03 May 2012

Bagian 1: Alkitab: Firman Allah dan Tulisan Manusia


APAKAH ALKITAB ITU?
Bagian 1: Alkitab: Firman Allah dan Tulisan Manusia

oleh: Denny Teguh Sutandio



A.           Alkitab: Wahyu Allah
Di titik awal, kita perlu mengerti bahwa Alkitab adalah wahyu Allah. Wahyu Allah berarti penyataan diri Allah kepada manusia. Di dalam theologi Reformed, Allah menyatakan diri-Nya dalam dua bentuk dan kepada dua macam orang, yaitu: wahyu umum Allah (berupa alam, sejarah, dan hati nurani yang ada di dalam setiap manusia) yang ditujukan kepada semua orang tanpa kecuali dan wahyu khusus Allah (berupa Kristus dan Alkitab) yang ditujukan hanya kepada orang-orang pilihan Allah. Nah, wahyu umum Allah diresponi (atau dimanifestasikan) oleh manusia berdosa dengan menghasilkan agama, ilmu, dan kebudayaan. Karena manusia telah jatuh ke dalam dosa, maka otomatis respons manusia terhadap wahyu umum Allah juga mengandung bibit dosa, sehingga melalui agama, ilmu, dan kebudayaan, manusia tidak dapat mengenal Allah dengan tuntas. Sebelum dunia dijadikan, Allah memilih beberapa manusia untuk menjadi anak-anak-Nya (Ef. 1:4) dan kepada mereka sajalah, Ia menyatakan diri-Nya secara khusus yaitu melalui Kristus dan Alkitab, Melalui kedua sarana inilah, kita sebagai anak-anak Allah dapat mengenal Allah dengan tuntas.
Analoginya demikian. Di Indonesia, kita sudah pasti mengetahui tentang Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Kita mengetahui sosok pribadi beliau dari televisi dan surat kabar tentang pemerintahan, istri, anak-anak, masalah yang dihadapi beliau, dll. Nah, pengetahuan kita ini pasti adalah pengetahuan umum di mana pak SBY menyatakan dirinya secara umum kepada semua orang baik melalui media massa maupun media elektronik. Namun, kita tentu saja tidak mengetahui detail bagaimana hubungan SBY dengan istrinya, apa makanan favoritnya, dll, karena hal-hal khusus tersebut tidak dinyatakan kepada semua orang, namun hanya kepada orang-orang terdekatnya, misalnya istri atau anak-anaknya. Kalau kita ingin mengenal pak SBY lebih khusus, ya, silahkan bertanya kepada istri atau anak-anaknya.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kita mengetahui bahwa Alkitab itu diwahyukan Allah? Di dalam kitab-kitab PL, kita mendapati frase, “Beginilah Firman Tuhan…” (Kel. 4:22; Yos. 24:2; 1Sam. 10:18; Yes. 10:24; Ul. 18:18-20; Yer. 1:9)[1] atau “Firman Tuhan kepada…” (Kej. 4:6, 9, 15: 15:1, 4, 5, 7, 9, 13; 25:23; Kel. 4:3, 4, 6, dst) atau “demikianlah firman Tuhan” (Kej. 22:16; dst). Di dalam kitab nabi-nabi di PL pun, perkataan, “datanglah Firman Tuhan” atau sejenisnya muncul di nats-nats: Yesaya 1:1; Yeremia 1:1-2; Yehezkiel 1:1-3; Hosea 1:1; Yoel 1:1; Obaja 1:1; Yunus 1:1; Mikha 1:1; Nahum 1:1; Habakuk 1:1; Zefanya 1:1; Hagai 1:1; Zakharia 1:1; Maleakhi 1:1.
Di dalam PB, Paulus mengklaim bahwa apa yang dia tulis berasal dari Allah (1Kor. 14:37). Di kitab lain di PB, surat-surat Paulus pun dianggap sebagai firman Allah (2Pet. 3:16). Prof. Wayne Grudem, Ph.D. memberikan argumentasi lain bahwa PL dan Injil juga diilhamkan Allah, yaitu di 1 Timotius 5:18, Paulus mengatakan, “Janganlah engkau memberangus mulut lembu yang sedang mengirik,” (mengutip dari Ul. 25:4) dan “seorang pekerja patut mendapat upahnya.” (mengutip dari Luk. 10:7).[2] Surat Petrus pun dianggap firman Allah dan dikutip oleh Yudas di Yudas 1:18 (bdk. 2Pet. 3:3). Dan terakhir, di kitab Wahyu 1:1, tertulis, “Inilah wahyu Yesus Kristus, yang dikaruniakan Allah kepada-Nya, supaya ditunjukkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya apa yang harus segera terjadi. Dan oleh malaikat-Nya yang diutus-Nya, Ia telah menyatakannya kepada hamba-Nya Yohanes.” Sudah jelas, perkataan di kitab Wahyu ini juga adalah wahyu Allah.
Dari survei singkat di atas, kita mendapat gambaran menyeluruh bahwa baik PL, kitab-kitab Injil, surat-surat Paulus, surat Petrus, dan terakhir kitab Wahyu adalah firman Allah di mana Allah sendiri berbicara kepada para nabi dan rasul.

B.            Alkitab: Dihembuskan Allah
Lalu, cara apa yang Allah pergunakan untuk mewahyukan diri dan firman-Nya di dalam Alkitab?  Caranya adalah dengan mengerti bahwa Alkitab itu dihembuskan oleh Allah. Dasar Alkitab untuk hal ini adalah pengajaran Paulus di 2 Timotius 3:16, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Dalam teks Yunani, kata “diilhamkan”: θεπνευστος (theopneustos) yang berarti dihembuskan oleh Allah. NASB dan RSV menerjemahkannya, “inspired by God” (diinspirasikan oleh Allah); NIV dan YLT menerjemahkannya, “God-breathed” (dihembuskan Allah). Sebenarnya, kata “inspirasi” dalam terjemahan NASB dan RSV dari teks ini kurang tepat terjemahannya, mengapa? Jika Alkitab diinspirasikan Allah, maka sebelum diinspirasikan Allah, maka Alkitab itu bukan firman Allah. Oleh karena itu, mengikuti saran Rev. R. C. Sproul, Ph.D., kata ini seharusnya diterjemahkan “ekspirasi” (dihembuskan keluar), karena di 2 Timotius 3 ini membicarakan sumber Alkitab, bukan berbicara tentang bagaimana Allah mengirimkan firman-Nya melalui penulis-penulis manusia.[3] Apa arti “dihembuskan Allah”? Rev. R. C. Sproul, Ph.D. menjelaskan artinya, “Allah menafaskan Alkitab, sama halnya dengan kita mengeluarkan nafas dari mulut kita pada waktu kita berbicara, jadi dapat dikatakan bahwa Allah berbicara melalui Alkitab.”[4]
Lalu, apa yang dimaksud Paulus dengan frase “segala tulisan” di 2 Timotius 3:16 ini? Banyak orang Kristen mengaitkannya langsung dengan PL dan PB. Meskipun kesimpulan ini bisa dibenarkan,[5] namun teks tidak membicarakan hal itu, karena ketika Paulus mengirim suratnya kepada Timotius, anak rohaninya, PB belum terbentuk, sehingga tak mungkin Paulus memaksudkan “segala tulisan” sebagai semua kitab PB.[6]
Lagipula, “segala tulisan” di 2 Timotius 3:16 mengacu pada ayat sebelumnya (ay. 15) di mana Paulus berkata, “Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus.” Perhatikan ayat 15 ini. Di ayat ini, Paulus mengingatkan bahwa untuk menanggulangi kondisi manusia di zaman akhir (2Tim. 3:1-9), Timotius perlu memperhatikan apa yang Paulus telah ajarkan (ay. 10) dan juga Kitab Suci yang telah dikenal Timotius sejak kecil (ay. 15). Apa yang dimaksud “Kitab Suci” di ayat 15 ini? Kata Yunani yang dipakai adalah: ερ γρμματα (hiera grammata) yang jelas merujuk kepada kitab-kitab PL. Mengapa saya menafsirkannya sebagai kitab-kitab PL? Karena di ayat ini, Paulus mengingatkan Timotius bahwa dari kecil, Timotius sudah mengenal Kitab Suci. Teks Yunani dari “kecil” adalah βρφους (brephous) merujuk kepada infant (bayi kecil) atau small child (anak kecil).[7] Anggap saja, bayi/anak kecil yang dimaksud Paulus di ayat 15 ini berumur kira-kira 5 tahun dan Timotius waktu surat 2 Timotius ini ditulis kira-kira berumur 25 tahun. Dengan kata lain, Paulus merujuk kepada 20 tahun yang lalu waktu Timotius masih kecil, di mana waktu itu Timotius kecil sudah diajar Kitab Suci. Jika surat 2 Timotius ditulis kira-kira tahun 60-an Masehi, maka Timotius kecil kira-kira terjadi pada tahun 40-an Masehi dan menurut sejarah, tentu PB belum lengkap, sedangkan PL sudah lengkap, bahkan sebelum Kristus lahir, yaitu sekitar 400 SM.[8]
Jika demikian, apakah kita bisa menyimpulkan bahwa hanya kitab-kitab PL yang diilhamkan (dihembuskan) Allah? Tentu tidak. Sebagaimana di 2 Petrus 3:16, Petrus mengakui surat-surat Paulus sebagai firman Allah dan di 1 Timotius 5:18, Paulus mengutip dari Ulangan 25:4 dan Lukas 10:7 dan menganggapnya firman Allah, maka kita sudah mendapatkan penjelasan bahwa surat-surat rasuli, Injil, dan PL dihembuskan oleh Allah. Oleh karena itu, kesimpulannya, tidaklah salah menafsirkan secara komprehensif bahwa “segala tulisan” di dalam 2 Timotius 3:16 sebagai keseluruhan PL dan PB.
Setelah kita mengerti bahwa Alkitab dihembuskan Allah, pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara Allah menghembuskan firman-Nya?
1.             Allah Menulis Langsung Firman-Nya Dalam Bentuk Tulisan
Di dalam PL, kita membaca sendiri bahwa dasa titah atau sepuluh perintah Allah ditulis sendiri oleh Allah (Kel. 31:18; bdk. Kel. 32:16; 34:1, 28).[9] Dari sini, kita belajar bahwa karena Allah yang menulis firman-Nya secara langsung, maka sumber dari Dasa Titah adalah dari Allah. Di dalam PB, kita akan melihat bahwa prinsip Dasa Titah diulang lagi dan ditafsirkan lebih jelas oleh Tuhan Yesus (Mat. 5:21-37; 19:17-18).

2.             Allah Memerintahkan Nabi dan Rasul untuk Menulis Firman-Nya Dalam Bentuk Tulisan
Selain Allah menulis firman-Nya langsung, Alkitab juga memberi tahukan kita bahwa Allah memerintahkan beberapa nabi dan rasul untuk menulis firman-Nya dalam bentuk tulisan. Kepada nabi Yesaya, Allah berfirman, “tulislah itu di depan mata mereka di suatu loh, dan cantumkanlah di suatu kitab, supaya itu menjadi kesaksian untuk waktu yang kemudian, sampai selama-lamanya.” (Yes. 30:8)[10] Apa yang dimaksud dengan kata “itu” di ayat ini? Ya jelas ayat-ayat sebelumnya. Kepada nabi Yeremia, Allah juga berfirman, “Beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Tuliskanlah segala perkataan yang telah Kufirmankan kepadamu itu dalam suatu kitab.” (Yer. 30:2; bdk. Yer. 36:2-4, 27-31; 51:60) Di dalam PB, kita juga melihat bahwa Tuhan Yesus memerintahkan rasul Yohanes, “Apa yang engkau lihat, tuliskanlah di dalam sebuah kitab dan kirimkanlah kepada ketujuh jemaat ini: ke Efesus, ke Smirna, ke Pergamus, ke Tiatira, ke Sardis, ke Filadelfia dan ke Laodikia.” (Why. 1:11) Ayat ini nanti diperjelas di 2 pasal berikutnya. Di Wahyu 2:1, Kristus juga berfirman, “Tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Efesus: Inilah firman dari Dia, yang memegang ketujuh bintang itu di tangan kanan-Nya dan berjalan di antara ketujuh kaki dian emas itu.” (bdk. Why. 2:8, 12, 18; 3:1, 7, 14)

3.             Allah Memimpin Para Penulis Alkitab untuk Menuliskan Firman-Nya
Cara terakhir Allah menghembuskan firman-Nya adalah dengan memimpin para penulis Alkitab untuk menuliskan firman-Nya. Artinya, Allah memakai keseluruhan pribadi para penulis (karakter, budaya, dll) untuk menuliskan firman-Nya. Dengan kata lain, para penulis dipakai Allah secara dinamis untuk menuliskan firman-Nya. Dengan cara apakah Allah memimpin para penulis tersebut secara dinamis?
a)            Allah memimpin masing-masing penulis secara berbeda untuk menuliskan wahyu-Nya
Allah memimpin para penulis Alkitab dengan cara memimpin para penulis secara berbeda satu sama lain. Dalam arti, masing-masing penulis Alkitab dipimpin Allah secara unik untuk menuliskan wahyu-Nya sesuai dengan kepribadian dan tujuan masing-masing. Oleh karena itu, tidak usah heran, Injil Sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas) di dalam Alkitab PB tidak persis sama memuat kisah dan pengajaran Kristus. Matius menuliskan Injil untuk orang-orang Yahudi, Markus menuliskan Injil untuk orang-orang non-Yahudi yang berbahasa Latin[11], Lukas menuliskan Injil kepada Teofilus.
Kemudian, di dalam PB, Paulus dipakai Allah secara berbeda ketika menulis firman-Nya dibandingkan para rasul lainnya. Paulus dipakai oleh Allah secara berbeda, di mana karakter Paulus yang keras[12] cukup terlihat ketika ia menulis surat-suratnya. Perkataan Paulus paling keras dijumpai di dalam suratnya kepada jemaat di Galatia yang merupakan kitab pertama di dalam PB. Di Galatia 1:6-9, Paulus mengajar,
6Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu injil lain,
7yang sebenarnya bukan Injil. Hanya ada orang yang mengacaukan kamu dan yang bermaksud untuk memutarbalikkan Injil Kristus.
8Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia.
9Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia.
Perhatikan ayat 8 dan 9, sebanyak 2x, Paulus mengatakan bahwa barangsiapa yang memberitakan “injil” yang berbeda dari Injil Kristus yang Paulus beritakan, terkutuklah dia.
Kepada jemaat di Korintus yang hidup tidak beres, sebenarnya Paulus menuliskan suratnya sebanyak 4x, namun 2 di antaranya hilang, sehingga yang tersisa di dalam Alkitab LAI kita adalah 1 dan 2 Korintus yang sebenarnya merupakan surat Paulus kedua dan keempat. Dalam suratnya kedua (1Kor.), Paulus berkata, “Apakah yang kamu kehendaki? Haruskah aku datang kepadamu dengan cambuk atau dengan kasih dan dengan hati yang lemah lembut?” (1Kor. 4:21) Kepada jemaat yang cabul, Paulus juga mengajar jemaat Korintus yang lain, “Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu.” (1Kor. 5:13b) Kata “usirlah” dalam teks Yunani: ἐξάρατε (exarate) menggunakan bentuk perintah. Dengan kata lain, Paulus memerintahkan jemaat Korintus untuk mengusir jemaat yang kedapatan cabul, namun jelas tujuannya agar orang tersebut pada suatu saat bertobat (ay. 5).
Untuk mengatur ibadah jemaat Korintus yang tak terkendali di mana semua jemaat Korintus berbahasa lidah tidak karuan, Paulus menetapkan aturan berbahasa lidah (1Kor. 14:27), lalu disusul dengan perintah Paulus, “Jika tidak ada orang yang dapat menafsirkannya, hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah.” (1Kor. 14:28) Frase “hendaklah mereka berdiam diri” di dalam terjemahan LAI terlalu halus. Di dalam teks Yunani, frase ini menggunakan satu kata Yunani: σιγτω (sigatō) yang diterjemahkan: “dia tetap diam” (atau “biarlah dia tetap diam!”) dan kata ini merupakan bentuk perintah untuk orang ketiga tunggal.

b)            Penulis beberapa kitab dalam PB bukan termasuk rasul Kristus.
Fakta yang perlu diperhatikan oleh orang Kristen adalah tidak semua penulis kitab PB di dalam Alkitab termasuk rasul Kristus. Khususnya, di dalam PB, kita mendapati paling tidak 3 kitab yang ditulis oleh penulis yang bukan rasul, yaitu: Markus, Lukas-Kisah Para Rasul, dan Ibrani. Markus yang menulis Injil Markus (Injil pertama dari Injil Sinoptik) tidak termasuk rasul Kristus, karena Markus (Yohanes Markus) yang merupakan keponakan Barnabas (Kol. 4:10) adalah murid dari Rasul Petrus (1Ptr. 5:13). Kemudian, Lukas yang menulis Injil Lukas dan Kisah Para Rasul juga bukan termasuk rasul Kristus, karena Lukas adalah teman seperjalanan Rasul Paulus (Kol. 4:14; 2Tim. 4:11; Flm. 1:24). Dan terakhir, kitab Ibrani tidak diketahui siapa penulisnya. Bapa gereja abad ketiga, Origenes menulis tentang surat Ibrani ini, “hanya Allah yang mengetahui siapa sebenarnya penulis surat ini.” Yang jelas, penulis surat ini bukanlah seorang rasul (bdk. Ibr. 2:3).[13]

c)             Penulis menggunakan sumber-sumber tertulis dan lisan
Allah yang memimpin beberapa penulis Alkitab juga memimpin mereka melalui sumber-sumber lisan yang mereka pergunakan ketika menulis kitab. Misalnya, di PL, penulis kitab-kitab Tawarikh mengambil perikop-perikop dari kitab-kitab Samuel, Raja-raja, dan dari sumber-sumber di luar kanon Alkitab. Di dalam PB, ketika menulis Injil Lukas, penulisnya, yaitu dr. Lukas yang merupakan sejarawan menurut tradisi Yunani dan murid dari Rasul Paulus mengumpulkan data-data tentang Kristus dari saksi mata, kemudian membukukannya dan mengirimkannya kepada Teofilus (Luk. 1:1-4).[14] Paulus juga kadang-kadang mengutip puisi dan filsafat kaum penyembah berhala (1Kor. 15:33; Tit. 1:12; bdk. Kis. 17:28). Surat Yudas mengutip naskah apokrifa yang dikenal sebagai 1 Henokh di dalam Yudas 1:14-15.[15]

d)            Penulis menggunakan sekretaris
Selain itu, Allah yang memimpin para penulis Alkitab tidak meniadakan peran sekretaris si penulis (dikenal sebagai “amanuensis”). Kita sebagai orang Kristen khususnya Injili percaya bahwa Alkitab tidak bersalah dan tidak dapat keliru dalam naskah aslinya, bukan dalam proses penulisannya, sehingga tidak menjadi masalah, apakah si penulis Alkitab menyuruh sekretaris untuk menulis suratnya. Hal ini bisa kita baca sendiri di Roma 16:22, “Salam dalam Tuhan kepada kamu dari Tertius, yaitu aku, yang menulis surat ini.” Prof. Leon Morris, Ph.D. mengungkapkan bahwa adalah kebiasaan Paulus menggunakan jasa amanuensis/sekretaris[16] dan kebiasaan ini rupanya berlaku di dalam kebudayaan Yunani-Romawi.[17]
Penggunaan sekretaris ini tidak menjadi masalah, karena apa yang ditulis oleh sekretaris tersebut merupakan buah pikiran Paulus, entah apakah Paulus memberikan inti pengajaran yang kemudian dikembangkan oleh si sekretaris di dalam surat-surat Paulus ataukah Paulus mendiktekan perkataannya kepada si sekretaris.

e)            Penulis menggunakan redaktur
Sebagaimana tidak menjadi masalah ketika penulis kitab menggunakan jasa amanuensis, maka tidak menjadi masalah pula bahwa penulis menggunakan redaktur untuk merampungkan kitab yang ditulisnya. Di dalam PL, kita mendapati bahwa kitab Ulangan 34 yang mencatat kematian Musa jelas tidak mungkin ditulis oleh Musa sendiri, mungkin sekali ditulis oleh teman yang hidup sezamannya, yaitu Yosua bin Nun (Ul. 34:9).[18] Dan hal ini tidak menjadi masalah. Mengapa? Karena di zaman sekarang pun, ada buku yang ditulis oleh penulis yang telah meninggal (sebut saja X), kemudian diedit oleh editor (Y) dan hal ini tidak berarti bahwa karena buku ini diedit oleh Y, maka buku ini tidak ditulis oleh X.

C.            Signifikansi Peran Allah dan Manusia Dalam Alkitab
Dari studi kita tentang cara Allah menghembuskan firman-Nya melalui para penulis Alkitab, maka sebagai kesimpulan kita belajar bahwa Alkitab adalah penyataan diri Allah dan kehendak-Nya kepada manusia melalui para penulis. Atau seperti yang dikatakan Prof. Gordon D. Fee, Ph.D., D.D. yang mengutip Prof. George Eldon Ladd, Ph.D. tentang natur Alkitab, “the Bible is God’s word spoken in human words in history.[19] (Alkitab adalah firman Allah yang dikatakan di dalam kata-kata manusia di dalam sejarah.) Di sini, kita melihat peran Allah dan manusia bersatu di dalam Alkitab. Lalu, apa signifikansi kedua peran ini di dalam Alkitab?
1.             Melampaui Waktu (Relevan) dan Berada Di dalam Waktu (Historis)
Allah adalah Allah yang kekal dan melampaui ruang dan waktu. Oleh karena Allah melampaui waktu, maka firman-Nya juga melampaui waktu. Itu sebabnya Alkitab bukan berlaku pada saat Alkitab ditulis, tetapi juga untuk semua zaman. Dengan kata lain, Alkitab itu relevan bagi orang Kristen di zaman ini. Nah, tugas kita selanjutnya, menurut Prof. Gordon D. Fee, Ph.D., D.D., adalah dengar dan taat.[20] Ketika Allah berfirman, “Jangan membunuh” (Kel. 20:13), tugas kita yaitu mendengar firman itu dan menaatinya.
Namun di sisi lain, Alkitab yang adalah firman Allah ini ditulis dalam bahasa manusia di dalam waktu. Dengan kata lain, selain melampaui waktu, Alkitab juga ditulis di dalam waktu. Artinya, ada kekhususan waktu yaitu sejarah tertentu di mana Alkitab ini ditulis. Adalah bijaksana, jika kita sebagai orang Kristen memperhatikan dengan seksama konteks historis ketika kita membaca Alkitab, sehingga kita terhindar dari kesalahan menafsirkan Alkitab yang di luar konteks. Misalnya, ketika kita membaca firman Allah, “Jangan membunuh”, maka kita harus mengerti konteks sejarah ketika Allah berfirman hal tersebut, yaitu perjalanan Israel menuju Tanah Kanaan. Meskipun kita bisa mengaplikasikan prinsip “Jangan membunuh” bagi orang Kristen di zaman sekarang, namun kita harus terlebih dahulu mengerti konteks sejarahnya, sehingga kita lebih memahami maksud firman Allah itu ditulis bagi pembaca mula-mula.
Dari kedua prinsip ini, kita belajar bahwa ketika kita hendak menafsirkan Alkitab, kita harus memperhatikan: what it meant (maksud asli bagi para pembaca mula-mula) dan what it means (relevansinya bagi kita di zaman sekarang). Kebanyakan pengkhotbah kontemporer terlalu sibuk menekankan what it means dan melupakan what it meant yaitu dengan menambah-nambahi maksud Alkitab, padahal maksud asli penulis Alkitab tidak seperti itu, sehingga jangan heran, banyak dari mereka mengkhotbahkan sesuatu di luar konteks historis mula-mula. Dan anehnya, kebanyakan dari mereka jika ditegur kesalahannya menafsirkan Alkitab, mereka selalu memakai kedok “rohani”, yaitu: “Jangan menghakimi” atau “Tuhan kemarin berbicara langsung kepada saya” atau kedok lainnya yang sebenarnya merupakan rasionalisasi dari kesalahan yang dibuatnya. Kita harus memperhatikan prinsip penting: Allah yang mewahyukan Alkitab adalah Allah yang mengerti bagaimana seharusnya firman-Nya dimengerti dengan tepat, sehingga tidak mungkin Allah tersebut salah menafsirkan firman-Nya, karena jika demikian, itu bertentangan dengan natur-Nya yang adalah Kebenaran (Truth).
Sebaliknya, beberapa ahli theologi biblika terlalu sibuk mengeksegese Alkitab hingga ke teks Ibrani dan Yunani, konteks historis, dll, namun melupakan relevansinya bagi orang Kristen di zaman sekarang. Akibatnya, makin menyelidiki, mereka hanya menambah teori, namun hati dan kerohanian mereka kering.
Di tengah ketidakseimbangan demikian, tugas orang Kristen yang benar di dalam menafsirkan Alkitab adalah biarkan Alkitab berbicara sesuai dengan maksudnya bagi para pembaca mula-mula, lalu sesuai dengan prinsip penafsiran Alkitab yang tepat, kita dapat mengaplikasikannya bagi orang Kristen di zaman sekarang.

2.             Berbeda Namun Memiliki Satu Tujuan yang Berkesinambungan
Karena Allah melampaui waktu dan manusia berada di dalam waktu, maka di dalam kedaulatan-Nya, Ia menyatakan diri dan kehendak-Nya kepada umat-Nya melalui kira-kira 40 orang penulis (yang berbeda latar belakang profesi, kepribadian, bangsa, dan zaman) yang dihembuskan oleh-Nya untuk menuliskan firman-Nya dengan satu tujuan utama, yaitu karya penebusan dosa yang direncanakan Allah Bapa, digenapi oleh Tuhan Yesus, dan disempurnakan oleh Allah Roh Kudus bagi umat pilihan-Nya. Di sini, kita melihat campur tangan Allah yang luar biasa dahsyat yang tidak mungkin ditiru oleh siapa pun di muka bumi ini. Tidak usah jauh-jauh, saya menantang, coba kumpulkan 10 orang saja yang berbeda profesi yang tidak pernah saling kenal, lalu suruhlah mereka menulis di kertas tentang apa saja, kemudian simaklah hasil dari tulisan kesepuluh orang tersebut, apakah hasilnya sama? Tentu tidak mungkin. Sepuluh orang dari berbagai profesi saja tidak mampu menghasilkan inti tulisan yang sama, apalagi 40 orang penulis dari berbagai profesi, kepribadian, bangsa, bahkan zaman, sungguh sangat mustahil dapat menghasilkan satu karya yang memiliki tujuan yang satu dan berkesinambungan. Puji Tuhan. Allah yang telah menyatakan diri-Nya melalui firman-Nya adalah Allah yang memelihara firman-Nya, sehingga firman-Nya dapat terjaga hingga saat ini, meskipun mendapat serangan tak bertanggung jawab dari orang-orang non-Kristen yang tidak tahu apa-apa itu.


[1] Wayne Grudem, Kebenaran yang Memerdekakan: Menjawab 20 Pertanyaan Mendasar Mengenai Iman Kristen, ed. Elliot Grudem, terj. Daniel Budiantoro (Jakarta: Metanoia, 2009), 1.
[2] Ibid., 2.
[3] R. C. Sproul, Mengenal Alkitab, cet. ke-4, terj. Literatur SAAT (Malang: Literatur Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2010), 25; bdk. W. Gary Crampton, Verbum Dei (Alkitab: Firman Allah), terj. R. B. G. Steve Hendra (Surabaya: Momentum, 2000), 52.
[4] R. C. Sproul, Seri Teologi Sistematika: Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen, cet. ke-4, terj. Rahmiati Tanudjaja (Malang: Literatur SAAT, 2002), 17.
[5] Kata Yunani yang dipakai untuk “tulisan” di ayat ini adalah γραφ (graphē) yang bisa merujuk pada PL (Mat. 21:42; Mrk. 14:49; Luk. 24:27; Yoh. 20:9; Kis. 8:32; 1Kor. 15:3 dst; Gal. 3:8) atau surat-surat Paulus (2Pet. 3:16) atau bagian-bagian tertentu dari PL (Luk. 4:21; Kis. 8:35; Yak. 2:8).
[6] Prof. Donald Guthrie, Ph.D. menduga bahwa surat 2 Timotius ditulis kira-kira tahun 64 Masehi setelah Paulus dilepaskan dari pemenjaraannya di Roma. (Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru 2, terj. Hendry Ongkowidjojo (Surabaya: Momentum, 2009), 230) Rev. Ian Paul, Ph.D. mengungkapkan bahwa surat 1 dan 2 Timotius dan Titus ditulis kira-kira pada tahun 60-an Masehi. (Ian Paul, “Surat 1 & 2 Timotius dan Titus,” dalam IVP Introduction to the Bible, ed. Philip Johnston, terj. Christian Nugroho (Bandung: Kalam Hidup, 2011), 376) Lagipula, PB baru lengkap pada tahun 100 Masehi (F. F. Bruce, Dokumen-dokumen Perjanjian Baru, cet. ke-6, terj. R. Soedarmo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 8) Dari fakta ini, maka tidak mungkin Paulus memaksudkan “tulisan” di 2 Timotius 3:16 sebagai PL dan PB.
[7] Horst Balz dan Gerhard Schneider, ed., Exegetical Dictionary of the New Testament (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans, 1990), 1:227.
[8] W. Gary Crampton, Verbum Dei, 44.
[9] Wayne Grudem, Systematic Theology: An Introduction to Biblical Doctrine (Nottingham: InterVarsity Press dan Grand Rapids: Zondervan, 2007), 49.
[10] Ibid., 49-50.
[11] Yusak B. Hermawan, My New Testament: Menjelajahi Dunia Perjanjian Baru Untuk Memahami dan Mendalami Kitab-kitab di Perjanjian Baru (Yogyakarta: ANDI, 2010), 47.
[12] Ibid., 74.
[13] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, cet. ke-10, terj. P. G. Katoppo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 477.
[14] Mungkin sekali, dokter Lukas pun mengambil materi di dalam Injil yang ditulisnya ini dari “Q” (Quelle) yang merupakan koleksi yang lebih awal dari (sebagian besar) perkataan-perkataan Yesus dan juga dari Injil Markus. (Howard Marshal, “Kitab-kitab Injil,” dalam IVP Introduction to the Bible, 300, 306.
[15] Mark Strauss, “Mengenal Alkitab,” dalam IVP Introduction to the Bible, 17.
[16] Leon Morris, The Epistle to the Romans (Grand Rapids; Leicester, England: W.B. Eerdmans; Inter-Varsity Press, 1988), 543.
[17] Thomas R. Schreiner, Baker Exegetical Commentary on the New Testament Vol. 6: Romans. (Grand Rapids, Mich.: Baker Books, 1998), 807.
[18] Gleason L. Archer, Jr., Encyclopedia of Bible Difficulties: Hal-hal yang Sulit dalam Alkitab, terj. Suhadi Yeremia (Malang: Gandum Mas, 2004), 256-257.
[19] Gordon D. Fee, Gospel and Spirit: Issues in New Testament Hermeneutics, cet. ke-4 (Peabody, Massachusetts: Hendrickson, 2006), 30.
[20] Ibid.