22 October 2010

AGAMA DAN FINALITAS KRISTEN (Pdt. Sapto Harsoyo, D.Min.)

AGAMA DAN FINALITAS KRISTEN

oleh: Pdt. Sapto Harsoyo, D.Min.



HAKEKAT AGAMA
Pada saat agama dipahami terkait dengan perenungan yang paling hakiki dalam diri setiap manusia.1 maka pembicaraan mengenai agama di samping bersifat universal juga bersifat sangat mendasar. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa manusia adalah makhluk religius yang dalam dirinya mereka memiliki kesadaran dan antusiasme bathiniah terhadap wilayah-wilayah keagamaan. Sebagaimana yang dikomentarkan oleh Nafisul Atho, salah satu pemerhati bidang hubungan antar agama di Indonesia terhadap interest utama Emile Durkheim terhadap Sejarah Agama-Agama,2 bahwasannya dalam bentuknya yang paling primitif pencarian-pencarian serta perwujudan-perwujudan terhadap dimensi keagamaan merupakan realitas sosiologis manusia di manapun mereka berada. Agama selalu ada pada saat ada manusia.

Masih dalam dimensi sosiologi agama, adalah penegasan Atho mengenai ketetapan realitas agama dalam diri manusia, “Individu boleh saja meninggal dunia, ataupun generasi berlalu dan digantikan oleh yang lain (baru), akan tetapi kekuatan ini (pen. kepercayaan pada satu kekuatan) akan hidup terus dan tetap sama. Ia menghidupi setiap generasi, baik yang sekaran ini, yang telah lalu, maupun yang akan datang. Ia dapat disebut dewa dalam kepercayaan totemik, bersifat impersonal, tanpa nama, tanpa hikayat, imanen di sunia ini dan tersebar melekat pad benda yang tak terhitung banyaknya.”3

Tidak disangkali memang di tengah suara bulat mengenai realitas menetap dari fenomena agama dalam peradaban manusia, maka kita juga mendapati pertanyaan kritis dari arus pemikiraan yang mempertentangkan universalitas agama dalam masyarakat. Fenomena agama dalam masyarakat telah mendapatkan pertanyaan ulang dalam realitasnya. Misalnya, walaupun secara mendasar para sosiolog agama modern seperti Durkeheim dan Freud mengakui mengenai universalitas fenomena agama, namun pada umumnya fenomena agama dalam diri manusia dipahami sebagai “ungkapan cita-cita sosial masyarakat itu sendiri.”4 Sebagaimana disimpulkan David W. Shenk sebagai berikut:
“Karya Sigmund Freud, The Future of an Illusion, yang diterbitkan hanya sekitar satu setengah dasawarsa setelah karya klasik Durkheim, tiba pada kesimpulan yang sebagian besar sama. Freud memakai perangkat-perangkat penelitian psikoanalisa. Ia percaya bahwa agama adalah sebuh proyeksi atas dasar kebetuhan seseorang akan seorang ayah. Dia menemukan bahwa seorang dewa disembah untuk memenuhi peran figure sang ayah dalam keluarganya.”5

Shenk melanjutkan analisanya mengikuti asumsi sosiologis dari para sosiolog agama dengan mengungkapkan satu persepsi “modern” dari para filsuf Yunani kuno tentang morfologi dewa-dewa,
“Bagi sejumlah filsuf Yunani, sepertinya dewa-dewa yang orang sembah sungguh merupakan ciptaan-ciptaan pikiran manusia, Xenophanes dengan sinis mengamati bahwa jika sapi, singa atau kuda dapat membuat dewa-dewa, maka para dewa akan menyerupai sapi, singa atau kuda. Ide filsuf-filsuf Yunani Kuno ini bahwa para dewa adalah perluasan imajinasi manusia luar biasa modernya. Penelitian anthropologis dan psikologis abad kedua puluh telah menunjukkan bahwa ide-ide tentang yang ilahi dalam budaya-budaya berbeda hampir seluruhnya merupakan psikoproyeksi dari nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan sebuah masyarakat…”6

Pergumulan mengenai validititas dan obyektivitas eksistensi agama-agama dalam masyarakat akan senantiasa menjadi tantangan bagi masa depan agama-agama di dunia. Studi tentang agama -agama secara umum dirincikan oleh Douglas Davis meliputi dua pendekatan,7 yakni pendekatan kepercayaan dan pendekatan keilmuan. Yang dimaksud dengan pendekatan kepercayaan adalah menyangkut studi tentang esensi dari agama tertentu yang di dalamnya meliputi studi tentang theologi, nilai-nilai etika serta perwujudan perilaku peribadatan agama. Sedangkan pendekatan keilmuan adalah usaha pendekatan secara ilmiah terhadap fenomena agama-agama.

Pada umumnya pendekatan ini merupakan tindakan analisis terhadap fenomena agama tertentu melalui jalur keilmuwan, misalnya pendekatan antropologis. Anthropolog E. E. Evans-Pritchars berpendapat bahwa agama adalah “what religion does”.8 Sedangkan psikologist William James memaknai agama sebagai “a value in helping man to live a positive and courageous live”.9 Pendekatan evolusionistik terhadap fenomena-fenomena agama pada umumnya menjadi pendekatan yang dipakai oleh para sosiolog terutama Emili Durkheim yang pada intinya meneliti fenomena agama yang perwujudannya melalui proses interaksi konsep dalam dinamika kebudayaan masyarakat.

Dengan demikian agama dapat dipahami sebagai perwujudan proses pergumulan internal manusia terhadap nilai-nilai dan kebutuhan yang paling hakiki, yang perwujudannya meliputi seluruh kelengkapan antara wilayah material dan immaterial, sebagaimana pemahamanan terhadap makna kebudayaan, bahwa kebudayaan selalu merupakan perwujudan antara kultus dan kultur. Kultus meliputi segala fomat ideologi dan kultur adalah perwujudan khasad mata yang dalam konteks agama adalah mengakomodasi segala bentuk ritual keagamaan.

Pengertian agama bisa diperluas hingga pada wilayah format nilai dan ideologi, sehingga walaupun sebuah ideologi tertentu tidak terwujudkan dalam ungkapan ritual yang bersifat agamawi maupun kepercayaan, namun apabila ideologi dipahami merupakan hasil dari pertimbangan-pertimbangan mendalam terhadap hakekat kebenaran maka hal itu bisa dikategorikan sebagai agama minimal sebuah bentuk kepercayaan.


AGAMA DAN DINAMIKA MASYARAKAT10
Identitas dan dinamika masyarakat terkait langsung dengan agama. Dalam pengertiannya yang luas, tidak ada satupun identitas dan dinamika masyarakat tanpa dikaitkan dengan agama dan nilai yang dianut oleh masyarakatnya. Lobi-lobi dan tarik ulur kebijaksanaan dalam pemerintahan manapun sebagai pemproduk kebijaksanaan masyarakat senantiasa dilatar belakangi asumsi nilai dan kepercayaan tertentu. Agama dan kepercayaan senantiasa menjadi jiwa dari seluruh kompleksitas pola dan perilaku masyarakat dari berkeluarga, pendidikan, bisnis, pengelolaan alam, kesehatan, hiburan, seni, pola-pola sosialisasi, nutrisi, manajemen waktu, ibadah, politik, hukum, dsb. Pendeknya seluruh kompleksitas perilaku masyarakat. Pada saat Filsuf Perancis Antoine Destutt de Tracy memberikan identifikasi khusus terhadap istilah “ideology” sebagai “la theorie des theories”, It was the queen of sciences since it necessarily preceded all of the sciences which of necessity utilized ‘ideas’”,11 maka dapat dipahami bahwa gagasan nilai dan format kepercayaan senantiasa menjadi motivasi dan dinamisasi masyarakat. Agama dan kepercayaan senantiasa bersifat universal, dan senantiasa ada dalam masa depan setiap bangsa.

Dalam konteks masyarakat Indonesia misalnya, walaupun interpretasi terhadap Ideologi Pancasila sebagai dasar filosofi bangsa juga telah menghasilkan berbagai multi tafsir, namun secara umum dan mendasar diakui bahwa perwujudan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia didasari dan diinspirasi oleh filsafat dan ideologi Pancasila. Dalam konteks masyarakat global Shenk memberikan pernyataan yang menegaskan dinamika masyarakat dalam perwujudan agama dan kepercayaan dengan seruan agar “Komunitas global tidak boleh terus menerus mengabaikan hubungan yang peka antara komunitas manusia dan alam. Secara sensitif kita harus sadar akan komitmen-komitmen keagamaan dan ideologis yang menunjang serta menginformasikan hubungan-hubungan itu.”12

Paul F. Knitter memberikan komentar perihal peranan agama dalam dinamika masyarakat sebagai berikut:
“Dalam berbagai simbol dan naratif yang sangat berbeda-beda, agamamenawarkan kepada para pengikutnya suatu visi tentang pengharapan – pengharapan bahwa mereka dan dunianya bisa berbeda, bisa mengalami transformasi, bisa menjadi lebih baik. Agama berhadapan dengan dunia apa adanya, mengungkapkan berbagai kekurangannya (penderitaan, ketidakadilan, dosa), serta menyatakan bahwa dunia dan kondisi umat manusia tidak harus mengalami semua hal itu karena berbeda.”13

Geddes MacGregor dalam bukunya Introduction to Religious Philosophy14 menyinggung aspek penting dalam agama yakni dimensi Aesthetika dalam perwujudan pengalaman beragama, di mana dia menunjukkan adanya dimensi dan ekspresi keindahan dalam perwujudan kehidupan beragama para pengikutnya. Penghayatan dan perilaku beragama para penganutnya senantiasa terkandung ekspresi dan harapan tentang tatanan masyarakat yang indah, dan tertib.

Setidaknya, dalam konteks theologi kristiani. iman dan dinamika masyarakat senantiasa menjadi pokok pergumulan dalam realitas kehidupan masyarakat sebagai penganut kepercayaan dan nilai tertentu. Franz Magnis-Suseno15 menunjukkan setidaknya tiga aspek mendasar dalam inti kepercayaan kristiani yang secara otomatis bersinggungan langsung dengan dinamika masyarakat yakni, nilai martabat manusia sebagai persona, yang menggaris bawahi penarikan konsekwensi paling logis dari setiap kepercayaan terhadap nilai dan perwujudan nilai terhadap makna personalitas manusia; solideritas, tumbuh dan berkembangnya kesadaran akan keumatan dan masalah kemiskinan, yang bisa diperluas dalam dimensi yang utuh terhadap segala aspek kemisikinan dan kesengsaraan manusia.

Eksistensi agama dan dinamika masyarakat setidaknya merangkumkan “peranan” agama dalam memberikan arah dari dinamika masyarakat terkait dengan aspek-aspek berikut:
Agama dan Moralitas Masyarakat
Istilah “moral” dipahami sebagai norma nilai, yang di dalamnya terkandung ide-ide tentang keutamakan hidup, yang pada gilirannya akan menghasilkan penilaian etis terhadap yang benar dan yang salah. Dalam theologi Kristen fenomena agama dan moralitas dalam diri manusia dipandang sebagai realitas yang essensial yang ada dalam diri manusia. Itulah sebabnya hal kesadaran tentang yang baik dan yang buruk, yang walaupun dalam kenyataannya akan menghasilkan multi interpretasi dan multi aplikasi, akan selalu menjadi bentuk perwujudan pola pikir dan perilaku masyarakat. Pengertian “gambar dan rupa Allah yang diterapkan dalam diri manusia adalah salah satu pemahaman dan penghayatan sentral dalam iman Kristen.

“sebagai kesimpulannya dapat dikatakan bahwa gambar dan rupa Allah ini mencakup: (a) Dalam jiwa atau roh manusia yaitu dalam kualitas kesederhanaan, spiritualitas, tidak dapat dilihat, dan kekal. (b) Dalam kekuatan fisik manusia sebagai keberadaan rasional dan moral, yaitu intelektual dan kehendak dan segala fungsinya. (c) Dalam integritas intelektual dan moral dari natur manusia yang terungkap dalam pengetahuan yang benar, kebenaran, dan kesucian, Efesus 4:24; Kolose 3:10; (d) Dalam tubuh, bukan sebagai substansi material tetapi sebagai alat yang sesuai dengan jiwa, yang juga kekal, yang sebagai alat yang olehnya manusia dapat menguasai makhluk ciptaan yang lain. (e) Dalam kuasa manusia atas bumi.”16

Itulah sebabnya hal pergumulan manusia agamis atau ideologis dalam usahanya untuk memahami, merumuskan dan mewujudkan nilai-nilai moral dalam kehidupan akan senantiasa ada. Dalam peradaban dan kebudayaan masyarakat ide-ide moralitas, ajaran-ajaran moral dan usaha perwujudan perilaku bermoral senantiasa menjadi inti dari sebuah peradaban dan kebudayaan.17


Agama dan Pembangunan Masyarakat
Interest perihal agama dan kepercayaan serta keterkaitannya dengan pembangunan masyarakat menjadi pokok yang senantiasa menarik untuk dibicarakan. Konsep dan wujud pembangunan masyarakat tidak bisa disangkali senantiasa terwujud dalam proses penghayatan iman dalam pergumulannya dengan masalah-masalah sosial. Seorang teolog kristen Asia Masao Takenaka18 dalam tulisannya: Christian Art in Asia: Sign of a Renewal, menyimpulkan pandangan M. M. Thomas terkait dengan”living theology in Asia” dengan paparan sebagai berikut:
“Participating in the emerging theological discussion of churches in Asia, M.M. Thomas has summarized the thrust of “living theology in Asia” in the following way: 1) A living theology is always “situasional” or cotextual. 2) The content of a living theology is the discernment of what God-in-Christ is doing in the situation and the interpretation of the truth and meaning of Jesus Christ in terms of the situation and self-understanding. 3) The stuff of living theology is the life and witness the laity in the lay world and the fellowship of the churches”s congregations responding to Christ to save the secular neighborhood. 4) There is the need of the new understanding of the meaning of orthodoxy and heresy with respect to Christian Theology”

Pergumulan pembangunan masyarakat yang holistik senantiasa merupakan perwujudan dari perilaku kehidupan agamawi para penganutnya.19


Agama dan Problema Transformasi Nilai
Agama, kepercayaan dan nilai senantiasa diperhadapkan pada tantangan perubahan dan pergeseran. Kecepatan informasi global, kemajuan infrastuktur, berbagai tekanan dan tantangan hidup memperhadapkan nilai anutan pada kemampuannya memberi jawab terhadap masalah-masalah kehidupan. Transformasi nilai, pergeseran dan tantangan perubahan pandangan hidup semakin tidak terelakkan. Perpindahan penganut agama akan menjadi fenomena yang makin aktual yang membutuhkan respons secara proporsional oleh tatanan nilai dan kepercayaan apa saja dewasa ini.

Dalam dimensi dinamika budaya, perubahanan nilai yang didalamnya mengandung perjumpaan, interaksi, dan dialektika nilai merupakan realitas yang wajar dalam perilaku sosial. Bahkan bagi sebagian masyarakat yang memiliki interes terhadap keutuhan dan kebersamaan global, dialetika nilai telah menjadi ultimasi fokus sebagai cara terapi terhadap penyakit disharmonisasi sosial. Dalam konteks ini, pada saat dialektika nilai diyakini sebagai terapi mujarab terhadap konflik nilai, maka nilai-nilai otentik atau yang disebut “visi asali” yang telah mewujudkan tradisi hidup keumatan (“peoplehood”) sering dipahami tidak memadai dalam memberikan respons perubahan sehingga membutuhkan “visi baru” terhadap nilai yang lebih akomodatif, kreatif dan segar.20 Transformasi nilai memang sebuah fakta dari kehidupan itu sendiri, bagaimana setiap pemegang nilai senantiasa diposisikan dalam kondisi dinamis yang tak terelakkan. Setiap individu atau kelompok masyarakat penganut nilai harus memberikan respons yang semestinya terhadap natur trasformatoris nilai-nilai dalam kondisi masyarakat yang terus bergerak secara dinamis.21


Agama dan Konflik Sosial
Inti dari agama adalah interpretasi nilai. Sehingga apabila agama direlasikan dengan konflik dalam masyarakat, problem utamanya adalah terletak pada bagaimana para penganut agama merumuskan interpretasi terhadap kepercayaannya baik dalam ranah ide maupun dalam praktek berkehidupan. Data singkat yang dipaparkan Shenk sangat cukup untuk memberikan gambaran bagaimana praktek beragama amat sering sangat erat dikaitkan dengan konflik sosial:22
“Terlalu sering kita memakai agama-agama kita untuk mengumpan sikap intoleransi bahkan kebencian-orang muslim versus orang Budha di Burma, Katolik versus Protestan di Irlandia Utara. Sikh versus Hindu di Punjab, Muslim Syi’ah versus Muslim Suni di Irak, Budha versus Hindu di Sri Lanka, Marxis versus Budha di Tibet, Muslim versus Kristen di Libanon, Yahudi versus Muslim di Yerusalem, Muslim versus Kristen di Nigeria, orang-orang Kristen kepausan versus orang-orang Kristen Orthodox di Yugoslavia, Marxisme versus Gereja di Cina. Setiap komitmen terhadap kesejahteraan hidup global memberikan sebuah mandat kepada semua komunitas keagamaan dan ideologis: hiduplah dalam damai, satu dengan yang lain.Tidak mengejutkan bahwa UNESCO menyelenggarakan sebuah simposium “Tidak Ada Perdamaian Dunia Tanpa Perdamaian Keagamaan (Paris, Februari 1989).”

Nampaknya masalah perdamaian dan kebersamaan sejati menjadi wilayah yang sangat membutuhkan perhatian dalam perwujudan perilaku beragama sepanjang jaman. Agama dan nilai-nilai norma yang di dalamnya selalu mengandung kebenaran “azasi” bagi pemeluknya, selalu diperhadapkan pada kebutuhan relevansi, yakni bagaimana kehidupan dalam peradaban mendapatkan fondasi dan ruang geraknya yang proporsional. Sifatnya yang eksklusif dan inklusif dari nilai-nilai norma itu sangat membutuhkan pengertiannya yang azasi dan relevansinya yang presisi, kalau tidak demikian fenomena agama sebagai sumber konflik masyarakat bisa jadi akan menjadi axiomatik.




AGAMA DAN FINALITAS KRISTEN
Mengutip pandangan Alvin Plantingga, Joseph Tong menegaskan pembedaan natur dari agama dan kepercayaan dalam konteks finalitas Kristen dari sudut pandang pengertian antara Penyataan Umum (General Revelation) dan Theologi Alamiah (Natural Theology).23 Dalam hal ini Penyataan Umum dipahami sebagai Penyataan Diri Allah kepada manusia melalui alam, sedangkan theologi natural adalah hasil dari spekulasi manusia terhadap Allah atau perihal hakekat kebenaran. Dalam proses usaha pemahaman terhadap keber-Ada-an Allah, maka finalitas pemahaman terhadap Dirinya melibatkan kegenapan dari penyataan Allah yakni kesaksian alam dan kesaksian Kristus yang terwujud melalui Alkitab dan karya pencerahan Roh Kudus. Di luar hal tersebut Theologi Alamiah, hanya akan menghasilkan spekulasi konsep tentang Allah atau nilai.

Lebih lanjut terkait dengan tantangan finalitas terhadap seluruh agama, kepercayaan dan nilai di tengah masyarakat, Joseph Tong mengungkapkan lima tantangan fundamental yang harus dijawab yakni24:
Foundational Challence: yang mengaktulisasi pengalaman iman agama di dalam Allah yang hidup; Natural Challence: yang mengaktulalisasi posisi manusia sendiri terhadap alam dan kehidupan, apakah manusia menjadi tuan atau sebaliknya budak alam dan manusia sebagai penerima mandat Allah sebagai pengelola; Social Structural Challence: yang mengaktualisasi pembedaan antara Humanisme dan kekristenan humanis, Epistemological Challence: Rasionalisasi melawan Revelationalisasi; serta Ultimate Challlence: nihilisme-natural melawan teleologisme-theologis. Pada akhirnya masalah finalitas agama dan kepercayaan dalam sudut pandang kekristenan sangat ditentukan pada masalah natur, otoritas dan penafsiran terhadap Alkitab. Natur Alkitab dikaitkan dengan tindakan penyataan Allah, di mana Alkitab adalah kebenaran Allah yang dibahasakan.25 Sedangkan Otoritas Alkitab adalah komitmen penerimaan kedaulatan Alkitab sebagai sumber kebenaran utama dan Penafsiran terhadap Alkitab, yang di dalamnya mengandung persetujuan terhadap prinsip penafsiran Alkitab yang semestinya. Memang pada akhirnya interpretasi terhadap Alkitab secara semestinya hanya dimungkin dalam konteks yang inklusif, yakni dalam komunitas kekristenan, hal tersebut seperti diungkapkan oleh Tong sebagai berikut:
“Bible is to be studied in the context community, where we have to listen seriously to the interpretations of other Christian and expect to hear God’s word through them. The community is the whole people of God On Christian heritage and legacy of Christian wealth in the interpretation of Scripture.”26

Sebetulnya dalam posisinya yang paradox nilai-nilai kristiani senantiasa dalam posisi obyektif-subyektif. Obyektif karena nilai-nilai Kristen dibangun atas dasar Wahyu, yakni penyingkapan Diri Allah kepada umat, dan subyektif karena jelas tafsir terhadap Wahyu bukanlah Wahyu itu sendiri. Namun demikian hal itu bukan berarti kekristenan tidak memungkinan adanya validitas kebenaran, sebab hal-hal yang pokok dalam kebenaran memang sudah dinyatakan dalam wahyu yakni wahyu umum yang mendapat bimbingan dan pencerahan oleh wahyu khusus.

Nilai-nilai kristiani yang juga bisa disebut sebagai theologi Kristen mendapatkan dua panggilan tugas yang mendasar yakni pertama, mengusahakan tafsir terhadap Alkitab dengan fokus mengusahakan semaksimal mungkin menemukan maknanya yang otentik, yakni sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penulis teks Alkitab pertamanya, menyusunnya sehingga menjadi ajaran Kristen yang utuh, serta yang kedua, mewartakan secara kontekstual hasil tafsirannya. Berdasarkan pertimbangan relasi proporsional antara Wahyu umum dan Wahyu khusus, maka theologi Kristen dalam tugas pewartaannya harus mengfungsikan diri pada panggilan pengudusan dan penyelamatan terhadap nilai-nilai agama dan kepercayaan yang ada di tengah masyarakat, sehingga setidaknya theologi Kristen bersama-bersama nilai-nilai lain yang ada dalam masyarakat mendapatkan nilai-nilai yang final dalam Alkitab.



Catatan Kaki:
1. Istilah “religi” telah menghasilkan berbagai interpretasi, dalam dimensi filosofi, John R. Everett menyimpulkan ungkapan makna dari sudut pandang filsafat sebagai “a superstitius structure of incoherent metaphysical notions” dengan bentuk-bentuk karakter yang paling pokok antara lain: penyembahan, ide pemisahan antara yang sacral dan profane, kepercayaan pada realitas roh, kepercayaan pada Ilah atau Ilah-ilah; penerimanaan pada penyataan supranatural, dan pertanyaan perihal keselamatan”. John R. Everett, dalam Encyclopedia Americana, Volume, XXII; Americana Coporation (1964); hlm. 342.
2. Nafisul Atho, dalam Emile Durkheim, Sejarah Agama (Penerbit IRCiSoD; Yogjakarta; 1992), hlm. 9
3. Ibid.
4. David W. Shenk, Ilah-Ilah Global (BPK Gunung Mulia; Jakarta: 1995), hlm. 4
5. Ibid
6. Ibid
7. Douglas David, The Study of Religion; dalam R. Pierce Beaver (et.all); Erdman’s Handbook to The World’s Religions (Grand Rapids:Will. B. Erdmans, 1982) hlm. 11.
8. Ibid
9. Ibid
10. Agama senantiasa menyangkut posisi interpretative dalam wujud operatifnya. Hal tersebut seperti dipaparkan oleh Joseph Tong yang mengkategorikan praktek keagamaan setidaknya dalam katagori “Religions-Anthropocentricsm” dan “Religions-Theocentricsm” Joseph Tong dalam Seminar “Kekristenan Awal, Homogen atau Heterogen”, Universitas Pelita Harapan, Sidoarjo, (6 Nopember 2008).
11. Andrew Vincent, Modern Political Ideologies (Great Britain: T. J. Press, 1992), hlm. 1-3.
12. David W. Shenk, Ibid., hlm. 38.
13. Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 106.
14. Geddes MacGregor; Introduction to Religious Philosophy (Boston: Geddes MacGregor, 1959), hlm. 326.
15. Franz Magnis-Suseno: Beriman Dalam Masyarakat: Butir-Butir Theologi Kontekstual (Kanisius: Yogyakarta, 1995), hlm. 120-125.
16. Louis Berkhof, Theologi Sistematika 2 Doktrin Manusia (Jakarta: LRII, 2001), hlm. 2:56.
17. Leo D. Lefebure menyinggung teori mimesis (imitasi) dan kekerasan dari Rene Girard (sejarawan, kritikus sastra dan athropolog Perancis) yang berasumsi bahwa motif peniruan dan rivalitas adalah motif utama agama-agama yang memiliki tradisi korban penumpahan darah. Korban penumpahan darah dalam ritus merupakan jalan terwujudnya pendamaian. Dengan kata lain ide–ide ke alahan pada dasarnya dikaitkan dengan peniruan, rivalitas dan kekerasan. Namun demikian Lefebure menyanggah asumsi Girard dengan membuktikan bahwa pada kenyataannya nilai-nilai ucapan syukur dan pemujaan akan keindahan sangat menonjol dalam motif ritus-ritus peribadatan. (band. Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 25-41).
18. Masao Takenaka, “Christian Art in Asia: Sign of a Renewal” dalam Douglas J. Elwood (ed.), Asian Christian Theology, Emerging Themes (U.S.A.: The Wesminster Press, Philadelphia, 1980), hlm. 170-171.
19. Dewasa ini beberapa isu pembangunan masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan ide-ide keagamaan sangat ramai dibicarakan, misalnya masalah undang-undang pornografi, masalah poligami, dsb.
20. David W. Shenk, Ibid., hlm. 19.
21. Dialetika nilai kadang didentifikasi dengan istilah “sinkretisme’ atau “fusi” di mana istilah-istilah ini telah menghasilkan interpretasi dan respons yang beragam.
22. Shenk, hlm. 35-36.
23. Joseph Tong, “Systematic Theology and Pastoral Ministry”, Syllabus and Class Notes (Pacet: International Center of Theological Studies, 2008), hlm. 12.
24. Ibid., hlm. 4-5
25. Ibid.
26. Ibid.





Sumber:
STULOS 9/1 (April 2010), hlm. 103-114
(http://www.sttb.ac.id/2007/newLook/uploads/07%20AGAMA%20DAN%20FINALITAS%20KRISTEN%20%28Sapto%20Harsoyo%29%20103-114.pdf)




Profil Pdt. Dr. Sapto Harsoyo:
Pdt. Sapto Harsoyo, B.Th., S.Th., M.Div., M.Th., D.Min. yang lahir pada tanggal 24 Juli 1962 adalah Rektor Sekolah Tinggi Theologi Injili Efrata, Sidoarjo. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Theology (B.Th.), Sarjana Theologi (S.Th.), dan Master of Divinity (M.Div.) di Sekolah Tinggi Theologi Institut Injil Indonesia (STT I-3), Batu, Malang; Master of Theology (M.Th.) dan Doctor of Ministry (D.Min.) di International Center For Theological Studies, Pacet, Mojokerto.




Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio