30 December 2010

Bagian 2: Atheisme dan Apologetika di Indonesia (Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.)

ATHEISME DAN APOLOGETIKA DI INDONESIA

oleh: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.



Seusai mengajar sebuah kelas selama satu semester, seseorang datang untuk berbicara kepada saya. “Pak, bolehkah saya minta semua power pointnya?” Saya bertanya “Untuk apa?” Spontan ia menjawab “Untuk saya pakai berbicara kepada kakak saya yang ateis… seperti saya.” Sambil terkejut saya berkata, “Oh ya, jadi kamu ateis?” Dengan terbuka ia menjawab “ya, sudah sembilan bulan saya tidak ke gereja dan berpikir bahwa Tuhan tidak ada. Dulu saya aktif ke gereja, tetapi banyak keberatan-keberatan saya terhadap Tuhan tidak saya temukan jawabannya sehingga saya sudah tidak percaya Tuhan lagi. Tetapi syukur, materi yang Bapak sampaikan selama satu semester membuat saya percaya Tuhan dan kembali bergereja. Sekarang saya ingin meyakinkan kakak saya yang ateis untuk kembali pada Tuhan.”

Hari itu adalah hari yang paling bahagia dan mengharukan dalam satu semester kuliah yang saya bina. Jika kita percaya bahwa satu jiwa berharga di mata Tuhan, maka jelaslah bahwa menolong satu orang ateis untuk kembali pada kebenaran yang telah ditinggalkannya adalah sesuatu yang tak ternilai harganya. Sungguh menguatkan ketika melihat bahwa Roh Kudus dapat bekerja melalui sebuah argumentasi dalam apologetika yang terintegrasikan dalam perkuliahan.

Namun demikian, secuplik kisah di atas sebenarnya mengajarkan beberapa hal tentang ateisme dan apologetika. Pertama, ateisme eksis di Indonesia. Dari kisah nyata di atas, sudah terlihat ada dua ateis di satu kota. Kedua, apologetika memiliki fungsi yang vital dalam Kekristenan. Dalam sepanjang kuliah yang saya berikan, saya menyertakan apologetika sebagai bagian integral dari kuliah dan pemuda itu mengakui bahwa argumentasi-argumentasi yang ada menolong dia untuk kembali ke kekristenan. Ketiga, seseorang yang telah bertobat melalui proses yang melibatkan apologetika secara intensif biasanya punya kecenderungan menjadi apologet. Dalam kasus pemuda itu, ia bersemangat untuk meyakinkan kakaknya yang ateis setelah ia sendiri diyakinkan melalui berbagai argumentasi yang melaluinya Roh Kudus bekerja.

Oleh karena apologetika telah memainkan pera penting dalam penginjilan sebagaimana yang saya saksikan,maka saya sulit menahan senyum ketika ada orang berkata “argumentasi tidak dapat memenangkan jiwa” atau “apologetika tidak dapat membuat orang percaya” dan sejenisnya. Saya tersenyum dan terkadang tertawa pahit karena pernyataan seperti itu benar-benar tipikal dari orang Kristen yang tidak mengerti apologetika dan mungkin pula jarang penginjilan. William Lane Craig, apologet Kristen yang sangat aktif mengatakan ia sudah lupa berapa kali orang mengatakan hal seperti itu kepada dia…karena begitu seringnya. Saya bayangkan kalau saya jadi dia, capek deh…:)

Mengatakan “argumentasi tidak dapat memenangkan jiwa” dengan sebuah sikap skeptis kepada seorang Kristen yang menjalankan apologetika adalah kesalahan yang fatal karena beberapa alasan sederhana.

Pertama, karena sebenarnya mayoritas orang yang menjalankan apologetika juga tidak mempercayai hal itu, termasuk Craig yang sangat aktif berdebat itu. Dengan jelas Craig menyatakan bahwa bagi banyak orang mempercayai Tuhan memang tidak memerlukan pembuktian...sebuah konsep yang diusung oleh Reformed Epistemologis, Alvin Plantinga.

Walaupun demikian, dalam apologetika kita percaya bahwa Roh Kudus dapat bekerja melalui argumentasi untuk membimbing orang ke dalam kebenaran. Baik pembelaan, pembuktian maupun penyerangan yang merupakan bentuk-bentuk apologetika dapat menjadi jalan bagi seorang ateis untuk melihat masalah dalam wawasan dunianya, dan mengakui kebenaran wawasan dunia Kristen. Jadi, pernyataan seperti itu menggelikan jika ditujukan kepada apologet karena itu adalah sebuah bentuk kesalahan informal dalam logika bernama “Straw man.”

Kesalahpahaman kedua terkait pernyataan seperti itu adalah mengasumsikan bahwa seorang yang menjalankan apologetika percaya bahwa semua orang perlu diinjili dengan proses apologetika, debat dan sejenisnya. Kenyataannya adalah apologet yang dewasa tidak pernah berpikir bahwa semua orang harus diinjili melalui proses apologetika yang kompleks atau “jlimet” kata orang Jawa.

Penulis sendiri bertobat dan percaya Yesus sama sekali bukan melewati sebuah proses argumentasi yang panjang tetapi proklamasi Firman yang singkat. Selesai mendengarkan kotbah sederhana, saya memutuskan menjadi orang Kristen walau sebelumnya pikiran saya mengarah ke ateisme begitu kuat. Pengamatan terhadap proses orang menjadi percaya kepada Yesus juga mendukung hal itu. Amat jelas bahwa mayoritas orang Kristen tidak bertobat melalui proses argumentasi yang panjang dengan seorang Kristen yang suka apologetika. Hal ini pun dengan sukarela diakui oleh William Lane Craig secara terbuka.

Jika demikian, mengapa apologetika masih penting? Ada sangat banyak alasan. Salah satunya yang relevan dalam catatan ini adalah karena beberapa orang memang membutuhkan argumentasi lebih daripada orang-orang lainnya. Ada sejenis orang tertentu yang hambatan intelektualnya cukup besar sehingga apologetika dapat menolongnya dengan cara yang amat signifikan untuk “melihat” kebenaran. Sekali lagi, tidak semua orang yang memiliki hambatan intelektual besar akan dimenangkan melalui apologetika, namun jelaslah seperti dalam kasus pemuda di awal tulisan ini bahwa argumentasi amat berguna bagi dirinya untuk membuka jalan bagi iman.

Nah, Jika hanya untuk satu alasan ini saja apologetika telah memiliki “tempatnya” dalam pelayanan, mengapa terlalu sedikit orang yang mendalaminya dan bahkan beberapa orang bersikap antipati terhadapnya? Saya punya opini dan mungkin anda juga punya opini yang berbeda. Mari kita diskusikan.




Sumber: note penulis di FB.



Profil Penulis:
Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau mendapat sertifikat dari Ravi Zacharias International Ministry, Academy of Apologetics, India. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi Master of Theology (M.Th.) bidang Sejarah Gereja di Biola University, U.S.A.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

Resensi Buku-109: FIRMAN MENJADI DAGING (Pdt. Ir. Victor Mangapul Sagala, D.Th.)

...Dapatkan segera...
Buku
FIRMAN MENJADI DAGING:
Kristologi Berdasarkan Yohanes 1:14


oleh: Pdt. Ir. Victor Mangapul Sagala, D.Th.

Penerbit: Perkantas, Jakarta, 2009





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Doktrin tentang Kristus atau Kristologi menjadi bahan perdebatan sepanjang sejarah. Di sepanjang sejarah, berbagai bidat bermunculan untuk menyerang inti Kekristenan ini. Namun Tuhan tetap menjaga umat-Nya melalui Alkitab dan para pembela iman Kristen yang cerdas dan bertanggungjawab. Melalui Alkitab, kita belajar pribadi Kristus sesungguhnya. Khususnya melalui Injil Yohanes 1, kita belajar tuntas tentang pribadi Kristus yaitu Firman menjadi daging. Pdt. Ir. Victor Mangapul Sagala, D.Th. sebagai seorang pendeta yang menekuni dunia Biblika khususnya Perjanjian Baru menguraikan tentang Firman menjadi daging di dalam Injil Yohanes 1:14. Dengan kemampuannya di dunia Biblika, dalam buku yang juga merupakan revisi dari skripsi M.Th. beliau di Trinity Theological College, Singapore ini, beliau menguraikan ayat ini dengan mengaitkannya dengan konsep Perjanjian Lama, sehingga menambah pengetahuan kita tentang keagungan dan kemuliaan Pribadi Kristus. Biarlah buku ini boleh mencerahkan pikiran kita tentang Logos sejati yaitu Kristus dan bagaimana mewartakan Injil Kristus sejati kepada banyak orang dunia yang salah mengerti Kristus.





Rekomendasi:
“Allah berulang kali dan dengan berbagai cara berbicara dan menyatakan diri-Nya kepada manusia (Ibr. 1:1-2). Salah satu dari cara itu, dan sebagai puncak penyataan diri Allah, adalah “logos sarx egeneto” atau “firman menjadi daging” (Yoh. 1:14). Pendekatan Injil Yohanes tentang keilahian Yesus melalui konsepsi “logos” dijalankan Dr. Mangapul Sagala secara rinci, hermeneutis dengan argumentasi theologis. Alur berpikirnya sistematis, enak dibaca, dan mudah dicerna. Kehadiran buku ini telah memperkaya pemahaman Kristologi di tengah deretan buku theologi di Indonesia, sehingga layak dimiliki para hamba Tuhan dan para mahasiswa theologi yang selalu bergumul menemukan penjelasan Kristologi yang relevan dan kontekstual.”
Pdt. Dr. Darwin Lumbantobing
(Ketua Sekolah Tinggi Theologi—STT HKBP Pematangsiantar)

“Karunia dan kekuatan Mangapul Sagala sebagai seorang theolog adalah pemahamannya yang cermat akan konsep Kristologi Yohanes. Dia menggali secara mendalam konsep Yohanes tentang Firman dan daging, dan konsep kemah dan kemuliaan. Dengan demikian, melihat Allah dalam dan melalui manusia Yesus dari Nazaret.
Dengan sangat baik, ia menuntun kita untuk melihat bahwa Yesus, Allah yang berinkarnasi adalah Allah sejati dan manusia sejati, yang pernah hidup, mati dan bangkit kembali. Jadi, Sagala memberikan kontribusi bukan hanya menegaskan relasi antara keAllahan dan kemanusiaan Yesus, tetapi juga membagikan Yohanes 1:14, yang merupakan ayat yang sangat penting untuk Kristologi Firman.”
Pdt. Joshua Ong, Ph.D.
(Rektor STT IMAN dan gembala sidang Gereja Santapan Rohani Indonesia—GSRI Taman Sari; Sarjana Muda dari Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta; Master of Divinity—M.Div. dari Seminari Theologi Baptis Indonesia; Master of Theology—Th.M. dan Doctor of Philosophy—Ph.D. dari Fuller Theological Seminary)

“Keilahian Yesus Kristus hampir selalu muncul dalam setiap pengakuan dan puji-pujian Kristen tanpa pemahaman dan kesadaran akan misteri karya keselamatan Allah ini.
Pdt. Dr. Ir. Mangapul Sagala, melalui buku ini secara khusus mengajak kita semua berhenti sejenak, merenungkan apa yang Yohanes 1:14 singkapkan. Dia adalah Allah, inkarnasi Firman yang di dalam seluruh kepenuhan-Nya menjadi alasan, tujuan, dan bahkan “tabernakel” di mana kita boleh mengalami perjumpaan dengan Dia dalam ibadat penyembahan yang sesungguhnya.
Buku ini pantas untuk dibaca oleh setiap individu Kristen yang secara pribadi mencari jawab untuk salah satu pertanyaan iman yang paling esensial dalam hidupnya. Saya percaya, buku ini akan menjadi salah satu sumbangan penting untuk Kekristenan di Indonesia.”
Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D.
(Rektor dan dosen Theologi Sistematika dan Etika, Theologi Praktika,Psikologi dan Konseling di STTRII; Sarjana Theologi—S.Th. di STT Jakarta; Master of Christian Education—M.C.E. di Reformed Theological Seminary, U.S.A.; Th.M. dari Trinity Evangelical Divinity School, U.S.A.; dan Ph.D. dari Biola University, U.S.A.)





Profil Pdt. Dr. V. Mangapul Sagala:
Pdt. Ir. Victor Mangapul Sagala, M.Div., M.Th., D.Th. lahir di Bonandolok, Samosir, 19 Mei 1956. Beliau saat ini dipercaya sebagai Koordinator Divisi Pelayanan Alumni di Persekutuan Antar Universitas (Perkantas) Jakarta dan dosen Perjanjian Baru di: Sekolah Tinggi Theologi IMAN dan Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta. Beliau juga termasuk anggota dari: ISBI (Ikatan Studi Biblika Indonesia), FTB (Forum Theolog Batak), dan juga Pendiri/Ketua Dewan Pembina YBD. Beliau menyelesaikan studi Insinyur (Ir.) di Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Jakarta. Kemudian beliau menyelesaikan studi theologi di Trinity Theological College, Singapore dan meraih gelar: Master of Divinity (M.Div.), Master of Theology (M.Th.), dan Doctor of Theology (D.Th.). Beliau menikah dengan Dra. Junicke br. Siahaan dan dikaruniai 5 orang anak: Billy (1988) Abdiel (1991), si kembar Stefan & Filip (1993), Ekharisti (1995). Beliau juga mengadakan riset selama 6 bulan di Cambridge, Inggris dan PIB, Roma. Karya tulis yang telah diterbitkan, antara lain:
1. Pemimpin Pujian Yang Kreatif
2. Superioritas dan Keistimewaan Alkitab
3. Petunjuk Praktis Menggali Alkitab
4. Kristus Pasti Datang Kembali
5. Roh Kudus dan Karunia Roh
6. Bagaimana Kristen Berpacaran
7. Pekabaran Injil Secara Pribadi
8. Injil dan Adat Batak
9. Mangapul Sagala: Pelayan dan Pembelajar (ed.: Victor Silaen)