19 April 2010

Eksposisi 1 Korintus 5:6-8 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 5:6-8

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 5:6-8



Di bagian sebelumnya Paulus sudah mengambil sikap tegas terhadap orang yang melakukan percabulan terus-menerus (5:1), yaitu menyerahkan dia ke dalam tangan iblis (5:4-5). Tindakan ini terpaksa diambil Paulus karena jemaat Korintus tidak mau menjauhkan orang itu dari tengah-tengah mereka (5:2b), bahkan mereka membanggakan hal itu (5:2a). Nah, di 5:6-8 Paulus memberikan alasan atau dasar mengapa ia melakukan disiplin gereja yang keras seperti ini.

Alasan yang dia berikan dikemukakan dalam bentuk metafora yang cukup dikenal oleh jemaat Korintus. Satu dari metafora umum (5:6), sedangkan yang lainnya berasal dari konteks hari raya orang Yahudi (5:7-8). Melalui dua metafora ini Paulus ingin menyatakan bahwa seorang pezinah dapat membawa pengaruh buruk bagi seluruh tubuh Kristus (5:6). Di samping itu, orang Kristen memang ibarat roti yang tidak beragi, sehingga harus menghilangkan semua ragi yang ada dalam diri mereka (5:7-8).


Ragi yang Sedikit Dapat Mengkhamirkan Seluruh Adonan (ay. 6)
Dalam teks Yunani, ayat ini dimulai dengan kata “tidak baik”, seakan-akan Paulus ingin menekankan keburukan dari sikap menyombongkan dosa di ayat 2a (“tidak baik kesombonganmu itu!”). Jika kita mengamati seluruh argumen Paulus di 5:1-13, maka kita akan melihat bahwa yang ditekankan Paulus memang bukan dosa percabulan yang dilakukan, tetapi sikap jemaat Korintus yang salah terhadap dosa itu. Paulus tidak hanya mengatakan bahwa kesombongan itu salah (5:2), tetapi juga tidak baik (5:6). Kata “baik” di sini sebaiknya tidak dipahami dalam konteks moral (salah atau benar), tetapi nilai atau manfaat dari tindakan tersebut. Hal ini didukung oleh pemakaian kata “baik” di 7:1 (“adalah baik bagi laki-laki kalau ia tidak kawin”), 7:8 (“orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda...baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku”), 7:26 (“adalah baik bagi manusia untuk tetap dalam keadaannya”).

Mengapa kesombongan jemaat Korintus tidak baik? Karena kesombongan itu dapat membawa pengaruh yang buruk bagi seluruh jemaat. Hal ini diungkapkan Paulus melalui sebuah ungkapan “sedikit ragi dapat mengkhamirkan seluruh adonan”. Alkitab versi Bahasa Indonesia Sehari-hari memberi keterangan bahwa ungkapan ini adalah sebuah peribahasa. Sekalipun kata “peribahasa” tidak muncul dalam teks Yunani, tetapi apa yang dikatakan Paulus memang sebuah peribahasa.

Peribahasa di 5:6 tampaknya sangat terkenal. Pertanyaan retoris “tidak tahukah kamu...?” di ayat ini menyiratkan bahwa jemaat pasti mengetahuinya. Beberapa sumber kuno juga memberi bukti bahwa peribahasa ini dapat ditemukan dalam tulisan Yunani-Romawi maupun Yahudi. Dalam Alkitab peribahasa ini sempat disinggung beberapa kali. Yesus menasehatkan murid-murid untuk mewaspadai ragi orang Farisi (Mat. 16:6//Mrk. 8:15). Paulus pun menggunakan peribahasa ini di suratnya yang lain (Gal. 5:9). Philo – seorang penafsir Yahudi terkenal pada abad ke-1 - memakai gambaran ragi untuk kesombongan, karena ragi dapat membuat roti menjadi mengembang. Nabi Hosea pernah memakai gambaran yang sama untuk dosa perzinahan.

Ragi yang dimaksud Paulus bukanlah ragi yang baru yang biasanya dipakai untuk membuat roti (bahasa Inggris “yeast”, kontra NIV). Kata Yunani zume merujuk pada sisa adonan yang dicampur untuk membuat adonan yang baru (bahasa Inggris “leaven”, bdk. ASV/KJV/RSV/NASB). Sering kali adonan seperti ini dicampur dengan jus tertentu, sehingga menimbulkan rasa sedikit asam. Dari sisi kebersihan, campuran sisa adonan yang lama dapat membawa pengaruh buruk bagi kesehatan.

Melalui peribahasa di atas Paulus mengajarkan bahwa sedikit ragi (satu orang yang berbuat dosa) dapat mengkhamirkan seluruh adonan (seluruh jemaat). Bagaimana tindakan satu orang dapat membawa pengaruh buruk bagi seluruh jemaat? Paulus sangat mungkin memikirkan dua hal: (1) tindakan tersebut menyebabkan gereja kehilangan kesaksiannya, apalagi kalau hal itu sudah diketahui oleh banyak orang (5:1); (2) tindakan ini dapat menyebabkan orang lain tergoda untuk menirunya (15:33).


Semua Ragi Harus Dibersihkan Supaya Ada Adonan Baru yang Tanpa Ragi (ay. 7-8)
Dari peribahasa umum di ayat 6, Paulus sekarang berpindah ke metafora dari hari raya orang Yahudi yang masih berkaitan dengan persoalan ragi, yaitu Hari Raya Roti Tidak Beragi dan Paskah. Dua hari raya ini memang saling berkaitan. Pada saat bangsa Israel keluar dari Mesir mereka harus menyembelih domba untuk dioleskan di pintu rumah mereka sehingga dilewati (passover atau Paskah) oleh malaikat kematian dan mereka harus cepat-cepat meninggalkan tanah Mesir sambil memakan roti tidak beragi (Kel. 12). Dalam Markus 14:12 waktu penyembelihan domba Paskah disebut sebagai hari pertama Perayaan Roti Tidak Beragi.

Sebelum Hari Raya Roti Tidak Beragi dimulai, semua orang Israel harus membersihkan seluruh rumah mereka dari segala macam sisa ragi (Kel. 12:15, 18-19; 13:7; Ul. 16:4). Jika ada yang melanggar perintah ini, maka orang itu akan dilenyapkan dari tengah bangsanya. Sebuah tradisi bahkan menyebutkan tindakan ekstrim orang Yahudi yang sampai membersihkan lubang atau rumah tikus untuk memastikan tidak ada ragi dalam rumahnya. Walaupun kebenaran dari tradisi ini dapat dipertanyakan, namun penghormatan orang Yahudi terhadap hari raya ini tidak dapat disangsikan lagi. Hal inilah yang dipakai Paulus untuk menyampaikan pendapatnya di 5:7a.

Walaupun di ayat 7a Paulus mengatakan “buanglah ragi yang lama itu, supaya kamu menjadi adonan yang baru”, tetapi di ayat 7b dia dengan segera menambahkan “karena kamu memang tidak beragi”. Tambahan ini sangat penting. Orang percaya harus membuang ragi yang lama bukan supaya menjadi adonan baru, tetapi mereka harus membuang ragi yang lama karena mereka memang adalah tidak beragi. Jika ini tidak dipahami maka akan muncul kesan bahwa hidup kita yang tanpa ragi adalah karena usaha kita menyingkirkan ragi yang lama. Ini jelas salah! Di akhir ayat 7 Paulus mengatakan bahwa darah Kristuslah yang menjadi dasarnya.

Melalui karya penebusan Kristus orang percaya dikuduskan (6:11), sehingga status mereka berpindah dari orang berdosa menjadi orang kudus (1:2), bahkan menjadi bait Allah yang kudus (3:16-17). Karena kita sudah dikuduskan oleh darah Kristus, maka tidak boleh ada ragi sedikit pun dalam hidup kita.

Dengan menyebut Kristus sebagai anak domba Paskah, Paulus mengajarkan bahwa Paskah Kristiani berakar dari tradisi Paskah Yahudi pada waktu mereka dilepaskan dari kematian karena darah domba yang dioleskan di pintu rumah mereka. Kalau di peristiwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir Paskah lebih dipahami dalam konteks keselamatan, maka pada zaman selanjutnya Paskah juga dimengerti dalam konteks penyucian dosa (Yeh. 45:18-22).

Pada zaman PB Yesus disebut sebagai anak domba Allah (Yoh. 1:29, 36). Kematian-Nya pada saat Paskah mempertegas bukti bahwa penebusan-Nya berfungsi sama dengan (atau bahkan melebihi) darah domba Paskah. Yesus sendiri pada waktu merayakan Paskah mengatakan bahwa darah-Nya adalah darah perjanjian yang baru (Mrk. 14:24).

Dengan menghubungkan pembuangan ragi dengan darah Kristus, Paulus telah mengajarkan sesuat yang penting: theologi harus menjadi dasar bagi etika. Agama lain menekankan bahwa etika (kebaikan atau kesalehan) adalah lebih penting atau dasar dari theologi (keselamatan).

Dalam Kekristenan urutannya dibalik. Kita berbuat baik (etika) karena sudah diselamatkan (theologi). Sama seperti jemaat Korintus harus membuang ragi yang lama karena mereka memang roti yang tidak beragi.

Di 5:8 Paulus memberi nasehat agar jemaat berpesta dengan ragi yang baru. Kata “berpesta” di ayat ini berbentuk present tense, sehingga menunjukkan tindakan yang terus-menerus. Karya Kristus memang harus terus menjadi fokus dalam hidup kita. Kita bukan hanya mengingatnya, tetapi juga merayakannya. Ide tentang pesta mengindikasikan adanya sukacita. Sukacita kita bukanlah ketika melihat orang lain melakukan suatu dosa (bdk. 5:2). Sukacita kita bersumber dari karya Kristus. Dengan selalu merayakan karya Kristus kita akan dikuatkan untuk menjauhi dan tidak berkompromi dengan dosa. Sayangnya, tidak semua orang percaya merasa sukacita dengan status mereka yang kudus di dalam Kristus. Mereka mengangga ini sebagai sebuah beban, padahal Yesus sendiri mengatakan bahwa kuk yang Dia pasangkan di pundak kita adalah enak dan ringan (Mat. 11:29-30). Dia bahkan menawarkan kelegaan bagi mereka yang letih dengan beban yang ditaruh orang Farisi melalui ajaran agama mereka (Mat. 11:28). Orang percaya sering kali merasa tidak nyaman dengan status mereka karena kedagingan mereka merasa tidak diuntungkan. Mereka harus mengalah (bukan mengalahkan), melayani (bukan dilayani), dsb. Pesta yang dimaksudkan oleh Paulus di ayat 8a harus menjadi pesta yang tanpa ragi (ay. 8b).

Sama seperti pada Hari Raya Roti Tidak Beragi semua ragi harus disingkirkan, demikian pula kita harus membuang semua ragi yang lama, yaitu kejahatan (kakia) dan keburukan (poneria). Dua kata ini sebenarnya sinonim, namun dipakai bersama-sama untuk memberi penekanan bahwa semua dosa (bukan hanya perzinahan) harus dibuang dari hidup kita. Kita tidak boleh menyimpan dosa tertentu yang masih kita sukai.

Di akhir ayat 8 Paulus menambahkan bahwa pesta ini harus menggunakan roti yang tidak beragi, yaitu kemurnian (eilikrineia) dan kebenaran (aletheia). Kata eilikrineia hanya muncul dalam surat Paulus kepada jemaat di Korintus. Kata ini selalu memiliki arti “kemurnian hati” dalam arti motivasi yang benar (semua versi Inggris memakai kata “sincerity”). Kata aletheia sering muncul dalam tulisan Paulus dan merujuk pada kebenaran Injil atau sikap hidup yang sesuai dengan kebenaran Injil (2Kor. 4:2; 6:7; 13:8). Dengan menggabungkan eilikrineia dan aletheia Paulus tampaknya ingin menegaskan bahwa hidup kita harus benar-benar bersih dari semua ragi, baik motivasi kita maupun tindakan kita.

Dalam sebuah persekutuan orang ercaya (jemaat atau gereja) prinsip ini juga tetap perlu dipegang. Sebagai tubuh Kristus kita tidak boleh berkompromi dengan dosa apa pun yang ada dalam gereja. Kita harus berdukacita karena dosa tersebut. Kita perlu membiasakan diri saling menegur di dalam kasih. Jika semua ini tetap tidak membuat seseorang bertobat, maka gereja harus mengambil sikap tegas dengan cara menjauhkan orang itu dari tengah-tengah jemaat. #




Sumber:
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2005%20ayat%2006-08.pdf

Resensi Buku-95: SANG PENENUN AGUNG (DR. RAVI ZACHARIAS, D.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
THE GRAND WEAVER
(Sang Penenun Agung)


oleh: DR. RAVI ZACHARIAS, D.D.

Penerbit: PIONIR JAYA (Bringing Truth to Generation), Bandung; April 2009

Penerjemah: Christian Tirtha





Penjelasan singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Hidup manusia adalah hidup yang penuh arti. Namun sungguh sangat disayangkan, banyak manusia tidak menyadarinya atau menyadarinya namun menempatkan makna hidup bukan kepada Sumber hidup, namun kepada diri sendiri dan hal-hal duniawi. Tidak heran, di dunia ini muncullah beragam filsafat hidup dari manusia berdosa, mulai dari rasionalisme, empirisisme, subjektivisme, postmodernisme, dll. Benarkah hidup manusia itu bernilai? Jika ya, di manakah seharusnya nilai hidup itu ditempatkan? Di dalam bukunya Sang Penenun Agung, Dr. Ravi Zacharias, seorang penulis buku best-seller dan apologet Kristen ternama, mengemukakan bahwa nilai hidup sejati harus diserahkan kepada Allah. Ketika nilai hidup kita diserahkan kepada-Nya, maka kita akan menemukan keindahan-keindahan yang dirajut oleh Allah di dalam setiap momen hidup kita menjadi sebuah tenunan hidup yang indah bagi kemuliaan-Nya. Tenunan hidup itu membuat setiap inci kehidupan kita yang meliputi: DNA, kekecewaan, panggilan, moralitas, kerohanian, kehendak, penyembahan, dan tujuan akhir hidup kita menjadi berarti. Biarlah buku ini boleh menjadi berkat bagi kita di dalam menemukan nilai hidup sejati dari Sumber hidup kita, yaitu Allah.




Apresiasi:
“Ravi Zacharias tidak pernah menjumpai pertanyaan yang ia tidak sukai. Di buku ini ia menjelajahi pertanyaan-pertanyaan hidup yang mendalam melalui permadani pribadinya, dengan cara yang jelas dan menarik.”
Rev. John Ortberg, Jr., Ph.D.
(Pendeta di Menlo Park Presbyterian Church Menlo Park, California, U.S.A. sejak tahun 2003 dan anggota the Board of Trustees di Fuller Seminary, U.S.A.; Bachelor of Arts—B.A. dalam bidang Psikologi dari Wheaton College; Master of Divinity—M.Div. dan Doctor of Philosophy—Ph.D. dalam bidang Psikologi Klinis dari Fuller Seminary, U.S.A.; dan studi post-graduate di University of Aberdeen, Scotland)

“Ravi menampilkan pikiran yang tajam, hati yang lembut, serta sentuhan yang tangkas dalam menunjukkan, dalam banyak dan serba-serbi kehidupan kita, bagaimana melacak pekerjaan tangan Tuhan yang baik dan setia.”
Rev. Mark Buchanan
(Lead Pastor di New Life Community Baptist Church, U.S.A.)





Profil Dr. Ravi Zacharias:
Ravi Zacharias, D.D., LL.D. yang lahir di Madras, India tahun 1946 adalah Distinguished Visiting Professor of Religion and Culture di Southern Evangelical Seminary, U.S.A.. Beliau dikenal sebagai seorang apologetika Kristen dari Kanada, Amerika. Beliau dan keluarganya pindah ke Toronto, Kanada, ketika beliau masih sebagai seorang remaja, tetapi sekarang beliau berada di Atlanta, Georgia. Beliau terlahir dari keluarga pandita Hindu (kasta Nambudiri Brahmin), kemudian beliau bertobat kepada Tuhan Yesus dan menyerahkan diri menjadi hamba-Nya yang setia. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) di University of New Delhi; Bachelor of Theology (B.Th.) di Ontario Bible College; Master of Divinity (M.Div.) di Trinity Evangelical Divinity School, Deerfield, Illinois, U.S.A. Beliau mendapatkan anugerah gelar Doctor of Divinity (D.D.) baik dari Houghton College, NY, maupun dari Tyndale College and Seminary, Toronto. Beliau juga dianugerahi gelar Doctor of Laws (LL.D.) dari Asbury College di Kentucky. Beliau menguasai banyak disiplin ilmu, di antaranya perbandingan agama, aliran agama, dan filsafat, dan oleh karena itu beliau memimpin departemen Penginjilan dan Pemikiran Kontemporer di Alliance Theological Seminary selama 3,5 tahun. Beliau sekarang menjadi dosen tamu di Wycliffe Hall, Oxford University di Oxford, England.

Beliau juga menjadi pembicara utama pada the National Day of Prayer di Washington, D.C. dan the Annual Prayer Breakfast for the United Nations di New York City. Beliau telah menulis beberapa buku tentang Kekristenan, di antaranya, Can Man Live Without God? (1994), The Lotus and the Cross: Jesus Talks with Buddha (2001), and Sense and Sensuality: Jesus Talks with Oscar Wilde (2002). Selain itu, beliau juga adalah Presiden Direktur dari Ravi Zacharias International Ministries yang berpusat di Norcross, Georgia. Pada tahun 2006 ini, pelayanan beliau telah mencapai lebih dari 33 tahun.

Pada undangan dari Billy Graham, beliau menjadi pembicara pleno di dalam International Conference for Itinerant Evangelists di Amsterdam pada tahun 1983, 1986, and 2000. Beliau bersama istri, Margie, memiliki tiga orang anak, yaitu; Sarah, yang menikah dengan Jeremy, Naomi, dan Nathan.

KENDALIKANLAH LIDAHMU!: Tinjauan Kritis dan Perspektif Iman Kristen terhadap Filosofi dan Aplikasi Cerewet (Denny Teguh Sutandio)

KENDALIKANLAH LIDAHMU!
(Tinjauan Kritis dan Perspektif Iman Kristen Terhadap Filosofi dan Aplikasi Cerewet)


oleh: Denny Teguh Sutandio




“Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar. Lidahpun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka. Semua jenis binatang liar, burung-burung, serta binatang-binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia, tetapi tidak seorangpun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan. Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi. Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama? Saudara-saudaraku, adakah pohon ara dapat menghasilkan buah zaitun dan adakah pokok anggur dapat menghasilkan buah ara? Demikian juga mata air asin tidak dapat mengeluarkan air tawar.”
(Yak. 3:5-12)




I. PENDAHULUAN: FILOSOFI LIDAH MENURUT ALKITAB
Surat Yakobus merupakan salah satu kitab di dalam Alkitab yang sempat diragukan validitasnya. Dr. Martin Luther, sang reformator, menganggapnya sebagai surat jerami. Alasan keraguan tersebut adalah karena Yakobus seolah-olah mementingkan perbuatan lebih daripada iman, padahal Paulus mengajarkan pentingnya iman daripada perbuatan, karena manusia diselamatkan hanya melalui iman (Rm. 3:21-28). Tetapi benarkah Yakobus mengajarkan bahwa manusia diselamatkan melalui perbuatan? TIDAK. Surat Yakobus ditulis oleh Yakobus kepada orang-orang Kristen yang tersebar luas (Yak. 1:1). Dengan kata lain, sudah jelas bahwa Yakobus menuliskan suratnya BUKAN untuk semua orang, namun hanya untuk orang-orang Kristen. Sehingga seluruh isinya pun merupakan pengajaran iman Kristen yang ditujukan kepada orang-orang Kristen. Di dalam Surat Yakobus, orang Kristen diingatkan dan ditegur Yakobus untuk memperhatikan seluruh kehidupannya agar orang Kristen dapat memuliakan Allah melalui kehidupannya sehari-hari. Nah, sekarang, kita akan langsung masuk ke dalam pembahasan pasal 3 dari Yakobus. Yakobus 3 dimulai pada ayat 1 dengan peringatan agar jangan banyak orang menjadi guru. Peringatan ini muncul karena pada saat itu, banyak orang Kristen yang berambisi ingin menjadi guru. Peringatan ini muncul bukan hanya untuk mengantisipasi masalah yang akan terjadi, tetapi sebagai peringatan bagi mereka yang sudah melakukan kesalahan ini.1 Dengan kata lain, yang hendak ditekankan Yakobus di pasal 3 ayat 1 ini BUKAN larangan untuk menjadi guru, namun larangan BERAMBISI ingin menjadi guru. Mengapa Yakobus melarang orang berambisi ingin menjadi guru? Apakah karena nanti Yakobus takut saingan? Tentu TIDAK. Alasannya ada pada ayat 2, “Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.” Ya, alasannya adalah karena kita semua bersalah dalam banyak hal, khususnya menyangkut perkataan kita. Mengapa Yakobus mengaitkan guru dengan lidah? Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. di dalam bukunya Tafsiran Alkitab Untuk Awam: Surat Yakobus menafsirkan,
“Contoh yang dipakai di sini sangat berkaitan dengan tugas seorang guru, yaitu penggunaan lidah. Sebagai salah satu pemimpin jemaat dalam ibadah, seorang guru biasanya memberikan pengajaran dan bahkan berkat kepada orang lain (3:10a). Dalam situasi jemaat yang tidak mudah menerima firman dengan lemah lembut (1:19), seorang guru bisa saja menggunakan lidahnya untuk mengutuk orang lain, apalagi guru-guru di sini adalah orang-orang yang tidak memiliki hikmat yang benar (3:13-18).”2

Kemudian ayat ini juga mengajar kita bahwa barangsiapa (kata pengandaian) yang tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang yang sempurna yang dapat mengendalikan seluruh tubuh. Tetapi apakah dengan demikian Yakobus mengakui fakta ada orang yang bisa mengendalikan lidah? TIDAK. Justru ayat 2b ini hendak mengajar kita bahwa tidak mungkin ada orang yang sempurna yang bisa mengendalikan lidah.

Setelah itu, mengapa di ayat 2b ini, Yakobus mengaitkan antara mengendalikan lidah dengan seluruh tubuh? Tubuh di sini tentu adalah tubuh kedagingan kita. Alasannya adalah karena lidah itu merupakan bagian kecil dari seluruh tubuh. Meskipun kecil, lidah bisa menguasai dan mengarahkan seluruh hidup kita. Hal ini dijelaskan Yakobus melalui 2 metafora di ayat 3-4, yaitu: kuda (dan kekang kuda) dan kapal (dan kemudinya). Kuda dan kapal adalah sesuatu yang besar dan kuat, namun keduanya bisa dikuasai oleh sesuatu yang kecil secara ukuran, yaitu: tali kekang kuda dan kemudi kapal. Dari metafora ini, maka di ayat 5a, Yakobus menyimpulkan bahwa lidah meskipun ukurannya kecil namun dapat mengeluarkan sesuatu yang besar. Di ayat 5b, Yakobus menguatkan kembali penjelasannya dengan menyebut lidah itu seperti api yang kecil namun dapat membakar hutan yang besar. Hal ini sesuai dengan Amsal 16:27, “Orang yang tidak berguna menggali lobang kejahatan, dan pada bibirnya seolah-olah ada api yang menghanguskan.” Ayat 5b ini kemudian dijelaskan lebih mendetail oleh Yakobus di ayat-ayat selanjutnya (ay. 6-8). Di ayat 6, ia menjelaskan bahwa lidah itu adalah api dan dunia kejahatan. Kejahatan lidah ini dijelaskan Yakobus di ayat 6: menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan, sedangkan lidah itu sendiri dinyalakan oleh api neraka. Dengan kata lain, dunia kejahatan ini berkaitan erat dengan neraka (English Standard Version, International Standard Version, dan King James Version: hell; Yunani: geenna). Kejahatan lidah juga dijelaskan Yakobus di ayat 8 dengan menggunakan pernyataan bahwa lidah itu buas, tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan. Dari ayat 1-8, kita telah melihat sekilas gambaran buruk dari lidah.

Tetapi keburukan lidah ini lebih diperparah tatkala lidah manusia bukan hanya mengeluarkan sesuatu yang buruk saja, namun yang baik juga. Hal ini dijelaskan pada ayat 9-10a, “Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk.” Berarti, lidah bisa dipergunakan untuk memuji Tuhan dan sekaligus mengutuk ciptaan Tuhan (atau mungkin juga mengutuk Tuhan). Hal ini ditentang oleh Yakobus di ayat 10b-12 dengan mengajarkan bahwa sumber yang satu pasti mengakibatkan hasil yang satu juga. Artinya, ketika kita beriman kepada dan di dalam Kristus, maka seluruh lidah kita dipergunakan hanya untuk memuliakan Tuhan. Hal ini memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa kita aplikasikan. Yang diperlukan untuk menjalankan hal ini adalah komitmen kita di hadapan Tuhan.

Berbicara mengenai lidah, kita sering mendengar orang dunia berkata, “Memang lidah tidak bertulang.” Kalimat ini tentu bukanlah kalimat denotatif yang bermakna sebenarnya (tentu lidah tidak bertulang, kalau bertulang, bukan lidah namanya, hehehe), namun kalimat ini adalah kalimat konotatif yang berarti manusia terlalu mudah mempergunakan lidah untuk tujuan tidak jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ya, di sini, saya mengaitkan lidah dengan tanggung jawab. Saya menjumpai beberapa orang (bahkan “Kristen”, lebih parah lagi anak seorang aktivis gereja, mungkin juga “pendeta”) memakai lidahnya untuk memelintir kebenaran (Alkitab) dan menggunakannya untuk mendukung argumentasinya (baca: ambisi/nafsu) yang konyol. Supaya gerejanya bisa untung, maka beberapa “pendeta” yang tidak pernah sekolah theologi baik-baik memelintir sejumlah ayat Alkitab, lalu menipu jemaatnya dengan iming-iming: “Berikanlah persepuluhan kepada Tuhan, maka engkau akan diberi beratus kali lipat ganda”, “Anak-anak raja pasti kaya, sukses, berkelimpahan, bahkan tidak pernah digigit nyamuk”, dll. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, seorang motivator (yang menggunakan ayat-ayat Alkitab secara tidak bertanggungjawab—memelintir ayat-ayat Alkitab) menyerukan ide, “Miskin Adalah Dosa (Poor is Sin).” Jika miskin adalah dosa, berarti Tuhan Yesus yang miskin yang tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya ketika di dunia ini adalah sosok Tuhan Yesus yang berdosa. Begitu juga halnya dengan Paulus yang miskin yang harus bekerja sebagai tukang tenda untuk membiayai ongkos pelayanannya juga adalah Paulus yang berdosa, karena ia tidak kaya. Kasihan sekali ide-ide konyol ini bisa ditelan mentah-mentah oleh banyak orang “Kristen.” Slogan-slogan yang beridekan sukses kian bertebaran di panggung “Kristen” kontemporer. Selain itu, istilah-istilah agung seperti bergumul, dinamis, dll diucapkan bukan dengan pengertian yang bertanggungjawab, namun dipelintir supaya cocok dengan “nafsu”nya yang ji-hat (jijik dan jahat). Ya, inilah wajah orang-orang postmodern yang setiap hari kita temui.

Lidah bisa menghasilkan: pujian kepada Tuhan (lagu/nyanyian), gosip, omong kotor, fitnah, cerewet, dll. Kesemuanya itu merupakan produk lidah. Namun kali ini, saya hanya mengkhususkan membahas mengenai filosofi cerewet. Mengapa? Karena cerewet bisa dibilang “netral.” Saya mengatakan bahwa cerewet itu netral karena cerewet bisa positif dan memuliakan Tuhan, namun juga bisa negatif dan membuat orang lain bising (dan tentu justru tidak memuliakan Tuhan). Filosofi cerewet ini kita akan soroti pertama-tama dari definisinya, ciri-ciri orang cerewet, pandangan orang terhadap orang yang cerewet, penyebab cerewet, akibat cerewet, bagaimana iman Kristen menyoroti filosofi cerewet yang beres dan bertanggungjawab, dan bagaimana mengubah kebiasaan dari terlalu cerewet menjadi cerewet bermutu. Sebelum membaca pembahasan tentang cerewet, berdoalah minta Roh Kudus membuka hati dan pikiran Anda, sehingga Anda menjadi rendah hati dikoreksi oleh kebenaran firman Tuhan.






II. DEFINISI CEREWET
Apa itu cerewet? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan cerewet sebagai:
“suka mencela ini itu (mengomel, mengata-ngatai, dsb); banyak mulut; nyinyir”3

Dalam bahasa Inggris, cerewet itu diterjemahkan: talkative dan dalam Kamus Inggris Indonesia, talkative diartikan: “suka (ber)bicara, banyak bicara.”4

Dari dua definisi ini, kita mendapatkan gambaran definisi cerewet:
A. “Netral”: Suka (ber)bicara
Definisi cerewet pertama adalah suka (ber)bicara. Definisi ini saya katakan “netral”, karena memang definisi ini bisa dipakai untuk sesuatu yang positif (dan membangun orang lain) dan negatif (terlalu mengurusi hal-hal yang sekunder). Kalau untuk hal-hal positif, itu bagus, namun kalau untuk hal-hal negatif, orang yang cerewet ini bisa dibilang masih kekanak-kanakan (childish).




B. Negatif: Suka Mencela/Mengata-ngatai
Definisi cerewet kedua adalah suka mencela/mengata-ngatai. Definisi ini jelas bersifat negatif, karena tujuannya adalah ingin menjatuhkan orang lain. Mungkin sekali motivasi orang yang cerewet ini adalah untuk menonjolkan kehebatan diri, lalu ia dengan mudahnya mencela dan/ mengata-ngatai orang lain dengan kata-kata “sakti” (maksudnya: kata-kata kotor).






III. CIRI-CIRI ORANG CEREWET
Setelah mengerti definisi cerewet, maka apa sih yang menjadi ciri-ciri orang cerewet?
A. Mengurusi Urusan Orang Lain
Ciri umum orang cerewet pertama adalah mengurusi urusan orang lain. Artinya, orang cerewet itu adalah orang yang ikut campur urusan orang lain. Misalnya ada teman atau saudara kita berbuat salah, kita yang menegur dan mengingatkan kesalahannya bisa dibilang oleh mereka (teman/saudara kita tersebut) sebagai orang cerewet. Mengapa mereka bisa mengatakan kita cerewet? Karena kita terlalu mencampuri urusan orang lain yang bukan urusan kita. Mengapa pemikiran ini bisa muncul? Mungkin sekali disebabkan oleh pengaruh egois dalam diri mereka. Bagi mereka, “my business is not your business; your business is not my business; let’s do our own business.” (mengutip perkataan Pdt. Sutjipto Subeno) Bagaimana iman Kristen menyoroti hal ini? Saya menyorotinya dalam dua hal:

Pertama, ketika kita menegur kesalahan atau bahkan dosa orang lain, itu tidak bisa dikategorikan sebagai cerewet yang bernada negatif, karena ketika kita menegur, justru itu merupakan tanda kita mengasihi orang yang kita tegur (meskipun demikian, kita tetap harus memurnikan motivasi, cara, dan tujuan kita menegur orang lain). Alkitab sendiri dengan jelas mengajar kita untuk menegur orang lain yang berdosa. Di Perjanjian Lama, kita melihat contoh para nabi yang diutus Tuhan menegur dosa Raja Daud, bangsa Israel, dll. Di Perjanjian Baru, Tuhan Yesus sendiri memerintahkan kita untuk menegur saudara seiman kita yang berbuat dosa (Mat. 18:15-20). Paulus sendiri menegur Petrus yang munafik (Gal. 2:11-14). Kesemuanya ini merupakan wujud dari “cerewet” positif.

Kedua, ketika kita menegur orang lain, perhatikanlah batas-batasnya. Artinya, jika ada teman atau saudara kita bersalah atau mengalami masalah khusus, hendaklah kita menegur mereka sebatas hal-hal umum dan tidak terlalu mencampuri urusan pribadi mereka. Di sini, kita harus memperhatikan aspek privasi orang lain. Saya terus terang “takut” dengan beberapa orang “Kristen” yang menggalakkan ide persekutuan, akhirnya nanti menjadi komunisme di dalam gereja. Konsep dan aplikasi persekutuan di dalam gereja memang tidak salah, karena Alkitab mengajar hal tersebut, namun konsep dan aplikasi persekutuan HARUS dibedakan secara jelas dari konsep dan aplikasi komunisme. Konsep dan aplikasi persekutuan berangkat dari ketulusan dan kerelaan hati sesama umat Tuhan untuk berbagi hidup: saling berbagi, menegur, mengajar, menguatkan, dan menghibur (bdk. Kis. 2:41-47; 4:32-37). Sedangkan konsep dan aplikasi komunisme didasarkan pada pemaksaan dari orang lain agar semua orang mau saling berbagi. Kalau orang “Kristen” memaksa orang “Kristen” lain agar saling berbagi (bahkan untuk hal-hal privasi), itu namanya bukan persekutuan, namun komunisme dalam gereja. Percuma saja kita sebagai orang Kristen mati-matian melawan ide komunisme yang bertentangan dengan ajaran Alkitab, namun secara aplikasi, kita masih menjalankan komunisme secara terselubung. Belajarlah peka akan hal ini.




B. Memperhatikan Hal-hal Detail
Ciri kedua orang cerewet adalah memperhatikan hal-hal detail. Saya tidak mengatakan bahwa hal-hal detail itu tidak perlu diperhatikan, namun jika kita terlalu memperhatikan dan bahkan menekankan hal-hal detail lebih daripada hal-hal esensial lainnya, maka saya menyebutnya sebagai orang cerewet. Hal-hal detail sendiri saya kategorikan menjadi dua: hal-hal detail primer dan sekunder. Hal-hal detail primer berkaitan dengan hal-hal khusus yang tetap memiliki signifikansi berarti. Misalnya, di dalam dunia Kekristenan, theologi Reformed merupakan salah satu cabang theologi Kristen yang mendetail namun primer. Sedangkan hal-hal detail sekunder berkaitan dengan hal-hal khusus yang kurang memiliki signifikansi berarti. Misalnya, di dalam dunia Kekristenan, theologi Reformed infralapsarian/supralapsarian merupakan salah satu cabang theologi Kristen yang mendetail namun sekunder. Perbedaan infralapsarian dan supralapsarian memang perlu dipelajari, namun kurang memiliki signifikansi berarti. Mengapa? Karena seorang Reformed infralapsarian tidak lebih Alkitabiah daripada Reformed supralapsarian, begitu juga sebaliknya. Perbedaan itu hanyalah perbedaan sekunder (bahkan tersier) yang tidak perlu diperdebatkan secara berlebihan. Di dalam kehidupan sehari-hari, belajarlah untuk membuat perbedaan antara hal-hal utama dan hal-hal detail (detail primer dan sekunder), lalu bersikaplah berbeda terhadap dua hal ini.




C. Berlebih-lebihan
Ciri ketiga orang cerewet biasanya adalah sikapnya yang berlebih-lebihan (bahasa gaulnya: lebay). Biasanya orang cerewet ini gemar membesar-besarkan suatu masalah yang kecil. Di dalam hal doktrin, misalnya tentang baptisan anak. Ajaran tentang baptisan anak adalah hal sekunder yang tidak perlu diberhalakan karena Alkitab TIDAK melarang dan juga TIDAK mewajibkan praktik baptisan anak. Namun ada seorang pendeta Reformed yang terlalu membesar-besarkan konsep baptisan anak (masalah kecil), lalu berkata di atas mimbar bahwa gereja yang tidak menjalankan baptisan anak itu sesat. Silahkan cek di seluruh sejarah Reformed, adakah satu theolog Reformed yang seekstrem si pendeta ini? Inilah tandanya orang cerewet puoolll… Sebentar lagi, tidak usah heran, di dalam dunia Kekristenan (khususnya beberapa Reformed tertentu), ada fatwa haram untuk menyanyikan lagu-lagu rohani kontemporer (meskipun yang sudah diseleksi sesuai dengan Alkitab) atau bahkan mengharamkan jemaat gereja Reformed untuk membaca buku-buku non-Reformed (dengan alasan takut terkontaminasi).5 Jangankan nanti, sekarang saja, saya sudah menemukan contoh praktis orang-orang cerewet namun tidak ada isinya itu di lingkungan Kekristenan koq.

Kedua, membesar-besarkan masalah kecil ditandai dengan reaksi orang cerewet terhadap satu masalah/perkataan/tindakan orang lain. Misalnya jika ada orang lain salah, mungkin bisa dikategorikan salah dalam hal remeh, orang cerewet biasanya langsung bereaksi lebay, bisa ngomel tidak berhenti kira-kira 10 menit, bahkan yang paling ekstrem 1 jam. Biasanya juga orang cerewet ini mudah mengungkit sesuatu yang terjadi di masa lalu. Jika ada suatu masalah yang dahulu sudah diselesaikan, maka biasanya orang cerewet yang mungkin karena kehabisan bahan pembicaraan, akan mengungkit masalah yang dahulu telah diselesaikan untuk didiskusikan bahkan diperdebatkan dengan orang lain (entah itu pasangan, teman, saudara, dll). Atau juga bisa orang cerewet ini mengatakan sesuatu yang telah dikatakannya pada hari-hari sebelumnya. Repetisi menjadi ciri khas orang cerewet. Saya terus terang paling bosan mendengar repetisi.






IV. PANDANGAN ORANG LAIN TERHADAP ORANG YANG CEREWET
Lalu, bagaimana pandangan orang lain terhadap orang yang cerewet?
A. Positif: Memperhatikan Orang Lain
Orang cerewet bisa dinilai orang lain sebagai orang yang memperhatikan orang lain. Mengapa? Karena ia bukan hanya berkutat dengan urusannya sendiri, namun juga urusan orang lain. Biasanya dalam hubungan muda-mudi (masa pendekatan/PDKT atau pacaran), kalau cowok memperhatikan cewek dan/atau sebaliknya, mungkin pihak lain menganggapnya cewek/cowoknya ini sebagai orang cerewet, namun sebenarnya tidak demikian. Kecerewetannya itu merupakan tanda bahwa cewek/cowoknya itu memperhatikan pasangannya. Namun perlu juga diperhatikan bahwa kecerewetan ini tentu memiliki batas-batas, jangan sampai cerewetnya melampaui kewajaran, misalnya setiap menit dipantau. Soalnya ada kejadian yang pernah diceritakan oleh seorang teman saya bahwa ada cowok yang mendekati dia (anak SMA), setiap beberapa menit cowok itu SMS teman saya ini: lagi di mana, ngapain, dll, akibatnya teman saya itu ngomel.




B. Negatif: Aktualisasi Diri
Orang cerewet bisa dinilai orang dengan penilaian negatif sebagai orang yang hanya mau menunjukkan kehebatan diri atau menggunakan bahasa psikologi: aktualisasi diri. Aktualisasi diri ini ditandai dengan dua hal:
1. Egois
Orang cerewet bisa dinilai sebagai orang yang egois, karena biasanya (tidak semua) orang cerewet hanya mau bila pandangan dan perkataannya didengarkan, sedangkan dia sendiri tidak akan pernah mau mendengarkan pandangan orang lain (yang mungkin lebih benar dan bisa dipertanggungjawabkan) ketimbang pandangannya sendiri. Kalau sampai pandangan dan perkataannya (bahkan untuk hal-hal sekunder atau mungkin tersier) tidak didengarkan, maka orang cerewet ini akan bertindak seperti anak kecil, yaitu: ngambek.


2. Sombong
Orang cerewet bisa dinilai sebagai orang sombong, karena melalui kecerewetannya, dia hendak menunjukkan kepada dunia bahwa dia sajalah yang paling pandai, hebat, kuat, bijaksana, dll. Yang lebih parah lagi, ada orang cerewet yang bisa-bisanya berpikir bahwa dunia akan hancur jika dia tidak cerewet atau dia tidak ada. Yang semakin parah, hal ini bukan dilakukan oleh orang non-Kristen, namun dilakukan oleh orang Kristen dan bahkan pemimpin gereja. Biarlah ini menjadi bahan introspeksi diri kita masing-masing.






V. PENYEBAB CEREWET
Setelah belajar definisi, ciri-ciri, dan pandangan orang lain terhadap orang yang cerewet, maka apa sih yang menyebabkan orang cerewet? Orang cerewet bisa disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
A. Penyebab Internal
Orang cerewet disebabkan karena adanya faktor internal, yaitu:
1. Karakter
Secara karakter, memang ada orang yang tergolong cerewetnya puolll. Dan jujur saja, biasanya orang yang cerewetnya puolll itu mayoritas pihak cewek. Adalah suatu keanehan jika cowok lebih cerewet ketimbang cewek (meskipun secara fakta, ada juga cowok bisa lebih cerewet ketimbang ceweknya), hehehe… Kalau kita memiliki pasangan hidup yang cerewetnya puolll (burung beo saja kalah, huahahaha), berdoalah kepada Tuhan, agar Roh Kudus mengubah karakternya itu menjadi sesuatu yang memuliakan Tuhan, misalnya: cerewet dalam memberitakan Injil (mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam salah satu khotbahnya dalam Seminar Pembinaan Iman Kristen yang berjudul Dinamika Hidup Dalam Pimpinan Roh Kudus).


2. Traumatik
Orang cerewet bisa disebabkan karena trauma dengan pengalamannya dahulu yang kelam. Misalnya, mungkin karena dahulu dirinya tidak dididik oleh orangtuanya untuk mencari pasangan hidup yang tepat, sehingga dia bercerai dengan suaminya, maka seorang istri/ibu bisa cerewet memperhatikan siapa saja yang mendekati anak perempuannya. Sang ibu bisa cerewet bertanya kepada anak perempuan tentang si cowok yang mendekatinya, mulai dari garis keturunan (apakah dari keturunan darah biru atau darah merah atau berdarah-darah, hahaha), riwayat kesehatan (apakah tidak memiliki penyakit turunan, seperti: kanker, kencing manis, darah tinggi, atau mungkin bahkan mata duitan, hahaha), dll. Meskipun hal tersebut tetap perlu diperhatikan, namun jika hal-hal tersebut merupakan faktor mutlak menggantikan standar Alkitab, maka itu sudah menjadi berhala dan sudah berdosa!




B. Penyebab Eksternal: Lingkungan
Selain internal, orang cerewet bisa disebabkan karena faktor eksternal, yaitu lingkungan. Biasanya lingkungan di mana kita hidup tidak selalu sama/cocok dengan karakter dan keinginan kita. Nah, tatkala lingkungan sekitar di mana kita hidup tidak cocok dengan kita inilah yang mengakibatkan banyak orang cerewet. Bagi orang cerewet, dunia harus cocok dengan dirinya. Ketika dunia tidak cocok dengan dirinya, dia akan mengomel dan mengkritik habis-habisan, supaya dunia bisa cocok dengan dirinya. Dengan kata lain, orang cerewet ingin semua orang di dunia ini harus mendengarkan dirinya.

Kedua, lingkungan di mana kita hidup adalah lingkungan manusia berdosa. Dari hati, cara berpikir, perkataan, sikap, dll dipenuhi dosa. Maka, biasanya orang cerewet adalah orang yang terlalu paranoid dengan dunia sekitar. Oleh karena itu, biasanya orang cerewet jarang bisa percaya kepada siapa pun (kecuali dirinya sendiri yang bisa dipercayai) dengan dalih bahwa kita harus berhati-hati. Benarkah sikap demikian? Berwaspada TIDAK sama dengan paranoid lebay! Berwaspada yang Tuhan mau adalah berwaspada aktif, tetapi tidak kaku apalagi paranoid. Perhatikan pola pikir berikut ini. Alkitab memerintahkan kita agar pola pikir kita diubah sesuai dengan firman Tuhan, sehingga kita makin mengerti kehendak Allah: baik, berkenan kepada Allah, dan sempurna (Rm. 12:2) Dengan terus mendekat kepada Tuhan dan firman-Nya, kita akan makin mengerti apa yang Tuhan mau/suka dan otomatis apa yang Tuhan tidak suka. Apa yang Tuhan tidak suka, kita tidak akan melakukannya. Berwaspada dengan apa yang Tuhan tidak suka TIDAK berarti kita terlalu memfokuskan pandangan kita pada apa yang Tuhan tidak suka, tetapi dengan memfokuskan pandangan kita pada apa yang Tuhan suka. Apa yang Tuhan suka mengakibatkan kita kritis terhadap apa yang Tuhan tidak suka yang tentunya bertentangan dengan apa yang Tuhan suka. Contoh: dengan belajar firman, kita mengerti bahwa Tuhan menyukai kemurnian hati dan ketaatan, sedangkan Ia tidak menyukai kemunafikan (Rm. 12:9) dan ketidaktaatan. Berwaspada dengan segala bentuk kemunafikan dan ketidaktaatan tidak berarti kita terlalu berfokus pada kemunafikan dan ketidaktaatan, namun kita perlu berfokus apa arti kemurnian hati dan ketaatan, sehingga kita bisa terhindar dari bahaya kemunafikan dan ketidaktaatan.

Di kalangan Reformed, kami percaya bahwa di antara banyak arus theologi yang kurang setia kembali kepada Alkitab (lingkungan), gerakan Reformasi dan theologi Reformed dipakai Tuhan untuk membawa orang Kristen untuk kembali kepada Alkitab. Dengan kata lain, spirit mula-mula Reformasi dan Reformed adalah Sola Scriptura (hanya Alkitab). Namun, spirit ini mulai bergeser dari Sola Scriptura menjadi Sola Reformed. Mungkin hanya sedikit orang yang sadar akan hal ini. Sebagai orang yang bertheologi Reformed, saya mengamini bahwa theologi Reformed bisa dikatakan sebagai satu-satunya representatif theologi Kristen yang theosentris yang mampu menjawab tantangan zaman (atau mengutip Pdt. Dr. Stephen Tong: mampu menantang zaman untuk kembali kepada Kristus), namun berhati-hatilah, jangan sampai orang Reformed menjadi orang yang sombong dan merasa diri paling benar. Jujur saja saya sudah mendapati beberapa orang bahkan pendeta Reformed bukan lagi mempertahankan Sola Scriptura, melainkan Sola Reformed bahkan Sola Traditio. Mereka biasanya anti mendengarkan khotbah-khotbah dari pendeta non-Reformed bahkan dari pendeta Reformed namun bukan berasal dari gereja yang berplang Reformed. Belajar di seminari theologi yang tidak berdasarkan theologi Reformed dicap bidat. Membaca buku pun harus dilihat, apakah penulisnya bertheologi Reformed atau tidak. Saya mendapati fakta bahwa ketika saya membawa buku When God Writes Your Love Story yang ditulis oleh Eric dan Leslie Ludy, seorang rekan pemudi gereja saya bertanya, “Apakah buku ini buku Reformed?” Saya hanya tersenyum kecil dan tidak menjawab pertanyaan tersebut. Apakah sebagai orang Reformed, kita tidak boleh membaca buku-buku non-Reformed? Apakah dengan membaca buku-buku non-Reformed, kita langsung dicap bidat? Mengapa beberapa orang (bahkan pendeta) Reformed menjadi orang yang pandai menghakimi orang secara membabi-buta? Biarlah ini menjadi bahan introspeksi orang Kristen, khususnya beberapa Reformed tertentu yang gemar mengkritik sini sana secara membabi-buta (tanpa dasar yang jelas).






VI. AKIBAT CEREWET
Semua tindakan pasti memiliki akibat. Demikian juga dengan filosofi dan tindakan cerewet. Apa akibat cerewet? Saya membaginya menjadi dua: akibat cerewet di mata Tuhan dan terhadap orang lain.
A. Akibat Cerewet Di Mata Tuhan
Apa akibat cerewet di mata Tuhan? Alkitab dengan jelas mengajar kita reaksi Tuhan terhadap kecerewetan manusia. Contoh: bangsa Israel yang gemar bersungut-sungut, namun Tuhan tetap mengasihi Israel tersebut dengan mengabulkan permintaan mereka. Ketika di Mara, Israel bersungut-sungut kehausan karena air di Mara pahit rasanya, maka Musa berseru kepada Tuhan, lalu Tuhan menunjukkan sepotong kayu kepada Musa dan memerintahkan Musa untuk melemparkan kayu tersebut ke dalam air, lalu air itu menjadi manis (Kel. 15:22-25). Ketika di padang gurun Sin, Israel minta makanan karena lapar, Ia memberikan roti dan daging (Kel. 16:1-36). Di Masa dan Meriba, Israel kembali bersungut-sungut kehausan, maka Tuhan menyediakan air yang keluar dari batu yang dipukul oleh Musa (Kel. 17:1-7). Namun kecerewetan Israel yang meminta apa pun TIDAK selalu dikabulkan oleh Tuhan. Ketika bangsa Israel bersungut-sungut karena terlalu lama menunggu Musa di gunung Sinai, maka mereka memanggil Harun untuk membuat patung anak lembu emas. Di saat itu, Tuhan benar-benar murka kepada Israel. Ia menyuruh Musa untuk turun dari Gunung Sinai dan amarah Tuhan meluap melalui amarah Musa. Apa yang Musa lakukan? Alkitab mencatat, “dilemparkannyalah kedua loh itu dari tangannya dan dipecahkannya pada kaki gunung itu. Sesudah itu diambilnyalah anak lembu yang dibuat mereka itu, dibakarnya dengan api dan digilingnya sampai halus, kemudian ditaburkannya ke atas air dan disuruhnya diminum oleh orang Israel.” (Kel. 32:19b-20) Kecerewetan Israel benar-benar keterlaluan, sehingga murka Tuhan menimpa mereka. Allah yang Mahakasih juga Allah yang Mahakudus dan Mahaadil. Ingatlah prinsip ini. Oleh karena itu, cerewet tidak selalu positif. Cerewet yang keterlaluan juga mengakibatkan Tuhan sendiri murka. Biarlah ini menjadi introspeksi bagi kita untuk berhati-hati dalam menggunakan lidah kita supaya Tuhan tidak murka atas kita.




B. Akibat Cerewet Terhadap Orang Lain
Cerewet bisa berakibat positif dan negatif terhadap orang lain:
1. Akibat Positif: Orang Lain Diingatkan (Ditegur)
Bagi orang lain, cerewet itu ada manfaatnya, yaitu orang lain yang dicereweti itu diingatkan/ditegur. Ketika seseorang melakukan suatu kesalahan, kemudian ada orang lain yang cerewet menegurnya, maka orang yang melakukan kesalahan itu diingatkan oleh kecerewetan orang lain. Tentu hal ini positif. Saya sendiri mengalami cerewet model ini berguna juga buat saya, menegur dan membangun, meskipun cerewet model ini lama-kelamaan membuat risih juga.


2. Akibat Negatif: Orang Lain Merasa Risih/Bising dan Bosan
Bagi kebanyakan orang, cerewet lebih berakibat negatif ketimbang positif, mengapa? Karena biasanya, orang cerewet itu membuat orang lain merasa risih/bising dengan kecerewetannya. Tidak percaya? Saya akan memberikan sebuah anekdot yang menggambarkan hal ini,
“Pada suatu ketika di Jepang, hiduplah seorang lelaki yang sederhana, namanya Oda. Ia memiliki seorang istri yang sangat cantik dan sangat disayanginya. Namun sang istri mempunyai kebiasaan buruk, yaitu tiap kali diajak bicara pasti akan keterusan alias teramat sangat cerewet sekali.

Selain itu sang istri tersebut juga suka mengumpat dengan kata-kata yang keras dan memekakkan telinga sehingga orang-orang tidak mau dekat-dekat dengannya. Sebenarnya, Oda sangat menyayangi istrinya itu, tapi para tetangganya yang merasa terganggu lambat laun berani juga mengadu pada Oda perihal istrinya itu. Akhirnya Oda pun termakan kata-kata tetangganya. Ia berpikir bagaimana melenyapkan istrinya dari muka bumi.

Suatu ketika Oda mengajak istrinya berjalan-jalan ke kuil tua di tengah hutan ketika melewati bagian belakang kuil yang sudah rusak, Oda melihat sebuah sumur tua yang tak digunakan lagi. Maka ia berpura-pura mengajak istrinya melihat burung di pohon besar dekat sumur itu. Lantas dengan tiba-tiba Oda mendorong istrinya itu masuk ke sumur.

Pada lima menit pertama Oda merasa sangat bahagia karena sepanjang hidupnya baru kali ini ia merasakan suasana yang begitu tenang tanpa celoteh istrinya.

Lima menit kedua, Oda mulai merasa sepi juga karena tidak terbiasa dengan kesunyian. Akhirnya lima menit ketiga dengan keragu-raguan Oda kembali menuju sumur angker tersebut. Ia menurunkan tali timba dan berteriak menyuruh istrinya naik.

Begitu terkejutnya Oda ketika yang naik bukan istrinya melainkan sosok makhluk menyeramkan dengan bulu lebat di sekujur tubuhnya, dialah makhluk penunggu sumur tua itu.

Oda lantas bertanya, “Lho, kenapa kamu yang naik??”

Lantas makhluk itupun dengan wajah pucat ketakutan menjawab, “Aku takut, di bawah ada orang cerewet sekali…””

Perhatikan anekdot di atas. Kecerewetan istri Oda ini memiliki beberapa ciri sesuai dengan yang telah dibahas pada poin sebelumnya dan kecerewetan ini mengakibatkan tetangganya, suaminya, dan makhluk halus penunggu sumur tua sampai kewalahan mendengar ocehan “burung beo” dari si istri Oda. Bayangkan jika Anda berada di situ, Anda juga pasti kewalahan.

Selain risih/bising, orang cerewet mengakibatkan orang lain merasa bosan dengan apa yang diocehkan oleh si cerewet. Bagaimana tidak, misalkan, pada hari Senin, si cerewet berbicara tentang X, kemudian tidak sampai seminggu, di hari Rabu atau Kamis, si cerewet berbicara lagi tentang X dengan nada bicara yang hampir sama, setelah itu hari Sabtu, si cerewet juga berbicara hal yang sama lagi tentang X. Dengan kata lain, dalam seminggu, sudah 3x si cerewet mengatakan hal yang sama. Jika Anda berada di dekat si cerewet, dijamin Anda bisa senewen dan mblenger (bosan) mendengar ocehan gak jelas dari si cerewet. Terus terang, saya paling bosan mendengar ocehan yang sama. Kalau perkataan yang sama diulang sampai 4-5x, bisa dipastikan saya mencuekkan omongan tersebut atau mungkin melakukan tindakan lain. Tindakan serupa saya lakukan jika saya mendengarkan seorang pengkhotbah yang khotbahnya selalu ujung-ujungnya sama (sudah bisa ditebak jalan pikirannya pasti menuju ke topik itu: kritik terhadap materialisme, pragmatisme, dll). Repetisi di dalam mengatakan sesuatu baik di dalam kehidupan sehari-hari maupun khotbah mengakibatkan orang yang mendengarkannya bosan. Orang Kristen dan para pengkhotbah yang rendah hati biarlah peka memperhatikan hal ini. Hai para pengkhotbah, jangan merasa diri Anda pengkhotbah atau gembala sidang, kemudian Anda tidak mendengarkan suara jemaat Anda.






VII. IMAN KRISTEN DAN CEREWET
Setelah mengamati fenomena tentang cerewet, maka bagaimana iman Kristen menyoroti hal ini?
A. Sikap Orang Kristen Secara Umum
1. Menerima dan Melakukannya -> Karena Memang Karakternya Cerewet Puolll (Membela Diri)
Berkaitan dengan cerewet, sikap orang Kristen secara umum yang pertama adalah menerima dan melakukannya. Artinya, mereka setuju sikap cerewet karena bagi mereka, cerewet itu berarti. Kalau dia tidak cerewet, orang lain tidak akan mengerti kesalahannya. Benarkah itu motivasinya? Mungkin ada benarnya, namun sebenarnya, motivasi aslinya bukan demi orang lain, namun demi si cerewet itu sendiri, yaitu memang karakter aslinya cerewet abizzz, maka ia menjadi pendukung gerakan cerewet (talkative “movement”). Orang cerewet ini coba dikumpulkan bersama para ibu di sebuah arisan, dijamin sampai arisan selesai pun, si cerewet ini tidak akan pulang. Ya, manusia berdosa itu paling mudah untuk membela diri. Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. pernah berkata bahwa manusia kalau sudah salah paling cepat (tidak usah diajari) “berapologetika” (artinya: membela diri), hehehe.


2. Menolak -> Karena Memang Karakternya Pendiam (Argumentasinya: Silence is Gold)
Sikap orang Kristen kedua terhadap gejala cerewet adalah menolak. Artinya, orang Kristen ini menolak sikap cerewet, karena itu menganggu orang lain. Saya heran, banyak orang zaman postmodern ini paling mudah berargumentasi mendukung sikapnya yang seolah-olah demi kepentingan orang lain, tetapi benarkah motivasinya murni? Mungkin benar, namun kembali, sejujurnya, alasannya adalah karena memang karakternya pendiam. Dasar argumentasinya: Silence is Gold (Diam itu Emas). Benarkah diam itu emas? Di satu sisi, ya, namun di sisi lain, tidak. Diam itu emas sejauh diam itu berguna, artinya tatkala memang perlu diam, ya diam. Namun diam itu emas menjadi bermasalah tatkala disuruh berbicara, dia berkata hanya sepatah atau dua patah kata. Sejujurnya saya paling tidak suka bergaul/berteman dengan orang yang terlalu diam, mengapa? Selain terlihat jadul, orang diam itu kurang bisa berekspresi atau mengeluarkan pendapat berarti. Tidak berarti, saya suka dengan orang yang cerewet puolll. Saya senang bersahabat dengan orang yang bisa menyeimbangkan antara cerewet dan diam.




B. Sikap Orang Kristen yang Benar: Paradoks dan Bermutu
Jika orang Kristen umum memandang cerewet secara ekstrem: ada yang mendukung dan menolaknya dengan argumentasi subyektif mereka, maka bagaimanakah orang Kristen yang beres menyoroti cerewet? Pada bagian ini, kita akan mencoba memahami filosofi dan aplikasi cerewet yang bertanggungjawab sesuai dengan Alkitab dan prinsip kedaulatan Allah.
1. Motivasi Cerewet
Sebelum kita melakukan sesuatu, biasakanlah bertanya motivasinya. Sebelum membahas tentang cerewet, apa sih yang menjadi motivasi cerewet yang beres itu?
a. Untuk Memuliakan Tuhan
Motivasi cerewet yang pertama dan terpenting adalah memuliakan Tuhan. Artinya, melalui kebawelan kita, kita membawa Injil Tuhan dan nama Tuhan diagungkan di dalam hidup kita. Itu yang dimaksud Pdt. Dr. Stephen Tong dengan cerewet dalam memberitakan Injil, cerewet melawan dosa, dll. Beliau mengajar bahwa cerewet itu tidak salah asalkan dipakai memuliakan Tuhan. Ketika ada teman/saudara kita yang cerewet yang bermotivasi tulus agar kita makin memfokuskan hidup kepada Tuhan, maka kita tidak boleh marah, karena kebawelannya dipakai Tuhan untuk menyadarkan dan mengarahkan kita kembali kepada Tuhan. Ketika ada seorang Kristen yang saleh yang kelihatannya cerewet dalam memberitakan Injil, jangan pandang dia sebagai orang bawel yang tak bermakna, pandanglah kebawelannya dipakai Tuhan secara luar biasa untuk memberitakan Injil. Maukah kita bawel bagi Tuhan?

b. Untuk Membangun Orang Lain
Kedua, motivasi cerewet adalah untuk membangun orang lain. Melalui kebawelan, biarlah kita membangun orang lain dalam hal-hal primer. Ketika orang lain salah, kita boleh bawel menegur orang lain, namun sekali lagi yang perlu diingat, perhatikan batas kebawelan. Jangan terlalu bawel dalam hal-hal sekunder apalagi tersier. Kalau orang lain lagi dalam masalah, kita boleh “bawel” memberikan kata-kata kekuatan, namun sekali lagi jangan terlalu bawel sampai akhirnya orang yang lagi dalam masalah bukan terhibur, malahan jengkel dengan kehadiran kita yang super duper bawel. Sebelum cerewet, perhatikanlah isi yang mau Anda katakan, supaya orang lain tidak merasa terganggu.


2. Cerewet yang Beres
Setelah memperhatikan motivasi cerewet, maka saat ini kita akan mencoba memahami bagaimana cerewet yang beres. Cerewet yang beres, seperti perenungan kita akan lidah di poin I dan motivasi cerewet di nomer 1 di atas, adalah cerewet yang dipergunakan untuk memuliakan Tuhan. Cerewet yang memuliakan Tuhan adalah cerewet yang bermutu dan tidak egois. Dua prinsip ini kita akan coba aplikasikan di dalam tiga poin di bawah.
a. Memperhatikan Isi
Selain motivasi, cerewet yang beres harus memperhatikan isi dari perkataan yang kita ucapkan. Artinya, kita boleh cerewet asalkan isi cerewet itu memiliki signikansi berarti. Untuk itu, saya membagi dua macam cerewet:
(1) Cerewet Primer
Cerewet primer adalah cerewet yang berkaitan dengan hal-hal primer, seperti: iman, kerohanian, dosa, dll. Ketika kita menyontek pada saat ujian, kemudian teman kita menegur kita agar tidak menyontek lagi, maka teguran itu meskipun seolah-olah kelihatan cerewet, namun itu berguna bagi kita, baik dari sisi spiritual (melawan kehendak Tuhan yang menghargai kejujuran) maupun dari sisi praktika (agar kita lebih giat belajar) maupun dari sisi agak pragmatis (agar di kesempatan lain, tindakan menyontek kita tidak ketahuan oleh guru/dosen).

(2) Cerewet Sekunder
Cerewet sekunder adalah cerewet yang berkaitan dengan hal-hal sekunder bahkan tersier, misalnya: warna baju, makanan favorit, karakter/temperamen, dll. Si cerewet kadang-kadang kalau melampaui batas bisa keterlaluan sekali dan membuat orang lain jengkel. Presuposisi si cerewet ini adalah orang lain TIDAK boleh berbeda dari dia bahkan untuk urusan kecil sekalipun. Urusan (selera) makanan pun diurusi. Di dalam hal theologi, masalah liturgi saja diurusi. Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. mengatakan kepada saya secara pribadi bahwa hanya gara-gara gereja yang digembalakannya mengadopsi lagu-lagu rohani kontemporer, ada pendeta yang menuduh gerejanya bertheologi Arminian. Si cerewet yang terlalu mengurusi hal-hal sekunder bahkan tersier membuktikan bahwa si cerewet masih kekanak-kanakan (childish). Anak-anak pada waktu masih kecil selalu menuntut bahwa miliknya harus sama bagusnya dengan (atau lebih bagus dari) milik orang lain. Bukankah suatu keanehan jika semangat ini terus diadopsi dan dipelihara sampai dewasa? Masalahnya, ada orang dewasa yang masih memelihara semangat ini, sehingga ia akan bawel abizzz jika orang lain berbeda selera makan atau warna baju dengan dia.

b. Memperhatikan Obyek
Selain isi, kita tetap harus memperhatikan obyek/sasaran yang kepadanya kita cerewet. Dengan kata lain, kita harus memperhatikan orang yang kita ajak bicara, apakah tipe orang yang suka dengan orang yang cerewet atau justru jengkel dengan orang yang bawelnya bukan main. Di sini, kita yang sudah terbiasa cerewet berusaha untuk TIDAK egois.
(1) Suka Dengan Orang yang Cerewet
Ada tipe orang yang memang suka dengan orang yang cerewet. Orang ini mungkin seorang pendiam yang suka didongengi oleh orang yang cerewet atau mungkin juga orang ini juga seorang yang cerewet abizzz, jadi klop tuh, si bawel klop ama si bawel, jadilah: bawel kuadrat (bawel2), hahaha. Kalau dengan orang yang suka dengan orang yang cerewet, maka si cerewet nyaman-nyaman saja jika si cerewet mengaktualisasi dirinya.

(2) Tidak Suka Dengan Orang yang Cerewet
Selain itu, ada juga tipe orang yang benar-benar tidak suka dengan orang yang cerewet. Jika Anda seorang yang cerewet kemudian lawan bicara Anda atau mungkin pasangan Anda adalah seorang yang anti-cerewet, Anda harus berusaha untuk menghentikan kebiasaan bawel Anda supaya orang di sekitar Anda bisa hidup lebih lama sedikit, hehehe…

c. Memperhatikan Situasi dan Kondisi
Selain isi dan obyek, si cerewet harus memperhatikan situasi dan kondisi. Jika si cerewet berada di dalam suatu situasi dan kondisi (sitkon) orang yang lagi kesusahan, misalnya salah satu keluarganya baru meninggal atau sakit parah di rumah sakit, maka sebagai orang Kristen, kita memang harus menghibur dan memberi kata-kata yang menguatkan, namun jika Anda termasuk golongan si cerewet aktif, maka Anda harus peka dengan sitkon itu dan berusaha menghentikan kebiasaan bawel Anda. Di dalam sitkon tersebut, ucapkan beberapa kalimat yang menguatkan orang yang lagi kesusahan tersebut dan jangan membuat “khotbah” berjam-jam, karena orang yang lagi kesusahan membutuhkan penghiburan, bukan “khotbah” semu/menggombal.






VIII. MENGUBAH KEBIASAAN
Di poin sebelumnya, kita telah melihat bahwa cerewet itu ada yang primer dan sekunder. Pertanyaan selanjutnya, jika kita memang orang yang rendah hati dan mau bertobat dari kebiasaan bawel untuk hal-hal yang tidak penting, maka bagaimana kita bisa mengubah kebiasaan kita yang terlalu cerewet itu? Di poin VIII ini, kita akan belajar bagaimana mengubah kebiasaan.
A. Terlalu Cerewet -> Cerewet Bermutu
Jika di poin sebelumnya, kita telah belajar cerewet primer vs sekunder, maka pertanyaan selanjutnya, bagaimana mengubah cerewet sekunder menjadi cerewet primer? Dengan kata lain, bagaimana mengubah kebiasaan terlalu cerewet menjadi cerewet yang bermutu? Sebelum membahas caranya, pertanyaan selanjutnya, mengapa kita perlu mengubah kebiasaan kita dari terlalu cerewet menjadi cerewet bermutu? Mengapa kita bukan mengubah kebiasaan terlalu cerewet menjadi pendiam? Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK): Dinamika Hidup Dalam Pimpinan Roh Kudus menjelaskan bahwa Roh Kudus memimpin temperamen manusia. Beliau bertanya bahwa apabila seseorang sebelum bertobat adalah seorang yang cerewet, lalu apakah setelah bertobat, maka dia menjadi pendiam (si cerewet berdoa kepada Tuhan agar Tuhan menjahit mulutnya)? TIDAK. Beliau menjawab bahwa orang cerewet silahkan tetap cerewet, tetapi yang diubah arah/tujuan cerewetnya, kalau dahulu cerewet untuk hal-hal tak berguna, sekarang diubah Roh Kudus menjadi cerewet untuk memberitakan Injil. Dengan kata lain, yang perlu diubah dari si cerewet adalah arah/tujuannya, bukan karakter aslinya. Jika semua orang cerewet diubah kebiasaannya menjadi pendiam, maka sungguh sangat disayangkan, nanti seluruh dunia pada diam membisu, hehehe…




B. Alasan, Motivasi, dan Tujuan Mengubah Kebiasaan
Lalu, apa alasan, motivasi, dan tujuan mengubah kebiasaan dari terlalu cerewet menjadi cerewet bermutu?
1. Nama Tuhan Dimuliakan
Pertama, jelas alasan, motivasi, dan tujuan terpenting adalah nama Tuhan dimuliakan. Mengapa demikian? Karena Tuhan Yesus sendiri mengajar kita, “Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman.” (Mat. 12:36) Kata “sia-sia” diterjemahkan oleh English Standard Version (ESV), New American Standard Bible (NASB), dan New International Version (NIV) sebagai careless (ceroboh). Kata ini dalam bahasa asli (Yunani)nya adalah argos yang bisa berarti idle (=tak berguna/tak berharga). Kalau kita memperhatikan konteksnya, maka kata sia-sia ini adalah sebuah perkataan yang keluar dari hati yang jahat (ay. 34-35). Dengan kata lain, kata sia-sia diucapkan oleh seorang yang hatinya melawan Allah. Di sini, kita melihat perkataan bersumber dari hati. Ketika hati seseorang sudah berdosa (melawan Allah), maka apa yang diucapkannya pasti jahat, meskipun tampak seolah-olah baik (di mata manusia). Biarlah melalui pengajaran Tuhan Yesus ini, kita semakin mengoreksi diri kita sendiri terlebih dahulu, sudahkah kita benar-benar menggunakan lidah kita dengan bertanggungjawab? Sudahkah kita benar-benar berkata sesuatu yang memuliakan nama-Nya?


2. Orang Lain Dihargai
Alasan, motivasi, dan tujuan dari mengubah kebiasaan ini yang kedua adalah agar orang lain dihargai. Dengan mengubah kebiasaan kita menjadi cerewet bermutu, maka di saat itu, kita sedang menghargai orang lain di sekitar kita dengan membuat mereka hidup lebih lama sedikit. Selain itu, kita juga menghargai orang lain karena telinga orang lain dipakai bukan hanya untuk mendengarkan celotehan si cerewet yang tak bermakna. Namun ketika banyak orang cerewet tanpa makna, maka ini membuktikan:

Pertama, Anda seorang yang egois. Anda hanya ingin telinga orang lain dipakai hanya untuk mendengarkan celotehan Anda yang tak bermakna. Bahkan yang lebih parah, Tuhan pun Anda suruh untuk mendengarkan celotehan Anda. Jika demikian, Anda perlu segera bertobat, karena penyakit Anda benar-benar akut dan perlu direhabilitasi, hehehe…

Kedua, Anda akan memperpendek usia orang lain. Ketika Anda cerewet tanpa makna, maka banyak orang yang berada di dekat si cerewet akan lebih cepat frustasi, putus asa, dan mungkin bunuh diri, karena mereka banyak yang tidak tahan dengan celotehan si cerewet yang tidak habis-habis kalau mengomel atau berkata sesuatu, hehehe.




C. Cara Mengubah Kebiasaan
Setelah mempelajari alasan, motivasi, dan tujuan di atas, maka sekarang kita akan merenungkan bagaimana cara mengubah kebiasaan dari terlalu cerewet menjadi cerewet bermutu?
1. Serahkan Hati dan Lidah Anda Kepada Tuhan
Cara pertama mengubah kebiasaan adalah dengan menyerahkan hati dan lidah kita kepada Tuhan. Kita dapat meneladani sosok pendiri theologi Reformed yaitu Dr. John Calvin yang pernah mengatakan bahwa ia menyerahkan hatinya kepada Tuhan dengan tulus dan murni. Kita pun bisa mengatakan di hadapan Tuhan bahwa kita menyerahkan hati dan lidah kita kepada Tuhan. Mengapa saya mengatakan “hati dan lidah”?

Pertama, karena perkataan kita bersumber dari hati kita. Dengan kata lain, hati kita harus dimurnikan terlebih dahulu di hadapan Tuhan, sehingga dari hati yang murni akan menghasilkan perkataan yang memuliakan nama-Nya. Ingatlah perkataan Tuhan Yesus di dalam Matius 12:34, “Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati.” Lalu, bagaimana kita bisa memurnikan hati kita? Pemazmur mengajar kita tentang hal ini di dalam Mazmur 139 dan pengajarannya ditutup dengan dua ayat terakhir yang luar biasa memberkati kita, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mzm. 139:23-24) Dua ayat ini mengajar kita dua hal: Pertama, dengan mempersilahkan Allah untuk menyelidiki dan mengenal hati kita, menguji dan mengenali pikiran-pikiran kita, maka hati dan seluruh aspek kehidupan kita terus-menerus dimurnikan di hadapan-Nya. Kedua, dengan mempersilahkan Allah sendiri untuk menuntun kita di jalan-Nya, maka kita semakin mengerti kehendak-Nya dan meletakkan kehendak-Nya itu sebagai satu-satunya hal terpenting di dalam hati kita, sehingga kesukaan kita adalah menjalankan kehendak-Nya saja.

Kedua, karena hati kita berkaitan dengan lidah kita. Lidah kita bukan hanya bersumber dari hati kita, namun berkaitan erat dengan hati kita (begitu juga sebaliknya). Sehingga meskipun pada alasan pertama kita percaya bahwa ketika hati kita murni di hadapan Tuhan, maka perkataan kita juga murni, kita tetap perlu untuk terus-menerus memurnikan lidah kita. Kalau kita kembali membaca Yakobus 3, maka kita sekali lagi diperhadapkan dengan pengajaran untuk mengendalikan lidah kita yang liar itu. Lalu, bagaimana kita bisa mengendalikan lidah yang liar itu? Caranya adalah dengan membiarkan Roh Kudus bekerja mengendalikan lidah kita. Hal ini tidak berarti kita terus menunggu gerakan Roh Kudus yang mengendalikan lidah kita, lalu kita tak berbuat apa-apa. Roh Kudus bekerja mengendalikan lidah kita dan tentu Ia juga memurnikan dan membangkitkan kita untuk melakukannya. Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda hari ini siap menerima gerakan Roh Kudus untuk mentransformasi lidah Anda?


2. Sebelum Berkata Sesuatu, Gumulkan Di Hadapan Tuhan Terlebih Dahulu
Setelah Roh Kudus bekerja mengendalikan lidah kita dengan memurnikan dan membangkitkan kita untuk melakukannya, maka pertanyaannya, kita melakukan apa? Kita perlu melakukan sesuatu, yaitu bergumul di hadapan Tuhan untuk mengatakan sesuatu. Biasakanlah sebelum berkata sesuatu, gumulkanlah di hadapan Tuhan terlebih dahulu. Mengapa demikian? Karena Ia adalah Allah yang Mahatahu tentang apa yang akan kita ucapkan. Pemazmur menyadari hal ini dan mengajar kita di dalam Mazmur 139:4, “Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN.” Menggumulkan di hadapan Tuhan terlebih dahulu berarti mempersilahkan Tuhan sendiri untuk menyensor apa yang akan kita ucapkan, sehingga apa yang akan kita ucapkan bukanlah kata yang sia-sia yang tidak memuliakan Tuhan dan menjatuhkan orang lain. Sebagai kesaksian, saya pun beberapa kali melakukan hal ini, meskipun kadang kala juga keceplosan. Sebelum berkata sesuatu, saya mencoba untuk bergumul di hadapan Tuhan, apakah saya perlu mengucapkan sesuatu yang akan saya ucapkan atau sebenarnya tidak perlu. Beberapa kali saya akhirnya taat kepada kehendak-Nya untuk tidak mengatakan sesuatu yang tidak perlu, karena itu bisa menyakiti orang lain, namun memang harus saya akui, secara kedagingan, saya juga sering tidak mau taat kepada kehendak-Nya. Biarlah di dalam proses bergumul ini, Roh Kudus makin memurnikan hati dan perkataan kita.


3. Rendah Hati dan Terbuka Untuk Menerima Semua Teguran dari Saudara Seiman Kita tentang Perkataan-perkataan Kita
Terakhir, Roh Kudus juga bekerja mengendalikan lidah kita melalui sarana orang lain yaitu saudara seiman kita. Saudara seiman kita yang dekat dan bergaul dengan kita akan memberikan masukan, saran, teguran, dll kepada kita perihal apa yang kita ucapkan, apakah itu sia-sia atau membangun. Nah, tatkala mereka menegur kita, bersikaplah dewasa: rendah hati dan terbukalah utnuk menerima semua teguran yang berguna itu, dan jangan keras kepala apalagi marah terhadap orang yang menegur itu. Saya mengamati banyak orang cerewet ketika ditegur oleh saudara seiman bahwa dia terlalu cerewet, biasanya langsung marah dan “berapologetika” (membela diri) bahwa karakternya memang cerewet. Bukan hanya marah, si cerewet akan mengatakan kepada orang lain bahwa orang yang menegurnya sebagai orang yang cerewet yang mencampuri urusan si cerewet ini. Ya, namanya cerewet ya begitu itu, sekali cerewet tetap cerewet, hidup cerewet! Hahaha… Biarlah Roh Kudus membuat kita makin dewasa untuk semakin rendah hati dan terbuka akan teguran yang membangun kita khususnya berkaitan dengan perkataan kita, sehingga melalui perkataan-perkataan kita, kita makin memuliakan Tuhan dan membangun orang lain.






IX. KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Setelah mempelajari dan merenungkan banyak hal tentang cerewet, Tuhan menghendaki kita mempergunakan seluruh aspek hidup kita khususnya lidah untuk makin memuliakan Tuhan dan membangun orang lain. Bagaimana dengan kita? Saya menantang Anda hari ini, sudahkah Anda siap ditransformasi oleh Roh Kudus yang akan mengendalikan lidah Anda untuk memuliakan-Nya dan membangun orang lain? Amin. Soli Deo Gloria.




Catatan kaki:
1. Yakub Tri Handoko, Tafsiran Alkitab Untuk Awam: Surat Yakobus (Surabaya: STAR Publisher, 2008), hlm. 151.
2. Ibid., hlm. 156.
3. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 164.
4. John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 578.
5. Sebenarnya di dalam memilih sebuah buku (rohani) untuk dibaca, kita memang perlu berwaspada. Kalau secara doktrin, kita belum kuat, maka hendaklah berhati-hatilah di dalam memilih buku untuk dibaca. Namun kalau secara doktrin, kita sudah cukup kuat, maka kita boleh membaca buku apa saja (namun tentu kita harus tetap tidak melupakan membaca Alkitab). Saran saya adalah: berhentilah menjadi orang lebay, kaku, kolot, dan paranoid, namun juga jangan menjadi orang yang gemar berkompromi!





NB:
Berkenaan dengan perspektif iman Kristen terhadap perkataan, Anda bisa membaca buku War of Words (Perang Kata-kata) yang ditulis oleh Rev. Prof. Paul David Tripp, D.Min. yang diterbitkan oleh Penerbit Momentum.




Denny Teguh Sutandio, S.S. lahir di Surabaya, 19 Juli 1985. Pada tahun 2003, menempuh pendidikan Sastra Inggris di Universitas Kristen Petra, Surabaya dan lulus pada tahun 2007 dengan gelar Sarjana Sastra (S.S.). Dibaptis dewasa di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya pada tanggal 10 Juli 2005 oleh Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. (gembala sidang). Pendidikan theologi diperoleh dari: kuliah theologi awam di Sekolah Theologi Reformed Injili Surabaya (STRIS) Andhika pada tahun 2004-2009 dan di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. sejak awal 2010 ini dan juga melalui membaca buku-buku theologi bermutu. Selain itu, pendidikan theologi diperoleh dari mengikuti seminar pembinaan baik dari GRII Andhika maupun STAR/Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M., mendengarkan khotbah MP3 dari Pdt. Joshua Lie, Ph.D. (Cand.) (Reformational Worldview Foundation—RWF, Jakarta) dan Pdt. Erastus Sabdono, D.Th. (GBI Rehobot, Jakarta), dan juga aktif berdiskusi dan bertanya pribadi kepada Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. Selain kepada orangtua saya, saya juga berterima kasih kepada pada hamba Tuhan dan rekan gereja yang mengajar, mendidik, dan mempengaruhi sikap hati dan pola pikir saya selama ini:
1. Pdt. Dr. Stephen Tong (Pendiri dan Ketua Sinode GRII yang pertama kali mencerahkan pikiran saya tentang keunikan Kekristenan di dalam Kristus dan signifikansi theologi Reformed)
2. Pdt. Sutjipto Subeno, S.Th., M.Div. (gembala sidang GRII Andhika, Surabaya yang banyak mengajar saya tentang mandat budaya khususnya mengenai pendidikan)
3. Ev. Yakub Tri Handoko, S.Th., M.A., Th.M., Ph.D. (Cand.) (gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia—GKRI Exodus, Surabaya dan pendiri STAR yang mendorong saya untuk studi Biblika sungguh-sungguh dan daripadanya saya banyak belajar tentang “logika” Reformed. Beliau adalah salah satu hamba Tuhan Reformed yang saya acungi jempol karena selain baik dan care, beliau juga sosok hamba Tuhan yang cerdas.)
4. Pdt. Yohan Candawasa, S.Th. (Care for China Ministries; pendeta yang buku-bukunya banyak saya koleksi dan baca dan dari buku-buku beliau, saya banyak ditegur tentang kerohanian saya)
5. Pdt. Joshua Lie, S.Th., M.Phil., Ph.D. (Cand.) (pendiri Reformational Worldview Foundation—RWF, Jakarta yang banyak memberkati saya melalui pemaparan Reformed worlview melalui MP3 khotbah beliau maupun artikel di web RWF)
6. Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D. (gembala sidang Mimbar Reformed Injili Indonesia—MRII di Jerman: Berlin, Hamburg, dan Munich yang mengoreksi kerohanian saya baik melalui khotbah maupun pembicaraan pribadi dengan beliau)
7. Pdt. Drs. Thomy Job Matakupan, S.Th., M.Div. (asisten gembala sidang GRII Andhika, Surabaya yang banyak mengoreksi kerohanian saya khususnya di dalam kelas Surat Ibrani di STRIS Andhika)
8. Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. (Ketua Pusat Kerohanian—Pusroh UK Petra, Surabaya yang banyak menegur dan memberi saya masukan berharga)
9. Dr. Jerry Bridges (pelayan Tuhan di Navigators yang memberkati dan mengoreksi kerohanian saya melalui 3 buku beliau yang sudah saya baca)
10. Rev. Joshua Eugene Harris (gembala sidang di Covenant Life Church, U.S.A. yang memberkati saya melalui khotbah MP3 yang sering saya download dari web gerejanya)
11. Pdt. Erastus Sabdono, S.Th., M.Th., D.Th. (gembala sidang Gereja Bethel Indonesia—GBI Rehobot, Jakarta yang banyak memberkati saya melalui pengajaran beliau melalui khotbah MP3 yang saya download dari website GBI Rehobot maupun dari Majalah TRUTH; beliau adalah sosok pendeta Bethel yang lumayan cerdas dan inspirasional)
12. Pdt. Bigman Sirait (pendeta di Gereja Reformasi Indonesia—GRI Antiokhia, Jakarta dan Pemimpin Umum Tabloid Reformata yang memberkati saya melalui khotbah MP3 yang saya download dari web Reformata maupun artikel di Tabloid Reformata)
13. Sdr. Jimmy Sumendap, S.T., M.T. (rekan saya dari GRII Andhika, Surabaya yang daripadanya saya banyak belajar tentang hal-hal logis)
14. Sdr. Richard Limi, S.T. (rekan saya dari GRII Andhika, Surabaya yang memberi saya beberapa masukan berkenaan dengan hubungan lawan jenis—maklum saya harus belajar dari “suhu”nya, hehehe)
15. Sdri. Ruth Winarto (rekan saya dari GRII Andhika, Surabaya yang daripadanya saya belajar banyak hal)
16. Sdr. Patrick Serudjo, S.Sn. dan Sdr. Djeffry Tedjo Subakti Imam, S.E. (dua rekan saya {GRII Andhika} ketika dahulu saya bekerja di Momentum Christian Literature, Surabaya yang banyak menasihati saya dalam banyak hal)
17. Bp. Franklin Noya (mantan rekan kerja saya di Momentum Christian Literature, Surabaya yang juga sebagai rekan diskusi saya tentang Reformed di Indonesia)
18. Sdr. Abraham Timothy Halim (rekan saya dari GRII Ngagel yang juga merupakan anak sulung dari Pdt. Ir. Andi Halim, S.Th. yang telah memberi saya beberapa masukan ketika saya ada sedikit masalah dahulu)
19. Sdr. Bob Setio (rekan saya dari GRII Andhika yang bersama-sama dengan Abraham Timothy Halim memberi saya beberapa masukan ketika saya ada sedikit masalah dahulu dan juga menjadi rekan diskusi yang menyenangkan)
20. Sdri. Dessy Andriani Liauw, S.T. (rekan saya dari GKRI Exodus, Surabaya yang memberikan masukan cukup bijaksana ketika dahulu saya mengalami sedikit masalah “konyol”)
21. Bp. Ir. Budi S. G. dan Bp. Agus Sani Priadi (kedua rekan saya dari GKRI Exodus, Surabaya yang menjadi tempat saya share)

Kira-kira sejak tahun 2006, melayani Tuhan khususnya di dalam media elektronik/internet dengan mengirimkan artikel/renungan (baik yang ditulis oleh hamba-hamba Tuhan bertanggungjawab maupun dari saya sendiri), resensi buku, kegiatan gerejawi yang terseleksi, dll ke lebih dari 50 milis (di mana saya menjadi anggotanya), 4 forum, Facebook, Friendster, dan blog (dan milis) pribadi.

Denny Teguh Sutandio, S.S.
E-mail:
· dennyteguhsutandio@ymail.com (Yahoo Messenger: dennyteguhsutandio)
· dennyteguh@gmail.com;
· dennyteguh2009@live.com (MSN)
Facebook: www.facebook.com/dennyteguhsutandio
Friendster: www.friendster.com/imagodei
Blog: http://dennytan.blogspot.com
Milis: http://groups.yahoo.com/group/BIBLE_Alone