30 December 2010

Bagian 2: Atheisme dan Apologetika di Indonesia (Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.)

ATHEISME DAN APOLOGETIKA DI INDONESIA

oleh: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.



Seusai mengajar sebuah kelas selama satu semester, seseorang datang untuk berbicara kepada saya. “Pak, bolehkah saya minta semua power pointnya?” Saya bertanya “Untuk apa?” Spontan ia menjawab “Untuk saya pakai berbicara kepada kakak saya yang ateis… seperti saya.” Sambil terkejut saya berkata, “Oh ya, jadi kamu ateis?” Dengan terbuka ia menjawab “ya, sudah sembilan bulan saya tidak ke gereja dan berpikir bahwa Tuhan tidak ada. Dulu saya aktif ke gereja, tetapi banyak keberatan-keberatan saya terhadap Tuhan tidak saya temukan jawabannya sehingga saya sudah tidak percaya Tuhan lagi. Tetapi syukur, materi yang Bapak sampaikan selama satu semester membuat saya percaya Tuhan dan kembali bergereja. Sekarang saya ingin meyakinkan kakak saya yang ateis untuk kembali pada Tuhan.”

Hari itu adalah hari yang paling bahagia dan mengharukan dalam satu semester kuliah yang saya bina. Jika kita percaya bahwa satu jiwa berharga di mata Tuhan, maka jelaslah bahwa menolong satu orang ateis untuk kembali pada kebenaran yang telah ditinggalkannya adalah sesuatu yang tak ternilai harganya. Sungguh menguatkan ketika melihat bahwa Roh Kudus dapat bekerja melalui sebuah argumentasi dalam apologetika yang terintegrasikan dalam perkuliahan.

Namun demikian, secuplik kisah di atas sebenarnya mengajarkan beberapa hal tentang ateisme dan apologetika. Pertama, ateisme eksis di Indonesia. Dari kisah nyata di atas, sudah terlihat ada dua ateis di satu kota. Kedua, apologetika memiliki fungsi yang vital dalam Kekristenan. Dalam sepanjang kuliah yang saya berikan, saya menyertakan apologetika sebagai bagian integral dari kuliah dan pemuda itu mengakui bahwa argumentasi-argumentasi yang ada menolong dia untuk kembali ke kekristenan. Ketiga, seseorang yang telah bertobat melalui proses yang melibatkan apologetika secara intensif biasanya punya kecenderungan menjadi apologet. Dalam kasus pemuda itu, ia bersemangat untuk meyakinkan kakaknya yang ateis setelah ia sendiri diyakinkan melalui berbagai argumentasi yang melaluinya Roh Kudus bekerja.

Oleh karena apologetika telah memainkan pera penting dalam penginjilan sebagaimana yang saya saksikan,maka saya sulit menahan senyum ketika ada orang berkata “argumentasi tidak dapat memenangkan jiwa” atau “apologetika tidak dapat membuat orang percaya” dan sejenisnya. Saya tersenyum dan terkadang tertawa pahit karena pernyataan seperti itu benar-benar tipikal dari orang Kristen yang tidak mengerti apologetika dan mungkin pula jarang penginjilan. William Lane Craig, apologet Kristen yang sangat aktif mengatakan ia sudah lupa berapa kali orang mengatakan hal seperti itu kepada dia…karena begitu seringnya. Saya bayangkan kalau saya jadi dia, capek deh…:)

Mengatakan “argumentasi tidak dapat memenangkan jiwa” dengan sebuah sikap skeptis kepada seorang Kristen yang menjalankan apologetika adalah kesalahan yang fatal karena beberapa alasan sederhana.

Pertama, karena sebenarnya mayoritas orang yang menjalankan apologetika juga tidak mempercayai hal itu, termasuk Craig yang sangat aktif berdebat itu. Dengan jelas Craig menyatakan bahwa bagi banyak orang mempercayai Tuhan memang tidak memerlukan pembuktian...sebuah konsep yang diusung oleh Reformed Epistemologis, Alvin Plantinga.

Walaupun demikian, dalam apologetika kita percaya bahwa Roh Kudus dapat bekerja melalui argumentasi untuk membimbing orang ke dalam kebenaran. Baik pembelaan, pembuktian maupun penyerangan yang merupakan bentuk-bentuk apologetika dapat menjadi jalan bagi seorang ateis untuk melihat masalah dalam wawasan dunianya, dan mengakui kebenaran wawasan dunia Kristen. Jadi, pernyataan seperti itu menggelikan jika ditujukan kepada apologet karena itu adalah sebuah bentuk kesalahan informal dalam logika bernama “Straw man.”

Kesalahpahaman kedua terkait pernyataan seperti itu adalah mengasumsikan bahwa seorang yang menjalankan apologetika percaya bahwa semua orang perlu diinjili dengan proses apologetika, debat dan sejenisnya. Kenyataannya adalah apologet yang dewasa tidak pernah berpikir bahwa semua orang harus diinjili melalui proses apologetika yang kompleks atau “jlimet” kata orang Jawa.

Penulis sendiri bertobat dan percaya Yesus sama sekali bukan melewati sebuah proses argumentasi yang panjang tetapi proklamasi Firman yang singkat. Selesai mendengarkan kotbah sederhana, saya memutuskan menjadi orang Kristen walau sebelumnya pikiran saya mengarah ke ateisme begitu kuat. Pengamatan terhadap proses orang menjadi percaya kepada Yesus juga mendukung hal itu. Amat jelas bahwa mayoritas orang Kristen tidak bertobat melalui proses argumentasi yang panjang dengan seorang Kristen yang suka apologetika. Hal ini pun dengan sukarela diakui oleh William Lane Craig secara terbuka.

Jika demikian, mengapa apologetika masih penting? Ada sangat banyak alasan. Salah satunya yang relevan dalam catatan ini adalah karena beberapa orang memang membutuhkan argumentasi lebih daripada orang-orang lainnya. Ada sejenis orang tertentu yang hambatan intelektualnya cukup besar sehingga apologetika dapat menolongnya dengan cara yang amat signifikan untuk “melihat” kebenaran. Sekali lagi, tidak semua orang yang memiliki hambatan intelektual besar akan dimenangkan melalui apologetika, namun jelaslah seperti dalam kasus pemuda di awal tulisan ini bahwa argumentasi amat berguna bagi dirinya untuk membuka jalan bagi iman.

Nah, Jika hanya untuk satu alasan ini saja apologetika telah memiliki “tempatnya” dalam pelayanan, mengapa terlalu sedikit orang yang mendalaminya dan bahkan beberapa orang bersikap antipati terhadapnya? Saya punya opini dan mungkin anda juga punya opini yang berbeda. Mari kita diskusikan.




Sumber: note penulis di FB.



Profil Penulis:
Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau mendapat sertifikat dari Ravi Zacharias International Ministry, Academy of Apologetics, India. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi Master of Theology (M.Th.) bidang Sejarah Gereja di Biola University, U.S.A.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

Resensi Buku-109: FIRMAN MENJADI DAGING (Pdt. Ir. Victor Mangapul Sagala, D.Th.)

...Dapatkan segera...
Buku
FIRMAN MENJADI DAGING:
Kristologi Berdasarkan Yohanes 1:14


oleh: Pdt. Ir. Victor Mangapul Sagala, D.Th.

Penerbit: Perkantas, Jakarta, 2009





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Doktrin tentang Kristus atau Kristologi menjadi bahan perdebatan sepanjang sejarah. Di sepanjang sejarah, berbagai bidat bermunculan untuk menyerang inti Kekristenan ini. Namun Tuhan tetap menjaga umat-Nya melalui Alkitab dan para pembela iman Kristen yang cerdas dan bertanggungjawab. Melalui Alkitab, kita belajar pribadi Kristus sesungguhnya. Khususnya melalui Injil Yohanes 1, kita belajar tuntas tentang pribadi Kristus yaitu Firman menjadi daging. Pdt. Ir. Victor Mangapul Sagala, D.Th. sebagai seorang pendeta yang menekuni dunia Biblika khususnya Perjanjian Baru menguraikan tentang Firman menjadi daging di dalam Injil Yohanes 1:14. Dengan kemampuannya di dunia Biblika, dalam buku yang juga merupakan revisi dari skripsi M.Th. beliau di Trinity Theological College, Singapore ini, beliau menguraikan ayat ini dengan mengaitkannya dengan konsep Perjanjian Lama, sehingga menambah pengetahuan kita tentang keagungan dan kemuliaan Pribadi Kristus. Biarlah buku ini boleh mencerahkan pikiran kita tentang Logos sejati yaitu Kristus dan bagaimana mewartakan Injil Kristus sejati kepada banyak orang dunia yang salah mengerti Kristus.





Rekomendasi:
“Allah berulang kali dan dengan berbagai cara berbicara dan menyatakan diri-Nya kepada manusia (Ibr. 1:1-2). Salah satu dari cara itu, dan sebagai puncak penyataan diri Allah, adalah “logos sarx egeneto” atau “firman menjadi daging” (Yoh. 1:14). Pendekatan Injil Yohanes tentang keilahian Yesus melalui konsepsi “logos” dijalankan Dr. Mangapul Sagala secara rinci, hermeneutis dengan argumentasi theologis. Alur berpikirnya sistematis, enak dibaca, dan mudah dicerna. Kehadiran buku ini telah memperkaya pemahaman Kristologi di tengah deretan buku theologi di Indonesia, sehingga layak dimiliki para hamba Tuhan dan para mahasiswa theologi yang selalu bergumul menemukan penjelasan Kristologi yang relevan dan kontekstual.”
Pdt. Dr. Darwin Lumbantobing
(Ketua Sekolah Tinggi Theologi—STT HKBP Pematangsiantar)

“Karunia dan kekuatan Mangapul Sagala sebagai seorang theolog adalah pemahamannya yang cermat akan konsep Kristologi Yohanes. Dia menggali secara mendalam konsep Yohanes tentang Firman dan daging, dan konsep kemah dan kemuliaan. Dengan demikian, melihat Allah dalam dan melalui manusia Yesus dari Nazaret.
Dengan sangat baik, ia menuntun kita untuk melihat bahwa Yesus, Allah yang berinkarnasi adalah Allah sejati dan manusia sejati, yang pernah hidup, mati dan bangkit kembali. Jadi, Sagala memberikan kontribusi bukan hanya menegaskan relasi antara keAllahan dan kemanusiaan Yesus, tetapi juga membagikan Yohanes 1:14, yang merupakan ayat yang sangat penting untuk Kristologi Firman.”
Pdt. Joshua Ong, Ph.D.
(Rektor STT IMAN dan gembala sidang Gereja Santapan Rohani Indonesia—GSRI Taman Sari; Sarjana Muda dari Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta; Master of Divinity—M.Div. dari Seminari Theologi Baptis Indonesia; Master of Theology—Th.M. dan Doctor of Philosophy—Ph.D. dari Fuller Theological Seminary)

“Keilahian Yesus Kristus hampir selalu muncul dalam setiap pengakuan dan puji-pujian Kristen tanpa pemahaman dan kesadaran akan misteri karya keselamatan Allah ini.
Pdt. Dr. Ir. Mangapul Sagala, melalui buku ini secara khusus mengajak kita semua berhenti sejenak, merenungkan apa yang Yohanes 1:14 singkapkan. Dia adalah Allah, inkarnasi Firman yang di dalam seluruh kepenuhan-Nya menjadi alasan, tujuan, dan bahkan “tabernakel” di mana kita boleh mengalami perjumpaan dengan Dia dalam ibadat penyembahan yang sesungguhnya.
Buku ini pantas untuk dibaca oleh setiap individu Kristen yang secara pribadi mencari jawab untuk salah satu pertanyaan iman yang paling esensial dalam hidupnya. Saya percaya, buku ini akan menjadi salah satu sumbangan penting untuk Kekristenan di Indonesia.”
Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D.
(Rektor dan dosen Theologi Sistematika dan Etika, Theologi Praktika,Psikologi dan Konseling di STTRII; Sarjana Theologi—S.Th. di STT Jakarta; Master of Christian Education—M.C.E. di Reformed Theological Seminary, U.S.A.; Th.M. dari Trinity Evangelical Divinity School, U.S.A.; dan Ph.D. dari Biola University, U.S.A.)





Profil Pdt. Dr. V. Mangapul Sagala:
Pdt. Ir. Victor Mangapul Sagala, M.Div., M.Th., D.Th. lahir di Bonandolok, Samosir, 19 Mei 1956. Beliau saat ini dipercaya sebagai Koordinator Divisi Pelayanan Alumni di Persekutuan Antar Universitas (Perkantas) Jakarta dan dosen Perjanjian Baru di: Sekolah Tinggi Theologi IMAN dan Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta. Beliau juga termasuk anggota dari: ISBI (Ikatan Studi Biblika Indonesia), FTB (Forum Theolog Batak), dan juga Pendiri/Ketua Dewan Pembina YBD. Beliau menyelesaikan studi Insinyur (Ir.) di Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Jakarta. Kemudian beliau menyelesaikan studi theologi di Trinity Theological College, Singapore dan meraih gelar: Master of Divinity (M.Div.), Master of Theology (M.Th.), dan Doctor of Theology (D.Th.). Beliau menikah dengan Dra. Junicke br. Siahaan dan dikaruniai 5 orang anak: Billy (1988) Abdiel (1991), si kembar Stefan & Filip (1993), Ekharisti (1995). Beliau juga mengadakan riset selama 6 bulan di Cambridge, Inggris dan PIB, Roma. Karya tulis yang telah diterbitkan, antara lain:
1. Pemimpin Pujian Yang Kreatif
2. Superioritas dan Keistimewaan Alkitab
3. Petunjuk Praktis Menggali Alkitab
4. Kristus Pasti Datang Kembali
5. Roh Kudus dan Karunia Roh
6. Bagaimana Kristen Berpacaran
7. Pekabaran Injil Secara Pribadi
8. Injil dan Adat Batak
9. Mangapul Sagala: Pelayan dan Pembelajar (ed.: Victor Silaen)

29 December 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:24-25 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:24-25

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 9:24-25


Sebagian penafsir mempersoalkan posisi 9:24-27. Menurut mereka, bagian ini tidak memiliki keterkaitan yang jelas dengan keseluruhan pasal 9. Gambaran tentang olahragawan di bagian ini diyakini tidak berhubungan dengan tema makan makanan berhala (pasal 8) maupun kebebasan/hak yang dikorbankan demi kepentingan orang lain (pasal 9). Berdasarkan keyakinan ini mereka menduga bahwa 9:24-27 merupakan tambahan dari orang lain yang disisipkan secara keliru di posisi seperti sekarang.

Spekulasi di atas tidak bisa dibenarkan. Poin yang ingin disampaikan dalam ilustrasi di 9:24-27 melengkapi prinsip yang sudah diajarkan di 9:-13. Sebelumnya Paulus sudah memberikan contoh dari pelayanannya sendiri tentang bagaimana kita melepaskan kebebasan dan hak kita demi mencapai tujuan yang mulia, yaitu memenangkan orang lain bagi Injil. Prinsip ini sama dengan kehidupan para atlet. Demi sebuah kemenangan, mereka rela mengorbankan kenyamanan hidup, mengontrol nafsu makan, dan menguasai keinginan. Dalam latihan ini mereka jelas harus mengorbankan kebebasan dan hak mereka. Walaupun mereka berhak makan apa pun, namun akhirnya mereka memilih untuk mengabaikan itu demi suatu tujuan yang mereka anggap lebih berharga daripada soal makanan. Walaupun mereka bebas untuk mengatur aktivitas hidup mereka (istirahat, bersantai, latihan fisik), tetapi demi sebuah hadiah mereka akhirnya memilih untuk melepaskan kebebasan ini. Begitu pula dengan prinsip hidup Paulus di 9:1-23. Ia mau melepaskan hak dan kebebasannya demi Injil.

Keterkaitan lain mungkin didapatkan dari fakta bahwa pertandingan akbar olah raga sering kali dilakukan dalam konteks memperingati atau menghormati dewa tertentu, yang pasti melibatkan melibatkan unsur relijius di dalamnya. Sangat mungkin isu relijius inilah yang dianggap Paulus relevan dengan isu tentang makan makanan berhala di pasal 8, karena itu ia sengaja memilih ilustrasi dari pertandingan olah raga.

Gambaran tentang pertandingan olah raga di 9:24-27 pasti sudah sedemikian akrab bagi jemaat Korintus. Pertanyaan “tidak tahukah kamu?” di awal ayat 24 merupakan pertanyaan retoris yang tidak perlu dijawab. Penggunaan iustrasi dari dunia olah raga untuk mengajakan semangat perjuangan yang kuat merupakan fenomena yang sangat umum pada waktu itu. Baik penulis Yahudi (Philo) maupun penulis kafir (Epictetus) beberapa kali memakai gambaran seperti ini. Bagaimanapun, khusus bagi jemaat Korintus, ilustrasi dari dunia olah raga memiliki kesan yang berbeda. Mereka mengetahui seluk-beluk pertandingan olah raga bukan hanya dari tulisan, tetapi melalui pengalaman langsung. Mereka pasti sudah sering mendengar atau bahkan menonton pertandingan Isthmian. Pertandingan yang dilaksanakan di sebuah tempat berjarak 24 km dari Korintus ini bahkan sering kali dikutip oleh para penulis kuno terkenal. Pertandingan ini dilakukan setiap dua tahun dan mempertandingkan berbagai cabang olah raga. Dibandingkan dengan jenis perhelatan olah raga besar lainnya, pertandingan Isthmian adalah yang terbesar kedua setelah pertandingan Olympic. Pertandingan lain yang kalah populer dari Isthmian adalah Delphi dan Nemea. Bagi orang Korintus pertandingan Isthmian merupakan kebanggaan mereka. Usia pertandingan yang sudah berabad-abad menjadi salah satu keunggulan dari pertandingan ini. Walaupun pada tahun 146 SM perhelatan olah raga ini sempat berhenti seiring dengan kehancuran kota akibat invasi militer Romawi, pada tahun 44 SM penduduk Korintus kembali menggalakkan pertandingan ini. Orang-orang kaya mengumpulkan dana yang besar untuk membangun kembali stadion yang hancur dan membiayai penyelengaraan lomba. Semua ini mereka lakukan demi sebuah kehormatan. Paulus sendiri pasti cukup mengenal pertandingan ini, terutama ketika ia dulu berada di Korintus. Menurut Kisah Para Rasul 18 Paulus sempat melayani di Korintus selama hampir 2 tahun sebelum Galio akhirnya menjadi gubernur di Akhaya dan mempersulit pelayanannya di sana (18:9-12). Dengan mempertimbangkan catatan historis bahwa Galio menjadi gubernur di sana sekitar tahun 50 atau 51 M, kita mendapatkan bukti yang cukup kuat untuk meyakini bahwa Paulus dalam taraf tertentu sangat mengenal pertandingan Ishtmian. Ia mungkin mengenal pertandingan ini pada tahun 49 atau 51 atau dua-duanya.

Dugaan seperti ini tidak berlebihan. Selain Paulus sendiri memang menyukai olah raga (terlihat dari kebiasaan Paulus memakai ilustrasi dari bidang ini, Gal. 5:7; Flp. 2:13-14, 16; 2Tim. 2:5; 4:8), pekerjaan Paulus sebagai pembuat tenda memang berkaitan dengan penyelengaraan pertandingan di Isthmian. Selama berlangsungnya pertandingan ini banyak orang dari berbagai penjuru dunia berkunjung ke Korintus/Isthmian untuk menyaksikan perlombaan akbar ini. Pada waktu itulah mereka sangat membutuhkan tenda untuk tempat tinggal sementara. Bagi Paulus, hal ini adalah kesempatan untuk mendapatkan uang yang bisa ia pakai untuk mendukung pemberitaan Injil yang ia lakukan. Di samping itu, kedatangan ribuan orang dari berbagai etnis dan belahan dunia merupakan kesempatan yang besar bagi Paulus untuk memberitakan Injil, sehingga Injil lebih cepat tersebar ke seluruh dunia. Pola pemikiran ini sangat mungkin meniru dari pola kerja Allah pada Hari Pentakosta (Kis. 2:1-11). Mengapa Roh Kudus dicurahkan pada saat hari raya ini dilaksanakan? Mengapa pertobatan massal terjadi pada momen yang sama? Jawabannya berkaitan dengan rencana ilahi untuk membawa Injil sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8). Pada saat Hari Pentakosta inilah semua orang Yahudi di perantauan datang ke Yerusalem. Dengan menjangkau mereka pada momen seperti ini berarti Injil disebarkan ke seluruh dunia dengan lebih cepat dan efisien.

Melalui ilustrasi dari dunia olah raga di 9:24-27 Paulus ingin mengajarkan bahwa kehidupan rohani dan pelayanan dapat diibaratkan seperti kehidupan seorang atlet. Kehidupan rohani tidak bisa dijalani dengan santai dan tanpa tujuan. Beberapa ungkapan yang digunakan di 9:24-25 menunjukkan usaha yang begitu keras untuk menjalani. Sama seperti seorang atlet lari, kita harus berlari sekuat tenaga kita (9:24b). Atlet yang ikut dalam pertandingan disebut dengan “ho agōnizomenos”. Kata dasar agōnizomai bisa memiliki arti “berjuang” (Luk. 13:24; 1Tim. 4:10), “melawan” (Yoh. 18:36), “bergumul” (Kol. 1:29; 4:12), atau “bertanding” (1Tim. 6:12; 2Tim. 4:7). Semua arti ini menyiratkan usaha yang penuh kesungguhan dan kerja keras. Tidak heran, di perkembangan selanjutnya kata agōnizomai memiliki makna yang berkaitan dengan ide “menderita”, misalnya Bahasa Inggris “agonize” yang berarti “menderita sekali”. Kehidupan rohani memang sebuah perjuangan melawan diri sendiri, Iblis, dan dunia (1Yoh. 2:16; Ef. 6:10-18). Tidak ada waktu untuk bersantai. Pepatah “biar lambat agar selamat” tidak berlaku dalam urusan pertumbuhan rohani.


Syarat Kemenangan (ay. 24-25a)
Paulus tidak hanya menunjukkan bahwa kehidupan rohani atau pelayanan ibarat sebuah pertandingan. Ia juga memberikan rahasia atau strategi bagaimana pertandingan tersebut dapat dimenangkan. Apa saja syarat untuk meraih kemenangan ini?
Berlari Sedemikian Rupa (ay. 24b)
Ilustrasi yang dipakai Paulus di bagian ini menimbulkan kesulitan bagi sebagian orang. Problem ini terutama berkaitan dengan “hanya satu orang yang mendapatkan hadiah”. Apakah Paulus memaksudkan bahwa semua orang Kristen harus berlari tetapi hanya ada satu orang Kristen saja yang berhasil mendapatkan hadiah? Lalu apa yang terjadi dengan mereka yang tidak mendapatkan hadiah? Apakah kehidupan kekristenan memang sebuah kompetisi dengan sesama orang Kristen? Beberapa orang berusaha memberikan solusi dengan cara menafsirkan “satu orang” sebagai gereja secara keseluruhan, sedangkan orang-orang laina dalah “non Kristen”. Sebagian memahami “satu orang” sebagai Kristus yang sudah mewakili kita dalam perlombaan iman. Yang lain lagi menganggap Paulus memang salah memilih ilustrasi yang tepat.

Semua upaya ini sebenarnya tidak diperlukan. Kesulitan untuk memahami ilustrasi ini muncul karena ketidaktahuan tentang cara menafsirkan ilustrasi. Sebuah ilustrasi tidak boleh dipahami secara detil seolah-olah setiap aspek yang berkaitan dengan ilustrasi itu memiliki makna spiritual. Dalam menafsirkan ilustrasi atau gambaran kita harus memperhatikan poin analogi utama. Dalam metafora di 9:24-27 inti yang mau disampaikan bukan jumlah peserta, tetapi betapa sulitnya mendapatkan hadiah. Poin inilah yang ingin ditonjolkan oleh Paulus. Ia tidak menyinggung tentang apakah para pelari itu memiliki hubungan kekeluargaan atau tidak. Yang ingin ditekankan hanya satu: karena hadiah hanya diperuntukkan bagi satu orang, maka setiap pelari harus berusaha sekeras mungkin untuk mendapatkannya. Poin ini dipertegas dengan nasehat Paulus “karena itu larilah sedemikian rupa”.

Jika kita mengamati secara lebih seksama, penekanan pada nasehat ini bukan terletak pada kata “lari”. Semua peserta, baik yang menang maupun yang kalah, memang harus terus berlari. Yang ditekankan adalah kata “sedemikian rupa”. Dalam kalimat Yunani kata ini diletakkan di bagian awal ayat 24b, sehingga bagian ini secara hurufiah dapat diterjemahkan “sedemikian rupa kalian harus berlari untuk mendapatkannya”. Berlari saja tidak cukup. Kita harus berlari sedemikian rupa. Kita harus memberikan usaha terbaik, bukan yang biasa saja.

Di tempat lain Paulus pernah mengajarkan tips berlari yang baik (Flp. 3:13-14). Orang yang berlari tidak boleh terbebani dengan apa yang ada di belakang. Ia harus “melupakan” semua itu dan mengarahkan diri ke depan (Flp. 3:13). Matanya harus diarahkan pada hadiah yang ingin diraih (Flp. 3:14). Dengan kata lain, pelari harus memiliki fokus. Ia tidak boleh terganggu oleh apa pun juga. Demikian pula dengan kerohanian dan pelayanan kita. Kita pun harus mengarahkan hidup kita pada Injil.

Menguasai Diri Dalam Segala Hal (ay. 25a)
Syarat lain untuk meraih kemenangan adalah menguasai diri dalam segala hal. Menurut kebiasaan waktu itu, para atlet yang ingin mengambil bagian dalam pertandingan di Olympic/Isthmian harus menjalani pemusatan latihan selama 10 bulan. Pada bulan yang terakhir, latihan dipusatkan di stadion tempat berlangsungnya pertandingan. Semua ini dimaksudkan agar mereka memiliki peluang yang makin besar untuk memenangkan pertandingan. Selama latihan inilah kekuatan seseorang dalam menguasai dirinya benar-benar diuji.

Penambahan kata “dalam segala sesuatu” menyiratkan cakupan yang inklusif, sama seperti sikap Paulus yang mau menjadi segala-galanya bagi semua orang (9:23). Seorang atlet bukan hanya dituntut untuk menjalani program latihan yang ketat, tetapi ia juga harus menjaga pola makan. Epictetus, seorang penulis kafir kuno, pernah menggambarkan latihan keras yang dijalani atlet dengan kalimat sebagai berikut: “kalian harus tunduk pada disiplin, mengikuti diet yang ketat, mengabaikan kue yang manis, latihan di bawah tekanan pada jam tertentu, baik di cuaca panas maupun dingin; engkau tidak boleh minum air dingin atau anggur sewaktu-waktu seperti yang engkau mau”. Penguasaan diri dalam konteks pertandingan olah raga waktu itu juga mencakup kepatuhan pada peraturan olah raga. Para atlet yang ingin bertanding harus mengambil sumpah untuk mematuhi semua peraturan pertandingan dan menjalani latihan yang ketat. Tidak salah jika kita merangkum semua ini dalam kalimat “kemenangan di pertandingan tidak mungkin diperoleh tanpa keringat”. No pain, no gain. Sebagai seorang manusia, atlet jelas memiliki hak dan kebebasan untuk makan apa pun yang mereka inginkan atau beristirahat kapan pun mereka mau. Bagaimanapun, mereka akhirnya memilih untuk mengorbankan semua hak, kebebasan, dan kenyamanan hidup mereka demi memperoleh hadiah. Hadiah itulah yang dianggap lebih penting daripada segala tantangan dan penderitaan fisik yang harus dijalani.

Begitu pula dengan kehidupan rohani kita. Kalau kita menganggap bahwa penerimaan Injil oleh orang lain sebagai tujuan hidup yang penting (9:19-23 “supaya aku dapat memenangkan sebanyak mungkin orang”), maka kita pasti akan rela menanggalkan semua hak/kebebasan kita (9:15-18) guna mencapai tujuan tersebut. Kita tidak akan mengijinkan hak/kebebasan itu menjadi penghalang bagi tujuan yang akan kita capai (9:12b).

Sikap di atas tidak dimiliki oleh jemaat Korintus. Mereka tidak mau peduli dengan kehidupan rohani orang lain. Mereka menggunakan kebebasan secara sembarangan (8:9), sehingga orang lain justru tersandung karena tindakan itu (8:11). Seharusnya mereka bersedia mengorbankan “kebebasan” untuk makan makanan persembahan berhala demi kepentingan orang lain. Kegagalan mereka melakukan hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak bisa menguasai diri. Kalau atlet saja mau mengorbankan kebebasan demi membangun tubuh fisik mereka, jemaat Korintus seharusnya lebih bersedia untuk berkorban demi membangun sesama tubuh Kristus (8:1).


Hadiah yang Diperoleh (ay. 25b)
Dalam pertandingan kuno waktu itu, ujuan utama seorang atlet bukanlah materi, seperti sebagian besar atlet profesional sekarang. Masyarakat Romawi meletakkan kehormatan di atas segalanya. Materi memang penting, namun hal itu masih di bawah kehormatan. Justru materi harus dipakai sebagai sarana untuk memperoleh kehormatan. Demikian pula dengan para atlet. Mereka adalah atlet amatir yang terobses terutama oleh ketenaran. Momen yang paling mengesankan bagi mereka adalah ketika terompet ditiup, semua penonton diharuskan berdiam diri, nama pemenang diumumkan, dan sebuah mahkota diletakkan di atas kepala mereka, dengan diiringi oleh tepuk-tangan semua penonton.

Tujuan seperti ini jelas tidak berlangsung lama. Mahkota untuk para juara yang biasanya terbuat dari daun tumbuhan tertentu dalam beberapa minggu pasti sudah layu. Penonton tidak akan memberikan tepuk-tangan terus-menerus. Nama pemenang pun dalam beberapa tahun sudah dilupakan orang. Tidak ada nilai permanen dalam semua ini.

Para filsuf Stoa memiliki konsep yang sedikit lebih mendalam. Bagi mereka hadiah yang paling penting bukanlah mahkota atau ketenaran. “Hadiah” yang sesungguhnya adalah kepribadian positif yang terbentuk, ketahanan diri menghadapi penderitaan, dan kedamaian hati karena berhasil menguasai diri. Semua hadiah ini dianggap memiliki nilai yang lebih permanen daripada sekadar mahkota atau tepukan tangan penonton.

Bagaimanapun, konsep hadiah menurut Stoa tetap tidak bisa menandingi konsep hadiah yang diajarkan Paulus dalam bagian ini. Mahkota yang menanti orang percaya bukan hanya tahan lama, tetapi abadi (ay. 25b). Mahkota ini adalah “suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga” (1Ptr. 1:4). Hadiah seperti ini jelas melampaui segala macam hadiah yang ditawarkan oleh dunia.

Yang dimaksud mahkota di bagian ini tentu saja bukan kehidupan kekal itu sendiri. Keselamatan kita tidak perlu diusahakan; semua berdasarkan anugerah cuma-cuma dari Allah (Ef. 2:8-9). Mahkota di sini berbicara tentang kualitas hidup kekal atau upah yang menyertai keselamatan kita. Ada beberapa alasan yang mendukung ke arah konklusi ini: (1) konteks pasal 9 secara keseluruhan bukanlah “bagaimana kita bisa selamat”, tetapi “bagaimana kita seharusnya memberitakan Injil”. Konteks pembicaraan Paulus di pasal ini bukan tentang keselamatan, tetapi pelayanan/pemberitaan Injil; (2) Paulus sebelumnya sudah menyinggung tentang upah yang akan ia terima sebagai pelayan Tuhan (3:8) dan upah ini dibedakan dengan keselamatan rohani (3:14-15); (3) di tempat lain mahkota dikaitkan dengan kemuliaan (1Ptr. 5:4) atau kebenaran (2Tim. 4:8); (4) di beberapa tempat “mahkota” tampak dibedakan dari dan dipakai untuk menerangkan kualitas kehidupan kekal (Yak. 1:12; Why. 2:10 “mahkota kehidupan”).


Aplikasi
Allah sudah menyiapkan hadiah yang terbaik bagi kita, suatu hadiah yang kekal dan sangat mulia. Kalau atlet duniawi saja mau berkorban begitu rupa untuk hadiah yang fana dan kurang mulia, bukankah kita seharusnya lebih mau berkorban lagi demi mendapatkan sesuatu yang jauh lebih mulia? Mengapa kita justru tampak tidak bergairah menjalani pertandingan rohani kita? Mengapa kita sering kali tidak mau berkorban untuk hal-hal rohani yang bernilai kekal? Biarlah firman Tuhan kali ini menggugah semangat kita untuk serius menghadapi kehidupan rohani kita dan bersedia berkorban waktu, tenaga, pikiran, maupun perasaan kita demi pekerjaan Tuhan di muka bumi. Soli Deo Gloria.



Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 22 Agustus 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/SER-1Korintus%2009%20ayat%2024-25.pdf

19 December 2010

Resensi Buku-108: TINGGAL DALAM HADIRAT-MU (Pdt. Yohan Candawasa, S.Th.)

...Dapatkan segera...
Buku
TINGGAL DALAM HADIRAT-MU

oleh: Pdt. Yohan Candawasa, S.Th.

Penerbit: Pionir Jaya, Bandung, 2010





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Menurut Katekismus Singkat Westminster Pasal 1, tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya. Sering kali kita diajar bagaimana memuliakan Allah, namun kurang diajar bagaimana menikmati Allah. Menikmati Allah adalah menikmati pribadi dan karya Allah di dalam hidup kita. Bagaimana cara kita menikmati Allah? Caranya adalah dengan tinggal dalam hadirat-Nya setiap hari. Itulah judul buku yang merupakan kumpulan khotbah dari Pdt. Yohan Candawasa ini, “Tinggal Dalam Hadirat-Mu.” Ketika kita tinggal di hadirat-Nya, kita menemukan Pribadi Allah yang bukan hanya kita mengerti di dalam pikiran kita saja, namun kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Allah itulah yang memimpin langkah hidup kita sehari-hari. Meskipun kita melewati bayang-bayang kekelaman, Allah akan memelihara hidup kita. Pemeliharaan-Nya tentu TIDAK berwujud bahwa kita pasti dilepaskan dari penderitaan, namun pemeliharaan-Nya berwujud cinta kasih-Nya yang terus menambahkan iman kita di dalam menghadapi penderitaan. Bagaimana kita bisa mempercayai Allah di dalam penderitaan tersebut? Bagaimana pula melihat Allah di dalam kegelapan hidup kita? Temukan semua jawaban tersebut di dalam buku Tinggal Dalam Hadirat-Mu dengan beragam contoh dan ilustrasi sederhana yang menguatkan iman kita.

Rekomendasi dari Mimi Sardjono Kwa:
Buku ini telah memberi kepada saya makanan rohani yang sedap dan bergizi. Makanan yang diramu dari dua bahan dasar penting: pengajaran Alkitab yang bermutu dan petunjuk cara mencernanya agar makanan itu berubah menjadi “darah dan daging.”





Profil Pdt. Yohan Candawasa:
Pdt. Yohan Candawasa, S.Th. dilahirkan pada tanggal 11 Maret 1960. Selulus SMA, beliau melanjutkan studi di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang, sebagai jawaban atas panggilan Tuhan baginya.
Beliau mendalami studi Biblika dan Eklesiologi yang kemudian dituangkan dalam skripsinya.
Kerinduannya untuk membina jemaat Tuhan dinyatakan selama pelayanan di Gereja Kristen Abdiel Elyon, Surabaya (1985-1987) dan juga Gereja Kristen Immanuel Bandung (1988-1996). Selama pelayanan tersebut, beliau berkesempatan mengunjungi RRC dalam rangka perjalanan misi. Dalam kunjungan tersebut, beliau memperoleh beban pelayanan dari Tuhan untuk menggumuli penginjilan di RRC.
Beliau menikah dengan Stephanie, dan telah dikaruniai seorang putra bernama Yeiel Candawasa.
Tahun 1996-1997 beliau melayani sebagai Gembala Sidang di Mimbar Reformed Injili di Taipei. Kemudia tahun 1998-1999 beliau melayani di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII)-Granada Jakarta.
Mulai tahun 2000 beliau melayani di CCM (Care for China Ministry). Selain itu, beliau juga mengajar di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta.

Renungan Natal 2010: NATAL: KELAHIRAN DAN KEDATANGAN SANG RAJA (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Natal 2010


NATAL:
KELAHIRAN DAN KEDATANGAN SANG RAJA


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats:
Mikha 5:1; Zakharia 9:9; Matius 2:2; Yohanes 18:37; Wahyu 17:14; 19:16



Natal merupakan momen khusus orang Kristen untuk memperingati hari kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Namun Natal juga merupakan momen “khusus” bagi orang-orang non-Kristen untuk mendapatkan keuntungan melalui obral besar (big sale) dan bersenang-senang. Apa sebenarnya makna sejati dari Natal? Natal bukan hanya memperingati kelahiran Tuhan Yesus, namun memperingati lahirnya Sang Raja. Di sini, saya memakai “Sang” untuk menunjukkan keunikan sekaligus finalitas Kristus sebagai satu-satunya Raja sejati. Apa yang membedakan lahirnya Kristus sebagai Sang Raja dengan kelahiran raja-raja lain? Apa signifikansinya? Mari kita merenungkannya.


Jika kita mendengar kata “raja”, tentu di benak kita, kita berpikir bahwa raja adalah sosok manusia yang memiliki kuasa, istananya megah, semua orang tunduk menghormatinya, dll. Jika ia berada di dalam suatu negara yang menganut sistem kerajaan, maka dari kecil, si raja (waktu kecil: pangeran) telah menikmati segala kekayaan dan kemewahan hidup. Kelahirannya selalu dinanti-nanti oleh keluarga kerajaan dan tentunya penduduk negara tersebut. Ketika raja melewati jalan-jalan umum, maka semua penduduk di situ menghormatinya. Ya, raja adalah sosok yang berkuasa dan dihormati (ingin dihormati) oleh banyak orang.


Namun, ada sosok raja yang berbeda dan unik dari sosok raja-raja dunia. Dialah Tuhan Yesus Kristus, Raja segala raja. Kelahiran-Nya telah dinubuatkan di dalam Perjanjian Lama, misalnya: Mikha 5:1 dan Zakharia 9:9. Orang-orang majus dari Timur pergi ke Yerusalem untuk melihat Kristus sebagai raja yang dilahirkan sekaligus menyembah-Nya (Mat. 2:2). Namun ketika kita membaca Alkitab tentang kelahiran Kristus sebagai raja, kita akan kaget, karena Alkitab khususnya di dalam keempat Injil menggambarkan Kristus dari lahir sampai wafat, Ia tidak ada tampang seperti raja. Kristus yang adalah Sang Raja yang seharusnya lahir dari keluarga kerajaan, namun Alkitab mencatat bahwa ayahnya Yusuf adalah seorang tukang kayu. Kristus yang seharusnya lahir di istana yang megah, namun Alkitab mencatat bahwa Ia lahir di kandang binatang (Luk. 2:7). Tidak ada satu tempat penginapan yang mau menampung kelahiran-Nya. Setelah Ia lahir, Ia harus dibawa lari oleh orangtuanya pergi ke Mesir, karena Herodes hendak membunuh-Nya (Mat. 2:13-15) dan kemudian Ia kembali dibawa ke Israel (Mat. 2:19-21). Dalam sepanjang hidup-Nya, Ia terus memberitakan Kabar Sukacita dan Ia tidak mempedulikan tempat tinggal (Mat. 8:20). Bahkan setelah Ia disalibkan dan dikuburkan, Ia dikuburkan di kuburan pinjaman (Mat. 27:57-60). Meski tidak kelihatan seperti raja, menjawab pertanyaan Pilatus, Ia menyatakan diri-Nya sendiri sebagai Raja, “Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku.” (Yoh. 18:37)


Dengan kata lain, meski secara kasat mata, Ia tidak seperti raja, namun Ia sendiri mendeklarasikan diri-Nya sebagai Raja. Raja seperti apakah Kristus itu?
Pertama, Raja sejati memiliki kekuatan sejati, tetapi tidak terlalu menonjolkan diri. Raja memang harus berkuasa, namun dari kisah Alkitab, kita mendapatkan bahwa meskipun Kristus adalah Raja, Ia tidak pernah menonjolkan diri-Nya sendiri kepada semua orang. Ia hanya mengatakan diri-Nya adalah Raja dengan jelas hanya kepada para murid-Nya dan kepada Pilatus, meskipun banyak orang di Yerusalem sudah menobatkan-Nya menjadi raja (Luk. 19:36-38). Selebihnya, Ia lebih mengidentifikasikan diri-Nya sebagai Anak Manusia ketimbang Anak Allah atau Raja. Lalu, bagaimana kita mengetahui bahwa Kristus adalah benar-benar Raja sejati? Kita dapat mengetahuinya kelak di kekekalan tatkala Ia menyatakan diri-Nya secara nyata sebagai Raja dan Hakim seluruh dunia yang menghabisi semua musuh yang melawan-Nya (Why. 17:14). Dengan kata lain, Kristus yang adalah Raja sejati yang benar-benar memiliki kuasa mutlak dan penuh atas dunia ini, namun ketika Ia menjelma menjadi manusia, Ia menanggalkan semua kuasa-Nya tersebut dan menjadi manusia yang juga memerlukan makanan dan minuman (tanpa meninggalkan natur Ilahi-Nya). Pada saat yang tepat, setelah Ia mati dan bangkit serta naik ke Sorga, nanti di kekekalan, Ia akan menunjukkan kepada kita tentang kekuasaan dan pemerintahan-Nya sebagai Raja.

Di sini, kita belajar tentang sosok Sang Raja vs raja-raja dunia. Sang Raja sejati benar-benar memiliki kekuasaan sejati, namun tidak suka menonjolkan diri, namun raja-raja dunia sekarang ini yang sebenarnya memiliki kekuasaan turunan/derivatif (dari Allah yang berotoritas) merasa memiliki kekuasaan “penuh”, lalu berani menonjolkan diri sebagai sosok yang harus dihormati. Lihat saja, tingkah raja-raja dunia ketika berada di kota tertentu, semua berita dari televisi, radio, surat kabar, dll menyiarkannya, semua jalan yang dilaluinya disterilisasikan demi keamanan. Di jalan raya, mobil dari si raja dunia selalu diiringi polisi dan mobil-mobil lain disuruh menyingkir untuk memberi jalan lewatnya mobil si raja (atau pejabat lainnya). Ya, itulah raja dunia, namun benarkah raja dunia benar-benar raja sejati? TIDAK! Ia hanyalah seorang raja dunia yang juga merupakan manusia yang lemah, terbatas, dan berdosa, yang suatu saat bisa meninggal.


Kedua, Raja sejati mengontrol waktu-Nya. Karena memiliki kekuatan sejati, maka Raja sejati tentu memiliki kontrol atas diri-Nya termasuk waktu-Nya. Ia yang menciptakan waktu, Ia jugalah yang sanggup mengontrol waktu demi menggenapkan tujuan Bapa. Ia tahu kapan waktu Ia harus menyerahkan diri-Nya untuk disalib. Jika waktunya belum tiba, maka Ia menghindar. Setelah menyembuhkan orang pada hari Sabat di rumah ibadat, orang-orang Farisi bersekongkol untuk membunuh-Nya, maka Alkitab mencatat bahwa Ia mengetahui maksud mereka dan menyingkir dari sana (Mat. 12:15a). Berarti waktu menyerahkan diri-Nya belum tiba, sehingga Ia menyingkir. Namun ketika waktunya telah tiba, maka tanpa disuruh, Ia menyerahkan diri-Nya sendiri. Hal ini nampak ketika Ia pergi ke Yerusalem dan menangisinya (Luk. 19:28, 41-44).

Bagaimana dengan raja-raja dunia? Karena mereka adalah manusia yang terbatas, maka tentu saja mereka TIDAK sanggup menguasai apa pun di dunia termasuk diri dan waktu. Sehingga tidak heran, banyak dari mereka kurang bijak mengatur waktu: di saat genting, mereka justru bersantai, sedangkan di saat santai, mereka justru berpikir keras. Akibatnya, kerajaan yang diperintah mereka menjadi kacau.


Ketiga, Raja sejati TIDAK selalu memikirkan diri sendiri. Karena Raja sejati tidak menonjolkan diri, maka Ia tentu TIDAK selalu memikirkan diri dan kehendak diri-Nya. Ia diutus BUKAN untuk mempermuliakan diri-Nya sendiri, namun mempermuliakan Bapa (Yoh. 17:4). Demi menggenapkan kehendak Bapa, maka Ia terus melayani zaman di mana Ia hidup dengan memberitakan Kabar Sukacita, menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, dll, bahkan Ia rela mencuci kaki para murid-Nya (Yoh. 13:3-5). Di dalam hidup-Nya, Ia selalu memberi diri-Nya untuk melayani manusia. Ia sendiri mengajar para murid-Nya dan kita, “Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mat. 20:25-28) Ia yang mengajar demikian adalah Ia sendiri yang melakukan apa yang telah diajarkan-Nya. Tindakan teragung yang Ia kerjakan adalah dengan menyerahkan diri-Nya untuk disalib demi menebus dosa-dosa manusia yang telah memberontak kepada Allah.

Bandingkan hal ini dengan raja-raja dunia. Kita melihat raja-raja dunia merasa diri harus dihormati dan tidak mau mengurusi urusan lain khususnya kesusahan orang lain. Di jalan raya, mobil dari si raja dunia selalu diiringi polisi dan mobil-mobil lain disuruh menyingkir untuk memberi jalan lewatnya mobil si raja (atau pejabat lainnya), karena ia tidak mau perjalanannya terganggu oleh kemacetan, dll. Jika si raja dunia tidak mau terganggu oleh kemacetan, bagaimana ia bisa bertindak menanggulangi masalah kemacetan yang terjadi? Di sini, kita melihat keagungan Kristus sebagai Sang Raja dibandingkan raja-raja dunia.


Keempat, Raja sejati memiliki Kerajaan yang tidak berasal dari dunia ini. Karena tidak terlalu menonjolkan diri, maka Raja sejati memiliki Kerajaan yang bukan berasal dari dunia ini, tetapi di Sorga. Menjawab Pilatus, Tuhan Yesus sendiri berfirman, “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini.” (Yoh. 18:36) Karena Kerajaan-Nya bukan berasal dari dunia ini, maka Ia TIDAK pernah menggunakan cara-cara duniawi untuk memperluas Kerajaan-Nya. Itu sebabnya, di dalam keempat Injil, kita TIDAK pernah membaca satu ayat pun yang mengatakan bahwa Kristus menyuruh para murid-Nya untuk mengangkat senjata menggulingkan pemerintahan Romawi pada waktu itu! Bahkan ketika Petrus memutuskan telinga kanan dari hamba Imam Besar yang bernama Malkhus, Kristus menyuruh Petrus, “Sarungkan pedangmu itu; bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepada-Ku?” (Yoh. 18:11) Ia tidak ingin dibela oleh siapa pun tatkala Ia mengerti bahwa waktu menyerahkan diri-Nya telah tiba.

Bandingkan dengan raja-raja dunia yang memiliki kerajaan dunia. Mereka tidak segan-segan berperang demi mempertahankan kerajaannya. Bahkan mereka tidak segan-segan berperang menghabisi kerajaan lain demi memperluas kerajaannya sendiri.


Kelima, Raja sejati memiliki Kerajaan yang kekal di Sorga. Karena kerajaan-Nya tidak berasal dari dunia ini, maka tentu saja kerajaan-Nya itu kekal. Artinya, Kerajaan-Nya bersifat selama-lamanya dan tidak akan berubah atau dipindahtangankan kepada/digantikan oleh pribadi lain. Kerajaan-Nya melintasi ruang dan waktu.

Bandingkan dengan raja-raja dunia yang memiliki kerajaan yang suatu saat berakhir dan digantikan oleh anak mereka atau mungkin terjadi penggulingan kekuasaan raja.


Keenam, Raja sejati memberitakan fakta sejati dan memberi jalan keluar dari fakta tersebut. Karena memiliki Kerajaan yang bukan dari dunia ini dan bersifat kekal, maka Raja sejati memberitakan fakta sejati tentang syarat mengikut-Nya. Ia TIDAK pernah memberitakan bahwa mengikut-Nya pasti kaya, sukses, sehat, dan bahkan tidak pernah digigit nyamuk, sebaliknya Ia memberitakan fakta sejati, “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Tetapi waspadalah terhadap semua orang; karena ada yang akan menyerahkan kamu kepada majelis agama dan mereka akan menyesah kamu di rumah ibadatnya. Dan karena Aku, kamu akan digiring ke muka penguasa-penguasa dan raja-raja sebagai suatu kesaksian bagi mereka dan bagi orang-orang yang tidak mengenal Allah.” (Mat. 10:16-18) “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku.” (Mat. 10:38; 16:24) Tetapi selain fakta sejati, Ia juga memberikan solusi dan pengharapan terhadap fakta tersebut, “Apabila mereka menyerahkan kamu, janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan, karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga. Karena bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Bapamu; Dia yang akan berkata-kata di dalam kamu.” (Mat. 10:19-20) Dengan kata lain, ada risiko besar yang harus ditanggung oleh mereka yang akan mengambil keputusan untuk mengikuti Sang Raja sejati, yaitu: dianiaya, difitnah, dll, namun di balik risiko, Sang Raja menjanjikan penghiburan dan kekuatan bagi mereka, sehingga mereka dapat terus menjadi saksi-Nya.

Namun, apa yang dilakukan oleh banyak raja dunia? Banyak raja dunia justru bukan seorang pemberita fakta sejati, namun fakta palsu. Data-data dimanipulasi supaya orang banyak melihat bahwa pemerintahan si raja tersebut seolah-olah aman dan terkendali. Rakyat yang bertindak benar justru disalahkan dan dimasukkan penjara, sebaliknya rakyat yang jelas-jelas salah (misalnya korupsi) justru dibenarkan bahkan diangkat menjadi pejabat tinggi.


Ketujuh, Raja sejati memberikan pengharapan sejati kepada manusia. Selain fakta sejati, Kristus sebagai Raja sejati memberikan pengharapan sejati kepada manusia: kelegaan dan hidup sejati. Kristus berfirman, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Mat. 11:28) dan “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yoh. 10:10b) Pengharapan ini bersifat kekal dan memberikan jaminan kepada manusia, sehingga barangsiapa yang berada di dalam pelukan Sang Raja sejati akan mengalami keamanan, kehidupan, dan keselamatan sejati yang tidak bisa didapat dari orang lain bahkan sosok raja dunia. Bahkan pengharapan itu benar-benar nyata tatkala Ia bangkit dari antara orang mati. Kebangkitan-Nya dari kematian membuktikan adanya pengharapan bagi mereka yang beriman di dalam-Nya.

Sebaliknya banyak raja dunia hanya memberikan pengharapan palsu kepada manusia. Sebelum terpilih, mereka selalu mengobral janji akan memperhatikan kepentingan rakyat, dll, namun setelah mereka menduduki jabatan sebagai raja/pemimpin (baca: penguasa), mereka justru yang paling mengorbankan kepentingan rakyat, misalnya dengan memakan uang hasil kerja keras para rakyatnya (alias korupsi). Makin rakyat berlindung pada penguasa, mereka makin menderita, karena fakta membuktikan bahwa banyak raja dunia semakin berkuasa, semakin tamak!


Setelah mengerti 7 perbedaan Kristus sebagai Raja sejati vs raja-raja dunia, maka bagaimana respons kita terhadap-Nya?
Pertama, berkomitmen ingin mengenal-Nya. Rakyat suatu negara pasti ingin mengenal siapakah raja yang berkuasa atas negaranya. Demikian juga kita yang termasuk anak-anak-Nya pasti berkomitmen ingin mengenal Raja kita, yaitu Tuhan Yesus. Kita dapat mengenal-Nya melalui firman Allah, yaitu Alkitab, doa, dan persekutuan dengan saudara seiman.

Kedua, berkomitmen ingin mengalami dan mengabdi pada-Nya. Setelah mengenal-Nya, kita juga berkomitmen rindu mengalami hadirnya Kristus yang memerintah sebagai Raja dan Tuhan atas hidup kita. Kristus yang memerintah sebagai Raja dan Tuhan atas hidup kita adalah Kristus yang lebih berotoritas dari diri kita, sehingga kita harus mensinkronkan apa pun dalam diri kita dengan apa yang Kristus inginkan. Di saat kita mengalami hadirnya Kristus, di saat yang sama kita juga berkomitmen mengabdi pada-Nya. Artinya, kehendak Kristus yang kita utamakan dan jalankan dalam hidup kita.

Ketiga, berkomitmen ingin menghormati dan menyembah-Nya. Tanda kita berkomitmen untuk mengabdi pada-Nya adalah dengan berkomitmen rindu menghormati dan menyembah-Nya dengan terus-menerus membersihkan hati kita dan berlaku sopan (dan hormat) ketika menghadap takhta-Nya di gereja. Fakta menunjukkan bahwa banyak orang Kristen tidak sopan ketika hendak berbakti di gereja, misalnya: datang terlambat, memakai sandal jepit, menguap (tanda mengantuk) ketika khotbah diberitakan, mengobrol sendiri, dll. Jika mereka harus menghadap takhta raja dunia, beranikah mereka berlaku demikian? TIDAK. Kepada raja dunia, mereka tahu bagaimana bersikap, namun kepada Raja di atas segala raja, mereka seolah-olah cuek dan berlaku tidak sopan. Apakah ini gara-gara pengajaran banyak gereja yang terlalu menekankan aspek Allah yang adalah Kasih lalu tidak mengajarkan bahwa Allah itu Mahakudus dan Mahaadil? Biarlah kita menyadari hal ini.

Keempat, berkomitmen ingin memperluas Kerajaan-Nya. Seorang yang telah mengenal, mengalami, dan menyembah-Nya adalah ia yang berkomitmen rindu memperluas Kerajaan-Nya dengan memberitakan-Nya kepada banyak orang. Ia rindu menjadi saksi Kristus kapan pun dan di mana pun dia berada baik melalui perkataan (verbal) dengan memberitakan Injil maupun melalui perbuatan, supaya makin banyak orang mengenal dan mengalami-Nya seperti yang telah, sedang, dan akan ia lakukan. Pemberitaan Injil mencakup dua hal: pemberitaan tentang Kristus yang mati dan bangkit demi menebus dosa manusia (sehingga ada pengharapan bagi manusia berdosa) dan risiko yang harus dibayar demi mengikut-Nya.


Bagaimana dengan kita? Ketika Kristus yang adalah Raja sejati datang ke dalam dunia, sudahkah kita bersiap-siap menyambut kelahiran-Nya sambil memperluas Kerajaan-Nya dengan memberitakan-Nya sebagai satu-satunya pengharapan bagi manusia di dunia yang berdosa ini? Ada Pengharapan sejati di dalam Sang Raja sejati, itulah yang harus kita beritakan dari zaman ke zaman. Amin. Soli DEO Gloria.

15 December 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (5) (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (5)

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 9:19-23 (5)


Posisi ayat 23 dalam perikop 9:19-23 masih diperdebatkan oleh beberapa para penafsir. Sebagian menganggap ayat ini sebagai penutup yang sesuai, sedangkan yang lain melihat ayat 23 sebagai tambahan yang ‘merusak’ alur pemikiran di 9:19-23. Yang lain lagi bahkan mengusulkan agar ayat 23 dipandang sebagai permulaan dari perikop sesudahnya (9:24-27).

Keberagaman pendapat di atas memang bisa dipahami. Ada dua poin utama yang memicu perdebatan ini. Pertama, faktor sastra. Pembacaan sekilas akan menunjukkan bahwa ayat 19 dan 22b membentuk sebuah inclusio (bagian awal dan akhir sama) yang indah. Inclusio ini menjadi petunjuk bahwa perikop 9:19-23 seharusnya berhenti di ayat 22b. Keberadaan ayat 23 justru berpotensi merusak struktur sastra tersebut. Kedua, faktor konteks. Ayat 23 sekilas menyiratkan bahwa Paulus sedang membicarakan tentang berkat yang akan dia terima dari pemberitaan Injil yang ia lakukan (“supaya aku memperoleh bagian dalamnya”). Ide ini dianggap tidak sesuai dengan 9:19-22 dan lebih cocok jika dikaitkan dengan 9:24-27 (ay. 27 “supaya sesudah aku memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak”).

Sebagaimana akan dijelaskan berikut ini, dua kesan di atas tidak sepenuhnya benar. Walaupun ayat 19 dan 22b memang mengungkapkan ide yang hampir sama, namun ayat 23 tetap memiliki fungsi yang penting dalam pembahasan di 9:19-23. Ayat ini menunjukkan alasan bagi tindakan di ayat 19-22. Kalau sebelumnya Paulus hanya menyatakan tujuan dari tindakan itu, yaitu memenangkan orang lain (ay. 19b, 20, 21, 22a, 22b), sekarang ia menjelaskan alasannya. Seandainya ayat 23 dipisahkan dari ayat 19-22, maka kita akan mengalami kesulitan menemukan fungsi ayat 23 di perikop sesudahnya. Dengan kata lain, ayat 23 lebih pas diletakkan sebagai penutup 9:19-22 daripada pendahuluan 9:24-27.


Gaya Hidup yang Diwarnai Injil (ay. 23a)
Sebagian versi menerjemahkan bagian ini dengan “segala sesuatu ini” (LAI:TB; RSV/NRSV/NIV/NET/ESV), sedangkan yang lain memilih “ini aku lakukan” (KJV/NKJV). Sesuai dengan teks Yunani yang ada, kata “ini” sebenarnya tidak muncul dalam bagian ini. Paulus hanya memakai kata panta (“segala sesuatu”). Ia bisa saja menambahkan kata “ini”, tetapi ia memutuskan untuk tidak melakukan hal tersebut. Hal ini pasti memiliki maksud tertentu. Penambahan kata “ini” akan memberi kesan bahwa Paulus hanya memikirkan tindakannya di ayat 19-22. Ketidakadaan kata “ini” menunjukkan bahwa Paulus sedang memikirkan semua tindakan lain di luar ayat 19-22.

Bagi Paulus, apa saja yang ia lakukan pasti berkaitan dengan Injil, baik pada waktu ia tidak mau menerima tunjangan dari jemaat (9:15-18), ketika ia menghambakan diri kepada semua orang (9:19-23), maupun ketika ia mendisplin diri secara rohani (9:24-27). Tidak ada tindakan apa pun yang terpisah dari Injil. Kita bahkan bisa meyakini bahwa “segala sesuatu” di ayat 23a mencakup hal-hal lain di luar konteks pemberitaan Injil. Apa saja yang kita lakukan, baik makan, minum, atau yang lain, kita harus melakukannya untuk kemuliaan Tuhan (10:31).

Untuk menegaskan poin di atas, Paulus sengaja memakai kata kerja present tense untuk kata “aku lakukan”. Tense ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Paulus sudah menjadi kebiasaan (baca: gaya hidup). Tindakan ini bukan hanya yang berkaitan secara langsung dengan pemberitaan Injil secara verbal. Dalam segala situasi dan segala waktu, Injil selalu menjadi kekuatan yang menggerakkan dan mengarahkan hidup Paulus (driving force). Dalam kehidupan Paulus, Injil bukan hanya menjadi obyek pengetahuan, tetapi perspektif untuk mengetahui segala sesuatu. Injil bukan hanya menjadi salah satu bagian dari hidup Paulus, tetapi seluruh hidupnya adalah Injil.

Di akhir ayat 23a Paulus memberikan tambahan frase “karena Injil” (LAI:TB). Frase ini diterjemahkan sedikit berbeda di berbagai versi. Sebagian memilih “karena Injil” (NET/YLT “because of the gospel/good news”). Sebagian besar menggunakan terjemahan “demi Injil” (KJV/ASV/RSV/NRSV/NIV “for the sake of the gospel/the gospel’s sake”). Alternatif ke-1 menyiratkan alasan dari semua yang dilakukan Paulus (apa yang mendorong Paulus melakukan semua itu?), sedangkan alternatif ke-2 lebih mengarah pada tujuan dari semuanya itu (untuk apa Paulus melakukan itu?). Dari sisi tata bahasa, frase dia to euangelion memang bisa diterjemahkan dengan dua cara di atas. Alternatif mana yang lebih baik? Kita sulit menentukan sekarang, karena jawabannya tergantung pada penafsiran kita terhadap ayat 23b. Berdasarkan kesulitan ini, kita sebaiknya langsung membahas ayat 23b, kemudian kita baru kembali lagi pada pertanyaan ini.


Mengambil Bagian Di Dalam Injil (ay. 23b)
Ayat 23b merupakan bagian yang paling sulit dalam pasal 9. Secara hurufiah bagian ini dapat diterjemahkan “supaya aku menjadi pengambil bagian bersama-sama di dalamnya” (NASB “that I may become a fellow partaker of it”, juga KJV/NKJV). Kata “nya” (autou) jelas merujuk pada Injil. Paulus ingin mengambil bagian di dalam Injil. Bagaimanapun, apa diambil dari Injil tetap tidak terlalu jelas. Apa yang dimaksud dengan “mengambil bagian di dalam Injil”?

Para penafsir mengusulkan 3 alternatif. Pertama, mengambil bagian di dalam berkat-berkat Injil (RSV/NRSV/NIV/ESV/NLT “its blessings”). Pandangan ini merupakan pandangan tradisional dan populer di kalangan para penafsir. Sebagian dari mereka bahkan hanya mengutip pandangan ini tanpa merasa perlu memberikan argumen apa pun, seolah-olah pandangan tradisional ini sudah pasti benar. Beberapa yang memberikan argumen biasanya terbatas pada dua hal: konteks 9:24-27 dan pemunculan kata “mengambil bagian” di Roma 11:17. Mereka yang memegang alternatif ini meyakini bahwa berkat rohani yang dipikirkan Paulus berkaitan dengan kehidupan kekal di sorga kelak (bdk. ay. 27 “supaya jangan aku sendiri ditolak”). Beberapa menduga berkat ini adalah kemuliaan atau upah di sorga (bukan kehidupan kekalnya). Untuk memperkuat dugaan tersebut, mereka mengajukan Roma 11:17 sebagai dukungan. Di teks ini kata “pengambil bagian” diterapkan pada bangsa-bangsa non-Yahudi sebagai cabang zaitun liar yang dicangkokkan ke pokok zaitun dan mengambil bagian dalam akar pohon itu. Pemakaian seperti ini dianggap memberi kesan bahwa cabang itu mengambil keuntungan dari akar pohon. Jika diterapkan pada 1 Korintus 9:23b, mengambil bagian di dalam Injil berarti mengambil keuntungan/berkat dari Injil.

Walaupun pandangan ini banyak dipegang oleh para penafsir, namun argumen yang dipakai tidak terlalu meyakinkan. Seperti sudah disinggung sebelumnya, ayat 23 lebih berkaitan dengan ayat 19-22 daripada ayat 24-27. Ayat 23b tampaknya tidak mengarah pada ayat 27b. Ayat 27b berbicara tentang kehidupan kekal, dan ini tidak mungkin bisa diraih melalui usaha Paulus (bdk. ay. 23 “segala sesuatu aku lakukan...”). Kehidupan kekal adalah anugerah cuma-cuma dari Kristus. Paulus tidak pernah mengajarkan bahwa kehidupan kekal dapat diusahakan oleh manusia melalui cara aapun (Ef 2:8-9).

Seandainya kita menafsirkan “berkat” sebagai kemuliaan/upah di sorga, hal ini tetap tidak menghilangkan sebuah kesulitan yang besar. Inti di pasal 9 adalah kerelaan Paulus untuk tidak menggunakan satu pun hak (9:15-18) dan kebebasannya demi menyelamatkan orang lain (9:19-22). Paulus tidak mengambil keuntungan apa pun dalam pemberitaan Injil. Inti ini akan menjadi mubazir apabila Paulus menutupnya dengan menyatakan keuntungan apa yang menjadi bagiannya sendiri dalam pemberitaan Injil. Penutup seperti ini sangat berkesan egosentris dan bertolak belakang dengan inti di seluruh pasal 9.

Pernyataan ini tidak berarti bahwa pemberita Injil tidak mendapat upah kekal dari Tuhan. Semua pekerja patut mendapatkan upahnya sesuai kadar pekerjaan masing-masing orang (3:9). Bagaimanapun, bukan ini yang sedang dipikirkan Paulus di 9:23.

Kedua, mengambil bagian di dalam pekerjaan atau perkembangan Injil. Pandangan ini secara eksplisit diekspresikan dalam terjemahan NEB “All this I do for the sake of the Gospel, to bear my part in proclaiming it” (juga NLT/NJB). Menurut pandangan ini Paulus di ayat 23b sedang merujuk balik pada tujuan yang dia ulang terus di ayat 19-22, yaitu supaya dia memenangkan/menyelamatkan orang-orang lain. Dengan melakukan segala sesuatu bagi Injil, maka Injil menjadi semakin berkembang.

Konteks pasal 9 secara keseluruhan juga dianggap memberikan dukungan yang meyakinkan. Semua yang dilakukan Paulus di pasal 9 memiliki satu tujuan: supaya Injil jangan terhalang (ay. 12). Jika memang tujuan Paulus adalah “supaya Injil jangan terhalang” (9:12), maka tujuan ini dapat diekspresikan melalui cara lain sebagai “supaya Injil cepat berkembang”. Kesejajaran inilah yang dimaksud Paulus ketika ia mengatakan “mengambil bagian di dalam *perkembangan+ Injil”. Sebagai dukungan tambahan, penganut pandangan ini menyinggung penggunaan kata “pengambil bagian” di Filipi 1:7. Dalam teks ini “mengambil bagian di dalam kasih karunia” dijelaskan dalam berbagai tindakan, yaitu dipenjara karena Injil, membela Injil, dan meneguhkan berita Injil. Walaupun dalam teks ini ungkapan yang dipakai tidak persis sama (“mengambil bagian dalam kasih karunia”, bukan “mengambil bagian dalam Injil”), namun penggunaannya tetap mengarah pada melakukan sesuatu untuk pekerjaan Injil.

Pandangan ini lebih meyakinkan daripada yang pertama. Satu-satunya kelemahan dari pandangan ini adalah kesan pengulangan yang tidak diperlukan. Seandainya Paulus hanya ingin menegaskan bahwa tujuan dari semua yang dilakukan adalah memberikan kontribusi bagi perkembangan/kemajuan Injil, maka hal ini sudah tersampaikan dengan jelas di ayat 19-22. Dalam bagian ini Paulus bahkan berkali-kali mengungkapkan bahwa tujuan dari semua itu adalah pertobatan banyak orang. Dengan kata lain, jika pandangan ke-2 ini diambil, maka ayat 23 menjadi mubazir.

Ketiga, mengambil bagian di dalam hakekat/natur Injil. Inti dari pandangan ini adalah “tindakan Paulus dalam pemberitaan Injil di pasal 9 menyiratkan hakekat dari Injil itu sendiri”. Sama seperti berita Injil tentang Kristus yang rela mengorbankan kemuliaan sorgawi untuk menyelamatkan manusia (Flp 2:5-11), demikian pula Paulus merelakan hak dan kebebasannya demi menyelamatkan orang lain (9:19-22). Sama seperti Paulus telah diselamatkan secara cuma-cuma melalui Injil, demikian pula Paulus sekarang memberitakan Injil secara cuma-cuma (9:15-18). Apa yang dia lakukan dalam pemberitaan Injil sesuai dengan hakekat Injil yang ia beritakan. Pandangan ini sesuai dengan penggunaan kata “mengambil bagian” di Roma 11:17 dan Wahyu 1:7. Inti yang ingin disampaikan Paulus dalam gambaran tentang pohon zaitun di Roma 11:17 bukanlah “cabang mengambil keuntungan dari akar” (kontra pandangan ke-1), melainkan “memiliki persekutuan dengan akar”. Hal ini tampak dari peringatan Paulus bahwa cabang-cabang cangkokan suatau ketika juga bisa dipotong dan dibuang, sehingga yang asli bisa kembali dicangkokkan ke pohon zaitun. Gambaran ini sangat mirip dengan Yesus sebagai pokok anggur yang menuntut murid-murid-Nya tinggal di dalam-Nya (Yoh. 15). Poin penting dalam hal ini adalah “menjadi sama/satu dengan batang/akar pohon”. Dalam Wahyu 1:7 kata “mengambil bagian” juga dipahami dalam arti persekutuan dalam kesusahan. Maksudnya, Yohanes dan penerima Kitab Wahyu berbagi sesuatu yang sama, yaitu kesusahan. Dalam teks ini kata “mengambil bagian” jelas tidak mungkin memiliki arti “mengambil keuntungan dari sesuatu” atau “membuat sesuatu berkembang”. Inti yang ingin disampaikan adalah persekutuan.

Pandangan terakhir ini memang tidak terlalu banyak dipegang oleh para penafsir, tetapi pandangan ini justru yang paling sesuai dengan konteks 1 Korintus 9 secara keseluruhan. Jika ini diterima, maka penekanan Paulus di ayat 23b terletak pada keinginanya untuk menyamakan dirinya dengan hakekat Injil. Paulus tidak hanya mampu memberitakan Injil yang menghidupkan, tetapi juga menghidupi Injil yang ia beritakan. Berdasarkan posisi ini, perbedaan terjemahan di ayat 23a (“karena atau demi Injil”?) dapat dijawab dengan lebih mudah. Paulus lebih memikirkan alternatif yang pertama. Semua yang ia lakukan didorong oleh Injil. Hakekat Injil itulah yang memampukan Paulus melakukan segala sesuatu sesuai dengan Injil yang ia percayai, hidupi, dan beritakan.


Penutup
Salah satu kelemahan terbesar orang Kristen adalah tidak memiliki wawasan dunia Kristen yang terintegrasi. Kita sering kali tidak menyadari bahwa apa pun yang kita lakukan atau pikirkan harus dilihat dari perspektif keberdosaan manusia à penebusan di atas kayu salib à kehidupan yang diarahkan untuk kemuliaan Allah à persekutuan kekal dengan Allah di sorga. Tanpa salib Kristus maka manusia tidak mungkin akan menemukan tujuan hidup yang jelas. Tanpa salib manusia tidak akan memiliki standar kehidupan yang tepat. Tanpa salib manusia tidak akan memiliki nilai hidup yang benar. Biarlah salib Kristus selalu menjadi perspektif kita dalam melihat segala sesuatu. Biarlah kita bukan hanya menjadi pemberita Injil, tetapi sekaligus contoh hidup (living paradigm) dari Injil itu.



Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 8 Agustus 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/SER-1Korintus%2009%20ayat%2019-23%20(5).pdf

12 December 2010

PENDENGAR DAN PELAKU FIRMAN TUHAN (Denny Teguh Sutandio)

PENDENGAR DAN PELAKU FIRMAN TUHAN

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”
(Rm. 10:17)

“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.”
(Yak. 1:22)




Sebagai orang Kristen, kita tentu percaya bahwa Alkitab adalah firman Tuhan yang merupakan satu-satunya standar kebenaran bagi iman dan praktik hidup Kristen. Kepercayaan kita ini tentu disertai dengan kehausan mendengar firman Tuhan yang menimbulkan iman (Rm. 10:17). Apakah cukup haus saja? TIDAK. Yakobus menambahkan, “setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (Yak. 1:19) Kata cepat di ayat ini TIDAK menunjukkan waktu (cepat atau lambat), tetapi menunjukkan suatu kesiapan. Kesiapan ini di sini berbicara mengenai kerelaan hati untuk mendengar firman Tuhan yang mengajar, mengoreksi, dan menghibur kita. Kerelaan hati di sini tentu berkaitan erat dengan kerendahan hati. Seorang yang rendah hati akan “mudah” mendengar firman Tuhan, meskipun firman Tuhan itu menegur dirinya. Contoh, setelah berzinah dengan Batsyeba dan membunuh Uria, suami Batsyeba, raja Daud ditegur nabi Natan (2Sam. 12:1-12), lalu bagaimana reaksi Daud? Marahkah dia? TIDAK. Alkitab mencatat pengakuan yang jujur dari seorang raja yang takut akan Tuhan dan rendah hati, “Aku sudah berdosa kepada TUHAN.” (2Sam. 12:13)

Namun, fakta hari ini adalah banyak orang Kristen TIDAK suka mendengarkan firman Tuhan (khususnya pengajaran dan teguran), lalu menggantikan berita firman Tuhan dengan berita mimbar yang mengajarkan hal-hal yang mengenakkan telinga (2Tim. 4:3-4), seperti: ikut Tuhan pasti kaya, sukses, sehat, bahkan tidak pernah digigit nyamuk, dll. Mengapa? Karena hati mereka telah dikuasai (dan dibutakan) oleh ilah zaman ini (2Kor. 4:4). Lebih tajam lagi, sebenarnya yang mereka sembah selama ini bukan Allah, namun: kelebihan diri (tampan atau cantik), kebaikan diri, uang, jabatan, dll, sehingga tidak heran, ketika firman Tuhan menegur mereka, mereka langsung ngambek. Makin orang itu ngambek, makin terlihat bahwa selama ini yang mereka sembah BUKAN Allah Tritunggal, tetapi ilah-ilah lain.

Pertanyaan selanjutnya, cukupkah kita menjadi pendengar firman Tuhan saja? TIDAK. Karena fakta menunjukkan ada beberapa orang Kristen yang rajin mendengarkan firman Tuhan baik melalui khotbah mimbar di setiap kebaktian gereja maupun melalui seminar, rekaman MP3, DVD, dll, namun mereka makin sombong dan sok tahu. Ketika firman menegur mereka, mereka dengan yakin mengatakan, “Ya, saya tahu” atau “Ya, saya mengerti”, namun di kesempatan berikutnya, mereka mengulangi kesalahan mereka (tanpa merasa bersalah). Mereka lebih mudah percaya dengan teman-teman yang bukan orang percaya, ketimbang mendengarkan firman Tuhan dan teguran dari saudara seiman. Dengan kata lain, makin mendengarkan firman Tuhan, hidup mereka tidak diubah. Mengapa demikian? Karena hati mereka tidak murni. Hati manusia yang sudah tidak murni mengakibatkan sikap mereka juga tidak murni, sehingga tidak heran, makin mereka mengisi rasio mereka dengan pendengaran firman, hati mereka tetap kering dan hidup mereka tetap tidak menunjukkan adanya perubahan signifikan.

Hati yang tidak murni mengakibatkan mereka:
Pertama, meragukan firman Tuhan. Sikap meragukan firman Tuhan bukan hanya sekadar sikap akademis yang meragukan ketidakbersalahan Alkitab, namun juga menyangkut sikap praktis. Beberapa orang Kristen khususnya yang mengamini ketidakbersalahan Alkitab, namun faktanya mereka secara praktik meragukan kebenaran firman Tuhan. Bagi mereka, Alkitab terlalu ideal untuk dijalankan.

Kedua, bersikukuh pada pandangan sendiri. Orang yang di titik pertama secara praktis meragukan firman Tuhan tentu akan mengambil sikap bahwa firman Tuhan tidak bisa diaplikasikan, sehingga ia akan memiliki pandangannya sendiri dan yang lebih fatal, ia bersikukuh (ngotot) dengan pandangannya tersebut. Ia telah, sedang, dan akan menggantikan otoritas firman Tuhan dengan otoritasnya sendiri, meskipun secara perkataan, ia mengamini bahwa Alkitab itu tidak bersalah. Misalnya, Alkitab mengajar kita bahwa Allah itu berdaulat atas segala sesuatu, sehingga kita harus mengaitkan segala sesuatu dengan kehendak Tuhan, orang seperti ini biasanya mengerti firman Tuhan ini, namun secara praktik, ia mengerti kedaulatan dan kehendak-Nya itu sebatas apa yang cocok dengan dirinya. Yang lebih parah lagi, apa pun yang dia lakukan dikaitkan dengan kehendak Tuhan (memakai istilah-istilah “rohani”), padahal mungkin sekali sikapnya itu diizinkan Tuhan agar orang tersebut sadar bahwa sikapnya keliru (refleksi dari khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong pada Natal Akbar Surabaya 2010 pada tanggal 11 Desember). Makin mendengarkan firman, ia makin berdosa, karena ia menafsirkan apa yang tidak diajarkan Alkitab!

Jika demikian, apa yang harus kita lakukan? Sebagai pengikut Kristus, kita harus siap mendengar firman dan siap juga untuk menjalankannya, karena jika tidak demikian, kita menipu diri sendiri seperti seorang yang setelah mengamati mukanya di depan cermin, kemudian lupa bagaimana wajahnya tersebut (Yak. 1:22-24). Namun harus disadari bahwa TIDAK MUDAH untuk menjalankan firman Tuhan, karena saya menyadari bahwa terlalu banyak godaan yang membuat kita tidak menaati firman dan saya juga terus bergumul untuk menjalankan firman Tuhan. TIDAK MUDAH menjalankan firman Tuhan TIDAK berarti TIDAK BISA menjalankannya, karena ketika kita mengatakan TIDAK BISA, itu berarti kita tidak ingin menjalankannya. Namun tatkala kita berkata bahwa kita TIDAK MUDAH menjalankan firman, itu berarti kita bisa menjalankan firman meskipun itu sulit dan hal tersebut dimampukan melalui kuasa Roh Kudus. Dengan kata lain, ada PROSES yang harus kita jalani dan tentunya KOMITMEN dari diri kita untuk menjalankan firman Tuhan. Proses dan komitmen ini memampukan kita untuk mengintegrasikan antara mendengar dan melakukan firman:
Pertama, menyerahkan hati kita secara tulus kepada Tuhan. Kita harus menyadari bahwa problema tidak menaati firman adalah problema hati, sehingga alangkah bijaknya kita pertama kali berkomitmen menyerahkan hati kita secara tulus kepada Tuhan untuk dikoreksi-Nya.

Kedua, setelah mendengar firman, langsung berkomitmen menjalankannya. Orang yang hatinya sudah dimurnikan oleh Allah mengakibatkan ia akan memiliki komitmen yang kudus dan setia menjalankan firman-Nya setelah mendengar firman-Nya. Misalnya, jika firman mengajarnya untuk tidak berzinah, ia akan menyimpan itu di dalam hatinya dan kemudian langsung berkomitmen menjalankannya, bukan malahan mencari-cari alasan untuk tidak taat.

Ketiga, mau ditegur oleh saudara seiman dan berkomitmen untuk berubah. Meskipun kita telah berkomitmen, godaan entah dari dunia atau diri kita membawa kita untuk tidak menaati firman. Oleh karena itu, kita memerlukan saudara-saudara seiman kita yang lebih dewasa untuk menegur dan mengingatkan kita. Orang yang anti teguran membuktikan bahwa orang itu sombong dan sok tahu, lalu menganggap diri sendiri sebagai “Allah” yang tidak mungkin bersalah sedikitpun. Berhati-hatilah terhadap hal ini. Setelah ditegur, apa yang harus kita lakukan? Ada orang yang cepat mengerti dan menerima teguran dari orang lain, namun sayang ia kembali mengulangi kesalahan yang sudah ditegur orang lain tersebut (istilahnya: setelah tobat, kemudian kumat). Di sini, kita perlu belajar untuk BERKOMITMEN untuk mau ditegur jika salah dan setelah itu berubah.

Keempat, berkomitmen untuk hidup berintegritas. Setelah mendengar firman, ditegur oleh saudara seiman, maka kita belajar BERKOMITMEN untuk menjalankan apa yang telah kita percayai dan ketahui dengan sebisa mungkin konsisten, tegas, tidak gila hormat, dan tidak bermuka dua (alias tidak munafik). Itulah tanda hidup berintegritas seperti yang dituturkan oleh Maimunah Natasha, Direktur Eksekutif Nasional dari Haggai Institute di Indonesia, “Pribadi yang berintegritas adalah seorang pribadi yang hidup tanpa menggunakan kedok dalam hidupnya. Ia akan bertindak sesuai dengan ucapan yang dipikirkan, akan sama di depan dan di belakangnya. Ia akan konsisten antara apa yang diimani dan perilakunya, antara sikap dan tindakan, antara nilai hidup yang dianut dengan hidup yang dijalankan. Ia adalah seorang yang matang, tidak kompromi, dan menolak pengakuan untuk dirinya sendiri.”


Bagaimana dengan kita? Maukah kita hari ini berkomitmen menjalankan firman Tuhan, meskipun itu sulit? Maukah kita dipimpin Roh Kudus untuk bisa konsisten menjalankan firman Tuhan? Amin. Soli Deo Gloria.

08 December 2010

Resensi Buku-107: BENARKAH YESUS ITU ALLAH? (Rev. Josh McDowell, LL.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
BENARKAH YESUS ITU ALLAH?

oleh: Rev. Josh McDowell, LL.D. (HC)

Penerbit: BPK Gunung Mulia, 2006

Penerjemah: Stephen Suleeman





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Pada bab 1, Rev. Josh McDowell memaparkan bahwa nama Yesus adalah satu-satunya nama kontroversial di dunia ini. Mengapa demikian? Karena hanya Yesus yang berani mengklaim diri sebagai Anak Allah. Benarkah Dia adalah Allah? Benarkah Alkitab dapat dipercaya? Bagaimana dengan ilmu pengetahuan? Mengapa Dia mati disalib? Benarkah Dia bangkit dari kematian? Semua pertanyaan tersebut dijawab dengan jawaban yang menggunakan logika yang sederhana dari Rev. Josh McDowell, seorang mantan atheis. Kesimpulan yang saya bisa ambil dari buku ini adalah: Yesus adalah Allah adalah dasar iman Kristen yang mengakibatkan firman-Nya tak mungkin bersalah. Kematian dan kebangkitan-Nya mengakibatkan Paulus dan para rasul Kristus rela mati syahid demi iman mereka. Selain menjelaskan bukti-bukti obyektif akan keilahian Kristus dan keterandalan Alkitab, di bab terakhir, Rev. Josh McDowell menceritakan kesaksian hidupnya yang dulu hidupnya sia-sia, kemudian setelah bertemu dengan Kristus secara pribadi, hidupnya benar-benar berubah. Meskipun Rev. Josh McDowell menyajikan bukti-bukti obyektif iman Kristen, bukti-bukti tersebut janganlah menjadi satu-satunya kriteria kita bisa percaya kepada Kristus, karena kita percaya kepada Kristus karena kelahiran baru yang Roh Kudus kerjakan. Buku kecil ini hanya untuk memperkuat iman kita bahwa iman kita bukan iman yang buta, tetapi iman yang didasarkan pada fakta sejarah.





Profil Rev. Dr. Josh McDowell:
Rev. Josh McDowell, B.A., M.Div., LL.D. (HC) yang lahir pada tahun 1939 di Union City (Battle Creek), Michigan adalah seorang apologet, penginjil, dan penulis Kristen. Beliau adalah pendiri dari pelayanan Kristen Josh.org dan Operation Carelift. Sebagai seorang atheis dulunya, beliau menempuh pendidikan politik di Kellogg College, Michigan, U.S.A. Di college ini, beliau dahulu berusaha membuktikan kesalahan Kekristenan, namun puji Tuhan, atas anugerah-Nya, Tuhan membukakan pintu hatinya untuk bertobat dan menerima Kristus. Kemudian, beliau melanjutkan studinya di Wheaton College, Illinois, U.S.A. dan menyelesaikan program gelar Bachelor of Arts (B.A.). Setelah itu, beliau menempuh studi theologi di Talbot Theological Seminary of Biola University, La Mirada, California dan meraih gelar Master of Divinity (M.Div.) dengan predikat magna cum laude. Pada tahun 1992, beliau dianugerahi gelar Doctor of Laws (LL.D.) dari Simon Greenleaf School of Law. Beliau menikah dengan Dorothy Youd dan memiliki beberapa anak (dan anak adopsi). Mereka tinggal di Dallas, Texas, U.S.A. Salah satu bukunya yang terkenal adalah: Evidence That Demands A Verdict.

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (4) (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (4)

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 9:19-23 (4)



Dalam beberapa khotbah yang lalu kita sudah belajar bahwa status Paulus sebagai hamba Allah (9:15-18) membuat ia bebas dari semua orang (seorang budak tidak mungkin memiliki dua tuan). Walaupun ia bebas dari semua orang, namun Paulus rela menghambakan diri pada semua orang (9:19). Sebagai contoh, ia mau menjadi seperti orang Yahudi maupun mereka yang hidup di bawah Hukum Taurat supaya ia bisa memenangkan mereka (9:20). Dalam khotbah kali ini kita akan melihat dua kelompok orang yang lain yang kepada mereka Paulus pun mau menghambakan diri. Mereka adalah orang yang tidak hidup di bawah Hukum Taurat (9:21) dan mereka yang lemah (9:22a).


Bagi Orang yang Tidak Hidup Di Bawah Hukum Taurat (ay. 21)
Di ayat ini Paulus menyinggung tentang orang yang tidak hidup di bawah Hukum Taurat (ay. 21a). Dalam teks Yunani dipakai sebutan anomos (a = tidak; nomos = hukum). Kata ini dalam Alkitab seringkali memiliki arti negatif yang merujuk pada orang/tindakan yang anti atau melanggar hukum (Luk. 22:37; Kis. 2:23; 2Tes. 2:8; 1Tim. 1:9; 2Ptr. 2:8). Apakah arti seperti ini yang dimaksud Paulus di 1 Korintus 9:19-23?

Kita tampaknya harus memikirkan alternatif arti yang lain, karena arti di atas tidak sesuai dengan konteks 1 Korintus 9:19-23. Paulus sedang memikirkan anomos dalam arti status (orang yang tidak memiliki Hukum Taurat = non Yahudi), bukan tindakan (orang durhaka/pelanggar Hukum Taurat). Ada beberapa alasan yang kuat mengapa kita sebaiknya memahami anomos di ayat ini bukan secara negatif. Pertama, walaupun kata sifat anomos sering berarti negatif, tetapi kata keterangan anomōs pernah dipakai Paulus untuk orang-orang non Yahudi secara umum yang berdosa tanpa Hukum Taurat (Rm. 2:12). Dari konteks yang ada anomōs di sini berarti “orang yang tidak memiliki Taurat”, bukan yang melanggar Taurat (bdk. “berdosa tanpa Taurat”, “dihakimi tanpa Taurat”). Kedua, paralelisme dengan kelompok “mereka yang hidup di bawah Hukum Taurat” (hypo nomon, 9:20b) mendorong kita menafsirkan anomos secara sejajar tetapi kebalikan dari hypo nomon. Karena hypo nomon lebih mengarah pada status sosial Yahudi, maka anomos juga kemungkinan besar dipahami dalam konteks status sosial non-Yahudi. Ketiga, jika anomos di 9:21 merujuk pada pelanggar Hukum Taurat, maka Paulus tidak mungkin mengungkapkan “aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah Taurat”. Ia tidak mungkin mengikuti dosa mereka, apalagi di ayat ini ia juga menambahkan “aku tidak hidup di luar hukum Allah tetapi di bawah Hukum Kristus”. Jadi, anomos di sini merupakan ungkapan lain untuk orang-orang non-Yahudi yang tidak hidup di bawah Taurat.

Ketika Paulus mengatakan bahwa ia hidup seperti anomos, ia tidak mungkin memaksudkan ini secara etnis, karena ia secara etnis tidak mungkin berubah dari orang Yahudi menjadi orang non-Yahudi. Ungkapan ini pasti merujuk pada kebiasaan hidup atau budaya non Yahudi. Secara khusus, Paulus sedang membicarakan tentang kebiasaan makan, karena memang isu di pasal 8-10 adalah tentang makanan. Di tengah komunitas non-Yahudi Paulus mengikuti pola makan mereka. Ia tidak keberatan jika harus membeli bahan makanan di pasar yang pasti sudah dipersembahkan sebelumnya kepada para dewa (10:25-26). Ia tidak menghindari ajakan makan orang lain (10:27).

Tindakan ini membutuhkan keberanian yang besar dan pemahaman teologis yang kuat. Bagi orang Yahudi, makan bersama orang non-Yahudi merupakan sesuatu yang sangat sensitif, menimbulkan ketidaknyamanan dan agak mustahil untuk dilakukan (Kis. 10:11-15, 28; Gal. 2:11-14). Cara memasak maupun memakan orang non-Yahudi tidak mungkin memenuhi peraturan kosher (halal) versi Yahudi. Bagaimanapun, Paulus rela membangun relasi dengan orang non-Yahudi dengan resiko bahwa ia harus merasa tidak terbiasa dan berpotensi untuk disalahpahami orang Yahudi yang lain. Ia bisa saja dianggap sebagai pelanggar Taurat atau orang yang gaya hidupnya plin-plan sesuai pergaulan yang ada.

Paulus selanjutnya memberi tambahan bahwa ia tidak hidup di luar hukum Allah (ay. 21b). Dalam teks Yunani kita dengan mudah menemukan permainan kata di sini: Paulus menjadi seperti anomos, tetapi ia sendiri bukanlah anomos Allah. Ia memang mengadopsi kebiasaan orang non-Yahudi yang tidak memiliki Taurat, tetapi bukan berarti bahwa ia sendiri hidup tanpa aturan. Ia mau menjadi “without law” (tanpa hukum), tetapi ia bukan“lawless” (“pelanggar hukum”). Hal ini mengajarkan sesuatu yang sangat penting bahwa kebebasan Kristiani di dalam Kristus bukan berarti “antinomianisme” (sebuah paham yang menekankan kebebasan mutlak tanpa aturan sama sekali). Kita memang tidak hidup di bawah Taurat lagi, namun itu bukanlah izin untuk hidup secara sembarangan (Rm. 6:14-15).

Bagi Paulus orang percaya tidak mungkin hidup tanpa hukum. Kita berada di bawah hukum Allah (7:19). Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa selalu ada batasan dalam kebebasan Kristiani. Dalam kaitan dengan isu seputar makanan, Paulus pun memiliki batasan yang jelas. Ia tidak mau makan bersama orang non-Yahudi di dalam kuil mereka, karena itu tergolong penyembahan berhala (10:6-22). Ketika ia menerima undangan makan orang lain dan tindakan itu menjadi batu sandungan, Paulus memilih untuk tidak meneruskan makan (10:28).

Penegasan Paulus bahwa ia tidak hidup di luar hukum Allah merupakan sesuatu yang perlu dilakukan. Paulus memikirkan dua tujuan di sini. Ia ingin menghindari kesalahpahaman atau fitnahan orang lain yang sering menuduh dia meniadakan tuntutan hukum (Kis. 21:21; Rom 3:8) untuk menyenangkan hati banyak orang (Gal. 1:10). Ia juga ingin menegur sebagian jemaat Korintus yang menganggap keselamatan di dalam Kristus sebagai alasan untuk hidup sembarangan (5:1-3; 6:13). Mereka secara sembarangan menggunakan kebebasan Kristiani sampai menjadi batu sandungan bagi orang lain (8:9).

“Hukum Allah” yang dimaksud Paulus sangat berkaitan dengan Kristus (ay. 21c). Hukum ini adalah hukum Kristus. Paulus jelas tidak sedang mengatakan bahwa Hukum Taurat bukanlah hukum dari Allah. Apa yang ingin disampaikan Paulus di sini adalah perspektif yang baru tentang Taurat. Orang Kristen tetap memiliki “Taurat”, yaitu Taurat yang dituliskan Allah dalam hati kita sebagai tanda perjanjian yang baru, seperti yang dinubuatkan oleh para nabi (Yer 31:31-33). Hukum ini diletakkan di dalam diri kita melalui karya Roh Kudus (36:26-27). Dalam Roma 8:2 Paulus secara jelas mengajarkan (NASB “For the law of the Spirit of life in Christ Jesus has set you free from the law of sin and of death”).

Semua tuntutan Taurat sudah digenapi di dalam Kristus melalui ketaatan-Nya yang sempurna (Rm. 8:3-4). Ia memang datang untuk menggenapi Taurat, bukan meniadakannya (Mat. 5:17-19). Di dalam Kristus Taurat telah diberi makna baru. Bagi orang Kristen Taurat bukanlah sebuah legalisme ataupun kumpulan persyaratan untuk keselamatan. Keagamaan legalistik seperti ini (terutama versi Farisi) pasti akan menimbulkan rasa letih lesu dan menjadi beban yang sangat berat bagi mereka yang hidup di bawahnya (Mat. 11:28), karena itu Yesus menawarkan sesuatu yang lain. Kekristenan tetap memiliki beban dan kuk tersendiri, namun kuk ini enak dan bebannya pun ringan, karena kekristenan merupakan proses belajar dari Tuhan Yesus (Mat. 11:29-30). Hidup Kristus merupakan “Taurat” bagi kita. Inilah yang dimaksud dengan hukum Kristus. Sama seperti Kristus telah menunjukkan kasih kepada orang lain, demikian pula ketika kita melakukan hal yang sama kita telah memenuhi hukum Kristus (Gal. 6:2). Sama seperti Kristus telah rela menghambakan diri bagi orang lain (Mrk. 10:43-45), demikian pula Paulus mau mengikuti hukum Kristus ini dengan jalan menjadi hamba bagi semua orang (1Kor. 9:19, 22b). Pendeknya, apa yang dinasehatkan Paulus di 1 Korintus 8-10 dapat dirangkum dalam satu kalimat “jadilah pengikutku sama seperti aku telah menjadi pengikut Kristus” (11:1). Inilah hukum Kristus, Taurat yang sejati.


Bagi Orang yang Lemah (ay. 22a)
Kelompok terakhir yang disinggung Paulus adalah orang yang lemah (asthenēs, ayat 22a). Sekilas kita mungkin berpikir bahwa Paulus sedang membicarakan tentang orang yang lemah secara hati nurani di 8:7-13. Dalam Roma 14:1-15:3 Paulus juga membahas tentang perdebatan seputar makanan dan ia menyinggung tentang orang yang lemah secara hati nurani. Kesan tersebut akan memudar apabila kita memperhatikan konteks yang lebih sempit di 9:19-23. Dalam konteks ini Paulus sedang membicarakan tentang orang-orang yang belum diselamatkan, sebagaimana tersirat dari frase “supaya aku memenangkan mereka…” yang muncul berkali-kali. Dari petunjuk ini kita dapat menyimpulkan bahwa orang yang lemah di 9:22a bukanlah orang Kristen, sedangkan orang yang lemah hati nuraninya di 8:11 adalah orang yang sudah percaya.

Alasan lain mengapa orang yang lemah di 9:22a tidak boleh dipahami sebagai lemah secara hati nurani adalah ketidakadaan kata “seperti” di ayat 22a yang sebelumnya kita dipakai sejak ayat 20. Dalam hal ini terjemahan LAI:TB “aku menjadi seperti orang yang lemah” tidak terlalu tepat (terjemahan ini mungkin dipengaruhi oleh KJV/NKJV “I became as weak”). Semua versi lain memilih “I became weak” (ASV/NASB/RSV/NRSV/NIV/ESV/NET). Jika terjemahan hurufiah ini diikuti maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa Paulus benar-benar lemah. Ia tidak menambahkan “walaupun aku…*tidak lemah+” seperti yang ia pakai di dua ayat sebelumnya (9:20-21), karena ia memang benar-benar lemah. Seandainya lemah di 9:22a dipahami dalam hal hati nurani, maka Paulus pun memiliki kelemahan itu, padahal bukan itu yang terjadi. Jadi, lemah di sini pasti bukan secara hati nurani. Kelemahan di sini adalah kelemahan yang memang dimiliki oleh Paulus juga.

“Orang yang lemah” di 9:22a sebaiknya dilihat dari sisi sosial. Kita sudah membahas berkali-kali bahwa di mata jemaat Korintus Paulus tampak sangat lemah (4:10; 2Kor. 10:10; 11:21; 13:4, 9). Gaya berkhotbah Paulus terlihat lemah jika dibandingkan dengan para orator ulung waktu itu, baik dari sisi isi, penampilan pembicara, maupun cara penyampaian (2:1-5). Pekerjaan Paulus yang kasar sebagai pembuat tenda ikut menegaskan kelemahan Paulus (4:10-13). Semua ini dilakukan Paulus karena ia ingin memenangkan orang lain yang lemah.

Jemaat Korintus sendiri dahulu adalah orang-orang yang lemah menurut ukuran dunia (1:26-28). Setelah bersentuhan dengan hikmat duniawi mereka malah merasa diri kuat dan hebat (1:18, 22-23). Kesombongan inilah yang menjadi salah satu masalah utama dalam jemaat, sehingga Paulus berkali-kali perlu mengajarkan kepada mereka bahwa kekuatan sejati adalah kelemahan di dalam Kristus (2Kor. 11:30; 12:5, 9-10; 13:9). Jika kita lemah, maka kita kuat (2Kor. 12:10a). Sebaliknya, orang yang merasa teguh berdiri maka ia akan jatuh (1Kor. 10:13). Sebuah paradoks yang indah!

Apa yang diajarkan dan dilakukan Paulus di sini bersumber dari ajaran Tuhan Yesus (1Kor. 11:1). Kristus mau mengasihi orang yang lemah (Rm. 5:6). Ia mau menjadi miskin untuk memperkaya orang lain (2Kor. 8:9). Ia disalibkan dalam kelemahan, tetapi dihidupkan dalam kuasa Allah (2Kor. 13:4). Begitu pula dengan Paulus. Ia belajar menjadi lemah menurut ukuran dunia demi injil yang ia beritakan (2Kor. 6:8-10). Sukacita Paulus adalah ketika kelemahannya justru dipakai Tuhan untuk menguatkan orang lain (2Kor. 13:9 “sebab kami bersukacita apabila kami lemah dan kamu kuat).


Aplikasi
Memahami orang lain demi kepentingan Kristus tidaklah mudah. Mengutamakan kepentingan orang merupakan tugas yang rumit. Menjadi seperti orang lain adalah pergumulan yang paling sulit. Bagaimanapun, Allah telah memberikan teladan bagi kita sebagai dorongan bahwa hal itu bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Sama seperti Kristus telah rela meninggalkan kemuliaan sorga dan menjadi sama seperti manusia – bahkan lebih hina daripada semua orang ketika ia menanggung kutuk Allah di kayu salib – demikian pula kita harus mau menjadi lemah demi keselamatan orang lain. Sama seperti Paulus telah mengikuti teladan Yesus yang mau berkorban, demikian pula kita harus mau kehilangan hak dan kebebasan demi Injil. Soli Deo Gloria. #



Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 25 Juli 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/SER-1Korintus%2009%20ayat%2019-23%20(4).pdf

06 December 2010

ANUGERAH ALLAH VS KESOMBONGAN: Sebuah Introspeksi Diri Bagi Orang Kristen (Denny Teguh Sutandio)

ANUGERAH ALLAH VS KESOMBONGAN:
Sebuah Introspeksi Diri Bagi Orang Kristen


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.”
(Ef. 2:8-9)




Salah satu slogan reformasi Protestan yang dinyatakan oleh Dr. Martin Luther adalah Sola Gratia yang berarti hanya oleh anugerah. Slogan ini bertujuan untuk menyadarkan orang Kristen waktu itu bahwa orang Kristen diselamatkan HANYA melalui anugerah Allah di dalam iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Ajaran ini sebenarnya bukan buatan Dr. Luther, tetapi bersumber dari ajaran Alkitab sendiri, salah satunya di Efesus 2:8-9 yang saya kutip di atas. Karena keselamatan adalah melalui anugerah Allah SAJA, maka sudah sepatutnya orang Kristen TIDAK membanggakan dirinya sendiri apalagi ketika berbuat baik.

Anugerah Allah TIDAK hanya berbicara tentang masuk Sorga atau tidak, tetapi berbicara tentang keseluruhan aspek hidup kita. Artinya, anugerah Allah menguasai baik aspek keselamatan, perbuatan baik, dll. Anugerah Allah mengarahkan kita untuk melihat tiga sisi yang saling berkaitan:
Pertama, keutamaan Allah. Orang Kristen yang hidup di dalam anugerah Allah selalu melihat bahwa Allah itu segala-galanya. Ketika ia bisa berbuat baik, ia selalu mengatakan seperti yang Rasul Paulus katakan, “Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Flp. 2:13) Berarti, ia sadar bahwa perbuatan baiknya dilakukan bukan karena ia sendiri baik, tetapi karena Allah yang memampukannya. Makin ia sadar tentang hal ini, ia makin memuliakan Allah. Dengan kata lain, Sola Gratia berkaitan erat dengan Soli Deo Gloria (kemuliaan HANYA bagi Allah Trinitas).

Kedua, tanggung jawab manusia. Anugerah Allah yang mengarahkan kita untuk melihat keutamaan Allah juga mengarahkan dan memimpin kita untuk bertanggung jawab. Tanggung jawab manusia ini HANYA respons terhadap anugerah Allah yang telah kita terima sebelumnya, yang meliputi: berapi-api melayani Tuhan dalam segala aspek.

Ketiga, ketidaklayakan manusia. Allah yang telah memberi anugerah kepada kita dan juga memimpin kita untuk bertanggung jawab, Ia juga yang terus menyadarkan kita akan ketidaklayakan kita. Baik melalui Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, Allah berulang kali mengingatkan kita bahwa kita ini hanya debu yang tidak ada apa-apanya tanpa Allah. Beberapa ayat di PB yang jelas mendeskripsikannya: Roma 3:10-18 dan Efesus 2:9.

Namun, bagaimana dengan realitas banyak orang Kristen hari-hari ini? Fakta menyedihkan sekaligus introspeksi diri bagi saya pribadi adalah banyak orang Kristen hari-hari ini sangat menguasai ajaran/doktrin anugerah Allah, namun TIDAK pernah mengaplikasikannya! Tidak heran, makin belajar doktrin anugerah Allah, ia menjadi makin sombong dan merasa diri berjasa serta menghina orang lain. Kesombongan itu termasuk dosa dan dimulai tatkala sebagai manusia, kita sudah merasa diri hebat, lalu menggeser otoritas Allah dan menggantikannya dengan otoritas kita sendiri. Dengan kata lain, kesombongan dimulai dari sikap hati yang ingin melawan Allah dan firman-Nya. Mereka berpikir bahwa dengan melawan Allah dan firman-Nya, mereka merasa hidup mereka akan damai. Namun faktanya adalah justru makin melawan Allah, hidup mereka makin kacau. Perhatikanlah dunia kita sekarang ini: perang, pemerkosaan, dan kejahatan lain yang makin merajalela akibat manusia yang hidup melawan Allah.

Saya membagi dua macam kesombongan: kesombongan aktif dan pasif. Kesombongan aktif adalah suatu kesombongan yang aktif dilakukan seseorang yang bisa dilihat oleh orang banyak, entah itu berupa perkataan maupun tindakan. Misalnya: suka memakai banyak perhiasan dan baju yang bermerk, supaya orang banyak melihat bahwa dirinya itu kaya. Contoh lain, ada orang yang suka membanggakan diri melalui perkataannya kepada orang lain bahwa dia itu orang yang baik, pengertian, suka mengalah, dll.

Sedangkan kesombongan pasif adalah jenis kesombongan yang terselubung yang sering orang tidak sadari. Jenis kesombongan ini hanya bisa dideteksi oleh orang yang cukup dewasa secara rohani yang terus-menerus minta dikoreksi oleh Tuhan sendiri (lebih menyangkut hati). Kesombongan ini mencakup:
1. Kesombongan Rohani
Orang Kristen yang semakin rohani seharusnya makin rendah hati di hadapan Allah, namun faktanya ada juga orang Kristen yang semakin rohani semakin sombong, yang lebih parah lagi jika pendeta yang melakukannya. Kesombongan rohani ditandai dengan:
Pertama, merasa mengetahui segala sesuatu dan tidak membutuhkan bantuan dari orang lain. Misalnya ada beberapa hamba Tuhan yang tanpa benar-benar studi theologi lalu berani naik mimbar dan berkhotbah. Tentu saja khotbahnya banyak yang ngawur, tetapi jika hamba Tuhan ini ditegur kesalahannya, ada yang beralasan bahwa khotbahnya itu dari “Roh Kudus”. Dengan mengatakan hal tersebut, ia menganggap bahwa apa yang diketahuinya itu sudah benar dan tidak mau menerima teguran/kritikan dari orang lain yang lebih mendalami theologi.
Kedua, merasa mengetahui segala sesuatu dan mengkritik yang lain. Kelemahan banyak orang yang belajar theologi adalah makin belajar, makin gemar menuding kesalahan pihak lain. Saya tidak mengatakan bahwa menegur ajaran lain itu salah, tetapi yang saya soroti adalah sampai batas mana kita menegur ajaran lain itu salah. Apakah gara-gara gereja tertentu tidak menjalankan baptisan anak, lalu kita mencap gereja tersebut sebagai sesat? Semakin kita mengurusi hal-hal sekunder dan menganggapnya primer, lalu gemar mengkritik sini-sana, jiwa kritik kita itu membuktikan kita sedang sombong rohani.
Ketiga, merasa mengetahui segala sesuatu dan menunjukkannya kepada orang lain. Ini juga menjadi teguran pribadi buat saya. Orang yang sudah membaca banyak buku biasanya (tidak semua) ingin menunjukkannya kepada orang lain dengan cara mengutip tulisan dari penulis buku, dll. Saya tidak mengatakan bahwa orang yang suka mengutip tulisan itu sebagai orang yang sombong, namun seperti yang Pdt. Billy Kristanto, Ph.D. soroti adalah tatkala kita mengutip tulisan orang lain, apa motivasi kita? Benarkah kutipan itu kita kutip dengan tujuan pembelajaran buat kita dan sharing kepada rekan seiman lain ataukah kita ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa kita sudah membaca banyak buku?

2. Kesombongan Dalam Berbuat Baik
Saya tidak menyalahkan perbuatan baik, namun yang saya soroti adalah motivasi di balik kita berbuat baik. Ketika kita hendak menolong orang lain, apa motivasi kita? Benar-benar tulus membantu orang lain ataukah kita ingin orang lain menganggap kita hebat?

3. Kesombongan Dalam Menegur Orang Lain
Ketika kita menegur orang lain, apa motivasi kita? Benarkah kita menegur orang lain sebagai wujud cinta kasih ataukah kita menegur orang lain agar orang lain memandang kita hebat seolah-olah tanpa kita menegurnya, dia akan tersesat, rugi, dll? Sombong atau tidaknya sikap kita dalam menegur orang lain dilihat dari tanggapan kita terhadap reaksi orang yang kita tegur. Jika orang yang kita tegur itu menolak dan marah dengan kita, apa reaksi kita?

4. Kesombongan Karena Usia
Jenis kesombongan ini terjadi HANYA pada orang-orang yang berusia lanjut. Kesombongan ini muncul karena orang-orang ini merasa diri sudah berusia lanjut yang mengaku sudah banyak mengalami banyak hal. Memang harus diakui, dibandingkan generasi muda, orang-orang yang berusia lanjut jauh lebih berpengalaman. Namun pertanyaan saya adalah apakah motivasi mereka terus berkata bahwa mereka lebih berpengalaman daripada generasi muda? Kebanyakan mereka berkata demikian kadang bertujuan baik, yaitu agar para generasi muda memperhatikan nasihat para generasi tua, sehingga tidak salah jalan, namun di sisi lain, mereka sebenarnya hendak mengatakan bahwa perkataan generasi tua harus didengarkan dan ditaati 100%, lalu mereka menganggap orang muda tidak bisa apa-apa (di satu sisi, ada benarnya, namun di sisi lain, tidak selalu benar). Kecenderungan ini dapat dilihat tatkala ada seorang muda yang menegur orang yang berusia lanjut ini. Fakta membuktikan, semakin tua seseorang, ia akan semakin susah ditegur oleh orang lain, bahkan oleh Tuhan sendiri, karena mereka selalu menganggap diri paling hebat, bahkan karena pengaruh beberapa kepercayaan Timur, mereka berani mengidentikkan diri sebagai “Tuhan” yang harus disembah.

5. Kesombongan Karena Pujian Orang Lain
Orang sering kali sombong juga bisa karena terlalu sering dipuji orang lain. Mengapa? Karena orang ini merasa bahwa apa pun yang dia lakukan selalu baik bagi orang lain. Namun pertanyaan lebih tajam, benarkah orang yang memuji orang lain itu selalu tulus? Meskipun saya tidak berani menghakimi motivasi tulus atau tidaknya orang memuji orang lain, namun saya mendapati fakta bahwa ada orang yang suka menyanjung orang lain tidak dengan tulus (tentu tidak semua orang seperti ini). Artinya, di depan orang lain, orang ini bermulut manis menyanjung kehebatan orang lain, namun ketika orang lain tersebut menyingkir, maka orang bermulut manis ini berkata bahwa dia hanya pura-pura memuji dia (bahasa Jawa: mbasahi lambe). Nah, kita yang suka bermulut manis menyanjung orang lain, berhati-hatilah terhadap perkataan kita, karena jika kita terus menyanjung orang lain, kita berpotensi untuk membuat orang lain tersebut itu sombong dan secara tidak langsung, kita juga ikut berdosa, karena mendorong orang lain berdosa.


Namun, patut diperhatikan bahwa kesombongan berbeda dengan mengatakan kebenaran/kejujuran. Perbedaannya terletak pada motivasi hati. Kesombongan dimotivasi ingin membanggakan diri, sedangkan mengatakan kebenaran/kejujuran dimotivasi oleh kasih (ingin berbagi berkat). Misalnya, ada seorang yang menceritakan pengalamannya, entah itu pengalaman pelayanan, dll, motivasi dan tujuan orang itu bercerita itu ada dua: sekadar sharing untuk menjadi berkat bagi orang lain ataukah ingin menyombongkan diri. Kalau benar-benar ingin sharing, maka cerita pengalaman tersebut tidak diucapkannya berulang kali atau mendominasi hampir seluruh pembicaraannya. Sedangkan kalau untuk membanggakan diri, biasanya orang tersebut terus-menerus mengulang cerita pengalaman tersebut atau menceritakan pengalaman tersebut selama mungkin (hampir mendominasi seluruh pembicaraannya) karena orang ini menginginkan pengalamannya itu didengar oleh orang lain dan orang lain akhirnya memuji orang ini yang memiliki banyak pengalaman.


Lalu, bagaimana mengobati penyakit kesombongan kita? Tidak ada jalan lain, kecuali Roh Kudus memampukan kita untuk berfokus pada anugerah Allah. Tatkala kita memfokuskan hidup kita pada anugerah-Nya, kita dimampukan-Nya untuk menyadari bahwa Allah itu segala-galanya, kita harus bertanggung jawab, dan apa pun yang kita lakukan itu tidak berarti tanpa Allah. Sambil menyadari keutamaan Allah dan ketidaklayakan manusia, di saat itulah, kita menyadari bahwa TIDAK ada sesuatu yang patut kita sombongkan, karena kita ini debu adanya. Belajarlah mulai sekarang untuk mengaitkan segala sesuatu yang kita kerjakan yang berkenan di hadapan-Nya sebagai anugerah Allah. Ketika kita belajar dan mendapatkan nilai baik, belajarlah mengakui bahwa itu adalah anugerah Allah dan bersyukurlah serta belajarlah lebih giat lagi untuk memuliakan-Nya. Ketika kita bekerja dan pekerjaan kita diberkati Tuhan, belajarlah melihat bahwa itu adalah anugerah Allah, lalu bersyukurlah dengan bekerja lebih baik demi kemuliaan-Nya. Meskipun kita gagal entah itu di dalam belajar dan bekerja, lihatlah itu sebagai kehendak Allah yang menyadarkan kita agar kita berusaha lebih giat lagi bagi kemuliaan-Nya. Mengaitkan segala sesuatu dengan anugerah dan kehendak Allah membuat kita tidak sombong, selalu bersyukur, dan terus bekerja lebih giat lagi bagi kemuliaan-Nya.


Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menyadari betapa besar anugerah-Nya sambil menyadari bahwa kita tidak layak untuk menyombongkan diri? Biarlah melalui renungan singkat ini bukan hanya kita mengerti secara teori di kepala kita saja, tetapi menyadarkan kita untuk terus-menerus hidup di dalam anugerah Allah. Amin. Soli Deo Gloria.