13 October 2008

Roma 11:6-10: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-15: Kaum Pilihan yang Tersisa-2

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-14


“Israel” Sejati atau Palsu-15:
Kaum Pilihan yang Tersisa-2


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 11:6-10


Di Roma 11:1-5, kita telah belajar pendahuluan pengajaran Paulus tentang kaum pilihan yang tersisa dari Israel dan diakhiri dengan ayat 5 di mana Paulus mengingatkan kita bahwa kaum yang tersisa adalah anugerah Allah. Apa arti kaum tersisa adalah anugerah Allah? Berarti, ketika kita merupakan umat pilihan yang disisakan oleh Allah itu adalah anugerah Allah di antara sekian banyak orang, bukan karena apa yang telah kita perbuat. Hal ini ditegaskan ulang oleh Paulus di ayat 6, “Tetapi jika hal itu terjadi karena kasih karunia, maka bukan lagi karena perbuatan, sebab jika tidak demikian, maka kasih karunia itu bukan lagi kasih karunia.” King James Version (KJV) menerjemahkan, “And if by grace, then is it no more of works: otherwise grace is no more grace. But if it be of works, then is it no more grace: otherwise work is no more work.” Analytical-Literal Translation (ALT) menerjemahkan, “But if by grace, [it is] no longer of works, otherwise [or, in that case] grace no longer becomes grace; but if by works, it is no longer grace, otherwise [or, in that case] work is no longer work.” Di sini, Paulus mengingatkan beberapa hal:
Pertama, anugerah tidak sama dengan perbuatan. Ketika kita memperhatikan terjemahan ALT di atas, it is yang diberikan tanda kurung menunjukkan bahwa itu menunjuk pada penjelasan tentang anugerah (“But if by grace, [it is] no longer of works”). Jadi, artinya, anugerah tidak sama atau bertentangan dengan perbuatan. Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) memberi tambahan “yang dituntut Taurat” pada kata “perbuatan” (hlm. 857). Dengan kata lain, ketika Allah sudah mengajar bahwa umat yang tersisa adalah anugerah Allah, berarti itu bukan terletak pada apa yang telah kita perbuat sehingga menyenangkan Allah. Mengapa harus merupakan anugerah Allah dan bukan karena perbuatan kita? Karena Allah tidak mudah ditipu oleh realita/fenomena seperti manusia. Ketika manusia berbuat baik, mereka melakukannya tidak dengan hati dan motivasi yang tulus, karena mereka telah dirusak oleh dosa. Dosa menutupi hal terdalam dari manusia, tetapi di mata Allah, hal itu terbuka lebar. Bagaimana jika “Allah” menjadikan kita umat tersisa karena perbuatan kita? Pasti “Allah” seperti itu akan terkaget-kaget melihat perbuatan manusia. Mungkin, “Allah” seperti itu melihat dari “surga” “umat-Nya” yang tekun mencari “Dia”, lalu “Ia” akhirnya memilih mereka sebagai kaum tersisa dari mereka yang tidak mau mencari “Dia”. Tetapi akhirnya, “Ia” menjumpai bahwa mereka yang mencari “Dia” murtad dan akhirnya malahan memberontak terhadap-“Nya”, maka, “Ia” tidak bisa apa-apa selain meratapi nasib dan membiarkan orang yang telah dipilih-“Nya” binasa di dalam dosa. Inilah gambaran “Allah” theologi Arminian yang sangat mengasihankan, “Allah” yang terkaget-kaget melihat manusia, karena “Allah” bukan Allah yang berdaulat yang mengadakan kovenan kepada umat-Nya. Bagaimana dengan kita? Mungkin kita hari ini berpikir bahwa kita tidak layak menjadi umat-Nya, tetapi realita berkata terbalik. Allah memilih kita dan menjadikan kita umat-Nya yang tersisa bukan karena apa yang telah kita perbuat, tetapi berdasarkan apa yang Allah perbuat bagi kita. Tetapi tidak berarti hal ini mengakibatkan kita tidak lagi berbuat baik, melainkan hal ini justru mendorong kita semakin giat berbuat baik memuliakan Allah, khususnya memberitakan Injil Kristus.

Kedua, anugerah melawan perbuatan. Bukan hanya bertentangan, anugerah justru melawan perbuatan, dan sebaliknya. Hal ini dengan jelas dipertentangkan oleh Paulus di dalam terjemahan ALT di atas, “But if by grace, [it is] no longer of works, otherwise [or, in that case] grace no longer becomes grace; but if by works, it is no longer grace, otherwise [or, in that case] work is no longer work.” Terjemahan LAI dalam hal ini terlalu singkat memberi penjelasan, oleh karena itu kita menyoroti apa yang ALT jelaskan. Pertama, jika berdasarkan anugerah, maka itu bukan karena perbuatan, jika tidak, maka anugerah bukanlah anugerah. Kedua, jika berdasarkan perbuatan, maka itu bukan anugerah, atau jika tidak perbuatan bukanlah perbuatan. Di dalam bagian ini, Paulus menantang para pembaca di Roma (khususnya kaum Israel yang tersisa) untuk menentukan sikap. Jika mereka memilih pilihan kedua, jelas mereka bukan kaum tersisa, tetapi jika memilih pilihan pertama (berdasarkan anugerah), maka mereka termasuk kaum tersisa. Di sini, setiap pilihan memberikan dampak yang begitu jelas. Umat pilihan yang tersisa adalah anugerah Allah, maka mereka harus menghidupi hidup pun harus berpusat pada anugerah Allah sambil memuliakan nama-Nya. Sebaliknya, umat yang bukan pilihan akan hidup berdasarkan apa yang telah mereka peroleh, karena mereka tidak mengerti konsep anugerah Allah. Tetapi anehnya, konsep ini dibalik dan dikacaukan oleh banyak orang “Kristen” yang berorientasi pada perbuatan baik. Mereka mengajar dengan dalih “rohani” bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati, maka yang terpenting itu adalah perbuatan. Alkitab memang mengajarkan bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:14-26), tetapi di bagian yang sama dan lain, Alkitab TIDAK mengajarkan bahwa perbuatan itu segala-galanya. Jika perbuatan itu yang terpenting, maka kita ditantang kembali oleh Paulus untuk memilih salah satu dari logika yang dia sajikan: kalau berdasarkan anugerah, maka bukan berdasarkan perbuatan, tetapi kalau berdasarkan perbuatan, berarti bukan merupakan anugerah. Dengan demikian, apakah berarti kaum pilihan yang tersisa ini tidak boleh berbuat baik? TIDAK. Yang dipertentangkan Paulus adalah fokus iman dan hidup. Fokus iman dan hidup umat pilihan yang tersisa adalah berpusat pada anugerah Allah (Theosentris). Oleh karena itu, mereka bisa berbuat baik memuliakan nama-Nya dengan fokus tetap terarah pada Kebenaran Allah dan firman-Nya (Alkitab) serta terus-menerus mematikan hidup yang berpusat pada diri (antroposentris). Sedangkan, mereka yang sudah dibiarkan binasa akan menghidupi hidup mereka dengan berdasarkan perbuatan (antroposentris), sehingga mereka terus-menerus mengharapkan belas kasih dari “pribadi” yang mereka sebut sebagai “Allah” berdasarkan perbuatan baik mereka. Sungguh malang apa yang mereka perbuat, menyembah “Allah” yang tidak jelas dan maunya ditipu oleh banyaknya perbuatan “baik” manusia. Bukan hanya malang, mereka bahkan dengan berani menolak mentah-mentah anugerah Allah. Sungguh tragis dan jahatnya manusia. Allah sudah mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk mati menebus dosa manusia, akhirnya, bukan penyembahan yang seharusnya diterima-Nya, tetapi hinaan dan cercaan, bahkan hujatan terbesar kepada-Nya bukan dari orang atheis, melainkan dari orang-orang yang mengaku diri beragama (bahkan pemimpin agama). Masing-masing orang ini saling bertolak belakang dan melawan. Umat pilihan-Nya yang tersisa ini hidup memuliakan Allah dan berusaha mematikan hidup kedagingan, sebaliknya umat sisanya yang telah dibiarkan binasa hidup memuliakan diri dengan menghitung amal baiknya di dunia ini sambil melawan Allah dan kedaulatan-Nya (baik sadar maupun tidak sadar).


Dua logika yang saling melawan antara hidup Theosentris (anugerah Allah) dan antroposentris (perbuatan manusia) dijelaskan Paulus di ayat 7 s/d 10 dengan beberapa penguraian dan contoh.
Di ayat 7, Paulus mengemukakan, “Jadi bagaimana? Israel tidak memperoleh apa yang dikejarnya, tetapi orang-orang yang terpilih telah memperolehnya. Dan orang-orang yang lain telah tegar hatinya,” King James Version menerjemahkan, “What then? Israel hath not obtained that which he seeketh for; but the election hath obtained it, and the rest were blinded” Di ayat ini (dan ayat 8 s/d 10), Paulus membedakan tiga macam orang sebagai implikasi ayat 6 yang telah dijelaskannya.

Orang pertama adalah orang Israel. Mereka terkenal sebagai orang yang taat beragama. Dari kecil, mereka sudah diajar Taurat (sering disebut: anak Taurat), baru pada usia 30 tahun, mereka baru boleh menjadi ahli Taurat dan mengajar (itu sebabnya, Tuhan Yesus baru melayani pada usia 30 tahun, BUKAN karena Ia pergi ke India, dll seperti tuduhan yang tidak bertanggung jawab dari dunia sekuler zaman ini). Mereka juga taat pada Taurat, tetapi sayang mereka tidak mengerti esensi Taurat yaitu mengasihi Allah dan sesama (Ulangan 6:5; Imamat 19:18; Matius 22:37-40). Akibatnya, semakin mereka berbuat baik menurut apa yang dituntut Taurat, Paulus berkata, mereka semakin tidak memperoleh apa yang mereka kejar dengan berbuat baik. Unik sekali, cara Tuhan berbeda dengan cara manusia. Manusia sering kali menipu diri untuk menutupi dosa dengan berbuat baik memenuhi syariat agama tertentu. Tetapi di mata Allah, itu semua sampah dan tak bernilai apa-apa, mengapa? Karena Ia melihat hati dan motivasi yang murni. Perhatikan ayat 8 sebagai contoh, “seperti ada tertulis: "Allah membuat mereka tidur nyenyak, memberikan mata untuk tidak melihat dan telinga untuk tidak mendengar, sampai kepada hari sekarang ini."” Ayat ini dikutip dari Ulangan 29:4; Yesaya 29:10. Ulangan 29:4 berada di dalam konteks Musa sedang berbicara mengikat perjanjian dengan orang Israel di tanah Moab (ayat 1). Di ayat 2 s/d 3, Musa menceritakan dari awal proses Tuhan memimpin Israel keluar dari Mesir, lalu disusun dengan ayat 4 yang mengatakan bahwa dalam hal tersebut, Tuhan tidak memberi mereka akal budi untuk mengertinya atau mata untuk melihatnya atau telinga untuk mendengarnya. Artinya, mereka secara fenomenal mengalami bimbingan Allah, melihat dan mendengar, tetapi sayangnya, mereka tidak menanggapi apa yang mereka telah alami bersama Allah itu dengan hati yang taat. Yang lebih tragis lagi: Yesaya 29:10. Ayat ini berbicara mengenai terkepungnya Yerusalem, tetapi Allah menyelamatkannya (judul perikop mulai pasal 29 ayat 1). Ayat ini dimulai dengan menceritakan kondisi kebrengsekan Israel yang terus melawan Allah, lalu Allah sendiri berfirman bahwa mereka akan tercengang-cengang dan tidak akan mengerti bahwa Ia akan mendatangkan bangsa-bangsa lain mengepung umat-Nya (ayat 9-10). Itulah hukuman Allah bagi mereka yang tidak taat (baca ketidaktaatan dan kemunafikan Israel di ayat 13). Bagaimana dengan kita? Sebagaimana Israel, kita sebagai orang Kristen pun berlaku prinsip yang sama. Banyak orang “Kristen” menyibukkan diri dengan pelayanan gerejawi, bahkan tidak sedikit “pemimpin gereja” melayani dengan giat, tetapi sayangnya, seperti kata Paulus, mereka melayani tanpa pengertian yang benar. Mereka tidak mengerti esensi pelayanan sejati yang berpusat pada Kristus, akhirnya, semakin mereka melayani, semakin mereka tidak mengerti dan ironisnya, semakin mereka tidak mengalami anugerah Allah dan diselamatkan. Jangan heran, di neraka nanti, isinya bukan hanya orang-orang yang menolak Kristus secara kasat mata, tetapi juga banyak pemimpin gereja yang mengkhotbahkan ajaran-ajaran yang tidak bertanggung jawab yang menyelewengkan Injil! Biarlah kita bertobat dari kemunafikan dan pelayanan kita yang tidak bertanggung jawab dan tidak disertai pengertian ini! Tidak salah kita melayani Tuhan, tetapi kita melayani-Nya harus dengan pengertian akan firman-Nya yang bertanggung jawab.

Orang kedua adalah orang pilihan. Orang pilihan ini bisa mencakup orang Israel yang tersisa maupun orang lain non-Israel yang telah dipilih Allah sebelum dunia dijadikan. Jika orang pilihan ini salah satunya adalah orang Israel, mungkin sekali mereka juga taat pada Taurat, melakukan perintah-perintah Allah (seperti orang Israel pada umumnya), tetapi sambil melakukan, mereka sambil mengerti apa yang mereka melakukan (esensi perintah Allah). Ketika Tuhan Yesus lahir sebagai seorang bayi kecil, ada dua orang Israel yang menantikan kedatangan Mesias, nabiah Hana dan nabi Simeon menjumpai bayi (Tuhan Yesus), dan Alkitab mencatat, “Lalu Simeon memberkati mereka dan berkata kepada Maria, ibu Anak itu: "Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan --dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri--,supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang." Lagipula di situ ada Hana, seorang nabi perempuan, anak Fanuel dari suku Asyer. Ia sudah sangat lanjut umurnya. Sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya, dan sekarang ia janda dan berumur delapan puluh empat tahun. Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa. Dan pada ketika itu juga datanglah ia ke situ dan mengucap syukur kepada Allah dan berbicara tentang Anak itu kepada semua orang yang menantikan kelepasan untuk Yerusalem.” (Lukas 2:34-38) Semua orang Israel menantikan Mesias, tetapi mereka tidak mengerti siapa Mesias itu, hanya Hana dan Simeon yang mengerti bahwa Tuhan Yesus itu Mesias. Mereka lah umat tersisa dari sekian banyak orang Israel yang juga sama-sama menantikan Mesias. Bagaimana dengan orang-orang non-Israel? Orang-orang non-Israel dipilih Allah sebelum dunia dijadikan dan mereka ditebus oleh Kristus dan dilahirbarukan oleh Roh Kudus untuk taat kepada Hukum Taurat. Mereka memang tidak memiliki Taurat dan tidak seketat orang Israel melakukan Taurat, tetapi Allah justru memberikan anugerah pilihan-Nya kepada orang-orang seperti ini. Di sini, kita melihat cara Allah itu unik, agung dan di luar rasio kita. Biasanya kita memahami bahwa sebagai murid/anak, apa yang telah kita kerjakan akan diberi upah/hadiah oleh guru/orangtua kita, tetapi Allah membalik pola pikir kita dan mengajar bahwa bukan apa yang telah kita capai yang membuat kita menerima upah, tetapi apa yang telah Allah kerjakan (atau apa yang kita terima sebagai anugerah Allah untuk diteruskan kepada orang lain).

Orang ketiga disebut orang yang lain (the rest= sisanya). Orang ketiga ini adalah orang-orang non-Israel yang sudah dibiarkan Allah untuk binasa. Orang-orang seperti ini, Paulus berkata, mereka dibutakan (terjemahan KJV). Terjemahan LAI dalam hal ini kurang tepat dan terlalu halus, “tegar hatinya”. KJV, New King James Version (NKJV), English Majority Text Version (EMTV) dan 1833 Webster Bible menerjemahkannya, “were blinded” (dibutakan); ALT, 1901 American Standard Version (ASV), New American Standard Bible (NASB), English Standard Version (ESV), International Standard Version (ISV), Revised Version (RV), dan 1898 Young’s Literal Translation (YLT) menerjemahkannya, “were hardened” (dikeraskan); Good News Bible (GNB) menerjemahkan, “grew deaf to God's call.” (tuli terhadap panggilan Allah); James Murdock New Testament (JMNT) menerjemahkan, “were blinded in their heart” (dibutakan dalam hati mereka). Dari beberapa terjemahan Alkitab ini, banyak yang menerjemahkannya dengan bentuk pasif, yaitu dibutakan, dikeraskan, dan dibutakan dalam hati mereka. Struktur bahasa Yunani untuk kata ini menggunakan bentuk pasif. Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. (2003) menerjemahkannya, “telah dijadikan degil” (hlm. 857). Di sini, cukup jelas bahwa orang-orang yang tidak dipilih baik dari orang Israel maupun non-Israel adalah mereka yang sudah dibiarkan Allah murtad dan menjadi keras hati. Bukan karena mereka yang mengeraskan hati, maka Allah membuang, tetapi karena Allah yang membiarkan mereka, sehingga hati mereka mengeras dan mengutip terjemahan GNB: tuli terhadap panggilan Allah. Hal ini dijelaskan Paulus di Roma 11:9-10, “Dan Daud berkata: "Biarlah jamuan mereka menjadi jerat dan perangkap, penyesatan dan pembalasan bagi mereka. Dan biarlah mata mereka menjadi gelap, sehingga mereka tidak melihat, dan buatlah punggung mereka terus-menerus membungkuk."” Mengapa saya memasukkan kedua ayat ini pada golongan orang ketiga dari ayat 7? Karena kedua ayat yang diambil dari Mazmur 69:23-24 menunjuk kepada orang di luar umat pilihan (baca mulai ayat 19 di Mazmur 69—doa Daud dalam kesesakan). Di dalam kesesakan, Daud mendoakan agar para musuhnya diperangkap oleh jamuan (menandakan kesenangan), mata mereka dibutakan, dan punggung mereka terus-menerus dibungkukkan, supaya mereka tidak dapat menangkap Daud. Di sini, kita juga mendapatkan gambaran tentang kedaulatan Allah terhadap musuh orang percaya atau orang-orang yang tidak percaya (kembali kepada pembahasan awal, mereka/orang-orang yang tidak percaya hidup berpusat pada diri—antroposentris). Mereka yang tidak percaya tidak segan-segan mencobai kita yang percaya dengan mencoba membunuh, menggoncangkan iman kita, dll (peperangan rohani antara hidup yang Theosentris vs hidup yang antroposentris). Tetapi kita tidak perlu kuatir. Ia sanggup melepaskan kita dari tangan para musuh, jika Ia mau. Terlalu banyak cerita/kesaksian di mana Allah meluputkan umat pilihan-Nya dari terkaman musuh. Tetapi ini tidak boleh dijadikan standar mutlak bahwa orang Kristen pasti tidak melewati sengsara. Ketika Tuhan mengizinkan kita tidak diterkam oleh musuh, jangan gembira, justru mungkin itu membuktikan bahwa iman kita masih lemah, sehingga Tuhan belum mau memproses diri dan iman kita. Di sisi lain, tatkala Tuhan meluputkan kita dari terkaman musuh, itu juga bisa berarti pencobaan yang akan kita alami di luar kemampuan kita, oleh karena itu Dia datang menolong (1 Korintus 10:13). Di era postmodern, kita melihat terlalu banyak contoh akan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang tidak dipilih Allah ini. Mereka yang jelas bukan orang Israel dan bukan juga kaum pilihan Allah di dalam Kristus dibiarkan binasa oleh Allah, dengan cara apa? Dengan cara membiarkan mereka dikuasai oleh setan dan hawa nafsu mereka yang menjijikkan. Tuhan membiarkan Injil dihina dalam bentuk media cetak, sebaliknya yang bukan kebenaran dipuja-puji, bahkan disponsori oleh badan internasional untuk mendukung gerakan anti penghinaan agama yang justru tidak mengajar kebenaran! Pembiaran Tuhan kepada mereka yang menghina Injil tidak berarti Allah kalah, justru Ia menunggu waktu yang tepat yaitu kelak di hari kedatangan Kristus yang kedua kalinya, di mana Ia bertindak sebagai Hakim yang pasti menghukum mereka yang sengaja menghina Injil dan Kristus! Wait and see! Allah kita adalah Allah yang adil yang akan menjalankan pembalasan bagi mereka yang menghina dan menolak Injil dan Kristus!


Puji Tuhan! Kita telah belajar banyak hal pada bagian ini, yaitu bahwa ada dua orang yang hidup di dunia ini, satu hidup berpusat pada Allah (Theosentris) dan sisanya berpusat pada diri (antroposentris). Dua orang ini akan berselisih dan bertentangan satu sama kali bahkan melawan. Ada peperangan rohani yang tidak bisa dipisahkan antara dua orang ini dan jangan lupa, kita termasuk di dalamnya. Termasuk orang macam apakah ini? Apakah kita menTuhankan Kristus di dalam hidup kita? Ataukah kita termasuk orang yang menjadikan diri sendiri sebagai “tuhan” lalu menolak Kristus, meskipun kita dengan bangganya masih mengklaim “melayani tuhan”? Mari kita mengintrospeksi diri masing-masing dan bertobatlah jika kita masih mentuhankan diri sendiri! Amin. Soli Deo Gloria. Solus Christus.

Matius 11:25-26: KRISTUS SEBAGAI PUSAT HIDUP-7

Ringkasan Khotbah : 9 Juli 2006

Kristus sebagai Pusat Hidup (7)
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 11:25-26



Pendahuluan
Tema keseluruhan dari Injil Matius 11 ini adalah hidup yang berpusat pada Kristus dimana sebagai warga Kerajaan Sorga kita harus hidup dalam kebenaran-Nya. Bukanlah hal yang mudah memahami kebenaran-Nya, karena itulah Matius 11:25 diberikan supaya kita semakin mengerti kebenaran-Nya dan bagaimana kita seharusnya berespon dengan tepat atas semua realita yang terjadi di dunia. Di Mat. 11:25 seharusnya ada dua kata kerja, yaitu: “menjawab/berespon“ dan “berkata“ namun kata yang paling penting, yaitu “respon“ malah dihilangkan. Respon ini diungkapkan oleh Tuhan Yesus dengan kalimat yang sangat mengejutkan di ayat 25 dan 26. Tentu saja, orang sangat kaget karena konsep mereka tentang mujizat sangat berbeda dengan apa yang Tuhan ungkapkan. Mereka pikir orang yang mendapat mujizat adalah orang yang rohani dan disayang Tuhan tapi ternyata mereka yang mendapat mujizat justru mendapat hukuman. Tuhan tahu apa yang menjadi motivasi mereka mengikut, yakni karena orang merasa diuntungkan. Tuhan tahu motivasi buruk mereka itu maka Ia pun menegur dengan keras namun ironis, orang tidak berterima kasih dan bertobat karena disadarkan akan kesalahannya. Tidak! Alkitab mencatat mereka justru pergi dan meninggalkan Yesus (Yoh. 6).
Manusia sulit menerima konsep kebenaran sejati karena bertentangan dengan konsep manusia berdosa. Seharusnya momen dimana kita menyadari bahwa konsep kita berbeda dengan Kristus itu menjadikan kita bertobat. Sungguh amatlah disayangkan, hari ini jarang kita temui seorang Pengkhotbah yang mengkhotbahkan ayat-ayat Firman Tuhan yang berbicara dengan keras seperti di Injil Mat. 11:20-24 atau Luk. 6:20-26 karena mereka takut “kehilangan“ pengikut dan sebagai gantinya, ayat-ayat yang menegur dan menyinggung keduniawian itu dihilangkan. Dan sebagai gantinya, orang mulai menyelewengkan Firman dan mulai mengajarkan paham hedonisme. Paham hedosnisme mengajarkan hidup di dunia ini hanya sekali dan besok mati karena itu, orang harus bisa menikmati segala kenikmatan yang ditawarkan dunia. Orang tidak menyadari ada kehidupan lain setelah kematian yang telah menanti, yakni kematian kekal atau sukacita kekal. Waspadalah, dunia berusaha membalik semua konsep kebenaran yang diajarkan oleh Kristus; dengan segala cara setan berusaha membuat manusia jauh dari Kebenaran sejati termasuk orang-orang Kristen.
Di tengah segala terpaan dan arus dunia yang semakin kacau ini, Tuhan Yesus mengajak kita untuk berespon dengan tepat terhadap suatu realita yang sedang kita hadapi atau yang sedang ada di hadapan kita. Merupakan suatu kesalahan fatal kalau meresponi suatu realita dengan konsep pemikiran duniawi atau perasaan duniawi kita sebab itu menjadi titik kehancuran kita. Ingat, jangan pernah berpikir untuk mengalahkan Kebenaran sejati, manusia yang tidak mau kembali pada Tuhan justru akan hancur. Hendaklah sebagai anak Tuhan, kita harus berpikir dan berlaku seperti Kristus dan apa yang Kristus rasakan maka kita pun harusnya merasakan hal yang sama. Berhentilah dengan segala pemikiran kita yang salah, berhentilah dengan semua pemikiran duniawi yang bersifat kedagingan berdosa, berhentilah berespon dengan memakai perasaan. Hendaklah dalam hidupmu kamu memiliki pikiran dan perasaan yang sama seperti yang ada dalam Kristus. Lalu apa yang menjadi respon Kristus dan bagaimana Dia berespon?
Perhatikan, respon yang ditunjukkan Yesus berbeda dengan cara manusia berespon bahkan cenderung bertentangan. Tuhan Yesus justru mengucap syukur atas kota-kota yang banyak mendapat mujizat tapi mendapat hukuman. Orang sulit menerima konsep Alkitab sebab belum apa-apa, kita telah mengambil posisi kontra. Layakkah seorang yang melawan Kristus dikatakan sebagai orang Kristen? Tidak! Sesungguhnya orang hanya mau menunggangi Kristus demi kepentingan pribadi. Disinilah orang dituntut untuk berespon dengan tepat. “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi...“; segala sesuatu haruslah dimulai dari Kedaulatan Allah, sovereignty of God; Dia adalah Tuhan atas langit dan bumi, atas sorga dan dunia.
Segala sesuatu harus dilihat dari sudut pandang Kristus barulah kita dapat mengucap syukur atas semua hal dalam hidup kita. Dunia justru sebaliknya, dunia melihat segala sesuatu dari perspektif dunia, semua mulai dari aspek humanistik; apa yang dunia inginkan itulah yang ditata secara dunia. Itulah sebabnya dunia seringkali membuat sebab akibat dan tentu saja, hasilnya untuk kepentingan manusia. Setiap aspek kehidupan dapat dihubungkan dengan setiap aspek lain dan teori ini disebut teori kausalitas. Di dunia tidak lepas dari kausalitas namun masalahnya adalah cara pembangunan konsep kausalitas di dunia ini dilihat dari perspektip siapa? Kekristenan melihat teori sebab akibat haruslah dilihat dari atas/Tuhan.
Dunia menyimpulkan bahwa orang yang bernubuat, mengusir setan, melakukan mujizat pastilah orang Kristen hebat maka Tuhan akan memberkati dan masuk sorga. Kesimpulan yang salah ini muncul karena relasi sebab akibat ditarik dari perspektif dunia. Cara pandang Tuhan berbeda dengan dunia; orang yang mendapat mujizat justru akan mendapat celaka, Tuhan membuangnya dalam neraka (Mat.7: 21-23). Hubungan relasinya sama tetapi kesimpulan yang ditarik berbeda. Tuhan ingin setiap anak Tuhan mempunyai cara pandang seperti Kristus dengan demikian orang dapat melihat dengan tajam dan menarik kesimpulan yang berbeda dengan dunia pada umumnya. Cara pandang seperti inilah yang Tuhan ingin kita miliki. Respon Kekristenan adalah melepaskan semua yang menjadi keinginan daging dan berbalik pada Kedaulatan Allah.
Alkitab mencatat Tuhan bersyukur karena semuanya (rahasia Kerajaan Sorga) Tuhan sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai tetapi Tuhan justru menyatakannya kepada orang kecil (Mat. 11:25). Terjemahan yang tepat untuk “orang kecil“ seharusnya “orang sederhana.“ Kepandaian kalau tidak ditaklukkan di bawah Kristus maka semakin pandai seseorang justru semakin menunjukkan kebodohannya. Jangan bangga dengan gelar yang kita punya dan menganggap diri pandai. Sederetan gelar bukanlah jaminan ia seorang yang pandai. Tidak! Ayat diatas tidak berarti Tuhan Yesus tidak suka dengan orang pandai dan orang bijak. Salah! Alkitab justru menyatakan orang yang kurang hikmat hendaklah ia meminta hikmat dari Tuhan; Salomo dipuji karena hikmatnya. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah orang bijak dan orang pandai seperti apakah yang dimaksudkan oleh Tuhan? Dari bagian ini kita dapat memahami beberapa hal penting, yakni:
Pertama, Bijak dan pandai yang didasarkan atas egoisme manusia, atas nafsu dosa tidak dapat menyelesaikan seluruh problema hidup. Adalah sia-sia seluruh kepandaian dan hikmat yang ada pada kita kalau kita tidak memahami kebenaran sejati, seluruh hidup kita akan hancur. Permulaan pengetahuan haruslah didasarkan pada takut akan Tuhan. Philosophy berasal dari bahasa Yunani, philo artinya mencintai dan sophia artinya bijaksana, jadi philosophy artinya orang yang mencintai bijaksana namun benarkah mereka mencintai bijaksana? Kenyataannya tidaklah demikian, seluruh filsafat besar dunia menolak Tuhan, seperti esksintensialisme, dialektik-materialisme, kapitalisme, posmodernisme, dan masih banyak lagi. Bagaimana mungkin orang dapat mempunyai bijaksana kalau orang menentang Tuhan yang adalah Sumber Bijaksana? Dunia modern tidak memulai segala sesuatu dari Tuhan tapi segala sesuatu dikerjakan untuk melawan Tuhan. Ingat, takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan.
Kedua, Pengertian pengetahuan, true knowledge dan bijaksana sejati yang ada kita itu merupakan anugerah Tuhan semata; kepada siapa Tuhan hendak membukakan maka kepada mereka dibukakan. Perhatikan, ketika Tuhan Yesus mengajar dengan perumpamaan itu bukan dimaksudkan untuk mempermudah supaya banyak orang dapat mengerti. Tidak! Kepada kamu diberikan karunia untuk mengetahui Kerajaan Sorga, tetapi kepada mereka tidak; itulah sebabnya Aku berkata dalam perumpamaan kepada mereka, karena sekalipun melihat, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar dan tidak mengerti (Mat. 13:12). Orang tidak memahami esensi hikmat itulah sebabnya sampai hari ini orang mencari-cari hikmat namun semua sia-sia dan berakhir dengan kegagalan. Hikmat dan kepandaian sejati itu kita dapatkan kalau kita hidup taat kepada Tuhan. Saat kita berespon seperti Kristus berespon barulah kita dapat mengerti semua aspek dengan tepat. Sebagai anak Tuhan, janganlah kita menjadi rendah diri tetapi belajar Firman, Kebenaran Allah itu dengan baik maka kita dapat menganalisa dan menilai semua realita dunia yang ada dengan tepat, yakni dari sudut pandang Tuhan.
Ketiga, Tuhan lebih suka dengan orang yang sederhana. Istilah orang kecil disini sangat unik, yakni orang kecil yang dimaksud adalah seorang bayi, infant atau lebih tepatnya diterjemahkan sebagai orang sederhana. Pengertian orang kecil, small man dalam konsep antropologi manusia mempunyai konotasi negatif, yakni orang yang kerdil secara karakter, rendah diri/minder, mudah tersinggung, merasa diri tidak mempunyai apa-apa. Orang kecil ini biasanya egois, ia selalu menuntut orang lain untuk selalu memperhatikan dirinya; ia akan sangat tersinggung ketika orang mengacuhkan dirinya, ia selalu menuntut untuk selalu berada di tempat terdepan. Inilah jiwa yang dimiliki orang kerdil, small man. Orang kerdil yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus bukan small man seperti di atas. Bukan! Small man dikontraskan dengan gentleman, yakni orang yang berjiwa gentle, ia selalu memperlakukan diri dan orang lain sebagai manusia sejati. Tuhan membukakan rahasia Kerajaan Sorga kepada orang yang sederhana, infant. Kesederhanaan ini juga menjadi salah satu unsur yang harus ada dalam seni Kekristenan selain unsur harmoni dan agung, glorius.
Ciri-ciri orang yang sederhana adalah:
1. Rendah Hati
Orang yang rendah hati selalu menyadari bahwa dirinya adalah manusia terbatas, dia bukan segala-galanya dan dia selalu berusaha untuk belajar. Kepada orang yang rendah hati Tuhan membukakan rahasia Kerajaan Sorga. Orang yang merasa diri bijak biasanya ia adalah orang yang sok tahu segala hal sehingga kalau ada orang lain yang mengatakan tentang kebenaran, ia akan menutup diri. Orang seperti demikian ini tidak akan pernah mendapatkan suatu pengetahuan karena belum apa-apa ia merasa pandai dan mempunyai banyak pengetahuan. Bagaimana ia bisa belajar sesuatu kalau belum apa-apa ia merasa diri bijak? Bagaimana kita bisa mengajarkan sesuatu pengetahuan kalau ia merasa diri sudah selesai belajar? Orang sederhana adalah orang yang setiap saat menyadari kalau ia adalah orang berdosa yang seringkali menyeleweng dari jalan Tuhan dan orang sederhana selalu mau dikoreksi dan diperbaiki kesalahannya. Tuhan suka dengan orang yang mau dibentuk; Tuhan suka dengan orang yang hancur hatinya sebab pada saat hancur barulah ia dapat dibentuk. Itu juga menjadi alasan kenapa orang lebih terbuka pada Firman pada saat ia dalam keadaan sakit atau desperate? Apakah perlu Tuhan menghancurkan kita terlebih dahulu, kita merasakan sakit terlebih dahulu baru kerendahan hati itu muncul? Alangkah indah kalau kita mau bertobat sebelum Tuhan menghancurkan kita. Nabi Habakuk tidak menyadari sampai Tuhan membukakan suatu kebenaran barulah ia diubahkan dan muncul suatu kesimpulan indah dari mulutnya seperti yang tertulis dalam Hab. 3:17-19. Orang dapat merubah konsep berpikir ini dibutuhkan suatu kerendahan hati. Kerendahan hati seperti inilah yang harusnya dimiliki oleh anak Tuhan, manusia sederhana yang infant dan masih bayi. Perhatikan, bayi lahir sudah membawa unsur dosa tetapi secara natur manusia, bayi paling mudah diajar dan menyerap segala sesuatu dengan mudah dan cepat. Itulah sebabnya, momen lima tahun pertama sangatlah berharga sebab kalau kita gagal menanamkan first decree maka itu akan menjadi kesulitan yang besar di kemudian hari. Tuhan ingin dalam kehidupan iman Kristen kita, kita mempunyai hati seperti bayi yang setiap saat mau diajar dan dibentuk oleh Firman.
2. Pikiran Terbuka, Open Minded
Orang yang mempunyai pikiran terbuka selalu peka akan pimpinan Tuhan sebaliknya orang yang berpikiran tertutup, close system hanya mau mendapat informasi yang cocok dengan pikirannya, ia akan memasang benteng kalau informasi tidak cocok dan berlawanan dengan pikirannya ia akan langsung menolaknya; ia merasa pikirannya itulah yang paling benar. Tuhan ingin kita menutup segala hal terhadap segala godaan iblis dan dunia tetapi terhadap Firman, pikiran kita terbuka. Open minded adalah kerelaan kita dididik oleh Tuhan terhadap Firman, mau punya pikiran seperti pikiran Tuhan. Merupakan suatu anugerah kalau kita mempunyai pikiran dan hati yang terbuka terhadap Firman sehingga memungkinkan kita untuk mempelajari iman sejati, hidup sejati, dan realita sejati. Orang takut mempunyai pikiran yang terbuka, open minded karena ia takut keabsolutditasan dirinya terganggu, ia takut konsep pikirannya menjadi kacau ketika ia menerima konsep pikiran lain. Iman bersifat mutlak maka segala hal, benar atau salah itulah dianggap benar dan mutlak maka orang takut kalau ternyata ia mendapati kalau selama ini yang ia anggap benar itu ternyata salah karena itu ia menutup pikirannya, close system. Sesungguhnya, ia menyadari kalau konsepnya salah dan harus diubahkan namun yang menjadi permasalahan adalah orang tidak rela mengubah konsep berpikirnya yang pastinya tidak akan nyaman.
Perombakan worldview, pembentukan ulang konsep berpikir dasar ini tidaklah mudah dan untuk hal ini pasti ada suatu pengorbanan. Tuhan ingin kita terbuka untuk kita ditata ulang, semua worldview yang salah diubahkan oleh-Nya dengan demikian kita menjadi serupa Kristus. Biarlah ketika kita berpikir, kita tidak berpikir terlalu jauh (Rm. 12:3) dengan demikian pikiran itu tidak menjadi bumerang bagi diri kita. Ketika kita berpikir hendaklah kita berpikir sedemikian rupa sebatas dengan ukuran iman yang Tuhan berikan kepada kita. Berpikir lebih dari itu justru akan membuat kita paranoia, ketakutan yang tidak mendasar. Seperti sebuah segitiga dengan sudut 90 derajat di salah satu sisinya maka pertumbuhan pemikiran itu setara dengan pertumbuhan imannya. Pertumbuhan ini adalah pertumbuhan yang proposional maka hidup iman kita akan beres. Iman itulah yang menjadi patokan. Alangkah indah hidup kita kalau kita berpikir terbuka, open system, hidup kita senantiasa dipimpin oleh Firman Tuhan. Orang yang mempunyai pemikiran sederhana bukanlah orang yang tidak berpengetahuan. Salah! Sebaliknya, orang yang berpikiran sederhana adalah orang yang dapat memproporsikan pola berpikirnya.
3. Setia, Faithfull
Tuhan Yesus menunjukkan respon yang tepat atas semua yang terjadi; “Ya, Bapa itulah yang berkenan kepada-Mu“ (Mat. 11:26),. Pertanyaannya apa yang membuat Tuhan Yesus bersyukur? Karena semua hal itulah yang diperkenan oleh Bapa. Inilah konsep iman Kekristenan, yakni apa yang menjadi perkenanan dan kesukaan Tuhan maka itu juga harus menjadi kesukaan kita. Berpikir sederhana adalah tidak bertanya yang tidak perlu namun hal ini bukan berarti kita tidak boleh bertanya. Tidak! Banyak bertanya disini adalah jangan seperti orang yang menginterograsi seakan-akan Tuhan mempunyai banyak kesalahan pada kita. Seharusnya kita banyak bertanya dan kalau perlu menginterograsi untuk hal-hal yang berbau berdosa itulah yang harusnya kita interograsi. Ironisnya, hari ini banyak orang yang tidak banyak bertanya untuk hal-hal yang berbau dosa tapi orang justru banyak pertanyaan jika hal itu menyangkut pekerjaan dan kehendak Tuhan. Sebagai contoh, orang tidak terlalu bergumul terlalu lama untuk masuk sekolah favorit, menjawab panggilan dunia tapi orang akan bergumul lama ketika menjawab panggilan Tuhan.
Sebagai anak Tuhan sejati, Tuhan ingin kita mempunyai hati yang taat sepenuhnya, faithfull. Gambaran seorang yang faithfull ini seperti seorang anak kecil yang tanpa banyak tanya ia akan mengikuti kemanapun ibunya pergi. Gambaran ini lebih tepat dalam bahasa Jawa, yakni memakai istilah “ngintil/manut.“ Hidup sederhana, simple adalah hidup yang taat Tuhan sepenuhnya, mungkin secara duniawi tidaklah mengenakkan tetapi percayalah Tuhan tahu yang terbaik untuk kita. Betapa indah kalau kita menjadi seorang yang sederhana, simple person karena Tuhan membukakan rahasia Kerajaan Sorga itu kepada mereka yang sederhana dan ingatlah, semua itu tidak lepas dari anugerah Tuhan kalau kita dapat mengerti kebenaran-Nya dan taat pada pimpinan-Nya. Kita sepatutnya bersyukur atas anugerah Tuhan terindah dalam hidup kita sebagai respon kita ketika kita melihat suatu realita dunia. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: