11 March 2010

Resensi Buku-93: GERAKAN NAMA SUCI: Nama Allah yang Dipermasalahkan (Ir. Herlianto, M.Th.)

...Dapatkan segera...
Buku:
GERAKAN NAMA SUCI:
Nama ALLAH yang Dipermasalahkan


oleh: Ir. Herlianto, M.Th.

Penerbit: BPK Gunung Mulia, 2009





Penjelasan singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Sensasi adalah salah satu hal yang digemari oleh banyak manusia berdosa. Karena diciptakan oleh Allah dengan kreativitas, maka manusia berdosa cenderung menyalahgunakan kreativitas tersebut untuk tujuan-tujuan tidak beres. Sejarah membuktikan bahwa di setiap zaman, manusia suka mencari dan menimbulkan sensasi. Nah, sensasi yang hangat baru-baru ini adalah sensasi pemuja nama YHWH. YHWH-isme ini menurut Ir. Herlianto, M.Th. berasal dari suatu gerakan di Amerika Serikat pada tahun 1930-an yang bernama Sacred Name Movement (Gerakan Nama Suci) yang dipengaruhi oleh paham Hebraic Roots Movement yang menekankan kembali ke akar Yudaik. Mereka mempermasalahkan bahkan memejahijaukan LAI karena memuat kata Allah. Di Malaysia, hal serupa terjadi, namun dilakukan oleh orang non-Kristen. Mengapa nama Allah dipermasalahkan? Mengapa harus mengganti nama Allah dengan YHWH? Kesemuanya itu dijawab dengan penjelasan yang teliti secara historis dari Ir. Herlianto, M.Th. Biarlah buku ini membuka cakrawala berpikir kita tentang gerakan YHWH-isme dan kelemahannya.





Profil Ir. Herlianto, M.Th.:
Ir. Herlianto, M.Th. adalah Pemimpin Umum Yayasan Bina Awam (YABINA), Bandung (situs: http://www.yabina.org) dan dosen dalam bidang Sosiologi dan Aliran Kontemporer di Sekolah Tinggi Theologi Bandung. Beliau adalah seorang insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1968 lalu memperdalam ilmu dalam bidang Pembangunan Perkotaan dan memperoleh diploma International Course on Housing, Planning and Building di Boueweentrum International Education, Rotterdam pada tahun 1979 serta mengikuti Urban Studies Course pada Princeton University di USA pada tahun 1982. Beliau belajar theologi di Institut Injil Indonesia, Batu pada tahun 1972, lalu dilanjutkan ke Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang dan pada tahun 1976 memperoleh gelar Bachelor of Theology (Th.B.) Pada tahun 1982, beliau menyelesaikan studi Master of Theology (M.Th.) di Princeton Theological Seminary, USA dengan spesialisasi masalah kemasyarakatan dan perbandingan agama. Beliau dapat dihubungi melalui e-mail: herlianto@yabina.org.

Eksposisi 1 Korintus 4:6-7 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 4:6-7

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 4:6-7



Penerjemah LAI:TB menganggap bagian ini sebagai sebuah perikop yang baru. Pemisahan ini memberi kesan bahwa apa yang disampaikan di 4:1-5 tidak terlalu berkaitan dengan 4:6-21. Jika kita selidiki secara teliti, maka kita akan mendapati bahwa dua bagian tersebut sama-sama membahas tentang perselisihan antara Paulus dan jemaat Korintus. Kalau di 4:1-5 Paulus sekedar menjelaskan bagaimana jemaat Korintus seharusnya memandang para rasul sebagai para pelayan Tuhan yang tidak boleh dihakimi kecuali oleh Tuhan sendiri, di 4:6-21 ia secara lebih terbuka memberikan teguran kepada mereka. Secara khusus di 4:6-7 Paulus menegur kesombongan jemaat Korintus.

Alur berpikir Paulus di 4:6-7 dapat digambarkan sebagai berikut:
Paulus menerapkan apa yang dia ajarkan (ay. 6a)
Tujuan dari teladan ini (ay. 6b-c)
Supaya jemaat belajar untuk tidak melampaui apa yang tertulis (ay. 6b)
Supaya jemaat tidak menyombongkan diri (ay. 6c)
Alasan bagi tujuan: semua karena anugerah Tuhan (ay. 7)


Paulus Menerapkan Apa yang Dia Ajarkan (ay. 6a)
Sapaan “saudara-saudara” (adelphoi) di ayat 6a memberi petunjuk bahwa bagian ini adalah pokok pikiran yang baru (1:10, 26; 2:1; 3:1), sekalipun masih sangat terkait dengan isu utama di pasal 4. Selain itu, kata sambung “sekarang” (de, ASV/NASB/NIV) turut mempertegas petunjuk ini (kontra KJV “dan” maupun RSV/LAI:TB yang tidak menerjemahkan kata ini). Apa yang disampaikan di 4:6-7 juga memperjelas bahwa Paulus sedang memaparkan suatu pokok pikiran yang baru.

Kata Yunani tauta (LAI:TB “kata-kata ini”) secara hurufiah berarti “hal-hal ini”. Mayoritas versi bahasa Inggris menerjemahkan tauta secara hurufiah (“these things, KJV/ASV/NASB/NIV) atau “semua hal ini” (“all this”, RSV). Terjemahan LAI:TB “kata-kata ini” bisa menimbulkan kesan bahwa tauta hanya merujuk pada pernyataan Paulus di 4:1-5. Para penafsir umumnya meyakini bahwa tauta merujuk pada semua gambaran/metafora yang telah diberikan Paulus sebelumnya, mulai pasal 3:5 sampai 4:5. Pandangan ini dapat dibenarkan berdasarkan arti kata “mengenakan” (skematizo, lih. pembahasan selanjutnya) maupun pemunculan nama Paulus dan Apolos (bdk. 3:5-9; 4:1-5 “kami”).

Kata kerja “mengenakan” (metaskematizo) beberapa kali dipakai oleh Paulus dalam arti “mengubah bentuk luar dari sesuatu, tetapi sesuatu itu tetap tidak berubah”. Kata ini dipakai untuk iblis maupun para rasul palsu yang pandai menyamar (2Kor. 11:13-15). Kata ini juga digunakan dalam konteks perubahan tubuh menjadi tubuh kemuliaan (Flp. 3:21). Dari arti umum ini dan sesuai konteks 1 Korintus 3-4 kita dapat mengetahui bahwa arti kata skematizo di 4:6 adalah “mengubah prinsip yang diajarkan dalam metafora menjadi sebuah kehidupan nyata” (ASV/KJV “I have in a figure transferred”; NASB “I have figuratively applied”). Secara sederhana, skematizo dapat dipahami dalam arti “mengaplikasikan” (RSV/NIV).

Paulus mengatakan bahwa aplikasi ini tidak hanya berkaitan dengan dirinya, tetapi juga dengan Apolos. Melalui pernyataan ini Paulus sekali lagi ingin menegaskan bahwa tidak ada masalah antara dirinya dan Apolos (bdk. 3:6; 16:12). Jemaat Korintuslah yang melebih-lebihkan perbedaan antara dua rasul tersebut. Para pemimpin jemaat di Korintus seharusnya dapat meniru kebersamaan dua rasul ini dan bukannya malah menjadikan figur dua rasul tersebut sebagai dasar untuk bertikai satu dengan yang lain.

Pernyataan Paulus di ayat 6a juga menunjukkan bahwa Paulus bukan sekedar seorang hamba Tuhan yang pandai mengajar, tetapi ia juga hebat dalam memberi teladan. Dia menghidupi apa yang dia ajarkan, sehingga di 4:16 dia berani mengatakan “turutilah teladanku”. Sikap yang mirip dengan ini ditunjukkan juga oleh Ezra yang bertekad “untuk meneliti Taurat TUHAN dan melakukannya serta mengajar ketetapan dan peraturan di antara orang Israel” (Ezr. 7:10).

Semua keteladan ini diberikan Paulus untuk kepentingan jemaat. Terjemahan LAI:TB “karena kamu” tidak terlalu tepat menyatakan makna kata Yunani di’ hymas di ayat 6a. Versi Inggris dengan tepat memakai “untuk kepentingan/keuntungan kamu” (NIV/RSV) atau “demi kamu” (ASV/KJV/NASB). Paulus memberi teladan bukan untuk kepentingannya sendiri, misalnya mendapat pujian atau memenangkan hati jemaat. Teladan ini juga bukan dirancang untuk memalukan jemaat Korintus dengan cara membuat mereka tampak lebih buruk karena sangat kontras dengan Paulus (4:14).


Tujuan dari Keteladan (ay. 6b-c)
Di ayat 6a Paulus hanya sekedar menyatakan bahwa teladan yang dia tunjukkan adalah untuk kepentingan jemaat, namun sekarang dia menjelaskan bagaimana keteladan itu membawa keuntungan bagi mereka. Dia ingin agar jemaat dapat belajar dari dia dan Apolos (ay. 6b “supaya dari kami kamu dapat belajar”). Pilihan kata “belajar” (manthano) memberi ide penting bahwa hidup Kristiani adalah sebuah proses peniruan/pemuridan. Kekristenan bukanlah legalisme yang terdiri dari sekumpulan perintah atau hukum. Kekristenan tidak seperti ajaran Farisi dan ahli Taurat yang membuat banyak orang letih. Sebaliknya, seperti yang diucapkan Yesus, “marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat...belajarlah kepada-Ku...”

Apa yang dapat dipelajari dari teladan Paulus dan Apolos? Pertama, supaya jemaat tidak melampaui “apa yang tertulis” (gegraptai, ay. 6b). Para penafsir berdebat tentang apa yang dimaksud Paulus dengan gegraptai. Sebagian menduga Paulus sedang mengutip sebuah peribahasa/ungkapan populer waktu itu. Dugaan ini menarik tetapi sebaliknya ditolak karena bukti historis yang dipaparkan tidak meyakinkan. Sebagian yang lain menganggap gegraptai merujuk ada semua penjelasan Paulus di pasal 1-3. Pandangan yang paling tepat adalah dengan melihat gegraptai sebagai rujukan pada teks-teks PL, karena dari 30 kali pemunculan kata ini selalu merujuk pada PL. Dalam konteks 1 Korintus 4:6, teks PL yang dimaksud adalah beberapa ayat yang sebelumnya sudah dikutip Paulus (1:19; 1:31; 2:9; 3:19-20). Semua teks ini mengajarkan keterbatasan hikmat manusia dan sikap Allah yang konsisten dalam merendahkan orang-orang yang merasa diri berhikmat. Sikap jemaat Korintus yang merasa diri berhikmat dan berusaha mengganti injil dengan hikmat duniawi merupakan tindakan yang melampaui apa yang tertulis. Mereka merasa diri lebih hebat daripada firman Tuhan.

Kedua, supaya jemaat tidak sombong (ay. 6c). Tujuan ini dapat dilihat secara sejajar dengan tujuan yang pertama atau dianggap sebagai penjelasan dari tujuan yang pertama itu. Para penafsir biasanya memegang kemungkinan yang kedua. Kata “menyombongkan diri” (phusioun) yang dipakai dalam bagian ini secara hurufiah berarti “menggelembungkan diri”. Kesan yang diungkapkan adalah usaha untuk melebih-lebihkan diri melampaui apa yang sebenarnya. Gambaran modern yang pas untuk menyatakan ini adalah sebuah balon yang ditiup: walaupun keliatannya besar, tetapi balon itu tidak ada isinya apa-apa selain kumpulan udara.

Pemunculan kata phusioun yang berulang-ulang di surat Korintus (4:6, 18, 19; 5:2; 8:1; 13:4; 2Kor. 12:20) mengindikasikan bahwa jemaat ini memang terkenal dengan kesombongan mereka. Jika pendapat beberapa penafsir tepat, maka penggunaan phusioun di sini cocok dengan kesombongan jemaat Korintus yang merasa diri pneumatikos (“rohani”), suatu kata yang berasal dari kata pneuma yang berarti “roh” atau “angin”. Dalam konteks sosial yang lebih luas, penduduk Korintus memang dikenal sebagai orang yang sombong dan suka berada di awang-awang. Kita tidak pernah bisa memastikan seberapa besar pengaruh mentalitas kota Korintus terhadap kesombongan jemaat, namun paling tidak kita dapat melihat gambaran bahwa bagi jemaat Korintus sikap sombong bukanlah sesuatu yang asing.

Kesombongan jemaat Korintus dapat dilihat dari beberapa hal. Mereka melupakan salah satu rasul – entah Paulus atau Apolos - yang telah dipakai Tuhan untuk mempertobatkan dan menumbuhkan iman mereka, sehingga Paulus sampai menyindir bahwa keadaan mereka sekarang yang hebat (paling tidak menurut mereka sendiri) adalah “tanpa para rasul” (4:8). Mereka juga merendahkan para rasul dan menganggap diri mereka lebih mulia daripada para rasul (4:10). Kesombongan ini sangat mungkin dipicu oleh ketidakadaan Paulus dan Apolos di Korintus sehingga beberapa pemimpin mencoba mengagungkan diri di atas yang lain. Mereka berpikir bahwa Paulus tidak akan datang lagi (4:18), sedangkan Apolos belum mau datang ke Korintus (16:12). Ketika mereka kehilangan figur pemimpin seperti inilah mereka lalu berebut menempatkan diri sebagai pemimpin. Mereka bahkan menganggap diri mereka lebih baik daripada para pendahulunya. Mereka seharusnya menyadari bahwa setiap pelayan mendapat tugas yang khusus dari Tuhan (3:5), sehingga tidak seharusnya memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang mereka patut pikirkan (Rm. 12:3).


Alasan bagi Tujuan (ay. 7)
Kata sambung “sebab” di awal ayat ini menunjukkan bahwa bagian ini adalah penjelasan bagi ayat sebelumnya. Paulus ingin memberitahu alasan mengapa mereka tidak boleh melampaui apa yang tertulis dan tidak boleh sombong. Beberapa pertanyaan retoris yang ada di ayat ini semuanya berfokus pada satu ide: segala sesuatu adalah anugerah dari Tuhan. Jika semua adalah anugerah, maka sikap sombong jelas menjadi sikap yang harus dihindari.

Pertanyaan pertama (ay. 7a) dapat dipahami secara negatif atau positif. Secara negatif berarti “siapakah yang menganggap engkau penting/berbeda?” (LAI:TB/NASB/RSV). Secara positif berarti “siapakah yang membuat engkau menjadi berbeda [dari yang lain]?” (ASV/KJV/NIV/NRSV). Jika pertanyaan ini dipahami secara negatif, maka Paulus sedang menegur jemaat Korintus yang terlalu tinggi menilai diri mereka padahal mereka tidak ada apa-apanya. Jika secara positif, maka Paulus sedang mengingatkan jemaat tentang tangan Tuhan yang telah membuat mereka berbeda dari orang-orang lain. Di antara dua pilihan ini, yang terakhir tampaknya lebih tepat, karena ayat 7b-c berbicara tentang anugerah Allah. Jika ini diterima, maka ayat 7a merupakan usaha Paulus untuk mengingatkan jemaat bahwa keselamatan dan pertumbuhan rohani mereka berhutang pada Allah: Allah yang menyelamatkan (1:18), memilih (1:27-28), menyatakan rahasia (2:10-12) maupun memberikan berbagai karunia rohani (1:4-5; 12:6). Jika memang kekayaan rohani mereka berasal dari Allah, mereka tidak seharusnya menyombongkan diri.

Pertanyaan kedua (ay. 7b) menantang jemaat untuk melihat seluruh hidup mereka dalam kacamata anugerah. Apakah ada yang mereka miliki yang tidak mereka terima [dari Tuhan]? Paulus ingin mengajarkan bahwa apapun yang kita miliki adalah dari Tuhan, karena pada dasarnya segala sesuatu adalah milik Allah (2:23). Allah adalah sumber, agen dan tujuan dari segala sesuatu (Rm. 11:36). Kita bisa hidup (Yak. 4:15; Kis. 17:28a), makan (Mat. 6:11), selamat (Ef. 2:8-9), memiliki karunia rohani tertentu (1Kor. 1:4-5), melayani (1Kor. 3:5b) maupun melihat buah pelayanan (1Kor. 3:6-7) adalah karena Allah yang memberikan semua itu bagi kita. Hal ini dinyatakan dengan jelas oleh Paulus di tempat lain, “karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang” (1Kor. 15:10).

Pertanyaan ketiga (ay. 7c) lebih berupa teguran. Jika segala sesuatu adalah pemberian dari Tuhan, maka segala bentuk kesombongan merupakan penyangkalan terhadap anugerah Allah. Konsep anugerah dan pencapaian diri/usaha tidak dapat disatukan, karena keduanya saling kontradiktif. Roma 11:6 “jika hal itu terjadi karena kasih karunia, maka bukan lagi karena perbuatan, sebab jika tidak demikian, maka kasih karunia itu bukan lagi kasih karunia”. Ketika mereka memegahkan diri (kauchaomai), mereka sedang berlagak seolah-olah segala sesuatu adalah hasil pekerjaan mereka. Mereka lupa bahwa semua karunia tetaplah menjadi milik Allah. Alkitab mengajarkan stewarship (penatalayanan), bukan ownership (kepemilikan). Mereka seharusnya bermegah (kauchaomai) di dalam Tuhan (1:31), bukan di dalam pemberian-pemberian-Nya. Sama seperti orang tua yang memberikan barang-barang kepada anak-anak mereka dengan tujuan supaya mereka memperoleh sukacita dan bukan dijadikan alasan untuk saling membandingkan diri, demikian pula Allah memberi anugerah bukan untuk dibanding-bandingkan.

Dari penjelasan di ayat 7 kita dapat belajar bahwa konsep anugerah membawa pada ucapan syukur, sedangkan konsep pencapaian diri menghantar pada kesombongan. Konsep anugerah memampukan kita melihat kesamaan antara kita dan orang lain, yaitu sama-sama orang yang tidak layak tetapi tetap dipercaya oleh Tuhan. Di sisi lain, konsep pencapaian diri membuat kita menghakimi orang lain. Konsep anugerah membantu kita melihat diri kita sebagaimana adanya, tetapi konsep pencapaian diri membuat kita menilai diri terlalu tinggi. Konsep anugerah membantu kita menerima apapun keadan kita, sedangkan konsep pencapaian diri mendorong kita menginginkan yang lebih dan lebih lagi. Intinya, seberapa jauh kita memahami hidup kita sebagai sebuah anugerah, sejauh itu pula konsep tersebut akan mempengaruhi cara kita hidup.






Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 6 Juli 2008