17 June 2010

Resensi Buku-98: THE FAITH (Charles Colson dan Harold Fickett)

...Dapatkan segera...




Buku
THE FAITH:
Apa yang Dipercayai Orang Kristen, Mengapa Mereka Mempercayainya, dan Mengapa Hal Itu Penting


oleh: Charles W. Colson dan Harold Fickett

Penerbit: Pionir Jaya





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Iman adalah sesuatu yang sangat penting di dalam hidup keberagamaan, karena iman merupakan suatu dasar yang membuat kita percaya. Demikian juga dengan iman Kristen. Banyak orang beragama Kristen, namun benarkah mereka beriman Kristen? Dengan bahasa yang mudah dimengerti, Charles Colson dan Harold Fickett di dalam bukunya The Faith menjelaskan kepada kita signifikansi penting iman Kristen yang berdasarkan doktrin yang kokoh, yaitu: doktrin Allah (Kebenaran, Wahyu, dan Trinitas), doktrin Alkitab, Dosa, Keselamatan, Gereja, dan Akhir Zaman) dan diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Buku The Faith ini telah mendapat apresiasi (rekomendasi) dari 56 orang baik dari kalangan Kristen Protestan maupun Kristen Katolik.




Rekomendasi (dari 56 perekomendasi diambil 16 baik dari Injili, Reformed, maupun Katolik):
“Kekristenan yang sejati dan Alkitabiah sering kali salah dicirikan oleh media, salah digunakan oleh politikus, dan salah diajarkan oleh kalangan akademis sehingga jadi salah dipahami oleh kebanyakan orang Amerika Serikat. Karenanya, setiap orang akan mendapat manfaat dengan membaca buku ini—entah Anda orang skeptis, pencari kebenaran, orang percaya baru, atau orang ynag sudah lama mengikut Kristus. Paduan pikiran cemerlang Chuck Colson dan prosa Harold Fickett yang memikat memberi kita ikhtisar yang jelas, ringkas, dan menggugah tentang apa yang sebetulnya dipercayai oleh para pengikut Yesus.”
Rev. Richard Duanne (Rick) Warren, D.Min.
(Pendiri dan Pendeta Senior di Saddleback Church, California, U.S.A.; Bachelor of Arts—B.A. dari California Baptist University, Riverside, California, U.S.A.; Master of Divinity—M.Div. dari Southwestern Baptist Theological Seminary, Fort Worth, Texas, U.S.A.; dan Doctor of Ministry—D.Min. dari Fuller Theological Seminary, Pasadena, California, U.S.A.)

“Buku ini terbaca seperti novel dan berisi pukulan godam yang keras. Saya kira ini boleh jadi buku terpenting yang pernah ditulis Chuck.”
Rev. William (Bill) Hybels, D.D.
(Pendeta Senior dan Pendiri dari Willow Creek Community Church, South Barrington, Illinois, U.S.A.; Bachelor in Biblical Studies dari Trinity International University dan dianugerahi gelar Doctor of Divinity—D.D. dari Trinity Evangelical Divinity School, U.S.A.)

“Chuck Colson bukan saja mampu menjelaskan isu-isu moral besar masa kini dengan cara yang hanya bisa dilakukan sedikit orang, tetapi secara fasih dan meyakinkan ia juga mampu menunjuk kepada satu-satunya obat sejati bagi budaya kita yang sakit: pengetahuan yang menyelamatkan tentang Yesus Kristus. Selama bertahun-tahun Allah telah memakai pria baik ini secara luar biasa, dan saya merasa terhormat untuk menyebut dia sahabat dan saudara saya yang hebat.”
Prof. James Clayton (Jim) Dobson, Ph.D.
(Pendiri dan Ketua Focus on the Family; Doctor of Philosophy—Ph.D. dalam bidang child development dari University of Southern California, U.S.A.; mendapat anugerah gelar: Doctor of Laws—LL.D. dari Pepperdine University; Doctor of Humanities—D.Hum. dari Franciscan University of Steubenville, Ohio; Doctor of Humane Letters—L.H.D. dari Seattle Pacific University; L.H.D. dari Asbury Theological Seminary; L.H.D. dari MidAmerica Nazarene College; Doctor of Letters—Litt.D. dari Liberty University; L.H.D. dari Campbell University; L.H.D. dari Point Loma Nazarene College; Doctor of Literature dari Biola University; D.Hum. dari Abilene Christian University; L.H.D. dari Huntington College; Doctor of Public Service dari Greenville College; L.H.D. dari William Tyndale College; Doctor of Humanities dari Harding University; Doctor of Humanities dari Olivet Nazarene University; L.H.D. dari Indiana Wesleyan University; dan D.D. dari Southern Evangelical Seminary)

“Ini karya mutu tinggi dari Charles Colson—diterangkan dengan hati-hati dan diargumenkan dengan bersemangat. Bab yang menceritakan bagaimana Injil sampai kepada para tahanan, dengan sendirinya, cukup untuk merentangkan angan Anda dan membuat hati Anda menyanyi.” Rev. John Ortberg, Jr., Ph.D.
(Pendeta di Menlo Park Presbyterian Church Menlo Park, California, U.S.A. sejak tahun 2003 dan anggota the Board of Trustees di Fuller Seminary, U.S.A.; Bachelor of Arts—B.A. dalam bidang Psikologi dari Wheaton College; Master of Divinity—M.Div. dan Ph.D. dalam bidang Psikologi Klinis dari Fuller Seminary, U.S.A.; dan studi post-graduate di University of Aberdeen, Scotland)

“Buku ini sangat disambut! Wawasan tajam dari seorang pemikir jernih yang menafsirkan doktrin-doktrin inti iman Kristen. Volume ini adalah persembahan lain dari Chuck Colson bagi perkara Kristus.”
Rev. Max Lucado, M.A.
(senior minister di Oak Hills Church, Texas, U.S.A.; B.A. dalam bidang Komunikasi Massa dari Abilene Christian University, Abilene, Texas, U.S.A. dan M.A. dalam bidang Biblical and Related Studies dari Abilene Christian University, Abilene, Texas, U.S.A.)

“Panduan yang sangat diperlukan, berkuasa, dan amat mudah dibaca untuk memahami dunia dari sudut pandang kekekalan.”
Rev. John C. Maxwell, D.Min.
(Pendiri INJOY Stewardship Services dan EQUIP; Bachelor dari Ohio Christian University; M.Div. dari Azusa Pacific University; dan D.Min. dari Fuller Theological Seminary)

“Memahami kebenaran-kebenaran dasar iman Kristen dengan baik adalah penting bagi kedewasaan Kristen… Sekarang Charles Colson dan Harold Fickett telah memberi kita ikhtisar dari kebenaran-kebenaran dasar itu dalam bahasa yang mudah dibaca dan mudah dipahami. Buku ini akan terbukti berharga dalam menolong orang Kristen biasa memahami iman yang mereka percayai.”
Dr. Jerry T. Bridges
(anggota staf di The Navigators dan penulis lebih dari buku-buku, di antaranya The Pursuit of Holiness yang telah terjual lebih dari satu juta kopi)

“Charles Colson telah menulis satu buku lagi dengan kecerdasan yang hebat, iman yang kuat, dan kejelasan yang murni. The Faith (Iman) mempunyai segala ciri karya klasik.”
Rev. Prof. Cornelius Plantinga, Jr., Ph.D.
(Presiden di Calvin Theological Seminary dan Pendeta yang ditahbiskan di Christian Reformed Church, North America; B.A. dari Calvin College; studi di Yale University; Bachelor of Divinity—B.D. dari Calvin Theological Seminary; dan Ph.D. magna cum laude dari Princeton Theological Seminary, U.S.A.)

“Colson dan Fickett berada dalam kondisi terbaik ketika mereka menyoroti titik-titik luhur dari kepercayaan, perilaku, dan kebahagiaan Kristen berlawanan dengan latar gelap kemerosotan kita yang tak terkendali. Syukur kepada Allah atas orang-orang seperti ini dan atas buku seperti ini.”
Prof. James Innell (J. I.) Packer, D.Phil.
(the Board of Governors' Professor of Theology di Regent College, Vancouver, British Columbia, Canada; B.A., M.A., dan Doctor of Philosophy—D.Phil. dari Corpus Christi College, Oxford University, U.K.)

“Masih buku terbaiknya. Panjangnya pas dan sangat seimbang karena menarik dan mudah dibaca serta bijaksana dan informatif.”
Prof. James Porter (J. P.) Moreland, Ph.D.
(Distinguished Professor of Philosophy di Talbot School of Theology di Biola University, La Mirada, California, U.S.A.; Bachelor of Science—B.S. dari University of Missouri, U.S.A; M.A. dari University of California, Riverside, U.S.A.; Master of Theology—Th.M. dari Dallas Theological Seminary, U.S.A.; dan Ph.D. dalam bidang Filsafat dari University of Southern California, U.S.A.)

“Chuck Colson adalah saksi paling menggugah bagi iman Kristen yang saya kenal, dan kekuatan keyakinannya ditandingi oleh kredibilitas hidupnya. Ia telah memberi kita pernyataan kontemporer tentang iman yang rasuli—jelas, meyakinkan, dan menawan. Sebuah buku hikmat bagi orang percaya dan bagi para pencari kebenaran.”
Prof. Timothy George, Th.D.
(Dekan dan Professor of Divinity di Beeson Divinity School, Samford University dan editor eksekutif untuk Christianity Today; Bachelor of Arts—A.B. dari University of Tennessee at Chattanooga; M.Div. dari Harvard Divinity School; dan Doctor of Theology—Th.D. dari Harvard University)

“The Faith (Iman) adalah sajian yang amat mudah dibaca tentang makna dan praktik iman Kristen tradisional di zaman kita yang sangat susah.”
Prof. James W. Sire, Ph.D.
(mantan editor senior di InterVarsity Press dan dosen tamu di berbagai perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Eropa, serta dosen bagi InterVarsity Christian Fellowship; Ph.D. dari University of Missouri)

“Selama bertahun-tahun saya telah memberikan copy buku Mere Christianity karya C. S. Lewis kepada mereka yang serius untuk menyelidiki klaim-klaim Yesus Kristus. Sekarang saya juga akan memberikan copy buku The Faith (Iman) karya Chuck Colson, yang dalam banyak hal merupakan pernyataan segar di abad ke-20 tentang iman kita yang bersejarah.”
Rev. Dr. John A. Huffman, Jr.
(Pendeta di St. Andrews Presbyterian Church, Newport Beach, California, U.S.A. dan melayani di: the National Council of the Churches of Christ in the U.S.A., Gordon-Conwell Theological Seminary, and Christianity Today, Inc.)

“Bacaan yang luar biasa menarik! The Faith (Iman) menggugah dan diperlukan dalam waktu genting ini di hadapan keadaan buta doktrin serta pluralisme yang ada… Buku ini adalah bacaan wajib bagi semua orang ynag peduli dengan apa yang terjadi di dunia kita hari ini.”
Prof. Walter C. Kaiser, Jr., Ph.D.
(mantan Colman M. Mockler Distinguished Professor of Old Testament dan mantan Presiden di Gordon-Conwell Theological Seminary, U.S.A.; A.B. dari Wheaton College; B.D. dari Wheaton Graduate School; M.A. dan Ph.D. dalam bidang Mediterranean studies dari Brandeis University)

“Buku penuh wawasan ini mengembangkan dasar sejati bagi pandangan dunia Kristen—suatu pemahaman yang akurat secara Alkitabiah dan relevan secara budaya tentang kebenaran-kebenaran dasar iman.”
Kenneth Boa, Ph.D., D.Phil.
(Presiden dari Reflection Ministries {http://www.reflectionsministries.org} dan Trinity House Publishers; B.S. dari Case Institute of Technology; Th.M. dari Dallas Theological Seminary; Ph.D. dari New York University; dan D.Phil. dari the University of Oxford, England; Website beliau: www.KenBoa.org)

“Paus Yohanes Paulus II membuka surat edarannya tentang kesatuan Gereja dengan menunjuk kepada campuran darah begitu banyak martir Kristen masa kini yang bersatu dalam kesaksian mereka tentang realitas dan kuasa darah Yesus Kristus yang menyelamatkan. Buku ini adalah pernyataan yang murah hati dan jujur tentang dasar-dasar bersama yang dipegang semua martir itu. Buku ini dapat memberi kita informasi dan juga mengilhami kita untuk bersaksi bagi Kristus dan saling memperkaya selagi kita bekerja sama dengan gerakan Roh Kudus yang membawa kita kepada kesatuan yang didoakan Tuhan kita.”
Fr. Francis Martin, B.A., S.T.L., S.S.L., S.S.D.
(Professor of Sacred Scripture at Sacred Heart Major Seminary, imam dari Archdiocese of Washington, D.C. di mana beliau melayani di the Mother of God Community, dan Profesor Studi Biblika di the John Paul II Institute for Studies on Marriage and Family; Licentiate in Sacred Theology—S.T.L. dari Pontifical University of St. Thomas Aquinas in Rome, (Theology); Licentiate in Sacred Scripture—S.S.L. dari Pontifical Biblical Institute; dan Doctorate in Sacred Scripture—S.S.D. dari Pontifical Biblical Institute)






Profil Charles W. Colson dan Harold Fickett:
Charles “Chuck” Wendell Colson, J.D. yang lahir pada tanggal 16 Oktober 1931 adalah seorang pemimpin dalam gerakan hak asasi Kristen, komentator budaya, dan penulis paling sedikit 20 buku, termasuk beberapa di antaranya diakui oleh ECPA Christian Book Awards. Beliau pernah menjadi penasihat khusus dari Presiden U.S.A. Richard Nixon dari 1969 sampai 1973. Beliau juga mendirikan pelayanan penjara yang dinamakan: Prison Fellowship dan mendirikan dan mengetuai: Wilberforce Forum. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) di Brown University dan Juris Doctor (J.D.) di George Washington University in 1959.Beliau dianugerahi 15 gelar doktor dan pada tahun 1993 dianugerahi Templeton Prize.

Harold Fickett adalah pengarang sejumlah artikel dan buku, termasuk sebuah novel terkenal tentang pengalaman Injili, The Holy Fool. Sebagai pendiri rekanan Image: Art, Faith, Mystery, sebuah jurnal yang mengupas titik temu antara seni dan agama, dan sebagai penyunting rekanan dari majalah web GodSpy (www.godspy.com), Fickett telah membantu proyek-proyek Colson selama dua puluh lima tahun.

Eksposisi 1 Korintus 7:3-5 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:3-5

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:3-5



Dalam pembahasan sebelumnya kita sudah melihat bahwa jemaat Korintus memiliki konsep yang salah tentang hubungan seksual (ay. 1). Mereka menganggap bahwa tidak berhubungan seks (lit. “tidak menyentuh wanita”) adalah baik bagi kerohanian. Mereka bahkan menerapkan ini pada hubungan suami-istri dalam pernikahan. Terhadap kesalahpahaman ini Paulus menasehati jemaat agar berhubungan seks dengan suami atau istri mereka sendiri (ay. 2). Nasihat ini menjadi lebih penting untuk dilakukan mengingat ada bahaya percabulan yang mengancam (ay. 2a; bdk. 6:15-16).

Di ayat 3-4 Paulus memberikan penjelasan mengapa suami-istri harus tetap melakukan hubungan seksual. Dia menjelaskan bahwa relasi suami-istri menuntut kewajiban secara seksual yang harus dipenuhi (ay. 3). Relasi suami-istri juga menyangkut masalah kepemilikan tubuh masing-masing pasangan (ay. 4). Seseorang tidak boleh menggunakan tubuhnya menurut apa yang dia pandang baik dan melupakan suatu kebenaran bahwa pasangannya juga memiliki tubuhnya.

Di ayat 5 Paulus membicarakan perkecualian terhadap nasihat di ayat 2. Suami-istri memang boleh tidak melakukan hubungan seks, namun mereka harus memperhatikan syarat-syarat tertentu. Sikap Paulus ini sangat berbeda dengan jemaat Korintus yang tidak mau berhubungan seks sama sekali dengan pasangan mereka.


Alasan 1: Ada Kewajiban Seksual Dalam Pernikahan (ay. 3)
Dalam ayat ini frase “terhadap istrinya” muncul di bagian awal, seakan-akan Paulus ingin menandaskan “terhadap istrinya, ya, terhadap istrinya seorang suami harus memenuhi kewajibannya.” Pada waktu memberi nasihat kepada para istri di ayat 3b, Paulus tidak meletakkan “terhadap suaminya” di awal kalimat. Hal ini sangat mungkin menyiratkan bahwa problem utama terletak pada pihak suami yang tidak mau berhubungan seks dengan istri (bdk. ay. 1 “adalah baik bagi laki-laki jika ia tidak kawin”). Alasan lain karena telah terjadi dosa perzinahan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan pelacur (6:15-16).

Kata “memenuhi” (apodidotō) memakai present tense, sehingga menyiratkan perintah yang harus dilakukan terus-menerus. Pemilihan tense ini bukan tanpa alasan. Beberapa orang telah melupakan hubungan seks dengan pasangan, jadi mereka perlu dinasehati untuk berhenti melakukan hal itu dan sebaliknya melakukan hal itu secara kontinyu dengan pasangannya. Bahkan ketika Paulus memberikan perkecualian di ayat 5 untuk berpisah sementara itu, ia menegaskan bahwa pendapatnya itu bukan perintah tetapi kelonggaran (ay. 6). Artinya, dalam keadaan yang normal suami-istri harus terus-menerus melakukan hubungan seks.

Yang harus dipenuhi adalah “kewajiban” (opheilē). Kata ini dalam PB memiliki arti “utang” (Mrk. 18:32) atau “sesuatu yang harus dibayar” (Rm. 13:7). Dalam bagian lain kata ofeilh sering dipakai sebagai ungkapan halus (eufimisme) untuk berhubungan seks.

Penggunaan kata ofeilh yang memiliki makna “utang” atau “sesuatu yang harus dibayar” menunjukkan penghargaan Paulus yang tinggi terhadap seks dalam pernikahan. Bagi dia berhubungan seks bukan sekadar masalah pilihan atau keinginan, tetapi keharusan. Paulus sangat mungkin dipengaruhi oleh tradisi Yahudi yang mengajarkan bahwa kebutuhan seks merupakan salah satu kewajiban suami terhadap istri selain masalah pakaian dan makanan (Kel. 21:10).

Sikap di atas berbeda dengan konsep umum di kalangan orang Yahudi. Mereka biasanya melihat seks hanya sebagai sarana untuk prokreasi (memiliki anak). Beberapa penulis Yahudi bahkan menganggap hubungan seks yang tidak ditujukan untuk memiliki anak merupakan tindakan yang tercela dan bahkan disamakan dengan binatang. Bagi Paulus hubungan seks bukan hanya masalah prokreasi, tetapi rekreasi dan obligasi. Tuhan menciptakan keagungan seks dan itu harus dinikmati serta dirayakan oleh manusia.


Alasan 2: Ada Kepemilikan Tubuh Bersama Dalam Pernikahan (ay. 4)
Di ayat ini Paulus mengajarkan bahwa suami/istri tidak berkuasa (exousiazō) atas tubuhnya sendiri. Terjemahan “kuasa” (LAI:TB/KJV/ASV) kurang begitu tepat. Kata exousiazō sebaiknya diterjemahkan memiliki otoritas (NASB/NRSV). Bentuk pasif dari kata ini sebelumnya sudah dipakai di pasal 6:12 dengan arti “diperhamba.” Di tempat lain kata ini dipakai untuk pemerintah yang memerintah atas rakyatnya (Luk. 22:25).

Penggunaan istilah ini menyiratkan bahwa jemaat Korintus cenderung terjebak pada konsep “kebebasan” atau “hak” yang keliru. Mereka lupa bahwa kebebasan tetap harus memperhatikan kepentingan orang lain, apalagi dalam konteks pernikahan istri memang memiliki otoritas tubuh suaminya, begitu pula sebaliknya. Inti yang mau disampaikan Paulus bukan “aku memiliki tubuhmu”, tetapi “kamu memiliki tubuhku sehingga aku tidak bisa menggunakannya semauku sendiri.” Paulus tidak mengajarkan eksploitasi tubuh orang lain, tetapi penghormatan terhadap hak orang lain.

Konsep kepemilikan tubuh bersama di atas didasarkan pada dua pemikiran. Yang paling penting, relasi suami-istri memang menyangkut proses menjadi satu daging (Kej. 2:24). Dalam Kidung Agung kedekatan relasi suami-istri berkali-kali digambarkan dengan ungkapan “kekasihku kepunyaanku dan aku kepunyaan dia” (2:16; 6:3; 7:10). Jangankan dengan suami-istri sendiri, perzinahan dengan pelacur pun sudah menciptakan kesatuan yang lebih serius daripada sekadar kontak fisik. Perzinahan membuat seseorang menjadi satu tubuh dengan yang dia ajak berzinah (6:16).

Dasar yang lain adalah prinsip kasih. Orang yang menikah harus mulai memikirkan kepentingan atau urusan pasangannya (7:33-34). Salah satu wujud kasih adalah “tidak mencari kepentingan sendiri tetapi orang lain” (13:7). Setiap orang Kristen harus menunjukkan kasih dalam bentuk tidak mau melakukan sesuatu yang menjadi batu sandungan bagi orang lain,s ekalipun ia mungkin memiliki alasan atau hak untuk melakukan hal tersebut (8:9, 13; 10:24, 33).


Kasus Khusus (ay. 5)
Bentuk present tense dalam larangan “jangan menjauhi” (mē apostereite) lebih bermakna “berhentilah menjauhi.” Makna ini sesuai dengan apa yang memang sudah terjadi dalam jemaat Korintus. Mereka bukan sekadar memiliki konsep yang salah, tetapi mereka sungguh-sungguh sudah mempraktikkan konsep tersebut. Paulus memberi nasihat agar mereka berhenti melakukan kesalahan ini.

Penggunaan kata dasar “apostereō” di ayat ini merupakan ungkapan yang menarik, sayangnya penerjemah LAI:TB gagal menangkap makna yang sebenarnya dari kata ini. Semua versi Inggris menerjemahkan dengan kata “menghilangkan” (KJV/ASV “defraud”, NIV/NASB/NRSV “deprive”). Terjemahan mayoritas ini sangat tepat karena kata apostereō sudah dipakai Paulus sebelumnya dengan arti “merugikan” (6:7-8; bdk. Yak. 5:4). Makna ini juga sesuai dengan kata “kewajiban/utang” (opheilē) yang sudah dipakai di ayat 3. Dari penggunaan ini terlihat bahwa ketika mereka tidak mau melakukan hubungan seksual, mereka sebenarnya sedang menghilangkan sesuatu, yaitu hak atau otoritas dari pasangan mereka masing-masing.

Walaupun dalam keadaan normal suami-istri harus terus melakukan hubungan seksual, namun Paulus tetap memberi sebuah kelonggaran (bdk. ay. 6) Dalam kasus yang khusus suami-istri boleh tidak melakukan kewajibannya. Syarat yang diberikan adalah “atas persetujuan bersama” (ek sumphōnou). Sikap jemaat Korintus yang meninggalkan persetubuhan dengan pasangan merupakan tindakan yang sepihak dan tidak menghargai kepentingan orang lain. Mereka tidak peduli apakah pasangannya akan menyetujui tindakan itu atau tidak, karena itu Paulus menempatkan syarat “atas persetujuan bersama” sebagai syarat pertama.

Selanjutnya ia menambahkan “untuk sementara waktu” (pros kairon). Jika tindakan menjauhi seks yang dilakukan jemaat Korintus didasarkan pada pertimbangan teologis untuk menunjukkan kerohanian yang tinggi, maka kemungkinan besar tindakan ini akan berlangsung lama atau bahkan permanen. Mereka akan berpikir bahwa semakin lama bertarak akan semakin baik bagi kerohanian. Tentang hal ini Paulus memberi syarat yang jelas, yaitu “untuk sementara waktu.”

Di bagian akhir ayat 5 Paulus memakai tiga kata kerja subjunctive untuk menunjukkan tujuan. Kita perlu memperhatikan bahwa tujuan di sini bukan menerangkan “kecuali atas persetujuan bersama”, tetapi “untuk sementara waktu.” Mengapa perlu dibatasi waktunya?

Pertama, supaya dapat berdoa. Sebagian penafsir menganggap bahwa doa di sini tidak merujuk pada doa pribadi pada setiap waktu yang kita maui, tetapi lebih berkaitan dengan persiapan untuk momen-momen khusus tertentu. Orang-orang Yahudi sudah terbiasa untuk menjauhi beberapa hal sebagai persiapan merayakan hari raya atau berjumpa secara khusus dengan Allah (Kel. 19:15; Im. 15:18; 1Sam. 21:4-6). Dari sini terlihat bahwa kita tidak boleh mengeksploitasi waktu doa seenaknya demi menjauhi hubungan seks. Walaupun doa merupakan sesuatu yang rohani dan penting bagi orang Kristen, namun hal ini tidak bisa meniadakan kewajiban suami-istri dalam hal seksual. Ini berarti bahwa di mata Paulus, berdoa dan melakukan hubungan seks dengan pasangan sama-sama merupakan perkara yang rohani.

Kedua, supaya kembali hidup bersama. Penerjemah LAI:TB memberikan titik setelah frase “supaya kamu dapat berdoa” dan menganggap frase palin epi to auto ēte sebagai kalimat perintah (lihat juga NIV). Terjemahan ini tidak tepat, karena kata kerja hte berbentuk subjunctive, sehingga masih memberikan keterangan lanjutan tentang tujuan. Jemaat Korintus diperboleh menjauhi pasangan untuk sementara waktu supaya mereka dapat kembali bersama.

Ketiga, supaya tidak dicobai iblis. Situasi dalam kehidupan jemaat Korintus yang rawan dengan percabulan (6:15-16; 7:2a) merupakan senjata ampuh bagi iblis untuk menjatuhkan mereka. Masalah ini semakin diperparah dengan keadaan beberapa jemaat yang memang tidak tahan bertarak (7:5, 9). Bagi mereka yang tidak memiliki karunia untuk membujang (bdk. 7:7-8), maka godaan dalam bidang seksual yang mereka hadapi adalah lebih besar daripada mereka yang memiliki karunia itu. Berpijak dari pertimbangan ini, maka tindakan jemaat yang meninggalkan hubungan seksual dengan pasangan dalam waktu yang lama merupakan tindakan yang bodoh, karena memberi kesempatan kepada iblis. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 22 Februari 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2003-05.pdf