01 September 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 8:1-3 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 8:1-3

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 8:1-3



Penggunaan frase “sekarang tentang” (peri de) di awal bagian ini menunjukkan bahwa bagian ini merupakan topik yang baru. Topik ini termasuk salah satu persoalan yang disinggung oleh jemaat Korintus dalam surat mereka kepada Paulus (7:1, 25; 8:1, 4; 12:1; 16:1, 12). Kalau di pasal 7 Paulus memberi uraian tentang seksualitas atau perkawinan, di pasal 8 topik itu tidak kita temui lagi. Sebaliknya, bagian ini membahas tentang daging persembahan berhala.

Pembacaan yang teliti dan menyeluruh akan menunjukkan bahwa topik tentang daging persembahan berhala bukan hanya dibahas di pasal 8, tetapi juga sampai pasal 10. Hal ini kita ketahui dari pemunculan beberapa kata, ide atau frase yang sama di pasal 8 dan 10. Kesamaan ini mencakup ide tentang “membangun” (8:1; 10:23), “daging berhala” (8:1, 4; 10:25-29), “hati nurani lemah” (8:7; 10:29), “batu sandungan” (8:9, 13; 10:32). Paulus tidak langsung memberikan jawaban konkrit atas persoalan tentang makan daging persembahan berhala. Di pasal 8 ia memilih untuk menjelaskan prinsip dasar dari kehidupan Kristen. Jemaat Korintus menganggap bahwa pengetahuan adalah dasar yang teguh, tetapi Paulus menunjukkan yang paling penting adalah kasih. Walaupun suatu tindakan secara teoritis boleh dilakukan, namun jika hal itu berpotensi menjadi batu sandungan bagi saudara seiman maka kita tetap tidak boleh melakukan hal tersebut. Di pasal 9 Paulus memberikan contoh aplikasi konkrit dari prinsip yang diajarkan di pasal 8. Kehidupannya sebagai rasul yang tidak mau menerima tunjangan hidup dari jemaat dan kesediaan menjadi segala-galanya bagi orang lain supaya bisa memenangkan mereka merupakan teladan sempurna tentang kehidupan yang digerakkan oleh kasih. Di pasal 10 Paulus baru memberikan jawaban konkrit atas pertanyaan jemaat: jika makan daging persembahan berhala di kuil tidak diperbolehkan karena ha itu termasuk penyembahan berhala, jika makan daging yang dibeli di pasar tidak apa-apa, jika makan di rumah orang kafir juga tidak apa-apa sejauh tidak ada saudara seiman yang tersandung elihat hal itu.

1 Korintus 8:1-3 sendiri berfungsi sebagai teguran sekaligus nasehat bagi jemaat Korintus. Teguran, karena ia secara terang-terangan menyalahkan sikap jemaat yang meletakkan pengetahuan sebagai hal terpenting dalam kekristenan. Nasehat, karena ia memberikan alternatif lain (yaitu kasih) yang seharusnya mendapat prioritas utama.
Alur pemikiran Paulus di bagian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
A. Problem dan andangan jemaat: kita semua memiliki pengetahuan (ay. 1a)
B. Jawaban Paulus: perbedaan antara pengetahuan dan kasih (ay. 1b-3)
1. Pengetahuan dapat menyulut kesombongan, kasih membangun (ay. 1b)
2. Orang yang mengetahui belum mencapai pengetahuan, tetapi yang mengasihi Allah pasti dikenal oleh Allah (ay. 2-3)


Problem dan pandangan jemaat (ay. 1a)
Kata “daging persembahan berhala” (eidōlothutos) di ayat ini (8:1, 4, 7, 10; 10:19) sebenarnya bisa merujuk pada apa saja yang dipersembahkan kepada dewa/berhala. Kata lain yang memiliki arti sama adalah hierothutos (10:28 LAI:TB “persembahan berhala”). Dalam konteks 1 Korintus 8-10 kata eidōlothutos maupun hierothutos secara jelas merujuk pada makanan yang dipersembahkan pada berhala. Bagi gereja mula-mula yang hidup di tengah bangsa kafir yang memuja berhala, isu tentang makanan yang dipersembahkan kepada berhala merupakan persoalan yang sangat relevan sekaligus pelik. Isu ini sudah menjadi isu sentral dalam kekristenan mula-mula, terutama bagi mereka yang berasal dari lingkungan budaya non-Yahudi. Bagi orang Kristen Yahudi isu ini secara umum memang tidak terlalu memusingkan karena mereka sudah terbiasa untuk menjauhkan diri sama sekali dari segala hal yang berbau penyembahan berhala. Mereka tidak akan pergi ke kuil kafir atau makan daging yang sudah dipersembahkan kepada berhala. Bagi orang Kristen non-Yahudi isu ini benar-benar pelik. Tidak heran para rasul sempat mengadakan konsili gereja pertama untuk membahas isu ini (Kis. 15:29; 21:25). Beberapa jemaat bahkan terjebak pada penyembahan berhala lagi dengan cara mengikuti ibadah dan makan daging persembahan berhala di kuil (Why. 2:14, 20).

Seperti kebiasaan Paulus di surat 1 Korintus, ia mengutip perkataan/slogan jemaat lalu memberikan respon terhadap pandangan itu. Konteks pasal 8 memberi petunjuk yang cukup jelas bahwa frase “kita semua memiliki pengetahuan” merupakan kalimat dari jemaat Korintus. Penerjemah LAI:TB secara tepat memberi tanda petik dua untuk frase ini. Jemaat Korintus merasa bahwa tindakan mereka makan daging persembahan berhala dalam konteks apa pun dapat dibenarkan berdasarkan pertimbangan rasional tertentu. Bagian selanjutnya menyiratkan bahwa menurut mereka berhala/dewa itu secara eksistensi sebenarnya tidak ada (8:4). Karena mereka tidak pernah ada, maka apa pun yang kita lakukan terhadap persembahan kepada mereka tidak akan berpengaruh apa pun kepada kita. Mereka tampaknya juga memberikan argumen bahwa makanan tidak memiliki pengaruh apa pun terhadap kerohanian (8:8), karena itu kita boleh makan apa pun. Dalam pembahasan selanjutnya Paulus akan memberikan evaluasi apakah dua slogan ini dapat dibenarkan secara theologis maupun praktis (8:4-9), di 8:1-3 Paulus lebih memfokuskan pada pentingnya pengetahuan secara umum, bukan isi dari pengetahuan itu. Ia ingin menempatkan pengetahuan pada tempat yang sewajarnya dalam kehidupan orang Kristen.


Jawaban Paulus: Kontras Antara Pengetahuan dan Kasih (ay. 1b-3)
Cara Paulus meresponi pandangan jemaat Korintus di bagian ini mungkin sekilas tampak agak janggal dan tidak langsung pada sasaran. Kita berharap dia akan langsung memberikan evaluasi apakah pernyataan jemaat di ayat 1a bisa dibenarkan atau tidak. Kenyataannya, dia memilih untuk menyinggung tentang kasih. Hal ini tentu saja bukan tanpa alasan. Problem utama jemaat Korintus memang bukan kekurangan pengetahuan. Apa yang mereka ketahui juga tidak sepenuhnya salah. Problem mereka terletak pada cara pandangan terhadap pengetahuan. Mereka melihat pengetahuan sebagai segala-galanya dalam kekristenan sedangkan Paulus mengajarkan keutamaan kasih (13:2, 8-9, 13).

Kontras antara pengetahuan dan kasih di 8:1-3 lebih difokuskan pada perbedaan hasil atau akibat antara keduanya. Apa yang akan terjadi dengan orang yang mengaku memiliki pengetahuan dan apa yang terjadi dengan mereka yang mengandalkan kasih? Paulus memberikan dua jawaban.
Pengetahuan membuat sombong, kasih membangun (ay. 1b)
Berdasarkan pemunculan kata “sombong” (phusioō) berkali-kali dalam surat ini (4:6, 18, 19; 5:2; 13:4) tidak salah jika kita menduga bahwa kesombongan merupakan salah satu akar masalah dalam kehidupan jemaat Korintus. Kesombongan bisa mengambil beragam bentuk. Dalam konteks 8:1-13, kesombongan yang muncul adalah keengganan untuk memahami mereka yang tidak berpengetahuan. Mereka tidak peka terhadap orang lain (8:9, 11). Kelemahan ini merupakan sesuatu yang ironis. Jemaat Korintus telah diberi berbagai karunia rohani, termasuk pengetahuan (1:5). Pengetahuan (gnōsis) yang dimaksud Paulus di 1:5 maupun 8:1 bukanlah pengetahuan mistis seperti dalam aliran gnostisisme. Kita perlu mengetahui bahwa gnostisisme baru muncul sebagai sebuah ideologi pada abad ke-2. Gnōsis di sini merupakan salah satu karunia roh (bdk. 12:8). Jika tafsiran ini diterima maka apa yang menjadi kelebihan jemaat Korintus – yaitu kaya dengan segala pengetahuan – ternyata sekaligus menjadi kelemahan mereka. Mereka tidak mau memahami orang lain yang tidak berpengetahuan (8:1-13). Mereka bahkan tertarik dengan beragam pengetahuan lain yang sebenarnya adalah hikmat dunia (1:18-2:5; 3:18-23). Mereka memandang pengetahuan sebagai hal terpenting dalam kekristenan (8:1; 13:2).

Sikap Paulus di 8:1b tidak berarti bahwa Paulus anti terhadap karunia gnōsis. Yang dimaksud Paulus adalah “pengetahuan yang demikian” (LAI:TB). Tambahan “yang demikian” dalam terjemahan LAI:TB memang dapat dibenarkan dan bahkan sangat memperjelas maksud Paulus. Penggunaan artikel he di depan kata gnōsis di 8:1 menyiratkan bahwa Paulus tidak sedang membuat pernyataan yang umum tentang gnosis. Yang dia tentang adalah pengetahuan yang tidak dibungkus dengan kasih. Pengetahuan semacam ini sangat berbahaya.

Di bagian akhir 8:1b Paulus menandaskan bahwa kasih adalah membangun [orang lain]. Para penafsir meyakini bahwa ungkapan ini merupakan respon Paulus terhadap konsep jemaat yang menganggap bahwa pengetahuanlah yang membangun orang lain. Konteks memberikan petunjuk yang cukup terhadap dugaan ini. Jemaat berpandangan bahwa dengan makan daging persembahan berhala di kuil akan menarik orang Kristen lain yang kurang berpengetahuan untuk memiliki pengetahuan serupa, sehingga mereka pada akhirnya akan memahami bahwa tindakan itu dapat dibenarkan (8:10; 10:23). Dalam arti seperti ini mereka mengaku telah membangun orang lain. Di pasal 10 Paulus nanti akan mengoreksi kesalahan dalam konsep ini, namun di pasal 8 ia sekali lagi hanya menunjukkan keutamaan kasih dibandingkan pengetahuan.

Penggunaan kata “sombong” (phusioō) yang secara hurufiah berarti menggelembungkan diri (seperti balon) dan kata “membangun” (oikodomeō) menyiratkan sebuah ironi. Pengetahuan membuat diri sendiri terlihat besar (menggelembung), sedangkan kasih membuat orang lain bertambah besar (terbangun). Begitulah keutamaan kasih daripada pengetahuan.

Orang yang mengaku tahu ternyata tidak tahu, sedangkan orang yang mengasihi Allah justru diketahui Allah (ay. 2-3)

Penggunaan tense perfect untuk kata “mengetahui” (egnōkenai, lit. “mengetahui”) di ayat 2 (LAI:TB memakai “memiliki pengetahuan”) menyiratkan bahwa di mata jemaat Korintus mereka sudah sampai pada tingkat pengetahuan tertentu. Frase “jika seorang menyangka” di bagian ini sudah menyiratkan kesalahan dari anggapan tersebut, karena frase ini biasanya dipakai dalam arti negatif (apa yang disangka ternyata tidak sesuai kenyataan, lihat 3:18; 10:12). Anggapan jemaat yang terlalu tinggi ini di mata Paulus justru membuktikan bahwa mereka belum sampai pada pengetahuan yang seharusnya. Bukan saja mereka tidak tahu bahwa pengetahuan kita di dunia tidak pernah mencapai kesempurnaan (13:9-12), namun mereka pun tidak tahu bahwa pengetahuan bukanlah segalanya bagi orang Kristen (8:1). Jika mereka tidak tahu bagaimana menilai pentingnya pengetahuan, bagaimana mereka tahu bahwa mereka sudah tahu pengetahuan yang sebenarnya?

Ayat 3 menjelaskan apa yang terjadi dengan orang yang memiliki kasih. Anehnya, kasih yang dibahas di sini bukanlah kasih kepada sesama, tetapi kasih kepada Allah. Sekilas pemunculan ide ini tampak sangat janggal. Tidak heran beberapa penyalin kuno dan bapa gereja secara sengaja “membetulkan” teks ini dengan cara menghilangkan kata “Allah” (ton theon) dan “oleh-Nya” (hyp’ autou) sehingga teks ini terkesan masih membicarakan tentang kasih kepada sesama. Berdasarkan kualitas manuskrip dan pertimbangan tertentu (penyalin cenderung mempermudah daripada mempersulit), maka lebih bijaksana kalau kita tetap menerima kata “Allah” dan “oleh-Nya” sebagai bacaan yang asli. Jika bacaan ini diterima, maka kita mendapat tambahan informasi bahwa problem jemaat bukan hanya krisis kasih kepada sesama, tetapi juga kepada Allah.

Orang yang mengasihi (present tense agapā) Allah dikenal (perfect tense egnōstai) oleh-Nya. Perbedaan tense pada dua kata kerja ini mengajarkan bahwa kemampuan kita sekarang untuk mengasihi Allah disebabkan kita lebih dahulu dikenal oleh-Nya. Ketika dikatakan bahwa Allah mengenal kita, pengenalan ini pasti tidak mungkin secara intelektual belaka. Secara kognitif Allah mengenal semua orang, sekalipun orang itu tidak mengasihi Dia. Kita harus memahami pengenalan ini secara relasional. Dalam Alkitab konsep ini berkaitan dengan pemilihan Allah atas bangsa Israel (Am. 3:2), seorang individu (Yer. 1:5) atau orang percaya (Rm. 8:28-29) sebelum orang-orang ini lahir di dunia, bahkan sebelum dunia ada. Dengan kata lain, dikenal Allah (8:3) sama dengan dipanggil Allah untuk diselamatkan (1:24; 2:9). Apa kaitan 8:3 dengan isu makan daging persembahan berhala? Galatia 4:8-9 merupakan teks kunci untuk melihat keterkaitan antara dua ide ini. Baik 1 Korintus 8:1-3 maupun Galatia 4:8-9 sama-sama menyinggung tentang mengenal/dikenal Allah dan menghubungkannya dengan penyembahan berhala. Di Galatia 4:8-9 disebutkan bahwa mengenal Allah dan dikenal Allah sangat berkaitan, tetapi yang lebih penting atau tepat adalah kita dikenal Allah, bukan kita yang mengenal Allah. Teks ini juga mengajarkan bahwa mereka yang mengenal Allah/dikenal Allah tidak sepatutnya terlibat dalam penyembahan berhala. Penyembahan berhala hanyalah bagi mereka yang tidak memiliki pengetahuan tentang Allah.

Dengan memahami keterkaitan ini kita bisa mengetahui maksud Paulus di 1 Korintus 8:3. Jemaat Korintus yang menganggap diri memiliki pengetahuan tentang Allah tetapi terlibat dalam penyembahan berhala (bdk. 10:6-14) sebenarnya sedang mempraktikkan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah. Jemaat Korintus yang mengandalkan pengenalan tentang Allah telah ditegur oleh Paulus bahwa yang paling penting bukanlah mengenal Allah, tetapi dikenal Dia. Mengenal Allah bisa membuat orang sombong, sedangkan dikenal Allah (dalam arti dipilih sejak kekekalan berdasarkan kasih dan kedaulatan Allah) membuat orang rendah hati. Yang lebih menjamin kita bukanlah pengetahuan kita tentang Allah, tetapi pengetahuan Tuhan atas kita (2Tim. 2:19). Yang terpenting bukan karunia roh yang diberikan kepada kita, namun keselamatan yang dianugerahkan Allah kepada kita (Luk. 10:20). #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 11 Oktober 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2008%20ayat%2001-03.pdf