09 March 2011

TUHAN MELIHAT HATI (Denny Teguh Sutandio)

TUHAN MELIHAT HATI

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”
(1Sam. 16:7b)




Kitab 1 Samuel 16 sedang berbicara tentang pengangkatan Daud sebagai raja. Di ayat 1 diawali dengan Tuhan yang tidak menghendaki Saul menjadi raja atas Israel (Saul dibiarkan Tuhan memimpin Israel karena Israel memberontak dipimpin oleh Allah—bdk. 1Sam. 8:1-22). Sebenarnya penyesalan Tuhan atas diangkatnya Saul sudah dapat dilihat ketika Saul tidak menaati firman Tuhan (bdk. 1Sam. 15:1-10). Sebagai ganti Saul, maka Tuhan menyuruh Samuel untuk pergi kepada Isai, orang Betlehem untuk mengurapi salah satu dari anak Isai (1Sam. 16:1b) dan supaya Saul tidak marah dan membunuh Samuel, maka Tuhan menyuruh Samuel untuk mengadakan upacara pengorbanan (ay. 2-3). Di saat itulah, Samuel mengundang Isai dan semua anaknya. Ketika anak sulung Isai, Eliab muncul di hadapan Samuel, Samuel dengan cepat menganggap bahwa inilah yang dipilih Tuhan. Mengapa? Karena Samuel melihat Eliab itu tampan dan tinggi. Namun, apa jawab Tuhan? Di ayat 7, Ia berfirman kepada Samuel, “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” Kemudian dilanjutkan dengan anak kedua, ketiga, dst, dan ketika anak ketujuh Isai yang bernama Daud (bdk. 1Taw. 2:15) muncul di hadapan Samuel (setelah dipanggil pulang oleh Isai), maka Tuhan menjatuhkan pilihan kepadanya (ay. 12). Dari ayat 7 ini (dan juga nantinya alasan Tuhan memilih Daud menjadi raja Israel menggantikan Saul), kita belajar 2 prinsip penting:
Pertama, Tuhan menolak hal-hal lahiriah (ay. 7a). Hal-hal lahiriah adalah apa yang dipandang baik dan menawan di mata manusia, misalnya: kaya, tampan/cantik, pandai, dermawan, bahkan tampak religius, dll. Dan uniknya, Tuhan menolaknya. Prinsip ini secara konsisten diterapkan oleh Allah sendiri di seluruh Alkitab. Di dalam Perjanjian Lama, Tuhan berfirman kepada umat Israel melalui nabi Amos, “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.” (Am. 5:21-24) Di dalam Perjanjian Baru, ketika hendak memilih para murid, Kristus sendiri TIDAK memilih murid dari kalangan Farisi, tetapi justru dari nelayan (Mat. 4:18-22). Bahkan di dalam 1 Korintus 1:19 yang mengutip Yesaya 29:14, Tuhan melalui Paulus mengajar, “Aku akan membinasakan hikmat orang-orang berhikmat dan kearifan orang-orang bijak akan Kulenyapkan.” Bahkan lebih tajam lagi di 1 Korintus 1:25, Paulus mengatakan, “Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia.” Dari sini, kita belajar perspektif Allah jauh lebih tinggi dari perspektif manusia, meskipun seolah-olah perspektif Allah itu terlihat “bodoh.”
Jika Tuhan menolak hal-hal lahiriah, mengapa di ayat 12, Tuhan sendiri akhirnya memilih Daud yang parasnya elok? Apakah Allah tidak konsisten? TIDAK. Tuhan menolak hal-hal lahiriah, karena:

Kedua, Tuhan melihat hati, sedangkan manusia melihat apa yang di depan mata (ay. 7b). Dengan kata lain, alasan Tuhan menolak hal-hal lahiriah bukan karena Dia tidak menyukai sama sekali hal-hal lahiriah, tetapi Tuhan lebih melihat hati. Meskipun Daud secara paras elok, namun hati Daud itu tulus.


Sekarang, yang menjadi pertanyaannya, mengapa Tuhan melihat hati? Saya menemukan dua alasan:
Pertama, hati adalah inti dan totalitas hidup Kristen. Ketika Tuhan melihat hati, itu berarti Tuhan melihat inti hidup Kristen di mana dari hati keluar pikiran, perkataan, dan tindakan. Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus mengajar hal ini sebanyak 2x. Menjawab fitnahan orang-orang Farisi, Kristus berfirman, “…yang diucapkan mulut meluap dari hati.” (Mat. 12:34b) Di Matius 15:19, menjawab pertanyaan Petrus, Kristus berfirman, “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.” Berarti, ketika hati kita beres dan murni di hadapan-Nya, maka pikiran, perkataan, dan tindakan kita (secara proses) pasti beres. Selain itu, hati berbicara tentang totalitas hidup Kristen di mana kehidupan Kristen dilihat dari hati. Di Amsal 4:23, Tuhan melalui Salomo mengajar, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Dengan kata lain, ketika kita sebagai orang Kristen kurang menampakkan karakter Kristiani, terlebih dahulu, periksalah hati kita, sudahkah hati kita murni di hadapan-Nya? Setelah itu, kita baru melihat kehidupan orang lain yang juga Kristen, lalu menilai mereka. Dengan melihat hati sebagai totalitas hidup Kristen, kita TIDAK akan terkecoh dengan performa. Mengutip perkataan Pdt. Yohan Candawasa, S.Th., jika agama-agama di luar Kristen bisa dikategorikan sebagai agama performa yang menampilkan tampilan-tampilan religius (seperti: berpuasa, meditasi, dll; bahkan ada agama yang sengaja menampilkannya di depan umum supaya agamanya dihormati oleh orang beragama lain, hehehe), maka Kekristenan tampil sebagai satu-satunya AGAMA HATI. Performa memang perlu, tetapi bukan hal penting! Alangkah bahayanya jika kita sibuk mengurusi hal-hal lahiriah (bahkan secara rohani): sibuk belajar Alkitab, mengikuti pembinaan, dll, tetapi hati kita kering bahkan busuk!

Kedua, hati berbicara tentang ketulusan. Apa arti tulus?
1. Murni (tidak bercabang).
Murni berarti hidup bersih berdasarkan hati yang telah, sedang, dan akan dikuduskan Roh Kudus. Dengan kata lain, di dalam kemurnian, tidak ada maksud lain ketika berkata dan bertindak sesuatu (tidak ada tedeng aling-aling). Seorang yang hatinya murni mengatakan dan bertindak apa pun sesuai kebenaran. Namun perlu diperhatikan, mengatakan dan bertindak apa pun sesuai kebenaran TIDAK berarti harus kasar. Perhatikanlah ketika Tuhan Yesus mengkritik keras para pemimpin agama di Matius 23. Hal yang sama dilakukan Paulus ketika mengkritik Petrus di Galatia 2:11-14. Kristus dan Paulus sama-sama keras menegur dosa, namun mereka TIDAK mengeluarkan sumpah serapah yang tidak sopan.

2. Konsisten.
Seorang yang hatinya murni ditandai dengan kekonsistenan hidupnya antara hati dan pikiran, hati dan perkataan, pikiran dan tindakan, dan perkataan dan tindakan. Tidak ada kemunafikan dan sungkan-isme dalam diri seorang yang konsisten. Apa yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukannya sesuai dengan hatinya. Hal ini berbeda dengan orang yang munafik (orang Israel) yang Tuhan Allah jelaskan sendiri, “… bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,” (Yes. 29:13) Bangsa Israel dihakimi Tuhan sebagai bangsa yang munafik dan ini juga menjadi pelajaran berharga bagi kita sebagai orang Kristen. Acapkali banyak orang Kristen terlihat beribadah di gereja, mengikuti acara rohani, memberikan persepuluhan, dll, tetapi maafkan, semua aktivitas rohani banyak yang dilakukan BUKAN keluar dari hati yang benar-benar mencintai Tuhan dan firman-Nya, tetapi itu semua hanya rutinitas belaka untuk membuktikan bahwa mereka bertobat dan Kristen. Apakah seorang Kristen yang secara mulut berkata bahwa ia bertobat adalah sungguh-sungguh seorang petobat sejati? Belum tentu. Pertobatan sejati TIDAK dilihat dari perkataannya, tetapi dari hati: apakah sungguh-sungguh ia menomersatukan Tuhan di atas apa dan siapa pun di dunia ini? Jika seorang yang mengaku bertobat, tetapi masih menomerduakan Tuhan (dengan menomersatukan BlackBerry atau lainnya) atau bahkan menganggap Tuhan hanya sebagai ban serep yang bisa dipergunakan seenaknya sendiri, saya terus terang meragukan pertobatan orang ini. Seorang yang konsisten juga adalah seorang yang tidak sungkan. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak boleh sungkan sama sekali, karena dalam beberapa hal, sungkan ada baiknya, namun harus disadari, juga ada buruknya. Seorang yang sungkan biasanya seorang yang kurang bisa tegas dalam bersikap, karena didasari oleh motivasi yang seolah-olah “baik” yaitu tidak ingin menyakiti perasaan orang lain! Hal ini sangat nampak pada diri banyak cewek (tidak menutup kemungkinan cowok juga) muda zaman sekarang yang karena sungkan lalu kurang bisa tegas dalam bersikap berkenaan dengan hubungan lawan jenis: sudah punya pacar, eh, masih jalan berdua dengan lawan jenis lain dengan alasan si lawan jenis tidak bertanya apakah si cewek sudah punya pacar atau belum. Bukankah seharusnya cewek beres yang sudah punya pacar bisa menyangkal diri untuk tidak jalan berdua dengan cowok lain dengan alasan apa pun? Benar-benar mengerikan generasi muda zaman sekarang!


