11 January 2009

Roma 12:13-15: KASIH SEJATI-3: Kasih dalam Persekutuan-2

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-6


Kasih Sejati-3: Kasih dalam Persekutuan-2

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 12:13-15.


Pada bagian kedua ini, kita akan menelusuri konsep kasih Kristen yang sejati di dalam persekutuan yang berkaitan dengan belas kasihan.

Di ayat 13-15, Paulus mengemukakan 3 konsep tentang kasih di dalam persekutuan yang bertalian dengan belas kasihan, yaitu:
Pertama, kasih yang membantu. Di ayat 13, Paulus mengungkapkan, “Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan!” Konsep kasih pertama yang bertalian dengan belas kasihan yaitu kasih yang membantu. Apakah kasih yang membantu? Kasih yang membantu adalah kasih yang diwujudnyatakan dengan memberikan apa yang kita miliki kepada orang lain. Orang lain di sini tidak berarti semua orang, tetapi orang-orang percaya. Paulus mengunci kepada siapa kita memberi ini dengan pernyataan “orang-orang kudus.” New International Version (NIV) dan God’s Word menerjemahkannya, “God’s people” (orang-orang/umat-umat Allah) King James Version (KJV), New King James Version (NKJV), Modern King James Version (MKJV), dan Revised Version (RV) menerjemahkannya, “saints” (=orang-orang kudus) Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “orang-orang Kristen lain” Ketiga arti yang berlainan ini memiliki inti yang sama yaitu orang-orang Kristen/seiman sebagai objek kita membantu mereka. Bukan hanya Paulus, Yakobus juga mengajar tentang pentingnya membantu sesama umat Tuhan (baca: Yak. 2:1-26; perhatikan ayat 1 dan bandingkan dengan konteks penulisan Yakobus à Yak. 1:1). Mengapa para rasul memerintahkan kita untuk membantu sesama umat Tuhan (orang beriman/Kristen)? Karena itu sebagai bukti kita adalah anak-anak Tuhan yang mengasihi sesama anak Tuhan lain bukan dengan perkataan atau rasio/logika/doktrin, tetapi dengan perbuatan. Tetapi, apakah berarti kita tidak boleh membantu orang lain? Tidak. Kita boleh membantu orang lain, tetapi dahulukan membantu sesama umat Tuhan/orang Kristen, karena itu perintah Tuhan agar kita memerhatikan sesama umat Tuhan dahulu, baru orang lain.

Lalu, setelah kita mengerti siapa yang perlu kita bantu, bagaimana kita membantu mereka? Di ayat ini, Paulus membagi 2 cara membantu anak Tuhan lain, yaitu: Pertama, membantu yang membutuhkan. Kata “kekurangan” dalam ayat ini kurang tepat terjemahannya. Dari bahasa asli (Yunani)nya, kata ini bisa diterjemahkan, “dalam kebutuhan-kebutuhan/untuk kebutuhan-kebutuhan (orang-orang) kudus ambillah bagian/berilah sebagian” [atau: berilah sebagian/ambillah bagian bagi kebutuhan orang-orang kudus] (Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear, 2003, hlm. 864). KJV, International Standard Version (ISV), NIV, dan mayoritas terjemahan Inggris menerjemahkannya kebutuhan (necessities, in need, dll). Dari sini, kita baru mengerti bahwa kita bisa membantu sesama orang Kristen dengan memberikan kepada mereka sesuai kebutuhan-kebutuhan mereka. Kata “kekurangan” dalam terjemahan LAI bisa disalahmengerti, karena konsep “kurang” bagi manusia berdosa itu bisa berbahaya (konsep “kurang” menurut si X berbeda dengan konsep “kurang” menurut si Y). Tetapi ketika kita menggunakan kata “kebutuhan”, kita terlebih dahulu bisa mengerti apa yang mereka butuhkan. Misalnya, ketika ada sesama kita membutuhkan sesuatu yang primer, misalnya makanan atau pakaian, mungkin kita bisa memberikan kepada mereka pakaian kita yang layak pakai atau makanan, dll. Di sini, ada unsur solidaritas kepada sesama. Pertanyaan selanjutnya, mengapa Paulus memerintahkan kita untuk memberi sebagian bagi kebutuhan orang Kristen lain? Mengapa bukan seluruhnya? Sering kali para penganut “theologi” religionum atau Social “gospel” sangat menggemari ayat ini, apalagi Yak. 1:27, lalu mengajar bahwa kita harus membantu kebutuhan semua orang. Hal ini tidak salah, tetapi yang salah motivasi dan konsepnya. Paulus ingin agar di samping kita membantu sesama kita, kita juga mendidik mereka agar bisa bekerja keras sendiri demi hidupnya. Tuhan memerintahkan kita membantu orang lain, tetapi di sisi lain tanpa kontradiksi, Tuhan yang sama memerintahkan kita untuk bekerja keras. Di satu sisi, Tuhan mengasihi orang miskin dan kekurangan, tetapi di sisi lain tanpa kontradiksi, Ia juga mengajar agar jangan menjadi pembela orang miskin. Lho, kapan Tuhan mengajar agar jangan menjadi pembela orang miskin? Di dalam Keluaran 23:3, Allah sendiri berfirman, “Juga janganlah memihak kepada orang miskin dalam perkaranya.” Ayat ini pasti sengaja dilewatkan oleh para penganut Social “Gospel” karena ayat ini tidak cocok dengan pemikiran mereka yang berdosa: humanis, materialis, dan atheis. Kembali, Alkitab mengajarkan keseimbangan yaitu antara membantu mereka yang membutuhkan sambil mendidik mereka agar mereka yang dibantu bisa bekerja keras sendiri dan tidak terus mengharapkan bantuan dari kita/orang lain. Itu sebabnya mengapa Paulus mengajarkan bahwa kita memberikan sebagian (bukan semua) harta kita untuk membantu mereka yang membutuhkan. Dengan kata lain, kita membantu orang Kristen lain sambil mendidik mereka mungkin dengan mencarikan mereka pekerjaan atau kita membuka lapangan pekerjaan bagi mereka, dll.

Kedua, keramah tamahan kepada orang Kristen lain. Kalau di poin pertama, saya menyebut cara membantu itu adalah cara membantu yang kelihatan, maka di poin kedua, saya menyebut cara membantu ini adalah cara membantu yang tidak kelihatan secara langsung. Mengapa? Karena di poin kedua, Paulus hendak mengajar kita berlaku ramah kepada orang Kristen lain. Terjemahan LAI kurang tepat (meskipun bisa diterjemahan, “memberikan tumpangan”). Beberapa terjemahan Inggris, seperti NIV, KJV, ISV, dll menerjemahkannya sebagai keramah tamahan (hospitality) Apa artinya? Di dalam bahasa Yunani, kata ini adalah philoxenia yang berarti love of strangers (mencintai/kasih kepada tamu asing). NIV Spirit of the Reformation Study Bible memberikan referensi ayat mengenai hal ini yaitu di dalam Ibrani 13:2 dan 3 Yohanes 5-8 untuk mengajar kita tentang pentingnya keramah tamahan dalam hidup orang Kristen. Di dalam Ibrani 13:2, ketika kita membantu memberi tumpangan, beberapa orang secara tidak sadar sedang menjamu malaikat. Kata “memberi tumpangan” dalam Ibr. 13:2 menggunakan kata Yunani yang sama dengan Rm. 12:13 ini. Dengan kata lain, di dalam keramah tamahan kepada orang lain, kita bukan hanya aktif memberi bantuan, tetapi kita juga “pasif” menolong orang. Ketika ada orang bertamu di rumah kita, beranikah kita bersikap ramah kepada tamu itu? Ketika orang lain membutuhkan pertolongan kita, sudah kita ramah kepada orang lain itu sambil menolong?


Kedua, kasih yang mengampuni. Di dalam ayat 14, Paulus mengajar, “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!” Konsep kasih di dalam persekutuan yang berkaitan dengan belas kasihan yaitu kasih yang mengampuni. Jika di dalam persekutuan Kristen, kita masih menyimpan dendam, dll kepada orang Kristen lain, bertobatlah. Tuhan mau kita saling mengampuni. Bukan hanya mengampuni, Paulus bahkan mengajar agar kita memberkati (dan bukan mengutuk) orang yang telah menganiaya kita. Di sini, Paulus ingin mengajar kita tiga hal:
Pertama, konsep penderitaan. Pada ayat ini, Paulus mengingatkan jemaat Roma (dan juga kita) bahkan penderitaan itu pasti diterima oleh anak-anak Tuhan. Tuhan Yesus pun mengajar bahwa barangsiapa yang mau mengikut-Nya harus menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut-Nya (Mat. 16:24). Lalu, Ia juga berfirman bahwa barangsiapa yang tidak memikul salib dan mengikut-Nya, mereka tidak layak bagi-Nya (Mat. 10:38). Penderitaan bukan hanya datang dari orang luar, tetapi juga dari dalam. Penderitaan dari dalam yang dialami Paulus sendiri adalah jemaat Korintus yang Paulus layani ragu-ragu akan kerasulan Paulus. Bayangkan, jika sebagai seorang gembala/pendeta, Anda menggembalakan dan melayani jemaat, lalu jemaat Anda meragukan apakah Anda benar-benar seorang pendeta, bagaimana reaksi kita? Kalau keragu-raguan jemaat Anda adalah keraguan yang beralasan yang menguji setiap pengajaran yang kita ajarkan dengan Firman Tuhan itu adalah hal yang wajar, tetapi jika keragu-raguan jemaat Anda itu tidak beralasan dan terkesan dicari-cari agar kita dikeluarkan dari gereja tempat Anda melayani, kira-kira bagaimana respon Anda? Sering kali Anda marah, benci, dll. Di ayat ini, Paulus kembali mengingatkan kita bahwa jika kita sungguh-sungguh melayani Tuhan, ingatlah, kita pasti menerima penganiyaan dan penderitaan. Itu adalah harga yang harus kita bayar. Tanpa penderitaan, tidak mungkin kita bisa menang atas penderitaan, dan tentunya kita tidak bisa melayani Tuhan dengan motivasi yang beres.

Kedua, reaksi aktif terhadap penderitaan: mengampuni dan memberkati. Ketika kita menyadarinya adanya gangguan dan penderitaan di dalam pelayanan kita, selain kita harus menyadari penderitaan itu, kita pun harus keluar dari penderitaan itu, bagaimana caranya? Caranya adalah tidak membalas, tetapi justru mengampuni. Mengampuni seperti apa? Memberkati orang yang sudah menganiaya kita. Ini memang sulit. Tidak mudah bagi orang Kristen, mungkin termasuk saya, Anda, dll untuk mengampuni bahkan memberkati mereka yang sudah menganiaya kita. Tetapi firman Tuhan mengingatkan kita sekali lagi, berkatilah mereka yang menganiaya kita. Tuhan Yesus juga mengajar hal yang sama di dalam Mat. 5:44, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Memberkati mereka yang menganiaya kita adalah dengan mendoakan mereka. Ketika kita mendoakan mereka berarti kita mengasihi mereka agar pada suatu saat atas kehendak-Nya, mereka yang kita doakan segera bertobat dan kembali kepada-Nya. Doa membuat kita introspeksi diri seberapa banyak kah kasih yang kita miliki bagi orang lain bahkan yang telah menganiaya kita. Doakan mereka. Biarlah di dalam doa, Tuhan menyentuh hati kita dan membuat kita tidak mendendam kepada orang yang telah menganiaya kita.

Ketiga, reaksi “pasif” terhadap penderitaan: jangan mengutuk! Bukan hanya kita mendoakan mereka, kita dituntut agar kita TIDAK mengutuk mereka yang telah menganiaya kita. Ini sama sulitnya dengan poin kedua, karena di poin ini, kita disuruh menyangkal diri. Kedagingan kita memang sulit disangkal/diikat ketika berkaitan dengan harga diri yang diinjak atau kita yang dianiaya. Sering kali kita marah ketika kita dianiaya, diperlakukan tidak adil, dll. Itu reaksi wajar manusia kedagingan yang berdosa. Tetapi hal itu seharusnya tidak terjadi pada diri anak-anak Tuhan. Kita diajar untuk tidak boleh marah, apalagi mengutuk. Di sini, perintah Tuhan melalui Paulus agar kita jangan mengutuk mengajar kita untuk berani menyangkal diri ketika diri mengalami penderitaan. Orang baru bisa menyangkal diri di dalam penderitaan adalah orang yang sudah mengalami apa itu penderitaan dan apa itu penebusan Kristus yang mengalahkan penderitaan. Ketika menderita, Kristus tidak pernah satu kali pun mengucapkan kata-kata kutukan, sehingga setiap umat Tuhan yang mengalami karya penebusan Kristus melalui kelahiran baru yang Roh Kudus kerjakan, mereka pasti mengalami apa arti menyangkal diri di dalam penderitaan. Bagaimana dengan kita sendiri? Sudahkah kita tidak mengutuk kepada orang yang sudah mengutuki/menganiaya kita?


Ketiga, kasih yang simpatik. Pada ayat 15, Paulus mengajar, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” Konsep ketiga tentang kasih yang berkaitan dengan belas kasihan adalah kasih yang simpatik. Kasih yang simpatik ditunjukkan dengan ikut bersukacita dengan orang yang bersukacita dan menangis dengan orang yang menangis. Apakah ini berarti kita terbawa suasana psikologis orang lain? TIDAK! Lalu, apa bedanya? Di sini, kasih Kristen adalah kasih yang simpatik yang benar-benar mengerti kondisi orang lain. Bedanya dengan kondisi psikologis adalah kita pura-pura simpatik dengan orang lain, misalnya kepada orang yang lagi susah karena ditinggal orang yang dikasihinya, kita sering kali memberikan “kata-kata penghiburan.” Hal itu tidak salah, tetapi tindakan kita itu lebih merupakan penyesuaian kondisi psikologis kita dengan kondisi psikologis orang lain. Tuhan mau kita bersimpatik, yang artinya ikut merasakan penderitaan orang yang menderita dan tentunya ikut bersukacita sesuai dengan sukacita orang lain di dalam Tuhan. Tetapi lucunya, banyak orang Kristen melakukan hal yang terbalik. Kalau ada orang Kristen lain yang bersukacita, kita iri, sedangkan kalau ada orang Kristen lain yang menderita, kita cuek. Sikap ini perlu diubah. Orang Kristen harus bertobat. Kita harus bisa simpatik dengan orang lain. Ambil contoh, Paulus adalah salah satu rasul Kristus yang simpatik. Salah satu contohnya adalah surat yang sedang kita renungkan ini, yaitu Surat Roma yang ditulis Paulus dengan rasa simpati kepada jemaat Roma yang sedang mengalami penderitaan. Paulus tidak mengatakan hal-hal yang muluk-muluk kepada mereka yang menderita, misalnya, “Tuhan punya rencana yang indah”, dll. Paulus tetap bersimpatik kepada mereka (bahkan bagi mereka yang bergumul di dalam perjalanan kerohanian mereka—baca: Rm. 7) sambil tetap menguatkan mereka dengan Injil. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita bersimpatik dengan orang lain di dalam Tuhan? Sudahkah kita ikut merasakan dan mengalami apa yang orang Kristen lain rasakan dan alami? Itulah wujud belas kasihan kita di dalam persekutuan tubuh Kristus.


Melalui ketiga ayat ini, kita telah belajar 3 prinsip kasih yang berbelas kasihan di dalam lingkup persekutuan tubuh Kristus, maukah kita berkomitmen melakukannya untuk memuliakan-Nya?

Resensi Buku-61: SAAT COWOK KETEMU CEWEK (Rev. Joshua Harris)

....Dapatkan segera....
Buku
BOY Meets GIRL
(Saat Cowok Ketemu Cewek)


oleh: Rev. Joshua Harris

Penerbit: Lembaga Literatur Baptis (LLB), 2007

Penerjemah: Samuel E. Tandei.





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Halo kawula muda, Anda masih jomblo atau sedang dalam tahap PDKT (pendekatan) atau sudah punya gebetan (pasangan hidup)?? Bagaimana sich mencari pasangan hidup yang berkenan di hadapan Tuhan? Lalu, bagaimana caranya kita berbagi dengan pasangan hidup kita? Bagaimana pula pacaran yang romantis namun kudus dan memuliakan Tuhan? Di dalam buku Saat Cowok Ketemu Cewek, Rev. Joshua Harris (rekan Rev. Dr. John S. Piper) membagikan banyak prinsip tentang pasangan hidup dari tahap perkenalan, persahabatan, menjalin hubungan lawan jenis (pacaran), tunangan, sampai menikah.
Buku ini dibagi menjadi tiga bagian: Bagian 1 bisa dibilang sebagai tahap awal (menunggu sambil berkenalan), Bagian 2 bisa dibilang sebagai tahap pertengahan (memulai hubungan yang lebih dekat dengan lawan jenis), dan Bagian 3 bisa dibilang sebagai tahap akhir (menjelang pertunangan dan pernikahan). Di dalam tahap perkenalan, kita perlu ingat satu hal bahwa Tuhan mengetahui dengan siapa kita berpasangan, oleh karena itu, biarlah Tuhan memimpin kita di dalam tahap perkenalan itu melalui hikmat yang dikaruniakan-Nya melalui firman-Nya dan Roh Kudus. Di sini, Rev. Joshua Harris mengakui kedaulatan Allah di dalam hal pasangan hidup dan menggabungkannya dengan tanggung jawab manusia. Di Bagian 2, Rev. Joshua menjabarkan tahap menjalin hubungan lawan jenis di mana masing-masing pasangan harus bertumbuh dan menjaga: persahabatan, persekutuan, dan asmara. Selain itu, beliau juga memaparkan tentang berkomunikasi di masa menjalin hubungan tersebut. Lalu, ketika menjalin hubungan itu, Rev. Joshua Harris mengajarkan bahwa kita perlu melibatkan pendeta, orangtua, teman, dan saudara-saudara kita sebagai pribadi yang boleh memberikan saran kepada kita tentang pasangan kita dan kita sendiri, karena biasanya kalau kita sedang jatuh cinta, Rev. Joshua mengatakan bahwa kita bisa terbawa emosi dan melupakan realitas. Meskipun mereka boleh memberi saran dan pendapat, kita yang HARUS mengambil keputusan (bukan mereka). Di bab terakhir di Bagian 2 ini, Rev. Joshua memaparkan bahwa di dalam pacaran ini, kita bisa menunjukkan cinta kita kepada pasangan kita, tetapi harus tetap kudus. Artinya, kita tidak boleh melakukan hal-hal yang berdosa, seperti tidur berduaan, melakukan hubungan seks sebelum menikah, dan hal-hal lain yang mengakibatkan timbulnya dosa. Dan akhirnya, di Bagian 3, Rev. Joshua memaparkan tahap kesiapan dari cowok dan cewek untuk menuju ke pelaminan. Jika salah satu pasangan ini sudah pernah jatuh ke dalam dosa seksual, di awal babnya, Rev. Joshua menganjurkan agar salah satu pasangan ini berterus terang dahulu kepada pasangannya sebelum menikah, supaya tidak terjadi masalah di kemudian hari. Setelah itu, barulah kedua pasangan ini menyiapkan proses pertunangan dan pernikahan dengan mempertimbangkan dan menjawab 10 pertanyaan yang perlu diperhatikan (isinya, baca sendiri di buku). Pada bab terakhir di bagian 3, beliau memaparkan bahwa ketika mau menikah, hendaklah pasangan mempertimbangkan hidup dan mencintai di dalam proses kekekalan, sehingga cinta mereka bukan cinta fenomenal yang sesaat, tetapi kekal karena berkait dengan Allah yang adalah Kasih.
Uniknya, setiap bab di buku ini bukan hanya dipenuhi dengan teori-teori “ideal,” tetapi juga disertai dengan banyak pengalaman praktis pasangan hidup yang telah dan sedang menjalaninya baik itu dari pengalaman pribadi Rev. Joshua Harris maupun pengalaman teman-temannya dan orang lain. Bahasa yang dipergunakan di dalam buku terjemahan ini dirancang semudah mungkin dengan SEDIKIT menggunakan bahasa Indonesia gaul, supaya lebih sesuai dibaca oleh kaum muda. Semua prinsip yang dipaparkan Rev. Joshua Harris berpusat kepada Allah (Theosentris), bukan berdasarkan teori-teori psikologi modern!





Profil Rev. Joshua Harris:
Rev. Joshua Harris lahir pada tahun 1974 di Dayton, Ohio, U.S.A. dari orangtua: Gregg dan Sono Harris. Sejak tahun 2004, beliau menjadi Senior Pastor di Covenant Life Church, Gaithersburg, Maryland, U.S.A. Beliau juga adalah anggota dari Council on Biblical Manhood and Womanhood (CBMW) bersama Rev. John S. Piper, D.Theol., dkk. Beliau juga anggota dari the council of The Gospel Coalition. Pada tahun 1998, beliau menikah dengan Shannon dan dikaruniai 3 orang anak. Untuk memperoleh informasi tentang pekerjaan pelayanan Joshua, khotbah online, dan kisah-kisah dari para pembaca, kunjungilah website: www.joshharris.com.

Matius 12:15a-21: NUBUAT DAN SEJARAH ALLAH (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 26 November 2006

Nubuat & Sejarah Allah
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Matius 12:15a-21



Pendahuluan
Bukanlah hal yang mudah bagi orang Yahudi untuk mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan bahkan ketika Tuhan Yesus menyatakan Diri sebagai Tuhan atas Sabat sebab bagi mereka hukum Sabat itulah “Tuhan“ dan mereka menganggap dengan melakukan hukum Sabat, mereka telah mencapai kesalehan. Orang Yahudi juga memandang rendah dan hina pada Tuhan Yesus. Karena itulah, Matius mengutip kitab Yesaya dimana kitab Yesaya menjadi jembatan dengan demikian orang dapat melihat Ketuhanan Kristus dalam aspek hukum dan kehidupan. Pernyataan: “Inilah hamba-Ku yang Ku-pilih,...dan Ia akan memaklumkan hukum kepada bangsa-bangsa,“ pernyataan ini sangatlah dipahami oleh orang Yahudi sebab pernyataan itu mengingatkan mereka akan kedatangan Mesias yang diidamkan.
Tidaklah mudah bagi seseorang untuk membongkar konsep yang selama ini mereka anggap sebagai kebenaran, diperlukan suatu kerendahan hati dan ketaatan untuk seseorang dapat diubahkan dan kembali pada kebenaran sejati. Belajar dari sejarah merupakan salah satu langkah untuk kita dapat diubahkan namun Heigel mengungkapkan bahwa dalam kehidupan manusia, orang perlu belajar satu hal dari sejarah, yaitu: manusia tidak pernah mau belajar dari sejarah. Banyak faktor yang menyebabkan manusia tidak mau kembali pada sejarah salah satunya karena banyak peristiwa dalam sejarah itu telah diselewengkan. Sejarah bukan lagi sebuah rangkaian fakta yang bersifat obyektif tetapi sejarah adalah interpretasi terhadap fakta dan bersifat subyektifitas. Sebagai contoh, sejarah Indonesia akan menghasilkan fakta yang berbeda kalau ditulis oleh orang Indonesia atau orang Belanda. Masih hangat di ingatan ketika Habibie menuliskan sebuah buku tentang peristiwa Mei 1998 dan buku itu langsung menuai protes.

Ada dua sikap yang ditunjukkan oleh manusia karena ketidaksukaannya pada sejarah:
1. Melupakan sejarah dan mengacu pada kekinian dan masa depan.
Orang tidak suka jika dibawa pada masa lampau, orang hanya mau tahu kejadian hari ini atau kejadian masa depan; masa lalu itu dirasakan sangatlah menyakitkan. Orang berharap masa depan akan lebih baik, orang tidak sadar ia terjebak dalam kecelakaan yang lebih parah. Ingat, di dunia ini tidak ada satu pun manusia yang tahu apa yang terjadi di masa depan. Manusia mencoba menipu diri dengan mengatakan bahwa hari ini lebih baik dari kemarin, dunia semakin hari semakin maju. Benarkah dunia semakin maju? Sadarlah, dunia tidak bertambah maju tapi sebaliknya bertambah mundur dan rusak; moral semakin rusak, kualitas hidup semakin merosot.

Manusia telah jatuh ke dalam dosa maka tidaklah heran kalau orang lebih mudah terpengaruh dan diajak melakukan perbuatan dosa daripada melakukan hal yang benar, yang suci dan yang adil. Kerusakan moral turut mempengaruhi konsep berpikir dan banyak aspek hidup, antara lain: aspek ekonomi, sosial, hukum, relasi dengan manusia, dan lain-lain. Cara orang menilai keadilan menjadi kacau, orang melihat suatu keagungan seni juga menjadi rusak. Di dunia modern, siapa yang dapat menciptakan lagu yang agung dan indah seperti yang pernah digubah oleh G. F. Haendel, J.S. Bach, Mozart, Beethoven? Jawabnya: tidak ada. Ironis, hari ini justru orang lebih suka musik liar daripada musik yang agung dan indah. Dahulu, orang membangun dengan sangat teliti dan detail dan hasilnya bisa kita nikmati hari ini seperti Northedamn Church, St. Peter Cathedral karena semua itu didasari atas motivasi untuk kemuliaan Tuhan. Namun hari ini kita mendapati bangunan arsitektur yang kacau. Inilah gambaran dunia berdosa yang rusak moral, dunia semakin hari semakin hancur.

Kalau kita jujur, masa lalu itu lebih baik dari sekarang namun orang tidak mau melihat ke masa lalu, orang hanya mau melihat kekinian karena dengan itu, mereka merasa diri hebat, Sesungguhnya, mereka tidak sadar kalau kehebatan itudalam kebodohan mereka. Orang juga tidak mau belajar dari sejarah karena manusia seperti ditelanjangi kebobrokan dirinya seperti yang diungkapkan oleh Heigel akibatnya orang mencoba menipu diri dengan mengatakan bahwa hari ini lebih baik dari kemarin dan esok lebih baik dari hari ini. Kekristenan tidak mengajarkan kita untuk menipu diri. Tidak! Kekristenan mengajak kita untuk kembali melihat sejarah namun dari perspektif yang berbeda, yakni dari kacamata Tuhan. Sejarah adalah Tuhan yang bernubuat dan menyatakan apa terjadi dalam setiap momen sejarah, ini mau menunjukkan bahwa Dia adalah Allah yang berdaulat mengatur sejarah dimana kesementaraan berada di tangan kedaulatan-Nya.

2. Mereinterpretasi sejarah berdasarkan kebobrokan masa kini.
Orang menyadari bahwa fakta sejarah tidak mungkin dihilangkan maka cara supaya orang tidak kembali pada sejarah dengan menghancurkan sejarah dengan cara menginterpretasi sejarah dengan menggunakan konsep language game seperti yang diajarkan posmodern. Sebagai contoh, sebuah buku yang berjudul Sejarah Tuhan yang ditulis oleh Karen Armstrong, sejarah direinterpretasi dengan salah sehingga orang yang tidak memahami sejarah akan melihat gambaran Allah yang rusak dan dalam buku itu digambarkan agama tidak lebih hanyalah sebuah alat yang dipakai untuk kepentingan politik, egoisitas manusia, keuntungan diri maka gambaran sejarah masa lampau itu tidak ubahnya seperti gambaran bejat manusia pada hari ini. Perhatikan, itu bukan sejarah Tuhan tetapi sejarah iblis! Begitu juga dengan lukisan Last Supper yang dilukis oleh Leonardo Da Vinci telah diinterpretasi salah seolah-olah Kristus melakukan tindakan amoral meskipun Dan Brown si penulis buku itu telah membuat pernyataan bahwa semua itu hanya fiksi belaka namun cerita fiksi itu telah meracuni dan merusak manusia. Kita tidak tahu apa yang menjadi tujuan Dan Brown menuliskan hal ini, apakah dia ingin sekedar mencari uang dan mendapatkan keuntungan ataukah dia sengaja hendak mempermainkan sejarah Kristus yang agung dan anggun? Inilah gambaran dunia berdosa yang sangat mengerikan. Dengan merusak sejarah, dunia mendapatkan suatu kepuasan karena telah sukses merusak dan mempermainkan sejarah.
Sebuah fakta sejarah barulah dikatakan sah apabila sejarah kembali pada Tuhan Allah sang pemilik dan pengatur sejarah. Sejarah adalah apa yang Allah nyatakan di tengah dunia dan sejarah harus diinterpretasi dari sudut pandang Tuhan. Untuk mengerti sejarah, orang harus kembali pada Tuhan, orang harus menyadari keberdosaannya terlebih dahulu dan orang harus ditundukkan di bawah otoritas Tuhan Sang Pemilik Sejarah. Matius mengajak para pembaca untuk mundur ke belakang supaya orang dapat melihat bagaimana Tuhan bekerja dan bertindak dalam setiap momen – dari sana terbentanglah sejarah Kerajaan Allah dari Alfa sampai Omega. History is His story.

Iman Kristen melihat sejarah berbeda dengan dunia, yaitu:
1. Sejarah sejati adalah sejarah Kristus.
Dia menetapkan sejarah mulai dari titik awal, Alfa sampai titik akhir, Omega. Allah menegaskan bahwa orang percaya atau jemaat atau ekklesia adalah orang yang ditarik keluar, call out dari lumpur dosa dan dibawa masuk dan hidup dalam sejarah Kerajaan Sorga. Tuhan mempunyai misi bagi orang percaya dalam jalur Kerajaan Sorga. Dunia semakin hari semakin rusak tetapi Allah yang berdaulat atas sejarah mempunyai satu benang merah yang merupakan rangkaian karya Allah yang tentang His story. Sejarah adalah sejarah Kerajaan Sorga yang menggenapkan rencana Allah. Bak sutradara film, dalam hal ini ia berperan seperti “tuhan kecil“ yang membuat sebuah sejarah fiktif. Dia harus membuat dua alur cerita dimana satu alur utama dan satu alur figuran. Tentu saja, sejarah utama diperankan oleh peran utama akan selalu dijaga sedemikian rupa oleh sang sutradara dimana sang pemeran utama tidak akan mati sampai akhir cerita karena ia harus menyampaikan pesan dari sang sutradara sedangkan peran figuran hanya mendukung supaya sang pemeran utama tersebut dapat mencapai misi dari sang sutradara.
Tuhan membawa kita dalam sejarah yang riil, bukan layaknya sebuah film yang hanya khayalan belaka. Hidup orang percaya adalah hidup yang riil dan Tuhan mau menyatakan apa yang menjadi rencana-Nya; setiap orang yang Tuhan panggil keluar berarti ia dipanggil untuk menjalankan misi Tuhan. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah kita berada dalam garis benang merah yang Tuhan rancangkan ataukah kita hanya seorang figuran? Tuhan tidak menjadikan setiap anak-Nya seperti layaknya sebuah robot. Tidak! Tuhan ingin setiap anak Tuhan itu hidup dalam sejarah Kerajaan Allah dengan hidup taat. Tuhan kumpulkan sekelompok orang yang tersisa, remnant untuk menjalankan misi Tuhan dan Dia jagai sedemikian rupa supaya tetap berada dalam sejarah Tuhan. Biarlah kita menyadari kalau Tuhan panggil kita diantara sekian juta manusia itu menjadi sukacita tersendiri dalam hidup kita karena Tuhan berkenan memakai kita untuk menjalankan misi-Nya. Tuhan adalah Tuan dan kita hanyalah hamba-Nya itu berarti kita harus taat mutlak pada-Nya sebab Dia akan memimpin dan mengatur langkah hidup kita untuk tetap berada dalam sejarah Tuhan. Alkitab membentangkan sejarah dari beribu-ribu tahun yang lalu dan membuktikan bahwa sejarah itu berada dalam pemeliharaan dan kedaulatan Allah.

2. Tuhan adalah Tuhan yang berdaulat atas sejarah.
Alkitab menegaskan setiap nubuatan Allah pasti akan digenapi; tidak ada satu pun manusia yang dapat membatalkannya. Manusia tidak dapat menggagalkan kedaulatan Allah. Teologi Reformed sangat menekankan kedaulatan Allah dan hal ini tidaklah disuka. Orang berpendapat bahwa kalau dirinya yang menentukan maka segala sesuatu akan menjadi lebih baik. Pemikiran yang salah! Bayangkan, apa yang terjadi kalau kita mempunyai “tuhan“ yang plin plan, tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana akibatnya dunia menjadi kacau dan rusak. Orang akan memakai hukum survival of the fittest – yang kuat dia yang menang. Dunia modern pikir kalau Tuhan tidak ada maka dunia akan menjadi lebih baik. Sejarah membuktikan atheisme maupun dualisme tidak menjadikan hidup manusia bahagia. Tidak! Filosofi Jawa sangat memahami bahwa dualisme akan berakibat kematian, ha na ca ra ka/da ta sa wa la/ pa da ja ya nya/ma ga ba ta nga yang artinya di tengah dunia ini ada dua pihak saling berhadapan, keduanya sama kuat dan akhirnya kedua-duanya mati. Inilah fakta dunia berdosa. Betapa mengenaskan dan menyedihkan hidup orang yang lemah dan miskin jika berlaku hukum survival of the fittest sebab mereka pasti akan binasa. Dunia membutuhkan suatu otoritas yang berdaulat mutlak dimana manusia harus tunduk pada Dia yang berdaulat.

Sebagai contoh, seorang penjual es sangat menginginkan terik panas matahari sebaliknya seorang penjual jas hujan sangat berharap turunnya hujan maka kalau Tuhan tidak berdaulat dan mudah diatur oleh manusia pastilah akan kebingungan, tidak tahu harus mengabulkan keinginan siapa antara penjual es atau penjual jas hujan. Puji Tuhan, kita mempunyai Allah yang berdaulat, Dia mempunyai otoritas untuk memutuskan dan menjalankan apa yang menjadi kehendak-Nya saja. Hal ini menjadi kekuatan bagi kita untuk melangkah sehingga kita tidak takut ketika kita hidup di tengah dunia karena kita tahu kita mempunyai Tuhan yang menjadi sandaran hidup dan kita tahu kita berada dalam garis sejarah Tuhan. Namun ingat, sebagai anak Tuhan bukan berarti kita tidak mengalami kesulitan dan penderitaan. Tidak! Orang Kristen maupun non Kristen juga mengalami kesulitan dan penderitaan hanya bedanya, orang Kristen mempunyai kekuatan atau sandaran sehingga mengalami kesulitan tidak akan goyah karena Tuhan ada bersama dengan anak-Nya dan Dia adalah Allah yang berdaulat yang berkuasa atas sejarah. Ingat, kita hanyalah budak, Dia adalah Tuhan berarti kita harus taat mutlak pada perintah dan pimpinan-Nya.

3. Demonstrasi kemenangan keadilan Allah.
Banyak orang yang salah menginterpretasi Mat.12:20 sebab orang memutus sebagian ayat, yakni: “bulu yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya.“ Ayat ini diinterpretasi salah bahwa Allah pasti akan menolong orang-orang yang berada dalam kesulitan, tidak akan dibiarkan padam. Perhatikan, ayat ini tidak berhenti sampai disini tetapi masih ada kelanjutannya, yaitu: 1) sampai Ia menjadikan hukum itu menang, 2) dan pada-Nyalah bangsa-bangsa akan berharap. Yang dimaksud dengan buluh yang patah terkulai itu adalah orang-orang yang tertindas dalam kebenaran maka saat itu Tuhan akan menjadi Pembela atas mereka. Kalau kita berbuat dosa dan kita berada di luar jalur pemeliharaan Tuhan maka hidup kita sengsara dan itu memang patut kita terima karena semua itu adalah hasil dari perbuatan dosa yang kita lakukan.

Hati-hati, di tengah dunia ini kita berhadapan dengan suatu realita yang sangat ironis, dimana orang tidak lagi mempedulikan orang lain, demi mendapatkan keuntungan diri orang melakukan segala cara termasuk menipu dengan licik bahkan orang tidak peduli meski orang lain menjadi korban. Orang berpendapat bahwa orang lemah dan miskin akan merugikan maka mereka haruslah dikorbankan. Ingat, Tuhan yang mengasihi adalah Tuhan yang menyediakan neraka bagi mereka yang tidak berada dalam sejarah Kerajaan Sorga. Jangan pernah berpikir Tuhan dapat dipermainkan dimana orang yang hanya ingin berkat tapi ketika mengalami kesulitan, orang meninggalkan Tuhan.

Hanya mereka yang berada dalam jalan Tuhan dan setia pada kebenaran maka Tuhan akan menjaga dan membela dan kita akan peroleh kemenangan. Inilah pengharapan sejati. Percayalah kalau Tuhan sudah janji, Dia tidak akan pernah ingkar akan janji-Nya. Sudahkah kita men-Tuhankan Kristus dalam seluruh aspek hidup kita? Men-Tuhankan Kristus berarti bersandar mutlak pada kedaulatan Allah. Tuhan tidak menjadikan kita seperti robot. Tidak! Tuhan memberikan akal budi sehingga kita dapat memutuskan antara mengikut Tuhan berarti taat dan berada dalam sejarah Kerajaan Sorga ataukah keluar dari jalur Tuhan? Ingat, setiap keputusan kita akan mengakibatkan hasil dan kitalah sendiri yang menanggungnya. Firman Tuhan melalui Yosua telah mengingatkan pada kita: “Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah;...tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!“ (Yos. 24:15).

Kristus sebagai Tuhan janganlah dimengerti sebatas pengetahuan atau teori tetapi Kristus Tuhan berarti Dia memimpin setiap langkah hidup kita dan kita harus taat mutlak pada Allah yang berdaulat. Biarlah Firman Tuhan boleh menyadarkan kita untuk kembali pada kebenaran sejati karena di dalam Dialah ada pengharapan sejati; Dia tidak akan pernah membiarkan anak-anak-Nya yang sejati sampai terkulai;“buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya sampai Ia menjadikan hukum itu menang.“ Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: