03 May 2012
Bagian 1: Alkitab: Firman Allah dan Tulisan Manusia
APAKAH ALKITAB ITU?
Bagian 1: Alkitab: Firman Allah dan Tulisan Manusia
oleh:
Denny Teguh Sutandio
A.
Alkitab: Wahyu Allah
Di titik
awal, kita perlu mengerti bahwa Alkitab adalah wahyu Allah. Wahyu Allah berarti
penyataan diri Allah kepada manusia. Di dalam theologi Reformed, Allah
menyatakan diri-Nya dalam dua bentuk dan kepada dua macam orang, yaitu: wahyu
umum Allah (berupa alam, sejarah, dan hati nurani yang ada di dalam setiap
manusia) yang ditujukan kepada semua orang tanpa kecuali dan wahyu khusus Allah
(berupa Kristus dan Alkitab) yang ditujukan hanya kepada orang-orang pilihan
Allah. Nah, wahyu umum Allah diresponi (atau dimanifestasikan) oleh manusia
berdosa dengan menghasilkan agama, ilmu, dan kebudayaan. Karena manusia telah
jatuh ke dalam dosa, maka otomatis respons manusia terhadap wahyu umum Allah
juga mengandung bibit dosa, sehingga melalui agama, ilmu, dan kebudayaan,
manusia tidak dapat mengenal Allah dengan tuntas. Sebelum dunia dijadikan,
Allah memilih beberapa manusia untuk menjadi anak-anak-Nya (Ef. 1:4) dan kepada
mereka sajalah, Ia menyatakan diri-Nya secara khusus yaitu melalui Kristus dan
Alkitab, Melalui kedua sarana inilah, kita sebagai anak-anak Allah dapat
mengenal Allah dengan tuntas.
Analoginya
demikian. Di Indonesia, kita sudah pasti mengetahui tentang Presiden SBY
(Susilo Bambang Yudhoyono). Kita mengetahui sosok pribadi beliau dari televisi
dan surat kabar tentang pemerintahan, istri, anak-anak, masalah yang dihadapi
beliau, dll. Nah, pengetahuan kita ini pasti adalah pengetahuan umum di mana
pak SBY menyatakan dirinya secara umum kepada semua orang baik melalui media
massa maupun media elektronik. Namun, kita tentu saja tidak mengetahui detail
bagaimana hubungan SBY dengan istrinya, apa makanan favoritnya, dll, karena
hal-hal khusus tersebut tidak dinyatakan kepada semua orang, namun hanya kepada
orang-orang terdekatnya, misalnya istri atau anak-anaknya. Kalau kita ingin
mengenal pak SBY lebih khusus, ya, silahkan bertanya kepada istri atau
anak-anaknya.
Pertanyaan
selanjutnya, bagaimana kita mengetahui bahwa Alkitab itu diwahyukan Allah? Di
dalam kitab-kitab PL, kita mendapati frase, “Beginilah Firman Tuhan…” (Kel.
4:22; Yos. 24:2; 1Sam. 10:18; Yes. 10:24; Ul. 18:18-20; Yer. 1:9)[1] atau “Firman
Tuhan kepada…” (Kej. 4:6, 9, 15: 15:1, 4, 5, 7, 9, 13; 25:23; Kel. 4:3, 4, 6,
dst) atau “demikianlah firman Tuhan” (Kej. 22:16; dst). Di dalam kitab
nabi-nabi di PL pun, perkataan, “datanglah Firman Tuhan” atau sejenisnya muncul
di nats-nats: Yesaya 1:1; Yeremia 1:1-2; Yehezkiel 1:1-3; Hosea 1:1; Yoel 1:1;
Obaja 1:1; Yunus 1:1; Mikha 1:1; Nahum 1:1; Habakuk 1:1; Zefanya 1:1; Hagai
1:1; Zakharia 1:1; Maleakhi 1:1.
Di dalam
PB, Paulus mengklaim bahwa apa yang dia tulis berasal dari Allah (1Kor. 14:37).
Di kitab lain di PB,
surat-surat Paulus pun dianggap sebagai firman Allah (2Pet. 3:16). Prof. Wayne
Grudem, Ph.D. memberikan argumentasi lain bahwa PL dan Injil juga diilhamkan
Allah, yaitu di 1 Timotius 5:18, Paulus mengatakan, “Janganlah engkau
memberangus mulut lembu yang sedang mengirik,” (mengutip dari Ul. 25:4) dan “seorang pekerja
patut mendapat upahnya.” (mengutip dari Luk. 10:7).[2]
Surat Petrus pun dianggap firman Allah dan dikutip oleh Yudas di Yudas 1:18
(bdk. 2Pet. 3:3). Dan terakhir, di kitab Wahyu 1:1, tertulis, “Inilah wahyu
Yesus Kristus, yang dikaruniakan Allah kepada-Nya, supaya ditunjukkan-Nya
kepada hamba-hamba-Nya apa yang harus segera terjadi. Dan oleh malaikat-Nya
yang diutus-Nya, Ia telah menyatakannya kepada hamba-Nya Yohanes.” Sudah jelas, perkataan di
kitab Wahyu ini juga adalah wahyu Allah.
Dari survei singkat di
atas, kita mendapat gambaran menyeluruh bahwa baik PL, kitab-kitab Injil,
surat-surat Paulus, surat Petrus, dan terakhir kitab Wahyu adalah firman Allah
di mana Allah sendiri berbicara kepada para nabi dan rasul.
B.
Alkitab: Dihembuskan
Allah
Lalu, cara
apa yang Allah pergunakan untuk mewahyukan diri dan firman-Nya di dalam
Alkitab? Caranya adalah dengan mengerti
bahwa Alkitab itu dihembuskan oleh Allah. Dasar Alkitab untuk hal ini adalah
pengajaran Paulus di 2 Timotius 3:16, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah
memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki
kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Dalam teks Yunani,
kata “diilhamkan”: θεόπνευστος (theopneustos) yang berarti dihembuskan oleh Allah. NASB dan RSV
menerjemahkannya, “inspired by God”
(diinspirasikan oleh Allah); NIV dan YLT menerjemahkannya, “God-breathed” (dihembuskan Allah).
Sebenarnya, kata “inspirasi” dalam terjemahan NASB dan RSV dari teks ini kurang
tepat terjemahannya, mengapa? Jika Alkitab diinspirasikan Allah, maka sebelum
diinspirasikan Allah, maka Alkitab itu bukan firman Allah. Oleh karena itu,
mengikuti saran Rev. R. C. Sproul, Ph.D., kata ini seharusnya diterjemahkan
“ekspirasi” (dihembuskan keluar), karena di 2 Timotius 3 ini membicarakan
sumber Alkitab, bukan berbicara tentang bagaimana Allah mengirimkan firman-Nya
melalui penulis-penulis manusia.[3]
Apa arti “dihembuskan Allah”? Rev. R. C. Sproul, Ph.D. menjelaskan artinya,
“Allah menafaskan Alkitab, sama halnya dengan kita mengeluarkan nafas dari
mulut kita pada waktu kita berbicara, jadi dapat dikatakan bahwa Allah
berbicara melalui Alkitab.”[4]
Lalu, apa yang
dimaksud Paulus dengan frase “segala tulisan” di 2 Timotius 3:16 ini? Banyak
orang Kristen mengaitkannya langsung dengan PL dan PB. Meskipun kesimpulan ini
bisa dibenarkan,[5] namun
teks tidak membicarakan hal itu, karena ketika Paulus mengirim suratnya kepada
Timotius, anak rohaninya, PB belum terbentuk, sehingga tak mungkin Paulus
memaksudkan “segala tulisan” sebagai semua kitab PB.[6]
Lagipula, “segala
tulisan” di 2 Timotius 3:16 mengacu pada ayat sebelumnya (ay. 15) di mana
Paulus berkata, “Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau
sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun
engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus.” Perhatikan ayat 15 ini. Di
ayat ini, Paulus mengingatkan bahwa untuk menanggulangi kondisi manusia di
zaman akhir (2Tim. 3:1-9), Timotius perlu memperhatikan apa yang Paulus telah
ajarkan (ay. 10) dan juga Kitab Suci yang telah dikenal Timotius sejak kecil
(ay. 15). Apa yang dimaksud “Kitab Suci” di ayat 15 ini? Kata Yunani yang
dipakai adalah: ἱερὰ γράμματα (hiera grammata) yang jelas
merujuk kepada kitab-kitab PL. Mengapa saya menafsirkannya sebagai kitab-kitab
PL? Karena di ayat ini, Paulus mengingatkan Timotius bahwa dari kecil, Timotius
sudah mengenal Kitab Suci. Teks Yunani dari “kecil” adalah βρέφους (brephous) merujuk kepada infant (bayi kecil) atau small child (anak kecil).[7]
Anggap saja, bayi/anak kecil yang dimaksud Paulus di ayat 15 ini berumur
kira-kira 5 tahun dan Timotius waktu surat 2 Timotius ini ditulis kira-kira
berumur 25 tahun. Dengan kata lain, Paulus merujuk kepada 20 tahun yang lalu
waktu Timotius masih kecil, di mana waktu itu Timotius kecil sudah diajar Kitab
Suci. Jika surat 2 Timotius ditulis kira-kira tahun 60-an Masehi, maka Timotius
kecil kira-kira terjadi pada tahun 40-an Masehi dan menurut sejarah, tentu PB
belum lengkap, sedangkan PL sudah lengkap, bahkan sebelum Kristus lahir, yaitu
sekitar 400 SM.[8]
Jika demikian, apakah
kita bisa menyimpulkan bahwa hanya kitab-kitab PL yang diilhamkan (dihembuskan)
Allah? Tentu tidak. Sebagaimana di 2 Petrus 3:16, Petrus mengakui surat-surat
Paulus sebagai firman Allah dan di 1 Timotius 5:18, Paulus mengutip dari
Ulangan 25:4 dan Lukas 10:7 dan menganggapnya firman Allah, maka kita sudah
mendapatkan penjelasan bahwa surat-surat rasuli, Injil, dan PL dihembuskan oleh
Allah. Oleh karena itu, kesimpulannya, tidaklah salah menafsirkan secara
komprehensif bahwa “segala tulisan” di dalam 2 Timotius 3:16 sebagai
keseluruhan PL dan PB.
Setelah kita mengerti
bahwa Alkitab dihembuskan Allah, pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara Allah
menghembuskan firman-Nya?
1.
Allah Menulis Langsung Firman-Nya Dalam Bentuk Tulisan
Di dalam PL, kita
membaca sendiri bahwa dasa titah atau sepuluh perintah Allah ditulis sendiri
oleh Allah (Kel. 31:18; bdk. Kel. 32:16; 34:1, 28).[9]
Dari sini, kita belajar bahwa karena Allah yang menulis firman-Nya secara
langsung, maka sumber dari Dasa Titah adalah dari Allah. Di dalam PB, kita akan
melihat bahwa prinsip Dasa Titah diulang lagi dan ditafsirkan lebih jelas oleh
Tuhan Yesus (Mat. 5:21-37; 19:17-18).
2.
Allah Memerintahkan Nabi dan Rasul untuk Menulis Firman-Nya Dalam Bentuk
Tulisan
Selain Allah menulis
firman-Nya langsung, Alkitab juga memberi tahukan kita bahwa Allah
memerintahkan beberapa nabi dan rasul untuk menulis firman-Nya dalam bentuk
tulisan. Kepada nabi Yesaya, Allah berfirman, “…tulislah itu di depan mata mereka di suatu loh,
dan cantumkanlah di suatu kitab, supaya itu menjadi kesaksian untuk waktu yang
kemudian, sampai selama-lamanya.” (Yes. 30:8)[10]
Apa yang dimaksud dengan kata “itu” di ayat ini? Ya jelas ayat-ayat sebelumnya.
Kepada nabi Yeremia, Allah juga berfirman, “Beginilah firman TUHAN, Allah Israel:
Tuliskanlah segala perkataan yang telah Kufirmankan kepadamu itu dalam suatu
kitab.” (Yer. 30:2; bdk. Yer.
36:2-4, 27-31; 51:60) Di dalam PB, kita juga melihat bahwa Tuhan Yesus
memerintahkan rasul Yohanes, “Apa yang engkau lihat, tuliskanlah di dalam
sebuah kitab dan kirimkanlah kepada ketujuh jemaat ini: ke Efesus, ke Smirna,
ke Pergamus, ke Tiatira, ke Sardis, ke Filadelfia dan ke Laodikia.” (Why. 1:11) Ayat ini nanti
diperjelas di 2 pasal berikutnya. Di Wahyu 2:1, Kristus juga berfirman, “Tuliskanlah
kepada malaikat jemaat di Efesus: Inilah firman dari Dia, yang memegang ketujuh
bintang itu di tangan kanan-Nya dan berjalan di antara ketujuh kaki dian emas
itu.” (bdk. Why. 2:8, 12,
18; 3:1, 7, 14)
3.
Allah Memimpin Para Penulis Alkitab untuk Menuliskan Firman-Nya
Cara terakhir Allah
menghembuskan firman-Nya adalah dengan memimpin para penulis Alkitab untuk menuliskan
firman-Nya. Artinya, Allah memakai keseluruhan pribadi para penulis (karakter,
budaya, dll) untuk menuliskan firman-Nya. Dengan kata lain, para penulis
dipakai Allah secara dinamis untuk menuliskan firman-Nya. Dengan cara apakah
Allah memimpin para penulis tersebut secara dinamis?
a)
Allah memimpin masing-masing penulis secara berbeda untuk menuliskan
wahyu-Nya
Allah memimpin para
penulis Alkitab dengan cara memimpin para penulis secara berbeda satu sama
lain. Dalam arti, masing-masing penulis Alkitab dipimpin Allah secara unik
untuk menuliskan wahyu-Nya sesuai dengan kepribadian dan tujuan masing-masing.
Oleh karena itu, tidak usah heran, Injil Sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas)
di dalam Alkitab PB tidak persis sama memuat kisah dan pengajaran Kristus.
Matius menuliskan Injil untuk orang-orang Yahudi, Markus menuliskan Injil untuk
orang-orang non-Yahudi yang berbahasa Latin[11],
Lukas menuliskan Injil kepada Teofilus.
Kemudian, di dalam PB,
Paulus dipakai Allah secara berbeda ketika menulis firman-Nya dibandingkan para
rasul lainnya. Paulus dipakai oleh Allah secara berbeda, di mana karakter
Paulus yang keras[12]
cukup terlihat ketika ia menulis surat-suratnya. Perkataan Paulus paling keras
dijumpai di dalam suratnya kepada jemaat di Galatia yang merupakan kitab
pertama di dalam PB. Di Galatia 1:6-9, Paulus mengajar,
6Aku heran, bahwa kamu begitu lekas
berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu,
dan mengikuti suatu injil lain,
7yang sebenarnya bukan Injil. Hanya ada
orang yang mengacaukan kamu dan yang bermaksud untuk memutarbalikkan Injil
Kristus.
8Tetapi sekalipun kami atau seorang
malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda
dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia.
9Seperti yang
telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang
yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu
terima, terkutuklah dia.
Perhatikan ayat 8 dan
9, sebanyak 2x, Paulus mengatakan bahwa barangsiapa yang memberitakan “injil”
yang berbeda dari Injil Kristus yang Paulus beritakan, terkutuklah dia.
Kepada jemaat di
Korintus yang hidup tidak beres, sebenarnya Paulus menuliskan suratnya sebanyak
4x, namun 2 di antaranya hilang, sehingga yang tersisa di dalam Alkitab LAI
kita adalah 1 dan 2 Korintus yang sebenarnya merupakan surat Paulus kedua dan
keempat. Dalam suratnya kedua (1Kor.), Paulus berkata, “Apakah yang kamu
kehendaki? Haruskah aku datang kepadamu dengan cambuk atau dengan kasih dan
dengan hati yang lemah lembut?” (1Kor. 4:21) Kepada jemaat yang cabul, Paulus juga mengajar jemaat
Korintus yang lain, “Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari
tengah-tengah kamu.” (1Kor. 5:13b) Kata “usirlah” dalam teks Yunani: ἐξάρατε (exarate) menggunakan bentuk
perintah. Dengan kata lain, Paulus memerintahkan jemaat Korintus untuk mengusir
jemaat yang kedapatan cabul, namun jelas tujuannya agar orang tersebut pada
suatu saat bertobat (ay. 5).
Untuk mengatur ibadah
jemaat Korintus yang tak terkendali di mana semua jemaat Korintus berbahasa
lidah tidak karuan, Paulus menetapkan aturan berbahasa lidah (1Kor. 14:27),
lalu disusul dengan perintah Paulus, “Jika tidak ada orang yang dapat
menafsirkannya, hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan hanya
boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah.” (1Kor. 14:28) Frase
“hendaklah mereka berdiam diri” di dalam terjemahan LAI terlalu halus. Di dalam
teks Yunani, frase ini menggunakan satu kata Yunani: σιγάτω (sigatō) yang diterjemahkan: “dia
tetap diam” (atau “biarlah dia tetap diam!”) dan kata ini merupakan bentuk
perintah untuk orang ketiga tunggal.
b)
Penulis beberapa kitab dalam PB bukan termasuk rasul Kristus.
Fakta yang perlu
diperhatikan oleh orang Kristen adalah tidak semua penulis kitab PB di dalam
Alkitab termasuk rasul Kristus. Khususnya, di dalam PB, kita mendapati paling
tidak 3 kitab yang ditulis oleh penulis yang bukan rasul, yaitu: Markus,
Lukas-Kisah Para Rasul, dan Ibrani. Markus yang menulis Injil Markus (Injil pertama
dari Injil Sinoptik) tidak termasuk rasul Kristus, karena Markus (Yohanes
Markus) yang merupakan keponakan Barnabas (Kol. 4:10) adalah murid dari Rasul
Petrus (1Ptr. 5:13). Kemudian, Lukas yang menulis Injil Lukas dan Kisah Para
Rasul juga bukan termasuk rasul Kristus, karena Lukas adalah teman seperjalanan
Rasul Paulus (Kol. 4:14; 2Tim. 4:11; Flm. 1:24). Dan terakhir, kitab Ibrani
tidak diketahui siapa penulisnya. Bapa gereja abad ketiga, Origenes menulis
tentang surat Ibrani ini, “hanya Allah yang mengetahui siapa sebenarnya penulis
surat ini.” Yang jelas, penulis surat ini bukanlah seorang rasul (bdk. Ibr.
2:3).[13]
c)
Penulis menggunakan sumber-sumber tertulis dan lisan
Allah yang memimpin
beberapa penulis Alkitab juga memimpin mereka melalui sumber-sumber lisan yang
mereka pergunakan ketika menulis kitab. Misalnya, di PL, penulis kitab-kitab
Tawarikh mengambil perikop-perikop dari kitab-kitab Samuel, Raja-raja, dan dari
sumber-sumber di luar kanon Alkitab. Di dalam PB, ketika menulis Injil Lukas,
penulisnya, yaitu dr. Lukas yang merupakan sejarawan menurut tradisi Yunani dan
murid dari Rasul Paulus mengumpulkan data-data tentang Kristus dari saksi mata,
kemudian membukukannya dan mengirimkannya kepada Teofilus (Luk. 1:1-4).[14]
Paulus juga kadang-kadang mengutip puisi dan filsafat kaum penyembah berhala
(1Kor. 15:33; Tit. 1:12; bdk. Kis. 17:28). Surat Yudas mengutip naskah apokrifa
yang dikenal sebagai 1 Henokh di dalam Yudas 1:14-15.[15]
d)
Penulis menggunakan sekretaris
Selain itu, Allah yang
memimpin para penulis Alkitab tidak meniadakan peran sekretaris si penulis
(dikenal sebagai “amanuensis”). Kita
sebagai orang Kristen khususnya Injili percaya bahwa Alkitab tidak bersalah dan
tidak dapat keliru dalam naskah aslinya, bukan dalam proses penulisannya,
sehingga tidak menjadi masalah, apakah si penulis Alkitab menyuruh sekretaris
untuk menulis suratnya. Hal ini bisa kita baca sendiri di Roma 16:22, “Salam dalam Tuhan
kepada kamu dari Tertius, yaitu aku, yang menulis surat ini.” Prof. Leon Morris, Ph.D.
mengungkapkan bahwa adalah kebiasaan Paulus menggunakan jasa
amanuensis/sekretaris[16]
dan kebiasaan ini rupanya berlaku di dalam kebudayaan Yunani-Romawi.[17]
Penggunaan sekretaris
ini tidak menjadi masalah, karena apa yang ditulis oleh sekretaris tersebut
merupakan buah pikiran Paulus, entah apakah Paulus memberikan inti pengajaran
yang kemudian dikembangkan oleh si sekretaris di dalam surat-surat Paulus
ataukah Paulus mendiktekan perkataannya kepada si sekretaris.
e)
Penulis menggunakan redaktur
Sebagaimana tidak
menjadi masalah ketika penulis kitab menggunakan jasa amanuensis, maka tidak
menjadi masalah pula bahwa penulis menggunakan redaktur untuk merampungkan
kitab yang ditulisnya. Di dalam PL, kita mendapati bahwa kitab Ulangan 34 yang
mencatat kematian Musa jelas tidak mungkin ditulis oleh Musa sendiri, mungkin
sekali ditulis oleh teman yang hidup sezamannya, yaitu Yosua bin Nun (Ul.
34:9).[18]
Dan hal ini tidak menjadi masalah. Mengapa? Karena di zaman sekarang pun, ada
buku yang ditulis oleh penulis yang telah meninggal (sebut saja X), kemudian
diedit oleh editor (Y) dan hal ini tidak berarti bahwa karena buku ini diedit
oleh Y, maka buku ini tidak ditulis oleh X.
C.
Signifikansi Peran Allah dan
Manusia Dalam Alkitab
Dari studi
kita tentang cara Allah menghembuskan firman-Nya melalui para penulis Alkitab,
maka sebagai kesimpulan kita belajar bahwa Alkitab adalah penyataan diri Allah
dan kehendak-Nya kepada manusia melalui para penulis. Atau seperti yang
dikatakan Prof. Gordon D. Fee, Ph.D., D.D. yang mengutip Prof. George Eldon
Ladd, Ph.D. tentang natur Alkitab, “the
Bible is God’s word spoken in human words in history.”[19] (Alkitab
adalah firman Allah yang dikatakan di dalam kata-kata manusia di dalam
sejarah.) Di sini, kita melihat peran Allah dan manusia bersatu di dalam Alkitab.
Lalu, apa signifikansi kedua peran ini di dalam Alkitab?
1.
Melampaui Waktu (Relevan) dan Berada Di dalam Waktu
(Historis)
Allah
adalah Allah yang kekal dan melampaui ruang dan waktu. Oleh karena Allah
melampaui waktu, maka firman-Nya juga melampaui waktu. Itu sebabnya Alkitab
bukan berlaku pada saat Alkitab ditulis, tetapi juga untuk semua zaman. Dengan
kata lain, Alkitab itu relevan bagi orang Kristen di zaman ini. Nah, tugas kita
selanjutnya, menurut Prof. Gordon D. Fee, Ph.D., D.D., adalah dengar dan taat.[20] Ketika Allah
berfirman, “Jangan membunuh” (Kel. 20:13), tugas kita yaitu mendengar firman
itu dan menaatinya.
Namun di
sisi lain, Alkitab yang adalah firman Allah ini ditulis dalam bahasa manusia di
dalam waktu. Dengan kata lain, selain melampaui waktu, Alkitab juga ditulis di
dalam waktu. Artinya, ada kekhususan waktu yaitu sejarah tertentu di mana
Alkitab ini ditulis. Adalah bijaksana, jika kita sebagai orang Kristen
memperhatikan dengan seksama konteks historis ketika kita membaca Alkitab,
sehingga kita terhindar dari kesalahan menafsirkan Alkitab yang di luar
konteks. Misalnya, ketika kita membaca firman Allah, “Jangan membunuh”, maka
kita harus mengerti konteks sejarah ketika Allah berfirman hal tersebut, yaitu
perjalanan Israel menuju Tanah Kanaan. Meskipun kita bisa mengaplikasikan
prinsip “Jangan membunuh” bagi orang Kristen di zaman sekarang, namun kita
harus terlebih dahulu mengerti konteks sejarahnya, sehingga kita lebih memahami
maksud firman Allah itu ditulis bagi pembaca mula-mula.
Dari kedua
prinsip ini, kita belajar bahwa ketika kita hendak menafsirkan Alkitab, kita
harus memperhatikan: what it meant
(maksud asli bagi para pembaca mula-mula) dan what it means (relevansinya bagi kita di zaman sekarang).
Kebanyakan pengkhotbah kontemporer terlalu sibuk menekankan what it means dan melupakan what it meant yaitu dengan
menambah-nambahi maksud Alkitab, padahal maksud asli penulis Alkitab tidak
seperti itu, sehingga jangan heran, banyak dari mereka mengkhotbahkan sesuatu
di luar konteks historis mula-mula. Dan anehnya, kebanyakan dari mereka jika
ditegur kesalahannya menafsirkan Alkitab, mereka selalu memakai kedok “rohani”,
yaitu: “Jangan menghakimi” atau “Tuhan kemarin berbicara langsung kepada saya”
atau kedok lainnya yang sebenarnya merupakan rasionalisasi dari kesalahan yang
dibuatnya. Kita harus memperhatikan prinsip penting: Allah yang mewahyukan
Alkitab adalah Allah yang mengerti bagaimana seharusnya firman-Nya dimengerti
dengan tepat, sehingga tidak mungkin Allah tersebut salah menafsirkan
firman-Nya, karena jika demikian, itu bertentangan dengan natur-Nya yang adalah
Kebenaran (Truth).
Sebaliknya,
beberapa ahli theologi biblika terlalu sibuk mengeksegese Alkitab hingga ke
teks Ibrani dan Yunani, konteks historis, dll, namun melupakan relevansinya
bagi orang Kristen di zaman sekarang. Akibatnya, makin menyelidiki, mereka
hanya menambah teori, namun hati dan kerohanian mereka kering.
Di tengah
ketidakseimbangan demikian, tugas orang Kristen yang benar di dalam menafsirkan
Alkitab adalah biarkan Alkitab berbicara sesuai dengan maksudnya bagi para
pembaca mula-mula, lalu sesuai dengan prinsip penafsiran Alkitab yang tepat,
kita dapat mengaplikasikannya bagi orang Kristen di zaman sekarang.
2.
Berbeda Namun Memiliki Satu Tujuan yang Berkesinambungan
Karena Allah melampaui waktu dan manusia
berada di dalam waktu, maka di dalam kedaulatan-Nya, Ia menyatakan diri dan
kehendak-Nya kepada umat-Nya melalui kira-kira 40 orang penulis (yang berbeda
latar belakang profesi, kepribadian, bangsa, dan zaman) yang dihembuskan
oleh-Nya untuk menuliskan firman-Nya dengan satu tujuan utama, yaitu karya
penebusan dosa yang direncanakan Allah Bapa, digenapi oleh Tuhan Yesus, dan
disempurnakan oleh Allah Roh Kudus bagi umat pilihan-Nya. Di sini, kita melihat
campur tangan Allah yang luar biasa dahsyat yang tidak mungkin ditiru oleh
siapa pun di muka bumi ini. Tidak usah jauh-jauh, saya menantang, coba
kumpulkan 10 orang saja yang berbeda profesi yang tidak pernah saling kenal,
lalu suruhlah mereka menulis di kertas tentang apa saja, kemudian simaklah
hasil dari tulisan kesepuluh orang tersebut, apakah hasilnya sama? Tentu tidak
mungkin. Sepuluh orang dari berbagai profesi saja tidak mampu menghasilkan inti
tulisan yang sama, apalagi 40 orang penulis dari berbagai profesi, kepribadian,
bangsa, bahkan zaman, sungguh sangat mustahil dapat menghasilkan satu karya
yang memiliki tujuan yang satu dan berkesinambungan. Puji Tuhan. Allah yang
telah menyatakan diri-Nya melalui firman-Nya adalah Allah yang memelihara
firman-Nya, sehingga firman-Nya dapat terjaga hingga saat ini, meskipun
mendapat serangan tak bertanggung jawab dari orang-orang non-Kristen yang tidak
tahu apa-apa itu.
[1] Wayne Grudem, Kebenaran yang Memerdekakan: Menjawab 20 Pertanyaan Mendasar Mengenai
Iman Kristen, ed. Elliot Grudem, terj. Daniel Budiantoro (Jakarta:
Metanoia, 2009), 1.
[2] Ibid., 2.
[3] R. C. Sproul, Mengenal Alkitab, cet. ke-4, terj. Literatur SAAT (Malang:
Literatur Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2010), 25; bdk. W. Gary Crampton,
Verbum Dei (Alkitab: Firman Allah), terj. R. B. G. Steve Hendra (Surabaya:
Momentum, 2000), 52.
[4] R. C. Sproul, Seri Teologi Sistematika: Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen, cet.
ke-4, terj. Rahmiati Tanudjaja (Malang: Literatur SAAT, 2002), 17.
[5] Kata
Yunani yang dipakai untuk “tulisan” di ayat ini adalah γραφὴ (graphē) yang bisa merujuk pada
PL (Mat. 21:42; Mrk. 14:49; Luk. 24:27; Yoh. 20:9; Kis. 8:32; 1Kor. 15:3 dst;
Gal. 3:8) atau surat-surat Paulus (2Pet. 3:16) atau bagian-bagian tertentu dari
PL (Luk. 4:21; Kis. 8:35; Yak. 2:8).
[6] Prof. Donald Guthrie, Ph.D. menduga
bahwa surat 2 Timotius ditulis kira-kira tahun 64 Masehi setelah Paulus
dilepaskan dari pemenjaraannya di Roma. (Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru 2, terj. Hendry Ongkowidjojo (Surabaya:
Momentum, 2009), 230) Rev. Ian Paul, Ph.D. mengungkapkan bahwa surat 1 dan 2
Timotius dan Titus ditulis kira-kira pada tahun 60-an Masehi. (Ian Paul, “Surat
1 & 2 Timotius dan Titus,” dalam IVP
Introduction to the Bible, ed. Philip Johnston, terj. Christian Nugroho
(Bandung: Kalam Hidup, 2011), 376) Lagipula, PB baru lengkap pada tahun 100
Masehi (F. F. Bruce, Dokumen-dokumen
Perjanjian Baru, cet. ke-6, terj. R. Soedarmo (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2006), 8) Dari fakta ini, maka tidak mungkin Paulus memaksudkan “tulisan” di 2
Timotius 3:16 sebagai PL dan PB.
[7] Horst Balz dan Gerhard Schneider, ed., Exegetical Dictionary of the New Testament (Grand Rapids,
Michigan: William B. Eerdmans, 1990), 1:227.
[8] W. Gary Crampton, Verbum Dei, 44.
[9] Wayne Grudem, Systematic Theology: An Introduction to Biblical Doctrine
(Nottingham: InterVarsity Press dan Grand Rapids: Zondervan, 2007), 49.
[10] Ibid., 49-50.
[11] Yusak B. Hermawan, My New Testament: Menjelajahi Dunia
Perjanjian Baru Untuk Memahami dan Mendalami Kitab-kitab di Perjanjian Baru
(Yogyakarta: ANDI, 2010), 47.
[12] Ibid., 74.
[13] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, cet. ke-10, terj. P. G. Katoppo (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2011), 477.
[14] Mungkin sekali, dokter Lukas pun
mengambil materi di dalam Injil yang ditulisnya ini dari “Q” (Quelle) yang
merupakan koleksi yang lebih awal dari (sebagian besar) perkataan-perkataan
Yesus dan juga dari Injil Markus. (Howard Marshal, “Kitab-kitab Injil,” dalam IVP Introduction to the Bible, 300, 306.
[15] Mark Strauss, “Mengenal Alkitab,”
dalam IVP Introduction to the Bible,
17.
[16] Leon Morris, The Epistle to the
Romans (Grand Rapids; Leicester, England: W.B. Eerdmans; Inter-Varsity
Press, 1988), 543.
[17] Thomas R. Schreiner, Baker Exegetical Commentary on the New Testament
Vol. 6: Romans. (Grand Rapids, Mich.: Baker Books, 1998), 807.
[18] Gleason L. Archer, Jr., Encyclopedia of Bible Difficulties: Hal-hal
yang Sulit dalam Alkitab, terj. Suhadi Yeremia (Malang: Gandum Mas, 2004),
256-257.
[19] Gordon D. Fee, Gospel and Spirit: Issues in New Testament Hermeneutics, cet. ke-4
(Peabody, Massachusetts: Hendrickson, 2006), 30.
[20] Ibid.
Subscribe to:
Posts (Atom)