15 March 2009

KREDO REFORMED-1: Pengakuan Iman Prancis (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

KREDO REFORMED-1:
Pengakuan Iman Prancis (1559)


oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.




Pendahuluan
Pengakuan Iman Prancis sering dikenal dengan sebutan Pengakuan Iman Gallic (Gallic Confession). Kata “Gallic” berasal dari kata Latin “Gallia” yang berarti “Prancis” (sebutan asli adalah Confessio Fidei Gallicana). Sebutan ini berkaitan dengan tempat dirumuskannya pengakuan iman tersebut, sekalipun pengaruh dari pengakuan iman ini jauh melampaui batasan negara Prancis. Pengakuan ini mempengaruhi pengakuan iman Reformed lain yang disahkan di luar Prancis. Pada perkembangan selanjutnya Pengakuan Iman Prancis bahkan di diterima oleh gereja-gereja Reformed di luar Prancis.

Tidak banyak yang bisa diketahui tentang latarbelakang Pengakuan Iman Prancis. Buku-buku yang membahas hal ini pun tidak sebanyak buku-buku tentang pengakuan iman Reformed yang lain. Ada beberapa hal yang turut menciptakan situasi seperti ini: (1) pengakuan iman ini dirumuskan pada masa penganiayaan, sehingga kerahasiaan tentang para penulisnya merupakan sesuatu yang sangat penting (Th. van den End, Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme, 1). Kita tidak memiliki data historis yang detail tentang asal-usul maupun para perumus pengakuan iman ini; (2) penerimaan pengakuan iman tidak seluas pengakuan iman Reformed yang lain, walaupun Pengakuan Iman Prancis juga diterima di luar Prancis. (3) pengakuan iman ini relatif pendek dan sebagian besar rumusannya nanti akan dibahas di berbagai pengakuan iman Reformed yang lain yang ditulis sesudahnya.


Latar Belakang Perumusan
Mulai pertengahan tahun 1550-an, gerakan reformasi di Prancis semakin memiliki pengaruh. Semua ini tidak lepas dari peranan vital John Calvin. Pada tahun 1555 sebuah jemaat dibentuk secara terorganisir dan melakukan aktivitas kegerajaan yang teratur. Dengan cepat persekutuan seperti ini berkembang di seluruh Prancis.

Setelah penganiayaan dari pemerintah Prancis sedikit mereda. Pada tanggal 23-27 Mei 1559 perwakilan dari masing-masing jemaat berkumpul bersama secara rahasia di Paris untuk mengadakan konsili. Pertemuan yang dimoderasi oleh Francis de Morel, seorang pendeta lokal di sana, menetapkan dua hal yang sangat penting.

Pertama, sistem disiplin gereja. Ide untuk mengadakan disiplin gereja memang sudah ada sebelum reformasi Reformed di Prancis. Tokoh-tokoh ternama dalam sejarah gereja yang dibunuh oleh gereja karena dianggap sebagai penyesat merupakan bukti bahwa gereja sudah melakukan disiplin gereja. Persoalannya adalah tindakan tersebut sering kali ditujukan pada orang yang salah dan dilakukan dengan cara yang salah pula. Konsili di Prancis berusaha membenahi hal tersebut. Gereja tidak bisa seenaknya menjalankan disiplin. Gereja harus memahami prinsip theologis, prosedur dan pelaksana disiplin gereja.

Kedua, pengakuan iman. Asal mula dari rancangan (draft) pengakuan iman yang nanti disahkan dalam konsili Prancis tidak diketahui dengan pasti. Sebagian sarjana menduga bahwa rancangan awal berasal dari usulan gereja-gereja di Prancis selama penganiayaan yang kemudian direvisi oleh Calvin dan teman-temannya. Sebagian lagi berpendapat bahwa rumusan awal berasal dari Calvin sendiri. Mayoritas sarjana bahkan lebih mengaitkan rumusan awal ini dengan seorang murid Calvin yang bernama Antoine de la Roche Chandieu (De Chandieu). Tradisi mana yang lebih tepat sulit untuk ditentukan, namun satu hal yang pasti adalah bahwa rumusan awal ini berjumlah 35 pernyataan dan bahwa rumusan ini mewakili gereja-gereja di Genewa. Semua pernyataan tersebut akhirnya diterima secara resmi dan dua pernyataan yang paling awal dikembangkan lagi sehingga keseluruhan pernyataan sekarang berjumlah 40.

Pada tahun 1560 sebuah salinan dari Pengakuan Iman Prancis dikirimkan kepada Raja Francis II yang sangat mendukung Gereja Katolik Roma. Tahun berikutnya Theodorus Beza mengirimkan pengakuan iman yang sama kepada Charles IX. Tujuan dari upaya ini adalah supaya Francis II menghentikan penganiayaan terhadap penganut reformasi. Mereka menuntut toleransi keagamaan. Mereka menjelaskan bahwa tidak ada yang salah dari iman mereka yang dapat dijadikan alasan oleh raja untuk menganiaya mereka.

Apa yang dilakukan oleh para penganut reformasi Reformed di atas tidak banyak membawa perubahan. Bagaimanapun, Pengakuan Iman Prancis terus memiliki peranan yang vital dalam mepersatukan ajaran gereja-gereja Reformed di Prancis. Pada waktu konsili nasional ke-7 tahun 1571 pengakuan ini direvisi dan disahkan kembali di La Rochelle. Berdasarkan hal ini Pengakuan Iman Prancis juga kadangkala disebut sebagai Pengakuan Iman Rochelle. Persekutuan gereja-gereja Jerman juga mengadopsi pengakuan iman yang sama melalui pertemuan di Wesel (1568) dan Emden (1571).


Pengaturan Topik
Struktur Pengakuan Iman Prancis tidak mudah untuk dideteksi. Sebagian sarjana mengusulkan 4 (empat) pembagian yang mencakup topik tentang Allah, Kristus, Roh Kudus, Gereja. Usulan ini tampaknya terlalu umum dan gagal mencakup topik seputar keselamatan maupun pemerintah sipil. Kita sebaiknya memandang seluruh isi Pengakuan Iman Prancis sebagai sebuah penjelasan doktrinal yang tersusun secara logis tanpa mengotak-kotakkannya ke dalam kategori tertentu.

Berikut ini adalah runtutan topik secara keseluruhan. Untuk isi setiap pernyataan, lihat Th. van den End, Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme, 2-17 atau http://www.ccel.org/ccel/schaff/creeds3.iv.vii.html. Mengingat makalah ini lebih difokuskan pada pengantar Dalam makalah ini kita lebih memfokuskan pada pengantar setiap pengakuan iman, maka kita tidak akan membahas setiap pernyataan secara detail. Kita hanya akan menyinggung beberapa poin yang penting.
Pernyataan 1 Allah yang esa dengan segala sifat-Nya yang ilahi
Pernyataan 2 Allah yang menyatakan diri melalui alam dan Kitab Suci
Pernyataan 3-5 Batasan, dasar dan kesempurnaan Kitab Suci
Pernyataan 6 Allah Tritunggal
Pernyataan 7-8 Penciptaan dan pemeliharaan Allah atas segala sesuatu
Pernyataan 9-11 Keberdosaan seluruh umat manusia
Pernyataan 12 Pemilihan Allah
Pernyataan 13-17 Kristus sebagai pokok keselamatan
Pernyataan 18-23 Pembenaran, pengampunan, iman dan perbuatan baik
Pernyataan 24 Penegasan: Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan
Pernyataan 25-33 Seluk-beluk Gereja: pentingnya jabatan rohaniwan, perlunya bersekutu dalam gereja lokal, ciri-ciri gereja yang sejati, kumpulan “gereja” yang tidak benar, pemerintahan gereja.
Pernyataan 34-38 Sakramen
Pernyataan 39-40 Pemerintahan sipil


Bagian Pengantar
Pengakuan Iman Prancis dimulai dengan sebuah kalimat “dibuat secara sepakat oleh orang-orang Prancis yang ingin hidup sesuai dengan kemurnian injil Tuhan kita Yesus Kristus”. Pendahuluan ini menyiratkan maksud tersendiri. Para perumus ingin menekankan beberapa hal: (1) pengakuan ini bukanlah pengakuan iman yang bersifat sektarian dan melenceng dari tradisi gereja yang benar. Sebaliknya, pengakuan ini adalah hasil kesepakatan gereja-gereja di Prancis; (2) Injil yang dipegang oleh penganut reformasi adalah Injil yang benar, sebagai kontras terhadap Injil yang dipegang oleh Gereja Katolik Roma.

Ketika pengakuan iman ini dikirimkan kepada Francis II, pengakuan ini disertai dengan sebuah surat pengantar di bagian awal. Ada beberapa hal yang ingin disampaikan melalui surat pengantar ini. Pertama, alasan penganiayaan. Penganiayaan yang mereka alami setiap hari merupakan konsekuensi dari komitmen mereka untuk hidup sesuai kemurnian injil dan kedamaian dalam hati nurani. Alasan lain adalah kebencian dari para penganiaya yang tidak memahami ajaran reformasi yang sebenarnya. Ajaran reformasi tidak bertentangan dengan Firman Tuhan maupun ketundukan kepada pemerintah sipil.

Kedua, dasar dari pengakuan iman. Semua yang tertulis dalam pengakuan iman bersumber dari keyakinan bahwa Allah telah menyatakan kehendak-Nya melalui para nabi, rasul dan bahkan Yesus Kristus sendiri. Keyakinan ini menuntut penghormatan tertinggi kepada Kitab Suci, melebihi tradisi Gereja Katolik Roma yang merupakan hasil pemikiran manusia belaka dan sering kali keluar dari tradisi bapa-bapa gereja awal.

Keyakinan di atas pula yang memampukan penganut reformasi untuk bertahan dalam penganiayaan yang hebat. Kesediaan mereka untuk mati demi pengakuan iman yang benar seharusnya menjadi bukti bahwa dalam diri mereka ada semangat lain yang bukan berasal dari manusia. Manusia secara natural cenderung mencari kenyaman dan kedamaian diri mereka sendiri dan bukan kemuliaan Allah.

Ketiga, permohonan kepada raja. Penganiayaan terhadap para penganut reformasi menyebabkan mereka takut dan menyembunyikan diri, sehingga mereka justru tidak dapat memenuhi kewajiban mereka kepada pemerintah. Berangkat dari hal ini dan sesuai dengan janji-janji pemerintah untuk melindungi rakyat yang tidak berdaya, mereka meminta raja untuk membaca dan menilai sendiri ajaran mereka melalui Pengakuan Iman Prancis. Dalam pengakuan ini tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan pemberontakan maupun kesesatan.

Keempat, isi permohonan. Mereka meminta agar raja memberikan kebebasan bagi mereka untuk beribadah di suatu gereja tertentu sehingga mereka bisa mendengarkan firman Tuhan, memuji Tuhan dan menjalankan sakramen. Pemberian tempat seperti ini justru akan memungkinkan pihak-pihak lain untuk menyelidiki sendiri apakah para penganut reformasi melakukan kesalahan tertentu. Jika permohonan ini ditolak, mereka mengharapkan agar raja tidak keberatan dengan pertemuan-pertemuan pribadi mereka.

Kelima, alasan pengabulan permohonan. Mereka mendesak raja mengabulkan permohonan mereka karena ini adalah permohonan dari sejumlah besar rakyat. Alasan lain berkaitan dengan sumber kekuasaan raja. Dengan mengabulkan permohonan ini, raja tidak hanya memberi kesempatan mereka untuk melayani dia, tetapi juga untuk melayani Yesus Kristus yang telah memberikan kuasa dan kehormatan kepada raja.

Terakhir, doa untuk raja. Salah satu bukti bahwa penganut reformasi tetap loyal kepada raja adalah harapan mereka agar Tuhan selalu memberikan yang baik kepada raja: umur panjang, kekuasaan dan kehormatan, kemenangan dan keadilan. Melalui semua ini raja akan dimampukan untuk bertindak bijak dan dengan demikian mampu menggantikan kesakitan dan penderitaan dengan kedamaian dan kebebasan, air mata dan ratapan dengan ucapan syukur kepada Tuhan maupun raja.


Beberapa Problem
Berkaitan dengan isi Pengakuan Iman Prancis, ada dua hal yang perlu kita bahas secara khusus. Sebagian sarjana menduga bahwa para peserta konsili telah memasukkan apa yang disebut sebagai theologi natural ke dalam perumusan iman yang diusulkan gereja-gereja Genewa. Pendapat ini didasarkan pada rujukan tentang wahyu umum yang ditambahkan oleh mereka. Semula rujukan ini tidak ada dalam rancangan awal.

Apakah benar ada unsur theologi natural dalam keputusan konsili? Sebelumnya kita perlu membedakan antara wahyu umum dan theologi natural. Alkitab memang mengajarkan bahwa manusia bisa mengenal Allah melalui hal-hal yang alami, misalnya ciptaan (Rm. 1:19-20; bdk. Mazmur 19) maupun hati nurani (Rm. 2:14-15). Bagaimanapun, Alkitab yang sama juga mengajarkan bahwa manusia dalam kenyataannya tidak bisa sampai pada maksud tersebut. Mereka sebenarnya tahu, tetapi mereka sengaja menindas kebenaran dengan kelaliman (Rm. 1:18, 21, 23, 25). Dosa dalam diri mereka sudah sedemikian menguasai seluruh perasaan, kehendak dan pikiran mereka. Tanpa intervensi Allah secara langsung melalui wahyu khusus, maka manusia tidak akan bisa sampai pada pengenalan yang benar tentang Allah. Di sisi lain theologi natural mengajarkan bahwa wahyu umum sudah cukup untuk membuat manusia mengenal Allah. Pengenalan kepada Allah lebih dipandangs ebagai proses yang alamiah daripada hasil intervensi Allah yang supranatural.

Berkaca dari perbedaan di atas, peserta konsili di Paris tampaknya tidak layak dikategorikan sebagai pendukung theologi natural warisan dari para pemikir skolastik. Rujukan tentang wahyu umum disampaikan secara singkat. Walaupun mereka memang menambahkan 5 pasal pertama pada usulan rumusan dari gereja-gereja Genewa, tetapi jika diamati dengan seksama penambahan ini justru berfokus pada Alkitab. Pernyataan 3-5 secara khusus membahas tentang batasan, otoritas dan kesempurnaan Alkitab. Cara penambahan seperti ini sama sekali tidak menunjukkan adanya pengaruh theologi natural.

Selain isu tentang theologi natural, beberapa sarjana juga menganggap bahwa konsep predestinasi yang diajarkan terkesan moderat (N. V. Hope, “Gallic Confession”, Evangelical Dictionary of Theology, Walter A. Elwell, 439). Sayangnya, pendapat seperti ini tidak disertai dengan penjelasan yang memadai tentang batasan “moderat”, kutipan langsung dari pengakuan iman maupun edisi rumusan iman yang dimaksud (draft usulan, hasil konsili 1559 atau 1571?). Yang jelas, dalam perumusan resmi tahun 1559 doktrin predestinasi diajarkan secara ketat. Pernyataan 12 secara eksplisit menjelaskan bahwa predestiansi didasarkan pada rencana Allah yang kekal dan tidak berubah. Rencana ini tidak didasarkan pada perbuatan baik manusia, melainkan kebaikan dan kemurahan Allah. Mereka yang tidak dipilih oleh Allah mendapatkan keadilan-Nya. Pilihan inilah yang membedakan manusia (selamat dan tidak), walaupun sebelumnya mereka semua tidak ada yang lebih baik daripada yang lain.



Sumber:
Pendalaman Alkitab GKRI Exodus, 3 Februari 2009
(http://www.gkri-exodus.org/page.php?HIS-Kredo_Reformed-01)




Profil Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.:
Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus.org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.




Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.

Resensi Buku-69: TULIP: Lima Pokok Calvinisme (Pdt. G. J. Baan)

...Dapatkan segera...
Buku
TULIP: LIMA POKOK CALVINISME

oleh: Rev. G. J. Baan

Penerbit:
Momentum Christian Literature dan OikoNomos Foundation, 2009

Penerjemah: Samuel Pulung dan Herdian Aprilani.





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Dr. John Calvin adalah seorang theolog dan pendiri Reformasi kedua yang namanya dikenal di seluruh dunia melalui karya utamanya Institutes of the Christian Religion. Pengikut dari Dr. John Calvin ini disebut Calvinisme. Beberapa (bahkan banyak) denominasi gereja menyebut diri dipengaruhi Calvinisme/Reformed, tetapi benarkah mereka mengerti Calvinisme sesungguhnya? Saya banyak menjumpai beberapa gereja arus utama (termasuk “pendeta” di dalamnya) yang mengklaim diri menganut Calvinisme, tetapi doktrin dasarnya bertentangan dengan Calvinisme dan pandangan Reformasi: Sola Scriptura, misalnya: percaya bahwa Kristus tidak bangkit, di luar Kristus masih ada keselamatan, dll. Lalu, apa itu Calvinisme sebenarnya dan apa yang menjadi doktrin inti Calvinisme? Meskipun Calvin sendiri tidak pernah merumuskan theologi sistematika seperti Prof. Dr. Louis Berkhof, namun di dalam Sinode Dordrecht di Belanda pada tahun 1618-1619, para pengikut Calvin (=Calvinisme) merumuskan lima inti/pokok Calvinisme (disingkat: TULIP): Total Depravity atau Total Inability (Kerusakan atau Ketidakmampuan Total), Unconditional Election (Pemilihan Tanpa Syarat), Limited Atonement (Penebusan Terbatas), Irresistible Grace (Anugerah yang Tidak Dapat Ditolak, dan Perseverance of the Saints (Ketekunan Orang-orang Kudus). Kelima pokok Calvinisme inilah yang dibahas secara doktrin, Biblika, dan aplikatif oleh Pdt. G. J. Baan dari Belanda ini. Di dalam bukunya, Pdt. Baan memaparkan kelima pokok Calvinisme secara luas. Beliau menguraikan kelima pokok ini secara theologis, logis, Biblika, dan tetap aplikatif. Beliau memaparkan di dalam Pengantar bukunya, “Tujuan saya di sini mempunyai dua sisi. Pertama, penyembahan kepada Allah dalam meluaskan Kerajaan-Nya yang mulia, yang mustahil terjadi tanpa mengalami iman menurut doktrin Firman Allah yang benar. Dan kedua, juga untuk memberikan sumbangsih pada pengertian yang benar tentang doktrin itu, yang sesuai dengan kesalehan. Jadi, dengan iman kita harus mengetahui doktrin ini baik di dalam hati maupun kepala!” (hlm. x-xi) Biarlah ini juga menjadi harapan saya bagi para pembaca agar doktrin TULIP ini bukan menjadi doktrin yang bersarang di rasio/kepala saja sebagai bahan studi akademis yang ketat, namun juga berimplikasi di dalam kehidupan kita sehari-hari demi hormat dan kemuliaan nama-Nya.





Profil Pdt. G. J. Baan:
Pdt. G. J. Baan lahir pada tahun 1968 di kota Middelburg, Belanda. Beliau menyelesaikan studi di bidang ICT untuk dunia usaha, kemudian melanjutkan studi theologi di Sekolah Theologi Rotterdam. Beliau menjadi pendeta di kota Lisse pada tahun 1995. Pada tahun 2002, Pendeta Baan dipanggil untuk melayani Gereja Protestan di Indonesia (GJPI) di Papua. Selain itu, beliau juga menjadi dosen di STT C. G. Vreugdenhil di Pass Valley. Pendeta Baan juga menyelenggarakan beberapa kursus dogmatik untuk memperkuat dasar doktrin dan iman para mahasiswa theologi dan mahasiswa di perguruan tinggi dan universitas lain, baik di Papua, Indonesia, maupun India.

Roma 14:1-3: KONSEP MENGHAKIMI-1: Pendahuluan

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-14


Konsep Menghakimi-1: Pendahuluan

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 14:1-3.



Setelah mengerti konsep tentang kasih yang berkait dengan kebenaran dan kesucian (ay. 8 s/d 14), Paulus mengingatkan agar kita yang sudah mengerti tidak boleh sombong dan merasa diri hebat lalu menghina orang lain. Apa yang Paulus ingatkan ini dipaparkannya pada pasal 14 ayat 1-12. Pada bagian ini, kita akan membahas tiga ayat pertama untuk mengerti pendahuluan tentang perintah jangan menghakimi. Lalu, sembilan ayat sisanya merupakan alasan perintah jangan menghakimi itu.

Di ayat 1, Paulus mengingatkan jemaat Roma, “Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya.” Kata “lemah iman” diterjemahkan dalam versi Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), “Orang yang tidak yakin akan apa yang dipercayainya” Berarti, “lemah iman” identik dengan orang yang tidak yakin akan apa yang dipercayainya. Kepada orang ini, Paulus mengingatkan jemaat Roma untuk menerima mereka. Apa artinya menerima? Apakah berarti kita tidak peduli dengan kelemahan imannya? Ataukah kita berkompromi iman? Tidak. Kalau kita mengerti konteksnya, ayat ini dan keseluruhan surat Roma tidak ditulis bagi semua orang, tetapi hanya bagi umat Tuhan, sehingga kita mengerti lingkup pembahasan Paulus, yaitu hanya bagi umat pilihan-Nya. Dengan kata lain, di dalam tubuh Kristus, ada anak-anak Tuhan yang (sementara waktu) kurang yakin akan imannya atau lemah imannya, mungkin dikarenakan kurangnya pengertian yang mereka peroleh. Lemahnya iman di sini tentu BUKAN berarti tidak memiliki iman dasar/primer yang penting, tetapi lingkupnya hanyalah iman sekunder bahkan tersier yang kurang penting (baca ayat selanjutnya). Oleh karena itu, Paulus mengajar jemaat Roma untuk menerima orang yang lemah imannya, mengapa? Karena umat Tuhan yang lemah imannya pun tetap adalah umat Tuhan yang perlu dibimbing, bukan dimusuhi. Bukan hanya diterima, Paulus mengatakan bahwa kita tidak perlu mempermasalahkan pendapat orang-orang yang lemah imannya itu. Apa artinya? Apakah berarti kita masa bodoh terhadap pandangan mereka? Di dalam NIV, pernyataan “mempercakapkan pendapatnya” bisa diterjemahkan memberikan penghakiman atas pendapatnya. Terjemahan Indonesia dari teks Yunaninya adalah, “jangan ke dalam perselisihan-perselisihan pendapat-pendapat.” (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 868) Dari kedua terjemahan ini, kita bisa mengerti bahwa maksud Paulus bukannya kita cuek dengan pendapat orang yang lemah imannya itu, tetapi kita tidak perlu mempermasalahkannya pendapat orang yang lemah imannya itu sampai ribut dan bertengkar/berselisih.

Mengapa Paulus berkata bahwa kita tidak perlu mempermasalahkan pendapat tersebut sampai ribut? Karena alasannya jelas, yaitu, hal-hal yang dipermasalahkan adalah hal-hal sekunder yang tidak mutlak (ay. 2). Orang yang terlalu mempermasalahkan hal-hal sepele sampai ribut adalah orang yang kurang dewasa dalam iman. Mengapa? Karena orang itu tidak bisa membedakan mana hal yang primer dan mutlak dengan hal yang sekunder dan tidak mutlak. Bagaimana dengan kita, khususnya kita yang sudah belajar theologi? Banyak dari kita yang sudah mempelajari banyak theologi merasa sombong. Jika ada yang berbeda hal-hal sepele dengan apa yang kita imani, kita langsung marah dan tidak segan-segan, kita mencap mereka yang berbeda sebagai bidat (sesat). Di sini, saya mengatakan, “hal-hal sepele.” Artinya, hal-hal yang tidak mutlak. Misalnya, hal doa bersuara, berpuasa, dll. Ada satu pendeta dari gereja di Surabaya yang mengaku diri Calvinis menyerang ajaran doa bersuara (doa yang dinaikkan secara serentak oleh semua jemaat dalam bahasa yang dapat dimengerti) dengan segudang argumentasi “Alkitab.” Meskipun pendeta ini tidak mengatakan ajaran doa bersuara itu BIDAT, tetapi gaya tulisan di dalam artikelnya memojokkan ajaran doa bersuara (seolah-olah Alkitab melarang praktik doa bersama-sama), padahal doa bersuara BUKAN hal mutlak yang perlu diperdebatkan. Yang lebih lucu lagi, ada salah satu jemaat dari pendeta ini yang pernah berdiskusi dengan saya tentang doa bersuara mengajukan beberapa ayat Alkitab, khususnya dalam 1Kor. 14:33, 40 lalu menafsirkan bahwa doa bersuara = bahasa lidah yang kacau. Tafsiran Alkitab seperti ini tidak bisa dipertanggungjawabkan, karena 1Kor. 14:33, 40 ditulis Paulus dalam konteks bahasa lidah, bukan doa bersuara. Bahasa lidah adalah bahasa yang TIDAK DAPAT dimengerti, sedangkan doa bersuara dipanjatkan dalam bahasa yang DAPAT dimengerti. Dua hal berbeda, tetapi sengaja dicocok-cocokkan. Marilah kita tidak meributkan hal-hal yang sepele, tetapi kita membangun satu sama lain di dalam pengertian iman yang kembali kepada Alkitab. Untuk hal-hal yang primer dan mutlak (7 poin, yaitu: Allah Trinitas, dwi natur Kristus, ketidakbersalahan Alkitab, kelahiran Kristus dari anak dara Maria, semua manusia telah berdosa, manusia dibenarkan melalui anugerah Allah di dalam iman, dan Kristus akan datang kembali kedua kalinya), kita boleh berperang melawan bidat, karena itu tugas kita, tetapi untuk hal-hal yang sepele, hendaklah kita tidak terlalu meributkan.


Lalu, orang yang lemah iman seperti apa yang Paulus maksudkan? Di ayat 2, ia menjelaskan, “Yang seorang yakin, bahwa ia boleh makan segala jenis makanan, tetapi orang yang lemah imannya hanya makan sayur-sayuran saja.” Albert Barnes dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menafsirkan orang yang lemah imannya di dalam ayat ini adalah orang Yahudi yang bertobat. Di dalam tradisinya, orang-orang Yahudi yang berpedoman pada hukum Musa tidak memakan daging binatang (baca: Imamat). Meskipun mereka telah menerima Kristus, banyak dari mereka yang masih tidak makan daging dan masih percaya bahwa sunat itu diperlukan. Untuk hal sunat, Paulus telah membahasnya secara panjang lebar di Surat Roma ini di pasal-pasal sebelumnya (bdk. Rm. 2:17-29). Ia tidak setuju bahwa orang Yahudi yang telah bertobat dan menerima Kristus harus disunat, karena yang terpenting sunat rohani. Jika ada yang memutlakkan sunat sebagai tanda bahwa orang itu menjadi umat Allah, orang itu telah menghina karya penebusan Kristus. Untuk hal sunat, Paulus TIDAK menganggapnya sepele karena hal itu sangat penting. Mengapa? Karena itu menyangkut karya penebusan Kristus. Tetapi untuk hal makan daging atau tidak makan daging, Paulus TIDAK terlalu mempermasalahkannya, karena itu hanya tradisi dan itu bukan hal mutlak. Orang Kristen Yahudi yang masih makan sayur dan tidak makan daging tidak membuktikan diri mereka saleh, begitu juga orang Kristen non-Yahudi yang makan segalanya tidak membuktikan diri mereka saleh. Jadi, makan sayur atau tidak bukan kriteria seseorang diselamatkan. Bagaimana dengan kita? Di dalam Kekristenan sendiri, ada beberapa golongan yang memutlakkan hal-hal yang relatif, seperti kasus makanan yang Paulus paparkan ini. Ada beberapa golongan Kristen kontemporer yang memutlakkan baptisan selam. Bahkan ada yang sampai mengatakan bahwa orang Kristen yang tidak dibaptis selam tidak masuk sorga. Maka, berbondong-bondonglah orang Kristen yang sudah dibaptis percik lalu dibaptis selam, biar aman (afdhol). Padahal Alkitab TIDAK pernah mengajarkan ajaran tidak bertanggungjawab itu. Baptis hanya satu kali (Ef. 4:5), tidak perlu berulang kali apa pun alasannya! Baptisan selam, percik, atau apa pun adalah hanya sekadar cara upacaranya, yang penting intinya jelas yaitu bukti seseorang masuk ke dalam persekutuan tubuh Kristus. Baptisan selam ataupun percik TIDAK pernah menyelamatkan, yang menyelamatkan adalah Kristus saja!


Di dalam ayat 3, Paulus mengulang kembali peringatannya di ayat 1, “Siapa yang makan, janganlah menghina orang yang tidak makan, dan siapa yang tidak makan, janganlah menghakimi orang yang makan, sebab Allah telah menerima orang itu.” Paulus mengatakan bahwa bukan hanya kita menerima orang yang lemah imannya saja, tetapi kita harus menerimanya dan tidak perlu menghakiminya, mengapa? Karena Allah telah menerima orang itu! Di sini, Paulus mengemukakan alasan yang lebih tegas, bukan karena si X atau si Y yang harus menerima orang yang lemah imannya, tetapi ALLAH sendiri telah menerima orang yang lemah imannya. Berarti, karena Allah tidak memandang hal-hal sepele, maka sebagai anak-anak-Nya pun, kita tidak perlu memandang hal-hal sepele lalu melupakan hal-hal primer. Bagaimana dengan kita? Biarlah konsep ini bukan konsep yang dimengerti di dalam otak, tetapi konsep ini harus kita aplikasikan. Saya pribadi sebagai orang Kristen yang memegang teguh prinsip theologi Reformed Injili pun tetap tidak mempersoalkan hal-hal sepele. Saya memiliki seorang teman di Yogyakarta yang beraliran Baptis Dispensasionalisme. Dia memiliki iman yang cukup kuat di dalam hal-hal prinsipil, seperti Allah Trinitas, ketidakbersalahan Alkitab, dll (7 poin yang sudah saya paparkan di atas), tetapi dia tidak mempercayai theologi kovenan seperti yang saya percayai dan tentunya dia juga tidak mempercayai baptisan anak (infant baptism). Saya pernah menjelaskan dua konsep itu kepadanya, tetapi dia tetap tidak mau menerima. Meskipun demikian, saya tetap berteman dan tidak lagi mempermasalahkan kedua doktrin tersebut. Hal ini tidak berarti saya kompromi dengan semua jenis theologi. Kepada orang-orang yang berbeda doktrin dengan saya dalam hal-hal primer, saya tidak akan pernah kompromi. Saya akan terus menyerang mereka yang mengaku diri “Kristen” bahkan “pendeta” tetapi tidak percaya 7 prinsip dasar iman Kristen Injili. Tetapi kepada mereka yang berbeda doktrin secara non-prinsipil (sekunder), saya terbuka (tidak berarti saya kompromi) dan menghargai. Mengapa? Karena saya percaya Allah juga menerima dan memakai mereka yang berbeda doktrin secara sekunder itu untuk menggenapkan kehendak-Nya. Belajarlah menghargai mereka yang berbeda doktrin secara sekunder sambil tetap saling berinteraksi bertumbuh di dalam kebenaran Alkitab.


Bagaimana dengan kita? Masihkah kita merasa diri arogan dengan pengetahuan theologi yang kita miliki? Biarlah kita belajar rendah hati menerima orang lain khususnya yang berbeda doktrin secara sekunder. Sebagaimana Allah telah menerima mereka yang lemah imannya, siapkah kita menerima mereka yang lemah imannya itu demi kemuliaan-Nya? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 13:47-50: THE QUALITY OF MEMBERS (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 06 Mei 2007


The Quality of Members

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.


Nats: Mat. 13:47-50


Melalui perumpamaan tentang harta terpendam dan mutiara yang berharga (Mat. 20:44-46) yang dipaparkan oleh Tuhan Yesus, kita dibukakan akan kualitas dari Kerajaan Sorga itself. Kualitas Kerajaan Sorga ini bukanlah sekedar teori tetapi semua itu tergantung dari konsep aksiologi atau konsep nilai yang terbentuk dalam pemikiran kita. Ketika orang menganggap emas itu mahal dan bernilai maka orang pasti memperlakukan emas itu berbeda dengan benda lain seperti uleg-uleg batu meski keduanya mempunyai berat sama. Orang harusnya menunjukkan suatu respon positif – orang akan berjuang dengan sekuat tenaga untuk mendapatkannya dan mempertahankannya dan setelah mendapatkannya ia akan menyimpannya baik-baik. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita hanya berespon ketika mengejar Kerajaan Allah saja ataukah respon itu secara internally masuk ke kedalaman diri kita? Banyak orang yang meresponi suatu kualitas tetapi tidak mengkaitkan dengan diri sendiri, orang hanya fokus pada suatu bagian yang ia ingin capai saja. Pernahkah kita mengevaluasi diri, siapakah diri yang bernilai ekstrinsik ini mengejar nilai instrinsik atau kualitas itu? Bagaimana kita mengkaitkannya dengan nilai instrinsik yang ada dalam diri sendiri?
Orang yang tahu akan sesuatu yang bernilai maka dengan segala cara ia mendapatkannya; keinginan yang timbul itu merupakan nilai ekstrinsik sedang obyeknya atau benda yang bernilai tersebut mempunyai nilai instrinsik, yakni nilai yang ada didalam obyek nilai. Pada saat kita yang ekstrinsik ini mengejar nilai instrinsik, pernahkah kita mengevaluasi diri sendiri, layakkah kita mendapatkannya? Hal ini jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan sebab orang selalu berpikir kalau dirinya cukup baik untuk mendapatkan nilai tinggi. Kita hanyalah bernilai ekstrinsi seharusnya mengevaluasi diri apakah secara intrinsik, kita layak mendapatkan sesuatu yang secara instrinsik sangat bernilai? Hal inilah yang ingin dibukakan oleh Tuhan Yesus dalam perumpamaan tentang pukat atau lebih tepat dikatakan sebagai perumpamaan tentang ikan baik dan ikan buruk (Mat. 13:47-50) – untuk mencapai the highest value of intrinsic value, we should be equal to that instrinsic value. Hal ini sangat penting untuk kita pahami sebab kita tidak mungkin mendapatkan dari dunia.
Untuk memudahkan perhatikan ilustrasi berikut: ada seorang gadis sangat sempurna, ia cantik, pandai, kaya, dan masih banyak faktor lain yang mendukung kesempurnaannya dan tentu saja, kesempurnaannya membuat banyak kaum lelaki yang menginginkannya maka pertanyaannya sudahkah para kaum lelaki itu mengevaluasi diri apakah ia layak mendapatkannya sebelum ia mengusahakannya? Apakah seorang lelaki yang malas, tidak mau bekerja, hidupnya berantakan layak mendapatkan si gadis? Seringkali, hal inilah yang dilakukan manusia, kita selalu melihat ke luar, kita menginginkan sesuatu yang bernilai tapi kita tidak pernah mempersiapkan diri kita sendiri. Demikian halnya dengan Kerajaan Sorga, banyak orang yang ingin mendapatkannya tetapi orang tidak pernah mengevaluasi diri, apakah kita cukup layak untuk masuk dalam-Nya? Siapakah kita sehingga kita boleh masuk dan menjadi warga Kerajaan Sorga? Jadi, kualitas menyangkut dua unsur intrinsik yang harus direlasikan secara equal.
Orang tahu betapa bernilainya Kerajaan Sorga itu dan orang pun ingin masuk dan berbagian di dalam-Nya namun yang menjadi letak permasalahan adalah termasuk ke dalam golongan manakah kita, ikan baik ataukah ikan busuk? Ketika kita hendak mengejar Kerajaan Sorga maka kita harusnya mengevaluasi diri, siapakah kita? Namun umumnya, orang tidak pernah berpikir demikian sebab paradigma berpikir kita telah terbentuk oleh dunia dan berakar kuat, dalam banyak aspek cara berpikir kita tidak sesuai bahkan bertentangan dengan Firman. Dosa dan permainan filsafat dunia telah meracuni sedemikian rupa membuat orang tidak dapat memahami kebenaran sejati ketika berimplementasi di dunia.
Hal Kerajaan Sorga itu seperti seorang nelayan yang memukat ikan, setelah penuh, ia akan memilah antara ikan baik dan ikan busuk. Melalui perumpamaan ini Tuhan Yesus membukakan bahwa tidak setiap orang yang ingin masuk dalam Kerajaan Sorga akan sangat mudahnya diterima. Tidak! Namun, hari ini kita melihat dunia Kekristenan tidak melakukan tahap penyeleksian akibatnya orang tidak memahami kualitas Kerajaan Sorga. Kerajaan Sorga itu sangatlah berharga dan mulia maka jangan pikir kalau kita sudah ada dalam pukat berarti sudah berbagian dalam-Nya. Tidak! Kita masih harus melewati beberapa seleksi lagi. Perhatikan, lalang yang tumbuh bersama gandum tidak akan masuk dalam lumbung. Demikian pula halnya dengan kita, hari ini kalau kita berada dalam gereja bukan berarti kita adalah warga kerajaan-Nya. Tidak! Kita masih harus melewati satu tahap penyeleksian, apakah kita masuk dalam golongan ikan yang bagus ataukah ikan busuk? Apakah kita gandum atau ilalang?
David F. Wells dengan tajam melihat pasca pertengahan abad ke-20, setelah Perang Dunia I dan II, Kekristenan sudah melupakan esensi asli. Dalam bukunya, No Place for Truth dituliskan memasuki era posmodern ini dunia hanya bergerak menuju ke satu arah, yaitu manajemen marketing dan cara pencapaiannya menggunakan pendekatan psikologis, orang memakai cara-cara humanistik untuk memenuhi egonya. Celakanya, manajemen marketing ini telah menyebar dan masuk dalam segala aspek kehidupan. Orang teknik tidak lagi menitikberatkan pada teknologi mesin itu sendiri tetapi orang mulai mengarah pada penjualannya sebab apa gunanya mesin hebat tapi kalau tidak dapat dijual di pasaran dan merugi. Kemajuan manusia adalah kemajuan marketing dan neraca perdagangan. Demikian pula halnya dengan bidang kedokteran, pendidikan, politik dan segala bidang lain, semua diukur dari untung rugi. Prinsip ini telah mengakar dalam kehidupan manusia. Manusia tidak lagi berpikir untuk mencapai kualitas, manusia hanya ingin mendapat keuntungan sebesar-besarnya maka segala sesuatu diukur secara kuantitas, semua diukur secara angka. Ketika manusia menggeser semua hal ke aspek material akibatnya orang terjebak ke aspek kuantitatif. Perhatikan, ketika semua hal dihitung dari untung rugi akibatnya orang tidak pernah memahami kualitas, quality is not matter of number. Adakah orang yang dapat mengukur dengan angka berapa besarnya kualitas kerohanian secara obyektif? Berapakah nilai angka untuk kebaikan, kesucian atau kerendahhatian? Perhatikan, karakter seseorang hanya dapat diukur secara subyektif dan hanya Tuhan saja yang layak menilai kualitas manusia.
Celakanya, gerejapun memakai cara dunia yang humanis materialis yang selalu berpikir untung dan rugi dan selalu mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Gereja tidak menyadari bahwa kualitaslah yang terpenting sebab apalah artinya jumlah banyak kalau tidak dibangun di atas dasar kebenaran sejati – gereja akan mudah sekali dihancurkan. Melalui perumpamaan ini, Tuhan Yesus membukakan pada kita pentingnya kualitas namun ingat, bukan berarti kemudian kita anti dengan kuantitas. Tidak! Fakta membuktikan kualitas itu dengan sendirinya menentukan kuantitas. Perhatikan, ketika kita bermain dengan kuantitas dalam bisnis atau dagang maka kita akan tergilas oleh pihak lain yang mempunyai modal lebih besar. Sebagai anak Tuhan sejati, hendaklah kita selalu berjuang untuk mencapai kualitas tertinggi dan orang yang sudah mencapai tingkatan kualitas itu pastilah ia tidak mau kembali pada kualitas rendah. Sebagai contoh, setelah kita merasakan enaknya makanan di warung A maka kita tidak akan kembali lagi kesana setelah kita merasakan ada tempat lain yang lebih enak. Tuhan Yesus membukakan pada kita akan pentingnya kualitas dibandingkan dengan kuantitas. Yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang menjadi standar ukuran kualitas? Kristus Yesuslah yang harusnya menjadi teladan dan ukuran dari kualitas; hanya Tuhan yang berhak memberi penilaian pada setiap manusia. Biarlah kita diubahkan dan dibentuk oleh Tuhan dengan demikian kita menjadi peka dan tidak dipermainkan oleh dunia. Hendaklah Firman Tuhan itu terimplikasi dalam hidup kita dan hati-hati dengan akal licik iblis yang sengaja mempengaruhi pemikiran kita dengan mengatakan: “Tidak mungkin dan mustahil.“ Perhatikan, kalau semua yang kita lakukan adalah kehendak Tuhan maka Tuhan pasti akan memimpin, tidak ada kekuatan yang lain yang dapat menggagalkan.
Firman Tuhan menegaskan jalan menuju ke sorga itu sempit berarti orang yang dapat masuk sangat sedikit. Hal ini menyadarkan kita akan konsep kualitatif dan menjadikan kita lebih waspada. Memang yang masuk sorga itu sedikit namun hal itu bukan berarti Tuhan tidak suka kalau banyak orang yang bertobat. Tidak! Fakta membuktikan sesuatu yang berkualitas itu, jumlahnya sangat sedikit sebab bukanlah hal yang mudah untuk bisa mencapai kualitas tinggi. Karena itu, jangan kejar kuantitas tetapi kejarlah kualitas dan kuantitas akan mengikut di belakangnya; quality first and the quantity welcomes up. Lalu bagaimana kita memahami kualitas?
Pertama, Kualitas itu bukan berarti ketika kita berkata “bagus“ maka itulah bagus. Tidak! Bagus itu haruslah sesuai dengan standar Tuhan, apa yang menurut Tuhan bagus maka itulah bagus. The source of quality will selected it. Hari ini, banyak orang telah dipengaruhi oleh konsep posmodern maka tidaklah heran kalau orang tidak memahami akan keindahan yang sejati, orang tidak memahami definisi keindahan. Filsafat posmodern mengajarkan hal yang salah, yakni apa yang menurut kita indah maka itulah indah; jadi, indah itu suka-suka dan terserah kita. Salah! Kita harus kembali pada Firman untuk dapat memahami kualitas sejati. Quality based on the source of quality. Tuhan adalah Raja di atas segala raja, Dialah pemilik Kerajaan Sorga maka Dia berhak melakukan penyeleksian siapa saja yang boleh masuk ke dalam-Nya. Kedaulatan penuh berada di tangan-Nya. Kualitas sejati harus kembali pada kualitas absolut yang menjadi standar mutlak. Sebagai anak Tuhan sejati haruslah mengutamakan kehendak Tuhan dalam segala aspek hidup kita dan bagaimana kebenaran Tuhan ditegakkan. Inilah the sovereignty of God. Firman Tuhan sungguh agung, di dalamnya memberikan prinsip kebenaran sejati seperti tentang keindahan, seni, sosial, hukum, alam semesta dan masih banyak lagi. Orang yang mengaku Kristen tapi ia tidak mau belajar Firman maka dapatlah dipastikan kita adalah termasuk dalam golongan ikan yang busuk. Tuhan memberikan pada setiap kita potensi untuk kita dapat kembali pada kebenaran firman. Maukah kita kembali dan diubahkan oleh kebenaran Firman yang menjadi standar atau ukuran mutlak?
Kedua, Cara Tuhan Yesus menilai apakah ikan itu bagus atau busuk bukan dilihat secara tampilan luar tetapi secara internal. Tuhan melihat karakter asli yang ada pada kita, apakah kita termasuk ikan bagus? Berbeda dengan manusia pada umumnya dimana orang hanya melihat secara fenomena, orang melihat aksesori yang menempel. Bagus atau jeleknya ikan itu harus dilihat secara internal bukan secara tampilan luar. Mata manusia seringkali terkecoh oleh tampilan luar, terkecoh oleh aksesori yang ditampilkan namun Tuhan melihat karakter, Dia tahu apa yang ada dalam hati setiap manusia yang terdalam yang orang lain tidak tahu. Sebagai anak Tuhan, kita harus submissive, taat penuh pada pimpinan Tuhan. Tuhan ingin hidup kita dimurnikan, kita menjadi garam dan terang di tengah dunia ini. Tuhan ingin kita mempunyai karakter asli yang indah secara internal dan untuk mencapainya tidaklah mudah, kita harus melewati beberapa proses pembentukan oleh Tuhan. Melalui perumpamaan ini, hendaklah kita mengevaluasi diri sudahkah kita hidup seturut dengan kehendak Tuhan? Maukah kita diubahkan dan dibentuk oleh-Nya menjadi semakin serupa dengan Dia? Hizkia menjelang ajal dalam doanya ia berkata betapa selama ia hidup ia telah setia dan tulus hati di hadapan Tuhan; bagaimana sepanjang hidup ia telah melakukan segala hal yang berkenan di hadapan Tuhan (2Raj. 20). Inilah karakter asli. Perhatikan, doa seperti ini tidak mungkin keluar dari mulut Hizkia kalau tidak ditunjang oleh seluruh hidupnya. Kalau Hizkia berani berkata seperti itu berarti ia telah membuktikan sepanjang hidupnya, setia, tulus hati, hidup bersih di mata Tuhan. Beranikah kita berkata kepada Tuhan seperti Hizkia? Apakah kita telah memperkenankan hati Tuhan di sepanjang hidup kita? Sesungguhnya, kalau Hizkia mau berbuat dosa sangatlah mudah, ia adalah seorang raja, ia mempunyai kekuasaan, kekayaan, dan masih banyak lagi namun Tuhan memakai raja Hizkia dan mencatatnya dalam Alkitab seharusnya menyadarkan kita, yakni jika dibandingkan dengan Hizkia yang mempunyai segala potensi untuk berbuat dosa dengan kekayaan dan kuasa yang ada tetapi ia toh tidak melakukan itu maka kita seharusnya jauh lebih mudah untuk hidup seturut dengan rencana Tuhan. Tuhan ingin membentuk setiap kita namun sayang, tidak setiap orang mau dibentuk oleh-Nya. Ingat, Tuhan tidak melihat tampilan luar kita, Dia melihat karakter, hati yang terdalam – setiakah kita pada-Nya, taatkah kita pada-Nya, sudahkah kita melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan?
Ketiga, Perumpamaan ini bukan sekedar memberikan himbauan atau nasihat. Tidak! Melalui perumpamaan ini Tuhan mau membukakan akan adanya penghakiman Tuhan. Tuhan ingin kita hidup setia dan taat pada-Nya sebab barangsiapa mengasihi Anak maka ia melakukan perintah-Ku dan melakukan-Nya dan Tuhan berkenan atasnya. Yang menjadi pertanyaan apakah kita termasuk dalam kategori ikan bagus ataukah ikan busuk yang tidak ada jalan lain selain harus dibuang dan dibakar? Tempat dimana ada ratap dan gertak gigi merupakan gambaran neraka, gambaran situasi orang yang dibuang dari hadapan Tuhan. Ingat, kalau Tuhan sudah membukakan pada kita seharusnya menjadikan kita lebih waspada, hidup baik-baik di hadapan Tuhan. Ingat, Tuhan tidak dapat dipermainkan. Kalau Tuhan tidak menyayangkan carang yang asli untuk dibuang apalagi kalau kita hanya carang hasil cangkokkan. Tuhan ingin kita waspada, hal ini bukan sekedar sebuah pilihan atau himbauan tetapi positioning; pertanyaannya dimanakah posisi kita? Apa yang kita perjuangkan dalam hidup ini? Perumpamaan ini menyadarkan kita bahwa penghakiman Allah itu bukanlah main-main tetapi riil; penghakiman Allah bukanlah ilusi. Keadilan Allah itu riil dan sempurna; murka Allah itu nyata bagi kita. Jonathan Edwards dalam bukunya Sinners in the Hand of an Angry God kiranya juga menegur dan mengingatkan kita akan murka Allah dan bagaimana nasib orang berdosa di tangan Allah yang murka. Tuhan yang penuh kasih itu adalah Tuhan yang adil, Tuhan mengampuni orang-orang berdosa yang mau kembali pada-Nya dan Ia adalah Tuhan yang menghukum orang berdosa yang melawan Tuhan. Karena itu bertobatlah, kembali pada Tuhan dan serahkan hidup dalam pimpinan Tuhan.
Kesadaran keseimbangan ini kiranya menjadikan hidup kita semakin serupa dengan Dia, pikiran kita diubahkan dengan demikian value system kita dikembalikan pada kebenaran sejati. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber:

http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2007/20070506.htm