11 January 2009

Roma 12:13-15: KASIH SEJATI-3: Kasih dalam Persekutuan-2

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-6


Kasih Sejati-3: Kasih dalam Persekutuan-2

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 12:13-15.


Pada bagian kedua ini, kita akan menelusuri konsep kasih Kristen yang sejati di dalam persekutuan yang berkaitan dengan belas kasihan.

Di ayat 13-15, Paulus mengemukakan 3 konsep tentang kasih di dalam persekutuan yang bertalian dengan belas kasihan, yaitu:
Pertama, kasih yang membantu. Di ayat 13, Paulus mengungkapkan, “Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan!” Konsep kasih pertama yang bertalian dengan belas kasihan yaitu kasih yang membantu. Apakah kasih yang membantu? Kasih yang membantu adalah kasih yang diwujudnyatakan dengan memberikan apa yang kita miliki kepada orang lain. Orang lain di sini tidak berarti semua orang, tetapi orang-orang percaya. Paulus mengunci kepada siapa kita memberi ini dengan pernyataan “orang-orang kudus.” New International Version (NIV) dan God’s Word menerjemahkannya, “God’s people” (orang-orang/umat-umat Allah) King James Version (KJV), New King James Version (NKJV), Modern King James Version (MKJV), dan Revised Version (RV) menerjemahkannya, “saints” (=orang-orang kudus) Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “orang-orang Kristen lain” Ketiga arti yang berlainan ini memiliki inti yang sama yaitu orang-orang Kristen/seiman sebagai objek kita membantu mereka. Bukan hanya Paulus, Yakobus juga mengajar tentang pentingnya membantu sesama umat Tuhan (baca: Yak. 2:1-26; perhatikan ayat 1 dan bandingkan dengan konteks penulisan Yakobus à Yak. 1:1). Mengapa para rasul memerintahkan kita untuk membantu sesama umat Tuhan (orang beriman/Kristen)? Karena itu sebagai bukti kita adalah anak-anak Tuhan yang mengasihi sesama anak Tuhan lain bukan dengan perkataan atau rasio/logika/doktrin, tetapi dengan perbuatan. Tetapi, apakah berarti kita tidak boleh membantu orang lain? Tidak. Kita boleh membantu orang lain, tetapi dahulukan membantu sesama umat Tuhan/orang Kristen, karena itu perintah Tuhan agar kita memerhatikan sesama umat Tuhan dahulu, baru orang lain.

Lalu, setelah kita mengerti siapa yang perlu kita bantu, bagaimana kita membantu mereka? Di ayat ini, Paulus membagi 2 cara membantu anak Tuhan lain, yaitu: Pertama, membantu yang membutuhkan. Kata “kekurangan” dalam ayat ini kurang tepat terjemahannya. Dari bahasa asli (Yunani)nya, kata ini bisa diterjemahkan, “dalam kebutuhan-kebutuhan/untuk kebutuhan-kebutuhan (orang-orang) kudus ambillah bagian/berilah sebagian” [atau: berilah sebagian/ambillah bagian bagi kebutuhan orang-orang kudus] (Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear, 2003, hlm. 864). KJV, International Standard Version (ISV), NIV, dan mayoritas terjemahan Inggris menerjemahkannya kebutuhan (necessities, in need, dll). Dari sini, kita baru mengerti bahwa kita bisa membantu sesama orang Kristen dengan memberikan kepada mereka sesuai kebutuhan-kebutuhan mereka. Kata “kekurangan” dalam terjemahan LAI bisa disalahmengerti, karena konsep “kurang” bagi manusia berdosa itu bisa berbahaya (konsep “kurang” menurut si X berbeda dengan konsep “kurang” menurut si Y). Tetapi ketika kita menggunakan kata “kebutuhan”, kita terlebih dahulu bisa mengerti apa yang mereka butuhkan. Misalnya, ketika ada sesama kita membutuhkan sesuatu yang primer, misalnya makanan atau pakaian, mungkin kita bisa memberikan kepada mereka pakaian kita yang layak pakai atau makanan, dll. Di sini, ada unsur solidaritas kepada sesama. Pertanyaan selanjutnya, mengapa Paulus memerintahkan kita untuk memberi sebagian bagi kebutuhan orang Kristen lain? Mengapa bukan seluruhnya? Sering kali para penganut “theologi” religionum atau Social “gospel” sangat menggemari ayat ini, apalagi Yak. 1:27, lalu mengajar bahwa kita harus membantu kebutuhan semua orang. Hal ini tidak salah, tetapi yang salah motivasi dan konsepnya. Paulus ingin agar di samping kita membantu sesama kita, kita juga mendidik mereka agar bisa bekerja keras sendiri demi hidupnya. Tuhan memerintahkan kita membantu orang lain, tetapi di sisi lain tanpa kontradiksi, Tuhan yang sama memerintahkan kita untuk bekerja keras. Di satu sisi, Tuhan mengasihi orang miskin dan kekurangan, tetapi di sisi lain tanpa kontradiksi, Ia juga mengajar agar jangan menjadi pembela orang miskin. Lho, kapan Tuhan mengajar agar jangan menjadi pembela orang miskin? Di dalam Keluaran 23:3, Allah sendiri berfirman, “Juga janganlah memihak kepada orang miskin dalam perkaranya.” Ayat ini pasti sengaja dilewatkan oleh para penganut Social “Gospel” karena ayat ini tidak cocok dengan pemikiran mereka yang berdosa: humanis, materialis, dan atheis. Kembali, Alkitab mengajarkan keseimbangan yaitu antara membantu mereka yang membutuhkan sambil mendidik mereka agar mereka yang dibantu bisa bekerja keras sendiri dan tidak terus mengharapkan bantuan dari kita/orang lain. Itu sebabnya mengapa Paulus mengajarkan bahwa kita memberikan sebagian (bukan semua) harta kita untuk membantu mereka yang membutuhkan. Dengan kata lain, kita membantu orang Kristen lain sambil mendidik mereka mungkin dengan mencarikan mereka pekerjaan atau kita membuka lapangan pekerjaan bagi mereka, dll.

Kedua, keramah tamahan kepada orang Kristen lain. Kalau di poin pertama, saya menyebut cara membantu itu adalah cara membantu yang kelihatan, maka di poin kedua, saya menyebut cara membantu ini adalah cara membantu yang tidak kelihatan secara langsung. Mengapa? Karena di poin kedua, Paulus hendak mengajar kita berlaku ramah kepada orang Kristen lain. Terjemahan LAI kurang tepat (meskipun bisa diterjemahan, “memberikan tumpangan”). Beberapa terjemahan Inggris, seperti NIV, KJV, ISV, dll menerjemahkannya sebagai keramah tamahan (hospitality) Apa artinya? Di dalam bahasa Yunani, kata ini adalah philoxenia yang berarti love of strangers (mencintai/kasih kepada tamu asing). NIV Spirit of the Reformation Study Bible memberikan referensi ayat mengenai hal ini yaitu di dalam Ibrani 13:2 dan 3 Yohanes 5-8 untuk mengajar kita tentang pentingnya keramah tamahan dalam hidup orang Kristen. Di dalam Ibrani 13:2, ketika kita membantu memberi tumpangan, beberapa orang secara tidak sadar sedang menjamu malaikat. Kata “memberi tumpangan” dalam Ibr. 13:2 menggunakan kata Yunani yang sama dengan Rm. 12:13 ini. Dengan kata lain, di dalam keramah tamahan kepada orang lain, kita bukan hanya aktif memberi bantuan, tetapi kita juga “pasif” menolong orang. Ketika ada orang bertamu di rumah kita, beranikah kita bersikap ramah kepada tamu itu? Ketika orang lain membutuhkan pertolongan kita, sudah kita ramah kepada orang lain itu sambil menolong?


Kedua, kasih yang mengampuni. Di dalam ayat 14, Paulus mengajar, “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!” Konsep kasih di dalam persekutuan yang berkaitan dengan belas kasihan yaitu kasih yang mengampuni. Jika di dalam persekutuan Kristen, kita masih menyimpan dendam, dll kepada orang Kristen lain, bertobatlah. Tuhan mau kita saling mengampuni. Bukan hanya mengampuni, Paulus bahkan mengajar agar kita memberkati (dan bukan mengutuk) orang yang telah menganiaya kita. Di sini, Paulus ingin mengajar kita tiga hal:
Pertama, konsep penderitaan. Pada ayat ini, Paulus mengingatkan jemaat Roma (dan juga kita) bahkan penderitaan itu pasti diterima oleh anak-anak Tuhan. Tuhan Yesus pun mengajar bahwa barangsiapa yang mau mengikut-Nya harus menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut-Nya (Mat. 16:24). Lalu, Ia juga berfirman bahwa barangsiapa yang tidak memikul salib dan mengikut-Nya, mereka tidak layak bagi-Nya (Mat. 10:38). Penderitaan bukan hanya datang dari orang luar, tetapi juga dari dalam. Penderitaan dari dalam yang dialami Paulus sendiri adalah jemaat Korintus yang Paulus layani ragu-ragu akan kerasulan Paulus. Bayangkan, jika sebagai seorang gembala/pendeta, Anda menggembalakan dan melayani jemaat, lalu jemaat Anda meragukan apakah Anda benar-benar seorang pendeta, bagaimana reaksi kita? Kalau keragu-raguan jemaat Anda adalah keraguan yang beralasan yang menguji setiap pengajaran yang kita ajarkan dengan Firman Tuhan itu adalah hal yang wajar, tetapi jika keragu-raguan jemaat Anda itu tidak beralasan dan terkesan dicari-cari agar kita dikeluarkan dari gereja tempat Anda melayani, kira-kira bagaimana respon Anda? Sering kali Anda marah, benci, dll. Di ayat ini, Paulus kembali mengingatkan kita bahwa jika kita sungguh-sungguh melayani Tuhan, ingatlah, kita pasti menerima penganiyaan dan penderitaan. Itu adalah harga yang harus kita bayar. Tanpa penderitaan, tidak mungkin kita bisa menang atas penderitaan, dan tentunya kita tidak bisa melayani Tuhan dengan motivasi yang beres.

Kedua, reaksi aktif terhadap penderitaan: mengampuni dan memberkati. Ketika kita menyadarinya adanya gangguan dan penderitaan di dalam pelayanan kita, selain kita harus menyadari penderitaan itu, kita pun harus keluar dari penderitaan itu, bagaimana caranya? Caranya adalah tidak membalas, tetapi justru mengampuni. Mengampuni seperti apa? Memberkati orang yang sudah menganiaya kita. Ini memang sulit. Tidak mudah bagi orang Kristen, mungkin termasuk saya, Anda, dll untuk mengampuni bahkan memberkati mereka yang sudah menganiaya kita. Tetapi firman Tuhan mengingatkan kita sekali lagi, berkatilah mereka yang menganiaya kita. Tuhan Yesus juga mengajar hal yang sama di dalam Mat. 5:44, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Memberkati mereka yang menganiaya kita adalah dengan mendoakan mereka. Ketika kita mendoakan mereka berarti kita mengasihi mereka agar pada suatu saat atas kehendak-Nya, mereka yang kita doakan segera bertobat dan kembali kepada-Nya. Doa membuat kita introspeksi diri seberapa banyak kah kasih yang kita miliki bagi orang lain bahkan yang telah menganiaya kita. Doakan mereka. Biarlah di dalam doa, Tuhan menyentuh hati kita dan membuat kita tidak mendendam kepada orang yang telah menganiaya kita.

Ketiga, reaksi “pasif” terhadap penderitaan: jangan mengutuk! Bukan hanya kita mendoakan mereka, kita dituntut agar kita TIDAK mengutuk mereka yang telah menganiaya kita. Ini sama sulitnya dengan poin kedua, karena di poin ini, kita disuruh menyangkal diri. Kedagingan kita memang sulit disangkal/diikat ketika berkaitan dengan harga diri yang diinjak atau kita yang dianiaya. Sering kali kita marah ketika kita dianiaya, diperlakukan tidak adil, dll. Itu reaksi wajar manusia kedagingan yang berdosa. Tetapi hal itu seharusnya tidak terjadi pada diri anak-anak Tuhan. Kita diajar untuk tidak boleh marah, apalagi mengutuk. Di sini, perintah Tuhan melalui Paulus agar kita jangan mengutuk mengajar kita untuk berani menyangkal diri ketika diri mengalami penderitaan. Orang baru bisa menyangkal diri di dalam penderitaan adalah orang yang sudah mengalami apa itu penderitaan dan apa itu penebusan Kristus yang mengalahkan penderitaan. Ketika menderita, Kristus tidak pernah satu kali pun mengucapkan kata-kata kutukan, sehingga setiap umat Tuhan yang mengalami karya penebusan Kristus melalui kelahiran baru yang Roh Kudus kerjakan, mereka pasti mengalami apa arti menyangkal diri di dalam penderitaan. Bagaimana dengan kita sendiri? Sudahkah kita tidak mengutuk kepada orang yang sudah mengutuki/menganiaya kita?


Ketiga, kasih yang simpatik. Pada ayat 15, Paulus mengajar, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” Konsep ketiga tentang kasih yang berkaitan dengan belas kasihan adalah kasih yang simpatik. Kasih yang simpatik ditunjukkan dengan ikut bersukacita dengan orang yang bersukacita dan menangis dengan orang yang menangis. Apakah ini berarti kita terbawa suasana psikologis orang lain? TIDAK! Lalu, apa bedanya? Di sini, kasih Kristen adalah kasih yang simpatik yang benar-benar mengerti kondisi orang lain. Bedanya dengan kondisi psikologis adalah kita pura-pura simpatik dengan orang lain, misalnya kepada orang yang lagi susah karena ditinggal orang yang dikasihinya, kita sering kali memberikan “kata-kata penghiburan.” Hal itu tidak salah, tetapi tindakan kita itu lebih merupakan penyesuaian kondisi psikologis kita dengan kondisi psikologis orang lain. Tuhan mau kita bersimpatik, yang artinya ikut merasakan penderitaan orang yang menderita dan tentunya ikut bersukacita sesuai dengan sukacita orang lain di dalam Tuhan. Tetapi lucunya, banyak orang Kristen melakukan hal yang terbalik. Kalau ada orang Kristen lain yang bersukacita, kita iri, sedangkan kalau ada orang Kristen lain yang menderita, kita cuek. Sikap ini perlu diubah. Orang Kristen harus bertobat. Kita harus bisa simpatik dengan orang lain. Ambil contoh, Paulus adalah salah satu rasul Kristus yang simpatik. Salah satu contohnya adalah surat yang sedang kita renungkan ini, yaitu Surat Roma yang ditulis Paulus dengan rasa simpati kepada jemaat Roma yang sedang mengalami penderitaan. Paulus tidak mengatakan hal-hal yang muluk-muluk kepada mereka yang menderita, misalnya, “Tuhan punya rencana yang indah”, dll. Paulus tetap bersimpatik kepada mereka (bahkan bagi mereka yang bergumul di dalam perjalanan kerohanian mereka—baca: Rm. 7) sambil tetap menguatkan mereka dengan Injil. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita bersimpatik dengan orang lain di dalam Tuhan? Sudahkah kita ikut merasakan dan mengalami apa yang orang Kristen lain rasakan dan alami? Itulah wujud belas kasihan kita di dalam persekutuan tubuh Kristus.


Melalui ketiga ayat ini, kita telah belajar 3 prinsip kasih yang berbelas kasihan di dalam lingkup persekutuan tubuh Kristus, maukah kita berkomitmen melakukannya untuk memuliakan-Nya?

No comments: