16 August 2010

CHRIST CENTERED CHRISTIAN FAITH (Denny Teguh Sutandio)

CHRIST CENTERED CHRISTIAN FAITH
(IMAN KRISTEN YANG BERPUSAT KEPADA KRISTUS)


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur. Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.”
(Kol. 2:6-8)




KRISTEN: ASAL MULA DAN ARTINYA
Nama Kristen pada mulanya adalah sebutan yang dikenakan kepada jemaat di Antiokhia (Kis. 11:26). Kata Yunani yang dipakai adalah Christianos (Inggris: Christians) yang berarti pengikut Kristus. Nama ini sebenarnya merupakan panggilan/sebutan dari orang-orang Antiokhia pada waktu itu kepada jemaat Kristus di sana (seperti memanggil para pengikut Herodes sebagai Herodian, dll). Lambat laun, nama Kristen ini akhirnya dipergunakan oleh jemaat Antiokhia untuk menyebut diri mereka sendiri. Pada zaman dahulu, ketika mereka menyandang nama Kristen, orang-orang di luar sudah mengetahui bahwa mereka adalah para pengikut Kristus atau istilahnya Kristus-kristus kecil, seseorang yang menampilkan Kristus secara terbuka kepada orang lain. Tidak heran, di zaman gereja mula-mula, mereka yang berani menyebut diri Kristen kebanyakan akan menderita aniaya, entah itu difitnah, dibunuh, dll, karena sikap hidup mereka berlawanan dengan sikap hidup dunia di mana mereka hidup dan tinggal.


KRISTEN: SEBUAH REALITAS MENGENASKAN
Jika pada awal sebutannya, Kekristenan begitu indah dan banyak pengikut-Nya berani mati demi Kristus, namun sejarah kemudian membuktikan hal yang benar-benar mengenaskan. Nama Kristen yang begitu agung mulai diselewengkan dari zaman ke zaman. Dosa mengakibatkan penyimpangan signifikansi sebutan Kristen ini, sehingga tidak heran, makin hari kita melihat banyak orang Kristen yang tidak layak lagi disebut Kristen atau pengikut Kristus, karena mereka hidup di luar Kristus, meskipun masih terlihat seolah-olah rajin beribadah di gereja. Di dunia ini, hanya ada dua macam iman (Kristen), yaitu iman yang berpusat kepada Allah/Kristus vs iman yang TIDAK berpusat kepada Kristus. Iman yang tidak berpusat kepada Kristus, menurut Rev. Prof. Michael S. Horton, Ph.D., disebut sebagai Christless Christianity (Kekristenan yang tanpa Kristus). Jika orang Kristen tidak memusatkan imannya kepada Kristus, maka apa yang menjadi pusat iman mereka?

Pertama, human centered faith (iman yang berpusat kepada manusia). Iman ini ditandai dengan hal-hal yang berkaitan dengan manusia (entah itu rasio, perasaan, dll) yang menjadi berhala dalam iman dan kehidupan banyak orang Kristen. Biasanya banyak orang Kristen model ini meskipun terlihat alim dan rohani di dalam gereja, rajin melayani Tuhan, namun mereka sebenarnya lebih mementingkan hal-hal seperti: rasio, perasaan, dll. Mereka hanya mau menerima Kekristenan jika Kekristenan itu cocok dengan kemauannya, entah itu rasio atau perasaannya. Sebagai contoh, kita menjumpai perkataan, “Wah, hari ini, khotbahnya gak enak, gak ada humornya” atau mungkin sekali seorang pemimpin gereja melontarkan pernyataan, “Alkitab itu hanya berisi firman Allah, oleh karena itu Alkitab bisa salah.” Atau mungkin seorang Kristen bisa berkata, “Wah, gereja ini kuno, tidak ada ‘roh kudus’ (=maksud sebenarnya tidak ada musik band-nya).” Berbagai cara dilakukannya agar orang Kristen tersebut dapat memuaskan keinginan telinganya (2Tim. 4:3-4), salah satu caranya adalah dengan mencari gereja yang cocok dengan keinginan telinganya. Seorang Kristen bisa dengan mudahnya berpindah gereja dengan alasan yang sungguh pragmatis, yaitu musik gereja. Akibatnya, makin seorang Kristen beribadah, makin mereka membius diri dengan kesenangan “rohani”, lalu kemudian setelah pulang dari gereja, mulai hari Senin s/d Sabtu, mereka menjalani kehidupan mereka seperti biasa yang tanpa Kristus di dalamnya, kemudian hari Minggu berikutnya, membius diri kembali di gereja, dst. Tidak usah heran, Kekristenan model ini jika diserang oleh filsafat dunia misalnya dengan merebaknya buku The Da Vinci Code, Misquoting Jesus, dll, banyak dari mereka kaget, lalu beberapa pemimpin gereja mereka mengindoktrinasi jemaatnya untuk tidak membaca buku-buku tersebut, tanpa memberi tahu alasannya dengan jelas. Bagi saya, iman model ini adalah iman pokoke. Orang Kristen model ini hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan si pemimpin gereja (membeo), tanpa mau mengujinya berdasarkan Alkitab, karena bagi mereka, yang dikatakan di atas mimbar identik dengan Alkitab yang tidak bisa bersalah.

Selain emosi, banyak orang “Kristen” yang memusatkan imannya pada kehebatan diri. Peluang empuk ini ditangkap dan direalisasikan oleh banyak motivator, lalu kemudian mereka membentuk pelatihan motivasi yang beridekan Gerakan Zaman Baru. Pelatihan ini eksplisit maupun implisit mengajarkan bahwa di dalam diri manusia ada sebuah kekuatan yang luar biasa yang sedang tidur (ide Gerakan Zaman Baru yang merupakan pencampuran: monisme dan pantheisme), sehingga kekuatan ini harus dibangunkan, maka diperlukan teriakan-teriakan seperti, “Dahsyat!”, “Sukses adalah hak saya!”, “miskin adalah dosa”, dll. Tidak heran, sesuatu yang membuat manusia merasa diri hebat ini begitu laris diminati oleh banyak orang “Kristen” hari-hari ini, bahkan yang mengenaskan seorang motivator bisnis diundang berbicara di dalam seminar di sebuah gereja.

Kedua, worldly centered faith (iman yang berpusat pada duniawi). Selain berpusat pada manusia, ada juga tipe orang “Kristen” yang beriman kepada hal-hal duniawi, meskipun mengaku aktif melayani Tuhan di gereja. Iman yang berpusat kepada hal-hal duniawi ditandai dengan orientasi hidup mereka yang lebih mementingkan hal-hal duniawi ketimbang Kerajaan Allah. Misalnya, ada orang “Kristen” yang mati-matian gila uang, sehingga setiap hari dari Minggu s/d Sabtu dari pagi sampai malam dipergunakan untuk mencari dan menghitung uang. Dia tidak akan ingat lagi untuk pergi ke gereja di hari Minggu atau mungkin sekali dia masih ingat pergi ke gereja di hari Minggu, namun ia akan berusaha mencari gereja yang menyelenggarakan kebaktian/ibadah secepat mungkin (jika mungkin hanya 1 jam saja), karena waktu selanjutnya dipergunakan untuk mencari dan menghitung uang kembali. Jangankan orang Kristen, beberapa pemimpin gereja pun tidak luput dari iming-iming hal-hal duniawi ini. Seorang pebisnis Kristen pernah berujar bahwa hari-hari ini, bisnis apa saja gagal, hanya satu yang tidak bisa gagal, cho (cari untung di) gereja. Gimana cara bisnis di dalam gereja? Mudah, cukup menyewa satu tempat yang strategis, undanglah pengkhotbah yang top, jangan lupa juga undang artis Kristen yang top juga, supaya peserta/jemaat yang hadir juga banyak, kemudian setelah itu, tinggal memberi honor bagi si pengkhotbah dan artis top tersebut. Setelah gereja ini berkembang pesat, kemudian ada beberapa anak buah si pemimpin gereja ini tidak puas dengan pemimpinnya, sehingga beberapa anak buahnya memberontak dan akhirnya mendirikan gereja sendiri. Mengapa mereka tidak puas? Tidak puas dengan ajaran si pemimpin? Bukan! Kebanyakan mereka tidak puas karena mereka tidak mendapat kedudukan yang sama untungnya dengan si pemimpin gerejanya.

Selain uang, orang Kristen yang beriman duniawi itu ditandai dengan memberhalakan tradisi nenek moyang. Mereka berani mengklaim diri sebagai orang Kristen, bahkan beberapa di antara mereka berani membagikan iman Kristen khususnya doktrin tertentu yang dipercayainya kepada orang non-Kristen atau orang Kristen dari gereja yang berbeda darinya, namun sayang, imannya jika diteliti bukan lagi berpusat kepada Kristus, namun kepada tradisi nenek moyang. Segala sesuatu dalam hidupnya ditentukan bukan apa yang Alkitab katakan, tetapi apa yang tradisi katakan, bahkan yang lebih celaka lagi, apa yang shio katakan. Orangtua “Kristen” yang melihat lawan jenis anaknya bukan ditanya apa imannya, tetapi apa shionya, kemudian dilihat tanggal dan bulannya, lalu bertanya kepada orang-orang yang mengerti shio. Jika si lawan jenis dan si anak shionya jiong, maka si orangtua “Kristen” mati-matian memisahkan si anak dari lawan jenisnya. Ada juga orangtua “Kristen” yang masih melihat hari baik ketika hendak menikahkan anaknya. Bagi orang ini, khotbah di atas mimbar hanya cocok didengarkan, namun tidak untuk diaplikasikan, karena yang terpenting dalam hidup orang ini adalah tradisi nenek moyang yang sudah mendarah daging dalam dirinya. Orang seperti ini masih layakkah disebut Kristen??


KRISTEN: SEBUAH PANGGILAN UNTUK MEMUSATKAN HIDUP HANYA PADA KRISTUS
Sebuah tragedi mengenaskan terjadi pada banyak orang Kristen di zaman postmodern ini menyadarkan kita bahwa 2 ciri khas tersebut bukanlah apa yang Tuhan inginkan pada diri orang Kristen. Tuhan membenci perzinahan rohani (Kel. 20:3)! Oleh karena itu, sudah saatnya orang Kristen kembali kepada Alkitab, kembali melihat apa yang Tuhan inginkan pada diri orang Kristen SEJATI. Oleh karena itu, marilah kita menyimak apa yang Tuhan melalui Paulus ajarkan kepada kita di dalam Kolose 2:6-8:

Pertama, hidup di dalam Kristus (ay. 6b). Di dalam Kolose 2:6a, Paulus telah mengingatkan jemaat Kolose (termasuk kita) bahwa mereka (kita) telah menerima Kristus Yesus sebagai Tuhan, maka ia memerintahkan (bentuk imperatif) kita untuk hidup di dalam Kristus. Kata Yunani yang dipakai di sini adalah peripateō. Beberapa terjemahan Inggris menggunakan kata walk in Him (berjalan di dalam-Nya). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia menerjemahkannya, “hendaklah tetap hidup.” Di sini, kita diajar bahwa iman Kristen bukan hanya sekadar pengakuan secara mulut saja, namun juga pengakuan secara hidup, artinya hidup kita adalah hidup di dalam Kristus. Hidup di dalam Kristus berarti hidup berada di dalam wilayah kekuasaan Kristus di mana Kristus bertakhta sebagai Raja. Lalu, bagaimana hidup me-Raja-kan Kristus? Pada poin berikutnya akan dibahas.

Kedua, berakar dan dibangun di dalam-Nya (ay. 7a). Jika di ayat 6b, Paulus menggunakan kalimat aktif menurut struktur bahasa Yunani, maka di ayat 7 ini, ia menggunakan kalimat pasif. Menurut InterVarsity Press Bible Background: New Testament, penggunaan analogi agrikultural ini mengingatkan kita akan janji Tuhan di dalam Perjanjian Lama bahwa jika mereka mematuhi Tuhan, mereka akan mengambil akar, ditanam, dibangun, dll. Dengan kata lain, mulai tahap ini, Kristus yang menguasai seluruh aspek kehidupan kita. Kristus akan membuat kita berakar terus di dalam Dia dan dibangun di dalam-Nya melalui firman-Nya, Alkitab. Penyelidikan yang tuntas dan teliti akan Alkitab mengakibatkan kita makin lama makin mensyukuri anugerah-Nya dan memusatkan hidup kepada Kristus. Selain itu, penyelidikan akan Alkitab dengan tuntas dan menyeluruh mengakibatkan kita makin terus mengerti signifikansi menjadi pengikut Kristus di tengah arus dunia yang menyesatkan ini, yaitu menjadi garam dan terang bagi dunia (Mat. 5:13-16). Atas anugerah-Nya, orang Kristen terus-menerus berusaha menghadirkan cahaya Injil Kristus di setiap aspek kehidupannya (baik secara hati, pemikiran, perkataan, sikap, dll), sehingga orang lain melihat betapa mulia Kristus dan kemudian atas anugerah-Nya, orang lain tersebut banyak yang bertobat. Dengan kata lain, hidup yang berakar dan dibangun di dalam-Nya merupakan sebuah hidup yang berkelanjutan di dalam pengenalan akan Kristus dan Alkitab.

Ketiga, semakin diteguhkan dalam iman (ay. 7b). Setelah kita hidup di dalam Kristus dan tentunya berakar dan dibangun di dalam-Nya melalui Alkitab, maka Paulus mengingatkan kita bahwa kita perlu semakin diteguhkan di dalam iman. Di ayat 7b ini, kembali, Paulus tetap menggunakan bentuk pasif, yaitu BUKAN kita yang semakin berteguh imannya, tetapi iman kita yang diteguhkan. Siapa yang meneguhkan iman kita? Tentu Roh Kudus yang akan meneguhkan iman kita di dalam Kristus. Di sini kita melihat kesinambungannya. Kita bukan hanya makin mengerti Alkitab, tetapi kita juga dimampukan oleh Roh Kudus untuk berdiri teguh di dalam iman di dalam Kristus. Ada unsur pengetahuan doktrinal yang ketat, tajam, dan luas, namun juga ada unsur keteguhan iman yang kokoh. Beberapa orang Kristen bahkan pemimpin gereja menyelidiki Alkitab sampai tingkat doktoral, namun hati dan imannya kering, karena penyelidikan Alkitab yang dilakukannya hanya untuk memenuhi pikirannya saja. Paulus mengingatkan kita agar iman kita juga diteguhkan di dalam Kristus, sehingga antara rasio dan hati bekerja simultan. Makin belajar Alkitab, makin melihat keagungan, keindahan, kekonsistenan, kejujuran, dan kekokohan berita Alkitab melampaui semua agama, filsafat, tradisi, kebudayaan, sains, dan ilmu lainnya. Orang Kristen yang dengan mudahnya meninggalkan iman Kristennya hanya demi jabatan di kantor/perusahaan atau demi pasangan hidupnya sebenarnya merupakan orang Kristen yang belum mengerti keagungan dan kedahsyatan kuasa Injil Kristus. Bersyukurlah jika Anda hari ini masih beriman Kristen, karena Roh Kudus yang menguatkan iman Anda kepada Kristus.

Keempat, hidup bersyukur (ay. 7c). Orang Kristen tidak hanya dituntut untuk belajar firman Tuhan secara ketat dan bertanggungjawab, namun juga harus bersyukur. Di ayat ini, Paulus mengingatkan kita untuk bersyukur atas anugerah-Nya. Di 1 Tesalonika 5:18, Paulus juga menasihati jemaat Tesalonika untuk mengucap syukur dalam segala hal. Mengapa kita harus bersyukur? Dengan bersyukur: kita menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita bukanlah karena kehebatan kita, namun karena anugerah-Nya saja dan juga kita semakin terus bergantung pada kemurahan anugerah-Nya yang berdaulat yang memimpin hidup kita.

Kelima, tidak ditipu oleh arus dunia (ay. 8). Setelah kita hidup di dalam Kristus, berakar di dalam-Nya, bertambah teguh di dalam iman kepada-Nya, bersyukur, maka di poin terakhir yaitu ayat 8 ini, Paulus mengingatkan kita agar kita tidak ditipu/disesatkan oleh arus dunia. Dengan kata lain, melalui ayat ini, Paulus mulai mengajak jemaat Kolose (dan kita juga) untuk berwaspada terhadap dunia sekitar (beserta filsafat di baliknya) di mana kita hidup dan tinggal. Apa saja yang ditawarkan oleh dunia? Menurut IVP Bible Background: New Testament, Paulus membagikannya ke dalam dua hal: filsafat dan ajaran turun-temurun (tradisi). Menurut konteks surat Kolose ini, jemaat di sana menghadapi beragam filsafat Yunani (menurut Albert Barnes di dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menyebutkan adanya filsafat Yunani: Gnostik) dan juga tradisi Yudaisme yang kental. Nah, menurut Paulus, baik filsafat maupun tradisi ini sama-sama berasal dari roh-roh dunia (yang jahat) yang tidak menurut Kristus. Dengan menyebut filsafat dan tradisi, sebenarnya Paulus hendak mengajar dua macam penekanan dalam hidup seseorang: rasio dan mistik. Orang Yunani (nantinya memengaruhi dunia Barat) menekankan pentingnya rasio dan orang Yahudi (nantinya memengaruhi dunia Timur) menekankan pentingnya tradisi atau kebudayaan (yang juga mengandung unsur-unsur mistik terselubung).

Apakah berarti melalui ayat 8 ini, Paulus memerintahkan kita untuk membuang semua filsafat dan tradisi? TIDAK. Melalui ayat ini, Paulus tidak memerintahkan kita untuk anti filsafat dan tradisi, tetapi ia mengajar kita untuk jangan sampai ditipu dan disesatkan oleh filsafat dan tradisi yang berasal dari roh-roh jahat yang melawan Kristus. Di dalam iman Kristen berdasarkan perspektif theologi Reformed, kita menghargai filsafat dan tradisi sebagai respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah, namun penghargaan tersebut sebatas penghargaan, bukan pemberhalaan! Mengapa? Karena meskipun sebagai respons manusia terhadap wahyu umum Allah, respons tersebut tetap adalah sebuah respons berdosa dari manusia yang sudah berdosa, sehingga hasil akhirnya pun tetap berdosa. Oleh karena itu, diperlukan wahyu khusus Allah yaitu Kristus dan Alkitab untuk menebus respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah tersebut sehingga dapat memuliakan Allah. Iman Kristen yang beres adalah iman Kristen yang TETAP menghargai signifikansi tradisi dan filsafat, namun TIDAK pernah memberhalakannya, karena jika sampai memberhalakannya, itu sudah termasuk dosa, karena dosa, menurut Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D., berarti menggeser otoritas Allah dan menggantikannya dengan otoritas manusia.


KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Setelah merenungkan realitas yang mengerikan dari Kekristenan zaman postmodern ini dan panggilan untuk memusatkan iman kita kepada Kristus, apa yang menjadi reaksi kita? Apakah kita menyadarinya dan kemudian bertobat? Ataukah kita cuek? Biarlah Roh Kudus memakai perenungan singkat ini untuk menyadarkan dan memimpin iman kita terus-menerus untuk berpusat HANYA kepada Kristus. Amin. Soli DEO Gloria.