28 November 2010

THE DEATH OF THE AUTHOR: Tinjauan Kritis Iman Kristen terhadap Penyimpangan Penggunaan Kata (Denny Teguh Sutandio)

THE DEATH OF THE AUTHOR:
Tinjauan Kritis Iman Kristen terhadap Penyimpangan Penggunaan Kata


oleh: Denny Teguh Sutandio



PENDAHULUAN: THE DEATH OF THE AUTHOR ALA POSTMODERNISME
Mau tidak mau, suka tidak suka, kita sedang hidup di zaman postmodern dengan ide postmodernisme yang salah satu ajarannya berusaha menghilangkan makna asali/sesungguhnya dan menggantikannya dengan makna subjektif. Di dalam ilmu penafsiran (hermeneutika) ala postmodernisme, kita mengenalnya dengan istilah the death of the author (matinya sumber). Istilah ini berarti makna dari suatu teks atau perkataan TIDAK lagi ditafsirkan dari perspektif sumbernya (penulis atau pembicara/orang yang berkata), tetapi boleh ditafsirkan oleh si pembaca dan orang yang mendengarkan perkataan tersebut. Dengan kata lain, istilah ini berarti setiap orang boleh menafsirkan teks atau perkataan orang lain semau gue tanpa harus sesuai dengan maksud asli dari sumbernya. Tidak heran, dunia penafsiran entah itu umum maupun Alkitab semakin kacau. Semakin lama kita juga makin memperhatikan bahwa satu kata yang aslinya bersifat agung dan indah akhirnya ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga makna kata tersebut sekarang tidak lagi sesuai dengan makna asali karena telah ditafsirkan dengan muatan tertentu yang menguntungkan diri sendiri. Kata-kata apa saja yang sering ditafsirkan seenaknya sendiri? Bagaimana kita sebagai orang Kristen terpanggil untuk mengatakan sesuatu yang sesuai dengan makna asalinya?




VARIASI PENYIMPANGAN KATA DAN TINJAUAN KRITISNYA
Kita akan mencoba menunjukkan variasi kata yang sering kali ditafsirkan seenaknya sendiri yang tidak sesuai dengan makna asalinya dengan mencoba memberikan definisi yang sebenarnya kemudian penyimpangan maknanya (demi menguntungkan diri sendiri), lalu terakhir kita akan mengkritisinya. Kata-kata tersebut meliputi:
1. Rohani
Dunia kita memahami arti rohani itu sebagai lawan dari jasmani (rohaniah >< batiniah). Tetapi Alkitab memiliki definisi yang lebih agung dari definisi dunia. Alkitab TIDAK pernah memisahkan antara jasmani dan rohani, karena itu satu kesatuan dalam diri manusia. Namun ketika mendefinisikan rohani, maka Alkitab secara implisit memberikan definisi sebagai sebuah kondisi di mana seseorang berjalan bersama Roh Allah untuk taat kepada Kristus dengan menjadikan firman Allah, Alkitab sebagai satu-satunya sumber dan dasar bagi iman dan praktik hidup Kristen. Seorang yang rohani adalah seorang yang taat kepada Allah dan kehendak-Nya melalui firman-Nya. Itulah yang dimaksud Paulus dengan hidup oleh Roh di Galatia 5:16, “Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging.” (yang dijelaskan Paulus kemudian sebagai buah Roh di ayat 22-23)

Namun sayang sekali, hari-hari ini, istilah agung “rohani” dimengerti dengan sesuatu yang benar-benar membingungkan. Seorang “Kristen” (lebih tepatnya Katolik Roma) yang mengaku diri “rohani” dapat memilih seorang istri yang berbeda iman sama sekali, apa alasannya? Saudara sepupunya menjawab bahwa agama dari istri ini mirip dengan Kristen, di mana penganut agama ini menyembah “Tuhan” yang sama dengan Kristen (Allah Bapa). Padahal Alkitab dengan jelas dan tanpa kompromi mengajar kita, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” (2Kor. 6:14) TIDAK ada pengecualian dari firman Tuhan ini: jangan mencari pasangan yang berbeda iman! Tetapi herannya mengapa yang dikatakan rohani bisa melanggar firman Tuhan? Itu rohani dari sebelah mana?

Definisi “rohani” juga diselewengkan dengan pengertian sebagai suatu aktivitas agamawi atau sekadar pengalaman ekstase agamawi. Orang lain melihat seseorang itu rohani karena orang tersebut berdoa sebelum makan, rajin mengikuti acara gereja, bahkan rajin mendalami Alkitab, namun sayangnya tidak mengalami hubungan intim dengan Tuhan. Pengetahuan theologisnya hanya bersarang di otak tanpa pernah ada pengalaman rohani. Namun di sisi lain, ada yang mengukur orang rohani dari gejala pengalaman ekstase, misalnya: sering bertemu Tuhan di dalam doa, mendapat “wahyu” dari Tuhan, dll, namun sayangnya Alkitab dilecehkan dengan menganggap Alkitab lebih rendah dari pengalaman ekstase mereka. Kedua hal ekstrem ini tentu TIDAK benar, karena rohani TIDAK pernah berat sebelah! Hidup rohani selalu terintegritas dan menyeluruh, di mana pengetahuan iman sesuai dengan Alkitab yang dimulai dari hati yang mengasihi Allah selalu mengakibatkan pemikiran, perkataan, dan tindakannya memuliakan-Nya. Dengan kata lain, di dalam Kekristenan, TIDAK pernah ada dualisme: agama vs sains! Oleh karena itu, makin mencintai Tuhan dan belajar firman-Nya, orang yang rohani makin rendah hati, rela dikoreksi oleh orang lain asalkan itu sesuai dengan firman-Nya. Namun herannya, orang yang mengklaim diri “rohani” hari-hari ini makin hidup “rohani”, makin merasa diri hebat. Jika ada ajaran/imannya salah, lalu ditegur, selalu ada saja alasannya. Saya makin meragukan: layakkah orang tersebut disebut “rohani”?


2. Pendidikan Dekrit Pertama
Seorang yang rohani mempengaruhi cara orang tersebut mendidik anaknya. Orang yang hatinya untuk Tuhan selalu mendidik anaknya untuk takut akan Tuhan. Itulah yang dimaksud oleh Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. dengan pendidikan dekrit pertama (first decree). Kalau kita kembali kepada Alkitab, maka Alkitab dengan jelas mengajar para orangtua untuk mendidik anak-anak mereka untuk takut akan Tuhan. Perhatikan firman Allah sendiri kepada Musa, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” (Ul. 6:4-7) Di dalam Dasa Titah, pada permulaan, Allah sendiri mengingatkan Israel akan siapakah Allah itu yang harus disembah (Kel. 20:2), lalu disusul dengan titah pertama, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.” (Kel. 20:3) Setelah pengenalan akan Allah beres, baru disusul dengan perintah lain, termasuk salah satunya menghormati orangtua (Kel. 20:12). Dengan kata lain, Allah menginginkan anak dari kecil mengenal Penciptanya terlebih dahulu dan tentunya menjalankan kehendak-Nya secara pribadi di dalam diri anak tersebut, baru setelah itu diajar untuk menghormati orangtua. Namun ada orang yang mendengarkan uraian Pdt. Sutjipto tentang pendidikan dekrit pertama ini lalu (sengaja) menyimpangkan artinya dengan mengajar bahwa anak dari kecil harus dididik yang benar (yang benar ditafsirkan sebagai memenuhi kehendak orangtua). Jadi, yang menjadi Allah dalam hidup seorang anak itu siapa: Allah Trinitas atau orangtua? Benar-benar mengenaskan orang ini.


3. Cinta
Seorang yang hatinya untuk Tuhan sebenarnya memiliki konsep cinta yang beres, karena Allah itu adalah Kasih (God is Love). Apa itu cinta/kasih? Alkitab mengajarkan bahwa Allah adalah Kasih. Di dalam kasih Allah, ada kepemilikan (Allah terlebih dahulu memilih beberapa manusia untuk diselamatkan di dalam Kristus—Rm. 8:29-30), pengorbanan (Kristus berkorban demi mereka yang telah dipilih Allah), Kebenaran atau Truth (menuntun manusia untuk mengenal Allah yang sejati), keadilan (menuntun manusia untuk berlaku adil), kejujuran dan ketulusan (mengajar manusia untuk berkata jujur dan murni dari hati), dll. Dan di dalam perspektif theologi Reformed, objek kasih Allah kepada dunia dibagi menjadi dua: secara umum yaitu kepada semua orang tanpa kecuali (Mat. 5:45) dan secara khusus yaitu HANYA kepada umat pilihan-Nya melalui pemeliharaan keselamatan, kehidupan, dll, sehingga umat pilihan-Nya memiliki hidup yang lebih dari pemenang (Rm. 8:37). Itu semua konteksnya adalah kasih Allah. Namun di Alkitab juga ada wujud kasih lain, yaitu kasih antar saudara, suami dan istri, dll. Tentang hubungan spesial suami dan istri, Alkitab secara konsisten mengajar kita bahwa pernikahan monogami yang dikehendaki-Nya (Kej. 2:24; Mat. 19:5; Ef. 5:31). Di dalam teks Yunaninya, Matius 19:5 dan Efesus 5:31, kata laki-laki dan perempuan sama-sama menggunakan bentuk tunggal, sehingga sangat jelas bahwa Allah memerintahkan pernikahan monogami! Namun karena dosa, maka Allah membiarkan orang-orang di zaman Perjanjian Lama memiliki lebih dari 1 istri (yang akhirnya bermasalah: perkelahian di antara anak-anak dari istri yang berbeda, dll) dengan maksud untuk mengajar kita sekarang tentang bahaya pernikahan poligami. Bahkan di dalam titah ketujuh, Allah sendiri berfirman, “Jangan berzinah.” (Kel. 20:14) Berarti Ia menginginkan kesetiaan di dalam hubungan cinta suami dan istri. Lebih dipertajam lagi, Ia menginginkan jika kita mengatakan bahwa kita mencintai seseorang, kita benar-benar setia terhadap orang yang kita cintai! Berarti, cinta MANUSIA hanya ditujukan kepada satu orang saja (ada komitmen yang jelas, bukan ngegombal)! Di luar itu dianggap berzinah.

Namun hari-hari ini, dunia kita melalui film-film Holywood mengajar generasi muda dengan suatu ide bahwa cinta itu sesuatu yang murah, bisa dikatakan kepada siapa pun tanpa adanya ikatan komitmen yang jelas! Ambil contoh, tontonlah film Holywood (500) Days of Summer (2009) yang mengisahkan seorang cewek (Zooey Deschanel berperan sebagai Summer Finn) yang sudah memiliki pacar dengan mudahnya pergi berdua dengan cowok lain (Joseph Gordon-Levitt berperan sebagai Tom Hansen) bahkan yang paling gila, bermain seks dengan si cowok lain tersebut, lalu setelah itu Summer Finn mengatakan bahwa ia sudah memiliki pacar. Akibatnya Tom Hansen sedih karena telah dibohongi oleh Summer, namun di akhir cerita, Summer yang sudah menikah (dengan pacarnya) ini mendatangi Tom dan masih memegang tangan si Tom. Lain halnya dengan film Holywood yang lain, My Girlfriend’s Boyfriend (2010) yang menceritakan sosok janda yang bernama Jesse Young (diperankan oleh Alyssa Milano) berkenalan dengan dua cowok sekaligus (Ethan Reed dan Troy Parker) di kafe tempat ia bekerja. Kedua cowok ini meminta nomer HP si Jesse, kemudian di tempat dan waktu berbeda, masing-masing cowok mengajak Jesse pergi berkencan, dan si Jesse menyanggupinya. Kemudian, ketika kedua cowok ini mengatakan mencintai Jesse, tanpa pikir panjang si Jesse menerima cinta mereka berdua (dengan mengatakan, “I love you” kepada mereka berdua di tempat dan waktu berbeda) dan berpacaran dengan mereka.

Gara-gara film Holywood ini dan lagu Putus Nyambung ditambah berita perceraian dari banyak artis dan memang karena natur manusia yang berdosa, perhatikanlah gaya hidup generasi muda zaman postmodern. Seorang cowok/cewek yang sudah resmi berpacaran bisa dengan mudahnya berkenalan dengan lawan jenis lain, lalu ketika ditanya, siapa lawan jenis tersebut, mereka menjawab bahwa itu hanya “teman”. Lagi-lagi alasan klise! Benarkah orang tersebut DAPAT membedakan dengan jelas mana teman dengan “teman” (teman spesial)? Kalau dalam tahap berpacaran saja, sudah tidak setia dan mudah berkenalan dengan lawan jenis lain, bagaimana jika orang ini menikah? Dijamin kalau tidak segera bertobat, orang ini akan dengan mudahnya berselingkuh, namun untuk menutupi perselingkuhannya (natur manusia berdosa: sudah berdosa, masih tidak mau mengakui dosanya), maka ia akan beralasan, “kami hanya berteman biasa, tidak lebih.” Saya jadi teringat akan peringatan dari Pdt. Yohan Candawasa, S.Th. dalam rekaman MP3 dari Seminar: Ambillah Aku Melayani Engkau yang mengatakan bahwa perselingkuhan (dalam pernikahan) dimulai dari persahabatan! Beliau mengatakan bahwa awal-awalnya cowok dan cewek (pasangan selingkuh) sama-sama mengatakan, “kami hanya berteman biasa, tidak lebih”, namun waktu membuktikan bahwa “pertemanan” itu mengakibatkan perselingkuhan. Oleh karena itu, beliau memberikan tanda awas kepada para pelayan Tuhan (dan tentunya kita sebagai jemaat Kristen) untuk tidak merasa diri bisa mengendalikan segala pencobaan. Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) 2010: Rahasia Kemenangan Menuju Cinta dan Seks Menuju Pernikahan juga mengatakan hal serupa bahwa perselingkuhan terjadi justru di dalam persahabatan (rekan bisnis, dll) di mana seorang cowok dan cewek berada di dalam satu kantor yang sama. Si cowok tidak puas dengan istrinya dan si cewek tidak puas dengan suaminya, akhirnya si cowok dan cewek ini akhirnya ada affair dan keluarga mereka berantakan!


4. Bekerja
Seorang yang hatinya untuk Tuhan adalah seorang yang terus-menerus bergumul untuk mencari kehendak Tuhan di dalam profesinya. Ia akan bekerja sesuai dengan talenta yang Tuhan telah percayakan kepadanya. Apa itu bekerja? Apa motivasi bekerja? Rasul Paulus di dalam Efesus 2:10 mengajar kita tentang kaitan panggilan Allah dan profesi, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” Dari ayat ini, kita diajar oleh Allah melalui Paulus bahwa setelah kita diselamatkan melalui anugerah Allah oleh iman di dalam Kristus (Ef. 2:8-9), maka kita yang telah diciptakan oleh Allah harus mengerjakan sesuatu yang telah disiapkan-Nya sebelumnya. Secara logis, maka Allah yang mencipta manusia tentu adalah Allah yang memberikan talenta yang BERBEDA kepada manusia dan manusia bertugas untuk menemukan talenta itu dan mengembangkannya demi kemuliaan-Nya. Orang yang diberi talenta oleh Tuhan untuk melayani-Nya di dalam bidang musik JANGAN dipaksa untuk bekerja bisnis, karena talentanya bukan di situ, demikian juga sebaliknya kalau orang memang berbakat dagang jangan disuruh menyanyi, biasanya banyak dari mereka suaranya gak karuan, hehehe. Berarti, setiap orang yang telah diberi Tuhan talenta tertentu harus mengembangkan talenta itu di dalam profesi tertentu/khusus yang memuliakan-Nya dan profesi itu TIDAK melulu hanya satu jenis. Mengutip khotbah mimbar dari Pdt. Hendry Ongkowidjojo, M.Th. tanggal 28 November 2010, setiap orang itu bekerja, entah itu ayah/suami bekerja di kantor, ibu/istri bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga, anak bekerja sebagai siswa/mahasiswa, dll.

Namun, karena pengaruh dari materialisme dan utilitarianisme dari manusia berdosa (khususnya pengaruh materialisme dari beberapa filsafat Timur/Tiongkok atau mungkinkah pengaruh dari bukunya Robert T. Kiyosaki, “Rich Dad, Poor Dad”?), maka beberapa orang “Kristen” mengidentikkan bekerja dengan berdagang! Jika seseorang tidak bisa berdagang, maka orang itu dianggap tidak bisa bekerja. Mengapa? Karena bekerja hari-hari ini diidentikkan dengan menghasilkan uang (banyak)! Tidak heran, seorang ibu yang berasal dari sebuah gereja Injili Tionghoa di Surabaya menghina saudara sepupunya yang adalah seorang penginjil sebagai orang yang tidak bisa bekerja. Jika pengertian bekerja identik dengan berdagang, maka orang yang paling tidak bisa bekerja adalah Tuhan Yesus! Saya menantang ibu Kristen ini, beranikah ia menghina Yesus tidak bekerja hanya karena Ia tidak pernah berdagang di dunia? Jika tidak berani, lalu dengan dasar pikir apa ia menghina sepupunya yang adalah seorang penginjil sebagai seorang yang tidak bisa bekerja?


5. Dinamis
Orang yang hatinya untuk Tuhan mengakibatkan ia akan peka melihat pimpinan Roh Kudus di dalam setiap inci kehidupannya. Dan Alkitab mengajar kita bahwa pimpinan Roh Kudus adalah pimpinan yang DINAMIS di dalam hidup kita. Kata dinamis berasal dalam kata Yunani dunamis (δύναμις) yang dalam Alkitab LAI diterjemahkan “kuasa”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (1990), dinamis diartikan sebagai, “penuh semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dng keadaan dsb;” (hlm. 206) Berarti, dinamis berarti yang memiliki kekuatan besar, entah itu kuasa, mukjizat, dll dan itu dikaitkan dengan karya Allah. Oleh karena jalan-Nya berbeda dengan jalan kita, maka sesuatu yang dinamis dari Allah pasti sesuatu yang melampaui jalan pikiran manusia. Akibatnya, kita harus siap sedia tatkala Ia menginterupsi apa yang kita ingin kerjakan, karena kehendak kita tidak sesuai dengan kehendak-Nya. Nah, tatkala kita diinterupsi oleh Allah, maka menurut definisi dari KBBI, kita harus dinamis yang berarti harus mudah menyesuaikan diri, karena yang harus kita ikuti adalah kehendak Allah, bukan kehendak kita. Di Alkitab, ketika Paulus dan Silas hendak memberitakan Injil di Asia, Roh Kudus mencegah mereka dan memimpin mereka untuk memberitakan Injil di tanah Frigia dan Galatia (Kis. 16:6). Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya sebagai pimpinan Allah yang “negatif” (kelihatan negatif, namun bertujuan positif). Saya menyebutnya sebagai pimpinan Allah yang dinamis. Kedinamisan cara kerja Allah ini PASTI berkaitan dan sesuai dengan kehendak-Nya. Cara kerja Allah yang dinamis ini TIDAK berarti Ia melarang kita memiliki rencana hidup, namun kita diperintahkan oleh Allah untuk merencanakan segala sesuatu lalu mengaitkannya dengan kehendak-Nya. Yakobus sangat memahami konsep ini dengan mengajar kita, “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” (Yak. 4:15)

Namun hari-hari ini, kembali, kata dinamis diselewengkan artinya. Dinamis tidak lagi berkaitan dengan kehendak-Nya, namun berkaitan dengan kehendak diri atau lebih tepatnya untuk menutupi kesalahan/kelemahan diri. Sehingga hari-hari ini, kata dinamis hampir TIDAK bisa dibedakan dengan lupa atau plin-plan! Seorang gembala sidang yang suka mengganti jadwal pengkhotbah untuk gerejanya selalu berargumentasi bahwa dirinya itu dinamis. Benarkah itu dinamis? Ataukah itu berkaitan dengan drinya sendiri yang suka lupa atau bahkan karakter dirinya yang memang plin-plan? Mengapa sesuatu yang berubah di dalam salah satu aliran Kristen selalu dikaitkan dengan dinamis? Puji Tuhan, Allah kita yang dinamis tahu batas-batas di mana Ia perlu dinamis, di mana Ia tidak perlu dinamis, sehingga Ia tidak secara tiba-tiba mengangkat Kristus pada waktu Ia berada di jalan salib (via dolorosa). Jika Ia terlalu dinamis lalu mengangkat Kristus pada waktu di jalan salib, maka kita semua pasti binasa karena tidak ada jalan keselamatan. Jika Ia melakukan hal demikian, maka Ia TIDAK layak disebut dinamis, namun Ia lebih layak disebut: TIDAK konsisten, karena rencana kekal-Nya untuk menebus dosa manusia tiba-tiba ditolak-Nya sendiri! Berhati-hatilah menggunakan kata yang agung!


6. Bergumul
Orang yang hatinya untuk Tuhan adalah orang yang peka terhadap pimpinan Roh Kudus dan orang itu selalu bergumul untuk menaati apa yang Tuhan kehendaki di dalam hidupnya. Apa itu bergumul? Bergumul adalah sebuah proses pengalaman hidup rohani anak Tuhan dengan Tuhan untuk makin mengerti dan menjalankan firman dan kehendak-Nya dalam hidupnya. Pergumulan ini terjadi karena adanya ketegangan yang terus-menerus antara kehendak Allah yang Mahakudus dengan keinginan manusia yang berdosa. Misalnya, dalam melawan dosa, anak Tuhan terus-menerus bergumul, karena mereka tahu bahwa Allah membenci dosa, namun anak Tuhan yang masih bertubuh jasmani ini menginginkan dosa tersebut, sehingga mereka harus bergumul bagaimana mengalahkan dosa dengan mengarahkan hatinya HANYA kepada Allah. Dengan kata lain, di dalam proses pergumulan: pusatnya adalah Allah Trinitas dan firman-Nya, Alkitab; kedua, motivasi dan tujuannya untuk menyenangkan Allah dengan menjalankan firman dan kehendak-Nya. Perhatikan pergumulan Paulus melawan dosa di dalam Roma 7:18-26. Itulah pergumulan sejati, karena ia terus-menerus menyadari bahwa Allah dan firman-Nya harus ditaati dan tujuannya hanya untuk memuliakan-Nya.

Namun kata yang begitu agung, “bergumul” dimengerti dengan cara yang ngawur. Seorang pemudi “Kristen” yang sudah mengetahui bahwa pasangan hidupnya itu tidak seiman masih dengan mudahnya mengatakan bahwa ia sedang bergumul dan proses pergumulannya berlangsung satu tahun. Bukankah Alkitab sudah jelas mengajar kita bahwa jangan menjadi pasangan yang tidak seiman? Kalau Alkitab sudah jelas, mengapa perlu waktu satu tahun untuk bergumul? Lebih tajam lagi, apakah benar si pemudi “Kristen” ini berkomitmen menaati firman Tuhan yang melarang umat-Nya mencari pasangan yang tidak seiman? Ataukah sebenarnya ia hanya mengerti firman Tuhan tersebut secara kognitif (nyangkut di otak), namun ia tetap bernafsu dengan pasangan yang tidak seiman, lalu supaya orang lain tidak mengetahui niat buruknya itu, maka ia memoles kata “bernafsu” dengan “bergumul” supaya terkesan “rohani” dan “saleh” (mengingat orang yang mengatakan bahwa dia lagi bergumul ini adalah orang yang keras kepala)? Terus terang, saya ngeri melihat gejala banyak generasi muda (tidak menutup kemungkinan: generasi tua) zaman ini baik yang Kristen maupun non-Kristen yang makin lama bukan makin mengerti firman Tuhan dan berusaha menjalankannya secara konsisten, namun makin sok tahu dan melawan Alkitab seolah-olah mereka lebih hebat dari Allah. Bertobatlah selagi Tuhan memberi kita kesempatan!


7. Baik
Terakhir, orang yang hatinya untuk Tuhan pasti berusaha mengerti apa yang benar dan baik dari perspektif Allah. Kali ini saya tidak hendak mendefinisikan benar, namun saya hendak menyoroti masalah baik, karena hari-hari ini justru definisi baik yang paling suka dipakai setan untuk diselewengkan. Apa itu baik? Kembali kepada Alkitab. Di Roma 12:2, Paulus mengatakan, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Kata “baik” dalam ayat ini teks Yunaninya adalah agathos (ἀγαθός) yang bisa berarti baik atau berguna. “Baik” di sini merupakan salah satu ciri kehendak Allah dan “baik” ini dikaitkan dengan dua ciri kehendak Allah yang lain yaitu: berkenan kepada Allah (bisa diterjemahkan: menyenangkan Allah) dan sempurna. Berarti standar baik menurut firman Allah adalah baik yang berguna, terintegrasi, dan menyeluruh. Allah yang baik pasti berkaitan dengan Allah yang Kudus, Benar, Adil, Jujur, dan Kasih. Memisahkan kesemuanya berarti memisahkan Allah sendiri, karena semuanya itu atribut Allah yang saling berkaitan! Dari perspektif Alkitab, maka penilaian orang Kristen akan “baik” itu harus saling berkaitan, apakah kebaikan itu berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kekudusan, dan kemurnian? Ataukah kebaikan itu memiliki unsur terselubung? Dengan kata lain, kebaikan harus dipikirkan: dasar pikir/standarnya (presuposisi), motivasi, dan tujuannya.

Namun banyak orang zaman sekarang terlalu cepat memuji orang lain dengan sebutan “orang itu baik” tanpa standar dan arah yang jelas. Pertama, standar kebaikan sudah mulai rusak. Kebaikan dimengerti sebagai sesuatu yang menyenangkan diri (egosentris). Contoh, seorang guru disebut sebagai guru yang baik oleh anak muridnya karena guru tersebut selalu murah nilai (artinya selalu memberi nilai yang bagus kepada muridnya). Contoh lain, A mengatakan B itu sosok yang baik, karena B itu telah menyenangkan A, misalnya: membelikan (dan memberikan) dia makanan, mengantarkan dia pulang, dll. Jika B menegur si A, apakah A masih menganggap B itu baik? Jika B tidak menuruti beberapa kemauan dari si A agar si A lebih dewasa, apakah A masih menganggap A itu sosok yang baik?

Selain standar kebaikan rusak, motivasi dan tujuan kebaikan itu sendiri rusak. Ketika kita memuji orang lain sebagai orang yang baik, apa motivasi dan tujuan kita? Apakah dengan memuji orang lain itu baik, kita ingin memanfaatkan orang yang kita puji tersebut agar di lain kesempatan kita dapat memanfaatkan lagi tenaga, waktu, dan uangnya demi memenuhi kemauan kita? Ataukah kita memuji orang lain sebagai orang yang baik itu hanya sekadar lip service (bahasa Jawa: mbasahi lambe)? Ataukah kita memuji orang lain sebagai orang yang baik itu keluar dari hati kita yang terdalam?




TANTANGAN BAGI ORANG KRISTEN
Di atas, kita telah membaca dan mengkritisi 7 kata yang sering diselewengkan maknanya oleh banyak orang bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengaku diri “Kristen”, apa yang harus kita lakukan sebagai orang Kristen yang normal?
1. Kembali Kepada Alkitab (Sumber)
Salah satu semboyan Reformasi gereja dari Dr. Martin Luther yang terkenal adalah Sola Scriptura yaitu hanya Alkitab! Tuhan memakai momen Reformasi Luther sebagai momen untuk menyadarkan orang Kristen agar mereka kembali kepada Alkitab (back to the Bible) atau kembali kepada sumber (ad fontes). Dari sini, kita melihat bahwa Alkitab sebagai firman-Nya adalah satu-satunya sumber dan dasar mutlak bagi iman dan praktik hidup Kristen serta standar penentu kebenaran mutlak. Oleh karena itu, adalah bijaksananya kita jika kita dengan rendah hati kembali kepada Alkitab, mau dikoreksi oleh Alkitab tatkala kita salah jalan atau salah prinsip. Jangan sok tahu, karena kita memang pada prinsipnya tidak pernah mengetahui segala sesuatu, apalagi kehendak-Nya.


2. Telitilah Makna Suatu Kata
Kembali kepada Alkitab sebagai sumber menuntun kita bukan hanya menjadikan sumber itu satu-satunya kebenaran mutlak, namun juga seharusnya menuntun kita untuk lebih mendalami sumber itu. Ketika membaca satu ayat Alkitab yang belum kita mengerti, coba dalami ayat tersebut dengan membaca ayat sebelum dan sesudahnya, lalu cari terjemahan Alkitab dalam bahasa lain, kemudian bandingkan kitab yang memuat ayat tersebut dengan kitab lain di dalam seluruh Alkitab. Dengan cara mendalami Alkitab demikian, kita dimampukan untuk mengerti ayat Alkitab yang sulit tersebut. Demikian juga, tatkala kita tidak mengerti definisi satu kata entah itu dalam bahasa Indonesia atau bahasa lain, selidikilah makna aslinya dengan membaca kamus bahasa atau menanyakan kepada orang lain yang lebih mengerti. Jangan menafsirkan satu kata dengan pengertian kita sendiri, karena pengertian kita yang seenaknya sendiri akan satu kata BERBEDA dengan pengertian objektif akan satu kata tersebut, lalu perbedaan itu akhirnya mengakibatkan adanya miskomunikasi dan misinterpretasi dan berakhir dengan ketidakmengertian bahkan perpecahan/perselisihan.


3. Pergunakanlah Secara Bertanggung Jawab
Setelah meneliti makna satu kata dengan benar, maka tugas orang Kristen yang normal adalah mempergunakannya secara bertanggung jawab. Jika kita sudah menelitinya dan mendapati bahwa apa yang kita alami/lakukan (atau kebiasaan kita) tidak sesuai dengan makna asli suatu kata, maka jangan lagi mempergunakan kata itu. Contoh, kita adalah sosok pelupa, sehingga kita mudah mengganti jadwal, maka jangan mengidentikkan kebiasaan kita yang suka lupa ini dengan perkataan “dinamis”, karena dinamis TIDAK sama dengan lupa! Jika lupa, katakan LUPA.




PENUTUP
Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita sebagai orang Kristen yang telah ditebus oleh Kristus berkomitmen menggunakan setiap kata dengan bertanggung jawab demi kemuliaan-Nya? Meskipun sulit, biarlah Roh Kudus memampukan dan memimpin hati, pikiran, dan perkataan kita untuk memperkatakan sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan. Amin. Soli Deo Gloria.

24 November 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (2) (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (2)

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 9:19-23 (2)



Dalam khotbah yang lalu kita sudah bersama-sama belajar bahwa 9:19-23 merupakan penjelasan bagi status Paulus sebagai orang yang bebas (9:1). Sebagai hamba yang dipercaya Allah (9:17-18) Paulus tidak mungkin pada saat yang bersamaan menjadi hamba pihak lain. Jika ia adalah hamba Allah, maka ia bukanlah hamba manusia (Gal. 1:10). Walaupun Paulus tidak terikat pada siapapun, namun ia bersedia melepaskan kebebasannya itu. Ia mau menjadi hamba bagi semua orang (9:19). Semua ini ia lakukan bukan untuk mengambil hati banyak orang bagi kepentingannya sendiri, tetapi untuk membawa sebanyak mungkin orang kepada Kristus. Dalam khotbah kali ini kita akan belajar bagaimana Paulus mau menjadi hamba bagi orang-orang Yahudi dan mereka yang hidup di bawah Hukum Taurat (9:20-21).


Bagi Orang Yahudi Paulus Menjadi Seperti Orang Yahudi (ay. 20a)
Ungkapan Paulus di bagian ini sekilas sulit untuk dipahami. Bagaimana Paulus yang adalah seorang Yahudi tulen (2Kor. 11:22; Flp. 3:4-6) berusaha menjadi seperti orang Yahudi? Mengapa ia memakai ungkapan “bagi orang Yahudi” dan bukan “bagi teman sebangsaku”? Ungkapan ini jelas tidak boleh dipahami secara etnis maupun keterkaitan secara biologis. Jika ini adalah masalah etnis atau hubungan darah, maka Paulus tidak bisa menjadi “seperti orang Yahudi”. Ia adalah orang Yahudi! Semua ini sebaiknya dipahami dalam konteks kebiasaan Yahudi. Pendapat ini sesuai dengan pokok masalah utama yang sedang dibahas Paulus di 1 Korintus 8-10, yaitu perdebatan seputar makanan (1Kor. 8-10).

Bagi orang Yahudi makanan merupakan masalah religius. Mereka hanya makan makanan yang halal (Im. 11). Lebih jauh, mereka mempraktekkan peraturan halal (kosher) yang jauh lebih detail dan kompleks daripada yang diajarkan dalam Alkitab. Peraturan ini mencakup pemilihan bahan makanan, cara memasak maupun cara memakan.

Persoalan seputar makanan ini sering kali menjadi masalah serius dalam interaksi bangsa Yahudi dengan bangsa lain, karena orang-orang non-Yahudi biasanya memakan daging yang dianggap najis menurut kitab suci Yahudi maupun melanggar tradisi lisan tentang tata cara memasak maupun memakan yang halal. Orang non-Yahudi juga sering bersentuhan dengan makanan berhala. Gesekan kultural seputar isu ini menjadi bahaya rentan yang tidak terelakkan. Alkitab sendiri memberikan beberapa contoh tentang gesekan ini. Orang-orang Farisi pernah mengecam murid-murid Yesus karena makan dengan tangan yang tanpa dicuci (Mat. 15:1-2). Para pemimpin gereja mula-mula bahkan perlu untuk mengadakan konsili gereja guna membahas masalah ini dan masalah-masalah kultural yang lain (Kis. 15:28-29).

Paulus pun pernah terlibat perbedaan pendapat yang tajam dengan Petrus karena ia menganggap Petrus telah melakukan kesalahan fatal dalam hal ini (Gal. 2:11-14). Kesalahan yang dilakukan Petrus ini merupakan sesuatu yang luar biasa, karena Petrus sebelumnya sudah diajar oleh Tuhan sendiri melalui sebuah penglihatan bahwa apa yang dinyatakan halal oleh Allah tidak boleh dipandang haram oleh manusia (Kis. 10:15; 11:9). Di tengah budaya yang sangat sensitif terhadap isu tentang makanan seperti ini, Paulus memilih untuk mengadaptasi kebiasaan Yahudi. Tindakan ini tidak boleh dianggap sebagai kemunafikan maupun penyangkalan terhadap kebebasan Kristiani di dalam Injil. Dalam theologi Paulus, makanan tidak mempengaruhi status seseorang di hadapan Allah (8:8; Rm. 14:1-3). Ini semua hanyalah tentang hal-hal yang sementara dan tidak memiliki nilai kekal di hadapan Allah (Kol. 2:22). Semua yang diberikan Allah adalah baik dan tidak haram, jika dinikmati dengan ucapan syukur (1Tim. 4:4), apalagi Tuhan Yesus juga sudah mengajarkan bahwa semua makanan adalah halal (Mrk. 7:19).

Dengan konsep seperti di atas, theologi Paulus membuka ruang bagi orang-orang Yahudi Kristen untuk tetap memperhatikan kebiasaan makan yang lama maupun mengabaikannya. Seandainya mereka memutuskan untuk tetap mengikuti kebiasaan lama, mereka harus melakukannya dengan motivasi yang berbeda. Kalau orang Yahudi begitu menjaga peraturan tentang makanan supaya mereka diperkenan atau dibenarkan oleh Allah, orang Kristen tidak boleh menganggap bahwa tindakan mereka seputar makanan akan mempengaruhi kesalehan mereka di hadapan Allah. Seandainya mereka memutuskan untuk mengabaikan peraturan Yahudi tentang makanan, maka tindakan ini pun tidak apa-apa. Sikap mana pun yang kita pilih, hal itu harus ditujukan untuk kepentingan Injil (9:20) dan kemuliaan Allah (10:31; Rm. 14:6).

Sikap Paulus yang terlihat situasional ini tidak boleh dipahami sebagai sebuah kemunafikan maupun sikap bunglon. Yang terutama kita perlu menyadari bahwa tidak ada satu kebenaran pun yang dikompromikan oleh Paulus. Yang ia korbankan bukan kebenaran Injil, tetapi kebebasannya yang ia terima dari Injil. Ia bisa tetap mengikuti maupun mengabaikan semua peraturan itu, namun demi kepentingan Injil ia bersedia terikat dengan peraturan tersebut.

Jika Paulus memang bersikap situasional dalam hal makanan, mengapa ia menegur Petrus pada saat Petrus bersikap mendua soal makanan kala ia berada di Anthiokia dan bahkan menganggap tindakan itu sebagai kemunafikan (Gal. 2:11-14)? Untuk memahami problem ini kita perlu menyadari bahwa yang dipersoalkan Paulus di Galatia 2:11-14 adalah sikap Petrus yang menjauhi orang-orang non-Yahudi karena takut kepada orang-orang Yahudi garis keras dari Yerusalem (Gal. 2:12; bdk. Kis. 11:2-3). Ia sudah tahu bahwa semua makanan adalah halal (Kis. 10:9-16; 11:4-10), namun ia takut kepada orang-orang Yahudi, seolah-olah peraturan tentang makanan masih mengikat hidupnya. Di sisi lain, sikap Paulus yang situasional (dalam konteks misi sikap ini disebut kontekstualisasi) bukan didasari oleh ketakutan, tetapi demi perkembangan Injil. Perbedaan lain antara sikap Paulus dan Petrus adalah ini: sikap Petrus berpotensi menghalangi pemberitaaan Injil (Gal. 2:14), sedangkan sikap Paulus justru membuka ruang bagi efektivitas pekabaran Injil (1Kor. 9:20a). Jadi, yang menjadi faktor pembeda dalam hal ini adalah motivasi (ketakutan vs. kepentingan Injil) dan konsekuensi (menghalangi vs. membantu).


Bagi Orang yang Berada Di Bawah Hukum Paulus Menjadi Seperti Orang yang Di Bawah Hukum (ay. 20b)
Bagian ini menimbulkan sedikit kesulitan bagi para penafsir. Jika Paulus sudah menyinggung tentang orang Yahudi (9:20a), mengapa ia masih perlu membahas tentang orang-orang yang hidup di bawah hukum (9:20b)? Bukankah “orang Yahudi” identik dengan “mereka yang hidup di bawah Hukum Taurat”?

Beberapa penafsir mengusulkan “orang-orang di bawah Hukum Taurat” sebagai golongan proselit atau orang-orang yang takut kepada Allah, yaitu orang-orang non-Yahudi yang memeluk agama Yahudi (Mat. 23:15; Kis. 10:2), sedangkan yang lain mencoba memahami kata nomos di sini secara umum (hkum sipil, terutama hukum Romawi). Pengamatan yang teliti tampaknya mengarah pada kesimpulan bahwa nomos yang dimaksud Paulus adalah Hukum Taurat (NASB “Law”) dan orang-orang yang ada di bawah hukum ini adalah orang-orang Yahudi. Pilihan ini bisa dibenarkan berdasarkan beberapa pertimbangan: (1) semua pemunculan kata nomos dalam Surat 1 Korintus merujuk pada Hukum Taurat (9:8, 9; 14:21, 34; 15:56); (2) seandainya ini adalah hukum Romawi, maka Paulus tidak mungkin menambahkan “walaupun aku tidak berada di bawah hukum”; (3) secara mendasar tidak ada perbedaan etika antara orang-orang Yahudi asli dengan golongan proselit/orang yang takut kepada Allah. Jika nomos identik dengan Taurat, mengapa Paulus perlu menambahkan kategori “mereka yang berada di bawah Taurat”?

Ada beberapa jawaban atas pertanyaan ini. Pertama, ayat 20b berfungsi untuk memberikan penjelasan tentang “seperti orang Yahudi” di ayat 20a. Menjadi seperti orang Yahudi berarti menjadi seperti orang yang berada di bawah Taurat. Tanpa penjelasan tambahan di ayat 20b, maka ayat 20a akan menjadi lebih sulit untuk dipahami. Kedua, ayat 20b memberikan prinsip yang lebih luas daripada ayat 20a. Paulus tidak hanya membatasi sikap kontekstualisasi dalam konteks makanan saja (ay. 20a), tetapi juga aspek-aspek lain dalam Taurat (ay. 20b). Ketiga, ayat 20b menjelaskan alasan di balik sikap Paulus di ayat 20a. Kontekstualisasi Paulus bukan berarti bahwa ia berada kembali di bawah Taurat, karena itu ia merasa perlu menambahkan frase “sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah Hukum Taurat” (ay. 20b).

Tambahan “sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah Hukum Taurat” di ayat 20b merupakan batasan tegas bagi Paulus. Ia melakukan semua ini bukan karena ia masih terikat oleh Taurat. Ia adalah orang bebas, baik dari orang lain (9:19) maupun Taurat (Rm. 6:14). Apa yang dilakukan Paulus di tengah masyarakat Yahudi mungkin secara eksternal tidak berbeda dengan orang-orang Yahudi lain, tetapi motivasi di balik tindakan itu sangat berbeda. Orang Yahudi melakukan semua ini untuk mendapatkan kebenaran dari Allah dan dengan konsep bahwa mereka masih terikat oleh Taurat, tetapi Paulus melakukan itu justru untuk kepentingan Injil. Bagi Paulus berada di bawah Taurat berarti akan dihakimi menurut Taurat (Rm. 2:12), di bawah hukuman Allah karena melanggar Taurat (Rm. 4:15) dan di bawah kutuk Taurat (Gal. 3:10).

Paulus tidak sedang mengajarkan nilai teologis ketaatan terhadap Taurat, namun ia juga tidak menganggap Hukum Taurat sebagai perintah yang sudah tidak relevan. Ia tidak melarang orang-orang Yahudi meneruskan beberapa kebiasaan mereka sesuai Taurat, tetapi ia secara tegas menolak keyakinan bangsa Yahudi kepada Taurat sebagai jalan keselamatan (Rm. 3:19-20). Ia juga dengan keras menentang kesalahpahaman di kalangan orang Yahudi tentang nilai teologis dari semua kebiasaan Yahudi (Kol. 2:16-17). Bagaimanapun, demi kepentingan Injil ia mau bersusah-payah menghormati kebiasaan Yahudi yang tekait dengan Taurat, sekalipun ia meyakini bahwa semua itu tidak mempengaruhi status seseorang di hadapan Allah. Sikap seperti ini berpotensi untuk disalahpahami, baik oleh orang Yahudi maupun bangsa lain. Paulus sering kali dianggap meniadakan Hukum Taurat (Kis. 21:21) atau mengajarkan hidup yang bebas tanpa aturan sama sekali (Rm. 3:8) guna mencari perkenanan manusia (Gal. 1:10). Walaupun resiko yang muncul cukup besar, tetapi Paulus tetap berpegang pada prinsip ini, karena semua ini dilakukan demi efektivitas Injil.

Alkitab memberikan beberapa contoh konkrit tindakan Paulus yang masih mau mengikuti peraturan Hukum Taurat demi kepentingan Injil. Paulus yang sangat menentang manfaat sunat bagi keselamatan (Gal. 5:12; Flp. 3:2-3) ternyata justru meminta Timotius untuk menyunatkan diri demi efektivitas pekabaran Injil yang akan mereka lakukan (Kis. 16:3). Di kesempatan yang lain Paulus tetap menghormati peraturan Hukum Taurat tentang nazar berupa pencukuran rambut, walaupun ia tidak harus melakukan itu di Yerusalem (Kis. 18:18; Bil. 6:5, 13). Ketika ia ada di Yerusalem dan sedang digunjingkan oleh banyak orang karena dituduh mengabaikan Hukum Taurat, Paulus bersedia membiayai dan menjalani proses pentahiran menurut adat istiadat Yahudi (Kis. 21:21-26). Dari perspektif Paulus ia jelas memandang semua ritual pentahiran ini sebagai tindakan kesalehan yang tidak ada nilainya di hadapan Allah, tetapi ia tetap mau melakukan itu demi Injil dan karena tindakan itu pada dirinya sendiri bukanlah dosa. Ritual ini bukan dosa, hanya sesuatu yang tidak berguna. Yang menjadi dosa adalah motivasi yang keliru di balik ritual tersebut.

Salah satu contoh lain yang menarik dari kemauan Paulus untuk mengadaptasi diri dalam konteks budaya dan keagamaan Yahudi adalah kesediaannya untuk disesah sebanyak lima kali dengan 39 pukulan dalam setiap sesahan (2Kor. 11:24). Hukum Taurat mengatur bahwa orang yang menghujat TUHAN harus dilenyapkan dari tengah bangsa Yahudi (Bil. 15:30-31). Perintah ini tidak bisa dipraktekkan begitu saja dalam konteks hukum Romawi, karena wewenang untuk menghukum mati seseorang melalui prosedur hukum hanya boleh dilakukan melalui pejabat Romawi. Mahkamah Agama Yahudi tidak diberi wewenang tersebut. Untuk menyiasati hal itu, tradisi Yahudi mengganti hukuman yang ada dengan cara lain. Menurut tradisi Yahudi seperti yang tertuang dalam Mishnah, seorang yang dianggap penghujat akan dikeluarkan dari komunitas orang Yahudi. Tindakan ini sering kali disebut “dikucilkan dari synagoge (Yoh. 9:22; 12:42; 16:2). Bagi seorang penghujat yang ingin tetap dianggap sebagai bagian dari komunitas Yahudi, orang tersebut harus rela menerima disiplin secara Yahudi, yaitu berupa pukulan sebanyak 40 kurang satu pukulan (Ul. 25:2-3). Di tengah dua pilihan ini, Paulus memilih yang terakhir. Ini ia lakukan bukan hanya sekali, namun lima kali. Paulus bisa saja memilih alternatif pertama dan tidak peduli lagi dengan keselamatan rohani orang-orang yang menganggap dia sebagai penghujat. Bagaimanapun, ia justru memilih berkorban bagi mereka.

Jika semua tindakan Paulus di atas dicermati, maka kita akan setuju bahwa tindakan itu sangat luar biasa. Paulus adalah orang yang sangat tegas sehubungan dengan kebenaran, tetapi ia masih mau mengompromikan beberapa hal yang tidak prinsip dan tidak terlalu berkaitan dengan kebenaran itu. Ia juga adalah seorang dengan temperamen sangat keras, tetapi ia telah belajar untuk memahami dan berkorban bagi orang lain. Semuanya ini pasti tidak mungkin dilakukan Paulus jikalau ia tidak menerima anugerah dari Allah dan menyadari bahwa tujuan hidup kita adalah kemuliaan Allah melalui pekebaran Injil. Orang-orang yang menempatkan kemuliaan Allah sebagai prioritas hidup tidak akan kesulitan untuk mengorbankan hak, kebebasan, dan kenyamanan hidup mereka. Jikalau kita sulit melepaskan sesuatu demi Injil, maka itu menjadi tanda atau bukti betapa kita sudah terikat kepada dan memberhalakan hal tersebut.


Aplikasi
Apakah selama ini kita sudah meletakkan kepentingan Injil di atas segalanya? Apakah kita telah belajar mengalah supaya Kristus dimuliakan? Apakah kita rela bersabar terhadap orang lain dan berusaha memahami dia demi kepentingan Injil? Biarlah teladan Kristus di atas kayu salib terus menjadi fokus hidup dan dorongan bagi kita. Dia mau mengorbankan kemuliaan sorga dan menjadi sama dengan manusia supaya Ia bisa menyelamatkan kita. Soli Deo Gloria. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 9 Mei 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/SER-1Korintus%209%20ayat%2019-23%20%28Bagian%202%29.pdf

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (1) (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (1)

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 9:19-23 (1)



Pembacaan sekilas dari bagian ini mungkin akan memberikan kesan bahwa bagian ini tidak terlalu berkaitan dengan pembahasan sebelumnya di pasal 9. Pada bagian ini Paulus tidak menyinggung tentang status maupun hak sebagai seorang rasul (topik yang ia sudah bahas secara panjang lebar mulai 9:2-18). Ide tentang kebebasan yang menjadi fokus pembahasan di 9:19-23 juga sekilas berkontradiksi dengan penekanan Paulus di 9:15-18 bahwa dirinya adalah hamba yang tidak memiliki kebebasan selain melakukan apa yang ia harus lakukan. Lebih jauh, bagian ini pun tidak memperlihatkan keterkaitan yang eksplisit dengan isu tentang makan persembahan berhala yang menjadi inti persoalan di pasal 8-10.

Kesan di atas akan segera sirna apabila kita membaca 9:19-23 secara lebih teliti. Bagian ini memiliki keterkaitan dan fungsi yang penting bagi seluruh pembahasan di pasal 9. Ada beberapa petunjuk yang mengarah pada kesimpulan ini. Yang paling penting, ungkapan “aku bebas” di 9:19 jelas merujuk balik pada pertanyaan Paulus di awal pasal ini (9:1 “bukankah aku orang bebas?”). Dengan demikian kita seharusnya melihat 9:19-23 sebagai elaborasi dari pertanyaan “bukankah aku orang bebas?”, sedangkan 9:1b-14 sebagai uraian bagi pertanyaan “bukankah aku rasul?”). Selain itu, ajaran Paulus di 9:19-23 tentang kerelaan menjadi hamba bagi orang lain merupakan teladan lain dari hidup berdasarkan kasih sebagaimana yang ia sudah ajarkan di pasal sebelumnya (8:1). Berbeda dengan jemaat Korintus yang secara salah mempertahankan kebebasan mereka sehingga menjadi batu sandungan bagi orang lain (8:9, 11), Paulus justru melepaskan kebebasan tersebut supaya dapat memenangkan banyak orang (9:19-23).

Sebagian penafsir berpendapat bahwa 9:19-23 memiliki fungsi yang lebih daripada sekadar memaparkan teladan hidup Paulus. Bagian ini diyakini juga berfungsi sebagai pembelaan Paulus terhadap mereka yang mengritik pola pelayanan Paulus yang dipandang tidak konsisten: di suatu konteks Paulus melakukan X, tetapi di konteks lain ia mengambil sikap Y. Paulus dianggap mengajarkan kebebasan dari Taurat supaya ia bisa menyenankan banyak orang (Gal. 1:10). Penekanannya pada anugerah Allah membuat dia difitnah telah mengajarkan kehidupan Kristiani yang sembarangan (Rom 3:8). Di kalangan orang-orang Yahudi ia tidak jarang dimusuhi karena dituduh telah membatalkan Hukum Taurat (Kis. 21:21). Beberapa penafsir bahkan menduga sikap sebagian jemaat Korintus yang makan di kuil dengan mengatasnamakan kebebasan Kristiani (8:7-9) merupakan usaha mereka untuk “mengikuti” pola hidup Paulus yang tampak tidak konsisten. Terlepas dari benar atau tidaknya pendapat ini (tidak ada petunjuk yang konklusif untuk membenarkan maupun menyanggah hal ini), sikap Paulus yang terkesan situasional di 9:19-23 memang bisa menjadi masalah yang pelik di kalangan gereja mula-mula yang sering berhadapan langsung dengan isu tentang makanan (Kis. 15:29; Why. 2:14). Paulus bahkan pernah menegur Petrus yang bersikap munafik soal makanan (Gal. 2:11-14).

Sekarang kita berpindah pada struktur 1 Korintus 9:19-23. Alur berpikir Paulus di bagian ini cukup mudah untuk diikuti. Ayat 19 dan 22b menyatakan prinsip yang sama, sedangkan ayat 20-22a menguraikan prinsip tersebut dalam 4 kategori. Yang agak sulit ditentukan secara pasti adalah fungsi ayat 23. Apakah ayat ini sebaiknya disatukan ayat 22b ataukah disendirikan dengan fungsi yang sedikit berbeda? Pengamatan yang cermat menunjukkan bahwa ayat 23 sebaiknya dipahami secara tersendiri sebagai alasan bagi semua pembahasan di ayat 19-22. Dengan demikian alur berpikir Paulus di 9:19-23 dapat digambarkan sebagai berikut:
Pendahuluan: aku bebas tetapi aku menjadi hamba bagi semua orang demi Injil (ay. 19)
Penjelasan prinsip (ay. 20-22a)
Bagi orang Yahudi (ay. 20a)
Bagi orang yang di bawah Hukum Taurat (ay. 20b)
Bagi orang yang tidak hidup di bawah Hukum Taurat (ay. 21)
Bagi orang yang lemah (ay. 22a)
Penutup: aku menjadi segalanya bagi semua orang demi Injil (ay. 22b)
Alasan: aku melakukan semua ini demi Injil dan


Pendahuluan: Aku Bebas Tetapi Aku Menjadi Hamba bagi Semua Orang Demi Injil (ay. 19)
Ayat ini dimulai dengan kata sambung gar (lit. “karena”) yang dalam beberapa versi (NIV/NLT/LAI:TB) sengaja tidak diterjemahkan karena terkesan agak janggal. Keputusan ini dari sisi keindahan kalimat memang bisa dipahami, namun berpotensi untuk mengaburkan keterkaitan yang erat antara ayat ini dengan ayat 15-18. Paulus sengaja menggunakan kata sambung gar untuk mempertegas keterkaitan itu.

Dalam hal ini ayat 19 seharusnya dilihat sebagai penjelasan dari bagian sebelumnya. Maksudnya, kebebasan yang dinyatakan Paulus di ayat 18 bersumber dari status dan sikap Paulus di ayat 15-18. Paulus adalah hamba Allah (9:17), sehingga ia tidak mungkin menjadi hamba orang lain. Jika ia mau menghambakan diri pada orang lain (9:19, 22b), maka itu merupakan pilihan dari pihak Paulus, bukan paksaan atau keharusan. Status Paulus sebagai hamba Allah memang membuat dia tidak memiliki kebebasan apa pun di hadapan Allah (9:16), namun hal ini tidak berarti bahwa ia juga kehilangan kebebasan di hadapan manusia. Ia tetap orang yang bebas. Pemikiran seperti ini sebelumnya sudah diungkapkan Paulus pada waktu ia membicarakan tentang paradoks budak-orang bebas (7:22 “sebab seorang hamba yang dipanggil oleh Tuhan dalam pelayanan-Nya, adalah orang bebas, milik Tuhan. Demikian pula orang bebas yang dipanggil Kristus, adalah hamba-Nya”).

Struktur kalimat di ayat 19 menyiratkan bahwa Paulus sedang menekankan kata “kebebasan” (eleutheros). Hal ini tampak dari posisi kata eleutheros di awal kalimat. Para penafsir meyakini bahwa kebebasan yang dimaksud di sini bukan hanya secara theologis (sebagai hamba Allah Paulus bukanlah hamba manusia), tetapi juga secara sosiologis (ketidakmauan Paulus menerima tunjangan hidup dari jemaat membuat ia bebas dari tekanan maupun pembatasan oleh orang lain).

Jika Paulus mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus, maka ia pun dituntut mengikuti selera jemaat dalam hal khotbah. Mereka ingin menggantikan Injil - yang dianggap kebodohan – dengan filsafat dunia (1:18, 22-23). Mereka ingin Paulus lebih menekankan kemampuan retorika daripada kuasa Roh Kudus (2:1-5). Dengan tidak menerima tunjangan dari mereka, Paulus memiliki kebebasan penuh untuk memberitakan Injil tanpa harus menuruti kemauan orang lain yang melawan kebenaran.

Walaupun Paulus adalah bebas terhadap semua orang, tetapi ia mau menghambakan dirinya kepada semua orang. Dalam kalimat Yunani kata “semua orang” diulang dan diletakkan berdekatan untuk mempertegas kontras (lit. “karena walaupun aku adalah bebas dari semua orang, kepada semua orang aku menghambakan diriku”). Bentuk lampau dari “menghambakan” (edoulosa, KJV/NASB/RSV/NRSV “I have made”, kontra NIV “I make”) menyiratkan bahwa apa yang dilakukan Paulus di sini merupakan tindakan yang sudah ia lakukan. Ia mengajarkan apa yang ia sudah lakukan, bukan hanya berusaha melakukan apa yang ia ajarkan (bdk. Ezr. 7:10 “sebab Ezra telah bertekad untuk meneliti Taurat TUHAN dan melakukannya serta mengajar ketetapan dan peraturan di antara orang Israel”).

Apa yang dilakukan Paulus ini merupakan sesuatu yang luar biasa jika kita membandingkan dengan dua fakta. Pertama, Paulus sebenarnya tidak anti terhadap kebebasan. Ia memberi ijin dan dorongan bagi orang percaya untuk menggunakan kebebasan mereka (7:21, 35, 39). Paulus pun tidak jarang menegaskan kebebasan Kristiani di daam Kristus Yesus. Di dalam Kristus orang percaya tidak lagi hidup di bawah tuntutan Taurat maupun berbagai tradisi manusia (Kol. 2:16-17). Ketika ia melepaskan kebebasan – yang sangat ia tekankan – maka Paulus pada dasarnya telah melepaskan apa yang ia anggap sangat penting dalam hidupnya.

Melepaskan sesuatu yang berharga dalam hidup kita jelas bukan hal yang mudah. Kita mungkin dengan mudah membiarkan sesuatu yang tidak penting dalam hidup kita untuk dikorbankan bagi orang lain, namun akan menjadi sangat sulit ketika kita harus melepaskan hal yang sangat berharga dalam hidup kita bagi orang lain.

Kedua, filsafat Stoa waktu itu mengajarkan bahwa orang yang bebas adalah mereka yang melakukan apa saja yang mereka kehendaki tanpa memikirkan pandangan orang lain.

Pandangan yang sekilas sangat menekankan kebebasan yang benar-benar bebas ini sebenarnya tidak lebih daripada sebuah perbudakan. Jika kita selalu menuruti kebebasan kita, maka kita pada dasarnya telah diperbudak oleh kebebasan tersebut. Orang yang benar-benar bebas adalah mereka yang benar-benar bebas untuk melepaskan kebebasannya demi kepentingan orang lain. Jika kita mengetahui kebenaran ini, maka kebenaran ini akan memerdekakan kita dalam arti yang sesungguhnya (Yoh. 8:32).

Darimana Paulus memahami rahasia dari kebabasan yang sejati ini? Mengapa ia bisa melepaskan kebebasannya untuk melayani orang lain? Tindakan Paulus ini pasti berakar dari ajaran dan teladan hidup Tuhan Yesus. Dalam kitab Injil diajarkan bahwa keunikan kepemimpinan Kristen adalah kepemimpinan yang menghamba (Mat. 20:26-28//Mrk. 10:43- 45). Yesus mau meninggalkan kemuliaan sorga untuk menjadi hamba yang taat (Flp. 2:5-8) demi menyelamatkan manusia. Ia yang berada di atas Hukum Taurat telah menaklukkan diri-Nya di bawah hukum itu demi menyelamatkan mereka yang takluk kepada Hukum Taurat (Gal. 4:4-5). Teladan inilah yang seharusnya menjadi pola hidup setiap orang Kristen.

Siapa yang menghambakan diri kepada Kristus berarti siap menghambakan diri kepada orang lain (2Kor.. 4:5). Kita memang tidak menjadi hamba orang lain. Satu budak hanya boleh memiliki satu tuan. Jika kita sudah menjadi hamba Allah (9:16-18), maka kita tidak mungkin sekaligus menjadi hamba orang lain. Bagaimanapun, dalam taraf tertentu kita adalah hamba orang lain, dalam arti bahwa Allah sebagai Tuan kita telah memberi tugas kepada kita untuk melayani orang-orang tersebut (2Kor.. 4:5). Hamba Than adalah milik jemaat hanya dalam arti bahwa jemaat pun pada gilirannya adalah milik Kristus (1Kor. 3:21-23). Seorang hamba Tuhan sepenuh waktu adalah hamba Tuhan (bukan hamba jemaat), tetapi ia harus melayani jemaat (menghambakan diri kepada mereka) karena Tuhan Yesus sudah mempercayakan jemaat untuk dilayani para hamba-Nya (Kis. 20:28). Hamba Tuhan tidak boleh diperlakukan seperti karyawan, namun hamba Tuhan juga tidak boleh memposisikan diri sebagai penguasa (bos).

Bagian terakhir ayat 19 menjelaskan tujuan dari sikap Paulus di ayat 19a. Motivasi di balik itu tidak berhubungan dengan kepentingan Paulus, melainkan kepentingan Injil Kristus. Ia berbeda dengan pemberita Injil lain yang condong pada kepentingan diri sendiri (bdk. Flp. 1:17; 2:21). Paulus berani melepaskan kebebasan demi orang lain bukan supaya ia disukai semua orang. Di tempat lain ia bahkan mengajarkan bahwa mereka yang berusaha memperkenankan semua orang pada dasarnya justru bukanlah hamba Kristus (Gal. 1:10). Ini adalah tantangan yang cukup pelik bagi seorang hamba Tuhan. Penerimaan yang baik dari jemaat merupakan faktor yang penting dalam pelayanan hamba Tuhan. Bagaimanapun, hamba Tuhan tidak boleh mengorbankan kepentingan Allah demi mempertahankan penerimaan manusia. Teguran kepada jemaat memang berpotensi merusak relasi hamba Tuhan dan jemaat, namun mengabaikan teguran justru akan merusak relasi jemaat dengan Tuhan.

Bagi Paulus, penghambaan ini ia lakukan hanya untuk satu tujuan: memenangkan sebanyak mungkin orang (ay. 19b). Pemilihan kata “memenangkan” (kedraino, kata ini muncul 5 kali di ay. 19-21) di bagian ini merupakan sesuat yang cukup menarik. Di ayat 22b Paulus memilih kata “menyelamatkan” (sozo) yang memang lebih lazim dipakai dalam konteks pemberitaan Injil. Pemakaian kata kedraino berfungsi untuk mengaitkan bagian ini dengan bagian perikop sebelumnya tentang upah pemberita Injil (9:15-18), karena kata ini secara hurufiah biasanya berarti “mendapatkan materi/keuntungan” (Mat. 16:26//Mrk. 8:36//Luk. 9:25; Mat. 25:16-17, 20, 22; Yak. 4:13), walaupun kata ini juga kadangkala dipakai untuk “mendapatkan Kristus” (Flp. 3:8) maupun “memenangkan orang lain pada keselamatan” (Mat. 18:15; 1Pet 3:1). Penggunaan kata kedraino di ayat 19b menyatakan bahwa inilah upah Paulus dalam pemberitaan Injil, yaitu kebebasan dari semua orang dan kebebasan untuk melepaskan kebebasan tersebut demi semua orang.


Aplikasi
Budaya postmodern yang sangat menekankan kebebasan merupakan salah satu tantangan terbesar bagi orang Kristen. Ditambah dengan natur kita yang berdosa dan condong pada egoisme, melepaskan kebebasan demi orang lain benar-benar merupakan tugas yang sangat sulit. Kalau pun kita berhasil melakukan hal ini, motivasi di balik semua itu seringkali tidak tepat. Kita hanya mencari penerimaan dari orang lain.

Kunci dari semua kesulitan di atas adalah posisi Injil dalam kehidupan kita. Jika kita meletakkan Injil di atas segalanya – termasuk kebebasan, kenyamanan, popularitas, penerimaan orang lain, dsb., – maka melepaskan kebebasan tampak menjadi lebih ringan bagi kita. Sebaliknya, jika kebebasan menjadi barang yang paling berharga dalam hidup kita, maka kita akan mengaami kesulitan untuk melepaskan hal tersebut, apalagi demi Injil yang bagi kita tidak terlalu penting. Biarlah kuasa Injil yang membebaskan kita dari dosa benar-benar membebaskan kita juga dari perbudakan kebebasan.

Kebebasan sejati adalah mengesampingkan kebebasan tersebut untuk menghambakan diri bagi orang lain demi kepentingan Injil Kristus. Soli Deo Gloria. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 25 April 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/SER-1Korintus%209%20ayat%2019-23%20%28Bagian%201%29.pdf

22 November 2010

Resensi Buku-106: DISIPLIN ANUGERAH (Jerry Bridges, D.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
THE DISCIPLINE OF GRACE
(DISIPLIN ANUGERAH):
Peran Allah dan Peran Kita Dalam Mengejar Kekudusan


oleh: Jerry Bridges, D.D.

Penerbit: Pionir Jaya dan NavPress, Bandung, 2007

Penerjemah: Samuel Tumanggor





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Melalui penebusan Kristus, sebagai anak-anak-Nya, kita telah dibenarkan di hadapan Allah. Setelah dibenarkan di hadapan Allah, kita dituntut untuk makin serupa dengan Kristus, Kakak Sulung kita melalui proses pengudusan. Di dalam proses tersebut, kita membutuhkan suatu disiplin agar hidup kita makin serupa dengan Kristus dan terus memuliakan-Nya. Namun sering kali disiplin dalam hidup kita bersifat legalistik, yaitu penuh dengan aturan-aturan baku yang dibuat manusia (meskipun mengutip dari Alkitab). Akibatnya, disiplin rohani dalam Kekristenan mungkin seolah-olah terasa memberatkan bagi orang Kristen. Benarkah disiplin identik dengan legalistik? Dr. Jerry Bridges mendobrak kesalahan pemikiran ini dan mengetengahkan suatu konsep yang seolah-olah berkontradiksi namun sebenarnya paradoks, yaitu: disiplin anugerah. Artinya, di dalam proses pengudusan, kita harus menjalani disiplin rohani, namun disiplin tersebut berkaitan erat dengan anugerah Allah. Konsep ini mengajar kita bahwa selain pembenaran yang merupakan anugerah Allah, pengudusan dan disiplin pun merupakan anugerah Allah. Namun tidak berarti, karena pengudusan dan disiplin rohani adalah anugerah Allah, lalu kita tidak berusaha keras di dalam proses pengudusan. Dr. Bridges secara seimbang juga mengajar tentang tanggung jawab umat-Nya untuk mendisiplin kehidupan mereka yang tetap bergantung pada anugerah Allah. Menggabungkan peran Allah dan peran manusia di dalam proses/mengejar kekudusan dimulai dengan mengkhotbahkan Injil kepada diri kita sendiri, sehingga kita makin mengerti signifikansi Injil. Setelah mengerti signifikansi Injil, kita akan maju dengan pertolongan Roh Kudus untuk hidup makin serupa dengan Kristus dan memuliakan-Nya. Mengkhotbahkan Injil mengakibatkan kita mampu menjalankan disiplin: komitmen, pendirian, pilihan, berjaga-jaga, dan penderitaan. Biarlah melalui buku ini, hidup kerohanian kita makin dikuatkan melalui disiplin yang bergantung pada anugerah Allah.





Profil Dr. Jerry Bridges:
Jerry Bridges, D.D. adalah anggota staf dari The Navigators. Beliau adalah penulis banyak buku laris, di antaranya: the Pursuit of Holiness (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia juga oleh Penerbit Pionir Jaya), the Gospel for Real Life, Trusting God, Transforming Grace, The Joy of Fearing God, dan the Discipline of Grace (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia juga oleh Penerbit Pionir Jaya). Pada tahun 2005, beliau menerima gelar kehormatan Doctor of Divinity (D.D.) dari Westminster Theological Seminary, U.S.A. Beliau dan istrinya, Jane tinggal di Colorado Springs, Colorado, U.S.A. dan mereka dikaruniai 2 orang anak yang sudah dewasa dan 5 orang cucu.

IMAN KRISTEN VS KARMA (Denny Teguh Sutandio)

IMAN KRISTEN VS KARMA

oleh: Denny Teguh Sutandio



Teman saya yang beragama Kristen dan non-Kristen pernah mengupdate statusnya di BlackBerry Messenger (BBM) dengan mengatakan bahwa ternyata karma itu ada. Apa itu karma? Dari mana konsep karma itu muncul? Bagaimana orang-orang “Kristen” zaman ini menafsirkan karma? Apa kata Alkitab tentang karma?


I. KARMA: ASAL USUL DAN AJARANNYA
Karma atau dalam bahasa Pali: kamma yang berasal dari India kuno ini berarti konsep “aksi” atau “perbuatan” yang dalam agama India dipahami sebagai sesuatu yang menyebabkan seluruh siklus kausalitas (yaitu, siklus yang disebut “samsara”). Konsep ini dijaga kelestariannya di filsafat Hindu, Jain, Sikh dan Buddhisme.[1] Di dalam Buddhisme, karma berarti “niat untuk melakukan perbuatan.”[2] Karma bisa melalui pikiran (perbuatan yang dilakukan dengan pikiran), ucapan (perbuatan yang dilakukan dengan ucapan), dan badan (perbuatan yang dilakukan dengan badan). Selanjutnya, dalam Buddhisme, hukum karma berarti hukum sebab akibat. Di dalam Samyutta Nikaya dinyatakan: “Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pulalah buah yang dituai. Mereka yang menanam kebajikan akan tumbuh kebahagiaan.”[3] Lalu, jika kita melihat kondisi dunia kita, bukankah bisa terjadi sebaliknya (yang baik malahan menderita, yang jahat malahan sukses)? Menanggapi hal demikian, Bhikkhu Utamo Thera dalam artikelnya Hukum Karma menjelaskan,
“Kalau hukum karma diumpamakan sebagai sebuah sawah yang mempunyai tanaman padi dan jagung, di mana tanaman padi dan jagung tersebut mempunyai usia panen yang berbeda, maka tanaman jagung tentu akan panen terlebih dahulu daripada tanaman padi. Demikian pula perbuatan baik dan buruk. Kalau kita sudah berbuat baik tetapi masih menderita, ini disebabkan karena perbuatan baik kita belum saatnya dituai/dipanen. Dalam hal ini kita memetik buah dari perbuatan buruk terlebih dahulu. Jadi semua itu ada waktunya, walaupun adakalanya masih bisa dipercepat sampai batas-batas tertentu.”[4]

Oleh karena itu, Bhikkhu Utamo Thera menggolongkan karma dari segi waktu, fungsi, dan bobot. Dari segi waktu, ada 4 kategori karma:[5]
a). Karma yang langsung berbuah
Misalnya kita mencuri helm milik orang lain, karena helm kita dicuri seseorang. Supaya tidak ketahuan, kita mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi walaupun lampu lalu lintas berwarna merah. Akhirnya kita ditangkap polisi. Terpaksa kita harus membayar tilang Rp 15.000, - (padahal harga sebuah helm hanya Rp 10.000,-). Ini adalah karma yang langsung berbuah.
b). Karma yang berbuah agak lama tetapi masih dalam satu kehidupan.
Misalnya orang yang melakukan meditasi hingga tingkat jhana yang tinggi sekali, setelah meninggal langsung terlahir di alam brahma.
c). Karma yang berbuah pada kehidupan-kehidupan yang berikutnya.
Misalnya orang yang sering mendengarkan Dhamma pasti akan terlahir di alam sorga dalam kehidupan-kehidupan yang berikutnya. Mengapa demikian? Dengan mendengarkan Dhamma berarti kita melatih dana perhatian. Pikiran, ucapan dan perbuatan kita terjaga dengan baik pada saat itu. Kita bisa mengerti dan melaksanakan Dhamma. Bahkan hal ini amat sesuai dengan salah satu sutta Sang Buddha, bahwa mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat adalah berkah utama.
d). Karma yang tidak sempat berbuah karena kehabisan waktu atau kehilangan kesempatan untuk berbuah.
Sering ada orang yang mengatakan bahwa tercapainya Nibbana apabila karma baik dan buruk telah habis. Padahal karma itu tidak mungkin habis karena jumlahnya tidak terbatas. Tetapi karma bisa dipotong! Kita bisa merasakan karma apabila kita mempunyai badan dan batin, artinya kita dilahirkan. Kalau kita tidak dilahirkan kembali, kesempatan untuk merasakan karma baik dan buruk menjadi tidak ada. Akhirnya ada karma yang tidak sempat berbuah.

Dari segi fungsi, karma dibagi menjadi:[6]
a). Fungsi karma yang melahirkan
Misalnya: ada orang yang dilahirkan dalam kondisi mempunyai banyak penyakit. Kenapa terjadi demikian? Sesuai dengan benih yang ditanam, demikian pula buah yang dituainya; karena ada penyiksaan maka bisa terlahir sakit-sakitan.
b). Fungsi karma yang mendukung à mendukung fungsi karma yang melahirkan. Misalnya: selain terlahir di keluarga yang miskin, dia juga terlahir dalam keadaan cacat. Ini adalah karma yang mendukung.
c). Fungsi karma yang mengurangi à berhubungan dengan perbuatan kita saat ini. Misalnya: meskipun miskin dan cacat, orang tersebut mempunyai sila yang baik.
d). Fungsi karma yang memotong
Karena silanya baik, ucapannya baik, tingkah lakunya baik, maka ada orang yang simpati kepadanya. Orang tersebut diberi pekerjaan yang sesuai dengan keadaannya. Ini adalah karma yang memotong, artinya bertentangan dengan yang sedang terjadi. Karma juga berhubungan dengan perbuatan saat ini. Apa yang terjadi pada saat ini, itulah yang menentukan karma kita. Jadi karma bukanlah nasib! Karma masih bisa diperbaiki dan diubah dengan melihat fungsi karma karena karma adalah niat berbuat. Perbuatan itulah yang paling penting!

Menurut bobotnya, karma dibagi menjadi:[7]
a). Bobot karma super berat
Karma super berat yang baik misalnya; orang yang mencapai jhana, setelah meninggal langsung terlahir di alam brahma; atau memperoleh pañña yang berarti tercapainya Nibbana. Sedangkan super berat yang buruk ada 5 (lima) yaitu membunuh ayah, membunuh ibu, membunuh seorang Arahat, melukai Sammasambuddha, dan memecah belah Sangha. Apabila salah satunya dilakukan maka setelah meninggal orang tersebut langsung terlahir di alam neraka.
b). Karma yang muncul pada saat kematian
Di dalam pikiran akan terjadi satu seleksi pada saat proses kematian yaitu mengingat perbuatan yang pernah berkesan di dalam diri kita. Misalnya; sebelum meninggal, seseorang teringat bahwa dia sering mendengarkan Dhamma, sering bertemu bhikkhu-bhikkhu dan meninggal dalam keadaan bahagia maka orang tersebut akan terlahir di alam bahagia. Sebaliknya kalau kesannya tidak baik, orang tersebut dapat terlahir di alam menderita.
c). Kalau di dalam proses kematian itu tidak ada yang berkesan atau tidak sempat terpikir, misalnya karena meninggal dalam keadaan koma maka yang berbuah adalah kebiasaannya. Umpamanya orang yang mempunyai kebiasaan latah maka seandainya setelah meninggal terlahir menjadi manusia, dia akan menjadi orang yang suka humor.
d). Bobot yang super ringan atau kecil à apabila karma yang super berat, karma pada saat kematian, dan karma kebiasaan tidak muncul maka karma yang super ringan yang akan berbuah. Misalnya: pada suatu waktu kita melihat ada paku payung di jalan lalu kita singkirkan supaya tidak mencelakakan orang lain. Ini adalah bobot yang super ringan. Apabila bobot yang super ringan ini muncul pada saat kematian dan kita merasa bahagia karena bisa menolong orang lain maka kita akan terlahir di alam bahagia.

Dengan kata lain, konsep karma dapat disingkat dengan pernyataan berikut, “Hidup kita ditentukan oleh diri kita sendiri, bukan oleh suatu makhluk adikuasa.”[8] Di artikel yang sama, si penulis mengungkapkannya dengan jelas, “Sang Buddha menekankan bahwa kita lah yang menentukan hidup kita sendiri. Kita juga bisa seperti Buddha dan setara dengan Buddha untuk mencapai kebijaksanaan tertinggi atau penerangan sempurna dengan segenap usaha, semangat, ketekunan, dan pengetahuan sendiri. Kita dapat bertekad untuk mencapai ke Buddha an dengan segala apa yang kita miliki. Oleh sebab itu, berbahagialah kita karena kita pun bisa mencapai kesucian seperti guru junjungan kita. Hal yang sangat jarang dalam kepercayaan lain yang melemahkan posisi manusia yang telah jatuh ke dalam Lumpur Dosa dan hanya oleh kekuatan tetentu saja baru bisa keluar dari sana.”[9]

Lalu, apa akibat dari karma?
“Akibat dari karma buruk adalah tumimbal lahir di tiga alam penderitaan (neraka, hantu kelaparan, dan binatang). Contoh karma buruk yang dapat menyebabkan seseorang terlahir di alam neraka antara lain: membunuh orangtua kandung, membunuh orang suci/ Arahat/Bodhisattva, dan melukai Buddha. Sedangkan akibat dari karma baik adalah tumimbal lahir di alam manusia atau surga. Sedangkan para Buddha, Arahat dan Bodhisattva yang sudah mencapai Pencerahan Sempurna memperoleh karma tidak bergerak, namun Bodhisattva yang karena welas-asihnya untuk menyeberangkan semua makhluk yang menderita dapat saja bertumimbal lahir lagi di alam manusia.”[10]

Bagaimana caranya kita mengetahui karma pada hidup manusia?
“Memang proses bekerjanya karma tidak dapat kita amati atau dibuktikan secara ilmiah, namun prinsip bahwa kita akan menuai sesuai dengan apa yang kita tanam itulah yang penting untuk kita renungkan. Proses bekerjanya karma hanyalah dapat dipahami sepenuhnya oleh seorang Buddha atau Yang Telah Tercerahkan. Untuk mengetahui karma dari kelahiran kita sebelumnya, maka renungkanlah berbagai kejadian baik berupa penderitaan [dukkha] ataupun kebahagiaan [sukkha] yang menimpa kita dalam kehidupan saat ini. Sehingga kita tidak tersudut ke dalam suatu kondisi di mana kita harus mencela orang lain sewaktu menderita ataupun terlalu menjunjung orang lain sewaktu kita berbahagia. Karma yang berbuah dalam kehidupan ini apakah menghasilkan kebahagiaan ataupun penderitaan haruslah kita syukuri sebagai makin berkurangnya timbunan karma kita sehingga makin terbukalah peluang untuk kita keluar dari arus kelahiran dan kematian. Namun demikian kitapun tidak perlu terjebak pada sikap pesimistik dengan menyalahkan kehidupan sebelumnya yang menciptakan karma buruk pada kehidupan saat ini karena Buddhisme tidak mengajarkan fatalisme yaitu suatu sikap yang menyalahkan segala sesuatu kejadian sebagai kodrat, takdir ataupun nasib. Buddhisme mengajarkan suatu tuntunan buat kita untuk melihat kehidupan saat ini sebagai alam kehidupan yang memungkinkan manusia untuk berlatih diri keluar dari lingkaran kehidupan dan kematian.”[11]





II. KONSEP “KRISTEN” BERKENAAN DENGAN KARMA
Berkenaan dengan karma, ternyata orang-orang di luar penganut agama Hindu dan Buddha pun terpengaruh oleh ajaran ini, tidak terkecuali beberapa (atau banyak?) orang “Kristen”. Demi kompromi dengan agama lain (dengan dalih “toleransi”), maka beberapa (atau banyak?) orang Kristen menyetujui tanpa berpikir kritis dengan konsep karma (bahkan yang mengkritisi konsep karma akan dicap “menghakimi”), bahkan ada yang menambahinya dengan konsep Alkitab tentang tabur tuai (Gal. 6:7). Apalagi beberapa hamba Tuhan/pemimpin gereja yang matre, hukum tabur tuai dipakai untuk mengeruk keuntungan dengan mengajar, “Berilah persembahan, maka Tuhan akan melipatgandakan 100x lipat.” Seolah-olah Tuhan bisa diperintah dan harus menaati apa yang manusia kehendaki.




III. TINJAUAN KRITIS IMAN KRISTEN TERHADAP KONSEP KARMA
A. Presuposisi Karma: Konsep Tuhan yang Tak Berpribadi
Sebelum membahas tinjauan iman Kristen yang sesuai dengan Alkitab menyoroti konsep karma, maka kita akan mencoba berpikir kritis dan logis tentang karma. Kalau kita perhatikan kembali asal mula konsep karma, maka sangat jelas bahwa karma lahir dari Hinduisme yang nantinya mempengaruhi Buddhisme. Di dalam Hinduisme dipercaya, “Tuhan (Hyang Widhi), yang bersifat Maha Ada, juga berada di setiap makhluk hidup, di dalam maupun di luar dunia (imanen dan transenden). Tuhan (Hyang Widhi) meresap di segala tempat dan ada di mana-mana (Wyapi Wyapaka), serta tidak berubah dan kekal abadi (Nirwikara)… Tuhan yang Tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Ciwa sebagai pelebur/pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain.”[12] Sedangkan di dalam Buddhisme dipercaya, “Yang Mutlak (Tuhan) dalam agama Buddha tidaklah dipandang sebagai sesuatu pribadi (punggala adhitthâna), yang kepada-Nya umat Buddha memanjatkan doa dan menggantungkan hidupnya. Agama Buddha mengajarkan bahwa nasib, penderitaan dan keberuntungan manusia adalah hasil dari perbuatannya sendiri di masa lampau, sesuai dengan hukum kamma yang merupakan satu aspek Dhamma.”[13] Kedua agama ini TIDAK mempercayai Allah yang berpribadi, sehingga tidak heran, penganut kedua agama ini mempercayai bahwa tujuan akhir hidup manusia bukan di tangan Tuhan, tetapi di tangan manusia sendiri. Sebelum kita mengaitkan konsep Tuhan mereka dengan konsep karma, maka ada baiknya kita membahas tentang konsep Tuhan mereka terlebih dahulu.

Kedua agama ini TIDAK mempercayai konsep Tuhan yang berpribadi, maka tentunya mereka hanya mempercayai bahwa Tuhan itu roh. Dan mereka percaya bahwa Tuhan yang adalah roh itu berada di mana-mana dan tidak bisa dilihat dan didengar (konsep Hinduisme). Pertanyaan saya selanjutnya:
Pertama, jika Tuhan itu berwujud roh saja yang tidak bisa dilihat dan didengar, dari mana Hinduisme bisa muncul? Bukankah Hinduisme percaya bahwa Tuhan itu hanya roh yang tidak bisa didengar dan dilihat?
Kedua, jika Tuhan hanya berwujud roh, bagaimana mungkin Buddhisme mengajarkan bahwa Tuhan itu, “Yang Mutlak, Yang Tertinggi, Yang Maha Suci, dan akhir tujuan semua mahluk.”[14] Coba pikirkan: Pertama, Jika Tuhan diklaim Yang Mutlak, dengan dasar apa kita mengetahuinya (problema epistemologi), padahal Tuhan dalam agama ini diklaim tidak bisa dideskripsikan (agama Buddha memandang Yang Mutlak dalam aspek nafi (meniadakan segala sesuatu yang dapat dipikirkan)[15])? Apa bedanya Tuhan dengan setan yang sama-sama roh yang juga tidak bisa dideskripsikan? Jika mereka menjawab, dari perbuatannya, pertanyaan saya selanjutnya adalah bagaimana kita dapat membedakan bahwa kalau dari Tuhan itu benar, sedangkan dari setan itu salah? Kalau mereka menjawab, hati nurani, saya bertanya lagi, apakah hati nurani menjamin suatu tindakan itu benar atau salah? Bukankah hati nurani juga bisa dipengaruhi oleh tradisi dan kebudayaan tertentu? Di sini, mereka akan mengalami kebuntuan cara berpikir. Kedua, jika Tuhan diklaim sebagai akhir tujuan semua manusia, sedangkan manusia sendiri berpribadi, mungkinkah Tuhan itu tak berwujud pribadi? Jika mereka menjawab bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia, melainkan ada dengan sendirinya melalui hukum alam, mereka PASTI berhadapan dengan kebuntuan cara berpikir: mungkinkah dari sebuah hukum yang mati dapat menghasilkan manusia yang berpribadi? Logika sederhananya adalah mungkinkah dari sebuah hukum gravitasi yang MATI dapat menghasilkan benda atau bahkan manusia?


B. Kaitan Konsep Tuhan Tak Berpribadi Dengan Karma
Selanjutnya, konsep Tuhan mereka jika dikaitkan dengan karma akan semakin terlihat kacau. Hukum karma mengajarkan bahwa hidup manusia itu ditentukan oleh manusia itu sendiri. Pertanyaannya adalah jika mereka benar-benar mempercayai Tuhan itu ada dan Mahakuasa, pertanyaan saya adalah mengapa Tuhan tersebut tidak memelihara hidup manusia malahan manusia yang harus mengontrol hidupnya sendiri? Bukankah “Tuhan” yang demikian adalah Tuhan yang tak berkuasa, meskipun mereka mengakui bahwa Tuhan itu Mahakuasa? Konsep ini mirip seperti konsep dalam Kekristenan arus theologi Arminian yang mengajarkan bahwa keselamatan bisa hilang. Jika keselamatan yang katanya dari Allah itu bisa hilang, sungguh mengasihankan Allah seperti ini karena tak mampu memelihara apa yang telah dikerjakan-Nya sejak awal.


C. Kelemahan Konsep Karma
Sekarang, kita akan menyoroti secara spesifik tentang hukum karma itu sendiri. Hukum karma mengajarkan bahwa jika seseorang di kehidupan sekarang berbuat baik, maka di kehidupan akan datang ia akan menjadi manusia, sedangkan jika tidak, maka di kehidupan akan datang, ia akan menjadi binatang atau makhluk lain yang rendah. Atau hukum karma mengajarkan hal lain: apa yang kita tabur di kehidupan sekarang akan kita tuai di kehidupan selanjutnya. Misalnya, kalau kita mengalah, maka kita akan menuai keuntungan. Ada juga karma yang tidak langsung terjadi demikian, namun menunggu waktu (baca pembagian karma dari segi waktu di atas). Akibat konsep ini, maka sebuah website Buddhis mengatakan bahwa jika di kehidupan saat ini seseorang itu tampan/cantik, maka itu karena di kehidupan sebelumnya, orang itu telah berbuat baik, sebaliknya jika di kehidupan saat ini orang itu jelek, itu karena di kehidupan sebelumnya, orang itu berbuat jahat.

Mari kita analisa:
Pertama, kaburnya konsep tentang karma. Karma mengajarkan sebab akibat, X mengakibatkan Y, Y disebabkan X, dst, pertanyaan saya adalah siapa/apakah yang menjadi penyebab utama (penggerak yang tidak digerakkan/unmoved mover)? Jika mereka berkata, hukum alam, pertanyaan berikutnya, bukankah hukum alam itu sesuatu yang mati? Mungkinkah dari yang mati mengakibatkan yang hidup? Setelah itu, sebab akibat pasti memiliki akhir yang tidak bisa menyebabkan hal lain, maka siapa/apakah yang menjadi akibat terakhir?

Kedua, kaburnya standar dan kriteria klasifikasi karma. Di atas disebutkan bahwa ada karma baik dan buruk, maka pertanyaan saya, dengan standar apa mengukur baik dan buruk tersebut? Kedua, apakah kriteria menyebut tindakan membunuh sebagai karma buruk? Membunuh semua makhluk hidup, termasuk binatang adalah sesuatu yang buruk? Mari kita pikirkan secara logis. Jika membunuh nyamuk itu suatu dosa, maka logikanya adalah biarkan nyamuk itu menggigit manusia dan mengakibatkan manusia itu mengidap penyakit. Jika nyamuk itu nyamuk yang mengakibatkan penyakit demam berdarah atau penyakit berbahaya lainnya, maka membiarkan untuk TIDAK membunuh nyamuk justru mengakibatkan manusia sakit dan meninggal. Jika satu manusia dibiarkan digigit nyamuk, maka otomatis manusia lain juga demikian, akibatnya banyak manusia akan meninggal karena digigit nyamuk yang menurut iman Buddhisme tidak boleh dibunuh. Bukankah akibat ini tidak sesuai dengan pernyataan Buddhisme sendiri, “Biarlah semua makhluk berbahagia”?

Ketiga, kaburnya akibat karma. Di atas dijelaskan bahwa akibat karma buruk adalah “tumimbal lahir di tiga alam penderitaan (neraka, hantu kelaparan, dan binatang).” Menanggapi hal ini, saya mengajukan beberapa pertanyaan: Pertama, dari mana seorang Buddhis mengetahui bahwa ada tiga alam penderitaan? Lebih tajam lagi, dari mana muncul 3 alam penderitaan tersebut? Ada dengan sendirinya? Atau hukum alam (MATI) yang menciptakannya? Kedua, ada alam hantu kelaparan. Bagi saya, ini adalah suatu kekontradiksian nama. Hantu adalah sesuatu yang bersifat roh yang tidak bisa didengar dan dilihat, maka masa mungkin ada roh yang kelaparan? Kalau yang kelaparan itu pasti adalah sesuatu yang berpribadi seperti manusia.

Keempat, kaburnya proses kerja karma. Di atas sudah disebutkan bahwa proses bekerjanya karma itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, berarti di titik pertama, konsep ini sudah tidak logis. Selanjutnya, proses kerja karma dapat diketahui tatkala kita merenungkan penderitaan dan kebahagiaan pada saat ini (dan tentunya mengaitkannya dengan kehidupan masa lalu), akibatnya kita tidak mudah menghina orang lain yang menderita atau menyanjung mereka yang berbahagia. Akibat ini di satu sisi ada baiknya, karena akibat ini membukakan kepada kita tentang realitas hidup di dunia (penderitaan dan kesukaan), namun juga ada salahnya. Kalau kita tidak menghina orang lain yang susah atau memuji orang lain yang berbahagia, berarti kita berada di dalam kondisi cuek atau tidak peduli.[16]
Selanjutnya, dikatakan bahwa konsep karma ini tidak mengakibatkan manusia menjadi pesimistis, karena, “Buddhisme mengajarkan suatu tuntunan buat kita untuk melihat kehidupan saat ini sebagai alam kehidupan yang memungkinkan manusia untuk berlatih diri keluar dari lingkaran kehidupan dan kematian.” Sebenarnya penjelasan ini TIDAK menjawab apa pun, mengapa? Karena: Pertama, konsep karma memang mengakibatkan manusia menjadi pesimistis dan percaya pada adanya karma atau takdir yang sudah ditentukan oleh hukum alam. Kedua, meskipun mereka menolak karma mengakibatkan manusia menjadi pesimistis dan percaya pada takdir, mau tidak mau mereka pasti menghadapi fakta bahwa ajaran karma mengakibatkan mereka menjadi egois (manusia harus berjuang sendiri tanpa perlu memikirkan orang lain). Dan keegoisan ini mengakibatkan seorang Buddhis tidak akan menolong orang lain yang kesusahan. Karena tidak ditolong, maka secara otomatis orang yang kesusahan ini akan meratapi “nasib”nya dan tentunya menjadi seorang pesimistis.[17] Jika ada orang Buddhis menolong orang lain yang kesusahan, dengan dasar apa mereka melakukannya? Welas asih? Bukankah mereka mengatakan bahwa setiap orang memiliki karmanya sendiri? Apa kaitan welas asih dengan karma? Keegoisan itu sendiri berkontradiksi dengan 2 ajaran Buddhisme: kehendak yang benar (belas kasihan) dan “semoga semua makhluk berbahagia”.


D. Iman Kristen Menyoroti Karma: Kedaulatan Allah dan Dosa Vs Karma
Iman Kristen yang sesuai dengan Alkitab TIDAK mengenal konsep karma. Mengapa? Karena iman Kristen dengan jelas dan logis mempercayai bahwa Allah itu adalah Allah yang berpribadi (sekaligus roh) yang menciptakan alam semesta ini, memeliharanya, dan kelak akan menyempurnakannya. Allah yang berpribadi ini adalah Allah Trinitas yaitu 3 pribadi Allah di dalam 1 esensi Allah. Lebih rasional untuk mempercayai bahwa ada Pencipta alam semesta ini ketimbang mempercayai bahwa alam semesta ini jadi dengan sendirinya atau adanya hukum alam, mengapa? Karena jika alam semesta ini jadi dengan sendirinya atau segala sesuatu bergantung pada hukum alam, berarti alam semesta ini tetap mati dan dari mana kita bisa memiliki standar etika/moralitas? Apakah logis mempercayai dari sebuah hukum alam yang MATI keluarlah sebuah standar etika/moralitas? Allah yang berpribadi yang mencipta alam semesta ini juga menciptakan manusia pada hari keenam sesuai dengan gambar dan rupa-Nya, sehingga manusia dalam beberapa hal mirip Allah dengan menyandang atribut-atribut-Nya yang bisa dikomunikasikan, seperti: kebenaran, keadilan, kejujuran, dll, meskipun tidak bisa 100% sempurna seperti Allah. Karena manusia diciptakan oleh Allah, maka sudah seharusnya, manusia hidup oleh dan untuk Dia saja. Setelah mencipta, Allah tidak meninggalkan ciptaan-Nya, namun memelihara ciptaan-Nya (termasuk manusia), sehingga segala sesuatu terjadi di alam semesta terjadi di dalam kehendak-Nya yang berdaulat. Lebih logis mempercayai adanya pemeliharaan Allah di dalam alam semesta daripada percaya bahwa alam semesta ini HANYA diatur oleh hukum alam, mengapa? Karena jika alam ini diatur HANYA oleh hukum alam, bagaimana mungkin jarak antara matahari dengan bumi bisa tetap? Apakah hukum alam bisa mengatur jarak antara bumi dan matahari dengan sendirinya? Jika bisa, dengan cara bagaimanakah hukum alam melakukannya? Kembali, Allah yang mencipta dan memelihara manusia juga adalah Allah yang menetapkan, “manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi,” (Ibr. 9:27) Jika Pencipta manusia telah menetapkan bahwa manusia itu mati satu kali dan setelah itu dihakimi, hak apa manusia berani memberontak lalu mengajar bahwa manusia bisa hidup reinkarnasi di dunia akan datang?

Manusia yang telah dicipta Allah ini karena tidak taat pada perintah Allah, maka mereka jatuh ke dalam dosa. Semua orang tanpa percaya kepada Allah Trinitas atau Alkitab pun PASTI mempercayai bahwa semua manusia itu telah berdosa. Jika manusia berdosa, maka secara logis pun manusia itu tidak bisa berbuat baik dengan sendirinya, karena perbuatan baik yang dikerjakannya pun telah dirusak dosa. Tidak usah jauh-jauh, mari kita perhatikan tingkah laku anak kecil. Coba ajari anak kecil untuk berkata benar/jujur atau memberi kepada temannya, lalu bandingkan dengan anak kecil lain yang diajar untuk berkata dusta, manakah yang lebih cepat untuk ditiru oleh anak kecil? Meskipun lingkungan mempengaruhi, namun pengaruh lingkungan seharusnya bisa dinetralisir oleh pendidikan keluarga, namun fakta yang terjadi adalah anak kecil lebih mudah untuk meniru yang salah ketimbang yang benar. Jika fakta dosa manusia terjadi demikian rusaknya, masihkah manusia membanggakan diri untuk berpikir, bertindak, dll yang benar?

Dosa manusia mengakibatkan manusia harus mengalami kematian (maut). Dosa manusia tidak mungkin bisa diselesaikan dengan cara manusia, karena jika bisa diselesaikan dengan cara manusia berbuat baik, maka perbuatan baik itu pun sudah tidak baik, karena tujuan akhirnya bukan untuk kebaikan, namun untuk menyelesaikan dosa. Kedua, perbuatan baik seperti apa yang bisa menyelesaikan dosa? Apakah karena seorang narapidana telah berbuat baik selama di penjara, maka ia bisa dibebaskan dengan mudahnya? Berpikirlah logis. Karena tidak bisa diselesaikan dengan cara manusia, maka Allah yang pertama kali berinisiatif menyelamatkan manusia berdosa dengan mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa umat-Nya. Karya Kristus disalib adalah karya yang mendamaikan Allah yang Mahakudus dengan manusia yang berdosa, sehingga melalui karya-Nya, kita dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga.

Karena kita telah diciptakan oleh Allah dan umat-Nya telah ditebus oleh-Nya, maka umat-Nya dipimpin oleh Roh-Nya untuk hidup bagi Allah. Hidup bagi-Nya berarti hidup yang bersandar mutlak pada pemeliharaan-Nya dalam hidup kita. Itulah namanya beriman. Apakah doktrin/ajaran pemeliharaan dan kedaulatan-Nya mengakibatkan kita menjadi malas karena kita berpikir bahwa segala sesuatu sudah ditentukan oleh Allah? TIDAK! Ajaran pemeliharaan dan kedaulatan-Nya justru menguatkan kita tatkala harus menghadapi penderitaan dan kesusahan hidup sekaligus mendorong kita bangkit dari keterpurukan kita. Iman Kristen khususnya dalam perspektif theologi Reformed yang mempercayai kedaulatan Allah atas segala sesuatu TIDAK mengajarkan fatalisme atau takdir-isme dan menjadikan orang-orang Kristen khususnya Reformed menjadi malas atau terima nasib! Justru, iman Reformed yang mengajarkan kedaulatan Allah, juga mengajarkan tanggung jawab sebagai respons manusia terhadap kedaulatan-Nya, sehingga tidak heran, di mana iman Reformed diajarkan dengan ketat, di situ kita melihat sumbangsih besar yang dihasilkan dari para penganutnya yang bekerja keras demi kemuliaan-Nya. Sedangkan mereka yang menganut konsep takdir mengakibatkan hampir tidak ada sumbangsih signifikan yang dihasilkan, karena mereka sudah diindoktrinasi bahwa hidup mereka entah miskin atau kaya sudah ditetapkan Tuhan atau sudah ada karmanya.


E. Iman Kristen Menyoroti Karma: Hukum Allah Vs Karma
Jika iman Kristen menolak hukum karma, bagaimana dengan hukum tabur tuai yang diajarkan baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru? Apa beda hukum tabur tuai dengan hukum karma?

Perlu ditegaskan kembali bahwa hukum karma adalah sebuah hukum yang mati yang tidak memiliki kuasa apa pun. Kalau pun kita tidak mempercayai bahkan menolak hukum ini, kita tidak akan meninggal. Mengutip Prof. Norman L. Geisler, Ph.D. dan Ronald M. Brooks, Th.M.,
“karma bukanlah ketentuan moral. Ia adalah sistem pembalasan saja; ia tidak memiliki muatan yang memberi tahu kita apa yang harus dilakukan. Ia adalah pelaksanaan, bukan hukum moral; ia adalah sistem hukuman tanpa badan pembuat undang-undang. Ia tidak personal, hukum moral tentang hubungan tindakan/konsekuensi.”[18]
Dari penjelasan di atas, kita semakin mengerti bahwa hukum karma sebenarnya adalah sebuah hukum tanpa ada pemberi hukum (seperti tempat pengadilan tanpa seorang hakim atau sebuah hukum negara tanpa adanya pembuat dan penegak hukum), tidak personal/berpribadi, dan lagi tidak berisi hal-hal apa saja yang harus manusia lakukan. Berarti dengan sendiri, hukum karma itu adalah sebuah hukum yang mati tanpa ada sumbernya. Jika demikian, mengapa manusia harus percaya adanya hukum karma? Bisakah Anda membayangkan jika seorang hakim mendakwa seorang narapidana dengan hukum yang tak ada pembuatnya? Atau logiskah jika seorang menteri mengeluarkan sebuah keputusan/peraturan yang tak ada pembuatnya? Jika hukum negara Indonesia bisa ada dengan sendirinya, justru kita tidak akan mempercayainya, karena itu suatu hal yang tidak logis.

Lalu, bagaimana halnya dengan Alkitab yang mengajarkan prinsip yang mirip seperti hukum karma? Misalnya: “"Jika engkau baik-baik mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka TUHAN, Allahmu, akan mengangkat engkau di atas segala bangsa di bumi. Segala berkat ini akan datang kepadamu dan menjadi bagianmu, jika engkau mendengarkan suara TUHAN, Allahmu:” (Ul. 28:1-2) Bukankah konsepnya adalah kalau kita taat pada Tuhan, maka Tuhan akan memberkati? Bagaimana pula dengan Galatia 6:7b, “…Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.”? Kalau kita memperhatikan seluruh prinsip Alkitab, maka kita dapat melihat bahwa hukum dari Allah yang berpribadi ini berbeda total dengan hukum karma. Allah yang berpribadi memberikan hukum-hukum-Nya termasuk Dasa Titah (Kel. 20:1-17) dan perintah-perintah Tuhan Yesus sebagai peraturan dan dasar etika bagi umat-Nya. Hukum-hukum-Nya ini meskipun merupakan hukum yang mati, namun hukum-hukum ini tetap menandakan ada Pembuat hukum yaitu Allah sendiri, sehingga standar etika dan hukuman menjadi jelas. Hukum Allah yang sama juga berlaku dan ditegaskan kembali di dalam Perjanjian Baru. Pertama-tama, Kristus sendiri mengajar umat-Nya untuk berbuat baik demi kemuliaan-Nya. Di dalam Matius 7:12 yang terkenal dengan The Golden Rule, Kristus berfirman, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.” Setelah mengajar seorang ahli Taurat untuk mengasihi Allah, maka Ia berfirman, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mat. 22:39) Itu adalah hukum terutama dan kedua dalam hukum Taurat. Di dalam Roma 12:7-21, Rasul Paulus mengajarkan kita prinsip pelayanan yang berlandaskan kasih Allah. Di dalam Galatia 6:1, Paulus juga menasihati jemaat Galatia untuk menasihati sesama jemaat yang melakukan pelanggaran sambil tetap menjaga diri. Itu semua menunjukkan bahwa Kekristenan mengenal hukum Allah yang bersumber dari Allah sendiri. Hukum tersebut adalah hukum kasih.

Meskipun dituntut untuk menaati hukum Allah, kita tidak bisa melakukannya dengan kemampuan kita sendiri, sehingga mutlak diperlukannya anugerah Allah yang memampukan kita sebagai umat-Nya untuk menaati hukum-hukum Allah. Setelah mengajar jemaat Filipi untuk mengerjakan keselamatan mereka, maka Rasul Paulus mengingatkan mereka, “Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Flp. 2:13) Dengan kata lain, kemauan untuk umat-Nya untuk berbuat baik demi kemuliaan-Nya pun dapat terjadi tatkala Allah yang berinisiatif terlebih dahulu mendorong/memimpin umat-Nya, sehingga tidak ada jasa baik manusia yang patut dibanggakan tatkala harus berbuat baik. Perbuatan baik umat Tuhan merupakan respons terhadap anugerah Allah di dalam penebusan oleh karya Kristus, sehingga perbuatan baik SEJATI dilakukan bukan demi mendapatkan sesuatu (kehidupan yang lebih baik, keselamatan, dll), tetapi karena sudah mendapatkan sesuatu. Inilah bedanya agama yang berpusat pada anugerah Allah vs agama yang berpusat pada kehebatan diri manusia berdosa.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan hukum tabur tuai yang mengatakan bahwa kalau kita taat kepada Tuhan pasti diberkati, sedangkan kalau tidak taat kepada Tuhan pasti sengsara? Perjanjian Lama di Ulangan 28 dan 29 mengajar hal demikian, namun perlu diingat, itu hanya sepenggal ajaran Alkitab. Alkitab TIDAK berisi hanya Ulangan 28 dan 29, namun dari Kejadian s/d Wahyu, sehingga alangkah berbijaksananya jika kita memperhatikan keseluruhan pengajaran Alkitab secara komprehensif. Mazmur 73 merupakan bagian Alkitab yang mencerahkan kita bahwa justru anak-anak Tuhan hidup sengsara, sedangkan mereka yang tidak mengenal Allah hidup senang, namun penampakan senang pada hidup orang yang tak mengenal Allah itu sebenarnya merupakan tindakan Allah yang membiarkan mereka kelak untuk hancur dan binasa (ay. 18-19). Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus yang taat kepada apa yang Bapa perintahkan pun BUKANlah seorang yang kaya secara jasmani, bahkan Ia pernah mengatakan kepada seorang yang berseru hendak mengikut-Nya, “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” (Mat. 8:20) Rasul Paulus yang taat dan setia kepada Tuhan pun harus mengalami penderitaan yang berat (2Kor. 11:24-27) bahkan mengalami penyakit yang tidak disembuhkan Tuhan (2Kor. 12:7-9). Begitu juga dengan para rasul lainnya, seperti Petrus yang menurut tradisi disalib terbalik. Kesemuanya ini mengajarkan kepada kita bahwa mengikut Kristus TIDAKlah mudah (Mat. 16:24). Namun demikian, Ia menjanjikan hidup yang berkelimpahan kepada mereka yang hidup di dalam dan bagi Kristus (Yoh. 10:10b). Hidup yang berkelimpahan TIDAK boleh ditafsirkan berkelimpahan secara materi, karena konteksnya TIDAK menunjukkan hal tersebut. Hidup berkelimpahan berarti hidup yang terus-menerus berlimpah-limpah akan pengertian iman dan anugerah Allah, sehingga umat-Nya dimampukan untuk tetap teguh dan kuat di tengah penderitaan yang mengancam hidup mereka. Dengan kata lain, meskipun harus menderita aniaya karena nama Kristus, kita dimampukan untuk berkata seperti Paulus berkata, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” (Rm. 8:18) Jaminan dan janji Allah yang luar biasa ini TIDAK akan mungkin bisa dijumpai di agama, filsafat, kebudayaan, tradisi, sains, dll apa saja, karena jaminan dan janji Allah ini hanya diberikan oleh Allah yang berpribadi (sekaligus roh) kepada umat-Nya di dalam Kristus.

Bagaimana pula dengan hukum tabur tuai menurut konsep Paulus di Galatia 6:7b, “Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.”? Ayat ini sering ditafsirkan bahwa kita harus berbuat baik, supaya nantinya juga menuai yang baik juga. Benarkah tafsiran ini? Di dalam menafsirkan Alkitab yang bertanggung jawab, satu ayat TIDAK bisa dilepaskan begitu saja dari konteksnya, maka mengerti ayat 7b TIDAK bisa dilepaskan dari ayat 8 yang menjelaskannya, “Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu.” Dengan kata lain, konteksnya jelas yaitu perbedaan hidup oleh Roh vs hidup oleh daging (bdk. Gal. 5:16-26). Umat pilihan-Nya dipimpin oleh Roh Kudus untuk hidup oleh Roh, sehingga hasil akhirnya adalah hidup kekal, sedangkan mereka yang tidak dipilih hidup oleh daging dan tentunya hasil akhirnya adalah kebinasaan.




IV. KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Hukum karma adalah sebuah hukum yang ditegakkan oleh manusia yang tentunya memiliki problematika dan kelemahan, sehingga adalah berbijaksana bagi kita sebagai manusia untuk tidak memusatkan hidupnya pada sebuah hukum mati yang tak ada pembuatnya, lalu kembali kepada Tuhan Allah yang berpribadi yang menciptakan hukum-hukum-Nya sebagai standar etika yang jelas dan mutlak bagi manusia. Saat ini, jika Anda masih mempercayai hukum karma, saya menantang Anda untuk memikirkan kembali konsep karma yang Anda pegang: bisakah konsep karma dihidupi secara logis dan praktis di dalam kehidupan sehari-hari? Bagi Anda yang sudah Kristen, namun masih suka “jajan” konsep dari agama lain, saat ini bertobatlah dan kembali kepada Kristus dan Alkitab!

Akhir kata, adalah berbijaksananya jika kita mendengar dan menaati apa yang Rasul Paulus katakan kepada jemaat di Tesalonika, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” (1Tes. 5:21) Amin. Soli Deo Gloria.
Catatan Kaki:
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Karma
[2] Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera, Hukum Karma, seperti dikutip dalam http://www.artikelbuddhis.com/hukum-karma.html
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] http://kmbui.net/index.php?option=com_content&task=view&id=62&Itemid=34
[9] Ibid.
[10] http://www.nshi.org/Buddhisme/Indonesia%20Buddhisme/Hukum-Karma.htm
[11] http://alietan.com/buddhism/?p=3
[12] Anak Agung Gde Oka Netra, Pokok-pokok Keimanan Agama Hindu (1), dikutip dalam: http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=481&Itemid=96
[13] http://www.artikelbuddhis.com/hakekat-agama-buddha-bag-1.html
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Prof. Norman L. Geisler, Ph.D. dan Ronald M. Brooks, Th.M. dalam bukunya Ketika Alkitab Dipertanyakan (2006) menjelaskan sikap tidak peduli dari penganut konsep karma, “Ketika Buddha Gautama meninggalkan lingkungan aman di rumah dan menemukan kejahatan dan penderitaan yang ada dalam dunia, ia harus menghadapi konflik moral antara mengizinkan Hukum Karma untuk dijalani atau melakukan perbuatan baik yang bersangkut paut dengannya. Kesimpulannya adalah bahwa seseorang harus bersikap acuh tak acuh. Orang harus kehilangan perhatiannya terhadap orang lain, dengan menyadari bahwa: (1) tidak ada perbedaan riil antara kebaikan dan kejahatan dan (2) segala sesuatu ada sebagaimana seharusnya. Sebab itu, entah seseorang menolong penderitaan itu atau mengabaikannya, ia harus melakukan hal itu dengan sikap tidak peduli sepenuhnya – seolah-olah melakukan satu tindakan sama dengan melakukan tindakan satunya. Apa pun jalan yang Anda ambil, itu akan dipandu oleh takdir. Tidak masalah apa yang Anda lakukan, selama Anda tidak peduli mana yang benar atau yang salah.” (hlm. 289)
[17] Pertanyaan lebih lanjut, perlukah kita terus-menerus membantu orang yang berkekurangan? TIDAK PERLU! Karena kalau kita membantu mereka secara material terus-menerus, mereka akan menjadi malas bekerja dan terus menadah bantuan kita saja. Namun bukan berarti kita tidak usah membantu orang yang berkekurangan. Lalu, bagaimana caranya? Dalam beberapa hal, kita perlu membantu mereka yang berkekurangan, namun sambil membantu secara material, kita sambil membantu mereka dengan menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga mereka bisa bekerja dan tidak terus-menerus mengharapkan bantuan material dari kita saja.
[18] Norman L. Geisler dan Ron Brooks, Ketika Alkitab Dipertanyakan, terj. Jhony The (Yogyakarta: Yayasan ANDI), hlm. 286-287.