15 September 2008

Roma 10:16-17: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-12: Percaya atau "Percaya"?-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Doktrin Predestinasi-11


“Israel” Sejati atau Palsu-12: Percaya atau “Percaya”-1

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 10:16-17


Setelah mempelajari pengajaran Paulus tentang arti percaya kepada Kristus di bagian 2 di ayat 12 s/d 15, maka kita akan menelurusi pengajaran Paulus tentang realita percaya sejati vs “percaya” di ayat 16 s/d 21.

Ayat 4 s/d 15 merupakan pengajaran Paulus yang mendalam tentang apa arti percaya di dalam Kristus dan hal-hal yang terkandung di dalamnya, yang meliputi: sentralitas Kristus, percaya di dalam hati dan pengakuan mulut (kredo), kebangkitan Kristus, universalitas iman, dan pentingnya pengutusan penginjilan untuk membuat orang lain dapat percaya. Tetapi apakah masalah percaya begitu sederhana? TIDAK! Apakah setelah diutus orang-orang yang memberitakan Injil, orang-orang yang diinjili pasti menerima? TIDAK! Realita ini disingkapkan oleh Paulus di ayat 16, “Tetapi tidak semua orang telah menerima kabar baik itu. Yesaya sendiri berkata: "Tuhan, siapakah yang percaya kepada pemberitaan kami?"” Ya, realita yang terjadi adalah tidak semua orang telah menerima Injil itu. Kata “menerima” dalam terjemahan LAI kurang tepat. Mayoritas Alkitab terjemahan Inggris menggunakan kata obey yang berarti mematuhi. Dalam bahasa Yunani, kata yang dipakai adalah hupakouō berarti subordinate (=menundukkan diri/menempatkan ke bawah) yaitu listen attentively (mendengar dengan penuh perhatian). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menerjemahkannya sebagai mendengarkan (hlm. 855). Dan kata ini di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk kata kerja aktif. Dengan kata lain, meskipun Injil telah diberitakan, ternyata TIDAK semua orang mau mendengarkan dengan seksama Injil tersebut. Mengapa mereka tidak mau mendengarkan Injil? Apakah mereka memang tidak mau mendengar atau alasan lain? Di dalam perspektif theologi Reformed, orang yang tidak mau mendengar Injil bukan karena ia memutuskan sendiri untuk tidak mau, tetapi karena Tuhan telah menolak dan menetapkannya sebagai umat tertolak (reprobat), sehingga Ia membiarkan mereka dengan kehendaknya sendiri menolak Injil. Mengapa saya bisa sampai kepada kesimpulan demikian? Mari kita simak ayat 16b, “Yesaya sendiri berkata: "Tuhan, siapakah yang percaya kepada pemberitaan kami?"” Ayat ini diambil dari Yesaya 53:1 yang berada di dalam konteks tentang nubuat Kristus di dalam Perjanjian Lama. Mari kita simak secara tuntas konteks ini. Yesaya 53:1-4, “Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar, dan kepada siapakah tangan kekuasaan TUHAN dinyatakan? Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya. Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.” Yesaya memberi penjelasan mengapa bangsa Israel tidak mau mendengar peringatan Yesaya, yaitu karena mereka tidak melihat urgensi perintah Allah di dalam mulut Nabi Yesaya dan esensi, tetapi lebih melihat fenomena. Tidak heran, ketika mereka kelak melihat Kristus yang hina, lemah, dll (nubuat Yesaya 53:2-3), mereka menolak-Nya karena di dalam pikiran mereka, Mesias datang untuk membinasakan bangsa-bangsa yang menjajah Israel dan mendirikan Kerajaan bagi Israel (bahkan para rasul Kristus sendiri pun masih beranggapan demikian menjelang Tuhan Yesus naik ke Surga). Tentu saja mereka tidak akan percaya pada Injil Kristus, karena Kristus sendiri yang mereka lihat tidak seperti di bayangan mereka. Bagaimana dengan kita? Mungkin kita sudah memberitakan Injil kepada orang lain, tetapi belum ada respon. Firman Tuhan menguatkan kita agar tidak kecewa. Mereka yang tidak mendengar dan menerima Injil mungkin belum saatnya, mungkin Tuhan memberikan waktu lain agar dia mau menerima Kristus, tetapi mungkin juga Tuhan sengaja membiarkan mereka tidak mau menerima Kristus, karena mereka memang sudah ditetapkan Allah untuk dibinasakan. Bukan hanya untuk orang-orang yang diinjili, kita pun sebagai orang Kristen harus mengintrospeksi diri, sudahkah kita benar-benar menjadi orang Kristen sejati? Banyak orang Kristen di era postmodern mengimplikasikan dengan jelas apa yang sudah orang-orang Yahudi telah lakukan di zaman Tuhan Yesus. Apa maksudnya? Kalau dulu orang-orang Yahudi menyalibkan Tuhan Yesus karena Tuhan Yesus tidak cocok dengan ambisi mereka yang hendak menjadikan Mesias sebagai Raja yang membasmi bangsa-bangsa lain, maka banyak orang Kristen di abad postmodern yang diracuni oleh banyak theologi Karismatik/Pentakosta hendak “menyalibkan” Tuhan Yesus yang kedua kalinya dengan mengajarkan dan “beriman” bahwa Tuhan Yesus itu pasti memberkati umat-Nya, anak-anak Raja pasti kaya, sukses, berhasil, karena Tuhan tidak menginginkan anak-anak-Nya menjadi miskin, gagal, dll. Mereka memiliki ambisi sosok Tuhan Yesus sebagai Sinterklas yang suka bagi-bagi kado, tetapi jika ternyata secara realita mereka tidak lagi diberkati, mereka akan marah kepada Tuhan dan mengutuki Tuhan. Berapa banyak kasus orang Kristen yang giat melayani Tuhan, tetapi ketika sudah menderita penyakit dan tidak lagi diberkati, mereka marah dan menghujat Tuhan? Tidak sadarkah kita akan hal ini? Sudahkah iman kita benar-benar disandarkan hanya kepada dan di dalam Kristus ataukah kita masih menyandarkan iman kita pada kehendak dan ambisi pribadi kita yang hendak menjadikan Kristus menurut apa yang kita mau? Apakah Kristus menjadi Tuhan dan Raja di dalam hidup kita ataukah Kristus hanya menjadi “Pembantu” kita yang setiap hari kita suruh-suruh dengan dalih “rohani”: “doa semalam suntuk”, dll? Inilah yang membedakan kita, apakah kita sungguh-sungguh percaya di dalam Kristus dengan “percaya” palsu!

Pembeda kedua antara percaya sejati dengan “percaya” palsu dipaparkan Paulus di ayat 17, “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” Kata “Jadi” dalam LAI atau “maka” (so then = maka/jadi kemudian) dalam terjemahan KJV menandakan bahwa ayat 16 berlanjut ke ayat 17. Untuk membuktikan apakah kita percaya kepada Kristus dengan sungguh-sungguh atau tidak adalah dengan standar pengujian kebenaran. Dan standar itu dilakukan dengan mendengar, dan mendengar firman Kristus. Di sini, sangat unik. Ada dua hal yang mau ditekankan Paulus, yaitu:
Pertama, iman timbul dari pendengaran. “Pendengaran” di sini bukan pendengaran sambil lalu, tetapi pendengaran di sini adalah mendengar dengan penuh perhatian. Adam Clarke dalam tafsirannya Adam Clarke’s Commentary on the Bible menafsirkan kata “mendengar” sebagai mendengar dengan penuh perhatian (heard attentively). Mengapa Paulus menggunakan kata mendengar? Karena kata ini tidaklah asing bagi budaya orang Yahudi. Di Perjanjian Lama, Ulangan 6:4, Allah berfirman, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” Kata “dengarlah” dalam ayat ini bahasa Ibraninya shâma‛ berarti mendengar sambil patuh/menaati. Bukan hanya itu saja, budaya mendengar juga diajarkan oleh Tuhan sendiri supaya orangtua mengajar anak-anak mereka tentang Tuhan, “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” (Ul. 6:6-7) Budaya mendengar sudah dibiasakan oleh orangtua Israel sehingga anak-anak Israel dari kecil sudah mendengar Taurat dan belajar Taurat. Hal ini sangat berbeda dengan orangtua di zaman postmodern (tidak sedikit banyak orangtua yang mengaku diri “Kristen” bahkan aktif “melayani ‘tuhan’”) yang selalu mengajar materialisme, utilitarianisme dan atheisme praktis kepada anak-anak mereka, sehingga tidak heran dari kecil, mereka TIDAK mendengar tentang Allah, tetapi tentang uang, asas manfaat, kehebatan diri, dll. Budaya “mendengar” di zaman postmodern yang rusak ini sudah memudar, dan diganti dengan semangat pragmatis. Kalau di zaman PL, Allah memerintahkan orangtua Israel untuk mendengar pengakuan iman sejati dan mengajarkannya kepada anak-anak mereka, sehingga anak-anak mereka bisa mendengar kredo tersebut, sebaliknya di abad postmodern, ilah-ilah palsu buatan manusia menjadi pengganti Allah, sehingga banyak orang postmodern lebih suka mendengarkan sesuatu yang tidak berharga sama sekali ketimbang harus mendengarkan sebuah pengakuan iman. Realita ini dibukakan dengan jelas oleh Paulus sendiri di dalam 2 Timotius 4:3-4, di mana akan datang saatnya orang tidak mau lagi mendengar ajaran sehat, tetapi malahan mendengar sesuatu yang tidak bertanggungjawab (dongeng) dan mempercayainya. Jika demikian, apakah setelah mereka dari kecil telah mendengar Taurat menjamin bahwa mereka pasti percaya kepada Tuhan sungguh-sungguh? TIDAK. Paulus membukakan lebih dalam lagi di bagian kedua.

Kedua, iman timbul dari pendengaran dan pendengaran oleh firman Kristus. Kata “Kristus” di dalam bagian ini diterjemahkan God (=Allah) oleh KJV. Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menerjemahkannya Kristus (seperti terjemahan LAI) dan bahasa Yunaninya Kriston. Iman bukan hanya sekadar mendengar tetapi juga mendengar firman Kristus. John Calvin di dalam tafsirannya terhadap Surat Roma menafsirkan bagian ini yaitu Firman secara urutan mendahului iman, dan iman mengikuti Firman. Lalu, Calvin menjelaskan secara implisit bahwa hal inilah yang kurang dan membedakan orang Kristen dari orang-orang Yahudi, karena orang-orang Yahudi hanya percaya kepada firman Allah, tidak kepada Kristus, sehingga iman sejati bukan hanya timbul dari pendengaran firman Allah, tetapi juga firman Kristus (PL dan PB). Dari otoritas Alkitab inilah, iman kita dibangun dan ditumbuhkan. Sejarah gereja membuktikan hal ini. Seorang bapa gereja Augustinus bertobat bukan karena diinjili atau menerima penglihatan, tetapi karena ia dicerahkan pikirannya Roh Kudus melalui seorang anak yang menyuruhnya secara tidak langsung (anak itu mengatakan, “Ambil, baca”) untuk membaca Alkitab. Dr. Martin Luther, seorang reformator besar menemukan Kebenaran iman Kristen sejati dari Alkitab yaitu manusia dibenarkan hanya melalui iman setelah sekian lama kebenaran ditutupi di dalam gereja sendiri. Iman Luther, Calvin, Beza, dan para tokoh Puritan dibangun dan ditumbuhkan hanya dengan membaca Alkitab melalui pencerahan Roh Kudus. Bagaimana dengan kita? Iman sejati tidak bisa dilepaskan dari Alkitab sebagai Firman Allah. Ketika kita mendasarkan iman kita pada Firman Allah, Alkitab, maka iman kita pasti kuat dan bertumbuh, sedangkan ketika kita mendasarkan iman kita hanya pada asumsi manusia yang mulai meragukan otoritas Firman Allah (meskipun sering tidak disadari), iman kita pasti lama-kelamaan akan rusak, karena iman kita didasarkan pada subjektivitas diri yang berdosa. Di atas dasar apakah iman itu dibangun?

Melalui perenungan dua ayat ini, kiranya kita dibukakan hati dan pikiran kita tentang realita pembeda antara konsep percaya yang sejati dengan konsep “percaya” palsu buatan manusia. Dan selanjutnya, kita dimampukan untuk menyandarkan seluruh kepercayaan kita hanya kepada Allah dan firman-Nya.

Matius 11:5-6: KRISTUS SEBAGAI PUSAT HIDUP-4

Ringkasan Khotbah : 04 Juni 2006

Kristus sebagai Pusat Hidup (4)
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 11:5-6



Puji Tuhan, hari ini kita memperingati hari Pentakosta, yakni hari turunnya Roh Kudus dimana pada hari Pentakosta inilah gereja pertama kali berdiri. Pada hari Pentakosta yang pertama itu, Petrus dengan berani memberitakan berita: “Bertobatlah karena Kerajaan Sorga sudah dekat.“ Roh Kudus telah memberikan keberanian pada para murid untuk memberitakan tentang Yesus Kristus Juruselamat dunia. Orang berespon terhadap Firman dan mereka bertobat dan memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka tiga ribu jiwa. Perhatikan, saat Roh Kudus turun dan bekerja atas para murid maka fokus pemberitaan bukan pada diri-Nya tapi seluruh pekerjaan Roh Kudus itu berpusat pada Kristus, Sang Mesias sejati. Namun sangatlah disayangkan di dunia modern ini, berita: “Bertobatlah Kerajaan Sorga sudah dekat“ tidak lagi diberitakan. Orang takut kalau ia dimusuhi oleh dunia. Adalah tugas setiap anak Tuhan untuk menyadarkan manusia akan dosa dan akibatnya, yaitu kebinasaan kekal apabila mereka tidak bertobat dan kembali pada Kristus. Problema manusia yang paling serius, yaitu dosa hanya dapat diselesaikan dengan pertobatan. Berita Pentakosta menuntut orang untuk bertobat, dan tidak kembali berbuat dosa.

Tanpa pekerjaan Kristus, tanpa kemenangan Kristus, tanpa pekerjaan Roh Kudus mustahil bagi manusia untuk lepas dari cengkeraman dosa. Hati-hati, janganlah tertipu dengan berbagai macam jebakan dan godaan iblis yang selalu berusaha menghancurkan hidup manusia karena iblis tidak suka melihat ada orang yang hidup dalam kebenaran. Tuhan menegaskan ketika kita menjadi pengikut Kristus maka kita akan mengalami berbagai ancaman dan tantangan. Namun di tengah-tengah tantangan dan ancaman itulah Roh Kudus bekerja, menguatkan sehingga kita tidak terjatuh. Inilah kuasa kemenangan, kuasa kehidupan yang tidak membawa kita kepada kematian. Berita kebangkitan Kristus ini merupakan berita iman Kristen yang sejati. Perhatikan, hanya Kristus Sang Mesias yang sejati yang mempunyai kuasa kebangkitan yang menghidupkan.

Ada enam tanda yang dibukakan oleh Kristus yang menyatakan bahwa Dia adalah Mesias, yaitu: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik (Mat. 11:5-6). Perhatikan, orang buta melihat dan orang lumpuh berjalan disini bukan sekedar melihat dan berjalan secara fisik. Tidak! Tanda ini menjadi kekuatan perombakan yang menyadarkan orang bahwa Kristus adalah Mesias. Sayangnya hari ini banyak manusia yang buta sekalipun ia melihat dan banyak manusia yang lumpuh sekalipun ia dapat berjalan. Biarlah kita mengevaluasi diri sudahkan mata rohani kita dibukakan dan kita dapat melihat Kristus Sang Mesias? Celakalah hidup kita kalau kita buta karena hidup kita akan tersesat. Revitalisasi menjadi titik pertama yang menyadarkan manusia untuk melihat pada Kebenaran sejati.

Mujizat orang kusta menjadi tahir dan orang tuli mendengar ini juga sangat unik, yaitu: 1) hanya dicatat dalam Injil Matius, Markus dan Lukas, 2) semua itu hanya dilakukan oleh Kristus, 3) membicarakan satu tema yang sama, yaitu rekonsiliasi. Kusta adalah penyakit fisik sekaligus spiritual. Orang kusta yang disembuhkan bukan dikatakan sembuh tapi dikatakan tahir artinya bersih suci. Manusia yang ditahirkan merupakan gambaran rekonsiliasi, manusia diperdamaikan kembali dengan Allah. Orang yang sakit kusta maka ia harus dipisahkan dengan orang lain yang sehat. Inilah gambaran manusia berdosa yang dipisahkan dari Allah. Celakalah hidup manusia yang terpisah dari Allah, manusia masuk dalam kebinasaan kekal. Demikian halnya dengan orang yang tuli bisu, secara otomatis ia terpisah dari komunitas lain. Kedua mujizat ini merupakan gambaran dari orang-orang yang tadinya tercabik dari masyarakat tapi kini diperdamaikan kembali. Semua ini merupakan gambaran dosa, orang berdosa yang dipulihkan yang disebut sebagai atonement, pendamaian.

Adalah mustahil seorang manusia berdosa berdamai dengan Allah yang suci. Ketika manusia berdosa bertemu dengan Allah akibatnya manusialah yang mati, hal ini digambarkan dalam kitab Perjanjian Lama. Jadi, kalau ada orang berdosa yang mengaku dekat dengan “allah“ membuktikan bahwa itu bukanlah allah tetapi iblis. Hanya iblis yang mau dekat dengan manusia berdosa. Kecuali Allah sendiri yang berinisiatif mau menolong dan menopang manusia barulah manusia dapat diperdamaikan kembali dengan Allah. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara Allah memperdamaikan manusia? Apakah dengan membiarkan dosa? Tidak! Mengabaikan dosa berarti berkompromi dengan dosa dan itu berarti pelecehan terhadap natur Allah yang suci adanya. Pendamaian sejati digambarkan dalam tindakan pentahiran orang kusta dan orang tuli mendengar. Tindakan Mesianis yang klimaks, yaitu orang mati dibangkitkan dan orang miskin mendapat kabar baik.

Hari ini kita akan merenungkan tanda yang kelima, yaitu orang mati dibangkitkan. Dan perhatikan, orang mati yang dibangkitkan ini hanya dapat dilakukan oleh Kristus Sang Mesias sejati. Di dunia ini tidak ada satu manusia pun yang dapat membangkitkan orang mati seperti yang pernah dilakukan oleh Kristus. Berbeda halnya kalau kita membuat sesuatu yang hidup menjadi mati maka semua orang pasti dapat melakukannya. Sehebat-hebatnya manusia, ia tidak akan dapat menghidupkan kembali orang yang sudah mati begitu juga dengan setan, setan tidak mempunyai kuasa menghidupkan karena itu berarti ia melawan naturnya sendiri yang adalah bapa kematian. Manusia telah berbuat dosa maka upah dosa adalah maut. Ingat, setiap manusia pasti mati; manusia tidak dapat lepas dari kematian. Manusia akan sangat takut ketika kematian itu datang mendekat karena manusia tidak tahu bagaimana keadaan setelah kematian. Berbeda halnya kalau manusia tahu dengan jelas keadaan setelah kematian maka kematian itu tidak lagi menakutkan.

John Calvin mengungkapkan sesungguhnya dalam hati manusia yang terdalam ditanamkan bibit agama, benih iman, sense of divinity, yakni suatu kesadaran bahwa setelah manusia selesai dengan sejarah maka ia akan masuk dalam kekekalan. Artinya orang yang masuk dalam kematian kekal berarti selama-lamanya ia akan mati. Merupakan kesalahan fatal dari gereja Roma Katolik yang berpendapat bahwa setelah manusia mati masih akan mengalami proses dalam api penyucian barulah setelah dari api penyucian, orang menuju sorga mulia. Tidak! Setelah kematian tidak ada proses. Pemikiran yang sama, yaitu setelah kematian masih ada proses melekat dalam tradisi Tionghoa. Mereka berpikir dunia setelah kematian itu sama seperti dunia sekarang yang didalamnya mereka hidup. Itulah sebabnya kita menjumpai berbagai bentuk materi yang terbuat dari kertas yang menyerupai materi di dunia.

Manusia yang berada di luar Kristus maka ia akan mengalami kematian kekal. Orang berdosa berarti ia menjadi budak iblis. Itulah sebabnya, segala cara dipakai iblis supaya kita mati di dalam dosa sehingga kita menjadi miliknya. Namun Allah tidak tinggal diam, Allah murka terhadap dosa maka satu-satunya cara supaya manusia lepas dari ikatan iblis adalah Allah yang harus mati, menggantikan manusia berdosa. Kristus merelakan diri-Nya dan membiarkan diri dimatikan karena dosa manusia harus ditanggungkan ke atas-Nya. Itulah sebabnya, ketika Kristus datang ke dunia, iblis sangat sengit melawan Kristus dan mau mematikan Kristus. Iblis pikir ia telah menang karena ia telah “berhasil“ mematikan Kristus. Secara teori bisnis, iblis mempunyai perhitungan yang sangat tajam, yakni: 1) Iblis berpikir tentang untung dan rugi. Iblis tahu bahwa andaikata seluruh dosa umat pilihan Tuhan ditanggungkan atas Kristus maka setan pikir tidak akan rugi karena jumlah manusia yang dipilih sangat sedikit dibanding dengan semua manusia di dunia. Dengan licik, iblis pikir kalau seluruh dosa ditangguhkan kepada Tuhan Yesus itu berarti dia diuntungkan. Memang, Alkitab menegaskan jalan menuju sorga sempit dan yang masuk ke dalam sorga jumlahnya tidak banyak, 2) Iblis berpikir kalau ia berhasil mematikan Kristus maka Kristus menjadi milik kepunyaannya dan itu berarti dia mempunyai kesempatan untuk menjatuhkan umat pilihan yang diselamatkan Kristus sebelumnya dan iblis pikir ia pasti berhasil sebab tidak ada Kristus yang akan membela umat-Nya. Andaikata dalam suatu populasi masyarakat hidup satu juta jiwa maka diantara satu juta manusia itu hanya sedikit manusia yang diselamatkan dan iblis memperhitungkan dalam hal ini ia tidak dirugikan justru ia malah diuntungkan karena Kristus Anak Allah menjadi miliknya sama halnya seperti bisnis dengan memberi seratus, ia akan mendapat satu juta. Iblis merasa diuntungkan, ia merasakan sukacita karena “berhasil“ mendapatkan Kristus.

Ternyata perhitungan iblis salah! Iblis tidak tahu kalau ia telah mempertaruhkan kekuatannya yang terbesar dengan kekuatan Kristus. Kekuatan setan yang terbesar adalah kuasa kematian. Namun celakanya, kuasa kematian ini tidak berkuasa atas Kristus – Kristus menang atas kuasa kematian, Dia bangkit. Andaikata iblis tahu strategi Allah maka iblis pasti tidak akan mematikan Kristus. Itulah matinya kematian oleh kematian Kristus seperti yang diungkapkan oleh John Owen. Konsep ini tidak dipahami oleh iblis. Hal ini membuktikan bahwa sepandai-pandainya iblis, ia tidak lebih pandai dari Allah. Berbahagialah orang yang menjadi pengikut Kristus karena ia memiliki kuasa kebangkitan, kuasa kemenangan dari Kristus. Maka tanda Kemesiasan yang diungkapkan oleh Kristus, yaitu orang mati dibangkitkan bukan pekerjaan sembarangan. Kuasa menghidupkan hanya dapat dilakukan oleh kuasa Allah maka tanpa hubungan Mesianis tidak mungkin ada kuasa kebangkitan ini. Kuasa kebangkitan disini bukan sekedar bangkit secara tubuh jasmani. Tidak! Karena orang yang dibangkitkan secara jasmani orang akan mati lagi.

Orang Yahudi pun sangat memahami bahwa kebangkitan Lazarus bukan sekedar kebangkitan tubuh jasmani. Hal kebangkitan Lazarus ini sangatlah unik sebab hanya dicatat dalam Injil Yohanes saja dan setelah kejadian itu, orang Yahudi dan para ahli Taurat bersekongkol untuk membunuh Tuhan Yesus. Para ahli taurat dan orang Yahudi tahu bahwa kuasa kebangkitan yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus ini bukan kuasa biasa sebab tidak ada satu manusia pun yang dapat membangkitkan orang yang sudah mati selama 4 hari. Ketika membangkitkan Lazarus, Tuhan Yesus tidak masuk dalam kubur Lazarus, ini membuktikan kalau sebelumnya tidak ada manipulasi. Hari itu, mujizat kebangkitan ini disaksikan oleh banyak orang. Tindakan Kristus ini tidak dapat ditoleransi maka orang Yahudi dan para ahli Taurat bersekongkol untuk membunuh Tuhan Yesus atau kalau tidak, mereka yang mati.

Mujizat orang mati dibangkitkan ini merupakan finalitas Kemesiasan Kristus. Kuasa kebangkitan menunjukkan kemenangan total dalam semua aspek hidup. Kebangkitan adalah sesuatu yang mustahil namun semua itu tidaklah mustahil karena dilakukan oleh Kristus. Kuasa kemenangan ini hanya diberikan pada anak-Nya dan ini menjadikan kita lebih berdinamika. Kuasa kebangkitan memberikan pada manusia kuasa hidup. Perhatikan, lingkungan di sekitar kita tidak berubah, tantangan dan ancaman tidak berubah maka manusialah yang harus diubahkan. Vitalisasi akan kita capai ketika kita sampai pada titik puncak dan tentunya, dengan kekuatan kemenangan kebangkitan Kristus. Kebangkitan Kristus harusnya memberikan pada kita suatu kesadaran, yaitu kita sedang berpaut pada Mesias yang sejati. Tidak ada satu pemimpin di dunia ini yang mempunyai esensi seperti Kristus. Kristus bukan sekedar seorang pemimpin agama dunia. Tidak! Kristus adalah Anak Allah, Sang Kebenaran yang berinkarnasi menjadi manusia, Dia adalah kuasa hidup yang membangkitkan dan menghidupkan.

Tekanan dunia semakin berat tetapi ingatlah, kita mempunyai Tuhan yang hidup, Dia akan memimpin langkah hidup kita. Biarlah hidup kita senantiasa berpaut pada Allah maka kita akan mendapatkan sukacita kekal. Jangan tertipu dengan segala bujuk rayu si iblis yang akan terus berusaha menjatuhkan dan menghancurkan manusia. Kuncinya hanya satu supaya kita tidak jatuh dalam jebakan iblis, yaitu taat pada Tuhan. Kuasa yang diberikan pada anak Tuhan adalah kuasa hidup yang menghidupkan dan kuasa hidup ini memberikan pada kita suatu dinamika ketaatan kepada Tuhan dengan demikian kita tidak mudah digoyahkan. Hati-hati, janganlah keinginan diri menguasai kita tapi hendaklah kita mengingat bahwa sebagai pengikut Kristus, kita harus menyangkal diri dan memikul salib. Menyangkal diri itu merupakan kekuatan kita melawan segala keinginan nafsu duniawi dan godaan iblis. Inilah yang dinamakan sebagai kuasa hidup bukan kuasa kematian. Janganlah kita menjadi seperti seekor ikan mati yang hanya mengikuti arus. Saat ini, kita tidak mati maka seekor ikan yang hidup ia pasti akan melawan arus. Kuasa Kebangkitan Kristus menjadikan kita dapat berpaut pada Tuhan. Ketika hidup bertemu dengan hidup maka itu menjadikan kita hidup sejati. Inilah iman Kristen sejati. Biarlah kuasa kebangkitan Kristus ini menjadi kekuatan bagi kita dalam melangkah di tengah dunia yang gelap ini dengan demikian kita tidak mudah digoyahkan oleh berbagai tekanan dunia tapi kita justru menjadi pemenang dan menjadi terang bagi dunia yang gelap. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: