20 September 2010

KEKRISTENAN DAN OTORITAS ALKITAB-2: Sola Scriptura atau Solo Scriptura?

KEKRISTENAN DAN OTORITAS ALKITAB-2:
Sola Scriptura atau Solo Scriptura?


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.”
(Mzm. 119:105)



Pada bagian pertama, kita telah membahas mengenai pentingnya otoritas Alkitab di dalam iman dan praktik hidup Kristen bukan hanya dikatakan secara mulut, tetapi juga dijalankan, maka pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana Alkitab itu berotoritas? Apakah sebagai orang Kristen, kita hanya boleh membaca Alkitab saja dan dilarang membaca buku-buku sekuler dan theologi/rohani lainnya? Atau dengan kata lain, apakah orang Kristen memegang Sola Scriptura yang berarti hanya Alkitab ataukah Solo Scriptura yang berarti Alkitab saja dan tidak perlu membaca buku lain di luar Alkitab? Apa bedanya? Bagaimana orang Kristen dalam bersikap?

Sola Scriptura adalah semangat yang dicetuskan oleh reformator, Dr. Martin Luther yang bertujuan mengajak orang Kristen untuk kembali kepada Alkitab. Semangat kembali kepada Alkitab ini TIDAK berarti orang Kristen anti terhadap budaya sekitar, lalu jadi enggan membaca buku-buku sekuler dan rohani/theologi di luar Alkitab. Hal ini ditandai oleh Dr. Luther sendiri dan penerusnya yang juga berpengaruh, Dr. John Calvin yang juga mengutip tulisan-tulisan para bapa gereja, seperti Augustinus, dll di dalam bukunya yang terkenal, Institutes of the Christian Religion, bahkan Dr. Calvin sendiri di dalam bukunya tersebut mengutip tulisan para filsuf Yunani. Hal ini diikuti oleh para theolog dan hamba Tuhan Reformed di segala zaman dengan studi theologi, filsafat, dll secara mendalam di samping Alkitab. Pendiri Neo-Calvinisme yang juga seorang mantan Perdana Menteri Belanda dan gembala gereja, Prof. Dr. Ds. Abraham Kuyper di dalam bukunya Lectures on Calvinism mengetengahkan sumbangsih Calvinisme di dalam banyak aspek: theologi, politik, seni, sains, dll membuat Kekristenan sadar bahwa iman Kristen bukan hanya soal kehidupan rohani saja, tetapi juga mempengaruhi segala aspek kehidupan. Mengapa ini dilakukan oleh orang-orang Reformed? Karena mereka (dan tentunya semua orang Kristen yang takut akan Tuhan) sadar bahwa mereka mendapat mandat dari Tuhan untuk menebus dunia bagi kemuliaan Kristus atau dikenal dengan mandat budaya. Di dalam menjalankan mandat budaya, Kekristenan dituntut untuk mengerti semangat zaman dan hal-hal di dunia supaya nantinya kita bisa membawa kembali dunia yang berdosa ini dan menundukkannya di bawah kaki Kristus. Dengan kata lain, orang-orang Kristen dituntut untuk relevan dengan zamannya karena kita dituntut untuk menjadi saksi Kristus di tengah dunia/zaman kita, namun semangat untuk relevan dengan zaman TIDAK menghapuskan (atau sengaja mengaburkan) identitas kita sebagai pengikut Kristus. Artinya, relevan dengan zaman TIDAK membuat kita kompromi dengan zaman, karena kita dituntut untuk berbeda dari dunia ini sebagai wujud ibadah yang sejati kepada Allah (Rm. 12:1-2).

Kedua, orang Kristen yang memegang teguh Sola Scriptura juga dituntut untuk menjadikan Alkitab sebagai penghakim diri, orang lain, dan dunia. Artinya, Alkitab sebagai wahyu khusus Allah menguji segala sesuatu di dalam diri kita, orang lain, dan di dunia, entah itu pengajaran melalui buku, artikel, pidato, ceramah, khotbah, dll. Ketika kita belajar di sekolah, kampus atau berada di tempat kerja dan bertemu dengan banyak orang dengan beragam iman dan konsep yang dimilikinya, maka kita dituntut untuk kritis menyeleksi semuanya itu berdasarkan Alkitab. Sekali lagi, dengan menjadikan Alkitab sebagai penguji segala sesuatu, TIDAK berarti kita jadi alergi dengan hal-hal duniawi, tetapi ini membuktikan bahwa kita sebagai orang Kristen yang cinta Tuhan, kita kritis terhadap budaya sekitar, tanpa anti terhadapnya. Jangan anti terhadap tradisi, juga jangan memberhalakan tradisi, tetapi hargailah sekaligus kritislah terhadap tradisi. Jangan anti terhadap sains dan filsafat dan juga jangan memberhalakannya, tetapi hargailah dan bersikaplah kritis terhadap sains dan filsafat. Itulah sikap orang Kristen yang bijaksana yang menempatkan Alkitab di tempat yang seharusnya (di posisi tertinggi) dan hal-hal duniawi di bawahnya. Jangan berani mengaku diri Kristen, tetapi masih meletakkan Alkitab di bawah tradisi, filsafat, sains, dll.


Sedangkan Solo Scriptura adalah suatu semangat yang mirip dengan Sola Scriptura, namun bedanya, Solo Scriptura hanya memegang teguh Alkitab dan membuang semua buku dan tradisi rasuli, seperti Pengakuan Iman Rasuli, dll. Para penganut paham ini memang dapat dikategorikan setia kepada Alkitab, namun kesetiaannya kepada Alkitab menjadi kesetiaan yang semaunya sendiri, karena mereka tidak menghargai karya Tuhan melalui para bapa gereja dan theolog abad lalu dan abad ini. Mereka berpikir bahwa hanya mereka sajalah yang paling pandai mengerti Alkitab. Semangat Solo Scriptura sebenarnya merupakan semangat arogansi berlebihan yang tidak mencerminkan citra anak Tuhan dan pengikut Kristus yang seharusnya rendah hati dan terus-menerus mau bertumbuh di dalam pengenalan akan Allah yang sejati. Gejala ini dapat dijumpai pada beberapa hamba Tuhan dan orang Kristen dari gereja kontemporer yang popular yang buta dengan tradisi gerejawi, seperti Pengakuan Iman Rasuli, dll yang hanya mengerti Alkitab. Tidak heran, ketika buku The Da Vinci Code muncul, kebanyakan mereka kalang kabut dan bingung, karena banyak dari mereka buta sejarah gereja. Seorang yang tidak pernah belajar dari sejarah sebenarnya adalah seorang yang sombong dan merasa tahu segala sesuatu, padahal jika ditelusuri, apa yang diajarkannya di zaman ini sebenarnya merupakan pengulangan dari sejarah abad sebelumnya. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengutip perkataan seorang filsuf yang mengatakan bahwa pelajaran terbesar dari sejarah adalah orang tidak mau belajar dari sejarah.

Gejala ini juga dijumpai pada beberapa orang Kristen yang anti terhadap hal-hal duniawi. Misalnya, gara-gara diajari oleh si pendeta bahwa psikologi berbahaya, maka beberapa orang Kristen jadi anti psikologi dan mengatakan kepada semua orang bahwa psikologi itu bahaya dan orang Kristen tidak boleh belajar psikologi. Sekali lagi, plisss, jangan lebay (berlebihan). Psikologi memang berbahaya, tetapi hal ini TIDAK berarti orang Kristen tidak boleh belajar psikologi. Orang Kristen silahkan belajar dan studi psikologi, namun yang perlu diperhatikan, imannya harus beres terlebih dahulu, karena para pendiri psikologi, seperti Sigmund Freud, dll adalah seorang atheis. Jika imannya sudah beres, maka silahkan belajar apa saja, tetapi juga perlu diperhatikan, hal ini harus diimbangi dengan belajar Alkitab.


Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Sejauh manakah kita memegang teguh otoritas Alkitab? Apakah kita menjadi seorang yang memegang teguh Sola Scriptura namun tidak anti terhadap budaya sekitar atau kita menjadi seorang Solo Scriptura yang hampir tidak ada bedanya dengan seorang penganut Gnostik “Kristen”?? Hehehe… Biarlah kita menguji diri kita. Belajarlah menghargai sejarah dan mengujinya berdasarkan Alkitab.