03 January 2010

FACEBOOK: Antara Dunia Nyata dan Semu (Tinjauan Kritis Iman Kristen terhadap Gejala dan Penggunaan Facebook) oleh: Denny Teguh Sutandio

FACEBOOK: Antara Dunia Nyata dan Semu
(Tinjauan Kritis Iman Kristen terhadap Gejala dan Penggunaan Facebook)


oleh: Denny Teguh Sutandio




I. PENDAHULUAN
Di abad postmodern, manusia makin lama bukan makin tambah beres, namun semakin kacau dan hidup tidak karuan, mulai dari prinsip hidup sampai aplikasinya. Ya, meskipun hal ini tidak terjadi pada semua manusia, namun gejala postmodernisme (dan postmodernitas) yang salah satunya ditandai oleh pragmatisme sedang merajalela di zaman postmodern. Dengan semangat pragmatisme (atau menggunakan bahasa gaul sekarang: EGP—emang gue pikirin), mereka menganggap ringan banyak hal, bahkan hal-hal penting. Banyak hal dianggap main-main, sehingga banyak generasi muda zaman sekarang sangat susah ditanya mengenai prinsip hidupnya apalagi imannya. Salah satu hal yang dibuat mainan oleh generasi muda zaman sekarang adalah Facebook. Apakah Facebook itu? Dari mana asalnya? Bagaimana penggunaan Facebook di zaman sekarang? Apakah Facebook itu salah? Atau penggunaan yang tidak bertanggungjawab terhadap Facebook yang salah? Artikel yang saya susun ini tidak bermaksud melarang penggunaan Facebook sama sekali, namun menyoroti khusus terhadap penggunaan Facebook.




II. PRESUPOSISI KRISTEN: IMAN KRISTEN DAN MEDIA
A. Beragam Reaksi Kekristenan Terhadap Media
Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan mengenai Facebook, mari kita merenungkan dahulu apa yang menjadi dasar presuposisi iman Kristen kita terhadap media. Zaman yang kita hidupi berbeda dari zaman dahulu. Perbedaan tersebut bisa ke arah positif atau negatif. Perbedaan itu ditandai dengan salah satunya oleh kemajuan teknologi. Kalau zaman dahulu, mungkin tidak ada media elektronik yang canggih, seperti HP, laptop, dll, namun di zaman sekarang, semuanya ada, bahkan lebih canggih. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita sedang hidup di zaman serba berteknologi. Dalam hal ini, orang Kristen pun berpartisipasi dan ikut menikmati kemajuan teknologi. Ada beragam reaksi yang dinyatakan oleh orang Kristen berkenaan dengan media.

1. Cuek dan Terlalu Kompromi
Biasanya beberapa atau bahkan mungkin banyak orang Kristen yang prinsip hidupnya tidak beres selalu mengambil jalan pragmatis di dalam hidupnya, yaitu “prinsip” EGP (emang gue pikirin). “Prinsip” ini ditandai dengan dua hal. Pertama, yaitu cuek. Mereka benar-benar cuek dengan kemajuan teknologi dan akibatnya, karena baginya, mereka sangat menikmati teknologi-teknologi tersebut. Kedua, yaitu terlalu kompromi. Selain cuek, orang pragmatis biasanya terlalu menganggap ringan banyak hal. Ia terlalu banyak berkompromi dalam banyak hal. Mereka berpikir bahwa semua media itu baik dan berguna. Bukan hanya media, dalam hal seni pun, mereka berpikir hal yang sama. Saya mendengar perkataan seorang penyiar radio Kristen di sebuah siaran radio Kristen di Surabaya mengatakan bahwa semua musik itu dari Tuhan. Pernyataan ini sebenarnya perlu diklarifikasi dengan penjelasan yang bertanggungjawab. Benarkah semua musik itu dari Tuhan? Apakah si penyiar ini tidak sadar bahwa musik juga termasuk salah satu hasil dari kebudayaan manusia yang berdosa. Hal yang sama dengan media. Media adalah hasil kreativitas dari manusia berdosa. Meskipun TIDAK semua media itu salah dan menyesatkan, namun tetap ada unsur berdosa di dalam setiap hasil penemuan manusia berdosa.

2. Paranoid
Selain cuek dan terlalu kompromi, reaksi ekstrem kedua adalah ketakutan/paranoid terhadap media. Biasanya reaksi ini ditandai dengan tindakan membatasi penggunaan media oleh beberapa orangtua Kristen maupun hamba-hamba Tuhan agar para generasi muda Kristen tidak terpengaruh hal-hal buruk dari media. Saya mendengar sebuah cerita dari seorang teman kuliah saya dahulu yang berjemaat di sebuah gereja yang cukup terkenal di kalangan anak muda di Surabaya. Teman saya bercerita bahwa pendetanya (yang tergolong masih muda dan bukunya cukup terkenal) melarang anggota jemaatnya untuk membaca buku atau/dan menonton film The Da Vinci Code. Di satu sisi, tindakan memproteksi ini baik dan berguna, namun sayang, di sisi lain, hal ini berbahaya, kurang bertanggungjawab, dan kurang bijaksana. Mengapa? Karena: Pertama, motivasinya kurang bisa dipertanggungjawabkan. Apa motivasi dari tindakan pembatasan penggunaan media? Biasanya orang yang paranoid dengan media lalu membatasi penggunaan media berkata bahwa itu kurang baik isinya. Jika ada orang yang berkata demikian, tolong tanya, apakah yang mengatakan hal tersebut sudah mengerti seluk-beluk media yang dibicarakannya atau tidak/belum? Jika sudah mengerti, maka ia berhak mengatakan hal tersebut. Namun, jika belum, hak apa ia bisa mengatakan hal yang belum diketahuinya secara tuntas? Jika orang itu belum mengerti seluk-beluk media secara tuntas, lalu menyuruh jemaat/orang lain untuk membatasi penggunaan media, bukankah sikap ini adalah sikap fanatik berlebihan? Jangan heran, beberapa anak muda Kristen kurang kritis dalam memilih sendiri mana media yang beres atau tidak, karena di gerejanya, mereka diajar oleh pengajar/hamba Tuhan yang paranoid dengan media.