Jika Tuhan melihat hati, lalu apa respons kita sebagai orang Kristen? Mengutip perkataan terkenal dari Dr. John Calvin, salah satu reformator besar, “cor meum tibi offero domine prompte et sincere” (my heart I offer to you Lord promptly and sincerely). Biarlah kerinduan Calvin yang mempersembahkan hatinya kepada Tuhan dengan tulus dan sungguh juga menjadi kerinduan setiap orang Kristen. Bagaimana mempersembahkan hati kita kepada Tuhan dengan tulus dan sungguh? Caranya dengan mengasihi-Nya dengan seluruh hidup kita seperti yang diajarkan baik dalam Perjanjian Lama maupun di Perjanjian Baru: “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ul. 6:5) dan “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” (Mat. 22:37) Dari dua ayat ini, Tuhan mengatakan hal yang sama yaitu mengasihi Tuhan Allah dimulai dari hati, berarti ketika kita hendak mempersembahkan hati kita kepada Tuhan sama dengan mulai mengasihi-Nya dengan hati kita. Bagaimana mengasihi Allah dengan hati kita?
Pertama, memiliki hati sebagai hamba. Di dalam 1 Petrus 3:15a, Tuhan melalui Rasul Petrus mengajar kita, “kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan!” Memang secara konteks, Petrus mengatakan hal ini sebagai dasar agar orang Kristen nantinya dapat memberi pertanggungjawaban kepada orang lain yang meminta tanggung jawab dari kita, namun ayat ini juga dapat menjadi pelajaran berharga bagi orang Kristen agar biarlah hati kita men-Tuhan-kan Kristus. Ketika hati kita men-Tuhan-kan Kristus, berarti secara otomatis di dalam hati kita, kita menghambakan diri di bawah takhta pemerintahan Kristus. Itulah artinya memiliki hati sebagai hamba. Memiliki hati sebagai hamba berarti: Pertama, secara aktif, dengan inisiatif sendiri mempelajari firman Allah dan mengizinkan Allah dan firman-Nya memimpin dan mengoreksi hidup kita (entah itu motivasi hati, pikiran, perkataan, dan tindakan) seperti kerinduan pemazmur, “Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku menyimpang dari perintah-perintah-Mu. Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau… Condongkanlah hatiku kepada peringatan-peringatan-Mu, dan jangan kepada laba.” (Mzm. 119:10-11, 36) Kedua, secara pasif, siap dikoreksi oleh orang lain ketika kita bersalah. Ketika kita bersalah dalam motivasi hati, pikiran, perkataan, dan tindakan, tentu ada orang lain (yang dekat dengan kita) yang mengoreksi kita, dan itulah saatnya bagi kita menerima teguran itu dengan bijaksana, lalu memikirkannya ulang, dan berkomitmen untuk tidak melakukan kesalahan yang sama (jika memang teguran itu benar-benar objektif). Saya tahu, secara teori, hal ini mudah dikatakan, namun biarlah Roh Kudus terus-menerus memimpin kita untuk siap ditegur dan siap berubah.

Kedua, hati memimpin pikiran, pikiran memimpin perkataan, dan perkataan memimpin tindakan. Ketika hati kita telah dimurnikan oleh Allah dan firman-Nya, maka kita tidak boleh berhenti hanya di tataran hati, sebaliknya hati kita harus memimpin seluruh hidup kita di mana:
1. Hati memimpin pikiran.
Hati yang tulus dan murni yang telah dipersembahkan kepada Allah memimpin pikiran, sehingga pikiran menjadi semakin tulus dan murni bagi Allah (bdk. Ams. 14:33). Pikiran yang tulus dan murni bukan hanya pikiran yang bersih, tetapi juga pikiran yang tajam. Semakin seseorang memiliki hati yang murni di hadapan-Nya, (secara proses) ia semakin memiliki pikiran yang tajam. Pikiran yang tajam meliputi pikiran kritis yang memikirkan hal-hal yang tak dipikirkan oleh orang dunia. Pikiran kritis tidak hanya berbicara tentang kepandaian, tetapi juga kebijaksanaan. Contoh, di dalam Perjanjian Baru, Paulus adalah seorang rasul Kristus yang memiliki hati yang murni sekaligus pikiran yang tajam yang mengerti filsafat, sehingga ia diutus Tuhan memberitakan Injil di daerah Eropa (Roma, dll). Salah satu reformator gereja dari Prancis, Dr. John Calvin yang berkomitmen menyerahkan hatinya kepada Tuhan dengan tulus dan sungguh juga merupakan sosok theolog agung yang memiliki hati yang murni sekaligus pikiran yang tajam. Biarlah kita meneladani doa dari hamba-Nya, Pdt. Dr. Stephen Tong: agar kita semakin pandai (dan juga semakin bijaksana) dan semakin murni demi kemuliaan-Nya.

2. Pikiran memimpin perkataan.
Pikiran yang murni dari seorang Kristen akan memimpinnya untuk dapat berkata sesuatu yang tulus sekaligus membangun dan bermanfaat bagi orang lain khususnya untuk memuliakan-Nya. Berkata sesuatu yang tulus berarti apa pun yang dikatakannya benar-benar tulus dari hatinya, bukan berpura-pura demi menyenangkan pihak lain. Alangkah menyedihkan jika ada beberapa orang Kristen yang aktif mengikuti kebaktian dan seminar rohani ternyata seorang yang juga gemar bermulut manis demi merayu orang lain (bahasa Jawa: mbasahi lambe). Bagi saya, selain tidak tulus, orang ini juga berdusta dengan dirinya sendiri dan mendustai orang lain. Berkata hal yang membangun dan bermanfaat bagi orang lain TIDAK berarti selalu mengatakan hal-hal positif tentang dan kepada orang lain. Ketika kita perlu menegur orang lain dengan kasih (bukan dengan ancaman/tuntutan yang membelenggu), di saat itulah, kita juga membangun orang lain. Saya terus terang sedih dengan beberapa orang Kristen yang gemar belajar theologi dan hal-hal lain semata-mata hanya untuk mengisi akalnya saja, tetapi akalnya tidak pernah mengontrol perkataannya, sehingga makin belajar theologi, makin sering berdebat dengan orang lain ditambah mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas diucapkan, seperti: goblok, dll.

3. Perkataan memimpin tindakan.
Sesudah perkataan kita dikuduskan oleh Roh Kudus, maka perkataan kita memimpin tindakan kita. Seorang anak Tuhan yang hatinya murni di hadapan Tuhan akan konsisten antara apa yang dikatakannya dengan apa yang dilakukannya. Ketika ia memuji Tuhan melalui pujian bahwa ia mencintai Yesus, maka secara aplikasi, ia juga berkomitmen untuk menjalankan apa yang dikatakannya melalui pujian tersebut dengan menaati apa yang Kristus ajarkan di dalam Alkitab. Ketika seseorang berkata sayang dan cinta kepada orang lain, maka hendaklah ia membuktikan apa yang dikatakannya dengan berusaha menunjukkan rasa sayang dan cinta itu, misalnya: dengan berkorban seperlunya (berkorban paling tinggi HANYA kepada Allah yang telah menyelamatkan kita), memprioritaskan seseorang yang kita sayang/cintai lebih daripada teman lain, dll. Jika kita belum berani menjalankan apa yang kita katakan, lebih baik berhentilah mengatakan sesuatu, karena, “Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman.” (Mat. 12:36) Biarlah kita yang makin mencintai Tuhan, makin bertanggung jawab dalam berkata-kata dengan komitmen menjalankan apa yang kita katakan, sehingga kita bisa dipercaya oleh orang lain dan nama Tuhan dipermuliakan.


Bagaimana dengan kita? Biarlah renungan ini menyadarkan kita bahwa tatkala Tuhan melihat hati, maka biarlah Roh Kudus memampukan kita untuk meresponinya dengan mempersembahkan hati kita untuk terus-menerus dimurnikan Roh Kudus. Amin. Soli DEO Gloria.