28 July 2010

WHAT’S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-3: Eden dan Dosa-2: Ingin Menyamai Allah

WHAT’S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-3:
Eden dan Dosa-2: Ingin Menyamai Allah


oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Kejadian 3:4-5



Setelah menyelidiki dosa pertama di taman Eden yaitu penyimpangan kebenaran, maka dosa kedua yang akan kita renungkan bersama adalah dosa menyamai Allah yang ingin mengetahui segala sesuatu. Setelah Hawa menjawab pertanyaan iblis di ayat 2-3, maka iblis melancarkan serangan pamungkasnya di ayat 4-5, “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” Dari dua ayat ini, kita akan merenungkan dua poin penting, yaitu:
1. Iblis Menyangkal Seluruh Kebenaran Allah dan Menggantinya Dengan Kebenaran Tandingan
Pada ayat 4, kita membaca pernyataan iblis yang mengatakan bahwa ketika makan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat, iblis berjanji bahwa Hawa tidak akan mati, padahal Allah sendiri berfirman bahwa manusia pasti mati ketika makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Di sini, kita melihat cara iblis menyangkal seluruh kebenaran Allah dan kemudian menggantinya dengan kebenaran tandingan versinya sendiri. Iblis bukan hanya menyangkal kebenaran Allah, tetapi ia juga menawarkan “solusi”, yaitu “kebenaran” yang ia ciptakan sendiri. Mengapa iblis tidak cukup hanya menyangkal seluruh kebenaran Allah? Mengapa iblis pun akhirnya mengeluarkan “kebenaran” versinya sendiri? Iblis melakukannya agar manusia lebih memilih untuk taat kepada iblis ketimbang Allah. Dengan kata lain, kita mendapati fakta adanya antitesis antara kebenaran Allah vs “kebenaran” setan di dunia ini. Antitesis ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Taman Eden saja, namun juga berlanjut sampai kita yang hidup di zaman sekarang. Antitesis ini akan berhenti total dan kebenaran Allah pasti menang tatkala Kristus datang kedua kalinya sebagai Raja dan Hakim yang akan memusnahkan semua musuh-Nya (dan musuh anak-anak-Nya). Namun ketika di dunia kita, mau tidak mau, kita diperhadapkan dengan antitesis ini. Manakah yang kita pilih? Kebenaran Allah ataukah “kebenaran” setan?


2. Iblis Menawarkan “Kebenaran” Versinya Sendiri Dengan Mengiming-imingi Manusia Untuk Menjadi Seperti Allah
Iblis menginginkan manusia untuk lebih taat kepada iblis daripada kepada Allah. Sekarang pertanyaan selanjutnya, bagaimana caranya? Iblis adalah bapa pendusta dan secara otomatis dia itu licik, oleh karena itu, ia pasti memiliki segudang cara untuk menjerat kita untuk lebih taat kepada dirinya ketimbang kepada Allah. Cara licik iblis tersebut meliputi:
Pertama, meragukan Allah. Cara iblis paling licik adalah meragukan Allah. Iblis tentu tidak akan mengatakan secara gamblang kepada manusia pertama itu bahwa Allah itu salah, karena jika iblis menggunakan cara itu, manusia pertama pasti mengetahui akal bulusnya. Namun iblis menggunakan cara liciknya yang cukup ampuh yaitu mulai meracuni manusia untuk meragukan Allah. Iblis berusaha untuk meracuni manusia dengan pengajaran bahwa Allah bukan satu-satunya yang Mahatahu dan Benar mutlak. Iblis juga meracuni manusia bahwa dirinya (iblis) juga termasuk mahatahu. Maka tidak heran, iblis berjanji kepada Hawa bahwa ketika ia makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, matanya akan terbuka. Di zaman sekarang pun, siasat iblis tetap sama. Iblis juga akan meracuni manusia untuk mulai meragukan Allah dengan mengajarkan bahwa bukan Allah saja yang Mahatahu dan Benar, masih ada sosok lain yang juga bisa mahatahu. Tidak heran, di dunia kita hari-hari ini, khususnya di dunia Timur, para peramal laris dicari orang, dari Mama Loren sampai Mama Lemon (hehehe) Banyak orang dunia, bahkan tidak sedikit orang “Kristen” yang juga ikut-ikutan pergi ke tukang ramal entah itu dengan alasan supaya enteng jodoh atau ingin coba-coba. Saya sendiri melihat ada seorang tante yang melayani di sebuah gereja Injili di Surabaya pergi ke tukang ramal. Mereka berpikir bahwa peramal pun juga bisa mengetahui masa depan manusia, jadi tidak perlu Tuhan. Atau mungkin ada juga pandangan yang mengatakan bahwa memang Tuhan yang menentukan, namun manusia juga perlu mencari cara untuk mengerti kehendak Tuhan. Wah, yang terakhir ini seolah-olah kelihatan “rohani”, namun rusaknya amit-amit. Mencari kehendak Tuhan diidentikkan dengan pergi ke dukun atau peramal? Jaka Sembung naik ojek, gak nyambung jek! HahahaJ So, bolehkah orang Kristen pergi ke dukun? Jawaban saya bukan BOLEH atau TIDAK BOLEH, tetapi apa motivasi di balik pergi ke dukun? Jika Anda menjawab, supaya enteng jodoh dan bisnis lancar. Saya bertanya kepada Anda, apakah dukun itu Tuhan yang Mahatahu dan menciptakan manusia? Kedua, apakah ramalan dukun/peramal 100% akurat? Ketiga, dasar apakah yang bisa membuktikan validitas ramalan si dukun/peramal tersebut? Jika misalnya, si peramal meramalkan nasib seseorang 10 tahun kemudian dan misalnya hasil ramalan tersebut tidak cocok dengan ramalan si peramal, kemudian Anda mendatangi untuk meminta pertanggungjawaban, apa kira-kira reaksi si peramal? Keempat, apakah si peramal/dukun tersebut dapat meramal nasibnya SENDIRI di masa depan? Saya pernah mendengar cerita dari seorang rekan bahwa salah seorang peramal top di Indonesia yang sering masuk di TV mengatakan bahwa dirinya tidak mampu meramal setelah tahun 2012. Saya jadi bingung dan bertanya-tanya, kenapa gak bisa meramal setelah tahun 2012? Apa si peramal ini juga ketakutan setelah menonton film 2012? Please dech ya…

Kedua, manusia = “mahatahu”. Iblis tidak cukup hanya meracuni manusia untuk meragukan Allah dan lebih mempercayai si iblis, ia melancarkan serangan puncaknya yaitu meracuni manusia dengan cara mengiming-imingi manusia untuk menjadi seperti Allah. Dengan presuposisi bahwa bukan Allah saja yang Mahatahu, maka iblis mengiming-imingi manusia untuk menjadi seperti Allah dengan slogan-slogan (yang saya dramatisir), “Ah, jangan gitu, Allah tahu koq bahwa ketika kamu makan buah pohon itu, matamu pasti terbuka, bisa membedakan mana yang baik dan jahat.” Gara-gara slogan “motivasi” ini, akhirnya Hawa tergiur dan akhirnya makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Bukankah taktik licik iblis di Taman Eden juga bisa kita lihat aplikasinya di dunia postmodern ini? Jangan kaget, jika di zaman postmodern ini, kita menjumpai maraknya pelatihan motivasi yang ditunggangi oleh pemikiran Gerakan Zaman Baru yang mengajarkan bahwa karena segala sesuatu adalah “allah” (manusia = “allah; ide Monisme digabungkan Pantheisme), maka di dalam diri manusia, ada suatu kekuatan besar yang sedang tidur yang harus dibangunkan. Tidak usah heran, dari presuposisi ini, kita sering mendengar slogan-slogan dari para motivator, “Sukses adalah hak saya”, “Miskin itu dosa”, “Dahsyat”, dll. Meskipun tidak bisa menghakimi semua motivator itu seorang New Age (penganut Gerakan Zaman Baru), namun secara mayoritas, mereka bisa dikategorikan seorang New Age, karena mereka TIDAK pernah sekalipun menyebut nama Allah dan melibatkan Allah di dalam pelatihan motivasinya. Kalaupun ada yang menyebut nama Allah di dalam pelatihan motivasinya maupun di dalam bukunya, biasanya mereka hanya memperalat nama Allah untuk mendukung teorinya sendiri yang melawan Alkitab. Ini fakta dan saya sudah membuktikannya dengan membaca sekilas buku dari salah seorang motivator “Kristen” terkenal dengan slogannya “Miskin itu dosa.” Dan fakta lain membuktikan bahwa pelatihan motivasi baik melalui buku, CD, dan VCD/DVD ini berkait erat dengan bisnis MLM. Saya sendiri melihat dengan mata saya sendiri ketika saya ditawari oleh teman sekolah saya sebuah produk MLM yang mengikutsertakan sebuah buku panduan dari Dale Carnegie untuk memompa semangat para pebisnis MLM untuk bersemangat menjual produk-produknya. Saya sendiri sampai geleng-geleng kepala, untuk bisnis MLM, para pebisnis (tidak terkecuali yang “Kristen” di dalamnya) bisa bersemangat menjualnya, mengapa untuk memberitakan Injil kepada rekan, teman, saudara, mereka tidak ada semangat sama sekali?


Banyak orang dengan mudahnya tanpa berpikir panjang begitu termakan oleh pelatihan motivasi. Yang aneh, orang yang sama jika diundang untuk percaya Tuhan Yesus, saya bisa memastikan bahwa banyak dari mereka akan berkata, “Pikir-pikir dulu dech.” Perkataan ini sebenarnya tidak bermaksud bahwa orang ini akan sungguh-sungguh memikirkannya siang dan malam, namun perkataan ini maksud aslinya adalah “Jangan menginjili saya. Saya ini sudah beragama.” (biasa, banyak orang dari dunia Timur kalau mengatakan sesuatu selalu tidak pernah terus terang—peribahasa: memang lidah tak bertulang) Atau mungkin orang itu akan mengatakan, “Lain kali aja ya.” Yang bernilai kekekalan, dicuekkan, sedangkan yang bernilai kesementaraan dan bahkan menipu bisa dengan mudahnya diterima tanpa pikir panjang. Saya jadi inget nich ama anjing. Coba sodorkan kepada anjing, sebuah Alkitab dengan sepotong tulang, apa reaksi si anjing? Apakah si anjing akan meraih Alkitab itu dan membacanya? Mimpi kaleeee… Yang pasti si anjing akan meraih sepotong tulang untuk dimakannya. Koq rasanya gak ada bedanya dengan banyak manusia yang tergila-gila ama “tulang” ketimbang Alkitab.


Kalau mau ditelusuri lebih dalam, apa yang menyebabkan manusia ingin menjadi seperti Allah lalu dengan mudahnya tertipu oleh pelatihan motivasi? Saya menemukan ada dua penyebab:
Pertama, manusia menginginkan kebebasan. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk ciptaan atau pribadi yang dicipta. Dengan cerdas sekali, Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. di dalam bukunya Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah (2003) mengajarkan bahwa selain sebagai makhluk yang dicipta, manusia juga sebagai pribadi yang berarti adanya suatu kemandirian yang bukan bersifat mutlak, namun relatif (hlm. 8) Dengan demikian, Dr. Hoekema menyarikan dari Alkitab bahwa manusia itu pribadi yang dicipta. Namun, dosa mengakibatkan manusia membuang bagian “yang dicipta” dan mengagungkan sosok “pribadi”, karena manusia ingin lepas dari Allah. Di Abad Pencerahan, kita telah melihat gejala ini di mana manusia ingin bebas dari Allah dan berpegang pada otoritas rasio, meskipun masih tetap mempercayai wahyu Allah. Kemudian, di abad postmodern, gejala ini makin menggila dengan ide-ide postmodernisme dan Gerakan Zaman Baru yang mengarahkan manusia makin terlepas dari Allah dan akhirnya mempercayai alam gaib. Makin melepaskan diri dari Allah, manusia bukan tambah beres, melainkan makin hancur tidak karuan. Ketika kita membaca surat kabar, berita apakah yang kita baca? Bukankah lebih sering berita: korupsi, kejahatan, bencana alam, hamil di luar nikah, dll? Itulah wajah dunia kita. Nah, anehnya manusia yang setiap hari begitu familiar dengan berita-berita seperti itu tidak pernah sadar akan dosanya, malah menjadi rusak? Membaca berita kriminal bukannya malah menyadarkan manusia, malah manusia makin meniru aksinya.

Kedua, manusia yang tidak puas. Manusia yang menginginkan kebebasan pasti juga seorang yang tidak puas. Ia ingin kebebasan yang dimilikinya itu terus-menerus, oleh karena itu, kebebasan tanpa batas biasanya mengakibatkan ketidakpuasan. Seorang yang katanya “bebas” untuk merokok, namun ia makin terikat dengan kebebasannya, sehingga ia makin tidak puas dan minta lagi, lagi, dan lagi. Perhatikanlah cara kerja MLM yang berkait erat dengan pelatihan motivasi dan Anda akan mulai menganggukkan kepala tanda setuju dengan pernyataan saya. Para pebisnis MLM TIDAK pernah merasa puas, karena mereka selalu diiming-imingi dengan hadiah yang menggiurkan. Saya pernah ditawari oleh teman sekolah saya dahulu sebuah produk MLM dan di setiap jenjangnya, ada tawaran hadiah mobil mewah dan paling tinggi sebuah kapal pesiar (dan bisa diuangkan). Setelah mendapatkan semuanya, manusia nanti pasti menjadi sombong dan merasa diri hebat lalu melupakan Tuhan, sehingga jangan heran, banyak pebisnis MLM meskipun dirinya “Kristen” akan lebih bersemangat berada di dalam lingkungan bisnis MLM ketimbang melayani Tuhan di gereja. Kalaupun ia sedang melayani di gereja, ia dengan beraninya menawarkan produk MLM kepada teman gerejanya. Lihatlah, cara kerja iblis dari sejak di Taman Eden sampai di zaman sekarang tidak jauh berbeda bukan?


Apa akibat dari dosa yang ingin menjadi sama seperti Allah?
Pertama, jatuh ke dalam dosa. Setelah iblis menawarkan “solusi” yang enak kepada Hawa di ayat 4-5 ini, apakah perkataan iblis tersebut terjadi? Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) 2010: Rahasia Kemenangan dalam Cinta dan Seks Menuju Pernikahan pernah menafsirkan bahwa perkataan Allah seolah-olah tidak terjadi, sedangkan perkataan iblis seolah-olah terjadi, buktinya setelah manusia pertama makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, mata mereka seolah-olah terbuka (Kej. 3:7). Namun Pdt. Stephen Tong melanjutkan, lalu ketika mata mereka terbuka, apa yang mereka lihat? Si ular/iblis? TIDAK. Alkitab menyatakan bahwa yang mereka lihat justru ketelanjangan mereka (Kej. 3:7). Ketelanjangan mereka membukakan suatu fakta bahwa mereka lebih memilih untuk mendengarkan setan ketimbang Allah. Pdt. Dr. Stephen Tong menafsirkan bahwa dari sinilah (dosa), budaya berpakaian muncul. Iblis yang kelihatan menawarkan “kebenaran” yang seolah-olah sesuai dengan fakta sebenarnya hendak menjerumuskan kita ke dalam dosa. Dan herannya manusia sejak zaman Adam dan Hawa sampai sekarang, banyak yang tidak sadar akan hal ini, malah bukan hanya tidak sadar, tetapi sudah tergila-gila di dalam bujuk rayu iblis.

Kedua, terikat di bawah kuasa dosa. Bukan hanya jatuh ke dalam dosa, manusia menjadi terikat di bawah kuasa dosa. Setelah kasus Adam dan Hawa, kita membaca cerita anaknya sendiri, yaitu Kain yang membunuh Habil. Kemudian cerita berlanjut sampai Menara Babel, dll. Makin menginginkan kebebasan, manusia makin terikat di bawah kuasa dosa, karena kebebasan yang dibangunnya terlepas dari Allah. Dalam istilah bapa gereja Augustinus, kondisi ini disebut: non posse non peccare (tidak bisa tidak berdosa). Artinya, manusia yang telah terikat di bawah kuasa dosa tidak memiliki keinginan lain kecuali berdosa. Pdt. Dr. Stephen Tong memberikan ilustrasi mengenai kebebasan yang tidak bebas. Orang yang menginginkan kebebasan murni selalu tidak pernah bebas 100%. Orang yang bebas untuk makan apa pun pada saat pesta pernikahan atau acara makan-makan, apakah setelah pulang dari acara tersebut, ia akan bebas berjalan? TIDAK, ia pasti kekenyangan. Orang yang bebas untuk merokok, apakah ia akan memiliki kebebasan untuk TIDAK merokok? TIDAK mungkin! Menjadi orang Kristen bukan berarti kita tidak boleh bebas. Orang Kristen perlu dan bahkan harus dan pasti bebas, karena kebebasannya adalah benar-benar bebas di dalam Kristus: bebas untuk TIDAK berbuat dosa, bebas dari kutuk dosa, bebas untuk taat kepada Kristus, dll. Mengutip Ev. Ivan Kristiono, M.Div., bapa gereja Augustinus mengatakan, “Cintailah Tuhan dan lakukan segala sesuatu.” Pernyataan “lakukan segala sesuatu” ini tentu harus dikaitkan sebelumnya dengan “cintailah Tuhan” dan itu jelas menunjukkan adanya unsur kebebasan di dalam takut akan Tuhan. Diperlukan sebuah kedewasaan iman untuk mengerti pernyataan Augustinus ini.


Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih terlibat dalam dosa yang ingin menyamai Allah? Apakah kita ingin mengetahui segala sesuatu tanpa Allah? Apakah kita terus-menerus dengan mudahnya menyetujui semua filsafat dunia tanpa mengujinya berdasarkan Alkitab? Periksalah hati, iman, pikiran, perkataan, dan tindakan kita, benarkah itu memuliakan Tuhan? Jika belum, biarlah Roh Kudus membuka hati dan pikiran kita untuk menyadari dosa Anda, bertobat, dan kembali kepada Kristus. Amin. Soli Deo Gloria.

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:29-31 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:29-31

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:29-31



Bagian ini lebih terfokus pada ide tentang akhir zaman, sehingga beberapa orang menganggap bagian ini sebagai sisipan tambahan yang tidak berhubungan dengan pembahasan di seluruh pasal 7. Anggapan ini tidak dapat dibenarkan. Rujukan eksplisit tentang perkawinan masih bisa ditemukan di ayat 29b. Selain itu, pembahasan dalam bagian ini masih terkait dengan pembahasan sebelumnya, karena sama-sama mengaitkan perkawinan dengan akhir zaman (7:26 “waktu darurat”; 7:29 “waktu telah singkat”). Dengan kata lain, ayat 29-31 merupakan penjelasan tentang apa yang harus dilakukan selama waktu darurat di ayat 26.

Dalam bagian ini Paulus mula-mula menyatakan dasar pemikirannya, yaitu waktu yang telah singkat (ay. 29a). Selanjutnya ia menjelaskan konsekuensi dari pemikiran itu (ay. 29b-31a). Pemikiran itu ternyata memiliki kaitan dengan begitu banyak hal dalam hidup kita, mulai dari perkawinan, perasaan (kesedihan dan kegembiraan), kepemilikan sampai penggunaan barang-barang duniawi. Di akhir pembahasan Paulus memaparkan alasan mengapa waktu telah singkat (ay. 31b).


Dasar Pemikiran: Waktu Telah Singkat (ay. 29a)
Sapaan “saudara-saudara” di ayat ini berfungsi untuk menyiratkan adanya perubahan topik dan memperluas kelompok jemaat yang dimaksud Paulus. Kalau di ayat 25-28 target nasehat Paulus adalah mereka yang belum kawin (sedang bertunangan), di ayat 29-31 Paulus memaksudkan nasehatnya untuk semua jemaat (bdk. “saudara-saudara” di ayat 24). Apa yang ia sampaikan dalam bagian ini memang mencakup juga mereka yang sudah kawin (ay. 29b).

Di ayat 29a kata Yunani yang dipakai untuk “waktu” adalah kairos. Kata ini sering kali dibedakan dengan kata kronos yang hanya menyiratkan urutan waktu (bdk. kata “kronologi”). Kairos merujuk pada waktu yang spesifik di dalam rangkaian kronos. Terjemahan RSV “appointed time” menunjukkan usaha penerjemah RSV untuk memperjelas makna kairos, walaupun dalam teks Yunani tidak ada kata “appointed”. Jadi, kairos selalu menjadi bagian dari kronos, tetapi tidak semua kronos adalah kairos.

Waktu spesifik seperti apa yang dipikirkan Paulus melalui penggunaan kata kairos di ayat ini? Walaupun sebagian penafsir berbeda pendapat dalam hal-hal detil, namun secara umum mereka setuju bahwa kairos di sini merujuk pada masa antara kedatangan Kristus ke-1 dan ke-2. Paulus memang sering membandingkan rentang waktu ini dengan kekekalan kelak (Rm. 8:18; 13:11; 1Kor. 4:5; 2Kor. 6:2; 1Tes. 5:1) untuk mengingatkan bahwa orang-orang percaya berada dalam dua ketegangan waktu ini: kita masih hidup dalam kesementaraan, namun sekaligus mempersiapkan diri untuk kekekalan). Rentang waktu ini bersifat soteriologis (terkait dengan karya keselamatan dalam Kristus) dan eskatologis (antisipasi terhadap kedatangan Kristus di akhir zaman). Waktu ini tidak akan terus-menerus ada, karena itu ini merupakan waktu yang spesifik yang harus dimanfaatkan sepenuhnya oleh orang-orang percaya.

Paulus mengajarkan bahwa kairos telah singkat. Frase sunestalmenos estin (LAI:TB “telah singkat”) dapat dipahami dalam dua cara: sebagai kata kerja pasif partisipel (NASB “the time has been shortened”) atau kata sifat (KJV/NIV “the time is short”). Jika alternatif pertama benar, maka Paulus kemungkinan besar sedang memikirkan ajaran Yesus telah pemercepatan kedatangan-Nya karena situasi khusus dari orang-orang percaya (Mrk. 13:20).

Di antara dua alternatif ini sulit ditentukan mana yang ada dalam pikiran Paulus. Walaupun alternatif pertama dari sisi tata bahasa lebih memungkinkan, namun tidak ada indikasi apa pun dalam 1 Korintus 7 yang mengarah pada kedatangan Kristus yang dipercepat. Memang ada kemungkinan konsep pemercepatan kedatangan ini sudah begitu populer waktu itu (bdk. 2Ptr. 3:21), sehingga Paulus merasa tidak perlu menyinggung hal itu secara eksplisit. Rujukan tentang kesusahan eskatologis di ayat 26 dan 28 mungkin dianggap cukup untuk mengasumsikan hal itu. Bagaimanapun, kita tidak dapat mencapai kepastian dalam hal ini.

Jika dilihat dari perspektif kekekalan (sesuai konteks ayat 25-31), maka waktu kita di dunia ini hanyalah waktu yang sangat singkat. Semakin hidup kita bergerak menuju kekekalan, maka waktu ini menjadi semakin dipersingkat, entah jarak kita dengan kematian semakin dekat maupun dengan kedatangan Kristus kedua kali. Yang jelas, waktu yang kita miliki sekarang hanyalah sisa-sisa kesempatan (ay. 29 “waktu yang masih sisa ini”). Kita tidak punya banyak waktu! Kekekalan menjadi semakin dekat dan jelas bagi kita. Kita berada dalam penantian itu (1:7).


Konsekuensi (ay. 29b-31a)
Kata sambung “karena itu” (LAI:TB; NIV “so that”) menyiratkan bahwa Paulus sedang berpindah pada aplikasi. Ia sedang mengajarkan bahwa suatu konsep theologis seharusnya membawa konsekuensi praktis. Cara hidup kita sekarang harus dibentuk sesuai dengan konsep kita tentang kekekalan. Satu kaki kita ada dalam kesementaraan, tetapi kaki yang lain berada dalam kekekalan. Dengan kata lain, kita harus melihat kesementaraan waktu kita dari perspektif kekekalan. Dengan perspektif yang eskatologis ini kita akan mampu menilai semua hal di sekitar kita: mana yang bernilai kekal dan mana yang tidak.

Paulus lalu memberikan 5 contoh aplikasi dari konsep di atas (ay. 29b-31a). Apa yang dia tuliskan tidak boleh dipahami secara hurufiah. Ini hanyalah sebuah gaya retorik. Jika dipahami secara hurufiah, maka ayat 29b akan berkontradiksi dengan ayat 2-5. Di samping itu, ayat 30 akan tampak aneh karena menyiratkan bahwa orang Kristen adalah orang yang tidak boleh mengekspresikan perasaan mereka.

Kita harus lebih memperhatikan inti dalam keseluruhan gaya retorik ini. Inti yang ingin ditampilkan adalah perubahan perspektif [dari kekekalan]. Paulus ingin menegaskan bahwa sekalipun kita masih hidup dalam dunia yang sementara dan bergelut dengan semua elemen di dalamnya yang juga sementara, namun kita harus tetap memiliki fokus hidup pada kekekalan. Berbeda dengan golongan apokaliptis Yahudi dan sebagian jemaat Korintus yang memiliki pandangan terlalu negatif terhadap kehidupan normal di dunia ini, Paulus memandang kehidupan ini sebagai sesuatu yang netral; tergantung pada cara kita menyikapinya. Uang bukanlah dosa, tetapi cinta uanglah yang menjadi sumber dosa (1Tim. 6:10). Seks bukanlah dosa, tetapi perzinahanlah yang merupakan dosa. Berbeda dengan para filsuf Stoa yang mengajarkan penyangkalan realita, Paulus tetap mengakui dan menerima semua realita yang ada, namun semua itu harus dilihat dari perspektif eskatologis.

Contoh praktis ke-1 yang disinggung adalah perkawinan (ay. 29b). Topik ini menduduki urutan pertama dalam daftar karena inti pembahasan memang terletak di sini. Ayat 29a tidak boleh ditafsirkan sebagai dukungan bagi praktik hidup selibat. Paulus tidak anti perkawinan (ay. 2-5). Dia pun mengajarkan bahwa selibat merupakan anugerah khusus untuk orang-orang tertentu (ay. 7). Ia bahkan menyadari bahwa tugas orang yang sudah menikah adalah menyenangkan pasangannya (ay. 33).

Apa yang ingin Paulus ajarkan adalah sederhana: perkawinan merupakan hal yang sementara, karena itu jangan sampai hal itu menganggu fokus kita pada hal-hal yang kekal. Perkawinan hanya mengikat selama seseorang hidup (ay. 39; Rm. 7:2). Setelah orang itu mati, ikatan perkawinan maupun seks akan menjadi tidak relevan lagi (Mrk. 12:25). Paulus tetap setuju bahwa perkawinan dan seks adalah hal yang bisa dinikmati oleh sebagian orang yang mendapat karunia untuk menikah, tetapi jangan sampai merusak fokus hidup yang sebenarnya. Hal ini berbeda dengan konsep jemaat Korintus yang menganggap seks sebagai dosa dan pasti merusak kerohanian.

Contoh praktis yang ke-2 dan ke-3 dapat digabungkan karena sama-sama membahas tentang perasaan (ay. 30a). Nasehat Paulus di ayat ini tidak berarti bahwa orang Kristen harus bersikap munafik dengan cara menutupi apa yang ada dalam perasaannya. Nasehat ini juga bukan mendorong orang Kristen menjadi orang yang tanpa perasaan atau ekspresi. Di tempat lain Paulus justru memberi nasehat untuk bersukacita dengan orang yang bersukacita dan menangis dengan orang yang menangis (Rm. 12:15). Ia pun mengungkapkan kesedihan melalui tangisan (Rm. 9:2; 2Kor. 2:4; Flp. 2:25–30; 3:18) maupun meluapkan kegembiraan (1Kor. 16:17; 2Kor. 7:4–10; Flp. 1:12–19; 4:10).

Poin yang ingin disampaikan Paulus adalah jangan sampai orang Kristen terlalu terikat dengan kesedihan maupun kegembiraan dalam dunia ini. Apa yang membuat kita bergembira atau bersedih selama ini biasanya adalah hal-hal yang bersifat sementara. Kita bersukacita ketika memiliki kekayaan, kesehatan dan kesuksesan. Kita bersedih ketika semua itu hilang. Paulus ingin mengajarkan bahwa perspektif eskatologis seharusnya mengubah cara pandang kita terhadap kesedihan dan kegembiraan. Yang bersedih sekarang akan mendapat sukacita, begitu pula sebaliknya (Luk. 6:21, 25; Yoh. 16:20). Selama kita menanti pembalikan keadaan ini, kita pun perlu memandang hidup kita sebagai sebuah paradoks yang indah, sebagaimana dinyatakan dengan luar biasa di 2 Korintus 6:9-10 “sebagai orang yang tidak dikenal, namun terkenal; sebagai orang yang nyaris mati, dan sungguh kami hidup; sebagai orang yang dihajar, namun tidak mati; sebagai orang berdukacita, namun senantiasa bersukacita; sebagai orang miskin, namun memperkaya banyak orang; sebagai orang tak bermilik, sekalipun kami memiliki segala sesuatu”.

Contoh praktis ke-3 berhubungan dengan kepemilikan (ay. 30b). Orang membeli biasanya karena ia ingin memiliki barang itu atau ingin agar barang itu dimiliki orang lain. Jadi, pembelian dan kepemilikan memiliki kaitan yang sangat erat. Dalam bagian ini Paulus justru menasehatkan agar orang yang membeli seolah-olah tidak memiliki apa yang mereka beli. Apa maksud perkataan ini?

Paulus jelas tidak anti terhadap segala bentuk transaksi ekonomi. Orang Kristen tidak diminta untuk meninggalkan dunia ini (bdk. 1Kor. 5:10). Paulus pun memperingatkan jemaat Tesalonika untuk bekerja sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka (2Tes. 3:10, 12). Yang disorot Paulus adalah kata “memiliki” (katecein). Kata ini biasanya mengandung makna “memegang sesuatu dengan kuat”, baik itu firman Tuhan (Luk. 8:15; 1Kor. 15:2; 1Tes. 5:21) maupun barang (Mat. 21:38). Ide yang ada bukan hanya “memiliki”, tetapi “memiliki dengan kuat”.

Melalui nasehat ini Paulus ingin menekankan konsep Kristiani yang benar tentang kepemilikan. Hak yang dimiliki oleh orang Kristen adalah hak untuk menggunakan, bukan untuk memiliki. Semua yang bisa kita beli bersifat sementara dan kita harus menggunakan itu untuk menghasilkan hal-hal yang kekal. Kita tidak boleh memegangi apa yang kita beli seolah-olah hal itu tidak boleh lepas dari tangan kita. Ketika kita mati atau Kristus datang kedua kali, kita akan kehilangan semuanya itu (Ayb. 1:21). Sebaliknya, orang Kristen harus memiiki konsep bahwa ia sebenarnya memiliki segala sesuatu (1Kor. 3:22; 2Kor. 6:10).

Alkitab memberi banyak peringatan tentang bahaya materialisme. Orang yang terlalu memikirkan materi sebenarnya sudah menjadi hamba dari materi. Di mana harta kita berada, di situ hati kita berada (Mat. 6:21). Kita tidak boleh menjadi seperti orang kaya yang bodoh dalam perumpamaan Yesus yang akhirnya mati tanpa bisa membawa hartanya dalam kematiannya (Luk. 12:16-21). Jangan pula seperti orang-orang dalam perumpamaan Yesus yang tidak menghiraukan ajakan ke pesta karena sibuk dengan urusan lain yang tidak penting (Luk. 14:15-24). Jika ini yang terjadi, maka ketika Kristus datang situasinya seperti orang-orang pada zaman Nuh yang sibuk dengan hal-hal duniawi (Luk. 17:26-27).

Contoh praktis terakhir (ke-5) berhubungan dengan isu tentang penggunaan (ay. 30a). Penerjemah LAI:TB memahami bagian ini sebagai kesimpulan dari 4 poin sebelumnya, sehingga bagian ini diberi tambahan “pendeknya”. Dari sisi tata bahasa bagian ini tidak seharusnya dijadikan konklusi. Dalam teks Yunani tidak ada kata “pendeknya”. Jadi, bagian ini merupakan kelanjutan dari poin-poin sebelumnya. Poin yang disampaikan Paulus dalam bagian ini akan menjadi jelas apabila kita mengetahui bahwa kata “mempergunakan” yang muncul dua kali dalam bagian ini memakai kata Yunani yang berbeda. Yang pertama adalah craomai (“menggunakan”), yang kedua adalah katacraomai (“menggunakan sepenuhnya”). Dengan pembedaan ini Paulus ingin mengajarkan bahwa semua yang diciptakan Allah di dunia ini memang baik dan boleh digunakan (bdk. 1Tim. 4:4), tetapi tidak boleh digunakan sepenuhnya. Artinya, orang Kristen tidak boleh terpaku pada barang-barang tersebut, sehingga kalau barang itu tidak ada maka kita merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidup kita.

Paulus sendiri memberi teladan yang baik dalam hal ini. Sebagai seorang rasul ia memiliki hak untuk diberi upah dan menggunakan tunjangan hidup itu (1Kor. 9:1-14). Walaupun ia berhak menggunakan hak itu, namun ia memilih untuk tidak menggunakannya (9:15-18). Ini merupakan contoh bagaimana seseorang mampu tidak menggunakan apa yang sebenarnya bisa ia gunakan. Ia bisa melakkan ini karena ia menyadari bahwa fokus hidup orang Kristen bukanlah menikmati keindahan dunia semau kita. Semua yang kita miliki adalah dari, oleh dan untuk Allah (Rm. 11:36).


Alasan (ay. 31b)
Kata sambung “sebab” di ayat ini menyiratkan alasan. Lebih spesifik, alasan bagi pemikiran Paulus di ayat 29a. Mengapa waktunya singkat (ay. 29a)? Karena dunia akan berlalu. Ajaran ini merupakan doktrin yang umum di kalangan orang Kristen abad pertama (1Yoh. 2:17; 2Ptr. 3:10). Bentuk present tense “berlalu” (paragei, kontra LAI:TB “akan berlalu”) menunjukkan bahwa proses yang dimaksud Paulus sudah berlangsung pada jamannya.

Frase “dunia yang kita kenal sekarang” (LAI:TB/NIV) dalam teks Yunani adalah to schēma tou kosmou. Versi Inggris menerjemahkan kata schma di sini dengan “form” (NIV/NASB/RSV) atau “fashion” (KJV/YLT). Kata Yunani schēma memang sering mengandung makna sesuatu yang tampak dari luar. Dalam literatur di luar Alkitab kata ini juga sering kali dipakai dalam konteks teater ketika pemain memakai pakaian, topeng dan kostum tertentu untuk memerankan suatu tokoh yang berbeda dengan dirinya yang sebenarnya. Melalui pemilihan kata ini Paulus mengingatkan bahwa apa pun yang kita lihat dari dunia ini – betapa pun indahnya hal itu – tidak akan memiliki karakter atau sifat yang permanen. Sama seperti para pemain teater yang harus segera menanggalkan kostum dan topeng mereka serta masuk dalam kehidupan sehari-hari, demikian pula dunia ini akan berlalu. Yang tetap bertahan adalah nilai-nilai kekal yang muncul dari penggunaan hal-hal yang sementara. Soli Deo Gloria. #





Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 26 Juli 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2029-31.pdf

25 July 2010

PENGARUH PASCAMODERNISME TERHADAP HERMENEUTIKA BIBLIKA (Ev. Pancha Wiguna Yahya, M.Th.)

PENGARUH PASCAMODERNISME TERHADAP HERMENEUTIKA BIBLIKA1

oleh: Ev. Pancha Wiguna Yahya, M.Th.



Since the death of the godlike Author, any number of idols have been erected in His place under the names of our diverse theoretical schools as the ultimate reference of literature and resting point of this study. Each of these schools promises its own version of salvation through correct interpretation in a grounder, and by that token valid, reading of texts
—Howard Felerpin2


PROLOG
There is a spectre haunting classical Christianity, that of postmodernism,” demikian R. Albert Mohler, Jr. mengawali artikelnya yang dimuat dalam sebuah antologi yang bertemakan “tantangan pascamodernisme bagi Kekristenan Injili.”3 Pendapat Mohler tersebut adalah sebuah fakta yang tidak dapat disangkal bahwa pengaruh (negatif) pascamodernisme merupakan ancaman bagi Kekristenan, termasuk di dalam ranah hermeneutika.4 Menurut Roy B. Zuck, hermeneutika adalah “sains sekaligus seni”dalam menafsir Alkitab.5 Hermeneutika, di satu sisi adalah sains karena ia adalah teknik menafsir Alkitab dengan mengikuti kaidah-kaidah tertentu,6 di sisi lain ia juga adalah seni karena melibatkan imajinasi dan perasaan penafsir, serta membutuhkan keterampilan penafsir untuk menerapkan kaidah-kaidah penafsiran tersebut.7 Namun, hermeneutika tidak berhenti pada teknik menafsir Alkitab; hermeneutika juga harus mengaplikasikan hasil penafsiran tersebut pada situasi kontemporer.8

Selain sains dan seni, Osborne menambahkan satu unsur lagi dalam hermeneutika, yaitu tindakan spiritual (spiritual act karena menurutnya, penafsiran Alkitab dilakukan di bawah pimpinan Roh Kudus).9 Sehubungan dengan adanya pengaruh pascamodernisme terhadap hermeneutika biblika, artikel ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut ini: (1) Apa saja dan sejauh mana pengaruh (negatif) pascamodernisme terhadap hermeneutika? (2) Bagaimana seharusnya kita menghadapi pengaruh-pengaruh tersebut? (3) Apakah pascamodernisme hanya berdampak negatif? Adakah sumbangsih positif dari pascamodernisme bagi hermeneutika biblika?




KARAKTERISTIK PASCAMODERNISME YANG MEMENGARUHI HERMENEUTIKA BIBLIKA
Mendefinisikan pascamodernisme tidaklah mudah karena tidak seragamnya para ahli dalam mendefinisikannya. Beberapa definisi atas pascamodernisme yang pernah ditawarkan antara lain:
Jean Francois Lyotard menyebutnya “akhir dari narasi-narasi besar”atau “ketidakpercayaan terhadap narasi-narasi besar;”Fredric Jameson, “upaya untuk mengatur suhu zaman tanpa alat bantu dan dalam situasi di mana kita bahkan tidak yakin lagi adanya sesuatu yang begitu koheren sebagai suatu ‘zaman’ atau Zeitgeist (‘semangat zaman’) atau ‘sistem’ atau ‘situasi masa kini’”; Terry Eagleton, “ragam gaya hidup dan permainan bahasa yang heterogen yang menyudahi nostalgia desakan untuk mentotalkan [sic] serta mengesahkan dirinya sendiri;”atau Richard Bernstein, “suatu serangan melawan humanism serta legasi pencerahan.”10

Selain itu, kalangan pascamodern sendiri menolak untuk mendefinisikan pascamodernisme secara bulat, utuh, dan monolitik karena justru pengertian semacam itulah yang ditolak oleh pascamodernisme.11 Secara garis besar, ragam definisi pascamodernisme dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah yang mendefinisikan pascamodernisme sebagai sebuah periodisasi yang terjadi setelah masa modern.12 Sedangkan kelompok kedua memandang pascamodernisme sebagai produk budaya yang menolak, menyempurnakan, merevolusi, atau mendekonstruksi modernisme.

Dari sekian banyak karakteristik pascamodernisme, penulis hanya memilih tiga karakteristik yang paling berpengaruh terhadap hermeneutika biblika. Tiga karakteristik itu adalah: (1) Tiadanya kebenaran objektif; (2) Permasalahan bahasa: dari prastrukturalisme ke pascastrukturalisme; (3) Matinya sang pengarang: dari makna pengarang menuju makna pembaca.13


Tiadanya Kebenaran Objektif
Bangkitnya modernisme diinspirasikan oleh Rene Descartes yang melalui wawasan humanismenya menjadikan manusia—dengan segala kemampuan rasionya—pusat dan tolok ukur alam semesta. Kemudian filsafat Descartes dikokohkan oleh gerakan Pencerahan (Enlightenment/Aufklärung) di mana sains mendominasi umat manusia. Pada saat itu, berkembang filsafat positivisme yang memiliki keyakinan akan adanya fakta yang objektif, dan juga semua fakta dapat dijelaskan dan diuji melalui teori yang objektif.14 Yang dimaksud dengan objektif di sini adalah memiliki realitas dan validitas yang extra-mental, yaitu realitas dan validitas yang berlaku secara universal bagi semua orang—tidak peduli apakah orang itu menganggapnya sebagai kebenaran atau tidak—dan melintasi ruang dan waktu.15 Selain keobjektifan ilmu pengetahuan dan kebenaran, hal lain yang menandai zaman modern adalah keyakinan yang kokoh akan kebaikan (goodness) dan kepastian (certainty) rasio manusia dan ilmu pengetahuan.16

Di pihak lain, pascamodernisme menolak kebenaran objektif yang diagungkan oleh modernisme. Bagi penganut pascamodernisme, tidak ada satu pun kebenaran yang objektif; sebaliknya semua kebenaran hanya partikular, terbatas, dan insuler.17 Menurut Carson, Immanuel Kant dalam tulisannya yang berjudul The Critique of Pure Reason telah menjadi benih bagi tumbuhnya pascamodernisme.18 Dalam tulisan itu Kant menyatakan bahwa diri (self) tidak dapat menemukan secara objektif apa yang ada di dalam dunia, tetapi sebaliknya “projects order creatively uponthe world.”19 Penolakan pascamodernisme atas adanya kebenaran yang absolut dan objektif menjadi ancaman serius bagi Kekristenan, secara khusus bagi otoritas Alkitab yang diyakini oleh orang Kristen golongan Injili sebagai tulisan yang diinspirasikan Allah.20 Jika penganut pascamodernisme mengklaim tidak ada kebenaran yang objektif, maka dengan sendirinya otoritas Alkitab yang universal atas diri pemercaya Kristen tidak diakui.

Lalu, apa dampak hal itu bagi hermeneutika biblika? Seperti yang telah dijelaskan pada bagian prolog, tugas hermeneutika tidak sekadar menemukan makna teks Alkitab tetapi lebih jauh lagi ia harus mengaplikasikan makna (baca: kebenaran) itu dalam kehidupan pembacanya. Jika kebenaran Alkitab tidak dianggap absolut, maka—sama dengan karya sastra lain atau buku sejarah—pengaplikasian kebenaran Alkitab bukanlah hal yang mutlak. Dengan demikian, maka hermeneutika telah gagal dalam melaksanakan tugasnya.

Pengaruh lain dari tiadanya kebenaran yang objektif adalah terciptanya subjektivisme dalam penafsiran Alkitab. Jika kebenaran yang objektif disangkal, maka semua hasil tafsir adalah benar dan sah, meskipun berbeda satu sama lain bahkan saling bertolak belakang.21 Iklim subjektivisme itu akan menyuburkan penafsiran-penafsiran “ngawur,”dan tak jarang penafsiran Alkitab yang anarkis, yaitu “pemerkosaan”makna (yang dimaksud) penafsir terhadap makna (yang dimaksud) penulis Alkitab.22


Permasalahan Bahasa: Dari Prastrukturalisme ke Pascastrukturalisme
Menurut Sugiharto, saat ini filsafat sedang mengalami pembalikan ke arah bahasa (lingistic turn). Sekitar seratus tahun yang lalu, istilah kunci dalam filsafat adalah “akal,”“Roh,”“pengalaman,”dan “kesadaran.”Kini, istilah kunci itu adalah “bahasa.”23 Seorang tokoh yang memberikan pengertian baru dalam bidang linguistik adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913). Saussure tidak menyetujui pandangan umum pada masanya, yang mengatakan bahwa bahasa harus dipandang secara historis. Pada masa itu, studi tentang bahasa menekankan perilaku linguistik actual (perkataan manusia; yang disebut Saussure sebagai parole), yaitu sebuah usaha untuk menelusuri perkembangan kata-kata dan ekspresi dengan meneliti pengaruh geografi, migrasi, pergerakan populasi dan hal-hal eksternal lainnya.24 Namun, Saussure menawarkan pendekatan yang berbeda, yaitu pendekatan antihistoris yang memandang bahasa sebagai sebuah sistem yang koheren secara internal (yang disebutnya langue).25

Pandangannya ini disebut dengan strukturalisme karena menekankan struktur bahasa ketimbang perkembangan historis sebuah bahasa. Oleh sebab itu, teori Saussure disebut bersifat sinkronis (ahistoris, menekankan pada literary) yang berbeda dengan sifat diakronis (historis, menekankan pada perkembangan bahasa).26 Pandangan Saussure tersebut memberikan pengaruh terhadap lahirnya kritik sastra (literary criticism), yaitu: metode penafsiran yang memfokuskan pada penelitian sastra tanpa memusingkan masalah-masalah historis seperti: identitas penulis, keadaan sosial budaya penulisan Alkitab, pembaca pertama dan sebagainya.

Macam-macam kritik sastra antara lain kritik naratif (narrative criticism)27 dan kritik retorik (rhetorical criticism).28 Strukturalisme dengan sifat antihistorisnya telah membuka jalan munculnya pandangan yang disebut pascastrukturalisme. Pandangan pascastrukturalisme ini diusung oleh sejumlah pemikir kontemporer Perancis seperti: Roland Barthes (1915-1980), Michael Foucault (1926-1984), Pierre-Félix Guattari (1903-1992), Julia Kristeva (1941- ), dan Jacques Derrida (1930-2004). Para pemikir ini memiliki pandangan yang berlawanan dengan yang diyakini oleh strukturalisme. Bila strukturalisme berpandangan sistem bahasa itu stabil, bagi mereka justru sistem bahasa itu sangat labil.29 Berkenaan dengan itu, Derrida menyatakan bahwa kestabilan stuktur sistem bahasa seperti yang dinyatakan oleh strukturalisme adalah upaya untuk mengontrol dan mereduksi fenomena ke dalam sistem yang baku; padahal menurutnya, bahasa tidak dapat direduksi dan dibakukan karena selalu terbuka kemungkinan-kemungkinan yang baru.30 Pembatasan teks oleh struktur yang baku merupakan contradictio in terminis dengan watak teks yang terbuka dan jalin menjalin.

“Teks”berakar dari bahasa Latin textus, yang berarti kain (tissu) dan kata texere yang berarti rajutan (tisser). Dengan demikian, teks pada prinsipnya selalu bersifat intertekstual dan saling berjalin dengan teks-teks lain di dalam proses yang tidak kunjung usai.31 Kritik lain Derrida atas strukturalisme adalah strukturalisme masih dipengaruhi logosentrisme filsafat modern. Yang dimaksud dengan logosentrisme ialah “the general assumption that there is a realm of ‘truth’ existing prior to and independent of its representation by linguistic signs.”32 Para filsuf modern meyakini bahwa suatu bahasa ada untuk menandai (to signify) dan mewakili logosentrisme itu.33 Namun, bagi Derrida logosentrisme tidak ada karena tidak ada sesuatu pun yang menjadi dasar sistem pikiran dan bahasa manusia.34 Oleh sebab itu, dibanding menelusuri logosentrisme di balik suatu teks, Derrida lebih memilih mendekonstruksi teks. Dekonstruksi, yang merupakan ciri khas penafsiran pascamodern, adalah “usaha untuk membongkar teks demi menemukan kontradiksi-kontradiksi yang inheren di dalam teks, lalu membiarkan teks itu centang-perenang sehingga tidak dimungkinkan untuk dibangun kembali.”35 Coba bayangkan, apa yang akan terjadi bila dekonstruksi dipraktikkan dalam penafsiran Alkitab? Selain dekonstruksi menghancurkan otoritas Alkitab, cara penafsiran seperti ini akan membuat Alkitab kehilangan maknanya karena semua teksnya telah dibongkar habis.36


Matinya Sang Pengarang: Dari Makna Pengarang Menuju Makna Pembaca
Julukan bapak penafsiran modern dikenakan pada diri Friedrich Schleiermacher (1768-1834) atas jasanya dalam merumuskan metodologi penafsiran yang baku.37 Menurutnya, penafsiran Alkitab tidak cukup dilakukan hanya melalui penyelidikan grammatika, melainkan juga penafsiran psikologis atas diri pengarang. Penafsiran psikologis tersebut dilakukan melalui intuisi, imajinasi, dan empati penafsir atas pengalaman hidup pengarang.38 Dengan melakukan baik penyelidikan grammatika maupun penafsiran psikologis pengarang, menurutnya, niscaya penafsir akan menemukan makna yang dimaksud pengarang bahkan lebih lengkap dari yang dimiliki pengarang.39

Pandangan Scheiermacher itu diteruskan dan disempurnakan oleh penulis biografinya, Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey berpandangan bahwa melalui ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), yang memiliki wilayah studi yang berbeda dengan ilmu-ilmu alam (Naturwissenschaften), seorang penafsir mungkin memahami kehidupan dan pengalaman pengarang.40 Pemahaman akan kehidupan dan pengalaman pengarang itu mungkin dimiliki oleh penafsir, karena menurutnya terdapat “keterhubungan hidup”(the connected of life) antar umat manusia di segala tempat dan zaman.41 Schleiermacher beserta Dilthey telah berhasil meletakkan dasar bagi metode kritik historis (historical criticism)—meliputi kritik sumber (source criticism), kritik bentuk (form criticism) dan kritik redaksi (redactional criticism)—yang bertujuan mencari makna yang dimaksudkan oleh pengarang.42

Pada tahun 1960 Hans-Georg Gadamer (1900-2002) menerbitkan magnum opus-nya, Wahrheit und Methode (Truth and Method). Dalam buku itu, ia merevisi pengertian hermeneutika seperti yang telah dijelaskan oleh Schleiermacher. Baginya, hermeneutika bukanlah sebuah proses mekanis melainkan suatu pekerjaan seni sehingga tidak dapat menghasilkan kebenaran objektif seperti yang dihasilkan oleh penelitian ilmiah.43 Bertentangan dengan Schleiermacher, ia menyangkal adanya kemungkinan penafsir untuk dapat memahami pikiran dan maksud pengarang maupun sejarah masa lampau mengingat di antaranya terbentang jarak waktu dan budaya yang lebar.44 Gadamer juga menentang pendapat Dilthey yang mengklaim adanya prinsip yang objektif untuk dapat memahami pengalaman orang lain pada masa lampau.45

Pandangan Gadamer itu telah memicu tumbuhnya penafsiran yang berorientasi pada teks, seperti yang dipelopori oleh seorang filsuf Perancis bernama Paul Ricoeur (1913-2005). Ricoeur beranggapan bahwa teks itu bukanlah sebuah sistem yang bersifat tertutup, melainkan bersifat otonom. Artinya, teks memiliki hidupnya sendiri yang terlepas dari diri sang pengarang, sehingga teks terbuka akan kemungkinan dibaca lebih luas sesuai dengan konteks pembacanya. Ricoeur menyatakan bahwa menafsir adalah pertama-tama melakukan dekontekstualisasi, yaitu proses membebaskan teks dari konteks pengarangnya dan dilanjutkan dengan rekontekstualisasi, yaitu: proses memasukkan teks ke dalam konteks pembacanya.46 Pemikiran Ricoeur ditambah dengan strukturalisme ala Saussure telah menyuburkan metode kritik sastra (literary criticism). Rupanya, pendulum hermeneutika tidak berhenti pada penafsiran yang berpusat pada makna teks, namun telah bergerak kepada penafsiran yang berpusat pada pembaca. Salah satu bentuk penafsiran semacam ini adalah kritik respons-pembaca (reader-response criticism) yang dipelopori oleh Stanley Fish (1938- ) dan Wolfgang Iser (1926- ). Asumsi dasar dari kritik respons-pembaca ialah teks tidak pernah lengkap dan hidup sebelum dilengkapi dan dihidupkan oleh pembaca. Menurut mereka teks itu sendiri masih merupakan “bahan mentah”yang harus diolah oleh pembaca.47 Secara garis besar metode kritik respons-pembaca dibagi menjadi dua, yaitu: yang konservatif dan yang radikal. Kritik respons pembaca yang konservatif berpandangan bahwa tugas penafsir adalah menemukan makna dengan mengisi “lubang-lubang”yang terdapat pada teks dengan makna mereka sendiri.48 Sedang kritik respons-pembaca yang radikal menolak adanya makna normatif yang dimaksudkan pengarang sehingga pembaca berhak mengisi teks dengan makna mereka sendiri. Kritik respons-pembaca ini, terlebih yang radikal, akan menghasilkan subjektivisme yang liar. Semangat pascamodernisme yang menjiwai kritik respons-pembaca ini membuka peluang bagi berbagai kritik ideologis (ideological criticism), seperti kritik feminis (feminist criticism), kritik theologi hitam (black theology criticism), kritik pembebasan (liberation criticism) atau kritik homoseksual (gay criticism).49

Kritik ideologis sangat bersifat subjektif karena ia tidak berusaha mencari makna yang dimaksud pengarang, namun sebaliknya memasukkan ideologi atau theologi yang dimiliki penafsir ke dalam penafsiran, seperti yang ditulis Kwok Pui Lan, seorang tokoh feminis Asia,
Since I reject both the sacrality of the text and the canon as a guarantee of truth, I also do not think that Bible provides the norm for interpretation in itself. For a long time, such “mystified”doctrine has taken away the power from women, the poor and the powerless, for it helps to sustain the notion that the “divine presence”is located somewhere else and not in ourselves. Today, we must claim back the power to look at the Bible with our own eyes and to stress that divine immanence is within us, not in something sealed off and handed down from almost two thousand years ago.50

Subjektivisme metode penafsiran pascamodernisme mencapai puncaknya dalam metode dekonstruksi yang “diilhami”oleh filsafat dekonstruksi Derrida. Metode penafsiran dekonstruksi melakukan pembongkaran atas teks Alkitab dengan mencari kontradiksi-kontradiksi di dalam dirinya sendiri maupun dengan pemahaman dan pengalaman penafsir, sehingga tidak jarang penafsiran dekonstruktif justru mempersalahkan teks-teks Alkitab ketimbang mencari makna yang terkandung di dalamnya dan mengaplikasikan makna tersebut.51




TANGGAPAN
Kritik utama atas hermeneutika biblika yang dipengaruhi pascamodernisme adalah penafsiran ini sangat kental dengan subjektivisme, karena menurut mereka setiap penafsir sah untuk memasukkan maknanya sendiri dalam proses hermeneutika. Subjektivitas semacam itu tidak dapat diterima. Seorang penafsir tidak diperkenankan memasukkan maknanya sendiri, melainkan ia harus berusaha menemukan makna yang dimaksud penulis Alkitab. Menurut Vanhoozer, maksud penulis adalah penyebab terciptanya sebuah teks. Teks itu sendiri tidak pernah berdiri sendiri, melainkan ia hanya “dipinjam”oleh penulis untuk menyampaikan maksudnya.52 Oleh sebab itu, penafsiran yang benar adalah penafsiran yang bertujuan menemukan makna yang dimaksud oleh pengarang, seperti yang diucapkan E. D. Hirsch, “All valid interpretation, of every sort, is founded on the recognition of what an author meant.”53

Lebih lanjut, kita meyakini bahwa Allah adalah Penulis Utama di balik para penulis Alkitab. Allah, dalam keMahatahuan dan keMahakuasaan-Nya, telah menginspirasikan para penulis Alkitab untuk memilih kata-kata tertentu sehingga kebenaran-kebenaran-Nya dapat terkomunikasikan dengan baik (2Tim. 3:16). Tentu saja kita yang berdosa dan terbatas ini mungkin saja salah dalam mengerti Alkitab, namun Alkitab itu sendiri tetaplah objektif, seperti yang ditulis oleh Carson,
Of course, we will misunderstand the communication in all sorts of ways, owing both to our finiteness and to our sinfulness. But the content itself is objectively true, a subset of what Omniscience knows, and cast in culture-laden forms that demand of modern reader that we attempt to fuse the horizon of our understanding with that of the culture and language in which the deposit was given. Moreover, this God not only knows perfectly and in advance what wrong interpretation mortals will assign his words, he also knows that some later mortal will see true connections (meanings) in the complex of his words. . . .54

Kelemahan kedua dari hermeneutika yang dipengaruhi faham pascamodernisme adalah sifatnya yang ahistoris bahkan antihistoris. Padahal, Alkitab bukanlah karya sastra biasa—semacam buku fiksi atau sebuah antologi puisi—melainkan Alkitab menceritakan sejarah umat Allah yang bergumul dalam melaksanakan kehendak Allah dalam hidup mereka. Jadi, tugas hermeneutika pertama-tama adalah melakukan penelitian sejarah terhadap teks Alkitab (identitas penulis, latar belakang zaman penulis, keadaan pembaca pertama) di samping melakukan penelitian sastra (literary) untuk, sedapat mungkin, menemukan makna yang dimaksud pengarang.55

Selain memiliki kelemahan, pascamodernisme memberikan sumbangsih kepada hermeneutika. Paling sedikit ada dua sumbangsih; pertama, pascamodernisme “mengajar”kita untuk memperhatikan konteks pembaca dalam melakukan penafsiran Alkitab. Pada satu pihak, pascamodernisme terlalu menekankan konteks pembaca dan mengabaikan konteks pengarang sehingga melahirkan penafsiran Alkitab yang anarkis, di pihak lain sebagian penafsir kadangkala kurang “membumi”dalam mengaplikasikan makna (baca: kebenaran) Alkitab ke dalam konteks pembaca sehingga kebenaran Alkitab dirasakan di awang-awang.

Kedua, pascamodernisme “menyadarkan”kita bahwa praanggapan (presupposition) seorang penafsir pasti memengaruhi proses hermeneutika. Berkaitan dengan hal itu, Robertson McQuilkin dan Bradford Mullen menulis demikian:
Apart from these basic disagreement with postmodern thinking, however, we recognize some legitimate contributions to evangelical thinking, primarily in alerting us to issues that we have not sufficiently addressed. Postmodern perspectives have sensitized us to the difficulty of verbal communication, alerted us to nearly imperceptible influence of preunderstanding....56

Berkaitan hal tersebut, Graham N. Stanton menyatakan hal yang benar bahwa “Even a master of historical method is not able to remain completely free from the prejudice of his time, his social environment, his national position etc.”57

Bagi pemikir pascamodernisme, praanggapan penafsir memiliki peran yang penting, kalau tidak dikatakan yang paling utama, dalam hermeneutika. Menurut mereka, karena sang pengarang telah mati, maka setiap penafsir memiliki hak yang sama untuk memaknai teks menurut praanggapan mereka masing-masing.58 Bagi kita yang percaya bahwa otoritas Alkitab mutlak dan mengutamakan pencarian makna yang dimaksud oleh para penulis Alkitab, pandangan yang diyakini oleh pascamodernisme itu seharusnya ditolak. Namun ironis, kita sendiri sering terjebak di dalam praktik penafsiran Alkitab subjektif ala pascamodernisme yang sebenarnya kita tolak. Sebagai contoh, betapa seringnya kita mengutip ayat-ayat Alkitab demi melakukan atas pandangan theologis atau pendapat kita (proofing text)?59 Mengenai hal ini Osborne menyatakan pendapatnya:
I might note that a great deal of what the deconstructionist argues actually occurs in some modern preaching and Bible study groups. The tendency has often been to ignore the historical dimension of biblical text and to ask directly, “How does this relate to my situation?”The difference of course that Derrida denies the historical referent while many evangelical merely unaware of it. However, the result (namely, subjective interaction with text) is quite similar.60

Penafsiran yang menafikan makna historis bukanlah eksegesis melainkan eisegesis. Meski kita tidak menyetujui sebagian pandangan Rudolf Bultmann, pendapatnya berikut ini adalah benar, “every exegesis that is guided by dogmatic prejudices does not hear what text says, but only lets the latter says what it want to hear.”61

Jika kita menerima fakta bahwa seorang penafsir tidak mungkin dapat melepaskan diri dari praanggapannya, lalu bagaimana caranya agar kita dapat menafsir Alkitab secara objektif? Menjawab pergumulan itu, ada beberapa rambu yang harus kita patuhi supaya kita tidak terjebak pada subjektivisme buta. Pertama, kita harus sadar bahwa kita menafsir Alkitab dengan praanggapan tertentu.62 Meski praanggapan dapat menjerumuskan penafsir ke dalam jurang subjektivisme, namun sebetulnya praanggapan diperlukan sebagai dasar untuk mengerti Alkitab.63 Untuk itu, kita harus sadar bahwa saat menafsir Alkitab, kita sedang menafsir dengan praanggapan kita, entah itu pemahaman theologis atau pengalaman kita. Kesadaran ini penting untuk menaati rambu yang berikutnya.

Kedua, kita harus selalu terbuka untuk dikoreksi oleh kebenaran-kebenaran firman Tuhan. Osborne menyebut pengoreksian praanggapan penafsir oleh kebenaran-kebenaran secara terus-menerus sebagai spiral hermeneutika.64 Spiral hermeneutika adalah sebuah proses yang terus berputar antara penafsir dan Alkitab. Pertama-tama penafsir membaca Alkitab dengan praanggapan tertentu, namun jika penafsiran itu menghasilkan kebenaran yang berbeda dengan praanggapan penafsir, ia harus bersedia dikoreksi oleh kebenaran firman Tuhan. Pemahaman yang telah dikoreksi oleh kebenaran firman Tuhan itu kini menjadi praanggapan penafsir yang baru untuk menafsirkan Alkitab begitu seterusnya sehingga secara progresif penafsir mencapai pemahaman yang benar.65

Ketiga, penafsir harus menggunakan alat-alat dan metode tafsir yang tepat. Yang dimaksud dengan alat-alat tafsir adalah segala hal yang dapat membantu penafsir melakukan tugasnya dengan maksimal, seperti kamus bahasa Ibrani dan Yunani, buku tata bahasa Ibrani dan Yunani, konkordansi, kamus Alkitab dan buku-buku latar belakang politik ekonomi- sosial-budaya zaman penulisan Alkitab. 66 Sedang metode penafsiran yang tepat adalah menafsirkan teks Alkitab sesuai dengan genrenya, melakukan penyelidikan bahasa yang ketat, dan menelusuri latar belakang sejarah penulisan Alkitab.67

Keempat, sebagai bagian dari komunitas orang percaya seorang penafsir harus berinteraksi dengan tafsiran-tafsiran lainnya agar hasil penafsiran kita tidak subjektif.68




EPILOG
Setiap zaman—pramodern, modern, dan pascamodern—dengan karakteristiknya masing-masing telah memberikan pengaruh terhadap hermeneutika biblika. Dalam makalah ini telah dibahas bahwa pascamodernisme telah memberikan pengaruh-pengaruh yang buruk terhadap penafsiran Alkitab, yaitu sifatnya yang ahistoris serta subjektivitas yang anarkis terhadap otoritas kebenaran Alkitab. Namun, di lain pihak pascamodernisme “memaksa”kita untuk memikirkan dengan serius mengenai peran praanggapan dalam penafsiran Alkitab.

Setelah zaman pascamodern ini entah zaman apa lagi yang akan memengaruhi peradaban umat manusia. Namun zaman apa pun tidak akan pernah dapat menggerus otoritas Alkitab, karena kebenaran firman Allah itu kekal seperti diri Allah sendiri, “The authority of the holy Scripture, for which it ought to be believed and obeyed, dependent not upon the testimony of any man or church, but wholly upon God (who is truth itself), the author thereof.”69




Catatan kaki:
1. Penulis dengan sengaja menggunakan istilah “hermeneutika biblika”dalam artikel ini mengingat hermeneutika dipakai juga secara luas dalam disiplin ilmu lain, seperti: filsafat (mis. lih. Gianni Vattimo, Beyond Interpretation: the Meaning of Hermeneutics for Philosophy [tr. David Webb; Palo Alto: Stanford University Press, 1997]).
2. Beyond Deconstruction: The Uses and Abuses of Literary Theory (Oxford: Clarendon, 1985), hlm. 204.
3. “The Integrity of the Evangelical Tradition and the Challenge of the Postmodern Paradigm”dalam The Challenge of Postmodernism: An Evangelical Engagement (ed., David S. Dockery; Grand Rapids: Baker, 2001), hlm. 67. Dalam buku yang sama, Carl F. Henry menulis sebuah artikel yang berjudul “Postmodernism: The New Spectre?”(ibid., hlm. 34-52). Dalam kaitan ini adalah penting bagi pembaca untuk mengetahui bahwa terdapat perbedaan yang cukup hakiki antara pascamodernisme dengan pascamodernitas. I. Bambang Sugiharto mendefinisikan pascamodernitas sebagai situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara bangsa, serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi (Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat [Yogyakarta: Kanisius, 1996], hlm. 24). Istilah “pascamodernisme”pertama kali muncul pada tahun 1934 dalam karya sastra yang ditulis oleh Frederico de Oniz yang berjudul Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana. Dalam karya itu, de Oniz menuliskan kata “postmodernismo”untuk menunjukkan reaksi terhadap modernisme. Namun, penggunaan yang signifikan terhadap kata itu dilakukan oleh Arnold Tonybee yang pada tahun 1939 menyatakan bahwa masa modern telah berakhir pada tahun 1914, dan era yang bangkit dari puing-puing pengalaman kegalauan akibat Perang Dunia I harus disebut dengan “Post-Modern”(ibid.; bdk. Mohler, “The Integrity”, hlm. 54).
4. Pascamodernisme telah memengaruhi segala lini kehidupan; salah satu buktinya adalah istilah ini tidak hanya dipakai dalam bidang filsafat tetapi juga dalam bidang musik (mis. Cage, Stockhausen, dan Glass), seni rupa (Rauschenberg, Baselitz, Warhol, dan Bacon), fiksi (mis. novel-novel dari Vonnegut, Barth, Pynchon, dan Burroughs), film (Lynch, Greenaway, dan Jarman), drama (teater dari Artaud), kritik sastra (mis. Spanos, Hassan, Sontag, dan Fiedler), antropologi (Clifford, Tyler, dan Marcus), sosiologi (Denzin), dan geografi (Soja) (Sugiharto, Postmodernisme, hlm. 23).
5. Basic Bible Interpretation (Wheaton: Victor, 1991) 19; bdk. Grant R. Osborne, The Hermeneutical Spiral: A Comprehensive Introduction to Biblical Interpretation (Downers Grove: InterVarsity, 1991), hlm. 5. Kata “hermeneutika”dari kata Yunani hermēneuō yang berarti “to explain, to interpret, to translate”(William F. Ardnt dan Willbur Gingrich, A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature [2nd ed.; Chicago: The University of Chicago Press, 1979], hlm. 310).
6. Elliot E. Johnson, Expository Hermeneutics: An Introduction (Grand Rapids: Zondervan, 1990), hlm. 8; Zuck, Basic Bible Interpretation, hlm. 19; William W. Klein, Craig L. Blomberg, dan Robert L. Hubbard Jr., Introduction to Biblical Interpretation (Dallas: Word, 1993) xix, 4, 19, 97; Osborne, The Hermeneutical Spiral 5, 353; Moses Silva dan Walter C. Kaiser Jr., An Introduction to Biblical Hermeneutics: The Search for Meaning (Grand Rapids: Zondervan, 1994) 15; Millard J. Erickson, Evangelical Interpretation (Grand Rapids: Baker, 1993), hlm. 9; Robert L. Thomas, Evangelical Hermeneutics: The New Versus Old (Grand Rapids: Kregel, 2002), hlm. 27.
7. Yohanes Adrie Hartopo, “Catatan Kuliah Isu-Isu Hermeneutika Kekinian”(Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2006); Osborne, The Hermeneutical Spiral, hlm. 5.
8. Ibid. 5, hlm. 265; Gordon D. Fee dan Douglas Stuart, How to Read the Bible for All Its Worth (2nd ed.; Grand Rapids: Zondervan, 1993), hlm. 25; Klein, Introduction, hlm. 18; Dan McCartney dan Charles Clayton, Let the Reader Understand: A Guide to Interpreting and Applying the Bible (Wheaton: Victor, 1994), hlm. 78.
9. The Hermeneutical Spiral, hlm. 5. Sebuah bacaan yang dapat membantu kita untuk mengerti peran Roh Kudus dalam penafsiran Alkitab ditulis oleh Roy B. Zuck, “The Role of the Holy Spirit in Hermeneutics,”Bibliotheca Sacra 141/2 (1984), hlm. 120-129.
10. Nindyo Sasongko, “Tinjauan Terhadap Hermeneutika Tindak-Komunikatif Sebagai Metode Bertheologi Injili yang Hermeneutis di Era Pascamodern”(Skripsi S.Th.; Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2002), hlm. 2-3.
11. Hal itu diungkapkan antara lain oleh Dick Hebdige, “upaya pendefinisian posmodernisme hanya mengundang munculnya masalah-masalah”(dikutip dalam Yasfar Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna [Yogyakarta: Jalasutra, 2003], hlm. 101) bdk. Christian Sulistio, “Penerapan Konsep Kebenaran Cornelius Van Til untuk Menghadapi Tantangan Pascamodernisme”(Tesis M.Th.; Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2004), hlm. 1.
12. Yang mendefinisikan demikian misalnya adalah Kristi Siegel, “Introduction to Modern Literary Theory: Literary Trends and Influences,”
http://www.kristisiegel.com/theory.htm.
13. Karakteristik pascamodernisme lainnya yang tidak dibahas dalam makalah ini antara lain: anti fondasionalisme, menolak proses, penekanan pada komunitas ketimbang individu, dan melibatkan intuisi (Hartopo, “Catatan Kuliah”).
14. Ernest Gellner, Menolak Posmodernisme: Antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius (Jakarta: Mizan, 1994), hlm. 42.
15. D. A. Carson, The Gagging of God: Christianity Confronts Pluralism (Grand Rapids: Zondervan, 1996) 120.
16. Stanley J. Grenz, “Star Trek and the Next Generation: Postmodernism and the Future of Evangelical Theology”dalam The Challenge of Postmodern, hlm. 91.
17. Mohler, “The Integrity of Evangelical Tradition”, hlm. 71.
18. The Gagging of God, hlm. 67.
19. Dikutip dalam ibid.
20. Mohler, “The Integrity of Evangelical Tradition”, hlm. 73.
21. Henry, “Postmodernism: The New Spectre”, hlm. 36.
22. Kevin J. Vanhoozer menyebut penafsiran pascamodern sebagai kekerasan penafsiran (interpretative violence) (Is There Meaning in This Text?: The Bible, The Reader, and the Morality of Literary Knowledge [Grand Rapids: Zondervan, 1998], hlm. 161-162).
23 Postmodernisme 79 bdk. Vanhoozer, Is There Meaning, hlm. 17.
24. Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism (Grand Rapids: Eerdmans, 1996), hlm. 115.
25. Ibid.
26. Beberapa prinsip strukturalisme adalah: (1) prinsip struktural, yaitu: bahasa dilihat memiliki relasi struktural di mana tanda dilihat sebagai kesatuan yang bersifat material; (2) prinsip kesatuan, yaitu: penanda (signifier)—yaitu: suara, tulisan, gambar, objek—tidak dapat dipisahkan dengan petanda (signified), yaitu: konsep, ide, gagasan, makna; (3) prinsip konvensional, yaitu relasi struktural antara penanda dan petanda sangat bergantung pada konvensi, yaitu: kesepakatan sosial di antara komunitas bahasa; (4) prinsip sinkronik, yaitu: kajian tanda sebagai suatu sistem yang tetap pada konteks waktu dianggap konstan, stabil dan tidak berubah; (5) prinsip representasi, yaitu: hubungan antara penanda dan petanda bersifat mewakili. Dengan kata lain, keberadaan penanda sangat bergantung pada realitas. Dalam hal ini realitas mendahului penanda; ketiadaan realitas berakibat logis pada ketiadaan tanda; (6) prinsip kontinuitas, yaitu: relasi struktural penanda dan petanda selalu berlanjut dan tidak pernah berubah, sehingga di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perubahan radikal (Piliang, Hipersemiotika, hlm. 47-49).
27. Secara garis besar kritik naratif adalah penafsiran Alkitab dengan melakukan sebuah “pembacaan yang cermat”(close reading) terhadap teks Alkitab dengan memperhatikan kaidah-kaidah penceritaan, tanpa melakukan pendekatan historis. Secara umum kaidah-kaidah tersebut menyangkut dua hal, yaitu: isi cerita dan cara penyampaian cerita. Yang dimaksud dengan isi cerita antara lain: (1) tokoh; (2) alur cerita; (3) adegan; (4) latar (setting): tempat, waktu, dan suasana. Sedangkan cerita disampaikan dengan cara: (1) pengulangan; (2) pemelukan (inklusio); (3) kesejajaran; (4) rujukan pada Perjanjian Lama; (5) nubuatan; (6) ringkasan; (7) kontras. Untuk mengerti metode kritik ini secara mendetail dapat membaca beberapa tulisan berikut: Armand Barus, “Analisis Naratif: Apa dan Bagaimana?,”Forum Biblika 9 (1999) 48-60; Adji A. Sutama, Mengapa Kamu Menengadah ke Langit?: Analisis Naratif Kisah Kenaikan Yesus (Jakarta: Gunung Mulia, 2001); Adji A. Sutama, “Hermeneutik Kritik Naratif dan Posmodernisme,”Penuntun 3/20 (2004), hlm. 365-381; Osborne, The Hermeneutical Spiral, hlm. 153-173; E. Gerrit Singgih, “Apa dan Mengapa Exegese Naratif?,”Gema 45 (1993), hlm. 5-26; Steven L. McKenzie dan Stephen R. Haynes, eds., To It’s Own Meaning: A Introduction to Biblical Criticisms and Their Application (rev. & ed.; Lousville: Westminster: John Knox, 1999), hlm. 201-229.
28. Kritik retorik adalah metode penafsiran dengan membaca Alkitab secara cermat (close reading) dengan memperhatikan struktur dan substansi teks serta gaya penulisan, kebanyakan digunakan untuk menafsirkan surat-surat. Penjelasan lebih dalam mengenai kritik retorik dapat dibaca dalam ibid., hlm. 156-180; Duane F. Watson dan Alan J. Hauser, Rhetorical Criticism of the Bible: A Comprehensive Bibliography with Notes on History Method (Leiden: E. J. Brill, 1994); George A. Kennedy, New Testament Interpretation through Rhetorical Criticism (Cape Hill: University of North Carolina Press, 1987).
29. Vanhoozer, Is There, hlm. 150.
30. Muhammad Al-Fayyadl, Derrida (Yogyakarta: LkiS, 2005), hlm. 63.
31. Ibid., hlm. 64, 68.
32. “Deconstruction”dalam Encyclopædia Britannica 2005 [CD ROM] (Chicago: Encyclopædia Britannica Inc., 2005). Dalam tulisan-tulisan filsafat logosentrisme itu adalah sang pengarang sebagai subjek yang memiliki otoritas terhadap makna yang hendak disampaikannya (Al-Fayyadl, Derrida, hlm. 16).
33. Grenz, A Primer, hlm. 141.
34. Ibid., hlm. 142.
35. Al-Fayyadl, Derrida, hlm. 21; bdk. dengan definisi berikut ini, “to deconstruct is to explore the tensions and contradictions between the hierarchical ordering assumed (and sometimes explicitly asserted) in the text and other aspects of the text's meaning, especially those that are indirect or implicit or that rely on figurative or performative uses of language”(“Denconstruction”dalam Britannica).
36. Yasraf Amir Piliang menyatakan bahwa penafisiran pascamodernisme yang dekonstruktif akan menghasilkan “diseminasi” yakni keadaan kehampaan makna (Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan [Yogyakarta: Jalasutra, 2004], hlm. 268-269).
37. Hartopo, “Catatan Kuliah.” Meski demikian, menurut Anthony Thiselton, Schleiermacher bukanlah orang pertama yang memikirkan metodologi hermeneutika. Sebelumnya, telah ada orang-orang yang menggumulkan hal tersebut, seperti Origenes dan Irenaeus (lih. “Biblical Studies and Theoritical Hermeneutics”dalam The Cambridge Companion to Biblical Interpretation [ed. John Barton; Cambridge: Cambridge University Press, 1998], hlm. 96).
38. David S. Dockery, Biblical Interpretation Then and Now: Contemporary Hermeneutics in the Light of the Early Church (Grand Rapids: Baker, 1992), hlm. 163.
39. Ibid.
40. E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 50-51.
41. Ibid., hlm. 62.
42. Penjelasan yang mendalam mengenai kritik historis dapat dilihat dalam Roy A. Harrisville dan Walter Sundberg, The Bible in Modern Culture: Theology and Historical-Critical Method from Spinoza to Käsemann (Grand Rapids: Eerdmans, 1992); Edgar Krentz, The Historical-Critical Method (Philadelphia: Fortress, 1975). Sedangkan tanggapan atas metode ini dari kubu Injili dapat dilihat dalam Grant R. Osborne, “Historical Criticism and The Evangelical,”Journal of the Evangelical Theological Society 42/2 (Juni 1999), hlm. 193-210. Pemaparan kelemahan-kelemahan metode kritik historis secara ekstensif dilihat dalam tiga karya Eta Linneman, Historical Criticism of the Bible: Methodology or Ideology? Reflections of a Bultmannian Turned Evangelical (Grand Rapids: Baker, 1990); Is There A Synoptic Problem?: Rethinking the Literary Dependence of the First Three Gospels (Grand Rapids, Baker, 1992); Biblical Criticism on Trial: How Scientific Is "Scientific Theology"? (Grand Rapids: Kregel, 2001).
43. Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 77; Grenz, A Primer on Postmodern, hlm. 109.
44. Dockery, Biblical Interpretation, hlm. 169.
45. Grenz, A Primer on Postmodern, hlm. 109.
46. Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 108-109.
47. Vanhoozer, Is There Meaning153; bdk. Osborne, Hermeneutical Spiral, hlm. 378-380.
48. Ibid.
49. Ibid., hlm. 162-163; Richard L. Pratt, Jr., He Gave Us Story: The Bible Student’s Guide to Interpreting Old Testament Narratives (Grentwood: Wolgemuth & Hyatt, 1990), hlm. 27.
50. “Discovering the Bible in the Non-biblical”dalam Voices from the Margin: Interpreting the Bible in the Third World (ed. R. S. Sugirtharajah; London: Society for Promoting Christian Knowledge, 1991), hlm. 311.
51. Hartopo, “Catatan Kuliah.”
52. Is There Meaning, hlm. 44.
53. Validity in Interpretation (Chicago: University of Chicago Press, 1976), hlm. 126; bdk. pendapat Osborne yang mengatakan bahwa mengetahui makna yang dimaksudkan pengarang adalah tanggung jawab etis seorang penafsir (lih. Hermeneutical Spiral, hlm. 385).
54. The Gagging, hlm. 130-131.
55. Dockery, Biblical Interpretation, hlm. 178.
56. “The Impact of Postmodern Thinking on Evangelical Hermeneutics,”Journal of Evangelical Theological Society 40/1 (Maret 1997) 71 [penekanan ditambah oleh penulis]; bdk. Johnson Liem, “Contemporary Hermeneutics: Bane or Boon?,”Stulos Theological Jurnal 9/1 & 2 (Mei-November 2001), hlm. 6.
57. “Presuppositions in New Testament Criticism”dalam New Testament Interpretation: Essays on Principles and Methods (ed. I. Howard Marshall; Grand Rapids: Eerdmands, 1977), hlm. 62.
58. Vanhoozer, Is There Meaning 162; Robert P. Carrol, “Poststructuralist Approaches New Historicism and Postmodernism”dalam The Cambridge Companion, hlm. 61.
59. Bill Flatt, “Function of Presuppositions and Attitudes in Biblical Interpretation”dalam Biblical Interpretations: Principles and Practices Studies in Honor of Jack Pearl Lewis Professor Bible Harding Graduate School of Religion (eds. F. Furman Kearly, Edward P. Myers, dan Timothy D. Hadley; Grand Rapids: Baker, 1986), hlm. 61.
60. The Hermeneutical Spiral, hlm. 384. John Calvin pun mengatakan hal senada, “it is audacity akin to sacrilege to use the scripture at our own pleasure and to play with them as with a tennis ball, which many before us have done”(dikutip dari Bernard Ramm, Protestant Biblical Interpretation: A Textbook of Hermeneutics [3rd. ed.; Grand Rapids: Baker, 1970], hlm. 58).
61. Dikutip dari Stanton, “Presuppositions in New Testament”, hlm. 64.
62. Liem, “Contemporary Hermeneutics”, hlm. 8-9; Stanton, “Presuppositions in New Testament”, hlm. 62, 68.
63. Hartopo, “Catatan Kuliah.”
64. The Hermeneutical Spiral, hlm. 6.
65. Bdk. McQuilkin, “The Impact of Postmodern Thinking”, hlm. 76; Stanton, “Presuppositions in New Testament”, hlm. 68; Flatt, “Function of Presuppositions”, hlm. 70.
66. Ibid., hlm. 65.
67. Osborne, The Hermeneutical Spiral, hlm. 413-415.
68. Pratt, He Gave Us Story, hlm. 40.
69. The Westminster Confession Faith bab 1 artikel 4 (Atlanta: The Committee for Christian Education & Publication, 1990), hlm. 5.





Sumber:
VERITAS 10/1 (April 2009), hlm. 117-133




Profil Pancha Wiguna Yahya, M.Th.:
Ev. Pancha Wiguna Yahya, M.Th. adalah Dosen Biblika di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) dan Master of Theology (M.Th.) di SAAT Malang.

24 July 2010

Rekaman Seminar Theologi: TITIK TEMU DAN BEDA ISLAM-KRISTEN

Kristen dan Islam: Sama atau Beda?

Temukan jawabannya dalam rekaman:

Seminar Theologi:
TITIK TEMU DAN BEDA ISLAM-KRISTEN

di Universitas Merdeka, Malang

Pembicara:
Kristen:
Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.
adalah Kepala Pusat Kerohanian di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau juga mendapat sertifikat dalam apologetika Kristen di Ravi Zacharias International Academy of Apologetics, India.

Ev. Yakub Tri Handoko, S.Th., M.A., Th.M.
adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya sekaligus sebagai Pendiri dan Dosen Tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR). Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet, Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, Los Angeles, U.S.A. Sejak tahun 2007, beliau sedang menyelesaikan studi Doctor of Philosophy (Ph.D.) part-time di Evangelische Theologische Faculteit, Belgia.

Vs

Islam:
Ust. Ir. A. Muhammad Arezy
Ust. Ir. Subandi Sukoco




Harga: Rp 10.000, 00 (1 DVDR)
(ongkos kirim di luar Surabaya: + Rp 15.000, 00)



TEMUKANLAH KEBENARAN SEJATI YANG SESUAI DENGAN KEBENARAN ASALI DAN AKAL BUDI YANG SEHAT



NB:
Saya mendapat hak langsung dari Ev. Bedjo Lie untuk mengcopy DVDR ini

WHAT'S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-2: Eden dan Dosa-1: Penyimpangan Kebenaran

WHAT’S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-2:
Eden dan Dosa-1: Penyimpangan Kebenaran


oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Kejadian 2:8-3:24 (3:1-5)



Setelah menyelidiki 5 fakta tentang Taman Eden, maka kita masuk ke dalam pembahasan permulaan dosa dari 7 dosa di dalam Taman Eden, yaitu dosa memutarbalikkan kebenaran. Mengapa saya mengatakan bahwa ini merupakan permulaan/awal dosa? Karena dosa dimulai bukan karena tindakannya melawan Allah, namun karena sikap hati yang tidak mau taat kepada kebenaran yang ditandai dengan memutarbalikkan kebenaran. Mari kita menyelidiki satu per satu secara singkat.


Setelah Alkitab mencatat bahwa kedua manusia itu (Adam dan Hawa) telanjang dan tidak menjadi malu, maka di Kejadian 3:1, Alkitab mencatat bahwa iblis datang berupa ular. Mengapa dalam bentuk ular? Alkitab mencatat bahwa ular adalah binatang darat yang paling cerdik. IVP Bible Background: Old Testament memberikan keterangan tambahan bahwa di dalam literatur seni Timur Dekat, ular merupakan sebuah karakter yang signifikan, yaitu racunnya yang berbahaya bagi kehidupan dan matanya yang menunjukkan gambaran yang sukar dimengerti. Dari sini, IVP Bible Background: Old Testament menyimpulkan bahwa gambaran ular merupakan gambaran gabungan antara kematian dan hikmat. Gambaran kematian dan hikmat mengingatkan kita agar kita semakin waspada dengan sosok ular, karena meskipun seolah-olah memberikan hikmat, ular sebenarnya mematikan. Kematian dan hikmat ini akan kita coba selidiki di seluruh Kejadian 3 ini.


Setelah segala sesuatu tampak “aman”, maka iblis datang merayu wanita dengan berkata, “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” (Kej. 3:1) Dari ayat ini, kita mendapatkan penjelasan dua tipu muslihat iblis, yaitu:
Pertama, mengubah sedikit kebenaran. Dengan jelas, iblis merayu wanita itu dengan pertama-tama mengubah sedikit kebenaran, yang lebih celaka, mengubah sedikit kebenaran Allah. Di Kejadian 2:16, Allah berfirman, “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas,” Namun iblis mengubah sedikit kebenaran Allah dengan mengatakan bahwa semua pohon dalam taman ini tidak boleh dimakan buahnya. Perhatikanlah pemutarbalikan yang iblis kerjakan. Dari Kejadian 2:16 dan Kejadian 3:1, hanya beda satu kata, yaitu: BOLEH (Kej. 2:16) Vs JANGAN (Kej. 3:1). Inilah trik iblis paling dasar. Ia tidak langsung memelintir seluruh kebenaran, namun pertama-tama ia mengubah sedikit kebenaran. Jika iblis langsung memelintir seluruh kebenaran, maka kedoknya akan terbongkar, maka ia perlu memulai trik halus untuk menipu manusia. Meskipun hanya beda satu kata, perbedaan itu tentu sangat signifikan. Nah, dalam tingkat dasar ini, manusia memang cukup teliti membedakannya. Hal ini terlihat dari jawaban wanita itu di ayat 2 yang menolak pernyataan si ular. Dari sejak permulaan di Taman Eden sampai sekarang, iblis tetap menggunakan tipu daya halus seperti ini untuk mencobai manusia. Ia pertama-tama tentu TIDAK langsung memelintir seluruh kebenaran, ia akan mencoba mengubah sedikit kebenaran. Misalnya, pada hari-hari ini, iblis memakai trik sangat halus untuk menipu orang Kristen untuk meragukan Alkitab. Ambil contoh, di dalam 2 Timotius 3:16, Tuhan melalui Rasul Paulus mengajar kita, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Namun iblis dengan tipu muslihatnya mengganti kata “segala” ini dengan kata “beberapa”. Perbedaan kata ini bukanlah perbedaan sepele, namun perbedaan yang sangat signifikan, membedakan dengan jelas manakah iman Kristen sejati vs iman “Kristen” palsu. Mengapa iblis menggantinya dengan kata “beberapa” di 2 Timotius 3:16? Tentu maksudnya ingin menjatuhkan iman Kristen, sehingga Kekristenan makin lama makin hancur. Tetapi kalau untuk masalah begini, banyak orang Kristen dan pemimpin gereja Injili yang waras langsung sadar akan tipu muslihat ini. Namun tentu saja, ada beberapa orang “Kristen” KTP (biasanya “Kristen” keturunan—keturunan dari orangtua) yang meng“amin”kan konsep konyol ini.

Kedua, meragukan kebenaran. Setelah mengubah sedikit kebenaran, iblis sekarang masuk ke dalam tipu muslihat kedua, yaitu meragukan kebenaran, khususnya kebenaran Allah. Hal ini ditandai dengan suatu kalimat tanya di dalam Kejadian 3:1 (Alkitab Indonesia menambahkan satu kata, “bukan?”). Mengapa setelah mengubah sedikit kebenaran, iblis tidak langsung saja memutarbalikkan seluruh kebenaran? Karena jika itu dia lakukan, maka kedok iblis cepat diketahui oleh si wanita itu. Oleh karena itu, tahap kedua dari tipu muslihat iblis adalah meragukan kebenaran. Pertanyaan selanjutnya, mengapa iblis bertanya kepada wanita itu tentang perintah Allah? Apakah iblis tidak tahu? Tentu saja iblis tahu. Motivasi dasar si iblis bertanya kepada wanita itu bukan sungguh-sungguh bertanya, tetapi ingin meragukan kebenaran yang Allah sampaikan. Hal inilah yang kurang peka dimengerti oleh wanita itu, sehingga si wanita itu menjawab iblis seolah-olah iblis membutuhkan jawaban. Mengapa iblis perlu bertanya kepada si wanita itu untuk meragukan kebenaran Allah? Jelas tujuannya agar manusia tidak lagi berpegang pada kebenaran Allah, kemudian meragukannya, dan akhirnya berpegang pada “kebenaran” iblis (nanti akan dibahas pada bagian 3 tema ini). Dari sejak di Taman Eden sampai sekarang, iblis tetap sama tingkahnya, yaitu meragukan kebenaran Allah. Di zaman ini, kita sudah tidak asing lagi dengan pernyataan banyak orang bahwa semua agama itu sama, semua gereja itu sama saja, dll. Relativisme konsep ini sebenarnya bukan produk zaman ini, namun sudah ada sejak di Taman Eden. Yang aneh adalah sambil meneriakkan bahwa segala sesuatu itu relatif, teriakan itu sendiri bersifat non-relatif. Mau bukti? Coba katakan kepada para penganut relativisme (baik secara teori maupun praktik) bahwa relativisme itu salah. Apa jawab mereka? Apakah mereka konsisten dengan “iman” mereka, lalu juga menerima kita yang berbeda pandangan dengan mereka? TIDAK. Yang terjadi adalah justru kita yang menantang para relativis itu akan dibenci oleh para relativis. Inilah konsep konyol: Irrelativism of Relativism (Irelativisme dari Relativisme). Makin seseorang meneriakkan ide bahwa segala sesuatu itu relatif, ia makin meneriakkannya dengan semangat non relatif.


Lalu, bagaimana jawaban wanita yang dirayu iblis itu? Di Kejadian 3:2-3, wanita itu menjawab, “Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati.” Dari dua ayat ini, kita belajar tiga poin tentang jawaban si wanita ini:
Pertama, ia menjawab pertanyaan iblis. Setelah iblis melancarkan rayuannya, maka di ayat 2, si wanita menjawab perkataan si iblis. Ketika iblis mencoba merayu si wanita ini, dengan “murah hati”, si wanita ini menjawab pernyataan iblis. Ini berarti si wanita mencoba berdialog dengan iblis. Inilah letak kelemahan si wanita itu tanpa sadar. Mengajak berdialog/berdiskusi dengan iblis khususnya berkenaan dengan kebenaran Allah merupakan tindakan konyol, karena iblis yang adalah penentang Allah tak mungkin bisa mengerti dan berada di dalam kebenaran Allah. Ketika iblis mencobai kita di zaman sekarang, tugas kita bukan meladeni pencobaan iblis itu, tetapi mengusirnya di dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Perhatikan apa yang Kristus lakukan ketika iblis mencobainya. Di dalam Matius 4, ketika iblis mencobai-Nya untuk mengubah batu menjadi roti, maka Ia langsung menjawab iblis dengan firman Allah. Pencobaan kedua, ketika iblis juga memakai ayat Alkitab untuk mencobai Yesus, Kristus langsung menghardiknya dengan mengatakan bahwa jangan mencobai Tuhan Allah. Dan ketika pencobaan terakhir dilancarkan si iblis, dengan kuasa Roh Kudus, Kristus menghardik si iblis, “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (Mat. 4:10) Di dalam pelayanan-Nya, ketika ada orang kerasukan setan, maka Kristus mengusir setan itu tanpa terlalu banyak berbasa-basi dengan iblis. Hal ini juga diteladani oleh para rasul Kristus di dalam pelayanan mereka yang tidak sedikitpun memberi ruang untuk terlalu banyak bercakap-cakap dengan iblis.

Kedua, ia mencoba mengoreksi kesalahan iblis. Kesalahan iblis, perlukah dikoreksi? TIDAK. Mengoreksi kesalahan iblis itu merupakan tindakan konyol dan sia-sia saja, mengapa? Karena iblis adalah penentang Allah yang sudah diusir Allah yang tak mungkin bisa bertobat! Adalah suatu kekonyolan jika ada orang (apalagi mengaku “pemimpin gereja”) “Kristen” yang mengajar bahwa Allah mengasihi semuanya, termasuk iblis. Iblis TIDAK pernah dikasihi Allah, karena ia adalah penentang-Nya dan bapa segala pendusta. Maka kita pun jangan sok suci dan hebat mengoreksi kesalahan iblis, namun usirlah iblis itu dalam nama Tuhan Yesus.

Ketiga, ia menambahi dan mengurangi sendiri kebenaran Allah. Sambil menjawab iblis dan mengoreksi kesalahannya, si wanita mencoba menjelaskan ulang apa yang Allah katakan, namun sayangnya si wanita ini menambahi sedikit. Perhatikan apa yang dikatakan si wanita ini, “tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati.” Allah memang melarang manusia makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat, namun Ia TIDAK pernah melarang manusia untuk merabanya. Perhatikanlah apa yang Allah firmankan sendiri, “tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” (Kej. 2:17) Bandingkan Kejadian 2:17 vs Kejadian 3:3! Dengan mudahnya, si wanita ini menambahi kata “raba”, padahal Allah TIDAK mengatakan bahwa manusia tidak boleh meraba buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Mengapa si wanita ini nekat menambahi apa yang Allah katakan? Beberapa kemungkinan yang muncul: Pertama, ia mendengar dari laki-laki (Adam) yang mengatakan secara salah kepadanya. Kedua, ia secara tidak sadar sedang dipengaruhi oleh iblis yang mengubah sedikit kebenaran dan meragukannya (bdk. Kej. 3:1). Ketiga, ia sedang stres ketika dicobai iblis. Atau kemungkinan keempat, ia memang lebay. Kemungkinan keempat bukan kemungkinan asli, tetapi hanya lelucon saja, hehehe. Di zaman sekarang, Kekristenan berkembang dengan berbagai variasi, bahkan yang ngawur, yaitu dengan menambahi apa yang firman Tuhan katakan. Mengusir setan pun TIDAK cukup hanya dengan menggunakan nama Tuhan Yesus, namun harus ditambah “ritual” lainnya, yaitu menggunakan minyak urapan, air suci, dll. Mereka mengklaim bahwa minyak urapan, air suci, dll hanya sarana/media saja, namun tanyalah kepada mereka, jika mengusir setan hanya dengan menggunakan nama Tuhan Yesus dan TIDAK menggunakan media-media tersebut, apakah diperbolehkan? Jika mereka menjawab: TIDAK BOLEH, jelaslah bahwa media yang dipakai mereka bukan sekadar media, namun berhala. Peringatan bagi kita, ketika kita dicobai iblis, hardiklah iblis dengan kebenaran firman Tuhan yang murni, jangan ditambah-tambahi! Tidak cukup menambahi firman Allah, ia juga mengurangi apa yang Allah katakan. Di Kejadian 2:17, Allah berfirman bahwa ketika manusia makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat, maka manusia itu PASTI mati. Kata PASTI di dalam struktur bahasa Ibrani juga menggunakan bentuk absolut, namun anehnya, ketika si wanita mengatakan ulang firman Allah, ia menghilangkan kata PASTI tersebut. Budaya diskon yang ngawur ini terbawa sampai di zaman sekarang. Manusia gemar mendiskon kebenaran supaya lebih banyak diterima oleh orang lain yang berbeda keyakinan. Dengan dalih toleransi, beberapa pemimpin gereja yang lebih taat kepada manusia mencoba mendiskon kebenaran firman Tuhan supaya “Kekristenan” lebih banyak diterima oleh orang-orang non-Kristen. Ya memang, kelakuan anak tidak jauh berbeda dari bapaknya sich…


Setelah si wanita ini menjawab pertanyaan iblis, lalu, apa jawaban iblis? Di ayat 4-5, iblis mulai menunjukkan wajah aslinya, “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” Iblis tidak mau kalah dengan si wanita itu. Iblis melancarkan serangan jitunya, yaitu:
Pertama, menyangkal kebenaran Allah dan menggantinya. Setelah meragukan kebenaran Allah, iblis masuk ke tahap ketiga yaitu menyangkal kebenaran Allah. Hal ditandai dengan pernyataan iblis di ayat 4 bahwa sekali-kali si wanita itu tidak akan mati. Berarti, kebenaran Allah bukan hanya diragukan, tetapi sudah diganti total. Mengganti total kebenaran Allah adalah kegemaran iblis dari sejak di Taman Eden sampai sekarang. Di zaman sekarang, iblis bekerja dengan cara-cara yang cerdas, namun licik. Setelah meragukan otoritas kebenaran Alkitab, ia mencoba melemahkan Kekristenan dengan mengganti total otoritas kebenaran tersebut dengan cara pandang manusia, yaitu kehebatan diri. Iblis akan berkata bahwa Alkitab itu buku buatan manusia yang bisa salah, maka perlu diragukan dan diganti dengan kehebatan diri yang tak mungkin bersalah, sehingga sudah menjadi satu paket bahwa orang yang meragukan otoritas Alkitab pasti menggunakan otoritas diri untuk mengkritik kesalahan Alkitab. Sambil mengkritik kesalahan Alkitab, ia makin membanggakan diri “kepandaiannya” lebih daripada Allah. Makin ia membanggakan diri lebih hebat dari Allah, sebenarnya ia makin bodoh di mata Allah. Mari kita buktikan. Para pengkritik Alkitab dengan teori-teori kritiknya plus teori Yesus Sejarah (terakhir: The Third Quest of Historical Jesus) mengkritik Alkitab bahwa Alkitab itu buku buatan manusia. Namun pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh teman gereja saya adalah mengapa para pengkritik Alkitab itu lebih mempercayai buku-buku manusia yang mengkritik Alkitab yang jelas-jelas berisi kata “mungkin” atau “barangkali”, dll ketimbang Alkitab sendiri yang TIDAK mengandung kata-kata tersebut? Dengan kata lain, mengapa mereka lebih mempercayai ketidakpastian buku-buku manusia ketimbang kepastian buku Allah, tetapi mengatakan dengan pasti bahwa Alkitab itu tidak pasti dan buku-buku yang mengkritik Alkitab itu sebagai suatu kepastian? Bukankah ini suatu kekonyolan dan kekontradiksian?

Kedua, memutarbalikkan seluruh kebenaran Allah. Setelah mengganti otoritas kebenaran, maka iblis memasuki tahap keempat/terakhir yang lebih blak-blakan dalam mencobai si wanita itu, yaitu memutarbalikkan seluruh kebenaran Allah. Di tahap ini, iblis tidak tanggung-tanggung menambahi bahkan memutarbalikkan apa yang Allah firmankan, yang lebih mengerikan, menggunakan otoritas Allah (“Allah mengetahui”). Iblis berkata bahwa Allah mengetahui bahwa ketika manusia memakan buah tersebut, ia bukan saja tidak akan mati, namun matanya akan terbuka, akan menjadi seperti Allah, tahu yang baik dan jahat. Cara kerja iblis yang memutarbalikkan seluruh kebenaran Allah ditambah menggunakan otoritas Allah untuk meyakinkan sebenarnya juga berlaku di sepanjang zaman. Lihatlah perkataan iblis untuk mencobai Tuhan Yesus pada pencobaan yang kedua, bukankah ia mengutip apa yang Allah katakan di dalam Perjanjian Lama (tentu dengan penafsiran yang semaunya sendiri) supaya lebih meyakinkan Tuhan Yesus untuk menaati perkataan iblis? Bagaimana dengan kelakuan iblis di zaman sekarang? SAMA! Iblis memutarbalikkan seluruh kebenaran Allah dengan menggunakan otoritas Allah supaya lebih meyakinkan. Bukankah hari-hari ini kita mendengar banyak pemimpin gereja kontemporer dengan berani mengatakan, “Tuhan berkata kepadaku, …”? Tetapi sambil berkata demikian, ia mengatakan hal-hal yang tidak ada di Alkitab bahkan bertentangan dengan Alkitab (misalnya ajaran bahwa Allah itu bukan Tritunggal, tetapi 9 tunggal). Namun anehnya, si “pendeta” yang mengajar doktrin yang katanya langsung berasal dari “Allah” ini beberapa saat kemudian mengubah pandangannya. Mungkinkah wahyu Allah dapat diubah dengan seenaknya sendiri? Hal ini mirip dengan konsep dalam salah satu agama yang mengajar bahwa di dalam “kitab suci”nya, “Allah” bisa mengubah “wahyu-Nya”.


Dari ayat 1, kita bisa menyimpulkan kelicikan iblis secara bertahap: mengubah sedikit kebenaran, meragukan kebenaran, menyangkal kebenaran dan menggantinya, dan terakhir memutarbalikkan kebenaran ditambah menggunakan otoritas Allah untuk meyakinkan manusia bahwa apa yang dikatakan si iblis berasal dari Allah.


Lalu, apa yang harus kita lakukan sebagai para pengikut Kristus? Tidak ada jalan lain, hanya satu: BERWASPADALAH! Ingatlah akan nasihat Rasul Petrus ini: “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya.” (1Ptr. 5:8) Mengapa kita harus berjaga-jaga? Rasul Paulus memberikan alasannya, “Sebab orang-orang itu adalah rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus. Hal itu tidak usah mengherankan, sebab Iblispun menyamar sebagai malaikat Terang. Jadi bukanlah suatu hal yang ganjil, jika pelayan-pelayannya menyamar sebagai pelayan-pelayan kebenaran.” (2Kor. 11:13-15a) Setelah kita berwaspada, ingatkan sesama saudara seiman kita juga akan kebenaran Alkitab yang sesungguhnya dan bahaya penyesatan terselubung di dalam Kekristenan, supaya kita bisa sama-sama belajar kebenaran dan mencegah penyesatan itu agar tidak lebih menjamur.


Biarlah kita makin lama makin lapar dan haus akan kebenaran Allah melalui firman-Nya, Alkitab, sehingga kita makin bertumbuh dewasa di dalam iman, karakter, kerohanian, pikiran, perkataan, sikap, dll dan tentunya tidak mudah ditipu oleh berbagai macam arus pengajaran yang menyesatkan. Amin. Soli Deo Gloria.

WHAT'S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-1: Pendahuluan

WHAT’S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-1:
Pendahuluan


oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Kejadian 2:8-3:24



Ketika kita berbicara tentang Taman Eden, apa yang ada di dalam pikiran Anda? Sebuah taman yang indah dan menawan? Apa pun persepsi Anda tentang Taman Eden, Alkitab mencatat lima hal berkenaan dengan Taman Eden ini:
Pertama, Taman Eden adalah Taman Allah (Kej. 2:8). Taman Eden adalah Taman Allah, karena Allah yang membuat taman ini. Alkitab mencatat, “Selanjutnya TUHAN Allah membuat taman di Eden, di sebelah timur; disitulah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuk-Nya itu.” Setelah menciptakan manusia (Adam), maka Allah menempatkan manusia tersebut di Taman Eden ini. Beberapa Alkitab terjemahan Inggris (New International Version, King James Version, New American Standard Bible) menerjemahkan sebagai: sebuah taman di sebelah timur di Eden. Lalu, di mana posisi Taman Eden tersebut? Inter-Varsity Press (IVP) Bible Background: Old Testament memberikan keterangan tentang Taman Eden, “a place in or near the northern end of the Persian Gulf.” (=sebuah tempat di atau dekat ujung sebelah utara dari Teluk Persia) Dari poin ini, kita belajar prinsip bahwa taman Eden adalah taman yang disediakan Allah bagi manusia pertama. Berarti, adalah suatu anugerah yang tak terkira jika Adam pada waktu itu ditempatkan Allah di taman ini. Dari prinsip ini saja, kita belajar bahwa dari awal kitab Kejadian, Allah telah menunjukkan konsep anugerah bagi manusia ciptaan-Nya. Anugerah ini berupa ditempatkannya Adam di Taman Eden yang begitu indah. Dan uniknya anugerah ini diberikan bukan karena/setelah Adam berbuat baik. Inilah konsep anugerah Allah pada permulaan.


Kedua, Taman Eden adalah Taman Berkat (Kej. 2:9-14). Selain dibuat oleh Allah, taman ini juga saya sebut sebagai taman berkat, karena menurut arti katanya, Eden dalam bahasa Ibraninya ‘ēden berarti pleasure (kesenangan) atau delight (kegembiraan). Taman ini disebut taman berkat, karena dua alasan: Pertama, taman ini ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan (Kej. 2:9). Di ayat ini, Alkitab mencatat, “Lalu TUHAN Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya; dan pohon kehidupan di tengah-tengah taman itu, serta pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.” Terjemahan Indonesia dalam ayat ini kurang jelas. Mari kita membandingkannya dengan terjemahan New International Version (NIV), “And the LORD God made all kinds of trees grow out of the ground-- trees that were pleasing to the eye and good for food. In the middle of the garden were the tree of life and the tree of the knowledge of good and evil.” Dari terjemahan ini, kita mendapatkan pengertian bahwa di taman ini, Tuhan menumbuhkan segala jenis tumbuhan yaitu pohon-pohon yang menarik dan baik untuk dimakan dan di tengah-tengah pohon ini terdapat pohon kehidupan dan pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Apa arti pohon kehidupan? IVP Bible Background: Old Testament merujuk pohon kehidupan sebagai pohon yang berkhasiat memperpanjang umur manusia (bdk. Ams. 3:16-18). Oleh karena itu, setelah manusia jatuh ke dalam dosa dan mereka diusir dari Taman Eden, Tuhan menempatkan beberapa kerub dengan pedang yang menyala-nyala untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan (Kej. 3:24). Pohon pengetahuan yang baik dan jahat di ayat ini ditafsirkan mungkin sebagai pohon yang berisi seluruh lingkup pengetahuan moral (Handbook to the Bible, hlm. 145). Selain itu, Alkitab mencatat keindahan dari taman ini. Di ayat 10-14, Alkitab mencatat ada suatu sungai yang mengalir di taman ini yang memiliki empat cabang: Pison, Gihon, Tigris, dan Efrat. Sungai pertama, Pison, “yang mengalir mengelilingi seluruh tanah Hawila, tempat emas ada.” (Kej. 2:11) NIV Spirit of the Reformation Study Bible memberi keterangan bahwa Hawila ini kemungkinan berada di daerah Arab. Hawila di ayat 12 dijelaskan oleh IVP Bible Background: OT berada di sebelah barat Arab Saudi dekat Medina sepanjang Laut Merah, sebuah tempat yang menghasilkan emas, batu pertama gelap/hitam, damar, dll (NIV memberikan tanda kurung pada ayat 12 ini). Kemudian disusul sungai kedua, Gihon “yang mengalir mengelilingi seluruh tanah Kush.” (ay. 13) NIV Spirit of the Reformation Study Bible menunjuk sungai ini mungkin berada di sebelah tenggara Mesopotamia. Sungai ketiga adalah Tigris “yang mengalir di sebelah timur Asyur” (ay. 14) dan terakhir sungai Efrat.


Ketiga, Taman Eden adalah Taman Peraturan dan Peringatan (Kej. 2:15-17). Selain diciptakan Tuhan dan ditempatkan-Nya Adam di taman yang luar biasa indah ini, Tuhan juga memberikan peraturan dan peringatan kepada Adam. Apa saja peraturan dan peringatan tersebut? Pertama, mandat untuk mengusahakan dan memelihara taman itu (ay. 15). Tuhan menempatkan Adam di taman itu bukan untuk berfoya-foya atau tidur-tiduran, namun untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Inilah mandat budaya yang dipercayakan Tuhan kepada umat Tuhan di dalam Kristus, yaitu mengelola alam ini dan juga memeliharannya bagi kemuliaan-Nya.

Kedua, kebebasan untuk makan semua buah dalam pohon di taman itu (ay. 16). Selain mengusahakan dan memelihara taman ini, Tuhan juga memberi waktu luang kepada Adam untuk menikmati semua buah dalam pohon di taman itu dengan bebas. Ini berarti, Tuhan bukan hanya menyuruh kita bekerja keras saja, namun Ia juga memberikan kita waktu istirahat/luang, agar kita dapat menikmati hasil jerih payah kita. Kesenangan dan waktu luang TIDAKlah salah, karena Alkitab sendiri mencatat bahwa Allah beristirahat pada hari ketujuh setelah penciptaan (Kej. 2:2-3) dan Ia sendiri membebaskan Adam untuk makan semua buah dalam pohon di taman itu. Namun kebebasan dan waktu luang itu tetap harus ada batasnya, yaitu di dalam kebenaran Allah.

Ketiga, Tuhan juga memperingatkan Adam untuk TIDAK boleh makan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat, karena ketika Adam makan, ia pasti mati (ay. 17). Luar biasa firman Tuhan itu, selain berisi mandat yang harus dikerjakan manusia, juga ada kesenangan untuk menikmati apa yang telah kita kerjakan, dan juga ada peringatan bagi manusia agar tidak melanggar firman-Nya. Kembali, pertanyaan yang sering dilontarkan oleh manusia berdosa adalah mengapa Allah melarang Adam untuk makan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat? Mengapa Allah tidak mencabut akar dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat itu agar manusia tidak jatuh ke dalam dosa? Allah membiarkan pohon pengetahuan yang baik dan jahat itu tumbuh dan kemudian melarang manusia untuk memakannya karena: Pertama, Allah ingin menguji ketaatan manusia. Sering kali kita berpikir bahwa kalau situasi dan kondisi semua benar, maka kita tidak mungkin jatuh ke dalam dosa. Pikiran ini tercermin di dalam banyak agama yang mengajarkan bahwa untuk melawan pencobaan, manusia haruslah bertarak/menyiksa diri dengan mengasingkan diri dari dunia. Apakah kesucian hidup didapat dengan mengasingkan diri dari dunia? Jika memang “benar” demikian, bagaimana membuktikan seseorang itu suci jika ia berada di lingkungan yang “suci” juga? Namun cara pikir Allah berbeda dan jauh melampaui cara pikir manusia yang sempit. Cara pikir Allah adalah untuk membuktikan bahwa manusia taat kepada Allah dan tidak berdosa adalah dengan menempatkannya di lingkungan yang sarat dengan ancaman untuk berbuat dosa. Ketika manusia bisa menang dari dosa karena anugerah Allah, maka di saat itu, ia memang layak membuktikan bahwa ia memang menang, namun jika ia menang dari dosa ketika berada di lingkungan yang dipenuhi dengan orang-orang “suci”, kemenangan dari dosa seperti bagaimana yang bisa dibuktikan oleh manusia? Kedua, belum saatnya Adam mengetahui yang baik dan jahat. Pdt. Dr. Stephen Tong memberikan tafsiran unik mengenai alasan Allah melarang Adam untuk makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat, yaitu Ia tahu bahwa waktu Adam mengetahui yang baik dan jahat itu belum sampai. Artinya, belum saatnya Adam mengetahui apa yang baik dan jahat. Mengapa dikatakan belum saatnya? Karena memang Adam waktu itu belum mengenal Kebenaran secara utuh, sehingga tidak heran, ketika Adam dan Hawa mulai melanggar peringatan dari Allah ini, ia malah jatuh ke dalam dosa dan hubungannya terputus dari Allah. Inilah ironisnya manusia. Manusia hari-hari ini sudah merasa diri pandai untuk dapat memutuskan mana yang baik dan jahat, seolah-olah tanpa Allah, mereka mampu. Padahal semakin mereka hidup tanpa Allah, mereka semakin tidak berdaya apa-apa bahkan hidup mereka semakin kacau. Atas anugerah-Nya saja, hidup yang semakin berpaut pada Sumber Hidup dan Sumber Kebenaran mengakibatkan suatu sikap bijaksana yang mampu memilah dan memilih mana yang baik dan jahat. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengenal Kebenaran Firman Tuhan secara utuh kemudian kita aplikasikan di dalam sikap kita dalam memilah dan memilih mana yang baik dan jahat?


Keempat, Taman Eden adalah Taman Persatuan Manusia Pertama (Kej. 2:18-25). Setelah memberi peraturan dan peringatan, Alkitab mencatat bahwa Allah berkata bahwa tidak baik manusia seorang diri saja dan kemudian Ia hendak menciptakan penolong yang sepadan dengan Adam (ay. 18). Di sini, ide pertama tentang pasangan hidup muncul dari Allah. Dengan kata lain, yang menginginkan pasangan hidup bagi seorang manusia adalah Allah, maka adalah bijaksana jika kita menyerahkan seluruh hidup kita kepada Allah terlebih dahulu, baru kemudian Ia akan mengerjakan kehendak-Nya bagi kita mengenai siapa pasangan hidup kita yang memuliakan-Nya (mengutip konsep dari Eric dan Leslie Ludy dalam bukunya When God Writes Your Love Story). Ayat 18 dilanjutkan dengan tindakan Allah yang menciptakan segala binatang hutan dan burung di udara dan membawanya kepada manusia untuk dinamai. Kemudian, Adam menamai semua binatang tersebut, namun Alkitab mencatat, “tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia.” (ay. 20) Adam sadar bahwa ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia setelah ia menamai semua binatang itu. Dari sini, kita belajar suatu konsep bahwa pasangan hidup yang telah ditetapkan Allah juga harus dipertanggungjawabkan oleh manusia. Adam sendiri menyadari bahwa ia membutuhkan pasangan hidup. Maka, atas kehendak-Nya yang berdaulat, Ia membuat Adam tertidur, kemudian mengambil salah satu rusuknya untuk menciptakan Hawa, penolong yang sepadan dan menutupnya dengan daging, kemudian Ia membawa Hawa itu kepada Adam (ay. 21-22). Setelah itu, tiga ayat selanjutnya merupakan kredo Adam bahwa Hawa yang adalah perempuan adalah manusia yang diambil dari laki-laki, sehingga seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk bersatu dengan istrinya dan menjadi satu daging (ay. 24). Dan di ayat terakhir, 25, Alkitab mencatat bahwa Adam dan Hawa keduanya telanjang, namun tidak merasa malu. Apa signifikansi ayat 25 ini? Ayat ini mengajar kita bahwa pada permulaannya, di Taman Eden, Adam dan Hawa saling terbuka dan mengenal satu sama lain. Tidak ada penutup baik dalam arti harfiah maupun tidak harfiah di antara mereka, sehingga di Taman Eden lah, konsep persatuan pria dan wanita terwujud dengan luar biasa lengkap (meskipun belum tentu sempurna).


Kelima, Taman Eden adalah Taman Pencobaan dan Dosa (Kej. 3:1-24). Keindahan Taman Eden yang telah kita lihat dari poin 1-4 kemudian berubah menjadi buruk, karena manusia ciptaan-Nya yang telah dipercayakan oleh-Nya untuk mengelola dan memelihara taman itu ditambah peringatan untuk tidak makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat akhirnya tidak taat kepada firman-Nya. Ketidaktaatan tersebut menghasilkan dosa, sehingga Allah harus mengusir manusia pertama keluar dari Taman Eden. Dari manakah dosa itu muncul? Banyak manusia menyalahkan iblis sebagai sumber dosa. Meskipun hal ini tentu tidak salah, namun dosa pada mulanya bukan terletak pada iblis, namun pada kehendak kita yang memang rusak total. Yakobus mengajar kita bahwa pencobaan kita bukan berasal dari Allah, namun berasal dari keinginan kita sendiri (Yak. 1:13-14). Oleh karena itu, jika pencobaan dan dosa datang, jangan menyalahkan Allah, tetapi salahkan diri kita sendiri, karena sumbernya adalah kehendak kita yang tidak mau taat kepada kehendak Allah.


Dosa apa saja yang ada di Taman Eden? Pada bagian selanjutnya, kita akan menyelidiki 7 macam dosa yang terjadi di Taman Eden dan kemudian solusi Allah terhadap dosa.