19 August 2007

Roma 2:17-20 : STANDAR PENGHAKIMAN ALLAH-3 : Hukum Allah Vs Hukum Manusia-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-13


Standar Penghakiman Allah-3 :
Hukum Allah Vs Hukum Manusia-1


oleh : Denny Teguh Sutandio, S.S.


Nats : Roma 2:17-20.

Setelah membahas mengenai standar penghakiman Allah yang berpusatkan kepada pengadilan Kristus, maka Paulus seolah-olah mengganti topik pembahasan, tetapi sesungguhnya tidak lah demikian. Topik selanjutnya mulai ayat 17 ini, Paulus sedang mengontraskan pengadilan Allah yang berorientasi pada esensi (dan bukan fenomena) dengan pengadilan/penghakiman ala manusia yang berorientasi pada hal-hal fenomenal (lahiriah). Keempat ayat mulai dari ayat 17 sampai dengan 20 ini, Paulus mendeskripsikan ciri-ciri lahiriah yang terus dijadikan tameng orang-orang Yahudi untuk tidak mau bertobat. Ciri-ciri ini ditetapkan oleh para pemimpin agama Yahudi itu sendiri untuk mengadakan pemisahan antara orang-orang Yahudi dengan orang-orang kafir berdasarkan standar Taurat. Karena bangsa-bangsa lain tidak memiliki Taurat, orang-orang Yahudi menghina mereka sebagai orang-orang kafir yang patut dibinasakan, padahal Allah tidak menginginkan tindakan keji seperti itu. Kita pun sebagai orang Kristen tidak ada bedanya dengan orang-orang Yahudi. Merasa diri paling benar dan memiliki wahyu khusus dari Allah, yaitu Alkitab dan Kristus, kita menjadi lupa diri, menghina orang-orang yang beragama lain, bahkan tidak mau memberitakan Injil kepada mereka. Itulah yang seharusnya menjadi refleksi bagi kita. Oleh karena itu, marilah kita menelusuri ciri-ciri “superioritas” penghakiman yang orang-orang Yahudi bangun dan dirikan lalu kita akan mengaplikasikannya.


Pada ayat 17, Paulus mengungkapkan citra diri awal seorang Yahudi, “Tetapi, jika kamu menyebut dirimu orang Yahudi dan bersandar kepada hukum Taurat, bermegah dalam Allah,” Di dalam terjemahan King James Version, ayat 17 ini diawali dengan suatu seruan Behold yang bisa berarti perhatikan dengan seksama. Seruan ini sangat penting karena melalui seruan ini Paulus ingin menegur orang-orang Yahudi tentang hubungan antara status mereka dan tindakan ketaatan manusia yang seharusnya mereka sadari. Di dalam ayat 17-20, kita menemukan ciri-ciri “superioritas” penghakiman ala orang-orang Yahudi, yaitu,


Pertama, status sebagai orang Yahudi itu sendiri. Sebutan ini dalam bahasa Ibrani yehudi ; Aram : yehudai ; Yunani : joudaios ; dan Latin : judaeaus. Menurut Ensiklopedia Masa Kini-2, pada mulanya sebutan ini menunjuk kepada penduduk Yehuda (2 Raja-raja 16:6) dan terus dipakai dalam naskah-naskah Asyur paling tidak sejak abad 8 s.M. Kata ini biasanya dipakai oleh orang-orang non-Yahudi untuk menandakan orang Ibrani keturunan Abraham pada umumnya. Kata itu juga bisa dipakai untuk menunjuk kepada bahasa Semit setempat di Yehuda (2 Raj. 18:26, 28 ; Yes. 36:11, 13 ; Neh. 13:24). Kitab Daniel 5:13 menggunakan kata “Yehuda” dan Lukas 23:5 ; Yohanes 7:1 memakai kata “Yudea”. Menjelang zaman Perjanjian Baru, bentuk jamak “Yahudi” sudah umum untuk orang-orang Israel. (Ensiklopedia Masa Kini-2, 1995, p. 544). Kalau kita menelusuri ulang makna kata Israel, maka Musa mendeskripsikan istilah ini melalui perkataan seorang yang bergulat dengan Yakub, “Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.” (Kejadian 32:28). Kata “Israel” sendiri berarti Prince of God (Pejuang atau Pangeran Allah). Kalau orang Yahudi disebut pejuang Allah, maka orang-orang Kristen disebut pengikut Kristus. Istilah Kristen sebenarnya merupakan istilah ejekan dari orang-orang non-Kristen kepada orang-orang Kristen, tetapi istilah ini sebenarnya beresensi lain, yaitu kita dipanggil untuk mengikut Kristus, meneladani dan menTuhankan Kristus di dalam hidup kita. Itulah makna Kristen sejati. Kalau nama Yakub diganti menjadi Israel yang berarti kehidupan lama Yakub diubah dan diganti oleh Allah sehingga Yakub memiliki kehidupan baru melalui nama baru “Israel”, maka kita pun juga diubah status kita oleh Allah dari anak-anak kegelapan menjadi anak-anak terang di dalam Kristus. Status kita seharusnya menyadarkan kita bahwa kita bukan hanya menikmati status kita sebagai pengikut Kristus dan anak-anak Allah, tetapi kita harus keluar menjadi saksi Injil di tengah-tengah masyarakat dunia berdosa.

Kedua, bersandar kepada Hukum Taurat. Seperti yang telah dipaparkan di atas, hanya bangsa Israel yang mendapatkan wahyu khusus dari Allah yaitu kitab Taurat (Kejadian s/d Ulangan) yang ditulis melalui perantaraan Nabi Musa. Dibandingkan orang-orang non-Yahudi yang pada waktu itu tidak memiliki konsep Allah yang sejati, maka orang-orang Yahudi benar-benar mendapatkan anugerah yang besar dari Allah karena hanya merekalah yang diizinkan dapat mengenal Allah yang sejati melalui Taurat. Tetapi bukannya bersyukur, orang-orang Yahudi malahan memperalat Taurat untuk kepentingan mereka sendiri (bandingkan dengan Roma 2:21-24). Para pemimpin mereka menambahi aturan-aturan di dalam sistem Yudaisme, misalnya menetapkan hari Sabat sebagai perhentian kerja bahkan pekerjaan seseorang harus diukur agar tidak melanggar hari Sabat, misalnya tidak boleh berjalan sekian mil, tidak boleh mengangkat barang, dll. Mereka bersandar kepada Taurat tanpa mengerti esensi Taurat. Hal ini akan dibahas pada bagian lain di dalam ayat 21-24 nanti. Bagaimana dengan kita ? Bukankah kita sudah sempurna menerima wahyu Allah melalui Alkitab dan Kristus ? Tetapi herannya kita sebagai orang Kristen bukannya bersaksi memberitakan Injil, malahan menyombongkan diri sebagai pemegang otoritas kebenaran Allah lalu menghina yang lain. Inilah yang harus menjadi refleksi bagi kita.
Ketiga, bermegah dalam Allah. Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “bangga atas hubungan Saudara dengan Allah.” Orang-orang Yahudi merasa bangga karena hanya mereka sajalah yang dapat berhubungan dengan Allah yang sejati melalui upacara korban. Hubungan ini bukan hanya bersifat satu arah yaitu orang-orang Yahudi kepada Allah, tetapi bersifat dua arah. Allah juga pernah menghampiri nabi-nabi mereka seperti Musa, Yosua, Yesaya, dll untuk menjadi pemimpin dan penuntun hidup dan perilaku mereka. Hal-hal ini lah yang mereka banggakan karena menurut mereka, bangsa-bangsa lain yang menyembah ilah-ilah yang tidak bisa berbicara (alias mati) tidak mendapatkan hak istimewa seperti mereka. Bagaimana dengan kita ? Kita sebagai orang Kristen bukan hanya mendapatkan hak istimewa (privilege) berhubungan dengan Allah, kita dinyatakan sebagai anak-anak Allah di mana Allah menjadi Bapa kita (Roma 8:15). Bukan hanya itu saja, kita tidak lagi memerlukan upacara korban seperti yang diajarkan di dalam Taurat Yudaisme, karena darah penebusan Kristus telah mengalahkan kuasa dosa di dalam pribadi anak-anak Allah, melainkan kita dapat berhubungan langsung dengan Allah di dalam satu-satunya Pengantara yaitu Tuhan Yesus Kristus. Bukankah ini suatu hak istimewa dari Bapa kepada anak-anak-Nya yang mustahil bisa dimiliki oleh orang-orang non-Kristen yang tidak dipilih Allah ? Hak-hak istimewa ini seharusnya menyadarkan kita bahwa kita dipanggil untuk menyaksikan cinta kasih dan keadilan Allah di dalam Injil kepada mereka yang belum mendengarkan Injil. Allah mau kita bukan hanya menikmati hak-hak istimewa ini seorang diri tetapi berkeinginan membagikannya kepada orang lain yang beberapa di antara mereka dipilih oleh-Nya “sejak” kekekalan.

Keempat, tahu akan kehendak-Nya melalui Taurat (ayat 18, “dan tahu akan kehendak-Nya, dan oleh karena diajar dalam hukum Taurat, dapat tahu mana yang baik dan mana yang tidak,”). Orang-orang Yahudi belajar Taurat sejak kecil dan baru pada usia 30 tahun, mereka baru boleh keluar mengajar Taurat. Tentu saja, melalui tradisi ini, kita dapat mengerti bahwa orang-orang Yahudi bukan hanya membaca Taurat, tetapi mengerti dan menghafalnya (meskipun tidak mengerti inti Taurat yang sesungguhnya). Mereka hanya mengerti Taurat sebatas rasio saja. Hal ini dijelaskan oleh Paulus melalui kata “tahu” yang dalam bahasa Yunani ginosko yang bisa berarti mengerti (understand). Bagaimana dengan kita sebagai orang-orang Kristen ? Kita sebagai anak-anak Tuhan seharusnya bukan hanya terus menambah pengetahuan theologia dan Alkitab saja, tetapi juga harus mengaplikasikannya ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Untuk itulah, di dalam surat Roma pada pasal 12 ayat 1-2, Paulus mulai mengaplikasikan doktrin-doktrin yang telah diajarkannya sebanyak 11 pasal dengan mendahuluinya dengan pengajaran bahwa anak-anak Tuhan harus mempersembahkan tubuh mereka sebagai persembahan kepada Allah lalu disambung dengan perintah agar mereka berubah oleh pembaharuan akal budi mereka sehingga mereka dapat mengerti kehendak Allah dan membedakannya dengan kehendak manusia dan iblis. Pada Roma 12, mulai ayat 3, Paulus langsung mengaplikasikannya di dalam hal pertanggungjawaban karunia dari Allah oleh manusia untuk memuliakan-Nya. Mari kita belajar dari sosok Paulus, yang bukan hanya pandai berlogika dan berteori, tetapi juga berusaha mengaplikasikan apa yang telah diajarkannya dan diketahuinya di dalam kehidupannya sehari-hari, meskipun terkadang ia juga pernah gagal.

Kelima, penuntun orang buta dan terang bagi mereka yang ada di dalam kegelapan (ayat 19, “dan yakin, bahwa engkau adalah penuntun orang buta dan terang bagi mereka yang di dalam kegelapan,”). Ayat 19 ini berkaitan dengan hal-hal etis/moral. Orang-orang Yahudi juga merasa bangga bahwa melalui Taurat, mereka dapat menuntun orang-orang non-Yahudi maupun Yahudi yang masih buta secara rohani dan menerangi mereka yang hidup di dalam kegelapan. Hal ini dipaparkan oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 23:15, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu mengarungi lautan dan menjelajah daratan, untuk mentobatkan satu orang saja menjadi penganut agamamu dan sesudah ia bertobat, kamu menjadikan dia orang neraka, yang dua kali lebih jahat dari pada kamu sendiri.” Orang-orang Yahudi merasa diri sudah menjalankan tindakan pewartaan Taurat kepada mereka yang bukan Yahudi tetapi sebenarnya mereka sedang menjerumuskan orang-orang lain ke dalam kesalahan yang lebih jahat dari mereka sendiri. Mengapa ? Karena mereka mulai tidak mengajarkan Taurat secara esensial, tetapi secara harafiah. Hal ini seharusnya menjadi refleksi bagi kita sebagai orang Kristen. Kita memang diperintahkan oleh Kristus untuk memberitakan Injil (Matius 28:19). Kita bukanlah orang Kristen jika tidak mengabarkan Injil. Tetapi apakah cukup hanya dengan mengabarkan Injil, kita sudah layak disebut Kristen ? Sebelum mengabarkan Injil, kita harus mengerti apa yang kita beritakan, sehingga kita tidak salah di dalam memberitakan Injil. Ketika ada seorang pemimpin gereja atau orang “Kristen” yang memberitakan bahwa yang mengikut “Kristus” pasti kaya, sukses, sehat, dll, apakah itu disebut memberitakan Injil ? TIDAK. Itulah yang disebut Paulus sebagai “injil-injil” palsu yang mirip Injil tetapi sebenarnya bukan Injil (Galatia 1:6b-7). Mari kita belajar dari peringatan Paulus kepada Timotius yang muda, “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau.” (1 Timotius 4:16). Sebelum memberitakan Injil, kita harus mengerti Injil, Kristus, dll, sehingga dengan demikian, kita tidak menjerumuskan orang yang kita injili ke dalam kesalahan-kesalahan melalui berita yang kita sampaikan. Penginjilan tanpa theologia adalah suatu kesia-siaan, sebaliknya theologia tanpa penginjilan adalah mati dan statis.

Keenam, pendidik dan pengajar mereka yang bodoh dan tidak dewasa (ayat 20, “pendidik orang bodoh, dan pengajar orang yang belum dewasa, karena dalam hukum Taurat engkau memiliki kegenapan segala kepandaian dan kebenaran.”). Ayat 20 ini berkaitan dengan aspek pengetahuan. Orang-orang Yahudi menganggap diri pandai karena memiliki Taurat sebagai dasar pengetahuan. Sampai sekarang kita juga mengamati bahwa banyak orang Yahudi (keturunan) selain Jepang dan Tiongkok yang juga memiliki kepandaian yang luar biasa hebat bahkan diangkat menjadi salah satu pejabat pemerintah di negara lain, misalnya Amerika Serikat, dll. Mengapa bisa demikian ? Karena mereka adalah umat pilihan Allah yang mendapatkan wahyu-Nya di dalam Taurat. Mereka akan tersinggung jika mereka dikalahkan di dalam pengetahuan tentang Taurat. Ini terbukti melalui peristiwa penyembuhan orang buta sejak lahir (Yohanes 9). Di dalam peristiwa ini, setelah orang buta ini disembuhkan oleh Kristus, orang-orang Farisi menghakimi orang buta ini dan mengatakan bahwa Kristus itu seorang berdosa karena menyembuhkan di hari Sabat. Terhadap pernyataan orang Farisi ini, orang yang tadinya buta ini menjawab, “Aneh juga bahwa kamu tidak tahu dari mana Ia datang, sedangkan Ia telah memelekkan mataku. Kita tahu, bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan orang-orang yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya. Dari dahulu sampai sekarang tidak pernah terdengar, bahwa ada orang yang memelekkan mata orang yang lahir buta. Jikalau orang itu tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yohanes 9:30-33). Terhadap jawaban inilah, orang-orang Farisi tersinggung dan berkata, “Engkau ini lahir sama sekali dalam dosa dan engkau hendak mengajar kami?” (Yohanes 9:34), lalu Alkitab mencatat bahwa orang-orang Farisi mengusir orang yang tadinya buta ini. Perkataan sombong dalam Yohanes 9:34 yang keluar dari orang Farisi ini hendak menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tidak mengerti esensi Taurat, tetapi berani mengklaim diri sebagai pendidik orang bodoh dan pengajar orang yang belum dewasa. Sebenarnya mereka lah yang belum dewasa karena belum mengerti totalitas esensi Taurat tetapi berani mengangkat diri menjadi pemimpin agama. Bagaimana dengan keKristenan abad ini ? Bukankah gejalanya sama dengan fakta orang-orang Yahudi ini ? Bukankah kita menjumpai bahwa banyak pemimpin “gereja” atau bahkan istri pemimpin “gereja” sudah menganggap diri senior, bergelar tinggi (bahkan Ph.D.) lalu “menghina” mereka yang bodoh atau kurang berpengetahuan lalu menipu mereka dengan khotbah-khotbah atau ajaran-ajaran palsu untuk memuaskan keinginan orang-orang bodoh tersebut ?? Sudah lama, jemaat-jemaat Kristen dianggap “bodoh” oleh para pemimpin gereja mereka. Dan hal ini harus diberantas habis, jemaat-jemaat Kristen sudah saatnya tidak boleh dibodohi oleh banyak pemimpin “gereja”, mereka harus diajarkan Firman Tuhan secara bertanggungjawab. Firman Tuhan ini harus ketat dan benar sesuai dengan Alkitab dan penafsirannya yang mendekati arti asli Alkitab. Alkitab bukanlah monopoli pendeta atau pemimpin gereja, tetapi harus dipelajari oleh semua orang Kristen yang masih menganggap diri Kristen dan beriman Kristen (yang tidak lagi beriman Kristen {beriman kepada materialisme, humanisme dan pluralisme/relativisme}, harus tetap belajar keKristenan agar mereka bertobat dari dosa mereka). Pembelajaran ini bukan sebagai sarana untuk menyombongkan diri, tetapi sebagai sarana kerendahan hati dan ketaatan kita sebagai anak-anak-Nya yang ingin terus-menerus mengenal kehendak Bapanya. Pengetahuan sejati berkaitan erat dengan ketaatan dan kesetiaan. Ketika kita ingin mempelajari Firman Tuhan, sudahkah kita menuntut diri untuk taat mutlak dan setia kepada-Nya setelah mempelajarinya ? Itulah keinginan dan kehendak-Nya bagi kita.

Hari ini, setelah kita merenungkan keenam ciri berdosa dari orang-orang Yahudi di dalam empat ayat ini, maukah kita menyadari bahwa Tuhan tidak menciptakan strata-strata rohani di dalam gereja, tetapi Ia menganggap kita sama dengan karunia yang berbeda ? Jangan sekali-kali menetapkan strata rohani seseorang berdasarkan karunia Allah. Semua karunia Allah diberikan secara berlainan dan bertujuan satu yaitu untuk melayani Allah. Marilah kita mempergunakan semua karunia Allah yang dipercayakan kepada kita untuk melayani dan memuliakan-Nya saja. Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 4:4 : THE POWER OF THE WORD

Ringkasan Khotbah : 4 Juli 2004
The Power of the Word

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 4:4


Dengan memahami berbagai macam tipu muslihat dan akal licik si iblis, manusia seharusnya lebih waspada dan peka dengan demikian kita tidak mudah masuk dalam jebakan si iblis dan juga kita menjadi semakin berhati-hati dalam bertindak dan bertingkah laku, apakah tindakan kita sudah sesuai dengan cara Tuhan atau justru lebih mirip dengan cara hantu? Adalah tujuan utama iblis untuk membuat manusia jatuh dalam dosa karena itu dengan berbagai cara Iblis selalu berusaha menjauhkan manusia dari kebenaran sejati. Puji Tuhan, Yesus telah memberikan teladan supaya kita dapat menang melawan iblis seperti halnya Yesus yang telah menang, yaitu hanya dengan Firman saja, “sebab ada tertulis“.
Dunia modern tidak suka dengan Firman malahan hendak menghancurkan kebenaran sejati. Gejala ini sudah nampak dengan munculnya berbagai macam aliran filsafat, seperti postmodernisme. “Sebab ada tertulis...“ berarti kita harus kembali pada obyektifitas kebenaran yang dituliskan dalam Firman Tuhan bahkan manusia sudah mulai terang-terangan menegaskan bahwa standar kebenaran ada pada diri sendiri oleh karena itu manusia tidak perlu taat pada kebenaran Firman. Inilah sifat humanisme, yaitu manusia menjadi pusat dan standart dari segala sesuatu, manusia tidak perlu tunduk pada siapapun dan apapun. Tidak! Alkitab menegaskan Tuhanlah yang menjadi pusat dari segala sesuatu bukan manusia, “sebab ada tertulis...“ Hati-hati dengan gerakan postmodern yang hendak memutarbalikkan kebenaran dengan mempermainkan bahasa. Gerakan ini muncul pada pertengahan abad 20 dimulai dari pertemuan para filsuf di lingkaran Vienna dan salah satu pelopor filsafat postmodern ini adalah Jacques Derrida yang menulis buku Of Grammatology. Dalam bukunya tersebut ia mempermainkan makna sebuah bahasa dalam hermeneutika modern atau biasa dikenal dengan istilah language game.
Dalam Kekristenan, hermeneutika mempunyai pengertian ilmu menafsir Alkitab dengan tepat tapi kini istilah hermeneutik telah berubah maknanya yakni ilmu menafsirkan bahasa tapi menurut pengertian sendiri. Bayangkan, apa jadinya Alkitab kalau kita menafsir secara sembarangan menurut pengertian kita sendiri tanpa melihat konteks dan latar belakang sejarahnya maka Alkitab tidak lebih hanya sebuah buku dongeng yang dengan mudah dapat dipermainkan. Permainan bahasa ini dikenal dengan istilah plesetan dimana satu kalimat bahasa bisa mempunyai beberapa arti, sebagai contoh kalimat berikut: Hari ini harga-harga perlu disesuaikan. Istilah “disesuaikan“ disini bisa mempunyai beberapa arti terserah penafsiran kita masing-masing, ada yang menafsirkan harga dinaikkan, ada juga yang menafsir harga yang diturunkan, dan lain-lain. Orang lebih suka menggunakan kata-kata yang mengandung banyak arti daripada kata-kata yang mempunyai arti yang akurat seperti “sebab ada tertulis“ karena mereka sebenarnya hendak menghindar dari tuntutan pertanggung jawaban dari sesuatu yang dianggap benar.
Manusia mau menegakkan kebenarannya sendiri tapi tidak berani mengatakannya secara terus terang pada dunia karena sesungguhnya dia sadar bahwa kebenaran menurut diri sendiri tersebut merupakan ekspresi dari keegoisan dirinya jadi bukanlah kebenaran sejati. Orang yang demikian pasti akan mengalami kehancuran dalam hidupnya karena dia telah terbiasa menipu orang lain maka suatu hari nanti ia pasti menjadi korban dari penipuan. Kalau kita bisa menipu diri sendiri tentu kita lebih mudah ditipu oleh orang lain, bukan? Celakalah kalau kebenaran menurut kita masing-masing maka itu berarti kalau ada 100 orang maka berarti ada 100 kebenaran. Kebenaran relatif menjadikan kebenaran subyektif yang pluralistik, banyak kebenaran tetapi tidak ada satupun yang mau bertanggung jawab kalau ternyata kebenaran yang mereka ungkapkan tersebut salah. Ketika kebenaran subyektif bertemu dengan kebenaran obyektif maka dengan sendirinya kebenaran subyektif akan hancur. Itulah sebabnya orang tidak suka dengan “sebab ada tertulis...“ Orang berdosa paling takut jika harus berhadapan dengan kebenaran sejati, yaitu Firman Tuhan karena mereka seakan ditelanjangi akan dosa-dosanya. Ironisnya mereka tidak bertobat dan kembali pada kebenaran Firman tapi mereka justru menjauh dari Firman seperti peribahasa buruk muka cermin dibelah. Di satu sisi manusia sadar bahwa kebenaran subyektif bukanlah kebenaran sejati tapi manusia tidak mau kembali pada kebenaran obyektif, manusia sadar kalau dirinya butuh sandaran sehingga mereka menyandarkan kebenaran dengan logika.
Iblis pun tak ketinggalan juga menggunakan logika ketika ia mencobai Tuhan Yesus di padang gurun begitu juga Tuhan Yesus yang juga menggunakan logika ketika menjawab untuk melawan si iblis. Logika Iblis dan logika Tuhan Yesus berbeda bahkan bertentangan. Karena iman menjadi dasar yang melandasi setiap pemikiran dan keputusan yang kita buat maka hendaklah kita menguji iman kita. Apakah kita mempunyai iman yang sejati, yaitu iman kepada Tuhan Yesus Kristus? Lalu dengan apakah kita menguji iman? Apakah dengan logika? Tidak! Iman tidak dapat diuji dengan logika karena jika demikian berarti logika lebih tinggi dari iman padahal logika hanyalah sebagai sarana iman. Iman hanya dapat diuji dengan:
I. Sola Scriptura
Sejarah mencatat seorang bernama Martin Luther, tokoh reformasi berteriak dengan keras supaya manusia kembali pada Alkitab ketika manusia mulai menyelewengkan Firman Tuhan. Karena pada jaman itu ada kepercayaan bahwa jiwa manusia akan dapat diselamatkan kalau sanak keluarganya membeli surat pengampunan dosa. Setiap uang persembahan yang berdenting dalam kotak persembahan akan membuat satu nyawa melompat dari neraka ke surga. Ide untuk menjual surat pengampunan dosa ini muncul dari seorang arsitek, Johan Tetzel dalam rangka mencari dana untuk membangun gereja St. Peter di Roma. Sejarah mencatat kemegahan gereja St. Peter, Roma dan menjadi kebanggaan manusia di dunia hingga kini. Namun sangatlah disayangkan, keindahan dan kemegahannya tidak diiringi dengan kesaksian yang indah. Melihat lukisan indah Michael Angelo yang berada pada atap dinding, orang akan terkenang dengan hal yang buruk, yaitu si pelukis hanya melakukan sebatas tugas, tidak ada hati yang melayani.
Michael Angelo merasa dipersulit dengan melukis atap gereja yang berbentuk melengkung sedang rekannya yang junior, Raphael hanya melukis di bagian dinding. Andai, ia mengerjakannya dengan kesadaran bahwa semuanya ini ia kerjakan demi untuk kemuliaan Tuhan maka pasti akan menjadi kesaksian yang indah. Ingat, dentingan uang tidak dapat menyelamatkan nyawa kita. Sola Fide, Sola Scriptura, Sola Gracia, yakni hanya kembali pada iman, kembali pada Alkitab dan hanya karena anugerah saja maka manusia diselamatkan. Inilah dasar reformasi yang ditegakkan oleh Martin Luther dalam 95 dalil yang dipakukan di depan gereja Wittenberg. Manusia sangatlah terbatas sehingga manusia tidak berhak menegakkan kebenarannya sendiri. Hanya kembali pada Firman saja barulah kita akan menemukan kebenaran sejati.
Kalimat yang diungkapkan iblis pada Yesus, “Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti“ menggunakan logika yang tidak logis. Kenapa?
Pertama, karena tidak pada semua manusia, iblis mengeluarkan kalimat demikian; kalimat ini hanya ditujukan pada Tuhan Yesus saja hal ini berarti iblis sudah tahu bahwa Yesus adalah anak Allah; kata “jika“ iblis sepertinya meragukan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Anggaplah iblis ragu bahwa Yesus adalah Anak Allah lalu kenapa ia meminta pada Yesus untuk mengubah batu menjadi roti? Bukankah cara yang sama juga dipakai oleh iblis untuk menggoda Adam dan Hawa supaya jatuh ke dalam pencobaan? Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan? (Kej. 3:1). Dengan licik Iblis menggunakan kalimat sedemikian rupa untuk menjebak manusia supaya jatuh ke dalam pencobaan. Kalimat tersebut bukanlah kalimat pernyataan tapi hanyalah kalimat pertanyaan. Inilah yang dinamakan dengan permainan logika yang tidak logis. Iblis tahu jawabannya tapi ia sengaja menjebak manusia dengan kalimat pertanyaan tersebut.
Kedua, Yesus adalah Anak Allah tentu Ia dapat mencipta roti hanya dengan berfirman seperti ketika Ia menciptakan seluruh alam semesta ini. Tuhan Yesus tidak perlu batu, bahan yang sudah ada untuk membuat sekeping roti. Iblis tidak dapat mencipta seperti Allah; Allah mencipta dari tidak ada menjadi ada. Iblis tahu bahwa Yesus adalah Anak Allah, Sang Pencipta tapi antara pengertian dengan pertanyaan iblis yang memerintahkan Yesus supaya mengubah batu menjadi roti sangatlah tidak logis.
Ketiga, Yesus, Anak Allah maka logisnya seorang Anak Allah tidak membutuhkan makanan atau sesuatu yang lain yang bersifat materi untuk memenuhi kebutuhan jasmani-Nya. Hanya anak manusia saja yang dapat lapar dan membutuhkan makanan. Iblis dengan licik mau mencoba mengadu domba antara ke-Allah-an Yesus dengan kemanusiaan Yesus. Namun Yesus tidak mudah terjebak masuk dalam jebakan iblis sehingga tidak terjadi perdebatan yang sifatnya sekunder. Hal yang esensi adalah manusia hidup bukan hanya dari roti saja tetapi dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah. Ini menjadi dasar bagi kita untuk berapologetik, yaitu ketika kita diminta untuk memberikan pertanggung jawaban mengenai iman kita maka janganlah beragumen di dalam logika lawan tapi justru kita bawa mereka masuk ke dalam logika kebenaran sejati, yaitu logika berdasarkan yang iman pada Tuhan Yesus. Logika Tuhan Yesus dan logika iblis berbeda baik pendekatan, struktur dan caranya, semuanya berbeda. Namun, ada baiknya juga kalau kita juga memahami semua logika iblis dengan demikian kita tidak akan masuk dalam jebakan iblis.
II. Interpretasi Akurat
Tuhan Yesus melawan iblis dengan Firman dan Tuhan Yesus mengajak iblis untuk masuk dalam logika-Nya. Setelah pencobaan pertama tidak berhasil, kali ini iblis pun mencoba menggunakan firman untuk mencobai Yesus lagi. Dengan licik, iblis menggunakan firman untuk mencobai Tuhan Yesus yang kedua kalinya, yaitu: Mzm. 91:11-12. Pada pencobaan yang kedua, Iblis menggunakan sarana rohani, yaitu Bait Allah dan Firman Allah. Kita akan menemukan sesuatu yang unik dalam diri Tuhan Yesus saat melawan iblis, yaitu tiga kali dicobai, Yesus hanya menggunakan satu ayat saja dan ketiga-tiganya berasal dari satu kitab Taurat, yaitu kitab Ulangan 8:3; 6:16; 6:13. Tuhan Yesus menangkal hanya menggunakan satu ayat tapi iblis lebih dari satu ayat.
Jadi, banyaknya ayat yang dipakai oleh seorang hamba Tuhan dalam kotbahnya bukanlah jaminan kalau yang dikotbahkan tersebut pastilah benar. Justru semakin banyak ayat yang digunakan maka peluang seseorang menjadi bidat semakin besar karena ayat-ayat tersebut tidak beda seperti halnya kalau kita bermain puzzle. Ingat, setiap ayat yang ditulis dalam Alkitab berbeda konteks, latar belakang budaya, dan lain-lain karena itu jangan menafsir Alkitab dengan sembarangan. Karena itu kita harus belajar Alkitab lebih sungguh sehingga kita tidak mudah digoyahkan. Kalau pada pencobaan pertama setan menggunakan logika dunia maka pada pencobaan yang kedua, ia menyamakan logikanya seperti Tuhan Yesus, yaitu menggunakan logika Firman. Hati-hati, setan tidak segan-segan menggunakan firman untuk menjatuhkan manusia. Orang Kristen kalau melihat dari sudut pandang Alkitab dengan tepat maka kita tidak akan mudah tertipu, kita harus tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular, kedua hal ini harus ada dalam diri kita.
Tuhan Yesus adalah Anak Allah, maka sebenarnya Ia tidak perlu mengatakan, “Sebab ada tertulis...“ karena Dia sendiri adalah Firman yang telah menjadi daging namun Dia menggunakan Firman ketika melawan iblis demi untuk kita, yaitu supaya kita dapat meneladani-Nya. Jadi, setiap anak Tuhan yang sejati pun dapat melawan dan mengalahkan iblis dengan kuasa Firman. Lalu siapakah anak Tuhan yang sejati? Anak Tuhan yang sejati adalah mereka yang melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya (Yoh. 4:34) sehingga nama Tuhan dipermuliakan. Iblis memakai ayat Alkitab bukan untuk taat pada Tuhan tetapi untuk memanipulasi dan menuntut orang lain; dalam hal ini iblis ingin supaya Tuhan Yesus taat dan tunduk padanya. Inilah cara iblis bekerja bahkan tanpa kita sadari kita sebenarnya telah menggunakan cara yang sama seperti cara iblis namun berapa banyak di antara kita yang sadar, memohon ampun dan bertobat kembali pada Tuhan?
Dunia semakin hari tidak menjadi semakin baik tapi dunia semakin menuju pada titik kehancuran, manusia sudah menjadi serigala terhadap sesamanya, homo homini lupus maka jangan percaya kalau ada orang berpendapat bahwa hari esok akan lebih cerah dari hari ini. Manusia hidup di dunia tidak akan luput dari pencobaan bahkan iblis pun berani mencobai Tuhan Yesus, Anak Allah. Puji Tuhan, Yesus telah memberikan teladan bagi kita sehingg kita pun dapat melawan iblis dan menjadi berkemenangan. Tetaplah setia pada Firman supaya kita tidak mudah digoyahkan oleh segala macam tipu daya iblis. Bacalah keseluruhan isi Alkitab secara berurutan mulai dari Kejadian sampai Wahyu sehingga kita dapat mengerti isi Alkitab sebagai satu kesatuan yang utuh. Percayalah, Firman yang sudah kita baca tidak akan pernah berbalik dengan sia-sia karena Firman tersebut akan menjadi berkat di kala kita mengalami suka dan duka. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber :

Resensi Buku-17 : TIADA TEMPAT BAGI KEBENARAN (Prof. David F. Wells, Ph.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
NO PLACE FOR TRUTH (TIADA TEMPAT BAGI KEBENARAN)

oleh : Prof. David F. Wells, Ph.D.

Penerbit : Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2004

Penerjemah : Peter Suwadi Wong.





Buku ini ditulis untuk mendorong terjadinya kebangunan di dalam teologi Injili. Tiada Tempat Bagi Kebenaran akan mengungkapkan tumpang-tindih yang terjadi di antara iman Kristen dan dunia modern dengan cara yang sepenuhnya baru dan dengan ketegasan yang tidak biasa. Analisis David Wells yang menyeluruh ini mengamati runtuhnya teologi di dalam gereja, dunia pendidikan dan budaya modern, sambil sekaligus mempertanyakan masa depan iman Kristen konservatif.





Profil Dr. David F. Wells :
Prof. David F. Wells, Ph.D. adalah profesor terkenal Andrew Mutch dalam bidang Theologia Sistematika dan Historika di Gordon-Conwell Theological Seminary, South Hamilton, Massachusetts. Beliau juga melayani sebagai Asisten Khusus pada the President for Institutional Planning. Beliau ditahbiskan menjadi pendeta jemaat.
Beliau lahir di Bulawayo, Rhodesia Selatan (sekarang Zimbabwe) dan belajar di University of Cape Town. Pada tahun 1960, beliau mencapai kemampuan profesional di dalam bidang arsitektur dan sesudah itu latihan di Inggris. Ketika di University of Cape Town, Dr. Wells sadar akan imannya dan merasakan panggilan Allah untuk pelayanan Kristen.
Pada tahun 1966, beliau meraih gelar Bachelor of Divinity (B.D.) dari London University, Inggris, pada tahun 1967, Master of Theology (Th.M.) di dalam bidang sejarah gereja dari Trinity Evangelical Divinity School, Deerfield, Illinois, dan pada tahun 1969, Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam bidang theologia dari University of Manchester di Inggris. Beliau dipilih sebagai seorang cendekiawan yang mengadakan penelitian di Yale Divinity School dari tahun 1973 sampai 1974.
Dr. Wells bergabung dengan staf pengajar di Gordon-Conwell secara full-time pada tahun 1979. Dr. Wells dan istrinya, Jane, tinggal di South Hamilton, Massachusetts.
Buku-buku karya Dr. Wells : Bleeding of the Evangelical Church ; God in the Wasteland: The Reality of Truth in a World of Fading Dreams ; Losing our Virtue: Why the Church Must Recover it's Moral Vision ; No Place for Truth or Whatever Happened to Evangelical Theology ; Reformed Theology in America: A History of it's Modern Development ; Christian Faith and Practice in the Modern World: Theology from an Evangelical Point of View Dutch Reformed Theology ; The Evangelicals: What They Believe, Who They Are, Where They Are Changing ; God the Evangelist: How the Holy Spirit Works to Bring Men and Women to Faith ; Gospel in the Modern World a Tribute to John Stott ; The Person of Christ: A Biblical and Historical Analysis of the Incarnation ; The Princeton Theology (Reformed Theology in America) ; The Prophetic Theology of George Tyrell ; Search for Salvation ; Southern Reformed Theology ; Turning to God: Biblical Conversion in the Modern World.