Kedua, tujuannya bisa merusak. Apa tujuan dari pembatasan penggunaan media? Biasanya mereka yang paranoid terhadap media yang mengambil sikap membatasi penggunaan media mengatakan bahwa tujuan mereka agar para generasi muda Kristen tidak rusak imannya. Kembali ke contoh tentang pelarangan menonton/membaca The Da Vinci Code oleh seorang pendeta di atas, apa tujuan pendeta tersebut melarang menonton/membaca The Da Vinci Code? Mungkin sekali tujuannya baik, yaitu agar para generasi muda Kristen tidak rusak imannya, namun apakah tujuan itu benar-benar bijaksana? Saya pikir tidak. Mengapa? Pertama, apakah pelarangan tersebut konsisten dengan tindakan pendeta itu sendiri? Jika pendeta itu melarang menonton/membaca The Da Vinci Code, tolong tanya, apakah pendeta itu sudah membaca/menontonnya? Jika sudah, mengapa ia melarang? Jika belum, hak apa ia melarang orang lain menonton/membacanya? Ataukah ia hanya mendengar dari kata pendeta lain yang sudah mengkritisi The Da Vinci Code, lalu mengambil sikap demikian? Kedua, pelarangan tersebut tidak diimbangi dengan pengajaran iman Kristen secara ketat. Jika pendeta itu melarang menonton/membaca The Da Vinci Code, apakah pendeta itu mengimbanginya dengan mengajar iman Kristen yang ketat dan teliti khususnya dalam aspek sejarah untuk melawan isi dari The Da Vinci Code? Jika tidak, maka pelarangan itu tidak bertanggungjawab dan kurang bijaksana. Jika ya, maka sebenarnya pelarangan itu tidak diperlukan, karena kalau jemaat sudah dibekali dengan apa yang benar, maka ia bisa mengembangkan pikiran kritis di dalam melihat segala sesuatu. Saya berani berkata satu hal bahwa jika ada pendeta yang melarang menonton/membaca The Da Vinci Code, namun tidak mengimbanginya dengan mengajar iman Kristen dengan beres, biasanya pendeta itu kurang beres dalam belajar theologi/Alkitab. Untuk menutupi kelemahannya dalam hal-hal theologi, makanya ia melarang jemaatnya tanpa mau memberi tahu dengan jelas alasan dan hal-hal yang sebenarnya. Di sini, yang paling mengasihankan itu jemaatnya yang diimun oleh pendetanya yang mungkin sekali adalah orang yang kurang belajar theologi baik-baik. Ketiga, pelarangan tersebut mengakibatkan pemberhalaan terhadap si pelarang. Biasanya gejala fanatisme adalah gejala yang percaya apa saja apa yang dikatakan oleh otoritas tertinggi, misalnya: pendeta, pemimpin gereja, orangtua, senior, atasan (bos), dll. Nah, di dalam Kekristenan, gejala fanatisme ini ditandai dengan percaya apa saja yang dikatakan pendeta. Jika pendeta melarang menonton/membaca sesuatu, maka semua jemaatnya serentak menurutinya. Jadi, dari muda, jemaat tidak diajar untuk kritis, namun diajar untuk percaya apa saja yang dikatakan dan dilarang oleh pendeta. Lama-kelamaan, jemaat dan para generasi muda Kristen mengandalkan (bisa dibilang: memberhalakan) pendetanya. Mereka akan bertanya dahulu kepada pendetanya sebelum menonton film atau membaca buku-buku sekular/rohani. Jika pendetanya menyetujuinya, maka mereka dengan berani menonton film atau membaca buku tersebut. Jika pendetanya melarangnya, maka mereka tidak mau melakukannya. Dengan kata lain, benar atau salah ditinjau dari perspektif pendetanya yang mungkin sekali tidak pernah sekolah theologi baik-baik atau tidak pernah mengerti dunia luar dengan teliti dan beres (asal mendengar kata orang).


B. Reaksi Kekristenan yang Benar Terhadap Media
Jika kedua reaksi Kekristenan di atas terhadap media terlalu ekstrem, maka bagaimana sebenarnya reaksi Kekristenan yang normal dan bertanggungjawab? Saya menawarkan alternatif ketiga sebagai alternatif reaksi Kekristenan terhadap media yang saya sebut sebagai reaksi paradoks. Kita sebagai orang Kristen jangan seperti orang dunia yang suka berpikir either or (kalau tidak X, ya Y), tetapi kita harus berpikir paradoks. Artinya, di dalam cara kita berpikir, hendaklah pikiran kita tidak diikat oleh sistem duniawi, namun terikat dengan apa yang Tuhan mau. Untuk hal-hal yang jelas berdosa (seperti: membunuh, mencuri, dll), jelas kita tidak boleh melakukannya, karena Alkitab melarangnya. Namun untuk hal-hal yang sekunder, maka kita tidak perlu mengambil sikap ekstrem. Kita tetap memegang prinsip tegas, namun ketegasan tidak harus selalu identik dengan kekakuan dan kekolotan.

Lalu, dalam hal apa saja kita memiliki ketegasan dalam prinsip? Ada tiga hal di mana kita sebagai orang Kristen harus tegas di dalam prinsip kita menyoroti media. Dua prinsip pertama, saya ambil dari konsep Rev. Craig Cabaniss, M.Div. dan prinsip terakhir saya kembangkan sendiri. Berkaitan dengan perspektif Kristen mengenai media, Rev. Craig Cabaniss, M.Div. di dalam buku yang diedit oleh Rev. C. J. Mahaney yang berjudul Worldliness: Resisting the Seduction of a Fallen World mengungkapkan dua prinsip Kristen menyoroti media, yaitu:1
1. Living Coram Deo (Hidup Di Hadapan Allah)
Rev. Craig Cabaniss, M.Div. menjelaskan bahwa hidup Kristen adalah hidup di hadapan wajah Allah. Artinya setiap inci kehidupan kita baik publik maupun privat adalah hidup di hadapan-Nya. Ketika kita menyadari bahwa Allah itu mengetahui dan mengawasi setiap inci kehidupan kita, hal ini mengakibatkan kita takut akan Allah ketika menjalani hidup kita. Takut di sini tidak seperti takut ketika melihat setan, namun takut di dalam pengertian gentar sekaligus hormat kepada-Nya. Lalu, bagaimana kita bisa takut akan Allah? Rev. Craig Cabaniss menjelaskan, “Fearing God is where we begin our search for knowledge and wisdom.” (=Takut akan Allah adalah di mana kita mulai penyelidikan kita bagi pengetahuan dan bijaksana)2 Dengan kata lain, takut akan Allah mengakibatkan kita bukan duduk diam tak berbuat apa-apa, namun mendorong kita menyelidiki apa yang dikehendaki-Nya bagi umat-Nya melalui firman-Nya. Sehingga ketika kita menggunakan semua media, kita menggunakannya di dalam hadirat Allah (in God’s presence). Kita memilih segala sesuatu di hadapan Allah yang Mahakudus. Yang menarik, selanjutnya, Rev. Cabaniss menjelaskan bahwa ketika kita memilih segala sesuatu, kita melakukannya di hadapan Allah, bukan karena dilihat oleh pendeta, orangtua, anggota kelompok kecil, atau tetangga kita yang belum Kristen. Di sini, pernyataan Rev. Cabaniss menarik. Berarti, seluruh inci kehidupan kita bukan diatur oleh orang-orang di sekitar kita, namun diatur oleh takut akan Allah yang kita miliki.

2. Grace-motivated Obedience (Ketaatan yang Dimotivasi oleh Anugerah)
Hidup di hadapan Allah mengakibatkan kita sadar bahwa Allah itu Mahakudus dan kita berdosa. Dari perspektif ini, kita menyadari ketidaklayakan kita hidup di hadapan-Nya. Namun, puji Tuhan, Bapa mengutus Anak, yaitu Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa umat-Nya dan menyelamatkan kita dari ikatan dosa, iblis, dan maut. Sehingga kita yang dahulu hidup di dalam kegelapan, melalui anugerah-Nya, kita masuk ke dalam terang yang sesungguhnya. Rev. Cabaniss menjelaskan lebih lanjut, “Coram Deo, we find grace. Grace that forgives. Grace that empowers us to change. Grace that leads us to desire and pursue obedience.” (=Coram Deo/hidup di hadapan Allah, kita menemukan anugerah. Anugerah yang mengampuni. Anugerah yang memberikan kuasa kepada kita untuk berubah. Anugerah yang memimpin kita untuk menginginkan dan mengejar ketaatan)3 Dengan kata lain, takut akan Allah mengakibatkan kita menemukan anugerah Allah di sana dan anugerah ini memampukan kita taat akan apa yang diperintahkan-Nya. Ketaatan kita bukan agar diperkenan oleh Allah, namun sebagai respons atas anugerah yang Allah telah berikan kepada kita. Ketaatan kita akan perintah-Nya mengakibatkan kita melakukan segala sesuatu untuk memuliakan dan menyenangkan-Nya. Hidup memuliakan dan menyenangkan-Nya tentu ditandai dengan tidak sembarangan mempergunakan hidup demi diri sendiri. Jika kita tidak sembarangan mempergunakan hidup, maka kita dengan bijaksana memilih segala sesuatu mana yang memuliakan dan menyenangkan Allah dan mana yang tidak. Kalau kita membaca Roma 12:2, maka Paulus mengajar kita untuk memilih segala sesuatu berdasarkan kehendak Allah: baik, berkenan kepada Allah (bisa diterjemahkan: menyenangkan Allah), dan sempurna. Rev. Cabaniss mengemukakan tiga karakteristik kesenangan yang sesuai kehendak Allah: good and right and true (baik, adil, dan benar). Kemudian, Rev. Cabaniss melanjutkan perkataannya, “Discerning what pleases the Lord requires critically evaluating media content at all times.” (=Membedakan apa yang menyenangkan Tuhan selalu mewajibkan evaluasi kritis terhadap isi media.)4

3. Alkitab: Satu-satunya Fondasi Kebenaran
Sebagai orang Kristen yang normal yang telah mengalami anugerah Allah dan terus hidup takut akan Allah, maka kita percaya penuh bahwa Alkitab adalah satu-satunya firman Allah yang diwahyukan tanpa salah dalam naskah asli (autographa)nya. Artinya, Alkitab adalah satu-satunya fondasi kebenaran dalam iman dan kehidupan kita sehari-hari. Segala macam iman, agama, kepercayaan, filsafat, sains, tradisi, kebudayaan, gaya hidup, perkataan, pikiran, dan tindakan harus ditundukkan di bawah Alkitab. Segala sesuatu harus diuji berdasarkan Alkitab. Namun, apakah itu berarti kita menjadi orang udik dan aneh? Lalu, kita hanya mau menonton film-film rohani, membaca buku-buku rohani, dan melakukan hal-hal rohani saja? TIDAK. Kita percaya akan ketidakbersalahan Alkitab, namun di dalam aplikasinya, kita jangan menjadi orang aneh. Ingatlah satu hal: kita ada di dalam dunia, namun kita bukan berasal dari dunia. Artinya, status kita memengaruhi dan mendasari hati, pikiran, perkataan, dan tindakan kita di dalam dunia. Meskipun kita adalah anak-anak Allah, kita tetap harus bergaul dan hidup di dunia ini, tentu tidak boleh menyetujui semua pemikiran dan tindakan duniawi/sekular. Ada batas-batas yang harus kita ambil untuk membedakan kita dari orang-orang dunia.

