oleh: Denny Teguh Sutandio
“Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya.”
(Mzm. 73:1)
Mazmur 73 merupakan mazmur yang ditulis oleh Asaf di dalam konteks pergumulannya dengan Tuhan dengan membandingkan kondisi anak-anak Tuhan dengan mereka yang hidup di luar Tuhan. Pengakuan imannya didahului oleh pernyataan bahwa Allah itu baik bagi orang yang tulus hati dan bagi mereka yang bersih hati. Kalau kita memperhatikan teks aslinya, Ibrani, kata tulus hati tidak kita jumpai, namun yang dijumpai justru adalah Israel (yiSrä´ël). Di dalam pernyataan awal ini, Asaf mengajar kita bahwa Allah itu baik bagi umat pilihan-Nya, dalam konteksnya Israel dan Ia juga baik bagi mereka yang bersih hatinya. Kata bersih di dalam kata Ibraninya bar berarti murni. Setelah mengatakan hal ini, Asaf menyadari bahwa fakta seolah-olah berkata hal sebaliknya, yaitu orang yang hatinya tidak murni lah yang lebih mujur daripada orang yang bersih hatinya. Ia menjelaskan orang-orang yang hidup di luar Tuhan adalah mereka yang membual (ay. 3), sombong dan keras (ay. 6), perkataan mereka jahat dan melawan Allah (ay. 8-11), hidup hedonis dan materialis (ay. 12). Tetapi benarkah mereka yang hidup kelihatan mujur dapat dikatakan hidup dengan hati yang murni di hadapan Tuhan? Puji Tuhan, mulai ayat 17, atas anugerah-Nya, Asaf masuk ke dalam tempat kudus Allah dan mengerti kehendak-Nya dan di saat itulah, ia menyadari bahwa meskipun orang kafir itu hidup seolah-olah lebih mujur, namun Tuhan telah mempersiapkan hukuman kepada mereka. Di saat itulah, ia baru menyadari bahwa hidup di dekat Allah itu hidup yang benar-benar indah dan menyenangkan.
Hidup di dekat Allah adalah hidup dengan hati yang murni/bersih di hadapan-Nya. Hidup tersebut ditandai dengan keinginan bersekutu dengan-Nya (ay. 23), rela diproses oleh firman-Nya (ay. 24), mengingini Allah saja (ay. 25-26), dan menceritakan karya perbuatan Allah kepada dunia (ay. 28). Dengan kata lain, orang yang hidup dengan hati yang murni/bersih di hadapan-Nya tidak memiliki kedok bercabang atau menipu atau berbohong secara halus, dll. Namun, fakta di mana kita hidup berkata lain. Kita hidup di sebuah zaman yang dikuasai oleh manusia yang banyak berhati busuk. Hatinya sudah dikuasai oleh setan, sehingga apa pun yang keluar dari hatinya tidak pernah bersih/murni, selalu memiliki intrik menipu. Istilah tajamnya adalah MUNAFIK. Intrik menipu ini ditandai dengan dua hal:
Pertama, budaya sungkan-isme. Budaya sungkan adalah sebuah budaya yang dipengaruhi oleh budaya Timur yang menghargai etika sopan santun, namun diekstremkan. Jika sopan santun bermotivasi baik yaitu ingin menghargai orang yang lebih tua, namun budaya ini diekstremkan menjadi budaya sungkan yang ingin menghargai semua orang, sampai-sampai enggan mengatakan kebenaran. Namun di sisi lain, memang hal ini TIDAK berarti demi alasan mengatakan kebenaran, kita terlalu cepat menuding kesalahan orang bahkan dalam hal-hal sepele. Jangan ekstrem! Kembali, budaya ini dapat kita lihat tatkala seseorang mencoba menolak ajakan orang lain. Kebanyakan orang Timur karena sungkan selalu mencari-cari cara untuk menolak ajakan orang lain, namun tidak menyakiti orang yang mengajak tersebut. Di dalam beberapa hal ini tentu baik, karena tidak kasar, namun di sisi lain, tidak sedikit mereka yang bermotivasi baik ini memakai cara-cara busuk, misalnya berbohong untuk menolak ajakan orang lain (alasan klise yang sering dipakai, misalnya: lagi sibuk, sakit, ada urusan, dll). Saya menyebut budaya sungkan sebagai munafik pasif, artinya sikap ini merupakan sikap munafik (beda hati dengan mulut) namun dilakukan secara pasif.
