16 December 2007

Iman Kristen dan Musik-5

Iman Kristen dan Musik (5)
oleh : Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.



Hari ini saya ingin sharing sedikit tentang perkembangan musik yang terjadi di jaman Middle Ages. Sayang warisan seni dalam bidang musik tidak banyak dirayakan dibandingkan dengan seni-seni yang lain (kemungkinan besar kita akan lebih kagum memandangi Kathedral di Köln, Ulm, Sainte-Chapelle di Paris atau Duomo di Milano daripada mendengarkan sebuah Gregorian Chant). Beberapa orang bahkan mengatakan jenis musik seperti ini sebenarnya masih belum berkembang alias primitif sehingga sulit untuk diapresiasi. Dalam ibadah, apalagi dalam kalangan gereja-gereja Injili, sedikit sekali (kalau tidak mau dikatakan hampir tidak ada) jenis-jenis lagu Gregorian yang masih dinyanyikan dalam ibadah. Mungkin hampir satu-satunya yang paling populer adalah O come, O come, Emmanuel.

Lagu-lagu Gregorian ditulis monophonic, satu suara tanpa iringan, tanpa melodi tandingan, meskipun tentunya bisa dinyanyikan bersama-sama. Ada keindahan tersendiri dalam karya-karya ini, dengan suatu penggarapan konsep estetika yang berbeda sebagaimana dimengerti oleh jaman-jaman selanjutnya. Salah satu aspek estetika yang ditonjolkan dalam karya-karya ini adalah kesederhanaan iman (simplicity of faith) yang dituangkan dalam gaya musik satu suara, sulit untuk ditandingi dengan musik-musik polyphonic atau homophonic (meskipun tentunya karya-karya polyphonic dan homophonic memiliki keunikannya tersendiri yang juga sulit untuk diterapkan dalam karya seperti Gregorian chant).

Penggunaan tangga nada modus dan bukan mayor-minor seperti yang ada pada jaman-jaman selanjutnya juga memiliki keunikan tersendiri. Tangga nada modus to certain extent menyajikan perbedaan yang lebih kaya dibandingkan tangga nada mayor-minor (yang hanya dua macam). Modus-modus yang beraneka ragam ini bagaikan warna dalam sebuah lukisan. Bahkan komponis-komponis Renaissance awal masih berpikir dalam tatanan tangga nada modus, meskipun mereka sudah menulis musik polyphonic yang progresif.

Selain kesederhanaan iman yang dituangkan dalam gaya musik monophonic dan kekayaan nuansa dalam tangga nada modus, keindahan estetika dalam musik ini adalah terkandungnya potensi yang besar untuk berkembang/dikembangkan. Kita bisa membandingkannya dengan pemikiran-pemikiran yang besar biasanya ditandai dengan tidak berhentinya pikiran-pikiran tersebut, melainkan dengan memberikan inspirasi kepada yang membacanya untuk bukan hanya mengolah melainkan juga mengembangkannya lebih lanjut. Khotbah-khotbah yang baik juga demikian, tidak hanya memberikan solusi how-to terhadap pergumulan hidup seseorang, melainkan merangsang pendengarnya untuk terus menggumulkan, memikirkan dan merenungkannya lebih lanjut. Potensi sedemikian hanya mungkin terjadi dari bahan dasar yang memiliki kualitas yang cukup untuk dikembangkan. Kita tahu bahwa Gregorian Chant ini menjadi inspirasi karya-karya polyphonic di kemudian hari dalam penggarapan teknik komposisi cantus firmus (melodi utama) seperti ternyata dalam karya Leoninus, Perotinus dan Guillaume de Machaut pada jaman Abad Pertengahan.

Selain kesederhanaan iman, kekayaan nuansa dalam tangga nada modus dan kemungkinan potensi untuk terus berkembang, musik-musik Gregorian Chant juga menonjolkan aspek transendensi Allah, kekudusan, kemuliaan dan kebesaran Allah yang dimengerti secara antitetis dengan keadaan manusia sebagai ciptaan yang kecil, hina dan berdosa (Yes 6:1-5). Konsep transendensi Allah ini sejalan dengan perkembangan Theologia Mistik dalam abad pertengahan (sebagian sangat baik sebagian lagi tidak), khususnya dalam gerakan monastik, dan juga sejalan dengan komposisi arsitektural yang ternyata dalam katedral-katedral Gotik yang menjulang tinggi ke atas. Konsep transendensi Allah seperti diajarkan oleh Alkitab penting untuk terus diberitakan, karena hanya dengan menekankan imanensi-Nya (kedekatan) saja, kita cenderung kurang menghargai Allah. Konsep transendensi dalam Gregorian Chant ini erat hubungannya dengan eschatological character, other-worldly nuance yang terdapat dalam karya-karya ini. Tidak heran jika banyak musikus-musikus kontemporer yang mencoba untuk menimba dari Gregorian Chant untuk meminjam suasana mistik yang ada di dalamnya. Beberapa groups pop and rock, techno dan bahkan black metal menimba inspirasi dari Gregorian Chant. Yang ironis adalah, orang-orang Kristen sendiri tidak tahu bagaimana harus menghargai tradisi musik yang sangat berharga ini dan menggunakannya untuk tujuan yang mulia.

Transendensi Allah, kesadaran eskatologis (bahwa kita hanya sementara berada dalam dunia yang fana ini) dan other-worldly character dari Gregorian Chant memiliki keindahan estetika yang unik yang memperkaya pengertian iman Kristen. Penghayatan iman seperti ini berkait erat dengan suatu hidup yang berserah sepenuhnya (absolute surrender/totale Gelassenheit), another rare jewel in our post-industrial era yang dengan pandangan reduktifnya memperlakukan manusia sebagai mesin produksi. Sekaligus jenis musik seperti ini juga dapat menjadi alternativ tandingan terhadap new age culture (baik itu praktek-praktek meditasi transendental, musik-musik new age, pengembangan diri ala new age, pengolahannya dalam film, literatur etc). New age aesthetics mengajarkan bad and wrong aesthetics, karena presuposisi dasarnya memang melawan Alkitab. Estetika yang keliru dan berdosa akan menghasilkan musik yang keliru dan berdosa. Kehausan spiritualitas di dalam jaman kita (saya percaya bukan hanya di Barat tapi di Timur juga) tidak dapat ditutup-tutupi lagi. Jikalau keKristenan tidak tahu menghargai tradisi yang baik sebagaimana pernah Tuhan karuniakan dalam sejarah Gereja, saya khawatir kita akan mencoba pendekatan trial and error terhadap semua jenis culture yang ada, tanpa melakukan suatu pengujian yang bertanggung jawab sebagai seorang percaya yang mengaku dan berkomitmen untuk taat kepada Firman Tuhan. Kiranya Tuhan menguatkan dan menolong kita yang sangat lemah. Sola Gratia, Soli Deo Gloria.

Bab 9 : KEHIDUPAN ADALAH SUATU PENUGASAN SEMENTARA ?? (Analisa Terhadap Bab 6 Buku Rick Warren)

Bab 9
Kehidupan Adalah Suatu Penugasan Sementara ??


Pada bab 9 ini, kita akan mencoba menggali masing-masing pengajaran Rick Warren di dalam bab/hari keenam dalam renungan 40 harinya. Penggalian ini bisa bersifat positif maupun negatif dari kacamata kebenaran Firman Tuhan, Alkitab. Mari kita akan menelusurinya dengan teliti berdasarkan kebenaran Alkitab.
Pada bab ini, halaman 53-58, ia melanjutkan metafora kehidupan yang ketiga yang katanya dari Alkitab yaitu hidup itu sementara dengan penugasan yang sementara. Oleh karena itu, menurut Warren, dibandingkan dengan kekekalan, hidup ini singkat dan bumi hanya sebagai tempat kediaman sementara. Hal ini benar. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa identitas kita ada di dalam kekekalan dan tanah air kita adalah Surga, sehingga kita akan berhenti memikirkan soal memiliki semuanya di dalam bumi ini. Hal ini juga benar. Selanjutnya, ia juga memaparkan dan mengutip 1 Petrus 2:11, “Saudara-saudaraku, dunia ini bukan rumahmu, karena itu jangan membuat dirimu betah di dalamnya. Jangan menurutkan keinginanmu sendiri dengan mengorbankan nyawamu.” (The Message) lalu mengajarkan, “Allah memperingatkan kita untuk tidak terlalu terikat pada apa yang ada di sekeliling kita karena semua itu bersifat sementara.” (Warren, 2005, p. 55).

Komentar saya :
Saya tidak menyalahkan pandangan ini 100%, tetapi saya melihat tendensi Warren ingin mengajarkan bahwa kita tidak perlu terlalu peduli dengan hal-hal dunia, karena itu fana sifatnya, lalu marilah kita terus memikirkan hal-hal kekekalan. Ini tendensi yang salah. 1 Petrus 2:11 menurut terjemahan King James Version berkata, “Dearly beloved, I beseech you as strangers and pilgrims, abstain from fleshly lusts, which war against the soul;” atau Terjemahan Baru Alkitab Indonesia mengartikannya, “Saudara-saudaraku yang kekasih, aku menasihati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau, kamu menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang melawan jiwa.” Kedua terjemahan ini lebih tepat dan mendekati arti aslinya, karena kita diperintahkan oleh Tuhan melalui Rasul Petrus untuk tidak mengikuti keinginan-keinginan daging, mengingat status kita yang sudah dipindahkan dari kegelapan menuju kepada terang-Nya yang ajaib (1 Petrus 2:9-10). Kalau menurut versi The Message, kita tidak boleh betah di dalam dunia ini, saya pikir terjemahan ini kurang tepat, mengapa ? Karena kalau kita tidak boleh betah di dunia ini, apakah berarti kita cepat-cepat segera mengakhiri hidup di dunia saja supaya dapat langsung menuju ke “Surga” ?
Alkitab mengajarkan kewarganegaraan kita memang adalah kewarganegaraan Surga, seperti yang Paulus ajarkan, “Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat,…” (Filipi 3:20). Tetapi, Paulus tidak berhenti di sini saja, sebelumnya ia memaparkan konsep paradoks di dalam iman Kristen, “Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus--itu memang jauh lebih baik; tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu. Dan dalam keyakinan ini tahulah aku: aku akan tinggal dan akan bersama-sama lagi dengan kamu sekalian supaya kamu makin maju dan bersukacita dalam iman, sehingga kemegahanmu dalam Kristus Yesus makin bertambah karena aku, apabila aku kembali kepada kamu.” Paulus pada bagian ini juga memiliki kerinduan seperti setiap kita untuk hidup bersama Kristus kelak di Surga, tetapi ia juga tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai warga negara dunia yaitu untuk melayani umat pilihan Allah dengan Injil. Sehingga, kita (umat pilihan Allah) dapat membagikan dua status atau warga negara yang kita miliki, yaitu warga negara Surgawi dan warga negara dunia (tepatnya, Indonesia bagi kita yang hidup di Indonesia). Ini adalah konsep paradoks. Secara status, kita yang telah dipilih Allah di dalam Kristus telah menikmati berkat-berkat Surgawi yang akan datang, tetapi apa yang kita nikmati itu belum sempurna dan akan disempurnakan kelak di akhir zaman.

Kemudian, ia memaparkan bahwa karena bumi bukanlah rumah terakhir kita, maka kita sebagai pengikut-pengikut Kristus mengalami kesulitan, penderitaan dan penolakan di dalam dunia ini... Ia juga mengungkapkan, “Untuk menjaga agar kita tidak menjadi terlalu terikat pada dunia, Allah membiarkan kita merasakan cukup banyak kesedihan dan ketidakpuasaan di dalam kehidupan, ...” (Warren, 2005, p.56).

Komentar saya :
Pandangan ini baik dan benar, tetapi kesimpulan yang Warren ambil terlalu gegabah dengan mengatakan bahwa Allah membiarkan kita merasakan cukup banyak kesedihan untuk menjaga agar kita tidak menjadi terlalu terikat pada dunia. Saya pikir pernyataan Warren dapat disalahmengerti oleh pembacanya, lalu si pembaca dapat mengartikannya secara salah, yaitu dengan mengatakan bahwa Allah itu “kejam” dan “egois”, karena Ia tega memberikan kesusahan kepada manusia dengan tujuan agar kita bisa berhubungan dengan-Nya. Bukankah Warren sendiri sebelumnya mengatakan bahwa penderitaan itu harus ditanggung sebagai pengikut-pengikut Kristus ? Saya tidak menjumpai adanya kekonsistenan yang jelas dalam pernyataan ini. Memang tidak salah, kita harus menderita sebagai pengikut Kristus, tetapi saya belum berani mengajarkan bahwa untuk menjaga agar kita tidak terlalu terikat dengan dunia, maka Allah membiarkan kita merasakan kesusahan. Kesusahan, penderitaan, dll adalah efek dosa dan pelanggaran mereka terhadap perintah Allah.

Bab 8 : MEMANDANG KEHIDUPAN DARI SUDUT PANDANG ALLAH ?? (Analisa Terhadap Bab 5 Buku Rick Warren)

Bab 8
Memandang Kehidupan dari Sudut Pandang Allah ??


Pada bab 8 ini, kita akan mencoba menggali masing-masing pengajaran Rick Warren di dalam bab/hari kelima dalam renungan 40 harinya. Penggalian ini bisa bersifat positif maupun negatif dari kacamata kebenaran Firman Tuhan, Alkitab. Mari kita akan menelusurinya dengan teliti berdasarkan kebenaran Alkitab.
Pada bab ini, halaman 45, Warren dengan jelas mengungkapkan sudut pandang manusia memandang arti kehidupan (meskipun menggunakan tameng “dari sudut pandang Allah”. Marilah kita menelitinya. Pada halaman awal bab ini, ia mengutip perkataan Yakobus di dalam Yakobus 4:14b, “Apakah arti hidupmu?” ditambah pernyataan yang menurut saya sangat aneh dari Anais Nin, “Kita tidak melihat hal-hal sebagaimana adanya, kita melihat hal-hal itu sebagaimana keadaan kita.”

Komentar saya :
Seperti biasanya, penyakit lama Warren kambuh lagi, ia suka mengutip sekelumit pernyataan Alkitab tanpa melihat konteks dan keseluruhan ayat. Yakobus 4:14b dikutip hanya satu kalimat untuk ia jabarkan sendiri menurut keinginan berdosanya. Padahal di ayat 15, Yakobus berkata, “Sebenarnya kamu harus berkata: "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu."” Tanpa membaca seluruh uraian Warren di bawahnya, kita sudah mengetahui bahwa hidup kita adalah hidup yang berserah kepada Tuhan (bandingkan dengan pemaparan saya tentang makna hidup poin keenam pada halaman 9 makalah ini). Hal ini tidak ia paparkan dalam tiga metafora pandangan Allah terhadap kehidupan (halaman 46), padahal konsep ini lebih penting dari segala ocehannya pada bab ini.
Yang lebih aneh lagi, ia mengutip pernyataan dari Anais Nin, tanpa menguji kebenaran pernyataan itu dari sudut pandang Alkitab. Pernyataan ini sudah salah di titik pertama, yaitu melihat segala sesuatu dari keadaan atau kacamata kita. Itulah realita manusia berdosa. Seorang apologet Reformed, Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. dalam bukunya The Defense of The Faith memaparkan,
When man fell it was therefore his attempt to do without God in every respect. Man sought his ideals of truth, goodness and beauty somewhere beyond God, either directly within himself or in the universe about him. God had interpreted the universe for him ..., but now he sought to interpret the universe without reference to God ; ...” (=Ketika manusia berbuat dosa, itu karena usahanya untuk berbuat tanpa Allah dalam setiap hal. Manusia mencari idamannya akan kebenaran, kebajikan dan keindahan pada suatu tempat di luar Allah, baik secara langsung di dalam dirinya atau di dalam alam semesta di sekitarnya. Allah telah menjelaskan alam semesta bagi manusia ..., tetapi sekarang manusia berusaha untuk menjelaskan alam semesta tanpa petunjuk Allah) (Til, 1955, p. 15)

Realita manusia berdosa adalah suatu realita yang enggan mengikutsertakan Tuhan di dalam hidup mereka, sehingga dengan kesoktahuannya mereka berani menginterpretasikan segala sesuatu dengan perspektifnya sendiri tanpa petunjuk dari Allah, lalu ketika mereka salah menginterpretasikannya, Allah lah yang mereka salahkan. Inilah kebejatan manusia yang tidak tahu berterima kasih dan sok tahu. Dan lebih parah lagi, hal ini juga meracuni pikiran banyak dosen yang mengklaim diri “Kristen” apalagi “melayani tuhan” di dalam gereja. Kembali, ketika kita melihat segala sesuatu dari kacamata atau keadaan kita, apa yang kita lihat jelas salah dan pasti salah, karena kita tidak melihat bukan dengan kacamata Allah sebagai Pencipta.

Selanjutnya, ia mengungkapkan hal yang mendukung pernyataan dari Anais Nin di atas,
Cara Anda memandang kehidupan Anda membentuk kehidupan Anda.
Bagaimana Anda mendefinisikan kehidupan menentukan masa depan Anda. Perspektif Anda akan mempengaruhi cara Anda memanfaatkan waktu Anda, membelanjakan uang Anda, menggunakan talenta Anda, dan menilai hubungan Anda. (Warren, 2005, p. 45)

Komentar saya :
Benar-benar, suatu kontradiksi yang aneh dan membingungkan. Di awal bab ini, Warren kelihatannya bertheologia Reformed, karena melihat kehidupan dari sudut pandang Allah (Theosentris), tetapi kenyataannya judul bab yang ia tuliskan ternyata bertolak belakang dengan masing-masing penjelasannya pada bab ini, apalagi pada paragraf pertama dan kedua dalam halaman 45 ini. Benarkah cara kita memandang kehidupan kita membentuk kehidupan kita ? Tidak. Itu perspektif dunia. KeKristenan diajarkan prinsip yang sangat indah yaitu bukan cara kita memandang kehidupan lah yang membentuk kehidupan, tetapi cara pandang Allah yang memandang kehidupan manusia saja yang dapat membentuk kehidupan manusia sejati. John Calvin pernah mengajarkan bahwa kalau kita ingin mengenal siapa diri kita, kita harus mengenal siapakah Allah. Mengapa ? Karena dengan mengenal siapa Allah, maka kita pasti mengenal dengan tepat siapa kita, karena kita adalah ciptaan-Nya yang dicipta segambar dan serupa dengan-Nya. Jangan sekali-kali bertanya tentang makna hidup kepada psikolog gila, eksistensialis, pragmatis, atau bahkan kepada Rick Warren ini. Semua itu membawa Anda bukan semakin mengenal hidup Anda di hadapan Allah, tetapi malahan membawa Anda semakin mengenal betapa pentingnya Anda bahkan daripada Allah sebagai Pencipta itu sendiri (ide pantheisme). Kembali, ketika kita mengembalikan seluruh makna kehidupan kita sebagai manusia kepada makna yang Allah inginkan, maka hidup kita pasti memiliki keindahan. Dan keindahan yang Anda miliki karena ada Allah di dalamnya akan menuntun setiap langkah hidup kita untuk terus-menerus bergantung dan berserah total kepada-Nya serta beriman di dalam-Nya. Kebergantungan dan iman kita di dalam-Nya yang terus-menerus dimurnikan melalui pencerahan Roh Kudus dan Firman-Nya, Alkitab akan mengakibatkan kita “dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2).

Selanjutnya, pada halaman 46, ia mengungkapkan kembali pernyataan bahwa banyak manusia dunia memakai metafora kehidupan Anda seperti sebuah pesta, balapan dan pertempuran. Tetapi ia mengatakan,
Bagaimana pandangan Anda tentang kehidupan ? Anda mungkin mendasarkan kehidupan Anda pada suatu metafora kehidupan yang keliru. Untuk memenuhi tujuan-tujuan yang untuknya Allah menciptakan Anda, Anda akan harus menantang pandangan umum dan menggantikannya dengan metafora Alkitab tentang kehidupan... (Warren, 2005, p. 46)

Komentar saya :
Dari sekelumit pernyataannya ini saja, saya menemukan ketiga kesalahan pada logika berpikir Warren.
Pertama, kalau Warren merasa bahwa semua metafora kehidupan yang orang dunia bangun itu salah, mengapa ia perlu mengatakan mungkin lagi (perhatikan kata-kata yang saya garis bawahi) ? Ini membuktikan bahwa Warren tidak konsisten.
Kedua, pada kalimat awal, ia meragukan bahwa mungkin pembaca bukunya ada yang mendasarkan kehidupannya pada suatu metafora kehidupan yang keliru, tetapi yang lebih aneh, ia mengatakan bahwa pembaca bukunya lah yang harus menantang pandangan umum tadi yang keliru menurut Warren dan menggantikannya dengan metafora Alkitab (menurutnya) tentang kehidupan. Kalau menurut Warren, metafora kehidupan para pembaca bukunya adalah keliru, maka Warren seharusnya mengatakan bahwa mereka dengan metafora kehidupan yang salah yang harus ditantang untuk berubah dan bukan menantang. Kesalahan logika ini membuktikan bahwa Warren kurang mengerti bahasa yang beres.
Ketiga, benarkah apa yang Warren katakan sebagai metafora “Alkitab” tentang kehidupan itu benar-benar yang Alkitab ajarkan ? Kalau memang benar demikian, seharusnya metafora Alkitab tentang kehidupan itu seharusnya memiliki nilai yang lebih tinggi yang tidak mampu disaingi oleh filsafat, agama, pengetahuan dan kebudayaan apapun di dunia ini tentang makna kehidupan. Ternyata faktanya, tidak demikian, apa yang ia paparkan selanjutnya tentang tiga metafora kehidupan yang katanya dari Alkitab, dapat ditemukan dengan mudah dalam pandangan agama, filsafat dan kebudayaan lainnya di dunia ini. Mari kita akan menyelidikinya satu per satu.

Bagi Warren, metafora kehidupan yang katanya dari Alkitab poin pertama adalah kehidupan adalah sebuah ujian. Memang benar, hidup tidak layak disebut hidup jika tidak ada ujian. Ini adalah pandangan umum dan tidak perlu diajarkan Alkitab ! Ia juga mengungkapkan, “Karakter dikembangkan dan ditunjukkan melalui ujian-ujian, dan seluruh kehidupan adalah ujian.” (Warren, 2005, p. 47). Ini pun tidak perlu diajarkan oleh Alkitab, semua orang dunia dengan filsafat-filsafat mereka pun sudah mengetahuinya ! Ketika ujian datang, ujian itu bisa menempa dan membentuk karakter manusia menjadi lebih baik (bagi orang yang otaknya masih beres), sedangkan ujian tersebut dapat membentuk karakter manusia menjadi lebih bejat (bagi orang yang otaknya sudah korslet/tidak beres). Dari semua pemaparannya tentang kehidupan adalah sebuah ujian, Warren terus mengungkapkan kata “Anda” terlalu banyak dan ini membuktikan bahwa meskipun katanya, kehidupan itu harus dilihat dari sudut pandang Allah, tetapi kenyataannya, hidup tersebut lebih berorientasi kepada manusia ketimbang kepada Allah. Lagi pula, Warren tidak menyebut pengajaran bahwa ujian itu membuat kita menyangkal diri dan memuliakan Allah. Ini kelemahan pengajarannya. Kalau hidup sekedar ujian, semua orang mengetahuinya, tetapi kalau ujian Allah itu membuat kita terus rela menyangkal diri demi memuliakan Allah, hal ini tidak mungkin ditiru oleh orang-orang dunia, mengapa ? Karena orang-orang dunia tidak mengenal Pribadi Allah yang sejati, dan sudah barang tentu, mereka pun tak pernah mungkin akan dapat menyangkal diri dan memuliakan Allah, meskipun bibir mulut dan sikap mereka seolah-olah menampakkan mereka seorang yang “religius” dan “beribadah kepada ‘tuhan’”. Orang-orang dunia begitu mudah mengucapkan “memuji Tuhan”, “beribadah”, dll, tetapi sambil beribadah di dalam bulan tertentu, mereka tidak bisa menyangkal diri lalu memaksa orang-orang lain yang tidak sepaham dengan mereka untuk menuruti keinginan mereka, misalnya, harus menutup toko, plaza, dll selama bulan “suci” mereka. Inikah beribadah ? TIDAK. Ini penipuan ibadah, persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang berani menegur dan menyalahkan Kristus berbuat sesuatu di hari Sabat, padahal mereka sendiri pun juga ada yang melanggar hari Sabat. Alkitab sudah mengajarkan bahwa dari dulu sampai sekarang, kesalahan dan kemunafikan manusia itu tidak pernah habis, persis seperti yang diungkapkan dalam Pengkhotbah 1:9 (Terjemahan Baru), “Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.”
Kedua, bagi Warren, metafora kehidupan yang katanya dari Alkitab adalah kehidupan itu sebuah kepercayaan. Ia menjelaskan bahwa semua yang kita miliki adalah pemberian Allah dan harus dipertanggungjawabkan bagi Allah saja. Hal ini tentu tidak salah. Tetapi yang menjadi permasalahannya, di dalam poin ini, ia sama sekali tidak menunjukkan akibat tidak mempertanggungjawabkan anugerah Allah. Sebagai contoh, pada halaman 49-50, mengutip perumpamaan tentang talenta (Matius 25:14-29), ia hanya memaparkan bahwa hamba yang setia dalam tanggung jawab akan diberikan upah dan kepada hamba ini, Warren memaparkan bahwa ada tiga upah, yaitu peneguhan Allah (“Baik sekali perbuatanmu itu,”), promosi dan diberi tanggung jawab yang lebih besar dan terakhir (“aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar.”), perayaan (“Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.”). Warren tidak mengemukakan akibat negatif (hukuman) dari tidak mempertangugngjawabkan anugerah Allah, yaitu yang terdapat pada ayat 26-30, “Maka jawab tuannya itu: Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam? Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya. Sebab itu ambillah talenta itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh talenta itu. Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya. Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi."” Entah dengan alasan apa, Warren sengaja menghilangkan ayat terakhir ini (ayat 26-30) yang bagi saya perlu diajarkan untuk melihat keseluruhan perikop dan konteks yang ada, dan juga untuk mengajar orang Kristen untuk benar-benar mempertanggungjawabkan anugerah Allah dengan serius (tidak main-main). KeKristenan harus diajarkan secara seimbang yaitu pahala bagi mereka yang sudah menunaikan apa yang Allah inginkan dan hukuman bagi mereka yang mempermainkan anugerah Allah. Hal ini pula yang diajarkan oleh Yohanes 3:18 bahwa setiap orang yang percaya di dalam Kristus, mereka akan diselamatkan dan tidak turut dihukum, sebaliknya mereka yang tidak percaya di dalam Kristus, mereka telah berada di bawah hukuman.

Iman Kristen dan Musik-4

IMAN KRISTEN DAN MUSIK-4

oleh : Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.


Pada bagian 1-3 kita sudah membahas bahwa kebudayaan tidak bebas dari nilai moral. Tidak ada kebudayaan yang netral. Jika kita percaya kebudayaan bersifat netral maka konsekuensi logisnya adalah kita sebagai orang Kristen tidak perlu menjalankan mandat budaya, karena yang disebut mandat budaya adalah pengaruh filsafat Firman Tuhan yang dipancarkan dalam kebudayaan yang bersifat transformatif. Jika tidak relevan membicarakan apakah suatu kebudayaan merupakan suatu kebudayaan yang baik, kudus dan berkenan kepada Allah atau sebaliknya buruk, banyak dipengaruhi sifat dosa, merusak dsb, maka seluruh pembicaraan tentang transformasi kebudayaan adalah sia-sia dan juga tidak relevan.

Sebagaimana kita tahu, musik termasuk atau menjadi bagian dari kebudayaan manusia. Sama seperti di atas jika kita menerima pandangan musik netral sepenuhnya (hal mana sebenarnya sulit untuk dipertahankan dengan dasar alkitabiah) maka pembicaraan tranformasi kuasa Firman Tuhan di dalam musik juga tidak terlalu relevan. Yang paling banyak dipikirkan dalam pandangan seperti ini adalah: ya, beri saja teks firman Tuhan di dalamnya, maka musik otomatis akan mengalami transformasi. Pandangan seperti ini sebenarnya dangkal dan kurang bertanggung-jawab. Ini mirip dengan orang yang menggumulkan bagaimana mentransformasi dunia pekerjaan berdasarkan prinsip Kristen dengan mengadakan persekutuan kantor atau berdoa sebelum saya memulai pekerjaan.
[1] Pandangan seperti ini sayangnya banyak dianut oleh kaum Injili. Asal di dalamnya ada teks firman Tuhan, otomatis menjadi lagu Kristen yang baik dan memuliakan Allah.

Dalam tulisan yang lalu kita juga sudah membahas bahwa dengan menguji telos saja sebenarnya bersifat reduktif dan akhirnya salah. Setiap reduksi yang dipertahankan akan selalu membawa kerugian bagi kita dan orang-orang yang kita layani karena ini sama dengan menolak pertumbuhan yang sedang dikerjakan oleh Tuhan.
[2] Saya pikir sebagai orang Kristen, adalah lebih baik bagi kita untuk lebih mengikuti Alkitab daripada ajaran-ajaran dunia seperti utilitarianism dan pragmatism. Banyak ajaran-ajaran yang seolah-olah berasal dari Alkitab namun tanpa kita sadar sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh filsafat-filsafat dunia. Kita dapat memberikan satu argumentasi lagi dari Alkitab sendiri bahwa bagi Allah bukanlah hal yang basa-basi ketika Ia menuntut agar yang dipersembahkan kepadaNya adalah korban domba yang tidak bercela, yang tidak bercacat (Imamat 22:21). Di sini kita melihat bahwa bukan hanya tujuannya yang perlu diuji dan diperhatikan, demikian juga motivasi saja tidak cukup, melainkan juga termasuk apa yang dipersembahkan itu sendiri harus diuji. Tidak semua layak dipersembahkan kepada Tuhan.

Beberapa ini contoh dari firman Tuhan bahwa orang-orang saleh mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan:
· Abraham mempersembahkan roti bundar dari tiga sukat tepung yang terbaik (Kej 18:6)
· Yang terbaik dari buah bungaran hasil tanahmu haruslah kaubawa ke dalam rumah TUHAN, Allahmu. Janganlah kaumasak anak kambing dalam susu induknya (Kel 23:19)
· Yang terbaik dari buah bungaran hasil tanahmu haruslah kaubawa ke dalam rumah TUHAN, Allahmu. Janganlah engkau masak anak kambing dalam susu induknya (Kel 34:26)
· Apabila seseorang hendak mempersembahkan persembahan berupa korban sajian kepada TUHAN, hendaklah persembahannya itu tepung yang terbaik dan ia harus menuangkan minyak serta membubuhkan kemenyan ke atasnya (Imamat 2:1)

Dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang mengatakan bahwa apa yang kita persembahkan kepada Tuhan juga harus kita uji. Tidak cukup hanya dengan menguji asal tujuan dan motivasinya saja benar.

Sekarang pertanyaannya: bagaimana kita bisa menguji musik itu sendiri sebagai apa yang kita persembahkan kepada Tuhan? Karena sebagaimana sering dikatakan: Alkitab tidak membicarakan nada-nada. Memang tidak, dan juga tidak perlu, tapi Alkitab membicarakan tentang apa itu keindahan, filsafat keindahan menurut sudut pandang Alkitab dan bahwa seni tidak mungkin terlepas dari filsafat keindahan (atau filsafat ketidak-indahan :) yang ada di dalamnya. Bagian inilah yang bisa dibenturkan (baca: diuji berdasarkan firman Tuhan).

Dalam study saya pribadi saya mempelajari bahwa memang tidak ada satu-satunya jaman yang menghasilkan estetika musik yang alkitabiah. Kalau kita menerima ajaran Alkitab kita akan sangat berhati-hati uniformitas seperti diajarkan dalam modernism (hanya ada satu-satunya jenis musik yang benar dan Alkitabiah). Pandangan demikian bukan ajaran Alkitab karena Alkitab memberitakan tentang diversitas atau keaneka-ragaman. Allah Tritunggal adalah Allah di dalam tiga Pribadi, bukan satu-satunya Pribadi. Namun di sisi yang lain, kita juga tidak menerima pandangan pluralisme radikal yang mengatakan bahwa semua jenis musik dapat dipergunakan. Pandangan ini berasal dari filsafat kontemporer yang merupakan pendulum sebaliknya dari modernism. Kita tahu bahwa Alkitab memang membicarakan pluralitas tapi Alkitab memberitakan pluralitas yang terbatas. Menerima semua pluralitas, saya kuatir, sebenarnya hanya merupakan respon simetris dari kesalahan modernism. Dalam jaman seperti ini saya percaya salah satu karunia yang sangat penting adalah karunia membedakan bermacam-macam roh (I Kor 12:10). Tanpa karunia ini Gereja akan tersesat ke dalam pluralisme radikal, mengakomodasi semua pluralitas tanpa merefleksikan atau mengujinya apakah keaneka-ragaman itu dibenarkan oleh Firman Tuhan atau tidak.

Dalam musik berlaku prinsip yang sama. Tidak ada satu-satunya jenis musik yang benar dan Alkitabiah (modern uniformitas), sebaliknya juga tidak benar mengatakan semua jenis musik adalah benar dan kudus (unreflected pluralism kontemporer). Saya coba sharing dari beberapa karya musik di mana kita dapat menguji bahwa ada estetika yang dipengaruhi oleh Alkitab atau wahyu umum, ada juga yang sebenarnya dipengaruhi bukan oleh filsafat sekuler yang tidak setia kepada Alkitab. Dua tokoh yang coba untuk dinilai di sini adalah J.S. Bach dan John Cage.
[3] Ada beberapa argumentasi yang salah untuk menilai bahwa Bach pasti lebih baik daripada Cage, misalnya:[4] Bach adalah komponis Jerman dan Cage komponis Amerika.
Tanggapan: argumentasi ini tidak dapat diterima karena yang alkitabiah tidak ditentukan oleh ras atau bangsa tertentu. Yang dari Barat bisa alkitabiah bisa tidak, yang dari Timur bisa alkitabiah bisa juga tidak.
Bach artinya sungai kecil, dengan demikian lebih menyatakan kehidupan Kristen yang seharusnya mengalirkan berkat, sementara Cage artinya adalah kurungan alias tidak bebas, maka seperti belum ditebus. Tanggapan: penyelidikan ‘etimologis’ seperti ini tampaknya tidak terlalu berguna dan mengada-ada.
Bach dimulai dengan huruf B seperti kata “better” sementara Cage dengan huruf C seperti “chaotic”. Tanggapan: argumentasi ini lebih mengada-ada dan konyol.
Bach, sebagai seseorang yang hidup di jaman Barock lebih banyak menggunakan wig (rambut palsu) daripada Cage yang hidup di jaman kita. Tanggapan: wig (rambut palsu) sama sekali tidak berperan dalam komposisi yang alkitabiah atau tidak. Demikian kita dapat menambahkan beberapa argumentasi konyol yang lain, namun mungkin ada 1 argumentasi lagi yang mirip dengan yang di atas dan sebenarnya juga konyol, namun banyak diterima yaitu:

Bach adalah komponis jaman Barock, dengan demikian ia adalah tradisional sementara Cage adalah komponis kontemporer. Argumentasi ini konyol karena yang alkitabiah bisa terjadi di masa lampau maupun di masa sekarang, sementara yang rusak dan yang melawan Alkitab juga bisa terjadi di masa lampau dan juga masa sekarang. Perdebatan musik yang berkecimpung antara musik tradisional dan kontemporer sebenarnya membuang-buang tenaga yang seharusnya bisa dipergunakan untuk mengerjakan hal-hal yang lebih baik bagi Tuhan. Persoalannya bukan mengenai musik masa lampau dan musik kontemporer, melainkan pengujian estetis menurut terang firman Tuhan.

Seperti kita tahu, Bach yang rada old-fashioned itu masih menggunakan teknik komposisi polyphonic music dengan cantus firmus sebagaimana digunakan dalam jaman sebelumnya (Renaissance dan middle ages). Bach bukanlah satu-satunya komponis yang menggunakan teknik ini, malahan dia sendiri belajar hal ini dari komponis-komponis sebelum dia. D. Bonhoeffer (seorang teolog dan juga seorang pianis yang berbakat) pernah menjelaskan tentang kasih dengan mengatakan bahwa kasih kita kepada Kristus seperti cantus firmus sedangkan kasih kepada sesama adalah seperti polyphonic counterpoint yang dirajut berdasarkan cantus firmus itu. Apa yang dikatakan Bonhoeffer sebenarnya bukan dari pemikiran dia sendiri, melainkan yang terjadi lebih dahulu adalah estetika kristologis (Kristus sebagai fokus yang mempersatukan keaneka-ragaman) mewarnai penggarapan musik mulai dari abad pertengahan dan diteruskan sampai kepada Bach. Musik seperti itu indah (menurut pengertian Alkitab) karena dipengaruhi oleh estetika yang alkitabiah.

Yang dilakukan Bonhoeffer sebenarnya hanya menggunakan insight musical untuk menjelaskan teologinya, sementara insight musical itu sendiri dipengaruhi oleh pemikiran dari Alkitab. Selain Bonhoeffer, teolog yang kadang-kadang membicarakan integrasi antara teologi dan musik adalah Karl Barth, Hans Urs von Balthasar dan terutama belakangan ini Jeremy Begbie (Cambridge). Begbie berusaha untuk menelaah lebih banyak musical language untuk memberikan insights bagi teologi. Bagi saya pribadi, penarikan seperti ini sangat mungkin karena banyak karya musik dari tradisi Barat yang sangat dipengaruhi oleh estetika alkitabiah. Ini tidak menyatakan bahwa Barat lebih superior dari Timur, melainkan karena tradisi kebudayaan mereka banyak dipengaruhi oleh Alkitab sehingga kebudayaan yang dihasilkan juga memiliki kualitas yang tinggi.
[5] Di samping itu kita juga melihat bahwa di Barat juga banyak kebudayaan yang dihasilkan dari spirit yang melawan Tuhan (mis. violence, anti-otorian, egalitarian, materialism, konsumerism, hedonism etc), yang juga tercermin dalam karya seni mereka. Kebudayaan yang dipengaruhi oleh filsafat Firman Tuhan pasti lebih tinggi (lebih baik, lebih kudus, lebih indah, lebih membangun) daripada yang dipengaruhi oleh filsafat yang melawan Tuhan.

Sekarang kita coba melihat karya John Cage, juga dari Barat, misalnya karya ‘monumental’nya yaitu 4’33’’.
[6] Atau karya lain yang diberi judul HPSCHD di mana 7 pemain harpsichord sekaligus memainkan cuplikan dari karya Cage secara ‘kebetulan’ (chance-determined) ditambah dengan suara-suara elektronik yang lain, atau Imaginary Landscape No. 4 yang ditulis untuk 12 radio. Pada karya yang terakhir ini sekalipun Cage memberikan instruksi bagi para ‘pemain’ radio itu, ‘musik’ yang dihasilkan darinya tidak pernah mungkin bisa dikontrol (kita tidak tahu gelombang hari itu mengeluarkan bunyi apa). Ide “musical happenings” ini merupakan produk estetika postmodern non-intentionality (yang rusak dan melawan Alkitab). Karya seperti HPSCHD menggambarkan kompleksitas kehidupan (yang fragmented dan tidak perlu ada integrasi), suatu bentuk negasi atau perlawanan terhadap one single opinion, karena itu berarti dictatorship. Cage sendiri banyak dipengaruhi oleh estetika Taoisme dan Zen Buddhism. Seorang filsuf bahkan menelusuri kemiripan estetika Cage dengan filsafat dari Martin Heidegger.

Pengujian estetis yang sama kita bisa lakukan terhadap lukisan (abstract) expressionism dari Polluck misalnya atau expressionisme dalam musik Schoenberg, musik bi-tonality, demikian juga dengan jenis musik yang lain. Tidak ada yang bebas dari konsep estetika. Inilah yang membuat musik tidak mungkin netral.
[7]
Melakukan pengujian seperti ini selalu tidak mudah dan terutama di jaman yang serba instant, mau langsung jadi, tidak perlu banyak bergumul, over-simplifikasi etc, pengujian seperti ini sangat melelahkan dan dalam natur kita yang lemah kita lebih suka (saya juga!) mencari jalan yang mudah, jalan yang lebar, yang tidak perlu banyak bergumul, tidak perlu banyak belajar, tidak perlu banyak .... pikul salib. Sekarang banyak orang berpikir “atas nama pluralitas” kita melakukan ‘pemutihan’, penetralan segala sesuatu, namun Alkitab memerintahkan kita untuk “menguji segala sesuatu dan memegang yang baik” (I Tes 5:21).
[1] Tentunya tidak salah mengadakan persekutuan kantor atau berdoa sebelum bekerja, itu dapat menjadi hal yang menjadi berkat. Yang saya maksud adalah kalau kita mau memikirkan theology of work secara komprehensif, tidak cukup hanya dengan mengadakan persekutuan kantor saja (memasukkan life sphere ibadah dalam dunia pekerjaan). Pekerjaan itu sendiri harus menjadi suatu ibadah di hadapan Tuhan.
[2] Mengenai pandangan telos seperti yang banyak dianut saat ini sebenarnya merupakan pengaruh dari filsafat utilitarianism dan pragmatisme. Entah kita mau membicarakannya dalam konteks etika Kristen atau tidak, yang jelas ALKITAB membicarakan lebih daripada sekedar tinjauan teleologis. Yesus Kristus tidak hanya memiliki telos yang benar, Dia juga selalu mengerjakan serta mempersembahkan hal yang benar (ini bukan aspek telos tapi merupakan aspek yang lain), dan dia juga selalu memiliki motivasi yang benar. Tiga hal ini dicatat oleh Alkitab sendiri, terlepas dari etika membicarakan ini atau tidak.
[3] Untuk membereskan kesalah-pahaman pandangan karikatural bahwa semua musik ‘klassik’ pasti baik dan bermutu, perbandingan ini akan menyatakan bahwa tidak semua musik dari tradisi ‘klassik’ selalu baik dan membangun.
[4] bagi mereka yang sibuk dan terlalu serius, silakan bagian ini di-skip dan langsung saja pada argumentasi terakhir di akhir paragraf :)
[5] Menanggapi pernyataan Sdr. Jimmy tentang cultural elitist, saya pikir kita perlu membacanya dengan double perspective: di satu sisi para elitists bersalah karena kecenderungan menghina/merendahkan mereka yang memiliki kebudayaan yang lebih rendah karena ini sebenarnya merupakan penyangkalan dari teologia anugerah: “Apakah yang engkau miliki yang tidak engkau terima (dari Tuhan)?” Persoalan para elitists adalah kekurangan spirit inkarnasi; namun di sisi yang lain pandangan yang mengatakan bahwa kebudayaan tertentu memang higher dan lebih berkualitas/bermutu daripada kebudayaan yang lain adalah pendapat yang tidak salah. Mengatakan semua kebudayaan (musik termasuk di dalamnya) tidak memiliki perbedaan kualitas merupakan either ignorance atau penipuan diri.
[6] Tidak sulit untuk membayangkan karya ini: seorang performer berdiri di atas panggung selama empat menit tigapuluhtiga detik tanpa memainkan suatu nada. Yang terdengar di situ adalah mungkin suara audience yang sedang gelisah dan iri terhadap seorang musician yang makan gaji buta.
[7] Analogi bahasa seperti diusulkan oleh Sdr. Jimmy kurang memadai untuk menggambarkan ketidak-netralan musik/seni/culture. Tapi seandainya analogi ini (bahasa) tetap dipertahankan, kita tahu bahwa dalam bahasa apa pun di dunia ini ada kata-kata makian, kata-kata yang mengekspresikan kebencian yang berdosa, kata-kata yang menghujat dsb. Kata-kata atau kalimat-kalimat tersebut tidak mungkin tidak, harus dikuduskan dan tidak layak dipergunakan untuk memuji Tuhan. Bahasa pun (meskipun sekali lagi sebagai analogi untuk musik sangat lemah dan tidak memadai) ternyata tidak senetral yang kita pikirkan. Bahasa, sebagai salah satu modus dalam hidup manusia, tidak luput dari pencemaran dosa. Bahasa juga perlu dikuduskan oleh Firman Tuhan.

Renungan Natal 2007 (2) : INKARNASI : SUMBER HIDUP DAN SUMBER TERANG MANUSIA (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Natal 2007 (2)



INKARNASI : SUMBER HIDUP DAN SUMBER TERANG MANUSIA

oleh : Denny Teguh Sutandio



Nats : Yohanes 1:4-5, 9

“...Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya…. Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia. ”



Pada bagian ini, kita akan membahas kaitan Inkarnasi dengan datangnya Sumber Hidup dan Sumber Terang manusia.


Inkarnasi dan Sumber Hidup Manusia
Setelah menjelaskan tentang Firman (Logos) yang adalah Allah dan keterlibatan Sang Firman (Tuhan Yesus) di dalam Penciptaan, maka Rasul Yohanes menjelaskan bahwa di dalam Sang Firman itu ada hidup dan hidup adalah terang manusia (ayat 4). Di sini, kita memperhatikan bahwa selain Pencipta, Tuhan Yesus juga ada hidup (kekal). Di dalam Yohanes 14:6, kita menjumpai pernyataan Kristus sendiri bahwa Dia adalah jalan dan kebenaran dan hidup, tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa tanpa melalui Dia. Kehidupan yang ada di dalam Kristus menunjukkan bahwa Dia adalah Allah dan Sumber Hidup sendiri, yang daripada-Nya kita memperoleh hidup yang bermakna. Orang-orang di dunia baik sejak zaman modernisme sampai postmodernisme tidak memiliki makna hidup sendiri. Rasionalisme mengakibatkan manusia mengukur kebenaran dari sisi rasio manusia. Meskipun Rene Descartes bukan seorang atheis, tetapi Descartes tetap menitikberatkan peran serta rasio (yang dari Allah) sebagai penentu kebenaran. Rasionalisme menemui jalan buntu ketika Perang Dunia 1 dan 2 meletus yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa yang meninggal. Rasionalisme akhirnya digantikan oleh Romantisisme dan postmodernisme yang tidak lagi mengukur kebenaran dari segi rasio, tetapi dari segi emosi dan perasaan. Tidak heran, seorang tokoh romantisisme, F. Schleiermacher mengatakan bahwa agama hanyalah feeling absolute dependency (perasaan kebergantungan mutlak). Dari romantisisme, muncullah relativisme dan pluralisme di abad postmodern yang mengukur kebenaran itu berlaku hanya untuk masing-masing pribadi (subyektivitas kebenaran). Akibatnya, hidup mereka tidak memiliki arah yang pasti, mengapa ? Karena tidak ada standar kebenaran obyektif yang berkait dengan kekekalan Allah. Hidup yang tidak berkait dengan Sumber Kehidupan yang kekal, maka hidup itu tidak akan memiliki makna dan menjadi sia-sia. Pengkhotbah menyadari hal ini bahwa hidup tanpa Allah adalah hidup yang sia-sia (Pengkhotbah 11:9-12:13). Bagaimana dengan kita ? Sudahkah hidup kita berkait dengan Kristus sebagai Sumber Hidup kita ? Caranya ? Jadikanlah Kristus sebagai Tuhan, Raja dan Pemerintah di dalam hidup Anda, maka hidup Anda pasti berarti dan hidup kita akan dipimpin dan diluruskan-Nya (Amsal 3:6).


Inkarnasi dan Sumber Terang Manusia
Dari mana kita bisa memiliki hidup yang bermakna yang berkait dengan Kekekalan/Sumber Hidup tersebut ? Tidak ada jalan lain. Inkarnasi Kristus mengakibatkan semua umat pilihan-Nya di dalam Kristus menemukan makna hidup sejati dan hidup itu adalah terang manusia. Ada beberapa hal yang akan kita renungkan berkaitan dengan Sumber Terang Manusia ini :
Pertama, kaitan antara Hidup (kekal) dan terang manusia (ayat 4b). Kata “terang” (Yunani : phōs) dalam ayat ini berarti sinar/cahaya yang menerangi. Dengan kata lain, hidup yang ada di dalam Kristus adalah terang manusia. Artinya, sumber hidup yang ada di dalam Kristus memberikan terang/menerangi manusia yang hidup di dalam gelap. Di sini, ada kaitan erat antara Hidup (kekal) di dalam Kristus dan terang manusia. Ketika Kristus itu Pribadi Allah yang Hidup, maka ada harapan terang bagi manusia. Sebaliknya, ketika Kristus tidak hidup, maka manusia terus berada di dalam kegelapan. Berarti, ada dua kualitas hidup manusia. Pertama, hidup yang berada di dalam terang dan hidup yang berada di dalam kegelapan. Anak-anak Tuhan dapat menikmati terang di dalam hidupnya karena ada Kristus yang berkuasa di dalam hidup mereka. Di dalam terang yang Kristus berikan tersebut, mereka tidak lagi menjadi hamba dosa, tetapi mereka lebih mencintai apa yang Tuhan cintai dan membenci apa yang Tuhan benci. Kalau dulunya mereka memberontak terhadap setiap perintah Allah, sekarang, setelah terang Kristus itu masuk ke dalam hidupnya, maka mereka menjadi pelaku-pelaku firman Allah yang taat dan setia kepada panggilan dan perintah-Nya. Sebaliknya, hidup yang berada di dalam kegelapan adalah manusia yang terus memusatkan hidupnya hanya pada dirinya sendiri (humanisme), materi (materialisme), manfaat/daya guna (utilitarianisme), kesenangan (hedonisme). Akibatnya, hidup mereka terus dikuasai oleh kegelapan dan menemui jalan buntu yang tidak mereka sadari. Akhirnya, banyak dari mereka yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, karena STRES. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita juga memiliki terang Kristus di dalam hidup kita, di mana kita tidak lagi mendasarkan hidup kita pada kehendak kita, tetapi kehendak Allah yang berdaulat ?

Kedua, terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya (ayat 5). Terang manusia bukan hanya berkait dengan Hidup (kekal) di dalam Kristus, terang manusia juga bercahaya di dalam kegelapan. Terang manusia menerangi dunia yang gelap. Darimana asal terang manusia itu ? Terang manusia itu bersumber dari terang Kristus. Di dalam Injil Yohanes 8:12, Kristus sendiri berfirman, “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.” Kata “terang” yang dipakai di dalam Yoh. 8:12 sama dengan kata “terang” di dalam Yoh. 1:4 yaitu kata Yunani phōs. Berarti terang Kristus menjadi sumber yang daripada-Nya kita memperoleh terang hidup. Seperti terang cahaya matahari memantulkan cahayanya kepada bulan, lalu bulan memberikan “cahaya”nya kepada bumi, maka kita juga dipanggil untuk menjadi pemantul terang Kristus di dalam dunia yang gelap. Bagaimana kita menjadi pemantul terang Kristus di tengah dunia yang gelap ini ? Satu-satunya cara yang dapat kita lakukan yaitu mengikut Kristus. Injil Yohanes 8:12 mengatakan bahwa karena Kristus adalah terang dunia, maka barangsiapa yang mengikut-Nya, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup. Dengan kata lain, satu-satunya cara menjadi pemantul terang Kristus adalah kita HARUS mengikut Kristus. Mengikut Kristus dalam bahasa Yunani memiliki arti yang lebih dalam dari sekedar mengikut biasa. Mengutip pernyataan Pdt. Sutjipto Subeno, mengikut Kristus bisa diterjemahkan dengan kata ngintil dalam bahasa Jawa. Ngintil berarti mengikut terus tanpa bertanya apapun. Biasanya kata ini dikenakan pada seorang anak yang ngintil dengan ibunya, yaitu ikut terus ke mana ibunya pergi. Itulah mengikut Kristus. Kita mengikut Kristus dengan terus mengikuti ke mana Ia memimpin hidup kita, tanpa kita perlu bertanya apapun kepada-Nya. Selain itu, di dalam mengikut Kristus, sumber hidup kita adalah Kristus. Artinya, Kristus menjadi Teladan dan Sumber yang daripadanya kita hidup, bersikap dan berkata. Dengan kata lain, kita siap mengubah pola pikir, sikap, perkataan, tingkah laku dan tindakan kita yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya, lalu menggantinya dengan pola pikir, sikap, perkataan dan tingkah laku yang Kristus ajarkan dan inginkan. Kemudian, di dalam mengikut Kristus, kita harus siap bayar harga. Mengikut bukan perkara mudah, tetapi perkara yang sukar. Seperti contoh di atas, seorang anak kecil yang ngintil (dengan) ibunya adalah seorang anak yang harus siap menerima resiko ketika ia dibawa oleh ibunya ke tempat yang sulit, misalnya menyeberang jalan, dll. Hal demikianlah yang terjadi ketika Kristus memimpin hidup kita, Ia terkadang memimpin kita ke tempat-tempat yang mungkin kita tidak sukai, tetapi itu baik bagi kita untuk memurnikan iman kita di dalam-Nya. Ingatlah : pimpinan-Nya berbeda dengan kehendak dan keinginan kita. Pdt. Dr. Stephen Tong membedakan dua macam pimpinan-Nya yaitu pimpinan positif dan pimpinan negatif. Pimpinan negatif dari Allah TIDAK bermotivasi dan bertujuan negatif, tetapi positif, sehingga kita harus beriman di dalam-Nya bahwa Ia akan memimpin kita untuk mendewasakan kita di dalam iman yang benar. Dengan kata lain, mengikut Kristus berkenaan dengan mengabdikan diri sepenuhnya kepada Kristus dengan menjadikan Kristus sebagai Tuhan, Raja dan Pemerintah di dalam hidup kita.
Ketika kita sudah mengikut Kristus sungguh-sungguh, maka kita bisa menjadi pemantul terang Kristus yang bercahaya di tengah kegelapan dunia. Dan ketika terang manusia yang bersumber dari terang Kristus itu bercahaya, maka kegelapan tidak akan menguasai dunia lagi. Apakah ini berarti dunia tidak lagi gelap dan berdosa ? TIDAK. Arti pernyataan ini adalah terang manusia mengikis kegelapan dunia sekitarnya. Kalau dulu, kita hidup di dalam kegelapan dunia, ikut-ikutan narkoba, free-sex, dll bersama rekan-rekan kita, sekarang setelah kita mengikut Kristus sungguh-sungguh, maka kita menjauhi hal-hal yang melawan Allah itu, lalu kita diutus dan dipanggil untuk mempertobatkan bekas rekan-rekan kita yang masih berada di dalam lingkungan yang jahat tersebut. Itulah artinya kita menjadi pemantul terang Kristus yang menyinari kegelapan lingkungan sekitar dan ketika terang itu bersinar, maka kegelapan di lingkungan sekitar itu tidak menguasainya lagi. Dengan kata lain, ketika kita menjadi pemantul terang Kristus, kita menjadi saksi-Nya di tengah dunia yang gelap ini. Semua itu dapat dimungkinkan ketika Kristus berinkarnasi menjadi manusia (Yoh. 1:9). Tanpa inkarnasi, tak mungkin ada hidup, dan juga tak mungkin ada terang manusia yang mampu memancarkan cahaya di tengah dunia yang gelap.


Puji Tuhan, Allah mengutus Putra Tunggal-Nya, yaitu Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa kita. Inkarnasi Kristus adalah esensi Natal yang sesungguhnya, yang di dalamnya kita menemukan sumber hidup manusia sejati sekaligus sumber terang yang bercahaya di tengah dunia yang gelap. Tanpa Hidup dan Terang yang bersumber dari Kristus, dunia akan semakin lama semakin gelap dan akan menemui kebinasaan. Maukah kita menjadi pemantul terang Kristus di tengah dunia yang gelap ini ? Maukah kita menjadi saksi-Nya ? Biarlah renungan singkat mengingatkan dan menggugah semangat kita untuk menjadi saksi Kristus demi kemuliaan-Nya. Amin. Soli Deo Gloria. Solus Christus.

MUNAFIK (Ev. Yadi S. Lima, M.Div.)

MUNAFIK

oleh : Ev. Yadi S. Lima, M.Div.



Dalam hidup kita ada orang-orang yang termasuk 'orang dalam' dan 'orang luar'. Ada orang-orang tertentu yang sangat dekat dengan kita, sementara sebagian lain tetap atau masih berada di luar lingkaran sobat-sobat akrab. Orang-orang 'dalam' itu biasanya tidak begitu saja menjadi 'orang dalam.' Kita dapat mengingat bahwa pada masa yang lampau mereka ini pernah berada di 'lingkaran luar.' Orang yang paling dekat dengan kita sekalipun (katakanlah istri atau pacar) dulunya adalah orang asing. Ada tahap-tahap menuju keakraban. Kita dapat mengingat-ingat perubahan-perubahan apa saja yang terjadi ketika seseorang menjadi makin akrab, dekat, dan intim dengan kita. Saya mengajak kita mengamati empat perubahan yang terjadi ketika suatu relasi bertumbuh menjadi semakin dekat.
· Makin kelihatan aslinya. Makin kita dekat dengan seseorang, makin tidak 'jaim' (jaga image) - lah kita. Kita merasa cukup aman untuk menampilkan diri kita yang sesungguhnya tanpa pasang kuda-kuda sama sekali. Kita berani ta mpil dan bersikap apa adanya dan 'seenaknya' dalam arti yang tidak harus negatif. Berani jadi diri sendiri tanpa takut diejek, dikritik atau dihina. Akhirnya orang-orang yang paling dekat dengan kita menjadi orang-orang yang paling kenal sisi jelek kita. Sisi kelam kita yang memalukan hanya kita terlihat oleh orang dalam. Begitu juga sebaliknya, kita mengenal kejelekan teman-teman dekat kita lebih daripada orang lain. Penyebabnya adalah kita tidak mau dipandang buruk atau dihina. Ini membuat kita melakukan manajemen citra diri sedemikian rupa sehingga publik tidak melihat wajah asli kita yang tak seindah wajah yang tampil di publik.
· Makin empatik dan identik. Makin dekat seseorang dengan diri kita, maka kerugian atau kesakitan orang itu menjadi kesakitan dan kerugian kita juga. Kesenangan dia menjadi juga kesenangan saya. Misalnya: Kalau anak saya tida k naik kelas maka saya bisa ikutan sedih, kecewa dan malu, tapi kalau anak tetangga yang tidak naik kelas saya tidak peduli. Saya peduli dan ikut sedih atau senang karena 'sang dia' sudah menjadi sebagian dari 'sang saya'. "Dia itu kan anak saya sendiri", "istri saya sendiri", "mobil saya" dan lain-lain.
· Take for granted. Semakin kita dekat dengan seseorang semakin kita menganggap perbuatan baik yang dilakukannya pada kita adalah hal yang biasa, sudah seharusnya dan sepatutnya. Kebaikan dan perhatian seseorang yang sudah bertahun-tahun dekat dengan kita (katakanlah is tri atau suami) menjadi kehilangan keistimewaannya. Kita tak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang spesial. Fenomena ini paling jelas terlihat ketika kebaikan itu mendadak berhenti, kita menjadi kesal dan sewot. Kita lupa bahwa pada mulanya kita sama sekali tidak berhak untuk mendapatkan kebaikan itu. Misalnya: Tuhan memberkati kita dengan uang yang banyak selama puluhan tahun, tiba-tiba kita jatuh miskin dan dililit hutang, lalu kita kesal mengapa Tuhan tidak memelihara. Kita lupa bahwa pemeliharaan yang puluhan tahun sebelumnya adalah berkat yang kita tak layak terima.
· Seenaknya. Ada dua konotasi dari kata 'seenaknya.' Positif dan negatif. Positif jika 'seenaknya' berarti 'rileks' atau 'tidak tegang', negatif jika 'seenaknya' berarti 'sembarangan' dan 'sembrono'. Di satu sisi kita merasa rileks ketika berada di antara orang-orang dekat, tetapi di sisi lain ini mengandung bahaya. Apa bahayanya? Sikap tidak sungkan ini bisa jatuh kepada fenomena memberikan yang terburuk dan asal-asalan kepada orang-orang dekat dan justru bersikap lebih hati-hati dan hormat kepada orang luar. Setiap kita pernah mengalami bahwa kita cenderung lebih hati-hati dan menjaga perasaan lawan bicara kita ketika mereka masih asing (apalagi jika kepentingan kita dipertaruhkan di sana). Tetapi kita cenderung lebih kasar dan tidak sabaran kepada anggota keluarga sendiri atau pembantu di rumah.

Dari Markus 6:1-6 kita dapat melihat satu contoh fenomena 'orang-dalam-orang-luar' ini. Yesus yang begitu pandai, begitu mempesona, dan luar biasa berkuasa tidak diterima oleh teman-teman satu kampungnya, oleh saudara-saudaranya sendiri yang telah mengenal Yesus sejak kecil. Di mana letak kesalahannya? Apakah Yesus memiliki sifat jelek yang hanya diketahui orang-orang terdekat-Nya (seperti kebanyakan kita) sehingga sulit menerima kotbah-Nya? Ataukah memang manusia cenderung tidak puas, bahkan brutal kepada orang-orang dekat? Mengapa manusia sulit untuk memberikan penghargaan dan penghormatan kepada orang-orang yang paling dekat?
Ada 3 penyebab yang saling berkaitan, yaitu:
· Kita ini pada dasarnya egois dan kejelekan ini paling terlihat pada saat kita berhubungan dengan teman atau saudara paling dekat. Ketika hubungan menjadi semakin akrab dan kita tak sungkan-sungkan lagi menjadi diri sendiri, ketika topeng-topeng mulai dilepas, saat itu biasanya teman kita makin menyadari ba hwa diri kita tak sebaik kelihatannya. Diri kita yang asli selalu lebih buruk daripada yang terlihat sekilas. Ini menyebabkan kita tidak ragu-ragu lagi untuk secara blak-blakan mengutarakan ketidak-puasan atau kekesalan kita. Kita juga semakin tak sungkan lagi menuntut ini-itu dari teman dekat kita. Di sini egoisme kita makin jelas terlihat. Kita ini pada dasarnya mau menang sendiri dan seenaknya. Inilah esensi dari kejatuhan manusia dalam relasi terhadap sesamanya. Setelah kejatuhan manusia dengan berbagai cara cenderung ingin menguasai sesamanya. Pria ingin menguasai istrinya, begitu pula dengan sang istri yang juga punya cara sendiri untuk dapat menguasai suaminya. Bahkan anak-anakpun punya cara untuk menguasai orang tua dan guru mereka.

· Kedekatan seringkali menyebabkan hilangnya batas-batas Saya-Engkau. Hal inilah yang menyebabkan kita sulit untuk sungguh-sungguh menghormati mereka yang terlalu dekat. Martin Buber membagi relasi antar manusia dalam kategori I-and-It, I-and-I, dan I-and-Thou. Kategori yang paling rendah adalah I-and-It. Ini adalah relasi manusia dengan benda alam dimana dia hanya berguna jika melayani kepentingan saya. Yang paling tinggi adalah I-and-Thou dimana saya berelasi dengan engkau sebagaimana engkau adanya bukan sebagaimana engkau yang saya inginkan. Ketika kita berelasi dengan Tuhan atau dengan orang-orang yang dekat, kita seringkali sampai pada satu tahap di mana kita tak lagi menghormati batas-batas antara Saya-Engkau. Menyatunya Engkau dengan Saya ini mengandung bahaya kita akan memperlakukan Engkau sebagai Saya. Kita akan memproyeksikan si Saya pada diri si Engkau, dan dengan demikian kita menjajah sang Engkau dengan meniadakan identitasnya. Engkau kini berada (exist) sebagai ekstensi dari Saya. Kamu ada demi Saya, untuk Saya, dan ole h Saya. Dalam kondisi seperti ini jika kita mengasihi seseorang sebenarnya bukan dia ada yang kita kasihi tapi diri kita yang berada pada orang itulah yang kita kasihi. Ini bukan mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri sendiri (love others as you love yourself), tetapi mengasihi sesama sebagai diri sendiri (love others as yourself). Dengan begini kita tidak mengasihi 'dia' pada dirinya sendiri tetapi kita mengasihi 'kepentingan' dan 'kebutuhan' saya di dalam dia. Inilah penjajahan Sang Dia oleh Sang Saya. Mengapa kita cenderung lebih sensitif alias mudah tersinggung oleh orang dekat ketimbang oleh orang luar? Inilah bukti bahwa diam-diam kita memberlakukan relasi I-and-I kepada orang dekat. Kita pikir karena dia dekat maka dia harus mengerti saya, dan itu bikin saya naik darah kalau dia tak pengertian.

Fenomena konflik dengan orang dekat ini sebenarnya mencerminkan esensi dasariah dari keberdosaan kita, yaitu: egoisme/self-centeredness (sebagai lawan dari altruisme). Dari bayi sampai tua ada dorongan kuat dalam diri kita untuk menjajah orang lain. Kita tidak puas ketika mereka menjadi seperti yang kita tidak suka. Dengan kata lain kita tak memberikan ruang bagi orang lain untuk menjadi dirinya sendiri (apalagi jika dia adalah orang dekat saya, makin dekat, makin dia jadi korban objektivikasi kita, "Mama nggak peduli kalau anak orang lain mau jadi seniman, tapi mama pasti nggak setuju kamu masuk jurusan senirupa, mau jadi apa kamu nanti?"). Kita ingin keluarga kita, teman-teman kita, tempat kerja kita, lingkungan usaha kita, negara kita, bahkan selu ruh semesta alam (dan Tuhan) menjadi seperti yang kita mau. Kita ingin menjadi penguasa semesta karena kita ingin memaksakan relasi I-and-I atau I-and-It. Tetapi ini tidak mungkin karena Tuhan menciptakan dunia ini plural. Tuhan menciptakan keberagaman. Adanya keberbedaan sejak dari mula adalah ide dari Tuhan sendiri. Kita tidak bisa mengingkari fakta bahwa manusia yang lain itu bukan saya sehingga saya sesungguhnya tak berhak (dan juga seringkali tidak berdaya) untuk merampas hak mereka untuk menjadi berbeda dari keinginan dan harapan saya.

Sebenarnya dorongan untuk berkuasa dan menjajah yang lain (baik dengan cara yang jelas terlihat maupun halus) seperti ini adalah manifestasi dari keinginan terpendam untuk 'menjadi seperti Tuhan (bukan serupa Tuhan)'. We want to be God. Kita lupa bahwa manusia yang lain dan semesta ini bukan berada untuk saya, tetapi untuk kemuliaan Tuhan. Anak saya bukanlah milik saya yang harus berada untuk menyenangkan saya, istri/suami saya bukanlah milik yang harus menjadi seperti yang saya suka, begitu pula dengan karyawan, negara dll, mereka semua ini berada untuk Tuhan. Tuhanlah yang mencipta kan mereka (dan diri kita sendiri) untuk diri Tuhan. Anak kita lahir ke dunia bukan untuk membuat hidup kita lebih semarak, BUKAN. Anak kita BUKAN milik kita. Dia milik Tuhan yang berada di sini untuk melaksanakan kehendak Tuhan, mewujudkan misi Tuhan, demi kemuliaan Tuhan. Bukan untuk memenuhi cita-cita saya sama sekali. Bahkan diri kita sendiri adalah milik Tuhan, bukan milik diri sendiri. Ada banyak salah kaprah yang mengira bahwa kita memiliki hidup, waktu dan tubuh ini sampai dengan waktu kita menyerahkan hak kepemilikan pada Yesus. SALAH. Diri kita ini sudah jadi milik Tuhan sejak kita ada. Mengapa? Karena Tuhanlah yang membuat kita ada. Kita ini tadinya tak ada. Setiap kita musti sadar hal itu. Sejak penciptaan kita sudah milik Tuhan, hanya saja kita tak mengakui kepemilikan itu, kita berandai-andai kitalah tuan atas diri kita. Jadi apa artinya saya menyerahkan hidup pada Kristus? Waktu kita menyerahkan hidup pada Kristus kita menga kui kepemilikan Tuhan atas hidup kita. Ini bukan berarti baru pada saat itu Tuhan menerima hibah, kebaikan hati dari kita yang mau merelakan hidup disumbangkan kepada Kristus. Bukan. Penyerahan kita hanyalah pengakuan hak yang memang sejak awal sudah ada di tangan Tuhan. Kita sama sekali tak ada jasa di sini. Sama seperti penduduk liar yang sadar tanah tempat tinggal mereka adalah milik negara dan dengan damai akhirnya mau pindah ke lahan baru. Mereka sama sekali tak berjasa baik, mau sumbang tanah kepada negara. NO! Mereka cuma akhirnya berbalik dari kesalahan mereka. Itu saja.
KESIMPULAN
Mencintai orang lain sebagaimana adanya mereka terlepas dari harapan-harapan dan tuntutan keinginan kita adalah panggilan Tuhan yang sudah ditetapkannya sejak kekal, tetapi kita yang sudah menjadi gila dalam dosa ini telah menganggap diri sebagai Tuhan. Kita anggap orang lain harus hidup demi memenuhi harapan saya dan saya tersinggung kalau dia tidak melakukannya. Mengapa hal begini lebih menonjol pada relasi kita dengan orang dekat? Karena dengan orang dekatlah kita lebih berani terbuka menjadi diri sendiri, dan diri kita adalah diri yang cenderung egois. Setelah kita sadar, masalahnya belum selesai. Bagaimana saya mampu mengatasi kelemahan ini? Bagaimana saya mampu mengasihi? Bagaimana kita yang egois ini dapat menyangkal diri, hidup bagi Tuhan dan mengasihi orang lain?

Intisari berita Kristen adalah Tuhan sudah datang menolong kita yang tak mampu menolong diri sendiri dan sedang berjalan menuju maut ini. Kita lemah, tapi Kristus kuat. Pandanglah pada Yesus! Maka kita akan sadar betapa miskin dan busuknya kita! Dia Allah yang memberi contoh bagaimana mengasihi 'yang lain'. Manusia tak pernah benar-benar menangkap keinginan hati-Nya yang merupakan posibilitas terbaik bagi sejarah dan semesta. Tetapi Ia yang selalu kecewa ini tetap mau mengasihi kita orang berdosa. Bahkan Dia mengasihi kita sampai mati di tangan kita! Kristuslah yang menjadi sumber kekuatan kita. Semakin kita renungkan pengorbanan Kristus dan betapa besar kasih-Nya kepada kita, semakin kita bergerak untuk mencintai orang lain sebagaimana Yesus mencintai diri kita. Kekuatan yang menggerakkan itu bukan berasal dari keinginan kita, tetapi dari tindakan Tuhan yang menggerakkan.

Jadi apa yang harus saya lakukan? Renungi relasi saudara dengan orang dekat, terutama yang lebih lemah dari saudara, seperti anak atau pembantu. Di sinilah diri kita yang sebenar-benarnya terlihat nyata, karena kita tak segan lagi bersikap egois. Nah setelah menyadari dosa kita ini saya berharap saudara bertobat dan minta tolong kepada Kristus. Dia akan menolong kita dalam setiap langkah kita mau untuk taat pada-Nya. Dalam langkah-langkah ketaatan kecil setiap hari inilah Kristus akan mengubah kita semakin mampu mengasihi, serupa Dia. Jika gagal terus minta tolong pada Tuhan dan coba lagi. Jangan pernah menyerah pada dosa karena sesungguhnya dosa sudah ditewaskan oleh Kristus di kayu salib!
(Naskah ini pernah saya bawakan sebagai kotbah di MRII Pondok Indah)

Sumber : www.terangdunia.com



Profil Ev. Yadi S. Lima :
Ev. Yadi S. Lima, M.Div. adalah Pembina Pemuda di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Pondok Indah, Jakarta. Beliau juga melayani sebagai Asisten Dosen di Institut Reformed, Jakarta. Beliau meraih gelar Sarjana Theologia (S.Th.) dan Master of Divinity (M.Div.) dari Institut Reformed, Jakarta.

Martir Kristus-7 : JOHN & ELIZABETH FREEMAN (dihukum mati di India--1857)

Martir Kristus-7



JOHN & ELIZABETH FREEMAN
(dihukum mati di India – 1857)


Pemberontakan India di tahun 1857 adalah suatu pemberontakan oleh orang-orang “Agama Lain” dan kaum Brahmana (kasta tertinggi dalam Hindu) melawan pemerintah Inggris dan khususnya orang-orang Kristen. Pemberontakan tersebut merenggut delapan nyawa misionari Amerika, termasuk John Edgar Freeman dan istrinya Elizabeth dari lembaga Misi di Futtehgurh.

Misi di Futtehgurh dimulai 20 tahun sebelumnya dan yang termasuk di dalamnya sebuah panti asuhan dan sekolah Kristen. Ketika lagi dan lebih banyak lagi orang-orang India datang kepada Kristus dalam beberapa tahun, daerah di sekitar lembaga misi tersebut menjadi sebuah desa Kristen.

John Freeman berhasil dengan misi pelayanannya. Selama tahun pertama di India, ia mengalami kehilangan yang besar atas kedua anak perempuannya dan segera setelah itu disusul dengan istrinya. Seorang pengamat menulis bahwa “pelayanan penghiburan” John selama masa kegelapan adalah “menunjukkan kemuliaan dan kuasa dari dalam, pemberian dan penguatan dari atas.”

John Freeman bertemu dengan istri keduanya, Elizabeth, ketika ia pulang sementara waktu ke Amerika. Surat-surat Elizabeth dari India menggambarkan selera humor dan suatu kemampuan spesial dalam menginjil dan mengajar. Elizabeth dikuatkan oleh anak-anak yatim yang ia ajar Firman Tuhan untuk tetap tinggal di desa Kristen misi tersebut dan menikah.

Dalam bulan-bulan terakhir sebelum kematian martir mereka, John dan Elizabeth mendengar bermacam-macam laporan mengenai “pemberontakan” di bagian lain India ; yang mana seluruh jemaat Tuhan dibantai. Mereka mengkhawatirkan jemaat mereka yang merupakan penduduk asli, tetapi mereka terus-menerus memperbaharui harapan mereka di dalam Tuhan. Di saat-saat terakhir, kelompok yang terdiri dari delapan misionaris Futtehgurh meninggalkan desa dengan perahu menyusuri Sungai Ganges, walaupun demikian mereka mengalami penyerangan yang dilakukan oleh orang-orang desa dan tentara yang beringas dari kedua sisi tepi sungai. Akhirnya, air yang dangkal menghalangi perahu mereka untuk bergerak lebih jauh, dan mereka tergelincir ke dalam sebuah pulau di Cawpore.

Selama empat hari, mereka berhasil selamat di pulau tersebut sampai akhirnya ditangkap oleh orang-orang “Agama Lain”. Mereka lalu diikat dan dipaksa berjalan hingga kelelahan menuju suatu desa terdekat. Pada tanggal 13 Juni 1857, mereka ditembak mati pada pukul 7 pagi, di hadapan regu tembak.

Sudah jelas, orang-orang Kristen ini disiapkan untuk “menyerahkan hidup bagi Kristus dan jika perlu demi rencana-Nya”, dan mereka telah membayar harganya. Dalam surat terakhirnya, Elizabeth Freeman menulis, “Aku terkadang berpikir kematian kita akan membawa kebaikan yang lebih lagi daripada yang kita lakukan selama hidup ; jika demikian, biarlah ‘kehendak-Nya yang jadi.’ Haruskah aku diminta untuk menyerahkan hidupku, jangan bersedih saudari terkasih, bahwa aku datang ke sini, dengan sukacita yang luar biasa aku akan mati bagi-Nya yang menyerahkan hidup-Nya demi aku.”



Sumber :
Buletin Kasih Dalam Perbuatan (KDP) November-Desember 2007 halaman 12.


Diketik ulang oleh : Denny Teguh Sutandio.