10 February 2010

IMAN KRISTEN DAN TRADISI (Denny Teguh Sutandio)

IMAN KRISTEN dan TRADISI

oleh: Denny Teguh Sutandio




“Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.”
(Ul. 6:5)

“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”
(Rm. 11:36)

“Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur. Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.”
(Kol. 2:6-8)




I. PENDAHULUAN
Kita sebagai manusia hidup di dalam suatu masyarakat. Di dalam masyarakat tertentu, mau tidak mau, kita hidup di dalam suatu kebudayaan tertentu. Kebudayaan tersebut mau tidak mau tentu menjadi sebuah tradisi di lingkungan di mana kita tinggal. Yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana iman Kristen menyoroti tradisi manusia? Apakah kita dengan semangat toleransi lalu berkompromi dengan tradisi manusia berdosa? Atau kita malahan membuang semua tradisi karena takut mengganggu iman Kristen kita? Mari kita merenungkan dan memikirkan bersama perspektif iman Kristen yang beres menyoroti masalah tradisi.






II. DEFINISI DAN UNSUR-UNSUR TRADISI
Sebelum membahas mengenai tradisi untuk kita soroti dari perspektif iman Kristen, kita akan mencoba mengerti definisi tradisi dan kebudayaan terlebih dahulu.
A. Definisi Tradisi
Apa itu tradisi? Menurut sumber Wikipedia, tradisi berasal dari bahasa Latin, traditionem (acc. traditio) yang berarti hand over (=menyerahkan) atau passing on (=menyampaikan).[1] Kemudian, kata ini dipakai dalam bahasa Inggris dengan variasi makna:[2]
1. Kepercayaan atau kebiasaan/adat (customs) yang diajar oleh satu generasi ke generasi lain, sering kali secara lisan.
2. Serangkaian kebiasaan/adat (customs) atau praktik/kebiasaan (practices).
3. Sebuah gerakan agama yang luas yang diciptakan oleh denominasi-denominasi religius atau kelompok gereja yang memiliki sejarah, kebiasaan, kebudayaan, dan, dalam beberapa hal, bahan pengajaran yang sama.




B. Unsur-unsur Tradisi
Dari pengertian ini, kita mendapatkan gambaran bahwa unsur-unsur tradisi meliputi:
1. Presuposisi: Kepercayaan
Dari definisi di atas, kita mendapatkan gambaran jelas bahwa presuposisi dasar dari sebuah tradisi adalah kepercayaan (belief). Bisa dikatakan bahwa tidak ada tradisi yang bisa dipisahkan dari kepercayaan. Mengapa? Karena tradisi dibangun di atas kepercayaan akan sesuatu yang ilahi (entah itu benar atau salah). Di Indonesia, kita melihat adanya tradisi ke kuburan 40 hari, 100 hari, dll setelah kematian seseorang. Tentu, tradisi ini dilatarbelakangi oleh agama mistik yang diturunkan oleh nenek moyang Indonesia. Jika mau dipertajam, tradisi selain dilatarbelakangi oleh kepercayaan, juga dilatarbelakangi oleh hal-hal takhayul.


2. Isi: Kepercayaan + Kebiasaan/Adat
Kedua, isi dari tradisi adalah sebuah kepercayaan ditambah dengan kebiasaan/adat. Artinya, kepercayaan sebagai dasar dimuati oleh konsep-konsep kebiasaan/adat masyarakat setempat. Tidak heran di suatu daerah yang sudah beragama, banyak penduduknya masih menganut kebiasaan yang mungkin sejalan dengan agama yang dianutnya atau mungkin bertentangan dengan agama tersebut. Misalnya, kebiasaan ke kuburan pada 40 hari atau 100 hari setelah seseorang meninggal merupakan sebuah kebiasaan dari tradisi nenek moyang yang mungkin sesuai dengan agama yang dianutnya atau mungkin ditentang oleh agama yang dianutnya. Konsep kebiasaan juga bisa menyangkut masalah etika, sopan santun, dll.


3. Sifat: Estafet
Terakhir, sifat dari tradisi adalah estafet. Artinya, sebuah tradisi diturunkan dari generasi ke generasi lain, sehingga terbentuklah sebuah aturan tradisi yang dipegang. Misalnya, kalau kita mendengar orangtua kita, mereka selalu berkata bahwa dulu, mereka diceritakan oleh orangtua mereka bahwa jangan membuang hajat di bawah pohon besar atau keluar di saat Maghrib karena setan-setan berkeliaran. Tradisi kuno diteruskan dari zaman nenek moyang sampai di zaman sekarang.






III. SIKAP (EKSTREM) ORANG KRISTEN TERHADAP TRADISI, PENYEBABNYA, DAN TINJAUAN KRITIS TERHADAPNYA
Setelah mengerti definisi dan unsur-unsur tradisi, maka sekarang kita akan mengamati sikap orang “Kristen” secara umum terhadap tradisi.
A. Memberhalakan Tradisi
Sikap ini biasanya diambil oleh banyak orangtua bahkan “Kristen” yang terlalu memberhalakan tradisi. Mereka mungkin TIDAK eksplisit menyatakan diri bahwa mereka memberhalakan tradisi, tetapi dari sikap dan cara berpikir mereka menandakan bahwa mereka masih memberhalakan tradisi. Mengapa saya mengatakan “memberhalakan tradisi”? Karena memberhalakan tradisi adalah suatu pola pikir dan sikap yang meletakkan tradisi sebagai sumber kebenaran bahkan di atas kebenaran Alkitab. Meskipun secara mulut, orang ini mengakui “kedaulatan Allah” (hanya secara rasio/konsep), namun secara praktik hidup, tradisi dan dirinya sendirilah yang menjadi “tuhan” dalam hidupnya. Hidupnya bukan God-centered, namun tradition-centered. Mari kita melihat contoh praktisnya.

Bukan menjadi rahasia umum, seorang “Kristen” masih mengikuti tradisi dunia yang pergi ke kuburan pada waktu 40 hari atau 100 hari setelah kematian seseorang. Bahkan tidak menutup kemungkinan, seorang “Kristen” ikut sembahyang di depan foto orang (orangtua) yang sudah meninggal. Apa alasan mereka? Sungguh pragmatis: “menghormati orangtua/orang yang sudah meninggal.” Saya mendapati ada juga seorang “Kristen” yang aktif pelayanan di sebuah gereja Injili di Surabaya tiba-tiba datang ke tukang ramal. Selain itu, ada juga orang “Kristen” yang pada waktu mau membuka toko, memanggil mudin. Saya mendengar berita ini dari ayah saya. Ayah saya bertanya, mengapa dia memanggil mudin padahal dia Kristen? Dia menjawab bahwa karena kita tinggal di dunia, maka kita juga ikut kebiasaan dunia.

Di sisi lain, secara konsep, tradisi Tionghoa (mungkin tidak semua) mengajarkan bahwa orangtua itu segala-galanya. Tradisi yang mendarahdaging ini diteruskan (atau diindoktrinasi) kepada anak-anaknya dengan mengajar anak-anak mereka bahwa orangtua dan keputusan orangtua lah yang paling benar. Jika tidak dituruti, itu namanya kualat/membangkang (bahasa Mandarin: bu hao). Misalnya, dalam memilihkan pasangan hidup bagi anaknya, ada orangtua “Kristen” yang masih mengikuti tradisi dunia yang diturunkan dari nenek moyang, misalnya: bibit, bobot, dan bebet.[3] Mereka (bahkan “Kristen”) tidak lagi mementingkan unsur iman sebagai unsur terpenting, tetapi justru memperhatikan hal-hal yang kurang penting (bibit, bobot, dan bebet) sebagai hal yang terpenting. Andaikan saja ada lawan jenis yang menurut si orangtua itu memenuhi standar bibit, bobot, dan bebet yang baik, maka mereka akan segera mengawinkan anaknya, tanpa memperhatikan lagi iman dan tingkat kerohanian dari pasangan anaknya itu. Jika iman tidak lagi dipentingkan dan unsur-unsur sekuler yang dipentingkan (bahkan dimutlakkan), apakah orang ini masih layak disebut orang Kristen yang berarti pengikut Kristus??? Orang yang tidak mengajar anaknya untuk lebih taat kepada Allah dan firman-Nya daripada taat kepada perkataan dan kemauan orangtua masih layakkah disebut pengikut Kristus? Saya TIDAK mengatakan bahwa semua nasihat orangtua itu salah semua. Itu lebay. Meskipun ada unsur baik dan sedikit benar dari nasihat-nasihat bijaksana dari orangtua maupun dari generasi zaman dahulu (atau jadul), namun nasihat-nasihat mereka TIDAK layak diidentikkan dengan firman Tuhan dari Allah Sang Sumber Kebenaran. Jika kita mengaku diri Kristen (artinya: pengikut Kristus), maka tentunya kita mengikuti 100% apa yang Kristus ajarkan (bukan mengikuti 100% tradisi nenek moyang) dan taat mutlak kepada firman Allah (Alkitab). Oleh karena itu, nasihat-nasihat dari filsafat manusia berdosa harus diuji berdasarkan terang firman Tuhan (Alkitab).




B. Membuang Tradisi
Jika sikap ekstrem pertama adalah memberhalakan tradisi, maka sikap ekstrem kedua adalah membuang tradisi. Bagi orang Kristen ini, tradisi sudah tidak diperlukan. Beberapa orang Kristen picik, misalnya, mengidentikkan Imlek itu dengan tahun baru orang Tionghoa yang beragama Buddha atau Kong Hu Cu, oleh karena itu, mereka tidak mau merayakan Imlek. Orang ini juga tidak setuju jika Imlek dirayakan di dalam gereja. Alasan yang dia nyatakan kurang bisa dipertanggungjawabkan, yaitu karena gereja dan bahkan Tuhan Yesus tidak berkaitan dengan tradisi/kebudayaan. Tuhan Yesus tidak mengurusi Imlek. Di dalam hati kecil saya, saya langsung tertawa mendengar anggapan konyol yang tak bertanggungjawab ini! Jelas saja, Tuhan Yesus di Alkitab TIDAK mengurusi Imlek, karena Tuhan Yesus lahir di kalangan Yahudi yang tentu tidak merayakan Imlek. Gimana sich? Sebenarnya orang yang gembar-gembor membuang tradisi, khususnya Imlek adalah mereka yang tidak mengerti tuntas arti Imlek sebenarnya. Yang dia mengerti hanya Imlek plus mistisisme yang keliru. Padahal Imlek pada mulanya tidak ada kaitannya dengan mistisisme. Imlek itu adalah tahun baru yang dihitung berdasarkan kalender bulan (lunar calendar) yang berbeda dari tahun baru Masehi. Jika di gereja ada kebaktian tahun baru setiap tanggal 1 Januari, mengapa tahun baru Tiongkok yang dihitung berdasarkan kalender bulan dilarang dirayakan di gereja?

Yang lebih ekstrem dan parah, ada pemimpin gereja yang lebay sampai mengatakan bahwa karena naga itu simbol setan, maka guci-guci Tiongkok yang bergambar naga harus dipecahkan semua, karena ada setan di dalamnya. Tetapi herannya, orang yang sama TIDAK berani membakar uang kertas Singapura yang juga bergambar naga. Pemimpin gereja ini dengan konsep generalisasi lebay (makanya kita sebagai orang Kristen jangan gemar mengeneralisasi segala sesuatu, jika kita TIDAK mengerti dengan tuntas tentang sesuatu) menyamakan naga di Alkitab dengan naga Tiongkok. Padahal, mengutip Pdt. Rudie Gunawan, S.Th., naga Yunani berbeda dari naga Tiongkok. Ini membuktikan ketidakkonsistenan orang lebay. Orang Kristen seperti ini sebenarnya belum bijaksana dan dewasa dalam menyikapi makna tradisi. Yang lebih parahnya, ada pemimpin gereja yang berkata di atas mimbar, bahwa orang Kristen shio-nya shio Yesus. Ini tambah lebih parah, sudah tidak mengerti tradisi, ngawur pula mengaitkan tradisi dengan Tuhan Yesus. Hal ini justru membuktikan si pemimpin gereja menghina Tuhan Yesus dengan menyamakan Kristus dengan binatang-binatang dalam shio.






IV. SIKAP ORANG KRISTEN YANG BENAR TERHADAP TRADISI
A. Dasar Presuposisi
Di antara dua sikap ekstrem orang Kristen terhadap tradisi, maka apa yang harus kita lakukan? Di dalam mengambil sikap meninjau tradisi, saya harus tegas menentukan sikap, yaitu mengambil theologi Reformed sebagai satu-satunya pendekatan yang layak dipertanggungjawabkan dalam menyoroti masalah tradisi ini. Mengapa? Karena theologi Reformed dengan jelas dan setia berpegang teguh pada kedaulatan Allah dan superioritas Alkitab, namun TIDAK menghina tradisi. Mari kita menelusuri tinjauan kritis theologi Reformed terhadap tradisi ini. Di dalam dasar presuposisi kita di dalam meninjau tradisi, maka saya menyatakan 3 prinsip theologi Reformed menyoroti masalah tradisi, yaitu: kedaulatan Allah, wahyu umum dan wahyu khusus, dan superioritas dan otoritas Alkitab.

1. Kedaulatan Allah
Theologi Reformed yang berdasarkan Alkitab dengan jelas mengajar kita pentingnya: kedaulatan Allah. Artinya, kita percaya bahwa Allah dan firman-Nya itu Sumber Kebenaran. Allah itulah yang mengontrol seluruh dan setiap inci kehidupan kita, seperti apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. Ds. Abraham Kuyper bahwa tidak ada satu inci kehidupan Kristen di mana Kristus tidak bertakhta di atasnya (bdk. Rm. 11:36). Jangan berani mengklaim diri “Kristen”, jika kita belum berani (atau bahkan enggan) mengakui takhta Kristus di atas dan di dalam setiap inci kehidupan kita! Jika kita percaya akan kedaulatan Allah, maka secara otomatis, kita seharusnya:
a. Melihat segala sesuatu dari perspektif kedaulatan Allah
Orang Kristen yang sungguh-sungguh percaya akan kedaulatan Allah harus diikuti oleh komitmen untuk melihat segala sesuatu dalam hidupnya dari perspektif kedaulatan Allah. Artinya, kepercayaan itu mengakibatkan ia mampu dengan tajam melihat kondisi dunia dan solusinya dari perspektif kedaulatan Allah. Orang Kristen yang mampu melihat segala sesuatu berdasarkan perspektif kedaulatan Allah (dengan bantuan Roh Kudus) akan memiliki tingkat ketajaman yang luar biasa dan tidak akan dengan mudah ditipu oleh arus dunia yang menyesatkan. Hal ini bukan hanya secara teori saja, namun juga di dalam aplikasi. Seorang yang melihat segala sesuatu dari perspektif kedaulatan Allah akan memiliki tingkat ketajaman bukan hanya masalah rasio/konsep, namun juga sampai menembus hati manusia. Ia akan peka bahwa seseorang ini bukan saja tidak beres secara konsep, namun secara presuposisi dan hati juga tidak beres. Lalu, orang yang peka ini menjadikan orang lain yang disorotinya itu sebagai bahan introspeksi diri agar dia tidak separah orang yang dia soroti tersebut. Dengan kata lain, tatkala kita melihat segala sesuatu dari perspektif kedaulatan Allah, kita sebenarnya sedang melihat dan merasa seperti apa yang Allah lihat dan rasa. Hal ini bisa kita bangun tatkala kita percaya dengan sungguh-sungguh akan kedaulatan Allah dan tentunya membangun relasi yang intim dengan-Nya setiap hari.

b. Taat mutlak kepada Allah
Selain melihat segala sesuatu dari perspektif kedaulatan-Nya, kita juga dituntut untuk TAAT mutlak kepada Allah. Dewasa ini, kata ini begitu disalahmengerti dan dibuang. Konsep ini disalahmengerti karena konsep TAAT digabungkan dengan sosok Objek yang diktator dan kejam. Oleh karena itu, orang Kristen yang sudah diindoktrinasi konsep ngawur ini menjadi malas atau enggan TAAT. Konsep ini juga dibuang, mengapa? Karena zaman postmodern ini adalah zaman yang sarat dengan pragmatisme yang cenderung anti terhadap komitmen. Mengapa justru di zaman postmodern, free-sex berkembang pesat bahkan hampir menguasai banyak film yang diproduksi oleh Holywood? Karena zaman ini adalah zaman yang anti terhadap komitmen. Jangan heran, beberapa (atau mungkin banyak?) orang Kristen anti terhadap komitmennya untuk taat akan perintah-Nya. Mungkin secara bibir, mereka bisa dengan enaknya mengatakan TAAT kepada Tuhan, namun sangat disayangkan, dalam aplikasinya, banyak dari mereka lebih memilih taat kepada tradisi dunia. Jika ada orang “Kristen” seperti itu, maka tugas kita sebagai pengikut Kristus sejati adalah TIDAK meneladani mereka yang pragmatis, namun kembali kepada Alkitab yaitu TAAT mutlak kepada Allah. Iman Kristen tanpa ada unsur ketaatan sebagai bentuk komitmen iman bukanlah iman Kristen. Orang Kristen yang enggan (berkomitmen) untuk taat dengan segudang argumentasi patut diragukan iman Kristennya! Jika demikian, apa arti taat kepada Allah?
(1) Tidak membantah
Di titik pertama, kita harus mengerti bahwa TAAT kepada Allah berarti TIDAK MEMBANTAH kepada Allah. Orang Kristen yang di titik pertama gemar membantah akan apa yang Allah perintahkan sebenarnya menganggap diri cukup layak menggantikan Allah atau menempatkan diri sebagai penasihat Allah. Kepada orang ini, saya mengutip pernyataan Rasul Paulus di dalam Roma 9:20, “Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: "Mengapakah engkau membentuk aku demikian?"” Barangsiapa yang membantah Allah, dia sedang berdosa, karena dosa, menurut Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D., adalah mengganti/menggeser posisi Allah dengan posisi manusia berdosa. Kembali, ketika kita taat berarti kita tidak membantah. Artinya kita menyetujui 100% akan ketetapan dan firman-Nya, karena kita percaya bahwa Allah itu Sumber Kebenaran dan di dalam diri-Nya tidak ada kepalsuan. Ketika kita meletakkan iman kita pada Allah yang tidak mungkin bersalah, maka sebenarnya kita juga percaya akan ketetapan, perintah, dan firman-Nya yang tidak mungkin bersalah.

(2) Berkomitmen menjalankannya dengan bantuan dan pimpinan Roh Kudus
Taat bukan sekadar tidak membantah, tetapi disusul dengan tindakan selanjutnya yaitu berkomitmen menjalankannya dengan bantuan dan pimpinan Roh Kudus. Artinya, ada tindakan aktif melakukan apa yang Allah perintahkan. Tentu tindakan ini bukan tindakan yang langsung, tetapi proses, karena ketaatan adalah sebuah proses panjang yang Roh Kudus kerjakan di dalam hidup umat pilihan-Nya. Ketaatan tanpa peran Roh Kudus menghasilkan ketaatan palsu yang tidak berpusat kepada Allah. Hal ini jangan diekstremkan. Ada yang terlalu menekankan kedaulatan Allah dan karya Roh Kudus, lalu dia sendiri tidak berbuat apa-apa (pasif) atau mencari kambing hitam atas kesalahan yang dia buat sendiri, misalnya kesalahan yang dia buat ini sudah ditetapkan Allah atau Roh Kudus belum menegur dia untuk tidak berbuat salah. Misalnya, ada pendeta yang terlalu ketat menekankan kedaulatan Allah, lalu ketika dia terlambat bangun untuk nantinya mengajar di kampus, si pendeta mengatakan di depan kelas bahwa keterlambatannya ini pun sudah ditetapkan Allah. Ini yang saya sebut sebagai ekstrem. Di satu sisi, keterlambatannya ini mungkin diizinkan (atau dibiarkan?) Allah atau dengan kata lain, tentu Allah ikut campur tangan (entah itu aktif atau pasif), namun titik beratnya bukan pada Allah, tetapi pada keteledoran manusia. Kembali, ketaatan yang disertai dengan pimpinan Roh Kudus mengakibatkan kita yang terus-menerus taat kepada Allah bukan menjadi orang yang sombong, tetapi menjadi orang yang terus bersyukur karena ketaatan kita bukan karena hasil kerja keras kita, namun karena anugerah Allah melalui pimpinan Roh Kudus.


2. Allah yang Menyatakan Diri (Wahyu)
Allah yang berdaulat adalah Allah yang juga menyatakan diri-Nya kepada manusia. Mengapa demikian? Karena Dia ingin agar manusia ciptaan-Nya mengerti siapa yang telah menciptakan mereka. Di dalam theologi Reformed, penyataan diri Allah dibagi menjadi dua:
a. Wahyu umum (general revelation)
Wahyu umum adalah penyataan diri Allah secara umum kepada semua manusia, yaitu melalui alam, sejarah, dan hati nurani (conscience). Rasul Paulus secara implisit mengajar tentang penyataan diri Allah secara umum ini di dalam Roma 1:19-20, “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.” Nah, respons (mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong) atau manifestasi (mengutip perkataan Ev. Yuzo Adhinarta, Th.M., Ph.D. {Cand.}) terhadap wahyu umum Allah ini ada yang internal dan eksternal. Yang internal (respons/manifestasi) terhadap wahyu umum Allah dalam rupa hati nurani itu adalah agama (religion) dan yang eksternal terhadap wahyu umum Allah dalam rupa alam adalah kebudayaan (culture) dan ilmu pengetahuan/sains (science). Sejarah juga dipakai Allah untuk mengajar manusia belajar dari bijaksana-bijaksana dari zaman dahulu. Namun, yang menjadi permasalahannya adalah respons terhadap wahyu umum Allah ini dilakukan oleh manusia BERDOSA dan akibatnya, tidak menutup kemungkinan, semua respons ini pasti mengandung bibit dosa di dalamnya, meskipun TIDAK SEMUA. Kita melihat di dalam kebudayaan, agama, dan sains yang manusia ciptakan, selalu mengandung bibit dosa, meskipun tidak semua. Di sini, kita mendapatkan gambaran bahwa wahyu umum Allah dan respons terhadap wahyu umum Allah TIDAK pernah membawa manusia mengenal Allah dengan benar dan menyelamatkan.

b. Wahyu khusus (special revelation)
Selain kepada semua manusia, Allah sendiri menyatakan diri-Nya secara khusus hanya kepada umat pilihan-Nya melalui Tuhan Yesus Kristus (wahyu yang tidak tertulis) dan Alkitab (wahyu yang tertulis). Mengapa Allah harus menyatakan diri-Nya secara khusus hanya kepada orang-orang tertentu? Karena Ia melihat bahwa wahyu umum dan responsnya tidak memadai membawa manusia mengenal Dia dengan benar apalagi menyelamatkan manusia dari ikatan dosa, justru malahan mengakibatkan manusia makin berdosa. Di dalam Ibrani 1:1-2, penulis Ibrani mengajar kita tentang finalitas Kristus, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.” Tuhan Yesus Kristus diutus oleh Bapa di Sorga untuk menyelamatkan umat pilihan-Nya dari ikatan dosa, iblis, dan maut dengan cara mati menggantikan dosa umat-Nya, bangkit dari kematian, dan naik ke Sorga. Kematian-Nya di atas kayu salib bukan akhir dari kehidupan-Nya, tetapi mengakhiri kematian rohani umat pilihan-Nya. Kematian-Nya juga mengganti dosa umat pilihan-Nya, sehingga mereka yang ada di dalam Kristus tidak akan dihukum lagi (Rm. 8:1, “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.”). Kematian-Nya juga meredakan murka Allah kepada manusia akibat dosa manusia dan sekaligus merekatkan kembali hubungan Allah dengan manusia yang telah terputus akibat dosa. Kematian siapakah yang sanggup mengerjakan hal-hal agung seperti kematian Kristus? Semua pemimpin agama mati dan dikuburkan; mayat mereka bisa ditemukan. tetapi Kristus mati dan bangkit kembali; kuburan-Nya kosong membuktikan Dia sudah bangkit. Kematian Kristus itu kematian yang berkuasa (Yes. 53:5) dan kebangkitan-Nya pun membuktikan kemenangan-Nya yang mutlak atas kuasa dosa, iblis, dan maut yang membelenggu kita. Kebangkitan Kristus mengakibatkan iman dan pengharapan kita tidak sia-sia (1Kor. 15:14). Kebangkitan Kristus juga yang mengakibatkan masa depan kita di dalam Kristus memiliki tujuan yang jelas, karena kebangkitan-Nya membuktikan bahwa kuasa dosa, iblis, dan maut tidak akan mampu membelenggu kita lagi.

Lalu, semua firman Kristus dicatat oleh para rasul dan tulisan para rasul pun dicatat dan dibukukan, kemudian dikanonisasikan menjadi Alkitab yang terdiri dari 39 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru. Alkitab ini juga disebut wahyu khusus Allah yang tertulis, karena kita percaya bahwa hanya Alkitab saja yang sanggup menjelaskan karya Allah sejak sebelum dunia dijadikan sampai dunia ini berakhir. Dan Rasul Yohanes sendiri yang menerima wahyu dari Tuhan Yesus mengajar kita, “Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: "Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini."” (Why. 22:18-19) Ada yang menafsirkan bahwa kedua ayat ini hanya berlaku untuk kitab Wahyu saja. Sebenarnya, kalau kita mempercayai totalitas Alkitab, maka apa yang berlaku untuk kitab Wahyu juga berlaku untuk seluruh Alkitab. Karena Alkitab sudah final, maka orang Kristen yang beres seharusnya TIDAK lagi mempercayai buku atau agama atau hal-hal apa pun juga sebagai Sumber Kebenaran. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen yang mempercayai bahwa Alkitab itu telah final, maka kita TIDAK perlu mempercayai adanya “wahyu-wahyu” baru untuk melengkapi Alkitab. Jika masih ada “wahyu-wahyu” baru untuk melengkapi Alkitab, berarti Alkitab belum final. Jika Alkitab belum final dan perlu ditambah “wahyu-wahyu” baru, patut dipertanyakan, dari mana orang yang menerima “wahyu-wahyu” baru itu mengetahui bahwa dia menerimanya dari “Allah”? Lebih tajam lagi, jika isi “wahyu-wahyu” baru bertentangan dengan Alkitab, manakah yang dipilih oleh orang yang menerima “wahyu-wahyu” baru: Alkitab atau “wahyu-wahyu” baru? Jika dia tetap memilih Alkitab, mengapa ia masih percaya adanya “wahyu-wahyu” baru? Jika dia keras kepala memilih “wahyu-wahyu” baru, dia harus konsisten untuk membiarkan (dan menerima) orang lain yang juga menerima dan memegang teguh “wahyu-wahyu” baru yang berbeda dari yang dia terima (karena tidak ada standar baku). Jika demikian kenyataannya, standar kebenaran menjadi kacau, rancu, dan subjektif. Padahal Alkitab mengajarkan kebenaran objektif.


3. Superioritas dan Otoritas Alkitab
Setelah melihat bahwa Alkitab itu telah final, maka di poin ini, kita akan melihat lebih jelas lagi bahwa Alkitab yang telah final itu adalah satu-satunya Sumber Kebenaran yang berada di atas segala-galanya dan berotoritas mutlak di dalam iman dan kehidupan orang Kristen. Hal ini diringkaskan oleh Dr. Martin Luther, reformator Protestan dari Jerman dengan semboyan penting: Sola Scriptura (hanya Alkitab). Superioritas Alkitab berarti Alkitab berada di atas segala-galanya, yaitu di atas: agama, kebudayaan, tradisi, filsafat, sains, dan semua pengajaran dunia berdosa. Otoritas Alkitab berarti Alkitab menjadi satu-satunya Sumber Kebenaran yang berotoritas mutlak akan iman dan kehidupan orang Kristen.

Lalu, apa yang menjadi unsur-unsur dari superioritas dan otoritas Alkitab?
a. Alkitab adalah Sumber Kebenaran
Jika kita mempercayai dengan tegas dan mutlak bahwa Alkitab itu firman Allah yang tertinggi di atas segalanya dan berotoritas, maka di titik pertama, kita tentu mempercayai bahwa Alkitab itu Sumber Kebenaran. Alkitab adalah Sumber Kebenaran berarti Alkitab adalah satu-satunya sumber di mana kita menemukan dan menghidupi Kebenaran Allah (Truth). Iman kita yang didasarkan pada doktrin ini seharusnya membawa kita untuk lebih mencintai Alkitab daripada tradisi atau apa pun yang ada di dunia ini. Namun sayangnya, fakta berkata lain. Tidak sedikit orang Kristen yang lebih beriman kepada dukun, tradisi, filsafat, ajaran, dll dari dunia berdosa yang seolah-olah mengajarkan “kebenaran.” Mereka dengan bangganya masih menyandang nama “Kristen”, tetapi masih percaya takhayul. Ada lho orang “Kristen” (sebenarnya orang ini bekas non-Kristen kemudian menjadi “Kristen”, namun belum layak disebut pengikut Kristus) yang masih mempercayai bahwa orang yang shio ini tidak boleh menikah dengan orang yang shio ini. Jika demikian, apa yang menjadi sumber kebenaran bagi orang “Kristen” ini? Jelas bukan Alkitab! Bagaimana dengan kita? Sedalam apakah kita mencintai firman-Nya? Ataukah kita percaya Alkitab hanya di mulut saja? Atau yang lebih parah kita hanya memegang dan membawa Alkitab tatkala mau ke gereja saja? Biarlah kita mengintrospeksi diri kita masing-masing.

b. Alkitab adalah penguji
Alkitab yang adalah Sumber Kebenaran membawa kita untuk menjadikan Alkitab sebagai penguji. Artinya, dengan standar Alkitab, kita menguji segala sesuatu di bawah otoritas Alkitab. Sains, filsafat, agama, tradisi, kebudayaan, pengajaran, dan kehidupan kita semuanya berada di bawah pengujian Alkitab. Alkitab sebagai penguji mengakibatkan kita dengan rendah hati terus-menerus dikoreksi oleh Alkitab. Apa yang kita imani, pikirkan, katakan, dan lakukan terus-menerus diuji oleh Alkitab, sehingga kita bisa hidup makin serupa dengan Kristus. Namun, fakta berkata lain. Tidak sedikit orang “Kristen” yang TIDAK mau menguji segala sesuatu berdasarkan Alkitab. Bahkan ada juga orang “Kristen” yang bertindak sebaliknya, menguji Alkitab dengan standar psikologi, filsafat, tradisi, kebudayaan, kemauan (baca: nafsu), dll. Lebih tepatnya bukan menguji Alkitab, tetapi mencocokkan Alkitab atau lebih parah, menundukkan Alkitab di bawah semua hal dari dunia berdosa. Tidak usah heran, seorang anak pengerja sebuah gereja yang bertheologi Reformed dengan mudahnya memakai istilah agung dari Alkitab, yaitu “bergumul” untuk membenarkan tindakannya mencari pasangan hidup yang tidak seiman. Meskipun orang ini adalah anak pengerja gereja, tidak menjamin konsep dan aplikasinya beres. Orang ini jelas seorang yang menundukkan Alkitab di bawah nafsunya sendiri yang berdosa, lalu menggunakan istilah yang agung “bergumul”, supaya kedok/motivasi busuknya tidak dibongkar/ketahuan. Yang lebih parah lagi, orang ini masih berkeinginan “melayani” Tuhan di gereja. Saya hanya geleng-geleng kepala. Konsep dan aplikasinya sendiri sudah tidak karuan, lalu masih memberanikan diri melayani Tuhan? Di dalam benaknya, selama Alkitab itu cocok menurut nafsunya berdosa, maka Alkitab itu firman Allah yang berotoritas, namun jika Alkitab tidak cocok atau bahkan membatasi nafsunya yang berdosa, maka Alkitab itu tidak berotoritas sama sekali. Jika ada orang Kristen yang tidak mau menguji segala sesuatu berdasarkan Alkitab, patut diragukan apakah dia seorang pengikut Kristus? Sungguh mengerikan dan menjijikkan jika ada orang “Kristen” bahkan anak aktivis gereja bisa menghina Alkitab untuk dicocokkan dengan (nafsu) manusia berdosa.

c. Alkitab adalah penuntun
Alkitab yang menguji kita juga adalah Alkitab yang menuntun iman dan setiap langkah hidup kita agar hidup kita makin memuliakan Allah. Alkitab yang menuntun adalah Alkitab yang memberikan pengajaran dan penghiburan bagi iman dan kehidupan kita. Alkitab yang memberikan pengajaran adalah Alkitab yang mengajar perintah-perintah dan ketetapan-ketetapan-Nya untuk dilakukan oleh umat pilihan-Nya. Alkitab yang menghibur adalah Alkitab yang menghibur kita yang mengalami penderitaan, penganiayaan, dll. Alkitab menghibur kita melalui kekuatan-kekuatan yang Allah berikan kepada kita. Mazmur Daud bisa dipakai untuk menghibur kita tatkala kita ditimpa masalah, pencobaan, penderitaan, dll.

Alangkah indahnya ketika kita mengimani superioritas dan otoritas Alkitab, karena Alkitab membantu kita untuk makin mengenal Allah dan ketetapan-ketetapan-Nya bagi kita sebagai umat pilihan-Nya.




B. Aplikasi Konsep: Iman Kristen Menyoroti Tradisi
Setelah mengerti 3 prinsip dasar theologi Reformed meninjau tradisi, maka sebagai aplikasi, kita akan memikirkan 3 sikap, yaitu:
1. Menguji Diri dan Rendah Hati
Sebelum melakukan hal apa pun, biasakan diri kita menguji diri kita. Ketika kita mau menyoroti masalah tradisi dari perspektif iman Kristen, ujilah diri kita, apakah kita benar-benar pengikut Kristus yang taat mutlak akan Allah dan firman-Nya? Jika belum, biarlah Roh Kudus terus-menerus memproses hidup kita agar kita makin rendah hati mau taat mutlak akan Allah dan firman-Nya. Namun, jika kita bersikeras untuk TIDAK mau taat akan Allah dan firman-Nya, berhati-hatilah terhadap sikap keras kepala Anda, mungkin Anda bukan termasuk umat pilihan-Nya. Kembali, menguji diri dan rendah hati bagi saya adalah tahap dasar/awal dari sikap meninjau tradisi dari perspektif iman Kristen. Meninjau tradisi dari perspektif iman Kristen bukan diawali dengan segudang doktrin, tetapi diawali dari sikap hati. Sikap hati yang beres dan murni menghasilkan tindakan yang murni. Orang Kristen yang dari hatinya sudah melawan Alkitab jangan mimpi untuk diajak meninjau tradisi dari iman Kristen. Sedangkan orang Kristen yang dari titik awal sudah rendah hati mau diajar oleh firman, maka ia baru layak meninjau tradisi dari perspektif iman Kristen.

2. Menempatkan Kedaulatan Allah dan Alkitab di atas Segala-galanya
Orang Kristen yang sudah menguji diri dan rendah hati barulah maju ke langkah berikutnya, yaitu berkomitmen menempatkan kedaulatan Allah dan Alkitab di atas segala-galanya. Menempatkan kedaulatan Allah di atas segala-galanya berarti Allah yang berdaulat kita letakkan sebagai Raja dan Tuhan dalam hidup kita. Kita mempersilahkan Pribadi Allah berkuasa mutlak dalam hidup kita. Tentu, kita bisa melakukan hal ini karena Roh Kudus yang terlebih dahulu mencerahkan dan memimpin kita. Baik Pdt. Dr. Stephen Tong, Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div., dan Pdt. Erastus Sabdono, D.Th. (GBI Rehobot/Rehobot Ministry, Jakarta) sama-sama mengajar bahwa orang Kristen terlalu banyak mengaku Yesus hanya sebagai Juruselamat, namun bukan sebagai Tuhan. Akibatnya, orang Kristen enggan untuk diminta berkomitmen dan setia kepada-Nya. Baginya, Kekristenan hanya sekadar agama yang tidak ada bedanya dengan agama-agama lainnya. Jika demikian, layakkah orang ini disebut pengikut Kristus? Bagaimana dengan kita? Siapa/apa yang menjadi Tuhan dalam hidup kita? Benarkah hanya Kristus yang menjadi Tuhan dalam hidup kita? Atau tradisi, kebudayaan, konsep nenek moyang, dan hal-hal fenomenal lain yang menjadi “Tuhan” dalam hidup kita? Biarlah kita menguji diri kita sekali lagi. Jika kita masih belum menjadikan Kristus sebagai Tuhan dalam hidup kita, segeralah untuk sadar dan bertobat, lalu berdoa meminta agar Ia mengampuni segala dosa kita dan undanglah Kristus untuk menjadi Raja dan Tuhan dalam hidup kita. Ingatlah akan apa yang firman Tuhan katakan melalui Rasul Paulus di dalam Kolose 2:6-8, “Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur. Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.” “Ajaran turun-temurun” ini dalam King James Version diterjemahkan tradition (tradisi), dalam International Standard Version (ISV) dan English Standard Version (ESV) diterjemahkan human tradition (tradisi manusia), dalam Analytical-Literal Translation (ALT) diterjemahkan the traditions of people (tradisi orang-orang). Tradisi yang dimaksud di ayat ini tentu berkaitan dengan tradisi Yahudi, namun bisa diaplikasikan juga di dalam tradisi lain di luar Yahudi. Rasul Paulus melalui ayat ini hendak mengajar bahwa kita yang telah menerima Kristus Yesus sebagai Tuhan, hendaklah hidup tetap di dalam Dia, berakar di dalam Dia, dibangun di atas Dia, bertambah teguh di dalam iman yang telah diajarkan kepada kita, dan hati kita dipenuhi oleh rasa syukur karena anugerah Allah tersebut. Sebagai konsekuensinya, hendaklah kita tidak mudah ditawan oleh filsafat kosong dan palsu menurut tradisi manusia dan roh-roh (prinsip-prinsip) dunia. Dengan kata lain, orang Kristen yang telah beriman kepada Kristus hendaknya TIDAK lagi diikat oleh ajaran filsafat dunia dan tradisi manusia berdosa.

Menempatkan Alkitab di atas segala-galanya berarti membiarkan Alkitab terus mengoreksi dan menghakimi segala sesuatu yang ada di dalam diri kita. Jika ada konsep kita yang salah, bukan Alkitab yang kita kritik, namun kitalah yang harus mengkritik diri kita sendiri. Ini yang menjadi penyakit sebagian besar orang (bahkan “Kristen”): enggan mengkritik diri. Mengapa ini menjadi penyakit? Lagi-lagi karena ini dipengaruhi oleh tradisi manusia berdosa yang sudah diindoktrinasi bahwa manusia itu baik, hebat, pintar, dll, akibatnya banyak manusia makin lama makin enggan menerima kritikan.

Memang tidak mudah melakukan poin kedua, apalagi yang melakukan poin kedua ini adalah banyak orang Tionghoa yang sudah terlalu banyak dipengaruhi oleh tradisi Tionghoa yang begitu mendarahdaging, kental, kolot, dan kaku. Meskipun tidak mudah, percayalah, Roh Kudus akan memberi kekuatan ekstra kepada kita yang termasuk umat pilihan-Nya untuk makin taat akan Allah dan firman-Nya.

3. Alkitab Menguji Tradisi: Menghargai dan Menolak
Setelah kita menempatkan kedaulatan Allah dan Alkitab di atas segala-galanya, maka kita dituntut untuk membiarkan Alkitab menguji tradisi. Langkah ini mungkin merupakan langkah tersulit bagi sebagian besar orang Kristen yang berlatar belakang Tionghoa. Mengapa? Karena biasanya banyak orang Kristen Tionghoa masih tidak rela membiarkan Alkitab menguji tradisi, mungkin juga karena terlalu banyak diikat oleh tradisi Tionghoa. Sudah seharusnya orang Kristen Tionghoa bertobat dan dengan rendah hati membiarkan kebenaran Alkitab menguji tradisi. Kita membiarkan kebenaran Alkitab menguji tradisi karena kita percaya bahwa wahyu khusus memiliki otoritas lebih tinggi daripada wahyu umum Allah dan respons terhadap wahyu umum Allah.

Lalu, bagaimana Alkitab menguji tradisi? Alkitab menguji tradisi dimulai dari sikap Tuhan Yesus dalam menyoroti tradisi. Tuhan Yesus waktu inkarnasi tetap menghargai tradisi, yaitu disunat pada hari kedelapan (untuk menggenapi Taurat), namun di sisi lain, Ia tetap TIDAK mau memberhalakan (bahkan menegur kesalahan) tradisi Yahudi yang menambahi Taurat. Dari sini, kita belajar dua prinsip penting peran Alkitab menguji tradisi, yaitu:
a. Alkitab menghargai tradisi
Di poin pertama, Alkitab menghargai tradisi. Artinya, ada beberapa pengajaran di dalam tradisi yang baik yang sesuai dengan Alkitab. Apa kriterianya? Jika tradisi dan pengajaran di balik tradisi itu tidak membawa kita menyimpang dari Allah dan kebenaran-Nya. Misalnya, di dalam merayakan Imlek, tradisi berkumpul bersama keluarga bukanlah tradisi yang buruk apalagi melawan Alkitab. Tradisi bersekutu sesuai dengan Alkitab.

b. Alkitab menolak tradisi
Di sisi lain, Alkitab yang menghargai tradisi juga adalah Alkitab yang menolak tradisi. Artinya, jika ada tradisi dan pengajaran di balik tradisi yang membawa kita menyimpang dari Allah atau mengutuki-Nya, maka Alkitab melarang dengan tegas dan keras untuk menjalankan tradisi tersebut. Misalnya, pada waktu Imlek, ada tradisi sembahyang atau sebelum/sesudah Imlek, ada tradisi pergi ke kuburan untuk menyembayangi orangtua/orang yang sudah meninggal. Apakah ini termasuk tradisi yang sesuai dengan Alkitab? TIDAK! Alkitab menentang penyembahan model ini, karena hanya Allah saja yang patut disembah (Kel. 20:3)!






V. PENDIDIKAN KRISTEN VS TRADISI
Setelah memikirkan bagaimana iman Kristen menyoroti tradisi, maka kita perlu memikirkan satu aspek penting lagi yaitu pentingnya peranan pendidikan Kristen melawan tradisi manusia berdosa.
A. Sifat Tradisi dan Pendidikan
Di poin II, kita telah melihat bahwa sifat tradisi adalah estafet, artinya tradisi itu diturunkan dari generasi ke generasi. Hal serupa juga terjadi dengan dunia pendidikan. Pendidikan secara tidak langsung sebenarnya bersifat estafet, karena apa yang telah ditanam oleh orangtua kepada anak sejak kecil mempengaruhi konsep si anak dan anak itu ketika tumbuh menjadi orangtua juga mengajar kepada anaknya apa yang telah didapatkannya dari orangtuanya dahulu, begitu seterusnya. Jika kita menelusuri akar dari sifat estafet ini sebenarnya adalah konsep dasar pertama yang disebut oleh Pdt. Sutjipto Subeno sebagai dekrit pertama (first decree). Artinya, sifat estafet ini berakar dari konsep dasar pertama yang dianut oleh nenek moyang kita zaman dahulu yaitu DOSA. Dosa yang berarti melawan Allah atau memakai istilah Dr. Cornelius Van Til adalah mengganti posisi Allah dengan posisi kita mengakibatkan dari generasi ke generasi, tradisi dan pendidikan berjalan terus menuju kepada kebinasaan baik secara sadar maupun tidak sadar. Adakah jalan keluar dari kebuntuan ini? Hanya iman Kristen yang mampu menawarkan solusi jitu dari kebuntuan ini, yaitu pengorbanan Kristus di kayu salib dan kebangkitan-Nya memulihkan kebuntuan ini. Iman Kristen dengan konsep pendidikan Kristen yang berpusat kepada kedaulatan Allah lebih tajam lagi menyediakan solusi jitu untuk meminimalkan pengaruh tradisi manusia berdosa.




B. Pendidikan Kristen: Meminimalkan Pengaruh Tradisi Manusia Berdosa
Pendidikan Kristen yang berpusat kepada kedaulatan Allah menyediakan satu-satunya solusi jitu meminimalkan pengaruh tradisi manusia yang berdosa. Sebelum kita membahas isi pendidikan Kristen yang berpusat kepada kedaulatan Allah, maka kita perlu mengerti sifat pendidikan Kristen dikontraskan dengan sifat tradisi. Setelah itu, baru kita memahami kuasa pendidikan Kristen yang beres meminimalkan pengaruh tradisi manusia berdosa.
1. Sifat Pendidikan Kristen Vs Sifat Tradisi
Di titik pertama, kita harus mengerti bahwa untuk meminimalkan pengaruh tradisi yang bersifat estafet, maka kita perlu melawannya dengan pendidikan Kristen. Jika orangtua dunia (dan “Kristen”) menanamkan konsep dan tradisi kepada anak mereka sejak kecil, maka orangtua Kristen sejati juga harus menanamkan konsep cinta Tuhan kepada anak. Pertentangan ini harus ada (namun sekali lagi, kita bukan mengajar anak untuk tidak menghargai tradisi lho), karena di dalam Kekristenan, kita berperang bukan melawan orang, namun melawan roh-roh jahat di udara. Rasul Paulus di dalam Efesus 6:11-12 mengajar kita, “Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis; karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.” Anak-anak Tuhan harus berperang melawan setan (dan anak-anaknya) dan percayalah, kemenangan ada di pihak anak-anak Tuhan, karena Kristus telah menang mengalahkan setan. Kemenangan Kristus terhadap setan menjamin kemenangan kita mengalahkan tipu daya iblis dan para kroninya yang mencoba meracuni dunia dengan tradisi manusia berdosa. Bersiapkah kita masuk ke dalam peperangan ini?


2. Sifat Pendidikan Kristen
Setelah kita melihat pertentangan pendidikan Kristen dengan tradisi, maka mari kita melihat sifat pendidikan Kristen yang berkuasa itu:
a. Berpusat kepada Allah
Sifat pendidikan Kristen pertama harus berpusat kepada Allah. Ini tentu bertolak belakang dengan sifat tradisi di atas yang berpusat kepada manusia. Pendidikan Kristen yang berpusat kepada Allah berarti menempatkan Allah di atas segala sesuatu dan di setiap bidang ilmu. Di dalam pendidikan keluarga, orangtua Kristen yang cinta dan takut akan Tuhan menanamkan konsep cinta Tuhan kepada anak-anak mereka dari kecil, sehingga anak-anak nantinya tumbuh makin cinta Tuhan. Ingatlah Amsal 1:7, “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Di ayat ini, raja Salomo yang terkenal dengan hikmatnya mengajar kita bahwa justru takut akan Tuhan adalah permulaan segala pengetahuan dan orang bodoh menghina hikmat dan didikan yang bersumber dari takut akan Tuhan. Namun entah mengapa, konsep takut akan Tuhan dihilangkan dalam pendidikan sekuler zaman sekarang dengan argumentasi klise, “religion dan science tidak ada hubungannya.” Saya heran, mengapa dualisme yang diimpor dari Plato bisa menjadi “iman” orang Kristen di dalam hal pengetahuan?

Bersyukur sekali Tuhan mendidik orangtua Israel zaman dahulu agar mereka mengajar anak-anak untuk mengasihi Tuhan. Bacalah Ulangan 6:4-7, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Keempat ayat ini sudah cukup membuktikan bahwa Tuhan menginginkan pendidikan yang berpusat kepada Allah saja. Bandingkan keempat ayat ini dengan realitas dunia kita saat ini. Apa yang orangtua (bahkan “Kristen”) ajarkan kepada anak dari kecil? Benarkah mereka mengajar anak untuk cinta dan takut akan Tuhan? Ataukah mereka mengajar anak-anak dengan konsep manusia berdosa, yaitu: atheisme, materialisme, dan pragmatisme? Khusus banyak orangtua “Kristen” Tionghoa, apa yang mereka ajarkan? Benarkah mereka mengajar anak-anak mereka untuk mencintai Tuhan dan menaati kehendak-Nya saja? Ataukah mereka mengajar anak-anak mereka untuk mencintai orangtua saja dan menaati kehendak orangtua saja? Apakah kredo/pengakuan iman mereka sesuai dengan Katekismus Singkat Westminster pasal 1 yaitu tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya? Ataukah kredo mereka yaitu tujuan utama manusia (anak-anak) adalah memuliakan orangtua dan menikmati mereka selama-lamanya? Biarlah ini menjadi refleksi khusus bagi para orangtua Kristen Tionghoa, apalagi yang berani menyebut diri bertheologi Reformed.

Pendidikan sekolah pun juga harus ikut berpartisipasi mendidik dan mengajar anak didik sejak kecil tentang takut akan Tuhan. Namun sayangnya, mengutip perkataan Pdt. Sutjipto Subeno, hampir tidak ada guru di sekolah yang mengklaim diri “Kristen” yang mengajar anaknya untuk menggumulkan panggilan hidupnya di hadapan Tuhan. Saya mengaminkan karena saya sendiri mengalaminya sendiri. Bahkan yang lebih parah, di sebuah sekolah “Kristen” terkenal di Surabaya, ada seorang “hamba Tuhan” yang ketika berkhotbah di dalam renungan setiap hari Senin tidak menyebut nama Yesus satu kalipun dari doa awal, khotbah, sampai doa akhir. Namun herannya, orang ini bisa diundang berkhotbah di sebuah sekolah “Kristen”, aneh bukan? Itulah wajah nyata sekolah “Kristen” di abad postmodern ini. Jika pendidikan “Kristen” di zaman ini begitu rusak, bagaimana kita bisa menjadi garam dan terang bagi dunia? Biarlah pendidikan Kristen baik di rumah maupun sekolah benar-benar berpusat kepada kedaulatan Allah demi kemuliaan-Nya agar anak-anak kita dari kecil tidak diracuni oleh tradisi-tradisi yang dalam beberapa hal melawan Allah.

b. Berpusat kepada Alkitab
Selain berpusat kepada Allah, pendidikan Kristen harus berpusat kepada Alkitab. Artinya, Alkitab harus berperan mutlak di dalam setiap aspek pendidikan. Orangtua Kristen yang beres harus mendidik anak-anaknya untuk mencintai dan takut akan Allah melalui Alkitab. Mereka harus membimbing anak-anaknya untuk membaca dan mempelajari Alkitab agar anak-anak dari kecil mengerti firman Tuhan untuk diaplikasikan. Ketika beranjak remaja, orangtua Kristen pun tetap perlu mengajar anak untuk menyoroti segala sesuatu dari perspektif Alkitab. Jika dari kecil, anak sudah dididik untuk membaca Alkitab dan melihat segala sesuatu dari perspektif Alkitab, maka anak itu bertumbuh makin dewasa makin cinta Tuhan dan makin menjadi berkat bagi sesamanya. Inilah salah satu cara orang Kristen menjadi garam dan terang bagi dunia kita yang berdosa ini.

Pendidikan sekolah pun TIDAK luput dari sifat pendidikan Kristen yang berpusat kepada Alkitab. Para guru yang cinta Tuhan harus membimbing anak didik untuk melihat segala hal/bidang ilmu dari perspektif Alkitab. Ketika mengajar sejarah dan di dalam pelajaran sejarah diajarkan teori evolusi, guru Kristen yang saleh harus mengajar anak didiknya bahwa meskipun pelajaran sejarah mengajarkan teori evolusi, namun Alkitab mengajar bahwa manusia diciptakan oleh Allah sesuai dengan gambar dan rupa-Nya. Bersyukur sekali saya menemukan sosok seorang guru Kristen yang saleh seperti ini ketika saya menempuh pendidikan sekolah (saya lupa, apakah SMP atau SMA) di sebuah sekolah Kristen terkenal di Surabaya. Guru ini adalah guru sejarah yang saya dengar dengan berani menekankan bahwa Allah menciptakan manusia, bukan manusia berasal dari kera, dll.






VI. KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Setelah merenungkan dan mengerti tentang iman Kristen menyoroti tradisi, apa yang menjadi sikap kita selanjutnya? Apakah kita menjadi seorang yang lebay: memberhalakan tradisi atau sebaliknya membuang tradisi sama sekali? Kekristenan yang sehat mengajarkan keseimbangan dan posisi paradoks, yaitu menempatkan Alkitab dan kedaulatan Allah untuk menguji tradisi: menerima dan menghargai tradisi selama tidak membawa kita menyimpang dari Allah dan firman-Nya, namun sebaliknya menolak dan melawan tradisi yang membawa kita menjauh dari Allah dan firman-Nya.


Bagaimana dengan kita? Mungkin bagi kita, pemikiran ini masih tergolong sulit, tetapi tidak apa-apa, saya terus mendoakan agar Roh Kudus terus-menerus mencerahkan hati dan pikiran kita untuk makin taat kepada Allah dan firman-Nya demi hormat dan kemuliaan nama Allah Trinitas. Sebagai penutup, saya diingatkan berkali-kali oleh perkataan Pdt. Sutjipto Subeno yang mengutip Yesaya 43:7, “semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang Kubentuk dan yang juga Kujadikan!”

Biarlah setiap inci kehidupan kita BUKAN dikendalikan oleh tradisi manusia berdosa, namun oleh Allah dan kebenaran firman-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.
Catatan Kaki:
[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Tradition
[2] Ibid.
[3] Berbicara mengenai unsur bibit, bobot, dan bebet, ada dua pandangan ekstrem: menerima mentah-mentah tanpa mengujinya (dianggap mutlak) dan menolak mentah-mentah. Kekristenan yang seimbang dan bertanggung jawab melihat bahwa bibit, bobot, dan bebet merupakan salah satu bijaksana orangtua yang patut dipertimbangkan, NAMUN saran tersebut TIDAK boleh DIMUTLAKKAN atau DIIDENTIKKAN setara dengan Alkitab.