular ketika berada di Taman Getsemani dilanjutkan dengan kemenangan-Nya ketika Ia telah menyelesaikan karya penebusan-Nya melalui kematian-Nya di kayu salib. Kembali, dengan tajam, Mel Gibson mengisahkan di dalam film tersebut, bahwa ketika Kristus mati di kayu salib, iblis berteriak, ya, sebuah teriakan kekalahan. Haleluya! Kematian Kristus benar-benar telah meremukkan kuasa iblis, sehingga iblis TIDAK lagi memiliki kuasanya apalagi atas umat Tuhan. Jaminan kematian Kristus ini menguatkan kita tatkala kita harus bersaksi di tengah dunia. Di tengah dunia, iblis terus menggoda kita untuk menjauh dari Allah. Rev. Joshua Eugene Harris di dalam salah satu khotbahnya yang berjudul Resisting Lust mengungkapkan bahwa hawa nafsu membuat kita tidak berfokus pada (atau menjauh dari) Allah. Meskipun iblis berusaha merayu kita untuk menjauh dari-Nya, sebagai umat-Nya, kembalilah kepada-Nya, percayalah bahwa Kristus yang telah mati bagi kita adalah Kristus yang telah meremukkan kuasa iblis, sehingga ia tidak akan mampu menguasai hidup kita. Oleh karena itu, anak Tuhan sejati TIDAK mungkin akan bisa disantet, karena Roh Kudus yang ada di dalam diri mereka lebih besar dari roh dunia (1Yoh. 4:4) dan juga Roh Kudus tersebut yang mengefektifkan karya penebusan Kristus itu ke dalam diri umat pilihan-Nya, sehingga kuasa iblis TIDAK mampu menembus hidup umat pilihan-Nya. Inilah hak istimewa kita sebagai anak-anak-Nya. Jika kita telah mendapatkan jaminan yang luar biasa agung ini, masihkah kita takut dan menyerah kepada rayuan iblis? Iblis dan kuasanya telah diremukkan melalui kematian Kristus, kita sebagai anak-anak-Nya yang telah ditebus-Nya wajib mengusir iblis dengan kuasa Kristus. Mengusir setan bukan karunia, tetapi hak setiap anak Tuhan yang telah ditebus Kristus. Amin?


Ketiga, kuasa maut. Upah dosa ialah maut (Rm. 6:23). Karena semua manusia telah berbuat dosa dan tidak mencukupi kemuliaan Allah (Rm. 3:23; terjemahan Inggris), maka semua manusia pasti menghadapi maut atau kematian. Kematian mengakibatkan rasa takut dalam diri manusia. Kalau kita memperhatikan beberapa (atau bahkan banyak) orang yang dirawat di UGD rumah sakit dan sudah menunggu ajalnya, mereka akan takut sekali, karena mereka merasa selama hidupnya, mereka sering berdosa. Aneh juga manusia itu. Selama hidup, tidak merasa diri berdosa, tetapi mau menjelang ajal, langsung tiba-tiba sadar dosa. Dengan kata lain, kematian menyadarkan kefanaan dan keberdosaan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka menyadari bahwa kematian itu titik kritis manusia. Ketakutan akan kematian juga disebabkan oleh maraknya tema-tema kematian di kalangan media elektronik, seperti film, khususnya film Indonesia. Film-film seperti Suster Ngesot, Suster Keramas, Hantu Jeruk Purut, Jailankung, dll menjadi tema film Indonesia yang banyak beredar. Di TV dan radio pun tidak kalah menariknya. KisMis (Kisah-kisah Misteri) juga beredar. Semua ini membuat manusia makin takut menghadapi kematian.

Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Setiap orang termasuk orang Kristen pasti meninggal, namun ada yang membedakan antara anak Tuhan sejati yang meninggal vs orang dunia yang meninggal. Anak Tuhan sejati meninggal bukan dengan ketakutan, tetapi dengan damai sejahtera. Mengapa? Karena mereka telah meninggal di dalam Kristus yang telah mati baginya dan telah mengalahkan kuasa maut. Mereka yang seharusnya menerima hukuman maut akibat dosa telah digantikan oleh kematian Kristus yang membayar lunas utang dan kuasa maut, sehingga anak-anak-Nya meskipun harus mati secara fisik, mereka tidak akan mati kekal, namun menikmati hidup kekal bersama Bapa di Sorga. Sedangkan mereka yang tidak di dalam Kristus akan mengalami kematian dua kali, yaitu: kematian fisik dan kematian kekal (terpisah selama-lamanya dari Allah).


Kematian Kristus telah menyelesaikan utang dosa, mematahkan kuasa iblis, dan mematahkan/membayar kuasa maut kepada Allah Bapa. Kematian-Nya menjamin bahwa kita yang ada di dalam Kristus, tidak akan menerima penghukuman, karena Ia telah menggantikan kita di atas kayu salib. Pengorbanan-Nya membuktikan kasih-Nya kepada kita begitu besar (tak terukur). Bagaimana dengan kita? Ia yang telah berkorban mati di atas kayu salib bagi kita, apakah kita juga rela mati dan berkorban demi Kristus yang telah mati bagi kita? Biarlah Jumat Agung tahun ini menjadi Jumat Agung yang bermakna bagi kita, sehingga kita sebagai anak-anak-Nya dapat hidup terus memuliakan-Nya di mana pun kita ditempatkan Tuhan. Amin. Soli DEO Gloria…