Kedua, bermulut manis. Tidak cukup hanya dengan sungkan, banyak orang zaman sekarang jago bermulut manis atau bahasa Jawanya: mbasahi lambe. Saya menyebut bermulut manis sebagai tindakan munafik secara aktif. Seorang yang bermulut manis biasanya mengatakan sesuatu yang TIDAK dari hatinya, namun hanya sekadar lip service. Lip service ini dapat dilihat ketika seseorang itu sedang menyanjung seseorang, namun kalau orang yang disanjung itu pergi, maka si penyanjung ini akan membicarakan hal-hal negatif kepada orang lain. Lip service juga dapat dilihat pada seseorang yang mudah merayu pasangannya. Seorang cowok/cewek bisa dengan mudahnya merayu cewek/cowoknya dengan kalimat-kalimat “maut” yang membuat pasangannya jatuh hati, namun tanpa disadarinya si cowok/cewek tersebut ternyata juga mengatakan hal yang sama kepada cewek/cowok yang lain. Tidak heran, fakta ketidaksetiaan di dalam hubungan lawan jenis hari-hari ini begitu marak. Di sebuah sinetron Indonesia di SCTV hari ini (20 Oktober 2010), si cewek bisa merayu pacarnya (sekaligus ibunya), namun di sisi lain, si cewek tanpa merasa bersalah berselingkuh dengan cowok lain. Selain itu, lip service juga dijumpai pada banyak orang khususnya banyak salesman yang mencoba menawari klien dengan hal-hal bagus, namun menyembunyikan hal-hal lain. Pdt. Sutjipto Subeno pernah mengatakan bahwa beliau paling jijik mendengar seorang salesman mengatakan, “Saya ingin membantu bapak.” Di balik perkataan itu, benarkah salesman itu membantu customer, ataukah antara salesman dan customer saling membantu? Tujuan akhirnya adakah yang kedua (yaitu saling membantu), namun yang dikedepankan selalu hal-hal baik. Di dalam hubungan lawan jenis pun, kita menjumpai fakta yang tidak jauh berbeda: saling menutupi. Seorang cewek/cowok yang sudah punya gebetan (bahkan pacar) selalu ditutupi (supaya tampak alim), lalu dengan mudahnya menjalin hubungan lawan jenis dengan cowok/cewek lain, tetapi setelah ditelusuri, ternyata si cewek/cowok itu tidak lebih dari seorang playgirl atau playboy yang gemar mempermainkan orang lain. Hari ini jalan berdua dengan cowok X, minggu depan jalan berdua dengan cowok Y, dst. Ketika ditanya, si cewek (tanpa merasa bersalah) selalu berkata, “Itu teman.” (istilah gaulnya: Hubungan Tanpa Status/HTS yang berlangsung berbulan-bulan tanpa kejelasan) Dia tidak lebih dari seorang “pelacur”. Inilah citra banyak generasi muda (bahkan yang mengaku diri “Kristen”) zaman postmodern: semau gue: menuntut pasangan setia, namun dia sendiri tidak pernah setia. Benar-benar aneh!
Lalu, sebagai orang Kristen yang cinta Tuhan, apa yang harus kita lakukan untuk memiliki hati yang bersih di hadapan-Nya?
Pertama, serahkan hati kita kepada Tuhan. Setelah Roh Kudus melahirbarukan kita untuk kita bertobat, maka Ia memimpin kita untuk menyerahkan seluruh keberadaan dan kehidupan kita kepada Tuhan, termasuk hati kita. Hati sebagai satu-satunya unsur terpenting dalam kehidupan manusia yang harus diserahkan kepada-Nya agar Ia memproses dan memurnikan hati kita. Dari hati yang telah dimurnikan-Nya inilah, keluar pikiran dan sikap yang memuliakan-Nya. Mengapa seorang Dr. John Calvin dipakai Tuhan luar biasa? Karena ia telah berkomitmen sebelumnya untuk menyerahkan hatinya kepada-Nya dengan tulus dan sungguh-sungguh.
Kedua, tundukkan hati kita kepada firman-Nya. Setelah menyerahkan hati kita kepada Tuhan, Ia meminta kita menundukkan hati kita di bawah firman-Nya. Artinya, Tuhan memakai firman-Nya untuk memurnikan hati kita terus-menerus. Ketika firman-Nya berkata bahwa jika ya, hendaklah katakan ya; jika tidak, hendaklah katakan tidak (Mat. 5:37), maka anak Tuhan sejati tanpa banyak mengomel taat mutlak akan firman-Nya itu. Namun fakta berkata bahwa ada orang “Kristen” yang mengaku diri melayani Tuhan, namun dengan mudahnya membohongi orang lain (dengan alasan sungkan). Masih layakkah orang ini disebut Kristen (pengikut Kristus)? Inilah tanda orang “Kristen” yang hatinya belum diserahkan kepada Tuhan dan ditundukkan di bawah firman-Nya. Bertobatlah jika Anda masih bersikap demikian.
Ketiga, sinkronkan hati kita dengan pikiran, mulut, dan sikap kita. Firman Tuhan yang telah kita pelajari hendaknya TIDAK membuat kita pandai berdebat theologi dengan orang lain, namun menjadi media untuk mengaplikasikan firman Tuhan di dalam seluruh hidup kita dengan cara mensinkronkan hati yang telah, sedang, dan akan dimurnikan oleh Tuhan melalui firman-Nya itu dengan seluruh aspek kehidupan kita: pikiran, mulut, dan sikap kita. Ketika hati kita berkata TIDAK, maka pikiran kita juga berkata TIDAK, dan kita pun dengan tegas berkata TIDAK. Ini berarti ada totalitas penuh di dalam hidup kita sebagai citra pengikut Kristus.
Keempat, perhatikan keseimbangan. Setelah menyinkronkan hati dengan pikiran, mulut, dan sikap kita, maka apakah ini berarti kita mengatakan sesuatu dengan blak-blakan dan kasar? TIDAK! Kemurnian hati dan mengatakan kebenaran itu memang penting, namun TIDAK berarti ketika melakukannya dengan membabi buta! Tuhan mengajar kita untuk menegur dengan kasih/kesabaran dan pengajaran (2Tim. 4:2) Dengan kata lain, selain pengajaran yang tegas, Tuhan menuntut kita untuk menegur orang dengan kesabaran. Kesabaran ini mungkin ditandai dengan menggunakan bahasa-bahasa yang halus. Perlunya tata krama berbicara ini TIDAK berarti kita menjadi sungkan lalu membohongi orang lain. Tata krama yang halus pun HARUS disertai pengajaran yang tegas. Di sini perlu adanya keseimbangan yang jelas antara kesabaran dan pengajaran. Jangan berat sebelah!
Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memiliki hati yang murni di hadapan-Nya? Biarlah Roh Kudus memimpin dan memproses hati kita yang belum murni untuk dipakai bagi kemuliaan-Nya. Relakah kita diproses oleh Roh Kudus? Amin. Soli Deo Gloria.
1 comment:
Mas Deni dikecewain ya, kok judulnya ampe lebay gitu? Ihi ihi!
Post a Comment