20 October 2010

MASIH ADAKAH KEMURNIAN HATI DI TENGAH KEMUNAFIKAN ZAMAN INI? (Denny Teguh Sutandio)

Masih Adakah Kemurnian Hati Di Tengah Kemunafikan Zaman Ini?

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya.”
(Mzm. 73:1)





Mazmur 73 merupakan mazmur yang ditulis oleh Asaf di dalam konteks pergumulannya dengan Tuhan dengan membandingkan kondisi anak-anak Tuhan dengan mereka yang hidup di luar Tuhan. Pengakuan imannya didahului oleh pernyataan bahwa Allah itu baik bagi orang yang tulus hati dan bagi mereka yang bersih hati. Kalau kita memperhatikan teks aslinya, Ibrani, kata tulus hati tidak kita jumpai, namun yang dijumpai justru adalah Israel (yiSrä´ël). Di dalam pernyataan awal ini, Asaf mengajar kita bahwa Allah itu baik bagi umat pilihan-Nya, dalam konteksnya Israel dan Ia juga baik bagi mereka yang bersih hatinya. Kata bersih di dalam kata Ibraninya bar berarti murni. Setelah mengatakan hal ini, Asaf menyadari bahwa fakta seolah-olah berkata hal sebaliknya, yaitu orang yang hatinya tidak murni lah yang lebih mujur daripada orang yang bersih hatinya. Ia menjelaskan orang-orang yang hidup di luar Tuhan adalah mereka yang membual (ay. 3), sombong dan keras (ay. 6), perkataan mereka jahat dan melawan Allah (ay. 8-11), hidup hedonis dan materialis (ay. 12). Tetapi benarkah mereka yang hidup kelihatan mujur dapat dikatakan hidup dengan hati yang murni di hadapan Tuhan? Puji Tuhan, mulai ayat 17, atas anugerah-Nya, Asaf masuk ke dalam tempat kudus Allah dan mengerti kehendak-Nya dan di saat itulah, ia menyadari bahwa meskipun orang kafir itu hidup seolah-olah lebih mujur, namun Tuhan telah mempersiapkan hukuman kepada mereka. Di saat itulah, ia baru menyadari bahwa hidup di dekat Allah itu hidup yang benar-benar indah dan menyenangkan.


Hidup di dekat Allah adalah hidup dengan hati yang murni/bersih di hadapan-Nya. Hidup tersebut ditandai dengan keinginan bersekutu dengan-Nya (ay. 23), rela diproses oleh firman-Nya (ay. 24), mengingini Allah saja (ay. 25-26), dan menceritakan karya perbuatan Allah kepada dunia (ay. 28). Dengan kata lain, orang yang hidup dengan hati yang murni/bersih di hadapan-Nya tidak memiliki kedok bercabang atau menipu atau berbohong secara halus, dll. Namun, fakta di mana kita hidup berkata lain. Kita hidup di sebuah zaman yang dikuasai oleh manusia yang banyak berhati busuk. Hatinya sudah dikuasai oleh setan, sehingga apa pun yang keluar dari hatinya tidak pernah bersih/murni, selalu memiliki intrik menipu. Istilah tajamnya adalah MUNAFIK. Intrik menipu ini ditandai dengan dua hal:
Pertama, budaya sungkan-isme. Budaya sungkan adalah sebuah budaya yang dipengaruhi oleh budaya Timur yang menghargai etika sopan santun, namun diekstremkan. Jika sopan santun bermotivasi baik yaitu ingin menghargai orang yang lebih tua, namun budaya ini diekstremkan menjadi budaya sungkan yang ingin menghargai semua orang, sampai-sampai enggan mengatakan kebenaran. Namun di sisi lain, memang hal ini TIDAK berarti demi alasan mengatakan kebenaran, kita terlalu cepat menuding kesalahan orang bahkan dalam hal-hal sepele. Jangan ekstrem! Kembali, budaya ini dapat kita lihat tatkala seseorang mencoba menolak ajakan orang lain. Kebanyakan orang Timur karena sungkan selalu mencari-cari cara untuk menolak ajakan orang lain, namun tidak menyakiti orang yang mengajak tersebut. Di dalam beberapa hal ini tentu baik, karena tidak kasar, namun di sisi lain, tidak sedikit mereka yang bermotivasi baik ini memakai cara-cara busuk, misalnya berbohong untuk menolak ajakan orang lain (alasan klise yang sering dipakai, misalnya: lagi sibuk, sakit, ada urusan, dll). Saya menyebut budaya sungkan sebagai munafik pasif, artinya sikap ini merupakan sikap munafik (beda hati dengan mulut) namun dilakukan secara pasif.

Kedua, bermulut manis. Tidak cukup hanya dengan sungkan, banyak orang zaman sekarang jago bermulut manis atau bahasa Jawanya: mbasahi lambe. Saya menyebut bermulut manis sebagai tindakan munafik secara aktif. Seorang yang bermulut manis biasanya mengatakan sesuatu yang TIDAK dari hatinya, namun hanya sekadar lip service. Lip service ini dapat dilihat ketika seseorang itu sedang menyanjung seseorang, namun kalau orang yang disanjung itu pergi, maka si penyanjung ini akan membicarakan hal-hal negatif kepada orang lain. Lip service juga dapat dilihat pada seseorang yang mudah merayu pasangannya. Seorang cowok/cewek bisa dengan mudahnya merayu cewek/cowoknya dengan kalimat-kalimat “maut” yang membuat pasangannya jatuh hati, namun tanpa disadarinya si cowok/cewek tersebut ternyata juga mengatakan hal yang sama kepada cewek/cowok yang lain. Tidak heran, fakta ketidaksetiaan di dalam hubungan lawan jenis hari-hari ini begitu marak. Di sebuah sinetron Indonesia di SCTV hari ini (20 Oktober 2010), si cewek bisa merayu pacarnya (sekaligus ibunya), namun di sisi lain, si cewek tanpa merasa bersalah berselingkuh dengan cowok lain. Selain itu, lip service juga dijumpai pada banyak orang khususnya banyak salesman yang mencoba menawari klien dengan hal-hal bagus, namun menyembunyikan hal-hal lain. Pdt. Sutjipto Subeno pernah mengatakan bahwa beliau paling jijik mendengar seorang salesman mengatakan, “Saya ingin membantu bapak.” Di balik perkataan itu, benarkah salesman itu membantu customer, ataukah antara salesman dan customer saling membantu? Tujuan akhirnya adakah yang kedua (yaitu saling membantu), namun yang dikedepankan selalu hal-hal baik. Di dalam hubungan lawan jenis pun, kita menjumpai fakta yang tidak jauh berbeda: saling menutupi. Seorang cewek/cowok yang sudah punya gebetan (bahkan pacar) selalu ditutupi (supaya tampak alim), lalu dengan mudahnya menjalin hubungan lawan jenis dengan cowok/cewek lain, tetapi setelah ditelusuri, ternyata si cewek/cowok itu tidak lebih dari seorang playgirl atau playboy yang gemar mempermainkan orang lain. Hari ini jalan berdua dengan cowok X, minggu depan jalan berdua dengan cowok Y, dst. Ketika ditanya, si cewek (tanpa merasa bersalah) selalu berkata, “Itu teman.” (istilah gaulnya: Hubungan Tanpa Status/HTS yang berlangsung berbulan-bulan tanpa kejelasan) Dia tidak lebih dari seorang “pelacur”. Inilah citra banyak generasi muda (bahkan yang mengaku diri “Kristen”) zaman postmodern: semau gue: menuntut pasangan setia, namun dia sendiri tidak pernah setia. Benar-benar aneh!


