07 November 2010

MEMILIKI KERENDAHAN HATI (Denny Teguh Sutandio)

MEMILIKI KERENDAHAN HATI

oleh: Denny Teguh Sutandio



“TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; … Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku”
(Mzm. 139:1, 23)




Raja Daud yang menulis Mazmur 139 ini merupakan seorang raja yang diurapi oleh Tuhan sendiri menggantikan Saul. Pengurapan Daud menjadi raja merupakan pemilihan Tuhan sendiri, karena Ia mendapati kemurnian hati Daud. Ketika hendak mengurapi seorang raja menggantikan Saul, Tuhan memberikan petunjuk kepada nabi Samuel, “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1Sam. 16:7) Dari hati yang cinta akan-Nya, akhirnya Daud yang terpilih, meskipun di mata dunia, Daud justru tidak terpandang. Di sini, kita melihat Tuhan lebih melihat hati ketimbang hal-hal yang lahiriah. Di dalam Perjanjian Baru, Kristus sendiri berkata kepada orang Farisi dan hamba-hamba uang, “Kamu membenarkan diri di hadapan orang, tetapi Allah mengetahui hatimu. Sebab apa yang dikagumi manusia, dibenci oleh Allah.” (Luk. 16:15) Di sini, sangat jelas dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru, Alkitab secara konsisten mengajar kita bahwa Allah sangat melihat hati kita yang terdalam.

Kemurnian hati Daud inilah yang mengakibatkan ia bisa menuliskan Mazmur 139 ini yang meminta Allah sendiri yang mengenal dirinya menyelidiki dan mengenal hatinya serta kemudian di Mazmur 139:24, ia meminta Tuhan melihat apakah jalannya selama ini serong sekaligus memimpinnya kepada jalan-Nya yang kekal. Dengan kata lain, kemurnian hati Daud mengakibatkan ia menjadi seorang yang rendah hati.

Apa itu rendah hati? Apa bedanya dengan rendah diri? Rendah diri alias minder berarti terus-menerus menjelek-jelekkan diri, sedangkan rendah hati berarti membuka hati kita untuk terus-menerus belajar dan ditegur. Menurut Pdt. Dr. Stephen Tong, rendah hati BUKAN selalu mengatakan YA sambil senyum (bahasa Jawa: enggih-isme). YA, rendah hati bukan sikap lahiriah, tetapi lebih merupakan sikap batin/hati yang terdalam. Sebegitu signifikannya sikap rendah hati, sehingga salah satu apologet Kristen ternama abad ini, Dr. Ravi Zacharias dalam bukunya Sang Penenun Agung pernah berkata, “Kerendahan hati adalah batu pijak bagi melayani Tuhan.” (hlm. 69) Seorang pelayan Tuhan yang tidak memiliki kerendahan hati akan menjadi pelayan Tuhan yang arogan dan merasa diri paling benar sehingga sulit ditegur. Kerendahan hati bukan hanya perlu dimiliki seorang pelayan Tuhan, tetapi juga semua orang Kristen yang mengaku percaya kepada Kristus. Lalu, dari manakah kerendahan hati itu bersumber? Penulis buku laris, Desiring God, Rev. John S. Piper, D.Theol. dalam bukunya Memerangi Ketidakpercayaan berujar, “Kerendahan hati hanya bisa bertahan di dalam hadirat Allah. Ketika Allah berlalu, kerendahan hati berlalu… kerendahan hati mengikuti Allah bagaikan suatu bayangan.” (hlm. 39) Ya, kerendahan hati berasal dari Allah dan orang yang rendah hati adalah orang yang memusatkan iman dan kehidupannya hanya pada Allah SAJA.

Seorang yang memusatkan iman dan kehidupannya hanya pada Allah SAJA berarti orang yang sadar bahwa dirinya adalah manusia berdosa yang memerlukan Allah sebagai Pusat hidupnya. Kesadaran ini disusul dengan kerinduannya yang mendalam untuk menempatkan Allah dan firman-Nya berotoritas dalam kehidupannya. Tentu saja, orang ini bukanlah orang yang keras kepala yang ngotot dengan pandangannya sendiri, sebaliknya ia berkata dan bersikap seperti apa yang Daud minta, yaitu meminta Tuhan melihat apakah jalan hidup kita serong dan memimpin kita ke jalan-Nya yang kekal. Setelah Alkitab dijadikan patokan dasar iman dan kehidupannya, maka ia pun dengan rendah hati meminta saran, teguran, dan nasihat dari orang lain: orangtua, teman, saudara, pacar, suami/istri, dll. Namun perlu dicamkan: semua nasihat tersebut HARUS diuji terlebih dahulu oleh otoritas Alkitab. Jika nasihat tersebut lolos ujian, maka kita boleh menuruti nasihat itu, namun jika TIDAK, hargai nasihat tersebut, namun JANGAN menaatinya, karena menaati apa pun yang melawan apa yang Allah firmankan adalah DOSA!

Orang yang memberi nasihat, saran, dan teguran pun jika seorang Kristen yang sehat hendaklah memberi nasihat, saran, dan teguran yang Alkitabiah dan bijaksana, namun sampaikanlah dengan kasih dan tegas, namun TIDAK memaksa! Beberapa kali saya menemukan orang yang memberi saran selalu berkata manis, “Saya hanya menasihati, tidak memaksa”, namun ujung-ujungnya kalau orang yang tidak dinasihati itu tidak sependapat dan tidak menaati nasihatnya, orang itu dicap: bodoh, kurang ajar, dll. Aneh! Kalau memang orang itu tidak memaksa, kenapa dia marah kalau tegurannya tidak dituruti? Lalu, orang yang menegur orang lain pun SEHARUSNYA juga rendah hati belajar jika mungkin tegurannya itu salah dalam hal isinya atau kurang tepat waktunya atau kurang mengerti konteks/situasi orang lain (salah tafsir). Dengan kata lain, orang yang menegur dan ditegur sama-sama rendah hati mau mengerti satu sama lain, bukan merasa diri paling hebat, berjasa, dan pandai jika sudah menegur orang. Murnikan motivasi kita ketika mau menegur orang lain!

Dengan kata lain, menurut saya, kerendahan hati dalam iman Kristen meliputi dua hal: rela ditegur jika salah (pasif) dan rela/siap belajar mengerti orang lain (aktif)! Dan kedua hal ini bersumber dan berpusat pada Allah dan firman-Nya (Alkitab), sehingga kemuliaan hanya bagi nama Allah Trinitas selama-lamanya.

Bagaimana dengan kita? Sudah siap dan relakah kita rendah hati? Saya mengerti bahwa menjadi orang yang rendah hati itu sulit, tetapi biarlah Roh Kudus melembutkan hati kita untuk pertama-tama taat akan firman-Nya dan kemudian selektif menerima teguran dan saran dari orang lain sesuai dengan firman-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.