20 September 2007

Matius 4:12-17 : ESSENCE OF CALLING, SUFFERING AND KERYGMA-2

Ringkasan Khotbah : 1 Agustus 2004


Essence of Calling, Suffering & Kerygma (2)


oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 4:12-17


Alkitab mencatat Tuhan Yesus memulai pelayanan-Nya setelah Yohanes ditangkap. Hal ini membuat orang berpandangan negatif pada pelayanan yang Yesus kerjakan karena “sepertinya“ Tuhan Yesus memang sedang menantikan Yohanes Pembaptis berhenti melayani untuk kemudian digantikan posisinya. Manusia pada umumnya ingin kalau ia menggantikan posisi atau pekerjaan seseorang maka segala sesuatunya haruslah sudah dipersiapkan dan berjalan lancar dengan demikian ia tidak akan menemui kesulitan. Akibatnya ia tidak siap ketika mendapati situasi dan kondisi berbeda dengan yang diharapkan. Puji Tuhan, Tuhan Yesus tidak terjebak dengan situasi, Ia telah siap dengan segala situasi bahkan situasi yang terburuk sekalipun karena pelayanan yang Tuhan Yesus gantikan ternyata tidaklah mengenakkan malahan sangat membahayakan namun dari sinilah kita melihat esensi panggilan sejati.
Bentuk pelayanan Yesus berbeda dengan yang dipikirkan manusia. Ketika Tuhan memanggil kita, Tuhan tidak pernah menjanjikan segala sesuatu akan berjalan lancar dan enak, Tuhan juga tidak janjikan hidup kita tidak jumpa susah dan penderitaan. Tidak! Yesus Kristus, Anak Allah yang tunggal itupun menderita ketika Ia datang ke dunia. Kini tiba waktunya bagi Tuhan Yesus, sang Mesias yang menjadi berita utama itu untuk tampil melayani setelah Yohanes Pembaptis, sang pembuka jalan itu ditangkap. Namun tantangan yang harus dihadapi Tuhan Yesus sangat berat karena sama halnya seperti Yohanes Pembaptis, Tuhan Yesus juga mendapat penolakan dari Herodes, penguasa pada jaman itu. Bayangkan, bagaimana Herodes tidak murka, dengan ditangkapnya Yohanes, ia berharap tidak akan ada lagi orang yang memberitakan berita: “Bertobatlah sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!“ Kini Herodes justru mendapati orang yang berbeda namun memberitakan berita yang sama dan hal ini membuat geram hati Raja Herodes. Maka dengan segala cara dan upaya Herodes menghancurkan setiap orang yang memberitakan berita kebenaran tersebut namun tantangan berat ini tidak menggentarkan hati Tuhan Yesus, Ia tidak menggeser sedikitpun berita kebenaran.

Banyak orang yang menafsirkan salah dengan kembalinya Yesus ke Galilea. Ingat, Yesus menyingkir ke Galilea bukan karena Ia mau menghindar dari ancaman Herodes. Tidak! Karena itu diperlukan empat Injil untuk melihat satu pribadi Yesus. Satu buku atau satu pandangan saja tidaklah cukup untuk menuliskan biografi seseorang. Injil Lukas melihat Kristus secara sejarah dan kronologis, yakni mulai dari Dia lahir sampai kematian-Nya sebaliknya injil Yohanes melihat Kristus, Firman Allah yang menjadi manusia. Injil Markus melihat Kristus sebagai seorang hamba Allah, seorang yang melayani Allah, maka kalau kita membaca tulisan Markus kita akan merasakan Yesus layaknya seorang manusia yang melayani yang pernah ada di bumi namun kontras dengan injil Matius yang menggambarkan Kristus sebagai seorang Raja yang berkuasa, maka kita akan menjumpai kata “Kerajaan Sorga“ di setiap tulisannya; kerajaan Kristus dimulai dari Yesus memanggil dua belas murid kemudian berkembang menjadi kerajaan Sorga yang besar.

Kalau kita melihat Yesus secara segmentasi, yaitu Yesus sebatas manusia, atau Yesus sebatas Raja atau Yesus sebatas Allah berarti kita gagal mengenal Yesus yang adalah Allah dan manusia. Kegagalan ini disebabkan karena orang telah terpaku pada subyektifitas diri. Injil Matius mau melihat Kristus dari sudut pandang Yesus Kristus, seorang Raja yang sedang memberitakan Kerajaan Sorga mulai dari biji sesawi sampai menjadi pohon besar dimana burung dapat berteduh dalamnya. Ingat, Matius maupun Injil yang lain tidak menulis semua hal tentang Kristus secara detail, hanya hal-hal yang mereka anggap sangat penting saja itulah yang ditulis. Dari injil Matius, kita melihat Yesus tidak sepenuhnya berada di Galilea tapi kalau kita bandingkan dengan Injil yang lain maka kita akan menjumpai Yesus pernah ke daerah Yordan bahkan ke Yerusalem. Namun hal ini tidak ditulis oleh Matius karena bukan di sana fokusnya.

Matius mau menunjukkan bahwa pelayanan Yesus dimulai dari Galilea karena Matius ingin supaya pembacanya melihat mulainya pelayanan Yesus, kemudian kita melihat bagaimana Tuhan Yesus melangkah selangkah demi selangkah memulai misi-Nya hingga berakhir di Yerusalem. Matius melihat Tuhan memanggil secara progresif, yakni kita melihat pimpinan Tuhan selangkah demi selangkah. Namun dunia modern dimana teknologi telah berkembang pesat menjadikan manusia ingin segala sesuatu haruslah serba cepat, orang selalu ingin melihat hasil akhirnya terlebih dahulu sebelum ia melangkah lebih jauh. Cara Tuhan memimpin berbeda, Ia menuntun kita selangkah demi selangkah, Ia tidak menunjukkan pada kita hasil akhirnya. Seperti halnya orang yang sedang berjalan di kegelapan malam yang pekat dengan membawa sebuah lentera kecil sehingga ia hanya dapat melihat dengan jarak pandang yang terbatas, ia tidak dapat melihat jalan tersebut akan berakhir dimana namun seiring dengan langkahnya maka lentera itupun turut menerangi jalannya. Tuhan ingin supaya manusia selalu bersandar pada pimpinan Tuhan.

I. Pelayanan yang Taat Pimpinan Tuhan
Tuhan Yesus ketika hendak memulai pelayanannya, Ia tidak langsung terjun melayani melainkan Ia retreat berdiam diri di Kapernaum sehingga hal ini dapatlah kita teladani bahwa saat kita melayani mungkin Tuhan ingin supaya kita mundur terlebih dahulu. Secara manusia terkadang kita tidak rela ketika Tuhan meminta kita untuk mundur apalagi kalau kita sudah tahu hasil akhirnya. Retreatnya Tuhan Yesus justru mempunyai makna yang sangat besar. Galilea merupakan awal bagi Kristus menjalankan misi-Nya, yaitu dari dua belas murid. Tuhan membentuk setiap anak-Nya seiring dengan berjalannya waktu yang terus berproses dengan demikian kita mempunyai pondasi yang kuat sehingga tidak mudah digoncangkan oleh bujuk rayu iblis. Ketika melangkah kita harus belajar untuk mundur dan melihat apa rencana Tuhan atas hidup kita.

Kita telah memahami bahwa cara Tuhan memimpin berbeda dengan cara iblis. Tuhan memimpin manusia selangkah demi selangkah berbeda dengan iblis yang menawarkan jalan pintas. Manusia melihat jalan pintas yang ditawarkan iblis itu nampak indah namun manusia tidak menyadari jalan pintas yang dipilih tersebut justru merupakan titik kehancuran. Karena itu sebagai anak Tuhan hendaklah kita senantiasa waspada supaya kita tidak masuk dalam jebakan iblis. Jalan Tuhan memang sulit untuk kita pahami; tujuan sudah nampak di depan mata tapi terkadang Tuhan menuntun memimpin kita untuk berputar. Tuhan tahu justru jalan yang terbaik bagi setiap anak-Nya adalah jalan yang memutar dan panjang bukan jalan pintas. Bukankah untuk sampai pada puncak gunung lebih mudah bagi kita kalau jalan tersebut berkelok-kelok? Namun manusia berdosa merasa diri lebih pandai, lebih bijaksana sehingga ia merasa tidak perlu untuk taat pada Tuhan.


II. Pelayanan yang Dimulai dari Kecil
Jangan melangkah terlalu cepat dan terburu-buru. Orang yang melangkah dengan terburu-buru biasanya akan menjadi batu sandungan. Start with the humble begining, biarlah segala sesuatunya kita mulai dari hal yang sederhana terlebih dahulu. Pada umumnya, manusia ingin mengerjakan hal yang besar dengan tujuan supaya orang lain melihat dan memuji hasil pekerjaannya namun banyak orang tidak siap mental sehingga ia akan mudah jatuh, ia tidak mempunyai pertahanan yang cukup untuk menahan “kebesaran“ dirinya. Seperti halnya gedung kalau pondasinya tidak kuat maka ia akan runtuh ketika datang goncangan dan badai menerpa. Tuhan Yesus memberikan teladan bagi kita, Dia adalah Anak Allah sehingga bukanlah hal yang sulit kalau Ia memulainya dari Yerusalem namun Ia memulai misi-Nya dari kota kecil di Galilea, Kapernaum.


Kapernaum dan Yerusalem terpisah oleh jarak yang sangat jauh tapi Yesus tahu dari sanalah awal dari kekuatan dan kematangan langkah. Orang tidak suka kalau harus memulai pekerjaan dari hal yang kecil terlebih dahulu apalagi kalau mereka sudah terbiasa mengerjakan hal-hal yang besar. Padahal dari hal yang kecil akan menjadikan kita lebih teliti dan kita mempunyai pertahanan mental diri yang kuat. Dalam banyak aspek, kita tidak mau memulai dari bawah terlebih dahulu karena orang seringkali beranggapan bahwa mengerjakan pekerjaan rendah sangat menghinakan mereka. Sebagai anak Tuhan, janganlah kita menganggap rendah dan memandang remeh setiap pelayanan yang dipercayakan Tuhan pada kita bahkan pelayanan yang kecil sekalipun. Pelayanan yang terbaik justru dimulai dari kita mengerti orang lain terlebih dahulu, seperti pelayanan di penyambutan tamu. Berelasi dengan orang lain merupakan cara yang tepat bagi seseorang untuk menunjukkan jiwa pelayanannya. Kalau ia tidak mempunyai jiwa pelayanan maka Tuhan tidak akan memberikan pelayanan lain yang lebih besar padanya. Tuhan Yesus tidak memulai pelayanannya langsung pergi ke Yerusalem meski Ia tahu bahwa pada akhirnya Ia harus ke sana tapi Kristus justru memulai pelayanan-Nya dari kandang domba dan pelayanan-Nya di mulai dari sebuah desa kecil. Hendaklah kita meneladani Yesus yang berjiwa rendah hati dan kesederhanaan.

III. Pelayanan yang Dikerjakan dengan Semangat Tinggi
Pelayanan sejati harus dimulai dari jiwa yang rendah hati dengan demikian pelayanan sekecil apapun kita kerjakan dengan kesungguhan hati bukan asal-asalan. Jiwa pelayanan Tuhan Yesus tidak terpengaruh dengan situasi dan kondisi, meski Kapernaum sebuah desa kecil namun Kristus tetap semangat melayani dan berita yang Ia wartakan tidak berubah, “Bertobatlah sebab Kerajaan Sorga sudah dekat“. Manusia telah terbiasa dikondisikan oleh lingkup yang ada, kalau lingkupnya kecil dan sederhana biasanya orang melakukannya tidak dengan sepenuh hati. Itu berarti kita telah didikte oleh situasi dan kondisi karena lingkungan mendikte kita negatif maka kita pun terpengaruh negatif begitu pula sebaliknya. Puji Tuhan, Kristus tidak terpengaruh sedikitpun oleh situasi maupun kondisi. Situasi merupakan tempat bagi Kristus untuk mengerjakan tugas panggilan-Nya. Tuhan Yesus tahu esensi panggilan itulah sebabnya kesulitan dan penderitaan tidak membuat-Nya undur dari pelayanan.


Panggilan Kekristenan seharusnya tidak menurunkan kualitas pelayanan; kita harus tetap memberitakan Firman, kita tetap bersedia baik atau tidak baik waktunya (2Tim. 4:2). Prinsip ini tidak hanya berlaku dalam pelayanan di gereja semata tapi juga berlaku di sekolah, dunia kerja, dan lain-lain. Karena itu jangan menganggap remeh setiap pekerjaan sederhana yang dipercayakan pada kita tapi hendaklah kita melakukannya dengan sebaik-baiknya. Orang selalu berpikir bahwa pekerjaan yang ia lakukan haruslah setimpal dengan pendapatan yang ia peroleh sehingga kalau pendapatan yang ia terima kecil maka ia akan melakukan tidak dengan sepenuh hati. Kita seharusnya berpikir terbalik, apapun yang kita lakukan haruslah kita kerjakan sebaik mungkin, seluruh kemampuan kita kerahkan sehingga orang lain akan menilai, apakah kita layak atau tidak dipercaya untuk mengerjakan hal-hal yang lebih besar. Dunia membangun citra yang terbalik dengan yang Alkitab ajarkan sehingga hal ini turut mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku kita.


Begitu pula dalam pemberitaan Firman, seorang hamba Tuhan tidak boleh terpengaruh dengan jumlah jemaat yang hadir. Meski jumlah jemaat hanya lima orang sekalipun, berita yang kita sampaikan harus tetap konsisten dan bersemangat sama seperti kalau berkhotbah pada seribu orang jemaat. Hal ini berarti hamba Tuhan tersebut tidak dikendalikan oleh situasi maupun kondisi tapi dikendalikan oleh panggilan Tuhan atas hidupnya. Sebagai anak Tuhan kita harus menyadari bahwa Tuhan memanggil untuk menjadi pemberita Firman maka kita akan memberikan yang terbaik pada-Nya. Namun bukan hal yang mudah bagi kita untuk tidak terpengaruh dengan sesuatu yang dapat kita lihat dan kita rasakan. Orang akan goncang kalau melihat situasi yang buruk dan tidak menguntungkan akibatnya kualitas kerja kita merosot. Situasi dunia kini sangat kacau namun kita diuji dalam keadaan kacau demikian apakah esensi panggilan hidup kita mengontrol hidup kita. Ini menjadi hal yang utama.


Panggilan hidup kita bertumbuh seiring dengan ketaatan kita pada pimpinan Tuhan seperti orang yang berjalan dengan lenteranya berjalan di kegelapan malam dengan demikian kita tidak takut menghadapi kesulitan dan penderitaan karena Tuhan beserta. Yang menjadi pertanyaan adalah maukah kita taat pada pimpinan Tuhan dan relakah kita dibentuk oleh Dia? Biarlah hakekat panggilan hidup terus kita sadari sehingga kita mempunyai kekuatan dan kestabilan hidup dengan demikian kita tidak mudah diombang-ambingkan oleh arus dunia yang senantiasa berfluktuasi. Hendaklah kita mencontoh teladan Musa dan Yusuf yang tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi. Kiranya Tuhan menguatkan kita menjalani hidup seturut dengan panggilan Tuhan dalam diri setiap kita. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber :

Roma 3:9 : DOSA : TIDAK ADA ALASAN UNTUK BERMEGAH

Seri Eksposisi Surat Roma :
Kasih dan Keadilan Allah-2


Dosa : Tidak Ada Alasan Untuk Bermegah

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 3:9.

Setelah Paulus memaparkan tentang realita dosa, maka ia melanjutkan di ayat 9 sebuah pertanyaan awal, “Jadi bagaimana?” Pertanyaan ini merupakan pertanyaan lanjutan dari ayat-ayat sebelumnya dan pertanyaan ini merupakan petunjuk selanjutnya tentang akibat dari realita dosa. Setiap dosa pasti berdampak buruk. Kita melihat bahwa ketika orang-orang Yahudi meskipun sudah mengenal Taurat sekalipun, mereka tidak menaatinya, bahkan melanggarnya. Saat mereka melanggar Taurat, itulah permulaan dosa. Dosa bukan sekedar membunuh, mencuri, dll, itu adalah akibat dosa (akan dibahas pada Roma 3:10-18). Dosa sesungguhnya dapat berarti ketidaktaatan terhadap perintah dan kedaulatan Allah (atau memberontak terhadap Allah). Esensi dosa ini lah yang nantinya mengakibatkan tindakan-tindakan seperti pembunuhan, pencurian, dll. Yang perlu kita perhatikan adalah esensi dosa dan bukan hanya akibat dosa, karena dari esensi timbullah akibat.

Kalau dosa adalah pemberontakan terhadap Allah, maka perlukah kita bermegah di dalamnya ? Paulus mempertanyakan hal ini, “Adakah kita mempunyai kelebihan dari pada orang lain?” Atau terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mengartikannya, “apakah kedudukan kita sebagai orang Yahudi lebih baik daripada kedudukan bangsa lain?” Saya lebih memilih terjemahan BIS karena terjemahan ini lebih tepat. Dalam tradisi Israel, mereka selalu menganggap diri lebih hebat, lebih beretika, dan lebih daripada bangsa-bangsa kafir lainnya karena orang-orang Yahudi memiliki Taurat. Dengan kata lain, di dalam benak mereka, meskipun mereka berdosa, mereka tetap lebih baik daripada bangsa-bangsa lain karena mereka memiliki Taurat. Benarkah demikian ? Bagaimana dengan kita ? Kita pun juga sebagai orang Kristen setelah mengerti doktrin bahwa sekali diselamatkan selamanya diselamatkan, kita semakin enggan berbuat baik, karena kita berpikir bahwa meskipun kita berbuat dosa sejahat apapun, keselamatan kita tidak mungkin hilang. Sehingga tidak heran, di zaman gereja-gereja Lutheran, banyak moral orang Kristen rusak dan ditertawakan oleh gereja Katolik Roma. Secara kedudukan, orang Kristen memiliki wahyu Allah lebih tinggi agama apapun karena kita telah menerima wahyu khusus Allah di dalam Kristus dan Alkitab, sedangkan agama lainnya hanya merupakan respon terhadap wahyu umum Allah yang terbatas. Tetapi benarkah kita dapat menyombongkan diri akan hal ini ? Paulus menjawab hal ini, “Sama sekali tidak.” (BIS mengartikannya, “Sekali-kali tidak!”). Penggunaan tanda seru di dalam terjemahan BIS menunjukkan suatu penegasan yang penting yang mengajar orang-orang percaya untuk tidak memegahkan diri meskipun sudah memiliki wahyu Allah. Manusia yang berdosa seringkali masih tidak menyadari dirinya berdosa, tetapi berusaha menutupi dosa-dosanya dengan beribu dalih yang malahan membuat dirinya makin berdosa. Contohnya, banyak orang yang belum percaya di dalam Kristus masih menganggap diri hebat, baik, bahkan berani membanggakan diri kalau dia tidak ada maka seluruh dunia akan kacau (seperti dia adalah “Tuhan”). Ini adalah apa yang paman saya dari luar pulau lakukan dan katakan. Dia menganggap diri “juruselamat” bagi orang lain, suka “menolong”, padahal menurut saya, yang paling perlu ditolong adalah dia sendiri, karena kebodohannya sendiri. Untuk hal ini, Paulus dengan tegas mengajarkan bahwa kalau kita berdosa, janganlah bermegah atas dosa kita, karena itu hal yang tidak layak dilakukan. Sama seperti orang yang sudah berlumuran lumpur tetapi tetap mengaku bahwa tubuh dan bajunya tetap bersih, bukankah itu suatu tindakan konyol dan absurd (tidak masuk akal) ? Itulah manusia berdosa khususnya di abad postmodern yang gila ini. Tidak heran, di abad yang gila ini, muncullah Gerakan Zaman Baru dan psikologi sebagai akibat dari filsafat humanisme yang makin meniadakan realita keberdosaan manusia. Lalu, mereka menganggap diri mereka “allah” yang dapat menyelamatkan diri sendiri dan orang lain (termasuk paman saya yang saya barusan ceritakan di atas). Bagi Allah, semakin manusia menganggap diri tidak berdosa (atau mengatakan bahwa dosa itu hanya ilusi atau suatu kesalahan biasa atau sisi lain dari kebaikan di dalam konsep Yin-Yang), maka mereka justru semakin berdosa. Di dalam Matius 23, Tuhan Yesus menegur orang-orang Farisi sebagai orang-orang munafik, karena Ia mengetahui dan mengenal isi hati setiap orang, sehingga meskipun kita kelihatan baik di luar, tetapi Allah melihat hati kita dan ternyata hati kita busuk adanya. Ketika memilih Daud sebagai raja Israel menggantikan Saul, Allah tidak melihat paras wajah, tetapi hati, sehingga Ia tepat memilih Daud meskipun Daud sempat berdosa. Mengapa Allah tidak memilih hal-hal yang tampak baik di luar ? Karena penampilan luar bisa menipu, tetapi hati tidak bisa menipu dan itulah yang diinginkan Allah. Seperti paman saya yang saya paparkan di atas, sehari-hari paman saya (seorang free-thinker, pluralis, relativis, humanis dan penganut mistisisme) selalu “menolong” orang yang “diganggu” setan, kelihatannya paman saya “baik” karena “menolong”, tetapi coba selidiki dan perhatikanlah dengan seksama motivasi dan perkataannya, itu semua keluar dari hati yang busuk. Mengapa demikian ? Karena ia melakukannya : pertama, jelas bukan dari Tuhan, karena ia berguru kepada dukun yang katanya memiliki ilmu “putih”. Kedua, dengan berusaha memegahkan diri sebagai orang yang paling hebat, pintar, bijaksana, dan bahkan semua orang jahat yang bertemu dengannya menjadi “takut”. Sungguh aneh, bukan ? Katanya dia menyembah “Tuhan”, tetapi dari perkataan dan motivasinya, yang selalu ditinggikan bukan Allah tetapi dirinya sendiri. Pernah ada suatu peristiwa ketika kerabat keluarga ada yang meninggal, paman saya langsung mengatakan bahwa kalau dirinya ada di sana sebelum meninggal, maka orang itu tidak perlu meninggal. Dalam hati dan pikiran saya, saya bertanya bahwa dia jelas bukan Tuhan, tetapi dia pura-pura dan merasa diri sebagai “Tuhan”, tetapi sambil mengaku dengan mulut bibirnya bahwa dia menyembah “Tuhan”. Bukankah ini suatu kontradiksi yang aneh dan gila ?! Seorang yang bermegah karena telah berbuat baik padahal dia masih berdosa, pasti mengalami kekacauan di dalam dirinya sendiri. Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya self-defeating contradiction (kontradiksi yang menyerang diri sendiri). Mengapa bisa demikian ?

Di dalam perkataan berikutnya, Paulus memaparkan penyebabnya, “Sebab di atas telah kita tuduh baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, bahwa mereka semua ada di bawah kuasa dosa,” Manusia yang berdosa tetapi masih tetap bermegah karena telah berbuat baik pasti tidak menemukan jalan keluar dari dosanya, tetapi malah berkanjang di dalam dosa yang semakin hari semakin mengikat dirinya secara tidak sadar. Itulah yang Paulus paparkan bahwa tidak peduli siapapun, baik orang Yahudi (yang religius), Yunani (dianggap “kafir”), dan orang dari bangsa, agama, jenis kelamin, ras, dan kedudukan sosial manapun semuanya sudah berdosa atau berada di bawah kuasa dosa (BIS : “semuanya sudah dikuasai oleh dosa.”). Inilah sifat dosa pertama yaitu universal, yaitu tidak memandang ras, agama, bahasa, kepercayaan, bangsa, status sosial. King James Version (KJV) dan English Standard Version (ESV) menerjemahkannya, “under sin” (=di bawah dosa), sedangkan International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “under the power of sin.” (=di bawah kuasa dosa). Dalam bahasa Yunani, kata “di bawah” menunjuk kepada suatu posisi/letak yang benar-benar di bawah sesuatu. Jadi, ketika Paulus mengajarkan bahwa semua manusia di bawah kuasa dosa, berarti dosa telah memerintah di atas diri kita dan kita sungguh-sungguh secara status dan posisi di bawah dosa, sehingga kita tidak bisa tidak berdosa (Latin : non-posse non-peccare). Di dalam status berdosa, manusia dikatakan tidak bisa tidak berdosa, karena kecenderungan hati manusia adalah murni jahat, meskipun sisi kebaikannya masih ada sedikit. Meskipun masih ada sisi sedikit kebaikan, kebaikan itu sendiri pun tidak murni 100% karena telah dicemari oleh dosa. Dosa mengikat manusia, inilah sifat dosa kedua, sehingga manusia dengan kekuatan sendiri tidak bisa melepaskan diri darinya. Adalah suatu absurditas jika mengatakan bahwa ketika manusia berbuat baik manusia bisa diselamatkan dan dibebaskan dari dosa. Bukankah suatu kekonyolan ketika manusia yang sendirinya berdosa bisa menolong dirinya sendiri dari dosa ? Itu seperti orang yang sudah tenggelam tetapi masih dapat menolong dirinya sehingga dirinya selamat dan tidak jadi tenggelam. Seorang yang tenggelam adalah seorang yang tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya menunggu uluran tangan orang lain yang menolongnya. Orang yang tenggelam itulah semua manusia yang berdosa yang hanya menunggu uluran tangan pribadi lain yang menolong kita. Kita tak mampu menolong diri kita sendiri, karena ketika kita mencoba menolong diri kita sendiri dengan kekuatan kita sendiri, berarti kita sedang membohongi diri kita sendiri yang sebenarnya adalah makhluk berdosa. Lalu, kata “dosa” yang mengikat diri kita dalam bahasa Yunani hamartia berarti tidak tepat sasaran. Artinya, seperti sebuah panah yang ditembakkan oleh pemanah yang tidak mengenai sasaran panah yang tepat, begitu juga dengan dosa yang tidak tepat mengenai sasaran yang Allah telah tetapkan sejak semula. Dosa membuat kita selalu ingin menyimpang dari jalan dan rencana Allah. Ketika Allah mengatakan A, kita seringkali mengatakan B bahkan menghina A. Inilah sifat dosa ketiga, yaitu menyimpang dari kebenaran. Manusia ketika diberitahu sesuatu yang benar pasti memberontak di titik pertama, baru setelah beberapa saat, orang tersebut kalau mau rendah hati mengakui akan berbalik dan menyesal karena telah memberontak di titik pertama. Itu adalah tindakan wajar, penyesalan selalu terjadi belakangan. Misalnya, ketika manusia (sebut saja X) diberitahu jalan satu-satunya (jalan F) menuju bangunan A, si X akan memberontak, karena menurut X, orang yang menunjukkan jalan itu sok tahu, sok hebat, sombong, dll, lalu si X mulai mencari alternatif jalan lain (misalnya, jalan G, H, dll), tetapi akibatnya X mengalami jalan buntu, lalu marah-marah dan akhirnya “terpaksa” mengikuti saran orang tersebut yang menggunakan jalan F menuju ke A. Itulah yang disebut menyimpang. Begitu pulalah manusia berdosa ditunjukkan jalan untuk mengenal Allah di dalam Kristus tidak juga sadar dan bertobat, malahan menghina si penunjuk jalan tersebut sebagai orang yang ekstrim, fanatik, sombong, dll. Apakah itu membuktikan bahwa orang yang menolak diberitahu yang benar itu lebih pintar ? TIDAK. Justru, itu membuktikan bahwa orang yang menolak tersebut adalah orang yang bodoh dan akibatnya dia akan tersesat sendiri di dalam kebodohannya. Maafkan, saya harus mengatakan suatu kalimat yang sangat keras bahwa banyak orang yang sebenarnya bodoh tetapi menganggap diri pandai (termasuk banyak guru/pengajar dan dosen-dosen yang bergelar akademis).

Setelah kita merenungkan bagian ini tentang tiga sifat dosa manusia secara esensial, maukah kita atas dorongan Roh Kudus di dalam hati kita dengan rendah hati mengakui semua dosa-dosa kita dengan tiga sifatnya, yaitu universal, menguasai dan menyeleweng dari kebenaran ini ? Maukah kita selanjutnya bertobat dan kembali kepada Kristus, sebagai Pribadi Allah yang menebus dosa-dosa kita ? Amin.

Soli DEO Gloria. Solus Christus.

Resensi Buku-22 : IMAN REFORMED (DR. LORAINE BOETTNER, D.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
REFORMED FAITH (IMAN REFORMED)

oleh : DR. LORAINE BOETTNER, D.D.

Penerbit : Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2000

Penerjemah : Ev. Hendry Ongkowidjojo, S.E., M.Div.





Di sepanjang sejarah Gereja, khususnya setelah Reformasi, Calvinisme merupakan arus pikir yang tidak dapat diabaikan pengaruh dan peranannya.

Namun dalam perkembangannya, banyak orang yang tidak mengerti secara tepat apa yang sebenarnya diungkapkan oleh theologia Calvinisme atau Reformed. Akibatnya sering muncul pemahaman atau prasangka-prasangka yang kurang tepat tentang pemikiran theologia ini.

Pembahasan ini mencoba untuk mengangkat dua macam fakta sistem keagamaan : agama yang berdasarkan pada iman (religion of faith) dan agama yang didasarkan pada perbuatan (religion of works), serta bagaimana posisi Calvinisme dalam menanggapi fakta mendasar yang sangat penting ini, khususnya dikaitkan dengan pemahamannya tentang keselamatan orang percaya.

Kiranya buku kecil ini bisa membawa kita pada pengertian yang tepat tentang ajaran Calvinisme dan menjadi berkat bagi banyak orang.
Soli Deo Gloria !






Profil Dr. Loraine Boettner :
DR. LORAINE BOETTNER, D.D. lahir di sebuah tanah pertanian di Linden, Missouri. Beliau adalah lulusan Princeton Theological Seminary dengan gelar Bachelor of Theology (Th.B.) pada tahun 1928 dan Master of Theology (Th.M.) pada tahun 1929, di mana beliau belajar Theologia Sistematika di bawah Dr. C. W. Hodge. Sebelumnya beliau telah lulus dari Tarkio College, Missouri, dan telah mengambil kuliah singkat dalam bidang Agrikultur di University of Missouri.
Beliau mengajar Alkitab selama 8 tahun di Pikeville College, Kentucky. Sewaktu di sana beliau menikah pada tahun 1932. Pada tahun 1933 beliau menerima gelar kehormatan Doctor of Divinity (D.D.) dan pada tahun 1957 gelar Doctor of Literature. Beliau adalah anggota gereja Orthodox Presbyterian Church di Amerika Serikat. Pada tahun 1937, beliau mulai bekerja di Library of Congress dan Bureau of Internal Revenue. Beliau menulis berapa buku termasuk : The Reformed Doctrine of Predestination, Roman Catholicism, Studies In Theology, Immortality, The Millennium and A Harmony of the Gospels.