Lalu, sebagai orang Kristen yang cinta Tuhan, apa yang harus kita lakukan untuk memiliki hati yang bersih di hadapan-Nya?
Pertama, serahkan hati kita kepada Tuhan. Setelah Roh Kudus melahirbarukan kita untuk kita bertobat, maka Ia memimpin kita untuk menyerahkan seluruh keberadaan dan kehidupan kita kepada Tuhan, termasuk hati kita. Hati sebagai satu-satunya unsur terpenting dalam kehidupan manusia yang harus diserahkan kepada-Nya agar Ia memproses dan memurnikan hati kita. Dari hati yang telah dimurnikan-Nya inilah, keluar pikiran dan sikap yang memuliakan-Nya. Mengapa seorang Dr. John Calvin dipakai Tuhan luar biasa? Karena ia telah berkomitmen sebelumnya untuk menyerahkan hatinya kepada-Nya dengan tulus dan sungguh-sungguh.

Kedua, tundukkan hati kita kepada firman-Nya. Setelah menyerahkan hati kita kepada Tuhan, Ia meminta kita menundukkan hati kita di bawah firman-Nya. Artinya, Tuhan memakai firman-Nya untuk memurnikan hati kita terus-menerus. Ketika firman-Nya berkata bahwa jika ya, hendaklah katakan ya; jika tidak, hendaklah katakan tidak (Mat. 5:37), maka anak Tuhan sejati tanpa banyak mengomel taat mutlak akan firman-Nya itu. Namun fakta berkata bahwa ada orang “Kristen” yang mengaku diri melayani Tuhan, namun dengan mudahnya membohongi orang lain (dengan alasan sungkan). Masih layakkah orang ini disebut Kristen (pengikut Kristus)? Inilah tanda orang “Kristen” yang hatinya belum diserahkan kepada Tuhan dan ditundukkan di bawah firman-Nya. Bertobatlah jika Anda masih bersikap demikian.

Ketiga, sinkronkan hati kita dengan pikiran, mulut, dan sikap kita. Firman Tuhan yang telah kita pelajari hendaknya TIDAK membuat kita pandai berdebat theologi dengan orang lain, namun menjadi media untuk mengaplikasikan firman Tuhan di dalam seluruh hidup kita dengan cara mensinkronkan hati yang telah, sedang, dan akan dimurnikan oleh Tuhan melalui firman-Nya itu dengan seluruh aspek kehidupan kita: pikiran, mulut, dan sikap kita. Ketika hati kita berkata TIDAK, maka pikiran kita juga berkata TIDAK, dan kita pun dengan tegas berkata TIDAK. Ini berarti ada totalitas penuh di dalam hidup kita sebagai citra pengikut Kristus.

Keempat, perhatikan keseimbangan. Setelah menyinkronkan hati dengan pikiran, mulut, dan sikap kita, maka apakah ini berarti kita mengatakan sesuatu dengan blak-blakan dan kasar? TIDAK! Kemurnian hati dan mengatakan kebenaran itu memang penting, namun TIDAK berarti ketika melakukannya dengan membabi buta! Tuhan mengajar kita untuk menegur dengan kasih/kesabaran dan pengajaran (2Tim. 4:2) Dengan kata lain, selain pengajaran yang tegas, Tuhan menuntut kita untuk menegur orang dengan kesabaran. Kesabaran ini mungkin ditandai dengan menggunakan bahasa-bahasa yang halus. Perlunya tata krama berbicara ini TIDAK berarti kita menjadi sungkan lalu membohongi orang lain. Tata krama yang halus pun HARUS disertai pengajaran yang tegas. Di sini perlu adanya keseimbangan yang jelas antara kesabaran dan pengajaran. Jangan berat sebelah!


Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memiliki hati yang murni di hadapan-Nya? Biarlah Roh Kudus memimpin dan memproses hati kita yang belum murni untuk dipakai bagi kemuliaan-Nya. Relakah kita diproses oleh Roh Kudus? Amin. Soli Deo Gloria.

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:11-12 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:11-12

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 9:11-12



Bagian ini merupakan aplikasi dari ajaran Taurat di ayat 8-9 maupun analogi tentang pembajak dan pengirik di ayat 10. Bagian ini sekaligus memberi penjelasan mengapa Paulus yakin bahwa ajaran dan analogi tersebut layak untuk diterapkan pada dirinya dalam kapasitas sebagai rasul (ia bahkan bukan hanya berhak, tetapi hak itu sangat besar, seperti terlihat dari pemakaian kata “berlebihankah” dan “hak yang lebih besar” di 9:11-12a). Semua ini terkait dengan dua hal: (1) jika para penabur jasmani berhak mendapatkan upah, apalagi para penabur rohani (ay. 11); (2) jika para pemberita Injil lain berhak mendapatkan upah, apalagi Paulus dalam kapasitas sebagai perintis di jemaat Korintus (ay. 12a).

Walaupun Paulus sangat berhak untuk menerima tunjangan hidup dan pelayanan, ia dengan tegas melepaskan hak tersebut (ay. 12b). Tindakan ini bukan didasarkan pada pertimbangan bahwa Paulus tidak membutuhkan semuanya itu atau ia sudah kaya raya. Pertimbangan di balik keputusan ini adalah efektivitas pekabaran Injil. Injil merupakan alasan bagi pilihan Paulus.


Paulus Membandingkan Penabur Rohani dengan Penabur Jasmani (ay. 11)
Dari struktur kalimat Yunani yang dipakai di bagian ini terlihat bahwa Paulus mengaplikasikan analogi tersebut dengan penuh penekanan dan sangat personal. Di ayat 11 ia memakai kata ganti orang hēmeis (“kami”) dan meletakkannya di bagian depan (setelah kata “jika”). Pemunculan hēmeis di sini dimaksudkan sebagai penekanan, karena kata “kami” sebenarnya sudah tersirat di kata kerja espeiramen (“kami menaburkan”) yang diletakkan di bagian akhir ayat 11a. Melalui hal ini Paulus ingin menekankan bahwa ia memiliki posisi yang unik! Ia lebih daripada para pengirik dan pembajak secara jasmani di ayat 10 maupun para pekabar Injil yang lain di ayat 12a.

Nuansa personal terlihat dari kata hymin (“bagi kalian”) yang langsung diletakkan setelah kata hemeis (ay. 11a, hēmeis hymin). Struktur seperti ini sangat sulit diekspresikan dalam terjemahan (lit. “jika kami bagi kalian hal-hal rohani [kami] menaburkan”). Struktur yang hampir identik ditemukan lagi di ayat 11b (hēmeis hymōn = “kami dari kalian”). Melalui susunan seperti ini Paulus ingin menekankan relasi yang khusus antara dia dengan jemaat Korintus. Itulah yang akan ia singgung lagi di ayat 12a.

Penggunaan kata “menabur” dan “menuai” di ayat ini menyiratkan upaya Paulus untuk menggambarkan pelayanannya dalam konteks agrikultural. Hal ini dapat dilihat beberapa kali dalam Surat 1 Korintus. Di pasal 3:6 Paulus mengambarkan dirinya (juga Apolos) sebagai petani/pekerja di ladang. Ia bahkan menyebut para petobat baru di Kota Korintus sebagai “buah sulung” (aparche, KJV/NASB “first fruits”; LAI:TB “orang-orang yang pertama bertobat”).

Kontras antara hal-hal rohani (ta pneumatika) dan hal-hal jasmani (ta sarkika) di ayat 11 harus dipahami dalam kaitan dengan analogi di ayat 10. Jikalau para penabur secara jasmani berhak mendapatkan upahnya, demikian pula dengan para penabur secara rohani seperti Paulus. Ia menganggap hal ini sama sekali tidak berlebihan. Bukan hanya hal tersebut tidak berlebihan, tetapi hal itu bahkan sudah menjadi keharusan. Jika mereka yang menaburkan benih jasmani yang tidak terlalu bernilai berhak mendapatkan hasil secara jasmani pula, maka mereka yang menaburkan benih rohani pasti berhak atas hasil jasmani yang lebih besar. Cara berpikir seperti ini sangat mirip dengan prinsip penafsiran para rabi yang disebut qal wahomer (“apa yang benar untuk hal-hal yang tidak penting, pasti lebih benar lagi untuk hal-hal yang lebih penting”).

Di Roma 15:27 Paulus juga menyinggung tentang konsep seperti ini. Ia mengajarkan bahwa orang-orang Kristen non-Yahudi wajib membantu orang-orang Kristen Yahudi di Yerusalem dengan harta benda mereka (bdk. pengulangan kata “wajib” di ayat ini). Alasan yang diberikan adalah karena orang-orang Kristen Yahudi dahulu sudah membawa Injil (harta rohani) kepada mereka yang bukan dari kalangan Yahudi. Jika mereka menerima harta yang lebih bernilai, maka sudah sepatutnya apabila mereka memberikan harta jasmani mereka yang kurang bernilai.

Hak materi bagi penabur rohani ini juga dapat kita pandang dari perspektif lain. Jika seorang pekerja di ladang Tuhan akan menerima upah rohani di akhir zaman (3:8), maka sangat tidak berlebihan jika ia menerima upah secara jasmani. Jika upah yang jauh lebih bernilai saja diberikan Tuhan kepada para pekerja-Nya, apalagi upah secara materi. Jadi, di mata Paulus pemberian tunjangan secara materi hanyalah “a small price to pay for the Gospel” (Barret).


Paulus Membandingkan Dirinya Dengan Orang Lain (ay. 12a)
Siapa yang dimaksud dengan “orang lain” (alloi) di sini? Sebagian penafsir menduga Paulus memikirkan para rasul palsu di Korintus (2Kor. 11:20) atau Apolos (1:12; 3:4, 5, 6, 22; 4:6) atau para guru (4:15) atau rasul-rasul lain (9:5). Dari semua kandidat ini, yang terakhir merupakan kandidat terkuat: (1) di pasal 9 Paulus memang sudah menyinggung tentang rasul-rasul lain; (2) Paulus menyebut alloi sebagai orang yang memang memiliki hak, sedangkan para rasul ia sebut sebagai penipu; (3) sejak pasal 4 Paulus sudah tidak menyinggung tentang Apolos.

Paulus menjelaskan bahwa rasul-rasul lain memiliki hak (exousias metechousin). Secara hurufiah frase ini mengandung arti “berbagi hak” (NASB “share the right”). Kata dasar metecho sebelumnya sudah muncul di akhir ayat 10 (LAI:TB “memperoleh bagian”), sehingga pemunculan kata metechō di bagian ini menunjukkan bahwa Paulus masih mengaitkan ini dengan analogi penabur/pembajak. Penggunaan kata exousia merujuk balik pada exousia di 8:9 (LAI:TB “kebebasan”). Kata ini merupakan kata kunci bagi jemaat Korintus yang sangat menekankan kebebasan maupun hak mereka (6:12; 10:23). Ketika Paulus mengajarkan bahwa rasul lain memiliki hak (RSV/NRSV/ESV “rightful claim”), ia memiliki dua tujuan. Pertama, ia tidak ingin rasul-rasul yang bersedia menerima tunjangan terlihat lebih jelek dibandingkan dengan dia yang tidak mau menerima tunjangan.

Kedua, ia ingin menegaskan bahwa ia jauh lebih berhak daripada rasul-rasul lain yang punya hak tersebut. Poin terakhir inilah yang ditekankan Paulus. Ia merasa memiliki hak yang lebih besar daripada rasul-rasul lain. Mengapa ia merasa demikian? Apakah ia memandang dirinya lebih baik daripada rasul-rasul lain? Tentu saja tidak! Paulus sebelumnya sudah menegaskan bahwa masing-masing pekerja akan menerima hak masing-masing (3:8). Superioritas Paulus hanyalah dalam hal waktu. Ia yang pertama-tama memberitakan Injil di Korintus (3:5; 2Kor. 10:14). Dengan demikian ia adalah bapa rohani mereka dalam arti yang khusus (4:15). Sebagai perintis jemaat ia memiliki relasi khusus dengan mereka (9:2). Hal inilah yang meyakinkan Paulus bahwa ia dalam taraf tertentu lebih berhak daripada para pemberita Injil yang lain.


Paulus Tidak Mau Menggunakan Hak (ay. 12b)
Setelah memaparkan alasan-alasan yang mendukung hak para rasul (9:7-10) dan menegaskan bahwa ia lebih berhak daripada yang lain (9:11-12a), Paulus mengambil sikap untuk tidak menggunakan hak-hak tersebut. Sikap ini akan ia uraikan lebih jauh di 9:15-18, setelah ia menambahkan beberapa alasan lain bagi hak kerasulannya di 9:13-14.

Kata sambung “tetapi” (alla) di ayat 12b berfungsi untuk memberikan kontras. Paulus tidak mau menerima tunjangan materi bukan karena ia tidak berhak atas hal itu. Ia memiliki hak lebih besar daripada siapapun (9:12a). Ia hanya memilih untuk tidak mempergunakan (chraomai) hak tersebut. Bentuk aorist echrēsametha mungkin merujuk pada pelayanannya pertama kali di Korintus. Kata kerja ini nanti akan dipakai lagi dalam tense perfect di 9:15 untuk menunjukkan bahwa sampai ia menulis surat ini pun ia tetap tidak mau menggunakan hak itu.

Paulus tidak hanya menolak untuk menggunakan haknya, tetapi ia melakukan yang lebih. Kata sambung “tetapi” (alla) yang muncul untuk ke-2 kalinya di ayat ini (LAI:TB “sebaliknya”) menyiratkan bahwa Paulus melangkah lebih jauh daripada sekadar tidak menggunakan hak. Ia menanggung (stegō) segala sesuatu. Bentuk tense present stegomen menunjukkan bahwa ini sudah menjadi kebiasaan Paulus dalam kaitan dengan jemaat Korintus. Kata stegō dalam tulisan Paulus dipakai dalam konteks kesusahan maupun kekuatiran (1Tes. 3:1, 5). Sikap stegō merupakan salah satu ciri khas kasih (1Kor. 13:7). Jika semua pemunculan ini diamati maka terlihat bahwa keengganan Paulus untuk menerima tunjangan merupakan salah satu bentuk kasihnya kepada jemaat Korintus. Ia melakukan ini untuk kepentingan mereka, sekalipun untuk itu Paulus harus menderita. Ia memilih untuk bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang hina (4:12a; 1Tes. 2:9-10; 2Tes. 3:8). Hal ini merupakan bukti bahwa Paulus telah menghidupi prinsip hidup berdasarkan prinsip kasih (8:1) walaupun harus kehilangan kebebasan/hak (8:9).

Keputusan ini merupakan sikap yang luar biasa. Paulus selama di Korintus mengalami kekurangan (2Kor. 11:9). Ketidakmauannya menerima tunjangan bukan karena ia berada dalam kelimpahan. Ia berada dalam kekurangan. Apa yang didapatkan dari pekerjaannya sebagai pembuat tenda pun sangat mungkin tetap tidak mencukupi kebutuhannya, sehingga ia perlu ditunjang oleh jemaat lain (2Kor. 11:9; bdk. Flp. 4:15-16). Dalam situasi seperti ini ia tetap tidak mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus.

Mengapa Paulus tidak mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus? Bagian terakhir ayat 12b menjelaskan “supaya jangan kami mengadakan rintangan bagi pemberitaan Injil Kristus”. Makna dari ungkapan ini tidak terlalu jelas. Halangan apa yang ada dalam pikiran Paulus? Kita tampaknya harus melihat sikap ini secara kasus per kasus. Paulus tidak selalu menolak tunjangan materi dari jemaat. Kalau di Tesalonika dan Korintus ia memutuskan tidak mau menerima, maka ia pasti memiliki alasan khusus yang berkaitan dengan konteks jemaat di sana.

Beberapa penafsir menerangkan bahwa keputusan Paulus berhubungan dengan natur Injil yang bersifat cuma-cuma (anugerah). Karena Injil diberikan secara cuma-cuma, maka Paulus pun memberitakannya secara gratis. Walaupun usulan ini menarik, tetapi kita harus menolak pandangan ini. Di tempat lain Paulus mau menerima tunjangan (apakah Injil yang disampaikan Paulus ada yang cuma-cuma dan tidak?). Para rasul lain pun (kecuali Barnabas) menerima tunjangan (apakah mereka memberitakan Injil yang berbeda dengan Injil Paulus?).

Dugaan yang paling beralasan adalah kesalahpahaman jemaat Korintus tentang natur pemberita Injil. Mereka menuntut bahwa pemberita Injil harus memiliki hikmat duniawi (filsafat) dan mampu menyampaikan hal itu dengan retorika yang menawan (1Kor. 1-3) seperti para ahli retorika kuno waktu itu. Konsep seperti inilah yang menyebabkan mereka mudah ditipu oleh para pengkhotbah keliling yang palsu (2Kor. 11:20). Paulus sangat berbeda dengan para pengkhotbah tersebut. Ia tidak mau bersandar pada cara-cara duniawi dalam pemberitaan Injil (2:1-5). Ia pun tidak mau diperlakukan secara sama. Para pengkhotbah keliling hanya mau memberikan orasi dan menerima tunjangan hidup dari apa yang mereka kerjakan. Semakin banyak orang yang senang dengan isi orasi mereka, maka semakin banyak tunjangan materi yang mereka dapatkan. Paulus memilih untuk bekerja dengan tangannya sendiri. Hal ini jelas akan menurunkan reputasi Paulus sebagai pengkhotbah, tetapi ia tidak mau peduli. Ia tidak ingin dianggap sebagai para pengkhotbah filsafat, sehingga Injil yang ia beritakan kehilangan kekuatannya.

Dengan tidak mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus Paulus membuktikan dua hal: (1) ia tidak mau mencari keuntungan materi (2Kor. 2:17; 1Tes. 2:5-10); (2) ia tidak mau memberi kesan bahwa Injil dapat disamakan dengan hikmat dunia. Dua hal ini sangat penting bagi pemberitaan Injil yang efektif. Jika banyak orang mencurigai seorang pemberita Injil hanya ingin mendapatkan keuntungan materi, maka pemberitaan yang ia lakukan akan mendapat rintangan. Demikian juga jika seorang pemberita Injil memakai cara-cara duniawi untuk mempersuasi para pendengarnya, maka pemberitaan itu tidak akan memiliki kuasa apapun, karena kuasa ilahi berada dalam Injil itu sendiri (Rm. 1:16-17) melalui pekerjaan Roh (1Kor. 2:5).


Aplikasi
Dalam bagian ini Paulus mengajarkan beberapa kebenaran rohani yang penting. Hal ini ia ajarkan bukan hanya melalui perkataan, tetapi teladan hidup. Ia mengajarkan bahwa hal-hal rohani jauh lebih bernilai daripada materi. Berapapun materi yang kita keluarkan untuk pemberitaan Injil, hal itu tidak pernah terlalu mahal. Hanya orang-orang Kristen duniawi yang menerapkan prinsip “untung-rugi” dalam sebuah pelayanan. Paulus juga mengajarkan kita untuk berani melepaskan hak demi kemuliaan Kristus. Dalam dunia yang begitu egois (semua untuk kepentingan kita) dan mengandalkan kuasa (mengalah adalah kelemahan), kita ditantang untuk memberi respon berbeda. Apakah kita selama ini masih memegang hal-hal tertentu (kekayaan, jabatan, popularitas kesibukan, dsb) yang membuat kita justru semakin tidak memuliakan Tuhan? Maukah kita belajar melepaskan semua yang kita miliki bagi orang lain dan demi Injil Kristus diberitakan seluas-luasnya? #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 28 Februari 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2009%20ayat%2011-12.pdf