11 March 2008

Matius 9:14-17: ESENSI ATAU FENOMENA

Ringkasan Khotbah : 5 Juni 2005
Esensi atau Fenomena
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 9:14-17


Sebagai warga Kerajaan Sorga sejati maka kita harus taat – hidup seturut dengan hukum Kerajaan Sorga yang disusun oleh Kristus Yesus, Sang Raja, hukum itu dikenal dengan “Khotbah di atas Bukit“ (Mat. 5-7). Jadi, seorang Kristen bukanlah orang yang sekedar mempunyai atribusi Kristen tetapi harus berpaut dan terkait dengan status dan naturnya sebagai warga Kerajaan Sorga. Hukum Kerajaan Sorga itu haruslah terimplikasi dalam hidupnya sehingga orang dapat melihat bahwa hukum yang Kristus tegakkan tersebut bukanlah sekedar teori belaka. Implikasi hukum Kerajaan Sorga oleh Matius dibagi dalam empat sub tema dan setiap sub tema terdiri dari 17 ayat (Mat. 8:1-17; 18-34; 9:1-17; 18-34) dan setiap sub tema memuat tiga cerita. Adapun dari keempat sub tema kita telah sampai pada sub tema ketiga dan cerita ketiga maka ada baiknya kita mengingat kembali sub tema yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu:

Pertama, the Lordship of Christ, Kristus bukan sekedar Juruselamat tetapi Dia adalah Tuhan (baca: Tuan) berarti kita adalah budak-Nya. Seorang Kristen sejati seharusnya berorientasi pada Kristus yang adalah Tuan atas hidupnya. Orang yang mengaku warga Kerajaan Sorga tetapi hidupnya tidak mencerminkan hidup seorang Kristen sejati, tidak mengakui Kristus sebagai Tuannya maka ia bukan warga Kerajaan Sorga tetapi ia lebih cocok disebut sebagai seorang pengkhianat Kerajaan Sorga.

Kedua, the discipleship, pemuridan; kata "murid" berkait dengan mengikut Kristus dan mengikut disini bukan bersifat sementara tetapi mengikut Tuhan Yesus harus totalitas tanpa syarat apapun. Menjadi murid Kristus berati kita belajar dari Kristus, dibentuk oleh Dia sehingga hidup kita menjadi hidup yang dikenan oleh-Nya.
Ketiga, separated, pemisahan; pengikut Kristus harus hidup kudus. Kudus berasal dari kata kadosh (bahasa Ibrani) artinya dipisahkan dari dunia karena kita sedang mewakili atau memancarkan sifat khusus yang berbeda dengan dunia dan salah satunya adalah kesucian dimana sifat suci hanya ada dalam diri seorang anak Tuhan yang sejati. Jadi, kudus berbeda artinya dengan suci. Dan dalam sub tema ini, Matius memberikan tiga peristiwa dan orang seringkali terkecoh dengan ceritanya sehingga gagal menangkap esensi yang sesungguhnya.
Pada kisah yang ketiga, seperti kejadian sebelumnya, kali inipun orang Yahudi tidak puas dengan “kelakuan“ murid-murid Tuhan Yesus karena hari itu mereka puasa sedang murid-murid Tuhan Yesus tidak. Perlu diketahui, pengikut Yohanes Pembaptis bukan pengikut Tuhan Yesus. Para pengikut Yohanes Pembaptis masih menggunakan konsep Yudaime begitu juga dengan orang Farisi bahkan mereka termasuk dalam golongan orang yang paling keras dan fanatik dalam menjalankan ritual agama, salah satunya ritual puasa. Konsep puasa ini sudah muncul sejak perjanjian lama dimana puasa dimulai dari pagi hingga matahari terbenam sebagai tanda berakhirnya hari dalam satu hari. orang Yahudi berpuasa selama sehari penuh dan keesokan harinya barulah mereka makan. Perhitungan hari orang Yahudi dimulai dari jam 6 petang hingga jam 6 petang. Puasa dilakukan pada setiap hari pendamaian, the day of atonnement, yaitu tanggal 7 bulan 10 namuan dalam perkembangannya puasa berubah menjadi ritual agama. Orang Yahudi beranggapan bahwa Allah berkenan pada orang yang puasa Senin – Kamis. Dan hukum puasa ini mulai dibakukan. Berarti orang Yahudi minimum berpuasa selama dua kali seminggu atau 104 hari dalam setahun.

Hal puasa inilah yang diributkan oleh pengikut Yohanes Pembaptis. Dan jawaban yang Tuhan Yesus berikan sepertinya tidak menjawab apa yang menjadi pertanyaan mereka (Mat. 9:15) namun jawaban itu sangatlah kita mengerti sebaliknya ilustrasi yang diceritakan Tuhan Yesus (Mat. 9:16-17) ini sangat dimengerti oleh orang Yahudi tapi tidak dimengerti oleh kita sekarang. Jawaban Tuhan Yesus ini menjadi tanda sekaligus memposisikan diri dan membedakan diri-Nya dengan orang lain. Dengan puasa itu, orang Yahudi merasa dirinya “beragama“ dan “saleh.“ Tidak hanya puasa, orang Yahudi juga menjalankan aturan lain seperti disunat pada hari ke delapan, menjadi anak Taurat pada usia 12 tahun, mereka juga harus menjalankan aturan-aturan Sabat dan masih banyak aturan lain demi untuk mendapatkan pengakuan bahwa ia adalah seorang Yahudi tulen.
Aturan puasa pertama kali dibakukan dalam kitab Imamat dan mempunyai konsep:
Pertama, kerendahan hati, orang merasa kalau dirinya adalah orang yang papah, yakni miskin secara keberadaan menggambarkan dirinya tidak mempunyai nilai apapun, Kedua, orang yang membutuhkan belas pengasihan dan rahmat dari Allah atas dosa-dosa mereka maka hidup itu mutlak karena anugerah Tuhan. Daud menyadari akan konsep ini, dia berpuasa ketika ia menyadari kalau anak hasil perbuatan dosanya harus mati namun reaksi yang ditunjukkan Daud berbeda ketika anaknya sudah mati, yaitu ia mengakhiri puasanya. Reaksi Daud ini berada di luar dugaan orang-orang terdekat Daud sebab disangkanya Daud akan marah pada Tuhan karena doanya tidak dijawab. Daud berpuasa bukan untuk memaksa supaya anaknya tidak mati. Konsep mereka tentang puasa ternyata tidak beda dengan kita pada hari ini, yaitu dengan puasa maka Tuhan harus menuruti apa yang menjadi kehendak kita. Puasa bukanlah mogok makan supaya keinginan kita dituruti. Tidak! Daud puasa karena ia tahu bahwa ia adalah orang berdosa yang membutuhkan belas pengasihan Tuhan, Ketiga, sesudah pembuangan, puasa mempunyai tambahan makna, yaitu menyadari bahwa diri adalah orang yang rapuh yang mudah terterpa oleh godaan dosa. Maka puasa adalah usaha manusia untuk berperang melawan godaan-godaan iblis yang membelenggu hidup manusia.

Sayangnya, konsep puasa tersebut telah mengalami penggeseran. Andaikata, orang berpuasa karena ia mengerti esensi puasa pertanyaannya masihkah ia protes pada Tuhan Yesus karena pengikut-Nya tidak berpuasa? Jadi jelaslah mereka berpuasa karena aturan dan lama kelamaan puasa menjadi hal yang rutinitas dan kehilangan makna. Puasa seharusnya menjadikan orang rendah hati namun kini, orang menjadi sombong karena merasa dirinya lebih “saleh“ dibanding orang lain. Sayang, inti iman begitu dalam telah bergeser menjadi kesombongan rohani. Mungkinkah hari ini kita juga jatuh pada hal yang sama dimana ritual agama sudah menggeser esensi agama? Inti iman justru hilang dan digantikan dengan aplikasi agama. Hati-hati, bukan karena kita pergi kebaktian tiap minggu atau saat teduh setiap hari atau aktif melayani berarti kita orang saleh. Tidak! Kesalehan tidak diukur dari seberapa banyak kita menjalankan ritual agama.

Puasa menjadi mekanis karena ada aturan yang mengharuskan kita untuk berpuasa padahal sesungguhnya orang tidak suka menjalankan puasa. Celakanya, kita sudah capek-capek puasa, tapi orang lain tidak puasa maka timbullah rasa iri hati. Puasa seharusnya menyangkal diri supaya tidak berdosa tapi kini menjadikannya semakin berdosa. Makna puasa telah bergeser menjadi ritual. Kalau kita mengerti makna pelayanan maka rasa iri hati itu tidak akan timbul ketika melihat orang lain tidak melayani, saat itu kita justru menjadi berdosa dan tidak diperkenan Tuhan. Praktek-praktek ritualitas ini telah mencengkeram agama dunia karena itu kita perlu dimerdekakan oleh Tuhan Yesus. Sebagai warga Kerajaan Sorga yang beriman di dalam Kristus maka hidup kita tidak sama dengan tatanan agama yang ada di dunia. Kita telah dipisahkan dari dunia dengan demikian orang dapat melihat perbedaan orang yang hidup dan menjadi warga Kerajaan Sorga dengan orang yang hidup menurut dunia, yaitu:

I. Esensi – Fenomena
Seperti telah dipaparkan sebelumnya, seseorang menjadi penganut agama tertentu karena ia telah menjalankan aturan yang diberlakukan dalam agama tersebut, seperti membaca kalimat tertentu, melakukan aturan yang berlaku maka barulah orang tersebut sah menjadi penganut agama tersebut. Akan tetapi dalam Kekristenan, ritual agama seperti baptisan tidak menjamin keselamatan. Sayangnya, ajaran ini pun mulai diselewengkan maka tidaklah heran kalau kemudian orang ramai-ramai minta dibaptiskan demi untuk memperoleh keselamatan. Penjahat yang berada di samping Tuhan Yesus tidak pernah dibaptis namun ia bertobat dan ia diselamatkan. Keselamatan tidak tergantung dari ritual apapun. Iman Kristen meminta kita menjadi warga Kerajaan Sorga karena esensi diri kita dalam hubungan dengan Kristus sebagai Raja. Apalah artinya seluruh pelayanan kita kalau tidak men-Tuhankan Kristus dalam hati kita, apalah artinya persembahan kita kalau hati kita tidak berpaut pada Kristus. Gejala bisa menjadi implikasi dari esensi bukan sebaliknya. Semua anak Tuhan sejati pasti dibaptis, pasti melayani, pasti menjadi saksi, ia pasti taat menjalankan semua hukum Kerajaan Sorga. Pertanyaannya sekarang apakah orang yang dibaptis, orang yang aktif melayani, orang yang menjalankan semua ritual itu beriman pada Krsitus? Jawabnya: tidak sebab apa yang menjadi fenomena tidak mewakili apa yang esensi. Allah tidak melihat apa yang di depan mata tetapi Tuhan melihat hati. Sudahkah hati kita berpaut pada Kristus?

II. Iman – Ritual
Orang benar hidup oleh iman, dari iman, oleh iman dan berakhir dengan iman. Kekristenan melihat iman di atas ritual sebaliknya dunia melihat ritual lebih dari pada iman. Perbedaan ini menjadi suatu pemisahan. Orang yang ingin melihat bukti terlebih dahulu baru kemudian ia mau beriman maka itu bukan iman tetapi ritual. Kalau sudah ada bukti lalu untuk apa lagi kita percaya? Iman justru karena tidak ada bukti maka kita percaya. Kegagalan dunia dalam religiusitas adalah menggunakan tatanan dunia yang dikenakan dalam tatanan iman. Alkitab menegaskan orang benar adalah hidupnya karena percaya. Kristus Yesus adalah satu-satunya obyek iman sejati yang menjadi subyek yang menata seluruh hidup kita. Percaya berarti percaya. Orang yang berkata percaya tetapi masih penuh dengan segala pertanyaan berarti ia masih ragu-ragu. Thomas sadar akan hal ini, ia datang dan meminta ampun pada Tuhan Yesus ketika ia mulai meragukan kebangkitan Tuhan Yesus. Berbahagialah orang yang tidak melihat namun percaya. Kekristenan melihat iman di titik kulminasi dalam hidup kita. Saat kita beriman maka hidup kita akan menjadi kuat sebaliknya agama yang didasarkan pada ritual maka orang pasti mati-matian mempertahankannya karena takut tergoncangkan dan hancur. Bagaikan sebuah kain yang belum susut ditambalkan pada sebuah kain tua maka kain tua itu akan rusak. Orang Yahudi tahu bahwa yang dimaksud dengan kain tua dan kantong kulit tua adalah dirinya, mereka mati di dalam aturan yang mereka buat sendiri.

III. Teosentris – Antroposentris
Iman sejati haruslah bersifat teosentris, yakni berpusat pada Allah bukan berpusat pada diri, antroposentris. Hampir sebagian besar agama-agama di dunia berpusat pada diri. Orang berpuasa karena ingin supaya orang lain melihat bahwa ia adalah seorang yang saleh, ia adalah seorang yang baik dengan demikian layak mendapat Kerajaan Sorga. Perhatikan, orang yang merasa dirinya baik justru menunjukkan kalau dirinya bukan orang baik. Segala sesuatu kalau berpusat dari Allah maka disanalah pondasi imanmu menjadi kuat berbeda halnya kalau segala sesuatu kita kerjakan berpusat pada diri maka akibatnya akan timbul iri hati. Di jaman modern ini pelayanan buat Tuhan dijadikan sebagai ambisi pribadi maka tidaklah heran kalau gereja dijadikan sebagai ajang bisnis. Ingat, ketika orang hendak memulai suatu gerakan back to the Bible maka hendaklah kita mengevaluasi diri benarkah memang Tuhan yang menginginkan gerakan itu ataukah itu hanya menjadi ambisi pribadi kita? Ketika orang mulai menyelewengkan kebenaran Firman maka itulah waktunya bagi kita harus melawan dan “berteriak“ keras supaya orang kembali pada kebenaran Firman dengan demikian gereja Tuhan dimurnikan. Di saat kehendak diri bertentangan dengan kehendak Tuhan maka kita harus taat menjalankan-Nya bahkan meski untuk itu kita harus berkorban karena itulah yang menjadi kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan bukan mengerjakan apa yang menjadi kesukaan dan ambisi pribadi. Bukan! Biarlah kita mengerti apa yang bersih, apa yang benar dan melawan orang-orang yang telah melawan kebenaran Firman dan menjadikan gereja sebagai bisnis. Gereja bukanlah tempat bagi kita untuk mencari keuntungan, gereja bukanlah tempatnya pekerjaan yang berpusat pada manusia tetapi berpusat pada Kristus yang adalah Raja.
Inilah separasi, pemisahan, dimana sistem Kerajaan Allah berbeda dengan sistem kerajaan dunia. Pertanyaannya sekarang adalah sebagai warga Kerajaan Sorga sudahkah kita menyangkal diri, menyadari ketidakberdayaan kita lalu menyerahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan? Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol. 3:23). Kerjakanlah semuanya itu di dalam anugerah Tuhan bukan menurut kesombongan diri. Biarlah kita sebagai warga Kerajaan Sorga dipakai oleh Tuhan menjadi saksi-Nya dan mendatangkan kemuliaan bagi Kristus Sang Raja. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber:

Resensi Buku-46: 5 MENIT SEJARAH GEREJA (Rev. DR. RICHARD W. CORNISH)

...Dapatkan segera...
Buku
FIVE MINUTE CHURCH HISTORIAN
(5 MENIT SEJARAH GEREJA)


oleh: Rev. DR. RICHARD W. CORNISH

Penerbit : Pionir Jaya dan NavPress, Bandung, 2007

Penerjemah : Handy Hermanto





Deskripsi dari Penerbit Pionir Jaya :
Mengapa kita perlu mempelajari Sejarah Gereja ?
Mereka yang mendahului kita telah mencoba untuk menghayati apa yang kita percayai. Jikalau kita mempelajari doktrin mereka tanpa aplikasinya, kita kehilangan separuh dari gambarannya. Dengan mengerti gambaran besar dari Sejarah Gereja, marilah kita berakar kuat di dalam iman !

...warisan rohnai melebihi garis keturunan biologis. Warisan genetika mungkin akan bertahan selama delapan puluh tahun ; warisan rohani bertahan selamanya.

Buku ini mendapatkan pujian dari Rev. Hank Pharis, D.Min. (Pendeta Gereja Baptis Calvary, Fargo, North Dakota) ; Prof. William Travis (Profesor emeritus Sejarah Gereja di Seminari Bethel, St. Paul, Minnesota) ; Prof. John D. Hannah, Th.D., Ph.D. (Profesor, penulis Our Legacy : A History of Christian Doctrine) ; Prof. Bryan Dowd (Profesor di Universitas Minnesota) ; Prof. Donald Fairbairn, Ph.D. (Profesor, penulis Grace and Christology in the Early Church) ; Prof. Vernon J. Steiner, Ph.D. (Presiden The MIQRA Institute) ; Stephen E. Freed (Presiden : International Teams) ; dan Prof. Charles F. Alling, Ph.D. (Profesor Sejarah di Northwestern College dan penulis dari Egypt and Bible History).



Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio :
Sejarah Gereja adalah sejarah umat Tuhan dari sejak zaman para rasul, gereja mula-mula, Abad Pertengahan, sampai sekarang. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen, kita perlu mempelajari Sejarah Gereja yang merupakan Kisah-Nya (History is His-story). Mengapa kita perlu mempelajari Sejarah Gereja ? Ada dua hal yang perlu ditekankan, yaitu : Pertama, agar kita dapat mempelajari iman dan perjuangan mereka di dalam menegakkan doktrin yang sesuai dengan Alkitab serta rela menjadi martir bagi Kristus. Kedua, agar kesalahan kita di zaman sekarang tidak terulang seperti pada zaman Sejarah Gereja. Misalnya, beberapa gerakan “Kristen” kontemporer ternyata mengulang kembali sejarah Montanisme di dalam Sejarah Gereja, begitu juga dengan Unitarianisme yang merupakan bentuk modern dari Arianisme di dalam Sejarah Gereja yang sudah dinyatakan bidat oleh para Bapa Gereja di dalam Konsili Niceae (325 M). Untuk mempelajari Sejarah Gereja, banyak buku yang sudah ditulis, tetapi sejujurnya kendala yang dihadapi adalah buku-buku tersebut sangat tebal, bahkan banyak yang kurang aplikasi. Di antara buku-buku yang menguraikan Sejarah Gereja, buku Lima Menit Sejarah Gereja yang ditulis oleh Rev. DR. RICK CORNISH adalah sebuah buku rangkuman sejarah Gereja dari sejak zaman para Rasul, gereja mula-mula, Abad Pertengahan, Renaissance, Pencerahan, Modernisme, sampai pada zaman sekarang dengan menghadirkan 100 tokoh dan subtema penting (misalnya mencakup Polycarpus, Bapa Gereja Augustinus, Anselmus, Dr. Martin Luther, Dr. John Calvin, Rev. Jonathan Edwards, Rev. John Wesley, Rev. George Whitefield, Rev. Charles Haddon Spurgeon, kaum Huguenot di Prancis, Puritan di Inggris, Dr. John Owen, Pengakuan Iman Westminster, Dr. Abraham Kuyper, Dr. Carl F. H. Henry, Dr. Billy Graham, dll) dengan aplikasi praktisnya di dalam kehidupan Kristen. Buku ini dinamakan Lima Menit Sejarah Gereja karena buku ini dimaksudkan agar para pembaca Kristen (khususnya) membaca buku ini per bab/sub tema selama 5 menit per hati, sehingga mereka dapat belajar dari masing-masing bab. Karena buku ini buku singkat dan hanya rangkuman dari sejarah Gereja, maka buku ini juga memiliki sedikit kekurangan, yaitu kekurangan data, doktrin yang diajarkan oleh beberapa tokoh yang diungkapkan. Selain itu, ada beberapa kekurangan lain, yaitu beberapa sudut pandang yang digunakan oleh Cornish (penulis) kurang sesuai dengan Alkitab.







Profil Rev. DR. RICHARD W. (RICK) CORNISH :
Rev. DR. RICHARD W. (RICK) CORNISH adalah pendeta senior First Baptist Church di Luverne, Minnesota, USA. Beliau juga menggembalakan di Kansas dan Wyoming, dan sebelumnya beliau mengajar Perjanjian Baru dan Theologia Sistematika selama tujuh tahun di Donetsk Christian University di Ukraine. Saat ini, beliau melayani sebagai dosen bagi para misionari dalam bidang theologia, Perjanjian Baru, dan Sejarah Gereja di International Council for Education Development. Beliau meraih gelar doktor dari Denver Seminary, USA setelah beliau menamatkan studi magisternya dalam bidang bahasa Yunani dan Sejarah dari University of Nebraska. Beliau tinggal di Minnesota bersama istrinya, Tracy, dan kedua puteranya Scott dan Ben (para pembaca awal dan yang terpenting dari buku ini).

Roma 6:12-14: IMPLIKASI PERBEDAAN ESENSIAL-4: Hidup Bagi Allah

Seri Eksposisi Surat Roma :
Manusia Lama Vs Manusia Baru-6


Implikasi Perbedaan Esensial-4 :
Hidup Bagi Allah (bukan bagi dosa)


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 6:12-14.

Setelah mempelajari tentang implikasi perbedaan manusia pertama dan kedua poin kedua yaitu kehidupan yang mati vs kematian yang hidup di pasal 6 ayat 1 s/d 11, mulai ayat 12 s/d 14, Paulus mulai mengimplikasikan secara praktis di dalam hidup yang melawan dosa.

Setelah kita dibaptiskan di dalam kematian-Nya dan memperoleh hidup baru di dalam kebangkitan-Nya, kita tidak boleh lagi hidup di dalam dosa. Apa artinya ? Ada dua arti.
Pertama, tidak lagi hidup di dalam dosa berarti hidup kita tidak ditundukkan di bawah dosa. Hal ini diajarkan Paulus di ayat 12, “Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya.” Kata “berkuasa” dalam KJV diterjemahkan reign yang dalam bahasa Yunani berkaitan dengan kerajaan. Dengan kata lain, Paulus memakai metafora ketika ia mengajar bahwa dosa di sini sebagai tuan manusia ketika manusia masih menjadi hamba dosa. Ketika manusia masih menjadi hamba dosa, manusia itu tetap manusia lama yang menjadikan dosa sebagai tuannya. Kok bisa ? Bukankah di abad postmodern ini kita banyak mendengar bahwa semua manusia yang beragama pasti masuk surga ? Bukankah mereka juga mengajarkan bahwa semua agama itu ber“Tuhan” ? Benarkah demikian ? Kalau semua agama menyembah Allah, di Roma 3:10-11, Allah tak perlu mengatakan bahwa semua manusia berdosa dan tak ada yang mencari Allah. Di sini, kita melihat bahwa meskipun agama mengandung sedikit unsur baik, Alkitab tetap mengajar prinsip penting bahwa manusia sebelum menerima Kristus tetap adalah manusia lama yang mentuankan dosa (meskipun di bibir, mereka menyembah “Allah”). Ini membuktikan kelicikan dosa yang terselubung. Dosa jangan dimengerti secara fenomena, tetapi harus dimengerti secara esensi, yaitu meleset dari sasaran Allah (Yunani : hamartia). Kata inilah yang dipakai di dalam ayat ini. Sebagai manusia baru, kita dituntut Allah melalui Paulus untuk tidak mentuankan dosa. Artinya, kita tidak lagi tunduk di bawah pemerintahan dosa, meskipun kita tetap hidup di dalam tubuh yang fana. Pernyataan “tubuhmu yang fana” dalam ayat ini sungguh menarik. Mengapa ? Karena tubuh yang fana menunjukkan adanya kelemahan di dalam tubuh jasmani manusia. Tetapi Paulus mengajar jemaat Roma (dan kita juga) untuk tidak menyerah kalah terhadap kedagingan kita, melainkan kita harus berani menolak dosa. Bagaimana caranya ? Paulus menjelaskan bahwa kita bisa menolak dosa dengan tidak menuruti keinginan dosa. Sungguh menarik, Paulus mengaitkan konsep dosa dengan keinginannya (KJV : lust) yang termasuk bagian dari dosa. Konsep ini sebenarnya diambil dari Tuhan Yesus yang mengajarkan bahwa ketika kita melihat seorang wanita dan mengingininya, itu sudah dianggap berzinah/dosa. (Matius 5:28, “Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.”) Di sini, konsep kekudusan yang Tuhan Yesus ajarkan melampaui apa yang Taurat ajarkan (Matius 5:27). “Melampaui” di sini tidak berarti Taurat tidak mengajarkannya, tetapi Tuhan Yesus memberikan arti yang sebenarnya dari Taurat, karena selama itu, Taurat sudah diselewengkan oleh orang-orang Farisi. Kembali, dosa bukan sekedar membunuh, mencuri, dll, tetapi dosa lebih mengarah ke dalam hati. Ketika hati dan motivasi kita tidak beres, di saat itulah kita berdosa. Mengapa ? Karena Tuhan lebih menyelidiki hati kita, bukan penampilan kita. Tuhan tak pernah tertipu oleh penampilan luar kita yang mungkin sangat kelihatan alim/religius di mata orang lain ! Tuhan lebih melihat hati kita, karena di situlah terpancar segala sesuatu. Sehingga, Paulus mengajarkan bahwa kita bisa menolak dosa dengan tidak menuruti keinginannya. Kata “menuruti” dalam bahasa Yunani hupakouō bisa berarti listen attentively (mendengar dengan penuh perhatian). Dengan kata lain, kita tidak menuruti keinginan dosa identik dengan kita tidak mendengarnya atau memperhatikannya dengan seksama. Atau yang lebih sederhana lagi, sebagai manusia baru, kita tidak menjadikan dosa sebagai kesukaan/favorit kita. Bagaimana dengan kita ? Apakah dosa menjadi kegemaran/favorit kita sehari-hari sehingga tanpanya, kita seakan-akan tak bisa hidup ? Bagaimana cara mengujinya ? Ketika kita mulai gemar terhadap dosa, tandanya adalah kita diberhalakan oleh sesuatu. Misalnya, di dalam gereja, meskipun sudah diperingatkan berulang kali untuk menonaktifkan HP (bahkan sebelum khotbah dimulai), kita seringkali tidak menjalankannya, dengan beribu alasan, yaitu lupa, ada hal “penting” (lebih “penting” daripada mendengar dan merenungkan Firman Tuhan), dll. Padahal, secara tidak langsung, kita sedang memberhalakan HP, sehingga tanpanya kita seolah-olah tak dapat hidup. Di saat itu pula lah kita gemar terhadap dosa, karena kita lebih mementingkan HP kita ketimbang mendengar dan merenungkan Firman Tuhan di dalam gereja.

Kedua, tidak hidup di dalam dosa berarti kita tidak menyerahkan anggota tubuh kita sebagai alat dosa. Di ayat 13, Paulus mengajarkan hal ini, “Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran.” Kata “menyerahkan” berarti ada unsur penyerahan aktif dari pribadi tertentu kepada pribadi lain. Demikian pula, ketika ayat ini mengajarkan bahwa kita jangan menyerahkan anggota-anggota tubuh kita kepada dosa berarti kita tidak boleh lagi secara aktif berperan serta di dalam dosa apalagi untuk sesuatu yang lalim. Kata “kelaliman” dalam ayat ini bahasa Yunaninya adikia berarti injustice (=ketidakadilan). Dengan kata lain, kita tidak boleh menyerahkan tubuh kita untuk dipakai iblis dalam mengerjakan apapun yang tidak adil atau jahat karena itu melawan Allah dan berdosa. Lalu, bagaimana selanjutnya ? Apakah kita pasif ? TIDAK. Alkitab melanjutkan bahwa kita bukan pasif, tetapi aktif yaitu menyerahkan diri kita kepada Allah sebagai orang-orang yang dahulu mati tetapi sekarang hidup. Dengan kata lain, kita mau menghambakan diri kita kepada Allah dan ketika kita menjadi hamba Allah, kita disebut hidup dari kematian (KJV : alive from the dead). Sungguh menarik, banyak orang dunia mengatakan bahwa menjadi orang Kristen itu sulit, karena mau apa saja dilarang, sembahyang di depan peti orang meninggal tidak boleh, dll. Benarkah demikian ? TIDAK. Alkitab justru mengatakan bahwa ketika kita tunduk di bawah Allah, kita benar-benar hidup, sedangkan ketika kita tidak tunduk kepada Allah, tetapi tunduk kepada dosa, kita mati (meskipun “hidup” secara fisik). Bagaimana dengan kita ? Sudahkah kita tunduk kepada Allah ? Ketika kita tunduk kepada Allah, ada berkat tersendiri yang disediakan-Nya bagi kita. Apakah itu berkat jasmani ? TIDAK SELALU. Yang terpenting bahwa kita tunduk kepada Allah, maka Allah akan memberkati dan memimpin langkah hidup kita ke jalan-Nya yang terindah. Bagaimana cara kita menyerahkan tubuh kita bagi Allah ? Caranya menyerahkannya untuk menjadi senjata-senjata kebenaran. Kata “kebenaran” di sini identik dengan keadilan (Yunani : dikaiosunē). Sehingga dengan demikian berarti kita secara aktif menyerahkan tubuh kita untuk menjadi senjata-senjata yang memperjuangkan dan berjuang bagi keadilan Allah. Sama seperti yang diajarkan Paulus nantinya di Roma 12:1, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.”, kita dituntut untuk secara aktif mempersembahkan tubuh kita bagi Allah sebagai wujud dari ibadah yang sejati (KJV : reasonable = layak/pantas). Bagaimana dengan kita ? Sudahkah kita menjadi senjata-senjata keadilan Allah yang berperang bagi zaman untuk membawa zaman kita kembali kepada Kristus ? Dengan menjadi senjata-senjata keadilan Allah, kita sebenarnya beribadah kepada-Nya dengan layak/pantas. Banyak orang “Kristen” mengaku diri beribadah, tetapi cara berpikir, hati, perkataan dan sikapnya masih menyerupai manusia lama yaitu suka berdosa. Itukah beribadah ? Marilah kita belajar melalui ayat ini yaitu untuk menjadi senjata-senjata keadilan Allah dengan aktif mempersembahkan tubuh dan tentunya hidup kita bagi Allah demi kemuliaan-Nya. Kita bisa melakukan hal ini karena kita adalah hamba dan Allah sebagai Pemilik hidup kita. Itulah artinya men-Tuhan-kan Kristus dan menghambakan diri manusia.

Mengapa kita bisa melakukan semuanya itu ? Paulus memberikan jawabannya di ayat 14, “Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia.” Yaitu, karena kita tidak dikuasai lagi oleh dosa, atau tidak memerintah hidup kita, maka kita tidak hidup di dalam dosa. Dengan kata lain, saya mengulanginya, yaitu, ketika kita hidup di dalam dosa, maka dosa itu memerintah/berkuasa di dalam hidup kita dan kita akan menjadi hamba dosa. Tetapi ketika tidak dikuasai lagi oleh dosa oleh karena Kristus telah menebus dan mengalahkan kuasa dosa dan maut, maka kita pun tidak boleh lagi hidup di dalam dosa. Mengapa kita tidak dikuasai oleh dosa ? Paulus menjelaskan selanjutnya bahwa karena kita tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia/anugerah (KJV : grace). Apakah hukum Taurat menyiksa dan membuat seseorang berdosa ? TIDAK. Melalui perenungan ayat-ayat sebelumnya, kita sudah banyak belajar bahwa Taurat menjadi perintah Tuhan bagi manusia yang sebenarnya memimpin hidup manusia sekaligus sebagai cermin bahwa manusia itu berdosa dan tak mampu melakukan semua tuntutan Taurat secara sempurna. Tetapi karena kebebalan manusia dan penyelewengan dari orang-orang Farisi, maka banyak orang Israel/Yahudi menjadi gila Taurat tetapi tak mengerti esensi penting dari Taurat yaitu kasih kepada Allah, sesama dan diri (Matius 22:37-40). Sehingga ketika orang-orang Yahudi menaati Taurat, mereka sebenarnya sedang berdosa karena mereka melupakan esensi Taurat. Ketika Tuhan Yesus datang, Ia membongkar total konsep mereka yang salah tentang Taurat dan mengartikan kembali Taurat yang sesungguhnya yang sudah lama diselewengkan. Bagaimana dengan orang Kristen ? Perlukah mereka menjalankan Taurat ? Banyak orang Kristen menganggapnya TIDAK PERLU, karena kita sudah ditebus dari kutuk hukum Taurat. Anggapan ini separuh benar, tetapi selebihnya salah, mengapa ? Karena meskipun kita telah ditebus dari kutuk hukum Taurat melalui penebusan Kristus, Taurat tetap berfungsi untuk memimpin langkah hidup kita, misalnya : jangan membunuh, jangan mencuri, jangan berdusta, jangan berzinah, hormati orang tua, dll. Tetapi bedanya ketika orang Kristen melakukan Taurat, Paulus berkata bahwa kita melakukannya di bawah kasih karunia yang tak membelenggu, tetapi sebagai respon ucapan syukur karena kita telah diselamatkan oleh Kristus. Sedangkan, orang-orang Yahudi yang tak mengerti (sampai sekarang) masih menjalankan Taurat secara ketat tanpa mengerti esensinya, sehingga mereka kelihatan beragama, tetapi sebenarnya mereka berdosa, karena mereka melupakan esensi Taurat, sehingga mereka menjalankannya dengan belenggu yang mengikat supaya mereka diselamatkan/masuk Surga/diperkenan Allah. Tidak seperti orang-orang Yahudi yang telah salah menafsirkan Taurat, maukah kita hari ini menjalankan perintah-perintah Allah di dalam Taurat dengan penuh kerelaan hati dan kebebasan karena Kristus telah mengerjakannya bagi kita ? Justru karena Kristus telah memenuhi dan membebaskan kita dari kutuk hukum Taurat, kita bisa dengan bebas yang bertanggungjawab melakukan Taurat tanpa adanya ikatan yang membelenggu sama seperti kita yang sudah diberi sesuatu oleh orang lain, kita akan berterimakasih dan mungkin akan memikirkan cara bagaimana membalas kebaikan orang lain itu.

Hari ini, setelah kita merenungkan ketiga ayat ini, adakah hati kita tergerak untuk tidak lagi hidup bermain-main di dalam dosa ? Adakah kita berkomitmen untuk menggemari dosa, tetapi sebaliknya menggemari Firman Allah dan Kebenarannya ? Itulah citra diri manusia baru yang telah ditebus Kristus dari hidup yang sia-sia. Soli Deo Gloria. Amin.