19 March 2010

Eksposisi 1 Korintus 1:10-12 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 1:10-12

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 1:10-12



Surat 1 Korintus membahas berbagai masalah, baik yang didengar Paulus dari keluarga Kloe (1:10-6:20) maupun dari surat-surat mereka (7:1-16:19). Dari sekian banyak problem yang ada, problem perselisihan seputar hikmat dan kultus individu pemimpin (pasal 1-4) merupakan yang paling. Problem ini dibahas lebih dahulu. Problem ini juga dibahas secara panjang lebih (4 pasal).

Jemaat Korintus bukan sekedar mengangungkan para pemimpin lain atas nama hikmat (pasal 1-3), tetapi sebagian mereka juga mempertanyakan kredibilitas Paulus sebagai rasul (pasal 4). Di tengah situasi seperti ini, bagaimana sikap Paulus dalam menghadapinya?


Memberikan Nasehat yang Subyektif (ay. 10)
Walaupun perselisihan yang ada cukup serius dan ditujukan untuk menyerang Paulus, namun dia tetap mampu menyebut semua jemaat Korintus sebagai “saudara-saudara” (ay. 10-11). Sapaan ini bahkan muncul 21 kali dalam seluruh 1 Korintus dan termasuk salah satu surat Paulus yang paling banyak memuat kata “saudara-saudara”. Sapaan ini bukan sekedar kebiasaan atau formalitas. Melalui sapaan ini Paulus ingin mengajarkan bahwa persaudaraan di dalam Kristus tidak akan dapat dibatalkan oleh apapun juga, termasuk oleh perbedaan pendapat yang ada di antara mereka.

Paulus tidak memberikan nasehat untuk sebagian jemaat saja – terutama yang membela dia – namun untuk semua jemaat. Hal ini terlihat dari kata Yunani pantes di ayat 10 (LAI:TB tidak menerjemahkan kata ini). Sesuai teks Yunani yang ada, ayat 10 seharusnya diterjemahkan “...Yesus Kristus, supaya kamu semua...”. Di mata Paulus, siapa pun yang terlibat dalam perpecahan pasti telah melakukan kesalahan (3:3-4), sehingga perlu dinasehati.

Nasehat yang akan diberikan Paulus dilandaskan pada hal yang objektif, yaitu “demi nama Tuhan Yesus Kristus”. Ungkapan seperti ini merupakan salah satu cara yang dipakai Paulus untuk memberi penekanan pada apa yang dia katakan (1Tes. 5:27; 2Tes. 3:6, 12). Bukan hanya untuk penekanan, ungkapan ini juga menyiratkan bahwa apa yang akan dikatakan didasarkan pada karya Kristus Yesus. Dalam 1 Korintus 1:10 Paulus tidak mengarahkan jemaat pada jasa-jasanya selama memulai pelayanan di Korintus. Sebaliknya, dia justru membawa jemaat untuk berpola pikir kristosentris (berpusat pada Kristus). Karya Kristus memberi dasar yang kuat bagi nasehat yang akan dia berikan (bdk. Flp. 2:1-2 “karena di dalam Kristus ada....karena itu...”).

Apa isi nasehat Paulus? Apakah nasehat yang diberikan bersifat memihak atau menguntungkan salah satu pihak? Dia ternyata memberi nasehat yang objektif. Semau nasehat ini berpusat pada kesatuan, sebagaimana tersirat dari pengulangan kata “yang sama” di ayat 10b (terjemahan LAI:TB tidak terlalu jelas).

Pertama, supaya mereka seia-sekata. Menurut teks aslinya, nasehat ini sebaiknya diterjemahkan “supaya kamu semua terus-menerus mengatakan/berkata (legete) yang sama” (ASV/KJV). Versi yang lebih modern memilih “supaya kamu semua setuju [satu dengan yang lain]” (NIV/NASB/RSV). Tense present yang dipakai mengindikasikan bahwa hal ini harus menjadi gaya hidup mereka (terus-menerus).

Kedua, supaya tidak ada perpecahan di antara mereka. Perbedaan pendapat mungkin – bahkan pasti - ada. Jemaat Korintus berasal dari latarbelakang etnis, sosial dan ekonomi yang berbeda. Mungkin mereka masih memiliki perbedaan-perbedaan lain. Semua perbedaan ini sah-sah saja, sejauh hal itu tidak sampai menimbulkan perpecahan.

Ketiga, supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir. Terjemahan yang lebih hurufiah seharusnya “supaya kamu disempurnakan (katertismenoi) dalam pikiran (noi) yang sama dan pandangan/penilaian (gnome) yang sama” (semua versi Inggris). Kata dasar katartizo muncul beberapa kali dalam tulisan Paulus dan memiliki arti “menyempurnakan” (Friberg Lexicon, lih. 2Kor. 13:11; 1Tes. 3:10 – “menambahkan” seharusnya “menyempurnakan”; 2Tim. 3:17). Dari pilihan kata ini terlihat bahwa mereka bukan hanya perlu bersatu (LAI:TB), tetapi persatuan itu harus sempurna (semua versi Inggris).

Mereka perlu disempurnakan dalam cara berpikir yang sama. Kata Yunani yang dipakai adalah nous. Kata ini lebih menyoroti cara berpikir, bukan isi pikiran. Paulus menasehatkan orang percaya agar jangan memiliki cara berpikir (nous) orang-orang non-kafir yang sia-sia (Ef. 4:17). Sebaliknya, orang percaya harus terus-menerus mengalami perubahan nous (Rm. 12:2; Ef. 4:23) dan memiliki nous Kristus (1Kor. 2:16).

Mereka juga perlu disempurnakan dalam pendapat yang sama. Kata Yunani gnome yang dipakai di sini muncul 5 kali dalam tulisan Paulus. Dari 5 pemunculan ini, 4 di antaranya muncul di surat Korintus dan selalu memiliki arti “pendapat” (1Kor. 1:10; 7:25, 40; 2Kor. 8:10).

Dari isi nasehat yang ada, apakah Paulus menganggap bahwa persatuan harus didasarkan pada kesamaan? Bukankah persatuan tetap dapat dipertahankan sekalipun dalam perbedaan (Bhineka Tunggal Ika)? Apakah setiap orang percaya benar-benar harus mengatakan yang sama, disempurnakan dalam cara pikir dan pendapat yang sama?

Pertanyaan seperti di atas dapat dijawab dengan mudah apabila kita menyadari persoalan khusus yang dibahas di 1 Korintus 1:10. Perpecahan ini bukan hanya melibatkan pengultusan pemimpin, tetapi berkaitan dengan isu “hikmat” (kata sophia muncul 14 kali di 1 Korintus 1-3). Sebagian jemaat menganggap diri pandai (menurut ukuran dunia) dan menganggap Injil sebagai sebuah kebodohan. Untuk menghadapi situasi ini, Paulus memerintahkan agar mereka memiliki kesamaan. Hal ini berarti bahwa dalam hal “Injil”, semua harus memiliki pandangan yang sama (bdk. Gal. 1:8-9). Seorang teolog pernah memberi nasehat “dalam hal-hal yang pokok kita harus sama, dalam hal-hal yang tidak pokok boleh berbeda, dalam segala hal adalah kasih”.


Memiliki Sumber Informasi yang Terpercaya (ay. 11-12)
Paulus tidak hanya memberikan nasehat saja. Dia selanjutnya menjelaskan bagaimana dia mengetahui perpecahan yang ada dalam jemaat Korintus. Dia ternyata diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloe. Merekalah yang menginformasikan kepada Paulus tentang apa yang sedang terjadi. Paulus tidak mencari tahu, karena tindakan ini dapat menimbulkan lesalahpahaman dan memperkeruh situasi. Dia hanya menerima informasi.

Siapa orang-orang dari keluarga Kloe ini dan siapakah Kloe itu? Dari nama yang ada, Kloe adalah seorang perempuan. Dia sangat mungkin merupakan orang yang kaya dan terpandang. Kata “orang-orang” sebenarnya tidak muncul di teks Yunani, tetapi makna itu memang dapat dibenarkan dari tata bahasa yang ada (lit. “telah diberitahukan oleh [...] Kloe”). “Orang-orang” di sini mungkin adalah para budak Kloe atau rekan-rekan bisnisnya. Ketenaran Kloe dapat dilihat dari fakta bahwa Paulus merasa tidak perlu menjelaskan lagi siapa yang dia maksud sebagai Kloe, sekalipun nama seperti ini mungkin banyak dijumpai waktu itu.

Para sarjana berdebat tentang identitas Kloe. Sebagian menganggap dia adalah salah satu yang diutus jemaat Korintus untuk membawa surat-surat dan menemui Paulus, namun hal ini tampaknya tidak sesuai dengan pasal 16:17-18. Selain itu, seandainya mereka memang dari kalangan jemaat Korintus, bukankah hal itu berpotensi menambah masalah yang ada karena mereka mungkin termasuk pada salah satu pihak yang bertikai (apalagi kalau mereka termasuk golongan Paulus)? Sebagian sarjana lain cenderung melihat Kloe (dan orang-orangnya) sebagai orang yang objektif dan tidak berdomisili di Korintus sehingga tidak terlibat dalam perpecahan yang ada. Kloe mungkin seorang pedagang keliling yang kaya dan para bawahannya pernah mengunjungi jemaat Korintus.

Setelah menyebutkan sumber berita (ay. 11a), Paulus lalu menjelaskan inti berita itu (ay. 11b-12). Jemaat Korintus terlibat perselisihan yang melibatkan nama pemimpin. Penjelasan ini perlu diberikan Paulus karena jemaat Korintus tidak hanya terlibat dalam satu macam perselisihan. Mereka mengalami konflik secara legal (6:1-11), konflik antara yang kuat dan lemah imannya (8:1-13), antara laki-laki dan perempuan (11:1-16), yang kaya dan miskin (11:17-34), konflik seputar karunia roh (pasal 12-14).

Perselisihan yang melibatkan nama pemimpin diungkapkan dalam kalimat “aku dari golongan Petrus, Apolos, Kefas dan Petrus”. Dari teks Yunani yang ada sebenarnya tidak ada kata “dari golongan”. Teks hanya menulis “I am of...”. Terlepas dari apakah “of” di sini berarti “milik” atau “pendukung” (lihat eksposisi selanjutnya), masalahnya sudah cukup jelas. Mereka melibatkan nama para pemimpin, padahal pemimpin-pemimpin itu tidak berhubungan sama sekali dengan perselisihan yang ada. Hal ini terlihat dari pandangan positif Paulus terhadap Apolos (3:6) maupun permintaannya agar Apolos mengunjungi jemaat Korintus (16:12).

Sebagian mendukung Paulus karena dia adalah yang merintis jemaat di Korintus dengan segala kesulitan (Kis. 18:1-18) dan kesederhanaan yang ada (1Kor. 2:1-5). Apolos adalah penerus Paulus (Kis. 19:1; bdk. 1Kor. 3:6 “Paulus menanam, Apolos menyiram”). Dia seorang yang fasih bicara dan menguasai kitab suci (Kis. 18:24-28). Tentang Kefas, tidak ada catatan eksplisit bahwa dia pernah menggembalakan jemaat Korintus. Bagaimanapun, 1 Korintus 9:5 tampaknya menyiratkan hal ini. Di ayat ini Paulus secara khusus menyebut nama Kefas, walaupun Kefas sebenarnya sudah termasuk ke dalam kategori “rasul-rasul lain”.

Bagaimana dengan mereka yang dari golongan Kristus? Apakah mereka orang yang rohani dan tidak terlibat dalam perselisihan yang ada? Dari cara Paulus menyamakan golongan ini dengan yang lain (golongan Kristus adalah golongan keempat) dapat disimpulkan bahwa mereka adalah partai lain dalam perpecahan ini. Para sarjana menduga mereka adalah jemaat yang merasa diri “rohani” padahal sebenarnya tidak. Pertengkaran seputar karunia rohani di pasal 12-14 cukup untuk membuktikan bahwa di antara jemaat ada yang terjebak pada kerohanian yang semu. Mereka ikut dalam perselisihan, tetapi mereka bersembunyi di balik nama Kristus.




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 11 November 2007

ON TRUE LOVE-3: Kasih dan Pertimbangan (Pdt. Joshua Lie, Ph.D.--Cand.)

Bagian-3: Kasih dan Pertimbangan



“Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia keatas bukit dan setelah Ia duduk….”
(Mat. 5:43-48)



Khotbah di bukit merupakan pengajaran Tuhan Yesus yang menyentak. Bukan hanya menyentak orang banyak yang mendengarkan-Nya saat itu, namun menyentak sepanjang sejarah umat manusia. Bukan pula sekadar apa yang disampaikan-Nya menyentak umat manusia, namun peristiwanya sama menyentak pendengarnya. Jikalau Musa menyampaikan hukum TUHAN, Yesus menyampaikan penggenapan hukum TUHAN kepada umat manusia.

Salah satu perkataan-Nya yang menyentak adalah tentang kasih. Yesus bukan mengulang-ulang perintah tentang kasih, sebaliknya Ia menyampaikan perintah kasih dalam penggenapannya. Inilah perintah-Nya supaya kita mengasihi seperti Bapa di surga mengasihi. Kita mengasihi bukan untuk mendapatkan balasannya. “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu apakah upahmu?” Mengasihi bahkan kepada musuh dan orang yang menganiaya kita.

Suara itu berkumandang di bukit. Suara itu berkumandang lagi bagi kita saat ini. Hati kita bertanya, apa dasarnya kita mengasihi seperti yang dinyatakan Tuhan Yesus ini? Inilah dasarnya, “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (5:45).

Hati kita bertanya lagi, apakah kasih tidak perlu ada pertimbangan? Apakah kasih tidak memperhitungkan jahat dan baik, benar dan tidak benar?

Sebagian pemikir Kristen menyatakan bahwa inilah kasih agape. Kasih yang “equal regards,” kasih yang mempertimbangkan semua orang patut diperlakukan sama. Kasih kepada semua orang tanpa memandang muka. Kasih sebagaimana Bapa di sorga, dinyatakan kepada semua orang, baik orang yang jahat dan orang baik, baik orang yang adil (just) maupun orang yang tidak adil (unjust).

Sebagian pemikir Kristen lainnya berpendapat kasih tetap ada pertimbangannya. Kasih kepada orang tua kita sendiri bagaimanapun berbeda dengan kasih kepada semua orang tua lainnya. Demikian pula kasih kepada suami atau istri sendiri, jelas berbeda dengan kasih kepada laki-laki atau perempuan lainnya. Menurut mereka bukankah TUHAN juga membedakan antara domba dan kambing.

Kalau kita mengasihi tanpa pertimbangan, maka kasih kita sebenarnya adalah kasih yang impersonal, tidak bersifat pribadi. Kita menganggap semua orang sama, maka kita tidak memperlakukan mereka sebagai satu pribadi.

Bagaimana kita sepatutnya memahami ayat 45?
1. “Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”
Apa artinya kita mengasihi bahkan terhadap musuh? Terhadap orang-orang yang tidak adil dan tidak benar? Kita banyak kali terpaku pada obyek kasih, yaitu orang benar dan tidak benar, orang yang adil dan tidak adil. Kita mengabaikan tindakan Bapa di sorga, yaitu menerbitkan matahari dan menurunkan hujan. Bagi kita, terbitnya matahari setiap pagi dan hujan yang turun pada musimnya, merupakan hal yang biasa. Padahal tidaklah demikian bagi kehidupan kita. Bayangkan kita bangun setelah melewati malam yang gelap, tanpa matahari yang bersinar. Bayangkan pula sepanjang tahun demi tahun tanpa hujan yang turun. Demikianlah yang ditegaskan dalam Perjanjian Lama.

“Jikalau kamu hidup menurut ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada perintah-Ku serta melakukannya, maka Aku akan memberi kamu hujan pada masanya, sehingga tanah itu memberi hasilnya dan pohon-pohonan di ladangmu akan memberi buahnya.” (Im. 26:3-4)

Hujan merupakan keniscayaan bagi bangsa Israel sebagai bangsa agraris. Tanpa hujan tidak ada kehidupan. Hujan sekaligus yang terpenting, menyatakan kasih dan kebaikan TUHAN. Hujan tanda berkat dalam ketaatan umat kepada TUHAN. Hujan tanda keberhasilan selanjutnya, karena tanah akan menghasilkan buahnya.

Maka “menurunkan hujan” bukanlah sekadar pekerjaan TUHAN yang biasa saja. “Menurunkan hujan” adalah tanda bahwa TUHANlah pencipta, penguasa dan sekaligus pemelihara dunia buatan tangan-Nya. Bahasa moderen kita menjauhkan kita dari kesadaran ini. Terbitnya matahari dan turunnya hujan dipahami hanya dengan bahasa keilmuan. Kita dibuat lalai mengagumi kasih karunia Pencipta kita.

Maka sekalipun TUHAN menerbitkan matahari dan menurunkan hujan bagi semua orang, tidak berarti tindakannya ini boleh dipahami ala kadarnya saja. Tindakan pemeliharaan TUHAN bagi orang jahat dan orang yang tidak adil tidak hanya membuat mereka menikmati segarnya air hujan dan cerahnya sinar matahari, namun sekaligus merupakan tanda peringatan. Peringatan yang membuat mereka tidak dapat melarikan diri dari tanggung jawab atas ketidak adilan mereka, atas kejahatan mereka di hadapan TUHAN Pencipta langit dan bumi.

Hujan dan matahari diterima semua orang tanpa memandang muka. Namun kenikmatannya tentu berbeda. Anak-anak Bapa di sorga bukan hanya menerima hujan dan matahari namun dengan pengakuan dan pengucapan syukur kepada si Pemberi, mereka menikmati kelimpahan-Nya. Mereka yang “take-it-for-granted” mendapatkan hujan dan matahari namun kehilangan kelimpahan-Nya.


2. “Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”
Bagaimana pula kita mengasihi tanpa mengharapkan imbalannya? Mari kita perhatikan kembali apa yang dikatakan Perjanjian Lama tentang tindakan menerbitkan matahari dan menurunkan hujan.

Perjanjian Lama menggambarkan kedua tindakan TUHAN ini: “menerbitkan matahari dan menurunkan hujan” berkaitan dengan gambaran seorang raja yang berkenan kepada TUHAN.

“Kiranya lanjut umurnya selama ada matahari, dan selama ada bulan, turun-temurun! Kiranya ia seperti hujan yang turun ke atas padang rumput, seperti dirus hujan yang menggenangi bumi! Kiranya keadilan berkembang dalam zamannya dan damai sejahtera berlimpah, sampai tidak ada lagi bulan!” (Mzm. 72:5-7)

Mazmur 72 adalah Mazmur Salomo. Mazmur pengangkatan seorang raja yang memulai pemerintahan dengan permohonan kepada TUHAN untuk mengaruniakan kepada raja keadilan dan kebenaran. Jelaslah bahwa bukan raja yang mampu menerbitkan matahari dan menurunkan hujan. Demikian pula matahari dan hujan bukanlah suatu upah bagi kebajikan. Matahari dan hujan merupakan lambang bagi keadilan dan kebenaran yang dijalankan raja sesuai dengan keadilan dan kebenaran TUHAN. Keadilan dan kebenaran bagi seluruh rakyat, tidak memandang muka orang kaya dan orang miskin. Keadilan dan kebenarannya memancar untuk yang tertindas demikian pula untuk yang menindas.

Inilah panggilan kita mengasihi sebagaimana bapa di sorga. Kasih yang digenapi oleh kedatangan Yesus Kristus, adalah kasih yang menyatakan kekuatannya. Bukan kasih yang tersungkur tak berdaya di hadapan orang jahat dan orang yang tidak adil. Bukan kasih yang “lelah” di hadapan orang-orang yang tidak peduli.

Kasih yang digenapi oleh Tuhan Yesus bukan soal pertama-tama soal obyek yang dikasihi, melainkan soal keunikan dan kesejatian kasih itu. Kasih di dalam Yesus Kristus adalah kasih yang sanggup menghadapi orang benar dan tidak benar, orang jahat dan orang yang baik. Berbahagialah kita yang menerima kasih itu dalam keadilan dan kebenaran-Nya, sehingga kita boleh mengalami kelimpahannya dan menyalurkannya kepada segala macam orang di dunia ini. Sebaliknya mereka yang telah beroleh kebaikan Tuhan namun tetap menolaknya dalam kejahatan, mereka tidak dapat mengelak ketika keadilan Tuhan tiba.

Selamat mengasihi dengan kasih yang digenapi oleh Yesus Kristus di kayu salib!



Sumber:
http://www.wkristenonline.org/index.php?option=com_content&view=article&id=28:kasih-dan-pertimbangan&catid=25:on-true-love&Itemid=39

ON TRUE LOVE-2: Kasih dan Perkataan (Pdt. Joshua Lie, Ph.D.--Cand.)

Bagian-2: Kasih dan Perkataan



“But speaking the truth in love, we are to grow up in all aspects into Him who is the head, even Christ,”
(Eph. 4:15)


Kasih dan perkataan tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana kasih tampak dalam sikap dan tindakan, demikian pula kasih tampak ketika kita memperkatakan kebenaran. Kasih tidak akan tega untuk memperkatakan kebenaran tanpanya, dan tidak akan sanggup memperkatakan ketidakbenaran dengannya.

Kasih dan perkataan kebenaran berjalan seiring. Kenyatannya jelas tidak mudah apalagi di dalam dunia yang berdosa, namun itulah panggilan kita sebagai gereja yang bertumbuh kearah Kristus.

Bukankah kita yang sering kita temui adalah kasih justru lebih mudah berlangsung tanpa kebenaran? Bukankah lebih mudah kasih berwujud dengan memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk mendapatkan apa yang diinginkan? Kasih bukankah lebih dekat dengan kebebasan untuk berbuat apa yang kita inginkan?

Perkataan kebenaran kesannya lebih kepada aturan, hukum dan komitmen. Bagaimana itu bisa sejalan dengan kasih?

Mari kita tengok satu masa dalam kehidupan bangsa Israel sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Hakim-Hakim. Kitab ini ditutup dengan pernyataan “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” (“In those days there was no king in Israel; everyone did what was right in his own eyes,” 21:25)

Kesimpulan ini pertama-tama menjelaskan pasal 21 tentang kelakuan suku Benyamin. Krisis besar menimpa keutuhan bangsa Israel. Kelakuan suku Benyamin mengakibatkan ancaman peperangan di antara mereka, bahkan hampir saja suku ini dibuang dari kesatuan bangsa Israel. Apa kelakuan suku Benyamin yang menimbulkan krisis besar bahkan memberikan kesimpulan pada ayat terakhir kitab ini?

Kelakuan suku Benyamin dinyatakan mulai pasal 19. Peristiwa yang keji dan menyedihkan terjadi di kota Gibea, daerah suku Benyamin (19:14). Penduduk kota itu dikatakan sebagai orang-orang dursila (19:22). Mereka bertindak tidak lagi seperti umat Allah seharusnya. Sebaliknya mereka bersikap dan bertindak seperti orang-orang kota Sodom. Mereka mengepung rumah yang dikunjungi seorang Lewi dengan gundiknya (19:1). Mereka bermaksud untuk merampas dan ‘memakai’ orang asing yang menumpang itu. Si pemilik rumah tidak mengijinkan penduduk kota itu berbuat jahat kepada tamunya. Ia menawarkan anak perempuannya untuk diperlakukan apa saja yang mereka pandang baik (19:24). Penduduk kota Gibea menolak. Akhirnya tamu itu menyerahkan gundiknya. Kemudian mereka memperkosa gundik itu sampai akhirnya mati menjelang pagi (19:28). Selanjutnya peristiwa ini disusul dengan kekejian yang menggetarkan seluruh Israel.

Peristiwa yang mengerikan itu menyisakan suatu gema perkataan, “Perbuatlah apa yang kamu pandang baik.” Inilah yang menghantar kita memahami kesimpulan kitab Hakim-Hakim.

Tuan rumah di Gibea yang dengan baik hati menampung tamunya bahkan rela mengorbankan anak gadisnya demi keselamatan tamu dan gundiknya itu.

Tuan rumah bersedia berkorban demi tamunya. Namun berhadapan dengan orang dursila di kota Gibea di daerah Benyamin, tidak tepat menyuarakan perkataan “perbuatlah apa yang kamu pandang baik.” Bahkan ketika kita mempertegas lagi, apakah ada manusia yang berhak menyuarakan perkataan itu sekalipun alasannya karena kasih?

Perkataan ini menggemakan suara yang sama dengan peristiwa yang mirip, yaitu peristiwa di kota Sodom. Lot, keponakan Abraham yang memilih tinggal di Sodom, kedatangan tamu di rumahnya. Penduduk kota menyerbu dan memaksa Lot untuk menyerahkan tamunya kepada mereka. Lot bersedia mengorbankan anak gadisnya demi keselamatan tamunya. Dan Lot berseru kepada orang-orang itu, “perbuatlah kepada mereka [anak gadisnya] seperti yang kamu pandang baik.” (Kej. 19:8). Suara ini berkumandang, di dengar oleh kedua anak gadisnya, namun dilecehkan oleh penduduk Sodom (Kej. 19:9).

Perkataan itu diucapkan dengan maksud melindungi dan menyelamatkan orang asing. Suatu perbuatan yang mulia. Namun apakah perkataan itu sesuai dengan maksud yang baik?

Dari rumah Lot, perkataan itu bergema. Akibat yang pertama tampak dari keberanian anak gadisnya untuk bersetubuh dengan ayahnya setelah mereka diselamatkan dari kehancuran kota Sodom dan Gomorah (Kej. 19:33).

Dari rumah di Gibea, perkataan itu bergema. Akibat kedua tampak dengan kekejaman penduduk Gibea yang membawa ancaman peperangan antara suku Benyamin dengan suku-suku Israel.

Kasih dan perkataan. Bagaimana perkataan yang sejalan dengan kasih yang sejati? Apakah kasih memperbolehkan kita berbuat apa saja yang kita pandang baik?

Perkataan itu disimpulkan diakhir kitab Hakim-Hakim. Ketika manusia tidak lagi mengindahkan kebenaran TUHAN, tunduk kepada kedaulatan-Nya, manusia berbuat apa saja yang dipandangnya baik, maka kasih menguap.

Puji Tuhan, kisah zaman Hakim-Hakim tidak berakhir disana. “Pada zaman para hakim memerintah ada kelaparan di tanah Israel. Lalu pergilah seorang dari Bethlehem-Yehuda beserta isterinya dan kedua anaknya laki-laki ke daerah Moab untuk menetap di sana sebagi orang asing.” (Rut 1:1)

Pada zaman para hakim, zaman yang menggemakan suara Lot, ada seorang perempuan tua yang kehilangan suami dan kedua anak laki-laki di tanah asing, di tanah Moab. Tanah Israel, tanah kelahirannya sedang dilanda kelaparan. Kekeringan menandai tanah Israel sekaligus menandai kekeringan rohani mereka. Perempuan tua itu adalah Naomi. “Sebutkanlah aku Mara,” katanya ketika ia kembali ke tanahnya di Israel. Mara adalah kepahitan. Kepahitan kehilangan orang-orang yang dikasihinya. Tiada kata lain yang dapat ia ucapkan kecuali Mara.

Kata-kata Naomi mengungkapkan kepahitannya. Kasih seolah-olah lenyap. Ia kembali. Apakah berakhir kisah yang menyedihkan ini sehingga menambah ‘kegelapan’ zaman para hakim? Tidak!

Naomi ketika ia kembali ke Bethlehem, ia tiba “pada permulaan musim menuai jelai.” (1:22). Suatu permulaan yang baik. Masih ada kasih karunia TUHAN baginya. Bukan itu saja, Naomi tidak kembali seorang diri. Salah seorang menantunya, Rut, seorang perempuan keturunan Moab turut bersamanya. Apa kepentingan peristiwa ini?

Rut tidak sekadar menyatakan kesetiaan dengan tindakannya mengikut mertuanya. Namun terlebih lagi ia memulai tindakannya dengan perkataannya,“Tetapi kata Rut: “Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, akupun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan. Beginilah kiranya TUHAN menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jikalau sesuatu apapun memisahkan aku dari engkau, selain dari pada maut!” (1:16-17)
Suara Rut seumpama cahaya lilin dalam kegelapan. Suara seorang perempuan Moab, keturunan Lot dan anak perempuannya. Suara yang membalikkan gema suara Lot. Suara yang mengungkapkan kasih yang sejati, kasih di dalam perjanjian (covenant). Kalimat Rut yang diucapkannya kepada Naomi adalah ucapan perjanjian. Ia bersedia bersama (be-with) dengan mertuanya dalam tanah yang dipijaknya, dalam iman kepada Allah yang sejati, dan tetap bersama sampai akhir perjalanan hidupnya. Kasih yang sejati adalah kasih yang dinyatakan dalam kedatangan Yesus Kristus, Imanuel, Allah beserta kita. Ia berkenan beserta dengan kita!

Kasih tidak mudah hanya diukur dengan kata-kata yang manis. Kasih tidak semata-mata sama dengan kata-kata yang memperbolehkan segala sesuatu. Kasih adalah perkataan kebenaran yang bersedia dinyatakan dengan kerelaan bertumbuh bersama dalam kasih Kristus. Kasih yang rela tunduk dalam kebenaran Tuhan.

Nyatakanlah kasih itu dalam kebersamaan baik dalam kehidupan keluarga, gereja maupun di dunia ini.




Sumber:
http://www.wkristenonline.org/index.php?option=com_content&view=article&id=27:kasih-dan-perkataan&catid=25:on-true-love&Itemid=39

ON TRUE LOVE-1: Kasih dan "Utang" (Pdt. Joshua Lie, Ph.D.--Cand.)

ON TRUE LOVE
Bagian-1: Kasih dan “Utang”

oleh: Pdt. Joshua Lie, M.Phil., Ph.D. (Cand.)



Nats: Matius 18:23-35



Kasih merupakan tema sepanjang kehidupan manusia. Kasih tidak akan luntur menjadi kebajikan yang patut dimiliki oleh manusia. Tanpa kasih tidak akan ada perjalanan kehidupan itu sendiri.

Namun tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa “kasih” sering kali membawa malapetaka. Dengan alasan kasih, seorang pemuda merasa layak membawa anak gadis di bawah umur untuk dinikahinya. Dengan alasan kasih, kita membiarkan keteledoran terjadi. Karena kasih kita bahkan membuat sesama kita menderita.

Bagaimana kita sepatutnya memahami dan mengalami kasih itu? Kasih merupakan berita utama Alkitab. Allah adalah kasih, demikian penegasan rasul Yohanes. Kasih sejati tidak akan pudar. Kini panggilan kita sebagai orang percaya, menunjukkan kasih sejati itu dalam kehidupan kita.

Augustinus, Bapa Gereja yang hidup pada abad ke-4 dalam bukunya “Confession” mengungkapkan kalimat pertanyaan tentang kasih kepada Allah “What I do love when I love God?” Kasih kepada Allah bukanlah suatu yang dapat kita pahami tanpa urusan lainnya. Untuk itu dalam ketiga pembahasan tentang kasih, kita merangkaikannya dengan soal lain sebagaimana dinyatakan oleh Alkitab.

Tema pertama dalam seri ini adalah kaitan antara kasih dan “utang” (Love and Debt). Alkitab menyatakan kasih bukan suatu yang berdiri sendiri. Kasih tersebar dalam seluruh pengajaran dan kehidupan Tuhan Yesus. Kasih tidak hanya muncul ketika ia disebut. Kasih hadir dalam bentuk yang nyata. Mari kita memahaminya dalam perumpanaan yang disampaikan Tuhan Yesus dalam Matius 18:23-35.

Perumpamaan ini mengungkapkan kenyataan hidup manusia dalam soal utang. Utang merupakan bagian kehidupan manusia. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang tanpa “utang” sama sekali. Kehidupan tanpa utang hanyalah karena kita melupakan, mengabaikan atau tidak pernah kita memperhitungkannya.

Seorang penulis tentang keindahan alam Kanada, Ernst T. Seton mengalami suatu kejadian mengejutkan saat memperingati ulang tahunnya yang ke-21. Ayahnya memberikan kepadanya suatu bundel berkas kepadanya. Berkas-berkas itu adalah semua pengeluaran ayahnya bagi Ernst sejak masa kecilnya. Di dalamnya tersimpan bon-bon rumah sakit sejak Ernst dilahirkan. Kita mungkin jengkel menyaksikan sikap seorang ayah seperti itu kepada anaknya. Namun peristiwa ini mengingatkan kita tidak ada orang yang lahir dan hidup di dunia ini tanpa utang sama sekali!

Alkitab bahkan menegaskan dalam doa Bapa kami sebagaimana diajarkan oleh Tuhan Yesus soal utang. John Wycliffe menggunakan kata “utang” dalam menerjemahkan doa Bapa kami pada tahun 1381. “Forgive us our debts as we forgive our debtors.” Terjemahan ini mengingatkan kita akan kata Aramik yang sama digunakan untuk utang dan dosa.

Adakah kita yang tidak berhutang? Kita dilahirkan dengan keberadaan dosa sebagai warisan. Kita dibesarkan dalam dunia yang berdosa. Utang dan dosa melekat dalam kehidupan kita.
Inilah kisah utang kita:



BABAK PERTAMA
18:23 “Seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya”
Utang suatu hari akan diperhitungkan. Entah itu utang pribadi, keluarga maupun masyarakat. Pada sistim yang mengabaikan kejujuran dan keadilan, suatu saat ketika tiba masa krisis, sistim itu akan diperhitungkan utang-hutangnya. Sistim itu akan rusak dan merusak kehidupan. Seorang anak yang tidak mau belajar jalan, ketika ia beranjak remaja ia akan diperhitungkan hutangnya, yaitu kemalasannya belajar berjalan membuatnya lumpuh. Seorang pelajar dalam kemalasannya tidak mempersiapkan diri untuk ujian, akan diperhitungkan hutangnya dalam kegagalannya.
18:24 “Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta (100 juta dinar).”
Ada utang yang mudah kita bayarkan kalau kita mempunyai pekerjaan yang baik. Ada pula utang lebih sulit dibayarkan kalau itu berkenaan dengan budi. Namun semua kita berada dalam keadaan tidak sanggup membayar utang dosa yang melilit kehidupan kita. Gambaran 100 juta dinar adalah gambaran ketidak berdayaan. Ada kisah seorang mempunyai utang 100 ribu dolar dengan kartu kreditnya padahal ia hanya mempunyai income 55 ribu dolar setahunnya. Ini saja sudah menjadikannya tidak berdaya apalagi dengan nilai 100 juta dinar.18:25 “Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak istrinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya.”
Maka kisah ini berlangsung kepada konsekuensinya. Utang harus dibayar. Kalau tidak sanggup maka ia akan berserta keluarganya akan menjadi budak selama-lamanya. Bagaimana seharusnya kisah ini berlanjut?

Tamatlah kehidupan hamba itu. Utang membawa maut dan kehancuran. Kisahnya telah berakhir. Namun tidaklah demikian! Mari kita lanjutkan.

18:26 “Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan.”
Hamba itu masih berusaha. Ia menyembah. Ia minta waktu dan kesempatan untuk membayar hutangnya. Ia berusaha mengulur waktu meskipun tanpa harapan. Kalaupun ia diberi kesempatan hidup seratus tahun lagi, ia tetap tidak akan sanggup melunaskan hutangnya.


18:27 “Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya”
Surprise! Mengejutkan! Inilah ciri penting perumpamaan Tuhan Yesus! Amazing! Raja itu tergerak hatinya oleh belas kasihan. Hatinya bergetar oleh kemurahan. Hatinya bergejolak oleh kebaikan. Ia menghapuskan utang hamba itu! Inilah gambaran penting akan kasih Tuhan kita Yesus Kristus! Kasih bukan suatu yang abstrak. Kasih membereskan utang! Kasih tidak memperhitungkan utang sebagai hukuman dan perhambaan, tetapi memperhitungkan utang dengan kelunasannya!

Kasih Tuhan adalah kasih yang membebaskan. Kita menerimanya oleh Roh Kudus yang mencurahkan kasih itu (Rm. 5:5). Kasih tanpa pengampunan akan utang-utang kita, bukanlah kasih sejati. Kasih memperhitungkan utang, namun sekaligus kasih berkuasa melunaskannya.Bagaimana dengan kasih kita kepada sesama?




BABAK KEDUA
18:28a “Hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya.”
Hamba ini mempunyai kedudukan yang luar biasa. Sebagai penghutang sekaligus pemberi utang. Inilah gambaran hidup kita, manusia berdosa. Kita berhutang kebenaran, keadilan, kesetiaan, kesucian, kebajikan kepada Tuhan. Namun saat yang sama kita merasa orang lain berhutang yang sama kepada kita!

Bagaimana sikap kita kalau sudah dihapuskan utang kita? Bersyukur, bersorak lalu berbagi kasih itu dengan menghapuskan utang sesama kepada kita. Sayangnya tidak demikian! Perumpamaan ini mengagetkan kita dengan kejutan kedua.
18:28b: “Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu!”
Mengejutkan! Dengan geram, ia bertindak kejam kepada kawannya itu. Ia lebih kejam dari raja yang kepadanya ia berhutang 100 juta dinar. Kawannya berhutang kepadanya 100 dinar. Ah, utang tidak lagi peduli besar kecilnya. Kemarahan bisa terjadi hanya karena uang sedikit. Kita tertegun dengan perbuatan hamba yang pertama ini.

Inilah kejutan manusia yang berdosa. Dunia yang berdosa sanggup pula memberikan kejutan (surprise) dalam kehidupan kita. Namun kejutan itu menjatuhkan kita. Kejutan itu mencengkram hidup kita. Menggoncangkan keadilan dan kebenaran. Ia menyukakan kita seketika namun menjerat kehidupan kita.
18:29 “Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan”
Hamba itu seharusnya ketika mendengar mendengar suara kawannya, mendengar kembali gema suaranya sendiri kepada raja. Ingatan menjadi pendek ketika kasih hambar. Ingatan yang punah membuat telinga kita tertutup akan gema suara kita sendiri.


18:30 “Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya”
Inilah kasih kita kepada sesama. Kasih yang tidak menghapuskan utang. Dari utang menjadi kebencian, dan penjara. Dari dosa kepada dosa. Inilah kejutan manusia berdosa.

Bagaimana kasih kita setelah kita menerima kasih ajaib dari Golgota? Adakah kita yang menyerukan kasih, memiliki kasih yang dari Roh Kudus. Kasih yang menghapuskan utang sehingga kita bisa terus bertumbuh dan menghasilkan buah yang berkenan kepada-Nya?



BABAK KETIGA
Matius 18:31-34
Sikap hamba itu tidak dapat diterima oleh kawan-kawannya. Demikian pula ketika raja sekaligus tuan dari hamba itu mendengar kelakuan hamba itu, menjadi marah dan menarik pengampunan dan pelunasan utang hamba itu. Kisah ini berakhir tragis. Pelunasan utang dibatalkan!
Perumpamaan ini diakhir dengan surprise utama, yaitu “Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” (18:35)
Suatu kejutan yang dahsyat. Bagaimana mungkin Bapa di sorga tidak bermurah hati mengampuni dan melunaskan segala utang kita.

Inilah kasih yang melunaskan! Kasih Bapa adalah kasih yang melunaskan. Kasih yang kita terima di dalam Tuhan Yesus Kristus adalah kasih yang memungkinkan kita juga melunaskan “utang” orang lain kepada kita!
“Owe no one anything except to love one another, for he who loves another has fulfilled the law” (Rm.ns 13:8)




Sumber:
http://www.wkristenonline.org/index.php?option=com_content&view=article&id=26:kasih-dan-hutang&catid=25:on-true-love&Itemid=39

Eksposisi 1 Korintus 4:8-9 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 4:8-9

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 4:8-9



Dalam bagian ini Paulus memberikan respons yang sedikit berbeda dengan di bagian sebelumnya. Di ayat 1-5 dia menjelaskan posisi para rasul sebagai pelayan Tuhan yang akan dihakimi Tuhan di akhir zaman (karena itu jemaat Korintus tidak berhak menghakimi para rasul); di ayat 6-7 dia memaparkan bahwa segala sesuatu yang dimiliki oleh jemaat Korintus adalah anugerah Allah (karena itu jemaat Korintus tidak boleh memegahkan diri seolah-olah tidak pernah menerima itu); di ayat 8-9 dia mengarahkan pembahasan pada kesombongan jemaat Korintus (ay. 8) dan kerendahan para rasul (ay. 9).
Kesombongan jemaat Korintus (ay. 8)
Walaupun para penafsir sudah sepakat bahwa ucapan Paulus di ayat ini adaah sebuah ironi (sindiran), namun mereka masih berdebat tentang penyebab atau jenis kesombongan jemaat Korintus. Sebagian menganggap bahwa kesombongan ini dipicu oleh konsep eskhatologis (akhir zaman) yang salah. Menurut mereka, jemaat Korintus memiliki konsep bahwa akhir zaman sudah terjadi pada zaman mereka dan mereka sudah memerintah dalam kerajaan mesianis, karena itu mereka bertindak seolah-sebagai raja. Sebagian penafsir yang lain meyakini bahwa kesombongan jemaat Korintus tetap berkaitan dengan konsep hikmat duniawi yang salah.

Di antara dua dugaan di atas, yang terakhir tampaknya lebih dapat diterima. Disharmoni antara Paulus dan jemaat Korintus di pasal 4 masih terkait dengan pasal 1-3, sehingga sangat beralasan jika kita menafsirkan kesombongan jemaat Korintus dalam terang pasal 1-3. Dalam konteks sosial waktu itu, ungkapan “kenyang”, “kaya” maupun “raja” sering dipakai untuk menggambarkan kesombongan. Secara khusus dalam konteks filsafat Stoa waktu itu, orang yang berhikmat dianggap sebagai raja. Di samping itu, jawaban Paulus di 4:9-13 yang lebih banyak menjelaskan kerendahan para rasul sebagai konsekuensi dari hidup menurut salib sangat kontras dengan kesombongan jemaat Korintus yang didasarkan pada hikmat. Dengan kata lain, ayat 8 menggambarkan kehidupan berdasarkan hikmat dunia, sedangkan ayat 9-13 berdasarkan hikmat salib.

Ungkapan pertama yang dipakai Paulus adalah “kamu telah menjadi kenyang” (ay. 8a). Dalam teks asli, kata “telah” diletakkan paling depan sebagai bentuk penekanan (ASV/RSV/NRSV/NIV mengikuti susunan kalimat Yunani yang ada dengan cara meletakkan kata “already” di awal kalimat). Kata “kenyang” (korennumi) secara hurufiah berarti “memiliki semua yang diinginkan” (NIV/NRSV “already you have all you want”). Karena yang didinginkan seringkali dalam konteks makanan (bdk. Kis. 27:38), maka ungkapan ini diartikan “kenyang.” Bukan sekadar kenyang, tetapi sangat keyang.

Ketika Paulus mengatakan bahwa jemaat Korintus telah kenyang, dia sebenarnya sedang menegur mereka melalui ironi. Mereka memang dalam arti tertentu telah kenyang, karena mereka telah minum dari Roh yang memberi mereka berbagai karunia (12:13). Di sisi lain mereka sebenarnya tidak benar-benar kenyang! Mereka hanya mengkonsumsi susu, karena mereka belum siap menerima makanan keras (3:2).

Ungkapan kedua adalah “kamu telah menjadi kaya” (ay. 8b). Sama seperti sebelumnya, kata “telah” juga diletakkan di depan sebagai penekanan. Dalam arti tertentu jemaat Korintus memang kaya secara rohani. Mereka memiliki banyak karunia rohani (1:5; ps. 12). Bagaimanapun, mereka sebenarnya tidak kaya, karena semua pemberian itu adalah kasih karunia Allah (1:4) yang diberikan di dalam Yesus (1:5). Hanya di dalam Yesuslah mereka mendapatkan itu, sehingga ketika mereka mulai berpaut pada hikmat dunia tetapi masih merasa diri kaya, hal ini merupakan sebuah ironi.

Ungkapan terakhir adalah “kamu telah menjadi raja” (ay. 8c). Secara hurufiah “menjadi raja” (basileuo) dapat diterjemahkan “telah memerintah” (ASV “ye have come to reign”). Ungkapan “kaya” dengan tepat melukiskan kesombongan jemaat Korintus dalam berbagai sisi. Sama seperti seorang raja yang memiliki kedudukan tertinggi, mereka juga menganggap diri lebih daripada Paulus. Sama seperti seorang raja yang memiliki kebebasan untuk melakukan apapun (Kaisar Caligula, “aku bebas melakkan apapun kepada siapapun”), demikian pula jemaat Korintus memiliki semboyan “segala sesuatu halal bagiku [6:12; 10:23; lit. “aku memiliki kebebasan dalam segala sesuatu”]. Sama seperti orang berhikmat waktu itu yang seringkali disamakan dengan raja, jemaat Korintus pun merasa diri berhikmat dan layak untuk menganggap diri sebagai raja.

Gambaran tentang kesombongan jemaat Korintus di atas ternyata masih belum cukup. Mereka bukan hanya menganggap diri hebat, tetapi mereka juga merasa bahwa “kehebatan” tersebut mereka miliki tanpa bantuan para rasul. Kepada mereka Paulus menyindir “tanpa kami [choris hemon] kamu telah menjadi raja.” Dalam teks asli frase “tanpa kami” diletakkan di depan sebagai penekanan. Walaupun LAI:TB memilih susunan kalimat yang sama, namun penekanan ini tetap tidak terlihat dengan jelas. Sebaliknya, NIV yang meletakkan frase “tanpa kami” di akhir kalimat justru berhasil mengekspresikan penekanan yang ada (“you have become kings --- and that without us!”).

Para penafsir meyakini bahwa frase tersebut bukan sekadar menunjukkan bahwa jemaat Korintus telah melupakan jasa Paulus, tetapi mereka juga tidak mau menyertakan Paulus dalam pemerintahan mereka. Maksudnya, dalam budaya kuno seorang yang menjadi raja biasanya akan memberikan posisi atau jabatan tertentu kepada para pendukungnya, sehingga dengan demikian mereka turut memerintah bersama dia. Jemaat Korintus telah menganggap diri sebagai raja, tetapi mereka tidak mau memberi posisi yang tinggi kepada Paulus yang sudah berjasa dala pertumbuhan rohani mereka. Karena itulah Paulus di bagian akhir ayat 8 menyindir, “ah, alangkah baiknya jika benar demikian....sehingga kamipun turut menjadi raja dengan kamu.”


Kerendahan Para Rasul (ay. 9)
Berbeda dengan sikap jemaat Korintus yang menyombongkan diri (ay. 8), Paulus justru menampilkan kerendahan para rasul (ay. 9). Semua ini dilakukan Paulus mencapai dua tujuan sekaligs. Yang pertama, dia ingin menyindir kesombongan jemaat dan menunjukkan bahwa kesombongan itu adalah sesuatu yang tidak logis. Kalau jemaat Korintus bisa menjadi seperti sekarang karena jasa para rasul dan para rasul sendiri adalah orang-orang yang rendah, maka tidak ada alasan bagi jemaat untuk sombong. “Kehebatan” mereka tidak lain adalah hasil pekerjaan para rasul yang “sangat rendah.” Dengan kata lain, jemaat Korintus telah melupakan darimana, oleh siapa dan bagaimana keadaan mereka dahulu. Jika mereka memahami hal ini tentu mereka tidak akan memegahkan diri.

Tujuan kedua yang ingin dicapai Paulus adalah memberikan teladan tentang hidup yang berdasarkan hikmat salib. Sebelumnya Paulus sudah menjelaskan cara kerja Allah yang sangat kontras dengan dunia, yaitu Allah memakai orang-orang yang rendah menurut dunia ini supaya mereka tidak sombong dan sekaligus supaya orang-orang yang tinggi menurut ukuran dunia ini direndahkan (1:25-29). Dengan menekankan kerendahan dan kelemahan para rasul, Paulus sekai lagi mengingatkan jemaat Korintus bahwa Allah tetap berkenan memakai orang-orang yang rendah menurut dunia ini. Ini adalah hidup berdasarkan salib: salib dianggap kebodohan, tetapi itu justru adalah hikmat Allah; salib dianggap sebagai batu sandungan, tetapi itu justru merupakan kekuatan Allah (1:23-24).

Lebih jauh, keteladan hidup yang ditampilkan Paulus di ayat 9 sesuai dengan teladan yang sudah diberikan Yesus Kristus sendiri. Kristus mau berkorban demi orang lain. Dia yang kaya telah menjadi miskin supaya kita menjadi kaya (2Kor. 8:9). Demikian pula dengan Paulus. Dia mengambarkan para rasul dalam pelayanan “sebagai orang yang miskin namun telah memperkaya banyak orang” (2Kor. 6:10). Semua kerendahan dan penghinaan yang diterima para rasul ini dipakai Allah untuk membuat orang-orang lain dimuliakan di dalam Kristus. Jemaat Korintus seharusnya menyadari hal ini, sehingga tidak memegahkan diri lagi. Sebaliknya, mereka harus belajar merendahkan diri demi kepentingan orang lain.

Sekalipun keadaan para rasul sangat rendah menurut ukuran dunia, namun Paulus tidak mengeluhkan hal itu. Dia bahkan meyakini bahwa Allah yang telah menentukan hal itu bagi mereka (ay. 9). Allah berdaulat secara mutlak untuk mengatur jalan hidup setiap orang, termasuk para rasul. Paulus sendiri dari awal pertobatan dan pelayanannya sudah mengetahui bahwa pelayanannya akan diwarnai dengan penderitaan yang begitu banyak, seperti yang dikatakan Tuhan kepada Ananias yang dipaki untuk menyembuhkan Paulus, “Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku” (Kis. 9:16).

Bagaimana cara Paulus menggambarkan kerendahan para rasul? Di ayat 9b para rasul diberi tempat yang paling rendah. Dalam teks asli kata “tempat yang paling rendah” secara hurufiah berarti “yang paling akhir” (ASV/NASB/RSV/NRSV “last of all”; KJV “last”). Jika dilihat dari konteks yang ada, Paulus tampaknya sedang merujuk pada momen kekalahan dalam sebuah peperangan. Ketika suatu bangsa kalah, maka pemimpin dan penduduknya yang masih hidup akan diangkut sebagai tawanan dalam sebuah iring-iringan yang sangat panjang. Di akhir dari rombongan ini biasanya diletakkan para tawanan yang nanti akan dihukum mati dengan cara diadu dengan para algojo atau binatang buas di arena serta menjadi tontonan bagi banyak orang. Gambaran ini cocok dengan beberapa petunjuk yang ada di dalam teks, misalnya “yang paling akhir”, “telah dijatuhi hukuman mati” dan “menjadi tontonan.” Penerjemah NIV dengan tepat mengartikan “yang paling akhir” sebagai “di bagian akhir sebuah prosesi.”

Penyebutan “malaikat-malaikat” sebagai penonton mungkin dimaksudkan Paulus untuk memberi gambaran tentang sebuah peperangan rohani yang bersifat kosmik (berhubungan dengan seluruh ciptaan). Apa yang dialami para rasul adalah dalam konteks peperangan ini. Bagi Paulus, posisi terkahir dalam peperangan bukanlah kekalahan. Dunia mungkin akan memandang seperti itu, tetapi dari perspektif Allah para rasul justru “selalu berada di jalan kemenangan-Nya” (2Kor. 2:14).




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 24 Agustus 2008

Resensi Buku-94: PEMULIHAN CIPTAAN (Prof. Albert M. Wolters, Ph.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
PEMULIHAN CIPTAAN
(Creation Regained)


oleh: Prof. Albert M. Wolters, Ph.D.

Penerbit: Momentum Christian Literature, 2009

Penerjemah: Pdt. Dr. Ichwei Gusti Indra





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Secara sadar maupun tidak sadar, setiap manusia memiliki cara pandang terhadap sesuatu hal. Cara pandang itu bisa beraneka ragam. Ada yang berpusat kepada Allah dan ada yang berpusat kepada manusia. Perbedaan di antara keduanya bertolak belakang. Jika cara pandang yang berpusat kepada manusia memusatkan segala sesuatunya pada diri manusia dan kehebatannya, maka cara pandang yang berpusat kepada Allah memusatkan segala sesuatu pada kedaulatan Allah. Lalu, sebagai orang Kristen, mana yang harus kita pilih? Dengan bahasa yang mudah dimengerti dan analisis yang cukup tajam, Prof. Albert M. Wolters, Ph.D. membawa kita ke dalam pengertian menyeluruh tentang cara pandang Kristen yang berpusat pada Allah. Cara pandang ini adalah cara pandang reformasional yang didasarkan pada theologi Reformed yang percaya pada kedaulatan Allah. Pada bab awal dalam buku ini, Dr. Wolters menjelaskan terlebih dahulu apa itu wawasan dunia. Kemudian, 3 bab selanjutnya, beliau membawa kita untuk melihat segala sesuatu pada tiga tingkatan: Penciptaan, Kejatuhan (Dosa), dan Penebusan. Dr. Wolters menyebut tingkatan pertama sebagai struktur ciptaan dan tingkatan kedua dan ketiga sebagai arah ciptaan. Tiga bab penjelasan ini diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari yaitu: reformasi/pembaruan sosial. Pembaruan sosial berarti wawasan dunia reformasional ini memperbaharui tatatan sosial yang kacau akibat dosa. Pembaruan pribadi berarti aspek-aspek pribadi diperbarui, misalnya menyangkut: agresi, karunia-karunia Roh, seksualitas, dan tari-tarian. Di dalam buku yang baru dicetak ulang pada tahun 2005 (edisi aslinya), diselipkan catatan tambahan yang berjudul Wawasan Dunia Antara Kisah dan Misi yang ditulis oleh Prof. Michael W. Goheen, Ph.D. dan Dr. Albert M. Wolters sebagai suatu penjelasan bahwa wawasan dunia bukan hanya sekadar segudang teori abstrak, namun juga sebagai panggilan misi untuk memberitakan Firman Tuhan di tengah zaman yang rusak dan kacau ini. Biarlah buku ini menjadi berkat dan mencerahkan hati dan pikiran kita tentang pentingnya memiliki cara pandang Kristen yang berpusat kepada Allah di dalam melihat segala sesuatu, sehingga kita tidak mudah ditipu dan diterpa oleh arus krisis zaman.




Rekomendasi:
“Pernyataan terbaik yang saya ketahui tentang wawasan dunia Kristen ‘reformasional.’ Ditulis dengan jelas, menggunakan berbagai analogi dan ilustrasi yang membantu pemahaman dan dengan nada yang bersahabat.”
Prof. Nicholas Wolterstorff, Ph.D.
(Professor of Church History and the History of Christian Thought dan Direktur dari the Carl F. H. Henry Center for Theological Understanding di Trinity Evangelical Divinity School; Bachelor of Arts—B.A. dalam bidang Sejarah dari Wheaton College, U.S.A.; Master of Arts—M.A. dalam bidang the History of Christian Thought dari Trinity Evangelical Divinity School; Master of Arts in Religion—M.A.R. dan Doctor of Philosophy—Ph.D. dari Vanderbilt University)

“Menerjemahkan pemahaman-pemahaman dan kategori-kategori inti tradisi neo-Calvinis ke dalam bahasa yang segar dan nonteknis, dan menjelaskannya dengan ilustrasi dan gambaran yang membantu…. Sangat direkomendasikan bagi semua orang yang menginginkan pengantar yang renyah pada wawasan dunia Kristen secara umum, atau tradisi neo-Calvinis secara khusus.”
Christian Scholar’s Review

“Istimewa…. Layak mendapatkan pembacaan yang luas bukan hanya dalam konteks akademis di antara pengajar, pengkhotbah, dan mahasiswa, tetapi juga di antara kelompok orang-orang percaya yang lebih luas, yang tertarik dengan isu-isu seputar wawasan dunia, theologi, dan filsafat Kristen.”
Calvin Theological Journal






Profil Dr. Albert M. Wolters:
Prof. Albert M. Wolters, Ph.D. yang lahir di Belanda tahun 1942 adalah Profesor Agama dan Theologi, dan Studi Naskah Kuno di
Redeemer University College, Ancaster, Ontario, Kanada. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) di Calvin College, U.S.A. dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) di Free University, Amsterdam, Belanda. Beliau pernah menjadi Anggota Senior dalam bidang Sejarah Filsafat di the Institute for Christian Studies, Toronto, Kanada.

Prof. Michael W. Goheen, Ph.D. adalah Profesor dalam bidang Worldview dan Religious Studies di Trinity Western University, U.S.A. Beliau menyelesaikan studi B.A. di Florida Atlantic University, Boca Raton, Florida, U.S.A.; Master of Arts (M.A.) di Westminster Theological Seminary, Philadelphia, U.S.A.; dan Ph.D. di University of Utrecht, Belanda.