Kembali, ketidakbersalahan Alkitab yang kita imani memengaruhi sikap kita di dalam melihat segala sesuatu. Ketidakbersalahan Alkitab memengaruhi sikap kita untuk kritis dalam segala hal. Namun, ketidakbersalahan Alkitab yang mengakibatkan kita kritis tidak seharusnya membuat kita antipati atau paranoid terhadap hal-hal duniawi. Saya pernah mendengar seorang pendeta berkata bahwa kalau beliau mau menonton film di DVD, beliau akan memutarnya secara cepat di laptop untuk mengetahui alur ceritanya, supaya kita yang menonton tidak terikat pada alur cerita yang diatur oleh sutradara. Di satu sisi, hal ini ada baiknya, namun di sisi lain, kita kurang menikmati sebuah cerita. Kembali, apakah dengan mengimani ketidakbersalahan Alkitab, lalu kita menjadi orang-orang Kristen yang kurang menikmati cerita/film/dll? Lebih tajam lagi, apakah ketidakbersalahan Alkitab mengakibatkan kita menjadi orang yang kurang bersukacita? Tidak heran, beberapa orang Kristen khususnya Reformed di sebuah gereja tertentu, mukanya lonjong-lonjong dan tidak ada gairah sukacita di dalamnya. Pendetanya mengkritik buku Rev. John S. Piper, D.Theol. yang membahas hedonisme Kristen. Pendeta ini menyangka bahwa hedonisme itu ngawur, maka hedonisme Kristen itu juga ngawur. Padahal ketika si pendeta berkata demikian, ia kurang bertanggungjawab, karena ia tidak mau membaca terlebih dahulu buku-buku dan penjelasan Dr. John S. Piper tentang makna hedonisme Kristen di dalam bukunya Desiring God (Mendambakan Allah). Pendeta ini baik, yaitu beliau kritis, namun kekritisannya tidak didasarkan pada bukti yang kuat yang mengakibatkan sikap generalisasi berlebihan.

Dengan mengimani ketidakbersalahan Alkitab, kita dituntut untuk kritis, namun kekritisan kita hendaklah merupakan kekritisan yang wajar dan tidak terlalu ekstrem/berlebih-lebihan. Kalau kita tidak mengerti tentang sesuatu hal, hendaklah kita tidak sembarangan berkomentar! Belajarlah untuk menyelidiki sesuatu hal tersebut secara tuntas, baru berkomentar. Jangan seperti banyak orang postmodern yang pragmatis yang asal-asal ngomong. Kembali, bagaimana kita bisa kritis secara wajar? Ya, sebenarnya ini tidak mudah. Fondasi agar kita bisa kritis adalah kita belajar iman Kristen dan Alkitab terlebih dahulu. Setelah kita belajar banyak hal tentang iman Kristen dan Alkitab dengan beres, maka kita bisa kritis secara wajar. Ini bukan hanya teori, namun sudah saya aplikasikan. Ketika menonton film baik di DVD maupun bioskop, tingkat kekritisan kita harus tajam, namun tidak berarti kita tidak menikmati alur cerita filmnya. Artinya, sambil menikmati alur cerita filmnya, kita sambil kritis menyoroti nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Misalnya, ketika kita menonton film Star Trek, ya, kita menikmati saja alur ceritanya yang seru dan menegangkan, namun kita tetap harus kritis nilai-nilai yang sedang diajarkan melalui film itu apakah sesuai dengan Alkitab. Jangan menerima mentah-mentah semua nilai di dalam media, namun juga jangan menolak semua nilai di dalam media. Kita harus bijaksana memilih dan memilah sendiri mana yang sesuai dengan Alkitab dan tidak untuk kita aplikasikan. Contoh lain, ketika kita menonton film Yes Man yang dibintangi oleh aktor, Jim Carrey, kita boleh menikmati alur ceritanya yang lucu dan konyol, namun kita tetap harus waspada bahwa film itu sedang mencoba mengajarkan Berpikir Positif kepada para penontonnya. Sebagai penonton Kristen, kita tidak boleh langsung meng“amin”kannya, kita harus mengujinya dan memang bahwa Berpikir Positif itu lebih banyak berdampak buruk dan tidak sesuai dengan Alkitab.




III. SEPUTAR FACEBOOK
Setelah kita mengerti presuposisi Kristen terhadap media, maka kita akan menyoroti seputar Facebook: definisi, asal mula, pelarangan terhadap penggunaannya, dan hal-hal lainnya. Untuk selanjutnya, Facebook akan disingkat FB.
A. FB: Definisi, Asal Mula, dan Perkembangannya
Apa itu Facebook (FB)? Situs Wikipedia5 menjelaskan bahwa FB adalah situs jejaring sosial yang dioperasikan dan secara privat dimiliki oleh Facebook, Inc. di Cambridge, Massachusetts, USA. FB pertama kali bernama Facemash ditemukan oleh Mark Zuckerberg pada tanggal 28 Oktober 2003 bersama dengan teman kosnya, Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz, dan Chris Hughes ketika mereka menjadi mahasiswa di Harvard University. Facemash sebenarnya merupakan situs jejaring sosial yang hanya diperuntukkan untuk mahasiswa Harvard, namun telah meluas sampai ke kampus-kampus lain di daerah Boston area, Ivy League, dan Stanford University. Kemudian, situs ini meluas keanggotaannya mulai dari siswa/i SMU sampai mahasiswa/i, dan semua orang yang berusia di atas 13 tahun. Wikipedia mencatat, anggota FB yang aktif sekarang adalah 350 juta. Facebook Inc. memiliki karyawan berjumlah lebih dari 900 orang dan meraup pendapatan di atas US$ 300 juta. FB diluncurkan pada tanggal 4 Februari 2004. FB tersedia dalam berbagai bahasa: Afrika, Albania, Arab, Azeri, Basque, Bengali, Bosnia, Bulgaria, Catalan, Mandarin (disederhanakan), Mandarin (Hong Kong), Mandarin (Taiwan), Kroasia, Cekoslowakia, Denmark, Belanda, Inggris (UK), Inggris (US), Inggris (Pirate), Inggris (kacau balau), Esperanto, Estonia, Faroese, Filipino, Finlandia, Prancis (Kanada), Prancis (France), Galicia, Georgia, Jerman, Yunani, Ibrani, Hindi, Hungarian, Islandia, Indonesia, Irlandia, Italia, Jepang, Korea, Latin, Latvia, Lithuania, Makedonia, Melayu, Malayalam, Maltese, Nepal, Norwegia (Bokmål), Norwegia (Nynorsk), Polandia, Portugis (Brazil), Portugis (Europe), Persia, Punjabi, Romania, Rusia, Serbia, Slovakia, Slovene, Spanyol, Spanyol (Castile), Swahili, Swedia, Tamil, Telugu, Thai, Turkish,Ukrainian, Vietnam, Wales.

FB ternyata bukan hanya bisa diakses di laptop atau komputer, namun juga bisa diakses di HP, BlackBerry (BB), dan i-Phone. HP merk tertentu bahkan sudah dilengkapi dengan fasilitas FB (selain Yahoo Messenger, e-Buddy, dll) di dalamnya. Di BB, ketika kita mengaktifkan internet, pada saat yang sama, satu-satunya situs jejaring sosial yang ada adalah FB ini dan FB ini kemudian kita bisa install, meskipun membuka FB di BB berbeda dengan membuka FB di laptop/komputer. Bagi saya pribadi, lebih enak membuka FB di laptop daripada membuka FB di BB, hehehe…


B. Hal-hal Seputar FB: Isi, Anggota, dan Motivasi Anggotanya
Setelah mengerti definisi, asal mula, dan perkembangan FB, maka kita akan menyoroti hal-hal yang ada di dalam FB.
1. Isi FB
Sesudah kita melihat definisi, asal mula, dan perkembangan FB, maka kita mungkin penasaran, apa isi FB sehingga FB begitu meluas dan terkenal? Di FB, kita bisa mendaftar menjadi anggota gratis. Ketika kita sudah menjadi anggota, kita bisa memanfaatkan semua fasilitas di FB. Tentunya kita mengisi profil dan gambar kita supaya orang lain mengetahui siapa kita. Di bagian profil, kita bisa mengisi jenis kelamin, informasi kelahiran (tanggal, bulan, dan tahun), status hubungan (jomblo, rumit, berpacaran, menikah, dll), mencari (teman, jaringan, teman kencan, pacar), no HP, telepon, e-mail, Yahoo Messenger, MSN, informasi kuliah, informasi tempat kerja, tentang saya (About Me), dll. Kemudian kita bisa mengupdate status kapan pun dan di mana pun kita berada. Status itu berisi apa yang ada di dalam pikiran kita atau apa yang kita lakukan atau kita bisa mengisi apa pun di dalam status. Selain status, kita bisa mengisi catatan di bagian Notes (Catatan). Selain Catatan, kita juga mengisi Acara (Event) yang terletak di sebelah kira Notes. Notes, Event, dll ada di bagian bawah FB. Kemudian, kita juga bisa menjelajahi aplikasi yang ada (baik legal maupun illegal) di FB, misalnya: kuis, dll. Aplikasi-aplikasi tersebut kebanyakan berisi hal-hal yang tidak serius atau hanya untuk bersenang-senang saja (guyonan). Jangan percaya akan setiap isi di dalam aplikasi tersebut, karena itu hanya untuk fun. Inilah sisi fun di FB dan hal itu ok-ok saja. Selain itu, kita juga bisa membuat sendiri aplikasi dan fan page tentang tokoh, organisasi, atau siapa pun yang kita inginkan (bisa guru, dosen, kampus, dll).

2. Anggota/Pengguna FB
Karena isinya menarik, FB adalah situs jejaring sosial yang dulunya digandrungi oleh banyak anak muda. Namun karena zaman terus berubah, maka, bukan hanya anak muda, anak-anak (bahkan SD) sampai orangtua pun menggandrunginya. Tidak jarang kita menjumpai banyak hamba Tuhan yang menjadi anggota di FB. Begitu juga anak SD yang berusia di bawah 12 tahun pun sudah mendaftar menjadi anggota di FB. Variasi para anggota/pengguna FB sangat beraneka ragam membuat FB makin terkenal.

3. Alasan dan Motivasi Anggota/Pengguna FB
Jika kita melihat begitu beragamnya para anggota FB, maka kita perlu mengklarifikasi apa alasan para anggota mendaftarkan diri mereka menjadi anggota di FB. Ada yang mendaftar karena didaftarkan temannya atau ikut-ikutan teman yang mendaftar di FB. Secara motivasi, ada yang mendaftar FB untuk menonjolkan diri (narsis). Sangat sedikit orang yang mendaftar FB untuk melayani Tuhan, misalnya: menginjili, memberitakan Firman, dll.


C. Kritik dan Pelarangan Terhadap Penggunaan FB dan Tinjauan Kritisnya
Suatu media tidak lepas dari pro dan kontra. Begitu juga halnya dengan FB. FB tidak lepas dari sejumlah kontra, yaitu kritik dan pelarangan terhadap penggunaan FB. Situs Wikipedia memberi tahu kita tentang berbagai kritik dan pelarangan terhadap penggunaan FB.6
1. Anak Di Bawah Umur 13 Tahun
Karena tidak ada larangan keras bagi anggota yang berusia di bawah 13 tahun, maka masyarakat kuatir bahwa FB berbahaya bagi anak-anak yang berusia di bawah 13 tahun. Sebenarnya alasan ini masuk akal, karena anak-anak yang berusia di bawah 13 tahun biasanya kurang mengerti kegunaan FB dan hal-hal di dalamnya. Bukan tidak mungkin anak-anak tersebut mengakses halaman FB yang berisi hal-hal tidak senonoh dan chatting dengan teman-teman yang tidak jelas asal usulnya. Namun kekuatiran tersebut sebenarnya bisa diatasi dan tidak perlu dibombastiskan. Bagaimana mengatasinya? Kalau Anda orang Kristen yang beres dan memiliki anak, tentu dari kecil, anak Anda sudah dididik dan diajar dengan iman Kristen yang beres, sehingga dari kecil, mereka sudah takut akan Allah. Ketika mereka dari kecil sudah takut akan Allah, mereka akan dengan sendirinya memilih dan memilah mana yang beres dan mana yang tidak. Namun tindakan pemilihin dan pemilahan ini harus dibarengi dengan peran serta orangtua terus-menerus agar mereka semakin tumbuh dewasa.

2. Tidak Berhubungan Dengan Kampus (dan Pekerjaan)
Pada Oktober 2005, University of New Mexico memblokir akses ke FB bagi semua komputer dan jaringan di kampus tersebut. Mengapa? Karena pihak kampus menyatakan bahwa FB tidak berkaitan dengan urusan kampus dan pekerjaan di staf kampus. Hmmm, mungkin hal ini ada benarnya, karena FB bisa mengganggu kinerja para staf kampus. Akhirnya pekerjaan bisa terbengkalai karena terlalu sering mengakses FB. Namun, di sisi lain, biasanya peraturan tersebut, khususnya pembuat peraturan itu, biasanya tidak konsisten dengan dirinya sendiri. Ini bukan sekadar teori, saya sudah menemukan realitasnya. Ada “asisten” manajer sebuah perusahaan penerbitan melarang (secara implisit) anak buahnya menggunakan Yahoo Messenger (YM) jika tidak berkaitan dengan pekerjaan. Dia akan mengomel dan menyindir anak buahnya yang chatting dengan menggunakan YM untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Tetapi tahukah Anda bahwa yang membuat peraturan implisit tersebut adalah orang yang sama yang TIDAK mengenakan peraturan tersebut berlaku bagi si pembuat peraturan! Artinya, orang itu melanggar peraturan yang dia buat sendiri. Saya tahu dari mana? Orang ini chatting dengan menggunakan YM dengan rekan anak buahnya dan membicarakan tentang panda. Tolong tanya, apakah panda ada kaitannya dengan pekerjaan di perusahaan penerbitan? Oleh karena itu, bersikaplah dewasa dalam membuat keputusan, jangan asal-asalan!

3. Larangan dari Pemerintah Negara
Alasan ketiga adalah karena FB dipakai oleh pihak-pihak yang bertanggungjawab untuk mengkritik pemerintah dan mendukung partai-partai illegal di suatu negara. Oleh karena itu, pemerintah negara-negara tertentu, misalnya: Iran, Tiongkok, Syria, dan Vietnam melarang penggunaan FB. Hal ini ada benarnya untuk mengurangi ketidakbertanggungjawaban pihak-pihak tertentu dalam menggunakan FB untuk hal-hal yang tidak beres. Namun, di sisi lain, patut diragukan motivasi pelarangan FB oleh pemerintah negara. Apakah suatu pemerintah negara tertentu merasa terganggu dengan kekuasaannya, maka ia melarang penggunaan FB, bahkan memenjarakan mereka yang mengakses FB? Misalnya, suatu pemerintahan negara tertentu tidak beres, korupsi di mana-mana, diktator, dll, kemudian melalui FB, ada warga yang menyindir kebusukan pemerintahan. Dengan diblokirnya penggunaan FB oleh pemerintah tersebut gara-gara ulah warga tadi, bukankah itu makin menandakan kejelekan pemerintah tersebut? Bukankah ini tindakan konyol yang dilakukan tanpa pertimbangan yang matang dan bijaksana? Jika pemerintah tidak melakukan kesalahan, mengapa harus takut dikritik oleh warganya?

4. Penyalahgunaan Privasi
Alasan keempat adalah profil FB sering disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab untuk hal-hal yang tidak beres. Wikipedia menceritakan bahwa dua mahasiswa Massachusetts Institute of Technology (MIT) dapat mendownload 70.000 profil FB dari empat kampus (MIT, New York University, the University of Oklahoma, dan Harvard University) dengan menggunakan sebuah program. Hal ini patut diperhatikan bagi para anggota FB agar kita tidak terlalu membuka semua profil kita, khususnya berkaitan dengan alamat.

5. Merusak Remaja
Uskup agung Katolik Roma Westminster yang bernama Vincent Nichols mengatakan bahwa FB dan situs jejaring sosial lainnya dapat mengarahkan para remaja melakukan tindakan bunuh diri. Selain itu, dia juga mengatakan bahwa situs jejaring sosial dapat merusak hubungan intim dan membiarkan para remaja tanpa ikatan sosial. Apa yang dikatakan uskup ini ada benarnya, karena para remaja biasanya masih labil dan mudah meniru. Namun, sayangnya perkataan uskup ini kurang didukung bukti konkrit akan apa yang dikuatirkannya. Kalau pun ada kasus seperti yang dikatakannya, itu pun kasus khusus dan solusi agar tidak terjadi kasus tersebut bukan melarang penggunaan FB, tetapi mengarahkan para remaja dengan iman dan etika yang beres, sehingga mereka tidak terpengaruh hal-hal negatif dari penggunaan FB.

Saya terus terang takut dan kuatir, Kekristenan bukan tumbuh dewasa, namun menjadi kekanak-kanakan. Satu (atau beberapa) kasus mengakibatkan orang Kristen menjadi paranoid, lalu bertindak ekstrem. Misalnya, karena ada berita kejahatan, orangtua Kristen yang anaknya tidak mau ikut-ikutan, maka anak-anaknya dilarang membaca surat kabar, menggunakan FB, dll. Namun secara tidak sadar, beberapa dari orangtua tersebut ternyata membaca surat kabar, menggunakan FB, dll. Jika ditanya, mengapa orangtua bertindak demikian, sedangkan anak-anaknya tidak boleh? Jawaban yang sering didengar adalah karena orangtua sudah banyak makan asam garam, jadi tahu mana yang beres dan tidak. Jawaban klise tersebut sebenarnya bukan jawaban, namun hanya rasionalisasi atas tindakannya sendiri yang tidak bijaksana. Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam salah satu khotbahnya pernah menceritakan kasus di mana orangtua yang terlalu mengimun anaknya. Pada suatu kali, dulu waktu Pdt. Stephen Tong masih muda, beliau bertemu dengan pendeta yang sudah berumur/tua, kemudian si pendeta tua ini mengajar Pdt. Stephen Tong bahwa karena surat kabar di Hong Kong isinya selalu hal-hal buruk, seperti: pembunuhan, pemerkosaan, dll, maka setelah membaca surat kabar tersebut, si pendeta tua menggunting-gunting berita yang berisi hal-hal negatif di surat kabar tersebut, kemudian menyerahkan surat kabar tersebut kepada anak-anaknya untuk dibaca. Kemudian, Pdt. Stephen Tong berpikir dan berkata kepada si pendeta tua, jika si pendeta tua melakukan hal tersebut, maka anak-anaknya malah semakin penasaran dengan isi dari surat kabar yang sudah digunting-gunting tersebut dan bukan sesuatu yang mustahil jika anak ini bisa meminjam surat kabar tetangganya khusus untuk melihat berita apa yang digunting-gunting oleh ayahnya itu. Bukankah ini lebih gawat? Kemudian, Pdt. Stephen Tong bersenda gurau di dalam khotbahnya menyebut koran yang bolong-bolong (setelah digunting oleh pendeta tua) itu sebagai holy newspaper, bukan surat kabar/koran yang kudus, tetapi koran yang banyak lubangnya, maka disebut holy (àhole: lubang), hehehe…




IV. PENGGUNAAN FACEBOOK: BERTANGGUNGJAWAB VS TIDAK BERTANGGUNGJAWAB DAN TINJAUAN KRITISNYA
Terakhir, setelah mengerti seluk-beluk FB, maka sekarang kita akan menyoroti penggunaan FB. FB sendiri boleh dibilang netral, karena FB hanya sarana menjalin hubungan baik pertemanan, jaringan, dll. Namun yang menjadi permasalahannya adalah masalah penggunaannya. Banyak yang menggunakan FB secara tidak bertanggungjawab dan ada juga yang menggunakannya secara bertanggungjawab. Dengan membedakan dua hal ini, sekali lagi, saya TIDAK bermaksud terlalu serius menyoroti FB, lalu kita tidak boleh fun di dalam FB. Kita boleh fun di FB, namun tetap harus ada batas fun tersebut.
A. Penggunaan FB yang Tidak Bertanggungjawab
Apa saja yang termasuk penggunaan FB yang tidak bertanggungjawab?
1. Membuat Halaman-halaman Khusus yang Berisi Hal-hal Porno
Tindakan penggunaan FB yang tidak bertanggungjawab biasanya dilakukan oleh banyak orang Amerika Serikat sendiri yang hidup tidak karuan. Salah satunya adalah membuat halaman khusus yang berisi hal-hal dan gambar-gambar porno. Mungkin, di Indonesia, hal ini kurang atau mungkin tidak ada yang melakukannya. Namun, kita harus mewaspadai hal-hal ini.

2. Iseng dan Mencari Sensasi
Tindakan penggunaan FB yang tidak bertanggungjawab kedua adalah keisengan dan mencari sensasi. Zaman di mana kita hidup adalah zaman postmodern dengan ide postmodernisme dan postmodernitas yang mulai meracuni para generasi muda, tidak terkecuali yang “Kristen.” Selain postmodernisme, ingatlah, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang diciptakan dengan segala kreativitasnya, namun telah berdosa dan rusak total. Jika kedua konsep ini digabungkan, maka timbullah suatu sikap: iseng dan mencari sensasi. Lho, apa tidak boleh iseng? Iseng sebenarnya tidak apa-apa, asalkan ada batasnya. Iseng dan mencari sensasi muncul karena kreativitas manusia yang diberi oleh Allah disalahgunakan dengan tidak bertanggungjawab.

Orang zaman sekarang gemar mencari dan menimbulkan sensasi untuk mencari keuntungan. Jangankan orang dunia, beberapa aliran Kristen juga gemar kok dengan tindakan mencari dan menimbulkan sensasi. Coba perhatikan dunia Kristen sejak zaman dahulu sampai sekarang. Dulu banyak orang Kristen tergila-gila dengan sensasi Toronto Blessing (TB), lalu setelah TB selesai, maka pindah lagi ke sensasi gereja di Singapore di mana istri sang pendeta berpakaian tidak senonoh. Sekarang, sensasinya berpindah lagi ke Surabaya dengan pendeta yang masih muda, tampangnya seperti bintang film, dan terkenal melalui bukunya. Di dalam kebaktian besar yang dipimpinnya, si pendeta menyuruh jemaatnya untuk bergandengan tangan untuk menerima kuasa dari si pendeta (mirip tindakan tenaga dalam dalam Gerakan Zaman Baru). Baru-baru ini, meledak lagi 2 sensasi yang lebih heboh. Pertama, seorang muda yang mengklaim diri sebagai “nabi”, menulis buku, dan mendirikan persekutuan di Surabaya, namun semuanya hanya kedok, karena seseorang menceritakan bahwa setelah memimpin persekutuan yang didominasi oleh banyak mahasiswi, “nabi” ini melakukan free-sex. Seorang pendeta dari sebuah gereja Karismatik Injili melalui e-mail yang saya baca geleng-geleng kepala dan menegur keras “nabi” ini dan hamba Tuhan yang ikut mendukung “nabi” ini. Sensasi kedua datang dari kota besar di Jawa Tengah. Saya mendengar cerita ini dari seorang rekan pendeta. Rekan saya ini bercerita bahwa ada seorang “pendeta” yang sudah beristri kemudian ingin memiliki istri kedua yang tidak lain adalah anak buah di dalam pelayanannya. Tahukah Anda apa alasan yang dia pakai untuk menikah kedua kalinya? Anda pasti tertawa mendengarnya. Si “pendeta” ini mengatakan bahwa ia “menikah dalam roh” dengan anak buah pelayanannya itu. Huahahahaha… Lucu dan konyol kan?

Kalau dunia Kekristenan suka mencari dan menimbulkan sensasi, maka jangan heran, dunia FB pun tidak lepas dari sensasi. Biasanya, orang yang gemar mencari dan menimbulkan sensasi dengan cara berbohong melalui profilnya di FB. Alasannya sich katanya fun, tetapi fun yang ngawur. Misalnya, mengenai relationship status (status hubungan), seorang bisa mengganti-ganti sesukanya sendiri: dari single, kemudian it’s complicated, kemudian single, kemudian engaged, kemudian married, kemudian single, kemudian married, dll. Lalu, kalau orang ini ditanya, mengapa statusnya diganti-ganti? Jawabannya sungguh pragmatis: ISENG. Kalau dia mau konsisten dengan keisengannya, mengapa jenis kelaminnya tidak diganti sekalian? Mengapa Agama tidak diganti sekalian dari Kristen menjadi atheis? Ini membuktikan keisengannya bukan keisengan tanpa berpikir bukan? Bukan hanya mengganti status hubungan, tetapi juga berdusta. Saya menemukan fakta di FB bahwa adik teman saya yang masih remaja (di bawah 17 tahun) sudah memasang status hubungannya: MARRIED (menikah), kemudian disusul dengan nama seorang yang berjenis kelamin sama dengan dia. Lucu sih gejala ini, namun konyol. Apa hanya karena alasan iseng, hal-hal itu dipermainkan? Kalau saya pribadi sudah mengetahui adik teman saya itu, maka saya mengetahuinya, namun bagaimana dengan orang lain yang tidak mengetahuinya?

Bukan hanya relationship status, hal-hal lain seperti Siblings pun suka ditulis sesuka hatinya. Menurut arti kata, sibling berarti saudara kandung. Namun dasar orang postmodern yang iseng, nama-nama di FB yang berkaitan dengan sibling diisi dengan nama teman-temannya. Aneh bukan? Iseng mengakibatkan segala sesuatu mungkin tampak lucu, namun lama-kelamaan jika diperhatikan konyol.

Rupa-rupanya HTS (Hubungan Tanpa Status)7 atau istilahnya TTM (Teman Tapi Mesra) atau teman “dekat” atau istilah gaulnya: gebetan yang lagi marak di kalangan generasi muda zaman postmodern sekarang ternyata tidak luput diaplikasikan di FB. Bagaimana saya mengetahuinya? Meskipun ini bukan generalisasi dan tidak mutlak, saya bisa membaca gejala ini dengan mencocokkan antara Relationship Status dengan Looking For di dalam profil seseorang. Biasanya kalau seseorang sedang menjalin HTS atau memiliki TTM, ada orang yang menulis status hubungannya: it’s complicated (rumit). Namun ada juga remaja yang memasang status it’s complicated, namun tidak mengerti artinya (atau pura-pura tidak mengerti artinya?). Saya menghargai orang jujur yang mengerti hubungannya. Namun ada juga orang lain yang sudah memiliki TTM, tetapi tetap menulis status hubungannya: single (jomblo), namun dia hanya mencari persahabatan (di dalam Looking For, dia menulis: Persahabatan/Friendship). Meskipun orang yang menulis seperti ini TIDAK harus berarti dia sudah memiliki TTM, tetapi kebanyakan seperti itu. Lalu, kalau orang ini ditanya, dia akan berkata bahwa itu hanya teman dekat. Teman dekat namun berbeda jenis kelamin dan mau diajak pergi berdua. Apakah itu hanya sebatas teman?? Kalau teman, mengapa mau diajak pergi hanya berdua?? Ada juga yang sudah bertunangan, namun tidak mau menulis status: Engaged, entah apa motivasinya. Kalau kita melihat gejala generasi muda di FB, kita akan geleng-geleng kepala. Jangankan generasi muda dunia, banyak generasi muda Kristen pun terlalu fun di FB, sampai hampir tidak bisa dibedakan mana yang Kristen dan mana yang bukan.


B. Penggunaan FB yang Bertanggungjawab
Lalu, bagaimana menggunakan FB secara bertanggungjawab? Apakah di FB tidak boleh fun dan selalu serius? Sekali lagi TIDAK. Bagaimana kita menggunakan FB secara bertanggungjawab prinsipnya sama dengan perspektif Kristen mengenai media. Kita menggunakan semua hal untuk kemuliaan Allah, maka kita menggunakan FB untuk memuliakan Allah. Kita memiliki prinsip-prinsip yang tegas di dalam menyoroti media, namun TIDAK berarti kita kaku dan kolot di dalam aplikasinya. Begitu juga halnya dengan FB. Kita memiliki prinsip dan motivasi yang jelas dan tegas mengapa kita bergabung menjadi anggota di dalam FB, yaitu untuk memuliakan Allah dan membawa berita firman. Namun tidak berarti kita menjadi orang yang sok religius ketika memanfaatkan FB. Kita harus bisa memiliki sikap seimbang antara hal-hal rohani dan hal-hal fun. Saya pribadi sebagai anggota FB berusaha menyeimbangkan dua hal ini, meskipun saya lebih menekankan hal-hal rohani di FB. Namun, saya tetap mencoba aplikasi-aplikasi fun di FB untuk refreshing.




V. KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Sebagai penutup dan kesimpulan, bagaimana sikap kita? Apakah kita meniru apa yang dunia ajar dan lakukan melalui penggunaan FB secara tidak bertanggungjawab? Ataukah kita melakukan ekstrem lainnya yaitu tidak mau memanfaatkan FB sama sekali? Ataukah kita berusaha seimbang dan paradoks yaitu mempergunakan FB secara bertanggungjawab: fun namun tetap memiliki prinsip? Biarlah kita sebagai anak-anak Tuhan menjadi garam dan terang dunia di dalam setiap aspek kehidupan, termasuk memanfaatkan FB secara seimbang demi hormat dan kemuliaan nama-Nya. Biarlah ini bukan teori saja, tetapi kita aplikasikan di dalam cara kita memanfaatkan FB. Amin. Soli Deo Gloria.




Catatan kaki:
1 C. J. Mahaney, ed., Worldliness: Resisting the Seduction of a Fallen World (U.S.A.: Crossway, 2008), hlm. 46-51.
2 Ibid., hlm. 46.
3 Ibid., hlm. 47.
4 Ibid.
5 http://en.wikipedia.org/wiki/Facebook
6 http://en.wikipedia.org/wiki/Facebook
7 Saya mendapatkan istilah ini setelah membaca sebuah artikel yang ditulis oleh Lidya yang berjudul “Hubungan Tanpa Status, Trend Anak Muda Masa Kini” di Tabloid Reformata (
http://www.reformata.com/index.php?m=news&a=view&id=3274). Lidya sebagai penulis artikel tersebut mengungkapkan inti HTS adalah, “kedekatan dan keintiman tanpa sebuah pengakuan dan komitmen.”