28 May 2010

HIDUP HANYA SEKALI! (Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.)

HIDUP HANYA SEKALI!

oleh: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.




“Tidak ada seorang pun yang pernah benar-benar hidup sampai ia menemukan sesuatu yang untuknya ia layak mati”
(Martin Luther King Jr.)



Judul di atas rasanya cukup akrab di telinga kita. Ketika seorang vegetarian diajak makan ayam panggang atau seorang yang berhemat diajak ngelencer ke luar negeri oleh saudaranya, kalimat itu biasanya muncul. Hidup hanya sekali, jadi nikmatilah semua yang ditawarkan hidup! Inilah makna pertama dari ungkapan ini.

Makna kedua juga tidak kalah umum. “Hidup hanya sekali” sering kali dipakai oleh mereka yang ingin mengisi kehidupan dengan berbagai pengalaman yang menantang. Mereka bosan rutinitas. Hidup hanya sekali, jadi cobalah hal-hal baru walaupun berisiko. Seorang ahli kepemimpinan pernah berkata, “kapankah Anda terakhir kali melakukan hal-hal untuk pertama kali?” Jadi, cobalah usaha-usaha baru, terobosan-terobosan baru dalam kehidupan. Jika perlu banting setir dalam bisnis, ya jangan ragu; jika mau pindah tempat kerja ya lakukan saja daripada karatan di tempat lama; jika mau ganti pacar ya tidak apa-apa, daripada bertahan karena sungkan. Hidup hanya sekali, jadi cobalah hal-hal baru walaupun berisiko! Itulah makna kedua terhadap pernyataan ini.

Adakah yang salah dengan dua pemaknaan di atas? Tidak ada! Asalkan terkendali dalam kerangka kebenaran, menikmati kehidupan justru merupakan salah satu nasehat Alkitab (bdk. Pkh. 2:24-25).

Pemaknaan kedua bahkan diperagakan oleh tokoh-tokoh Alkitab. Musa keluar dari comfort zone dan menjadi pemimpin Israel setelah 40 tahun jadi gembala; Nehemia meninggalkan kenyamanan istana demi membangun tembok Yerusalem; Matius meninggalkan jabatan penarik pajak dan menjadi murid Yesus; Petrus berangkat dari penjala ikan menjadi penjala manusia. Jelaslah, Alkitab penuh dengan kisah orang-orang yang melakukan terobosan-terobosan kehidupan dalam rangka mentaati Allah.

Nah, masalah memang bisa muncul karena fakta keberdosaan manusia cenderung menyelewengkan moto “hidup hanya sekali” ke luar batas kebenaran. Hidup hanya sekali, sering kali berubah menjadi hedonisme yaitu hidup untuk mengejar kenikmatan. Di sisi lain, “hidup hanya sekali” jadi cobalah hal-hal yang baru, tidak jarang berubah menjadi dorongan melakukan hal-hal yang liar walaupun banyak yang menyebutnya “kreatif”; kacau walaupun banyak yang menyebutnya “seni”; dosa walaupun diberi label “manusiawi.” Batas-batasnya tentu saja dapat diperdebatkan, namun hati nurani yang murni-diterangi Allah, sering kali tidak dapat menipu diri sendiri.

Jadi, sering kali moto “hidup hanya sekali” memang berubah menjadi sebuah filsafat yang egosentris dan mendorong dosa beranak cucu bagi pemegang moto itu.

Walaupun demikian, “hidup hanya sekali” bisa dipahami dalam makna yang amat berbeda!

Hidup hanya sekali jelas menyiratkan sebuah kesempatan yang terbatas. Bagi para materialis hal itu jelas berarti bahwa “time is money”, dan bagi para hedonis, “time is pleasure”. Tetapi Alkitab mengajarkan dengan jelas bahwa waktu bukan uang dan tidak identik dengan kesenangan.

Sebaliknya, Alkitab mengajarkan bahwa hidup yang sekali ini haruslah dipakai sebagai kesempatan untuk menjalankan visi Allah, yaitu suatu rencana khusus yang untuknya Allah telah menciptakan kita. Yesus sendiri, Sang Allah dalam rupa manusia pernah hidup di bumi dan menggenapi visi Bapa dengan misi-Nya, mati di atas kayu salib. Tidak heran ketika mati Ia berkata “sudah selesai” (Yoh. 19:30). Paulus ketika mendekati ajalnya berkata, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2Tim. 4:7). Hidup Yesus dan Paulus hanya sekali dan mereka memakainya secara penuh untuk menggenapkan rencana Allah. Sesungguhnya kehidupan seperti itulah yang akan mendatangkan “kenikmatan-kegairahan” dan sekaligus terobosan dan risiko besar dalam hidup kita.

Pendeta sekaligus aktivis Martin Luther King Jr. pernah menyatakan, “No person ever really lives until he has found something worth dying for.” Memang, manusia tidak akan benar-benar hidup kecuali ia telah menemukan sesuatu yang untuknya ia rela mati. Saya percaya penuh bahwa hal itu adalah visi dari Allah. Tanpa menangkap visi Allah, hidup kita yang hanya sekali ini menjadi mirip dengan sebuah peragaan busana, panggung sandiwara atau kisah serial sinetron yang berujung pada kuburan masing-masing. Masalah demi masalah datang dan kita seperti pemadam kebakaran yang sibuk dengan masalah-masalah tersebut. Saya telah mengamati bahwa bagi mereka yang tidak punya visi, masalah kecil dipandang besar atau dibesar-besarkan; sedangkan mereka yang memiliki visi benar-benar menghadapi masalah besar bersama Allah dan tidak pusing dengan urusan-urusan sepele dan suara-suara bising dari mereka yang tidak punya visi.

Orang yang menggenapi visi Allah juga ditandai gairah sehingga hidupnya akan tampil seperti obor yang menyala singkat atau lilin yang menyala lebih panjang. Visi Allah, sebuah peran spesifik yang Allah ingin kita kerjakan di dunia ini, sungguh membuat hidup benar-benar hidup (rokok membuat hidup lebih redup! Herannya ada iklan rokok yang bicara tentang visi). Visilah yang membuat Martin Luther King berjuang melawan diskriminasi terhadap orang kulit hitam, Wilberforce menentang perbudakan, Bunda Theresia merawat orang terbuang di Kalkuta dan Billy Graham menolak jadi capres Amerika karena lebih memilih tetap menjadi penginjil.

Mereka yang menghidupi visi Allah, benar-benar hidup dan bukan mayat hidup. Tidak percaya? Lihat saja wajah mereka yang bervisi, mereka penuh dengan gairah, sukacita dan bukan sinisme, kekecewaan,dan kepahitan. Akhirnya, hidup hanya sekali, pastikan Anda menemukan visi Allah yang untuknya Anda rela mati? Selamat merenung.



Sumber: e-mail yang dikirim langsung dari penulis



Profil Penulis:
Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau mendapat sertifikat dari Ravi Zacharias International Academy of Apologetics, India.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio