30 August 2010

WHAT'S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-7: Eden dan Dosa-6: Kerja Sama yang Berdosa

WHAT’S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-7:
Eden dan Dosa-6: Kerja Sama yang Berdosa


oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Kejadian 3:6b




Pada bagian terdahulu kita telah menyoroti adanya kebingungan ordo tatkala Adam bukannya menegur Hawa yang memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, malahan menuruti perkataan Hawa dengan ikut memakannya. Pada bagian ini, kita akan menyoroti khusus ayat 6b di dalam frase, “… diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, …” Di sini, kita memperhatikan bahwa Hawa bukan hanya makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat seorang diri saja, namun ia juga memberikan buah tersebut kepada Adam untuk dimakan juga. Inilah bentuk ketidakberesan pertama dalam prinsip kerja sama. Saya menyebutnya sebagai: kerja sama yang berdosa. Apa itu kerja sama yang berdosa? Apa penyebab dan akibatnya? Bagaimana membentuk kerja sama yang Alkitab inginkan?

A. Kerja Sama yang Berdosa
Kerja sama yang berdosa adalah sebuah kerja sama yang terlepas dari Allah yang ditandai dengan dua gejala:
Pertama, tidak ada yang mengingatkan akan kebenaran Allah. Kerja sama yang terlepas dari kebenaran Allah tentu sebuah kerja sama di mana tidak ada Allah dan kebenaran-Nya di dalamnya, sehingga tidak heran kerja sama tersebut tidak ada seorang pun yang mengingatkan akan kebenaran Allah. Masing-masing orang di dalam kerja sama tersebut sibuk dengan urusan dan kepentingan masing-masing di luar Allah. Dalam kasus di Taman Eden, Adam yang seharusnya menegur Hawa untuk tidak makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat dengan mengingatkan akan perintah Allah, akhirnya malahan menjadi seorang pria yang lemah yang akhirnya mengalah kepada Hawa. Apa sebabnya? Karena kerja sama antara Adam dan Hawa bukan didasarkan pada kebenaran Allah, tetapi karena emosi sesaat. Emosi sesaat atau fenomena itu ditandai dengan keinginan Adam yang sama seperti Hawa yang ingin menikmati buah pohon pengetahuan baik dan jahat. Makin mereka bekerja sama, mereka makin berdosa di hadapan Allah, karena kerja sama mereka di luar kebenaran Allah. Di zaman sekarang pun, kita melihat gejala yang sama. Mayoritas kerja sama di sekolah, kampus, tempat kerja, dll adalah kerja sama yang tidak berpusat kepada Allah, akibatnya tidak heran, kita melihat makin mereka bekerja sama, suatu saat mereka makin bertengkar satu sama lain, bahkan yang lebih mengenaskan hal ini terjadi di dalam beberapa gereja.

Kedua, sama-sama menikmati dosa. Di dalam kerja sama yang tidak ada yang mengingatkan akan kebenaran Allah akan berakibat pada kecenderungan untuk sama-sama menikmati dosa. Karena Adam gagal mengingatkan Hawa akan perintah Allah, maka Adam pun bekerja sama dengan Hawa untuk melawan perintah Allah dengan memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Bersama-sama melawan perintah Allah inilah bentuk dari bersama-sama menikmati dosa. Mereka telah diracuni oleh iblis yang mengatakan bahwa melawan perintah Allah itu bukan dosa, tetapi suatu kenyamanan. Di dalam zaman ini, gejala yang sama juga terjadi. Kerja sama antara teman, rekan, saudara, dll mayoritas bukanlah kerja sama yang beres, namun kerja sama yang menikmati dosa. Yang celakanya, kerja sama tersebut seolah-olah kelihatan baik di depan, namun secara tidak sadar menusuk di belakang. Sifat kerja sama ini bisa eksternal maupun internal. Artinya, sifat kerja sama ini bisa berlaku untuk orang luar maupun di dalam lingkungan kerja sama tersebut. Sebagai contoh praktis, kita mengenal istilah SINDIKAT. Itulah kerja sama menipu. Sindikat itu terdiri dari beberapa orang yang saling bekerja sama untuk melakukan penipuan entah itu melalui telepon, sms, surat, bahkan yang terakhir melalui Yahoo Messenger (YM). Modus operandinya adalah meminta sejumlah uang atau meminta tolong membelikan pulsa HP dengan maksud ingin menguras saldo ATM Anda. Atau juga untuk kalangan internal, kita melihat contoh praktisnya, di dalam satu kelompok sosial bahkan agama atau mungkin keluarga, tidak sedikit orang yang nekat menipu rekan atau saudara sendiri untuk meraup keuntungan besar.


B. Penyebab
Lalu, kita bertanya-tanya, mengapa semua ini bisa terjadi? Saya menemukan dua penyebab:
Pertama, hilangnya kebenaran Allah. Kerja sama yang tidak beres terjadi karena kebenaran Allah sudah hilang di dalam prinsip kerja sama. Artinya, kerja sama tersebut berdiri di atas dasar kepentingan sendiri yang egosentris. Hilangnya kebenaran Allah ditandai dengan diacuhkannya kebenaran Allah. Kebenaran Allah hanya ada di dalam mulut seseorang yang berbisa, namun tak pernah diaplikasikan. Yang lebih mengerikan, ada kerja sama rohani/agama yang mengutip ayat-ayat Alkitab (namun yang dikutipnya terlepas dari konteksnya) dengan tujuan mencari keuntungan (hanya kedok semata). Hilangnya kebenaran Allah juga ditandai dengan ditinggikannya kehebatan manusia. Manusia dipacu untuk menjadi sukses, kaya, berhasil, dll. Caranya? Mudah, melalui pelatihan motivasi dengan tujuan ingin membangkitkan kekuatan yang super besar yang sedang tidur di dalam diri manusia. Semuanya itu disatukan sebagai sarana untuk bisnis Multi Level Marketing (MLM). Para anggota dijanjikan keuntungan berlimpah jika mereka berhasil memberi keuntungan kepada perusahaan MLM tersebut. Meskipun tidak ada nama Tuhan di dalam bisnis MLM, tetapi motivasi, cara, dan tujuan bisnis ini sudah merupakan bentuk kerja sama yang tidak beres, karena manusia dipacu seperti sapi yang harus bisa sebanyak mungkin menjual produk MLM tersebut. Tetapi herannya, orang yang sama jika diperintahkan untuk memberitakan Injil tidak ada spirit yang sama, mengapa? Karena orang “Kristen” tersebut terpacu kalau ada iming-iming untung besar. Kedua, manusia yang semakin dipacu untuk sebanyak mungkin menjual produk MLM mengakibatkan banyak dari mereka yang lebih mengurusi MLM dan mungkin suatu hari, dirinya bisa lupa kebaktian di gereja atau enggan lagi membaca Alkitab atau melayani Tuhan di gereja, mengapa? Karena sebagian besar waktunya dipergunakan untuk mengurusi MLM. Makin bekerja sama di dalam MLM mengakibatkan makin lupa Tuhan.

Kedua, hilangnya semangat dan komitmen mengatakan Kebenaran. Selain kebenaran Allah hilang, yang lebih memprihatinkan adalah hilangnya semangat dan komitmen memberitakan kebenaran Allah tersebut. Mengapa demikian? Karena kita hidup di zaman yang benar-benar cuek dengan iman kepercayaan. Yang paling mengenaskan, gejala ini terjadi pada orang Kristen. Banyak orang Kristen tidak lagi memiliki semangat dan komitmen kuat untuk memberitakan kebenaran. Mengapa demikian? Pertama, cuek. Banyak orang Kristen cuek dengan iman Kristennya, karena sebenarnya mereka hanya orang Kristen rutinitas yang setiap hari Minggu ke gereja tanpa mengerti apa yang dikhotbahkan itu sesuai dengan Alkitab atau tidak. Ya, harap maklum, membaca Alkitab pun jarang, sampai-sampai Alkitab berdebu di rak bukunya. Kedua, “kasih”. Alasan kedua yang lebih parah yaitu dengan alasan “kasih” (atau “damai”), banyak orang Kristen enggan memberitakan Kebenaran. Atau dengan kata lain, alasan mereka adalah “agar orang lain tidak tersinggung.” Makin menjunjung tinggi “kasih” dan “damai”, banyak orang Kristen makin takut menyatakan Kebenaran. Jika mereka memberitakan kebenaran, mereka nantinya dicap fanatik, sok suci, dll. Akibatnya, mereka akan kehilangan banyak teman. Mereka berpikir jika mereka tidak memberitakan Kebenaran, maka mereka akan memiliki banyak teman.


C. Akibat
Kerja sama yang tidak beres ini nantinya sadar atau tidak sadar mengakibatkan suatu kerja sama yang melawan Allah dan berpusat pada manusia. Kerja sama Adam dan Hawa yang melawan perintah Allah tidak berhenti, namun terus berlanjut. Di dalam Kejadian 6:1-4, kita melihat manusia yang makin bertambah banyak makin hidup tidak karuan dan di ayat 5-6, Tuhan sendiri sedih melihat kerusakan manusia yang semakin parah. Kesedihan Tuhan terus berlanjut dan ditambah dengan murka-Nya tatkala Ia melihat manusia yang semakin banyak ingin membuat menara yang tingginya sampai ke langit agar mereka tidak terserak (Kej. 11:1-9). Tidak cukup sampai di situ, ketika manusia bertambah banyak dan membentuk suatu bangsa yang disebut Israel, maka Alkitab mencatat bahwa mereka yang telah mendapat anugerah Allah justu menjadi sebuah bangsa yang tegar tengkuk (Kel. 32:9).


D. Persekutuan: Restorasi Prinsip Kerja Sama yang Berdosa
Lalu, jika kerja sama manusia pertama sudah dirusak dosa, bagaimana penyelesaiannya? Kerja sama yang rusak akibat dosa harus diselesaikan dengan cara Allah, yaitu melalui penebusan Tuhan Yesus Kristus melalui kematian-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati. Kematian dan kebangkitan-Nya bukan hanya menebus umat pilihan-Nya dari dosa, tetapi juga merekatkan kembali hubungan antara sesama umat pilihan-Nya agar mereka bersatu di dalam Kristus. Hal ini terealisasi tatkala kuasa Roh Kudus turun ke atas para rasul di hari Pentakosta di mana para rasul berbicara dalam bahasa yang berbeda kepada orang-orang yang berkumpul di Yerusalem waktu itu (Kis. 2:1-12) dan Alkitab mencatat bahwa khotbah Petrus pada waktu itu dipakai Tuhan luar biasa sehingga menghasilkan 3000 petobat baru (Kis. 2:41). Kemudian, para petobat baru tersebut berkumpul untuk bersekutu di dalam persekutuan tubuh Kristus (ay. 42-47). Di sinilah, konsep kerja sama yang tidak beres akibat dosa di zaman Adam dan Hawa direstorasi melalui kematian dan kebangkitan Kristus plus kuasa Roh Kudus sehingga menghasilkan konsep baru: persekutuan (fellowship). Konsep ini terus berkembang di seluruh Perjanjian Baru. Setelah membahas konsep ibadah sejati di Roma 12:1-2, maka di ayat 4-8, Paulus menjelaskan kesatuan tubuh Kristus yang terdiri dari berbagai anggota dengan berbagai macam karunia. Dan di dalam 1 Korintus 12:4-27, Paulus juga menekankan kesatuan tubuh Kristus dengan beraneka ragam karunia yang dipergunakan untuk membangun tubuh Kristus. Di dalam surat-suratnya yang lain, Paulus juga menekankan hal serupa. Dari pemahaman ini, maka apa saja ciri persekutuan ini?
Pertama, di dalam Kristus. Persekutuan ini adalah persekutuan di dalam Kristus. Berarti dasar dan fokus persekutuan ini adalah Kristus sendiri melalui pengajaran-pengajaran-Nya di Alkitab. Kita bisa bersekutu jika persekutuan itu didasarkan pada Kristus dan Alkitab, karena Kristus dan Alkitab tidak bisa dipisahkan. Adalah suatu ketidakmasukakalan jika mengatakan bahwa yang penting bersatu di dalam Kristus, meskipun ajarannya berbeda-beda, bahkan bertentangan dengan Alkitab, melawan Alkitab, dan sesat. Itu bukan persekutuan, tetapi kerja sama. Bagi saya, persekutuan adalah restorasi Allah bagi konsep kerja sama yang ngaco di zaman Adam dan Hawa, sehingga jangan berani mengatakan istilah persekutuan, jika konsepnya masih sama seperti konsep kerja sama yang ngaco di zaman Adam dan Hawa dahulu. Kembali, jika kita menegaskan bahwa persekutuan kita adalah persekutuan di dalam Kristus, berarti di dalam persekutuan kita, kebenaran Allah dijunjung tinggi. Lebih tajam lagi, berarti kita memiliki semangat dan komitmen mengatakan kebenaran Allah. Apakah dengan mengatakan kebenaran Allah ini, kita kurang mengasihi? Justru SALAH. Ketika kita mengatakan kebenaran Allah dengan lembut tetapi tanpa kompromi, di saat itulah kita menunjukkan kasih Allah kepada orang itu agar bertobat. Alkitab sendiri berulang kali mengajar kita bahwa kasih Allah ditunjukkan bukan dengan membiarkan kita berkanjang di dalam dosa, tetapi justru menegur bahkan menempeleng kita. Di Wahyu 3:19, Tuhan dengan keras berfirman kepada jemaat di Laodikia yang suam-suam kuku, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” Lebih jelas lagi, melalui penulis Ibrani, Tuhan berfirman, “karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” (Ibr. 12:6; bdk. Ayb. 5:17 dan Ams. 3:11-12) Makin Allah mengasihi umat pilihan-Nya, Ia makin mendidik dan mengajar mereka agar mereka menjadi serupa dengan gambaran Kristus, Kakak Sulung umat pilihan-Nya. Jika Allah mengasihi kita dengan menegur dan mendisiplin kita, maka kita sebagai umat pilihan-Nya pun mengasihi saudara seiman lainnya (dan orang lain) juga dengan memberitakan kebenaran Allah kepada orang lain. Rev. Bill Hybels, D.D. di dalam bukunya Who You Are When No One’s Looking mengatakan, “Untuk mengasihi seperti Kristus mengasihi, Anda harus mengutamakan untuk mengatakan kebenaran di atas menjaga kedamaian.” (hlm. 83) Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita benar-benar bersekutu di dalam Kristus dalam arti di dalam kebenaran firman-Nya?

Kedua, di dalam kasih. Selain di atas kebenaran, kita juga harus bersekutu di dalam kasih. Saya menjumpai adanya gejala ekstrem di dalam Kekristenan. Ada yang terlalu menekankan kasih tetapi mengabaikan kebenaran firman, sebaliknya ada yang terlalu menekankan pentingnya belajar kebenaran firman, namun kurang memiliki kasih dan tidak sedikit akhirnya menjadi orang yang gegabah menghakimi. Persekutuan yang Tuhan inginkan bukan hanya di dalam Kristus, tetapi juga di dalam kasih. Artinya, masing-masing orang Kristen sejati bersatu di dalam kasih yang mempersatukan di dalam kebenaran. Ada dua ruang lingkup di dalamnya. Pertama, internal. Di dalam satu gereja yang kelihatan, masing-masing anggota bersatu untuk bersama-sama bertumbuh di dalam pengenalan akan Kristus: saling mengajar, menegur, menghibur, menguatkan, dll. Kedua, eksternal. Masing-masing orang Kristen dari berbagai denominasi gereja yang beres bersatu di dalam kebenaran untuk menyatakan kebenaran Allah kepada dunia luar. Mungkin mereka terhisap di dalam sebuah organisasi Kristen atau misi penginjilan yang beres (seperti: OMF, Persekutuan Antar Universitas—Perkantas, Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia—LPMI, dll) untuk memberitakan Injil Kristus yang beres kepada dunia. Sungguh sangat disayangkan jika ada beberapa orang Kristen yang terlalu teoritis dan belajar banyak doktrin mengakibatkan dia enggan bersekutu dengan orang Kristen di luar gerejanya atau bahkan diindoktrinasi untuk tidak boleh berteman dengan orang Kristen di luar gerejanya. Jika orang Kristen sendiri tidak bersatu, kita bukan menjadi berkat bagi orang dunia, tetapi justru menjadi celaan.


Biarlah kita makin hari makin dimurnikan untuk bersatu di dalam kebenaran Kristus dan kasih yang mempersatukan demi melebarkan Kerajaan Allah di bumi ini dan nama Tuhan dipermuliakan selama-lamanya. Amin. Soli Deo Gloria.

29 August 2010

KOINONIA-1: Dari Melihat Menjadi Menyentuh (Pdt. Joshua Lie, M.Phil., Ph.D.--Cand.)

Koinonia-1:
DARI MELIHAT MENJADI MENYENTUH

oleh: Pdt. Joshua Lie, M.Phil., Ph.D. (Cand.)




Kisah Para Rasul 2:42
“Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa”



Pernahkah Anda merindukan suasana ketika berada di dalam gedung gereja? Saya ingat ketika masih berumur 12 tahun, gedung gereja merupakan tempat terbaik untuk berdoa. Ruangan yang tenang, atap yang menjulang, dan di hadapan kita ada kayu salib yang besar. Ibu saya beberapa kali mengajak saya masuk ke dalam gedung gereja ketika sepi karena bukan hari minggu, lalu berlutut bersama. Itulah kesan saya tentang gereja. Suasana gedung gereja memberikan “sentuhan” yang tak terlupakan. Demikian pula suasana bersama teman-teman gereja berbeda dengan suasana teman-teman di sekitar rumah atau di sekolah. Apa yang berbeda?

Kisah Para Rasul mengungkapkan “suasana” jemaat mula-mula sebagai jemaat “yang bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan … selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” Mereka bertekun. Bertekun (prokarterountes) dalam arti harfiahnya “being strong toward.” “Suasana” gereja mula-mula muncul dari jemaat itu sendiri, yaitu jemaat yang bertekun. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul, bertekun dalam persekutuan, bertekun dalam memecahkan roti dan bertekun berdoa. Bayangkan ketekunan mereka menghasilkan “suasana” gereja yang sejati. Menariknya, dikatakan mereka bertekun dalam persekutuan. Bukankah dengan mereka berkumpul, mereka sudah bersekutu? Mengapa perlu bertekun? Inilah keunikan gereja, mereka bertekun dalam koinonia (persekutuan).

Bagi orang Gerika, koinonia adalah suatu perkumpulan atau suatu masyarakat. Ketika sejumlah orang berkumpul dan saling berbagi, atau ketika sejumlah orang mengadakan kesepakatan bekerja bersama, atau ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan menikah, disanalah koinonia berlangsung. Selanjutnya bagi orang Gerika, koinonia adalah lawan kata dari pleonexia, yaitu sikap mau menang sendiri, atau mau mengambil segala sesuatu bagi dirinya sendiri. Adanya pleonexia meniadakan koinonia, Ketika sejumlah orang berbisnis namun hanya sebagian kecil yang mengambil keuntungannya, kumpulan itu bukanlah koinonia. Ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan menikah namun salah satu saja yang memetik keuntungannya, maka pernikahan itu bukanlah koinonia.

Bagaimana dengan gereja sebagai koinonia? Apa yang membedakannya dengan koinonia orang Gerika? Apa bedanya gereja dengan perseroan, atau dengan perkumpulan arisan, atau dengan perkumpulan-perkumpulan lainnya? Ada cuplikan video yang pernah saya lihat. Sejumlah orang sedang berbaring, bercanda-ria, ada pula yang duduk-duduk menghirup udara segar di padang rumput yang hijau dengan latar belakang gunung yang indah. Tiba-tiba seorang pemuda berdiri lalu mulai bergoyang, dan terus bergoyang, tampaklah ia menari dengan wajah yang tersenyum. Orang-orang mulai memperhatikannya. Mulailah satu persatu orang berdiri dan mulai bergoyang. Satu persatu mulai menari! Inilah model koinonia Gerika. Mereka berkumpul, lalu semua menikmati tanpa ada yang memonopoli. Inilah gambaran koinonia Gerika.

Koinonia Gerika berasal dari kata koine, yaitu suatu yang sama dan menyatukan, common. Sejumlah orang berkumpul untuk mendapatkan manfaat bersama disatukan oleh suatu kepentingan bersama. Apa yang menyatukan mereka? Apa yang menjadi “common” yang menyatukan? Koinonia Gerika ditandai dengan kesenangan mereka berkumpul di teater. Teater bagi mereka sekaligus merupakan lukisan kehidupan mereka. Bahkan kata “teori” berasal dari kata “teater” dalam bahasa mereka. Mereka menemukan “common” (kesamaan) yang membentuk koinonia melalui teater. Teater menyatukan orang berkumpul sebagai penonton, penyaksi, orang yang melihat. Mereka disatukan dalam penglihatan. Mereka berkumpul, duduk, lalu dengan mata yang melihat, mereka menemukan kepentingan yang sama di dalam teater, dan menikmatinya bersama. Itulah koinonia Gerika.

Kehidupan modern meneruskan dan tentunya mengembangkan koinonia Gerika. Mata berperanan penting untuk menemukan yang menyatukan (common). Di gedung bioskop, puluhan, ratusan bahkan ribuan mata disatukan dalam pertunjukan. Beribu bahkan berjuta mata terpaku pada surat kabar dan televisi, lalu menemukan “common” dalam kehidupan moderen. Dan kini kita sedang disatukan dalam piala dunia di Afrika Selatan. Semua mata dari berbagai penjuru dunia dipadukan menjadi koinonia di stadium bola!

Bagaimana dengan koinonia gereja?

Hari Minggu pagi. Satu persatu jemaat berangkat dari rumah mereka menuju gereja. Mereka seperti biasanya tiba, bersalaman, dan mencari tempat duduk dalam gedung gereja. Kebanyakan jemaat duduk di tempat yang sama. Kemudian mereka disatukan dengan pandangan menuju ke panggung dan mimbar. Setelah menyanyikan doksologi dan menerima berkat, pergilah jemaat meninggalkan gedung gereja. Apa yang membedakan koinonia gereja dengan koinonia Gerika dan dunia moderen?

Koinonia gereja mula-mula bukan sekadar kumpulan orang-orang yang mempunyai kepentingan yang sama. Mereka bertekun di dalamnya. Koinonia dinyatakan dengan berbagi harta kepunyaan bahkan berbagi hidup. Itulah kehidupan gereja mula-mula di Yerusalem. Koinonia gereja adalah koinonia yang dibangun atas “kamu yang dahulu ‘jauh,’ sudah menjadi ‘dekat’ oleh darah Kristus” (Ef. 2:13). Koinonia yang “mendekatkan” satu dengan yang lain dengan “merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan” (Ef. 2:14).

Untuk memahami lebih lanjut koinonia gereja, mari kita sejenak memperhatikan Kitab Yosua.

Yosua 2:1a
“Yosua bin Nun dengan diam-diam melepas dari Sitim dua orang pengintai, katanya: “Pergilah, amat-amatilah negeri itu dan kota Yerikho.”

Yosua adalah seorang yang dipanggil TUHAN untuk memimpin umat Israel memasuki tanah Kanaan. Setelah menerima janji dan perintah TUHAN (Yos. 1), kini saatnya ia menerapkan janji dan perintah TUHAN itu dalam kepemimpinannya untuk merebut kota Yerikho.

Langkah awal adalah mengirim dua pengintai dengan perintah “pergi dan lihat.” Yosua mengulangi strategi Musa ketika ia bersama 11 pengintai lainnya diutus untuk mengamat-amati keadaan negeri yang akan mereka masuki (Bilangan 13).

“Pergi dan lihat” merupakan strategi yang ampuh sebagai persiapan memasuki tanah yang asing. Melihat adalah sikap menjaga jarak. Ada jarak antara yang melihat dan yang dilihat. Jarak itulah yang dapat menyatukan sejumlah orang ketika melihat suatu obyek dari lokasi yang sama. Namun ada persoalan dalam penglihatan, yaitu menilai. Maka koinonia Gerika dan koinonia moderen yang berdasar “penglihatan” memberikan pijakan yang sama dalam penilaian agar terjadi kesepakatan.

Namun soal iman bukanlah sekadar soal penilaian. Sepuluh pengintai melihat kenikmatan tanah Kanaan namun mereka juga “melihat” bangsa yang diam di tanah itu adalah bangsa yang kuat dan berkubu. Ini bukan sekadar soal penilaian tetapi soal iman, yaitu soal kesetiaan memegang janji TUHAN sebagai umat-Nya. Di sanalah, Yosua bin Nun dan Kaleb “melihat” bukan dengan mata saja tetapi juga dengan iman (Bil. 14:7-9).

Koinonia “melihat” dapat terbentuk dengan adanya obyek yang mampu menyatukan, entah itu suatu yang enak ditonton, figur yang dikagumi, atau kisah yang menawan. Koinonia gereja tidak seharusnya dipadukan di atas panggung, melainkan pada “mata” iman setiap orang yang berkumpul. Sebagaimana Yosua dan Kaleb berpadu bukan pada apa yang mereka lihat di tanah Kanaan, tetapi pada janji Allah bagi mereka untuk mendiami tanah itu.

Yosua 2:1b
“Maka pergilah mereka dan sampailah mereka ke rumah seorang perempuan sundal, yang bernama Rahab, lalu tidur di situ.”

Perintah Yosua mirip dengan perintah Musa kepada keduabelas pengintai, namun kisah selanjutnya berbeda. Keduabelas pengintai pergi dan melihat, namun sekembalinya mereka menghadap Musa dan segenap umat Israel, tampaklah perbedaan di antara mereka. Laporan kesepuluh pengintai membuat umat ketakutan.

Kini dua pengintai mendapat perintah Yosua untuk pergi dan melihat, namun ternyata mereka pergi ke rumah Rahab dan tidur di situ. Kedua pengintai bukan sekadar pergi dan melihat (ada jarak) tetapi kini mereka masuk bahkan bermalam di rumah Rahab, perempuan Kanaan. Di antara pengintai dan yang diintai seolah-olah tidak lagi berjarak. Keduanya “bersentuhan.” Maka selanjutnya terjadilah percakapan antara kedua pengintai itu dengan Rahab.

Peristiwa pertemuan kedua pengintai dan Rahab menggambarkan koinonia yang tidak hanya “melihat” (seeing) tetapi “bersentuhan” (touching). Inilah koinonia gereja. Gereja bukan sekadar koinonia yang dibangun atas dasar “mata” iman tetapi koinonia yang dibangun atas dasar kehadiran, kedekatan bahkan dikatakan rasul Paulus, keutuhan tubuh, yaitu tubuh Kristus. Itulah “suasana” gereja mula-mula. Mereka berkumpul, memecahkan roti untuk dibagikan satu kepada yang lain. Mereka bersekutu untuk berbagian dalam cawan dan roti yang melambangkan darah dan tubuh Yesus Kristus.

Dua pengintai yang diutus Yosua tidak lagi sekadar melihat. Mereka perlu masuk dan tinggal. “Kedekatan” ini berhasil oleh karena kasih karunia TUHAN dinyatakan melalui Rahab. Bagi Rahab, karya TUHAN begitu “dekat” dengannya (Yos. 2:9-13). Rahab seorang yang “mendengar” dan “gemetar” atas pekerjaan TUHAN, menyatakan komitmennya melalui perjanjian yang dibuatnya dengan dua orang pengintai. Ini kunci yang penting. Rahab membangun “koinonia” dengan dua orang pengintai dengan perjanjian!

Koinonia gereja bukan hanya dipadukan dalam “mata” iman tetapi dalam kedekatan satu dengan lainnya. Maka koinonia itu hanya dapat dibangun dalam salib Kristus dan Roh Kudus (2Kor. 13:13). Inilah dasar yang kokoh bagi koinonia kita sebagai gereja.

Mendekatkan diri berarti meniadakan jarak. Jarak yang memisahkan. Namun ketiadaan jarak tidak dapat dibangun tanpa perjanjian anugerah TUHAN. Gereja perlu terus menerus memelihara dan mengembangkan koinonia ini.




Sumber:
http://www.wkristenonline.org/index.php?option=com_content&view=article&id=36:dari-melihat-menjadi-menyentuh&catid=28:koinonia&Itemid=42




Profil Pdt. Joshua Lie:
Pdt. Joshua Lie, S.Th., M.Phil., Ph.D. (Cand.) adalah Pendiri Reformational Worldview Foundation (RWF) dan dosen di Sekolah Tinggi Theologi Amanat Agung (STTAA) Jakarta. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang; Master of Philosophy (M.Phil.) di Institute for Christian Studies (ICS), Toronto, Canada; dan sedang studi Doctor of Philosophy (Ph.D.) di ICS.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

25 August 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:39-40 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:39-40

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:39-40



Sekilas keberadaan bagian ini di penghujung pasal 7 tampak agak mengejutkan. Di ayat 25-38 Paulus membahas tentang orang-orang yang sedang bertunangan, namun di bagian ini ia membicarakan tentang perempuan yang sudah menikah. Apakah kita sebaiknya memahami ayat 39-40 sebagai topik yang baru atau sebagai kesimpulan dari semua pembahasan di pasal 7?

Beberapa penafsir memegang pilihan yang pertama. Mereka beranggapan bahwa Paulus kali ini menyinggung tentang para janda. Pendapat ini agak lemah karena para janda sudah dibahas sebelumnya di 7:8-9, 11, 15. Pilihan kedua tampak lebih bisa diterima. Pilihan ini tidak berarti bahwa Paulus sekadar mengulang atau merangkum apa yang ia sudah paparkan sebelumnya. Ia melangkah sedikit lebih jauh. Kalau di bagian awal Paulus melarang suami-istri untuk saling menjauhi (7:2-5) atau bercerai (7:10-16) tetapi ia hanya sekadar menyatakan larangan tersebut, sekarang ia menjelaskan alasan mendasar bagi larangan itu: suami-istri terikat sepanjang hidup. Kalau Paulus sebelumnya mendorong para duda dan janda untuk tetap hidup sendiri atau kawin lagi (7:7-9), sekarang ia memberikan alasan mengapa mereka boleh kawin lagi: kalau salah satu pasangan sudah mati.

Ayat 39-40 juga mengikuti ayat 36-38 dengan mulus. Paulus sebelumnya menjelaskan bahwa inisiatif untuk menikah bukanlah dosa (ay. 38), terutama bagi mereka yang jelas-jelas tidak memiliki karunia selibat (ay. 36), di ayat 39-40 Paulus menjelaskan betapa kuatnya ikatan sebuah pernikahan. Mereka yang ingin menikah harus menyadari dan siap untuk mengambil komitmen seumur hidup.

Cara Paulus menyimpulkan pembahasannya di ayat 39-40 sedikit mengundang rasa ingin tahu penafsir. Tidak seperti larangan di ayat 2-5 yang ditujukan pada suami dan istri, kesimpulan di ayat 39-40 hanya ditujukan pada para istri saja. Mengapa ia hanya membicarakan tentang mereka? Sebelum menjawab pertanyaan itu kita terlebih dahulu perlu menegaskan bahwa kesimpulan yang mengarah pada para istri saja bukanlah sesuatu yang berlebihan. Bahaya perceraian bukan hanya muncul sebagai inisiatif dari para suami. Dalam budaya Yunani-Romawi yang berbeda dengan budaya Yahudi, Paulus sebelumnya sudah mengantisipasi inisiatif cerai maupun upaya menghindari hubungan seksual dari pihak istri (7:2-5, 10b, 13). Berdasarkan penjelasan di atas, bukan suatu hal yang aneh jika Paulus menutup seluruh pembahasan dengan menujukan kesimpulan pada pihak istri.

Mengapa bagian kesimpulan ini hanya ditujukan kepada para istri saja? Ada beberapa kemungkinan jawaban. Di bagian sebelumnya (ay. 25-38) Paulus memulai pembahasan dengan menujukannya pada pihak perempuan (ay. 25a), karena itu sangat wajar ketika ia berpindah ke bagian yang baru ia juga menujukannya pada perempuan. Kelemahan dari dugaan ini adalah absennya pembahasan yang ditujukan pada pihak laki-laki di ayat 39-40.

Di ayat 25-38 para perempuan memang menjadi objek mula-mula dari nasehat Paulus, tetapi hal itu langsung diikuti juga oleh nasehat lain kepada pihak laki-laki (ay. 27, 29). Kemungkinan lain berkaitan dengan situasi khusus dalam jemaat Korintus. Berdasarkan 11:30 yang menginformasikan banyaknya jemaat laki-laki yang sakit keras atau mati, sebagian penafsir menduga jumlah janda di jemaat Korintus sedikit berlebihan. Fenomena ini mendorong Paulus untuk memberi perhatian khusus kepada mereka di ayat 39-40. Ia ingin memberikan solusi bagi keadaan itu. Dugaan di atas memang ada benarnya. Walaupun demikian, kita tidak boleh melupakan keberadaan para duda juga. Mereka juga disinggung di 7:8 (seperti sudah disinggung sebelumnya, ungkapan LAI:TB “orang-orang yang tidak kawin” = agamoi, yang dalam konteks ini merujuk pada para duda). Di samping itu, kita tidak bisa memastikan apakah benar-benar ada kaitan antara 11:30 dengan 7:39-40. Sejauh petunjuk yang ada, keterkaitan antara kedua bagian ini hanyalah sebatas dugaan yang mungkin benar dan mungkin juga salah. Lebih jauh, seandainya fenomena tersebut merupakan persoalan yang mendesak untuk ditanggapi Paulus, mengapa ia hanya membahasnya secara sepintas saja (apalagi hanya diletakkan di bagian terakhir)? Pendeknya, kita tidak bisa mengetahui secara pasti alasan Paulus mengapa ia hanya menujukan kesimpulan pada para istri saja.

Di ayat 39-40 Paulus memulai dengan sebuah prinsip penting tentang durasi ikatan pernikahan (ay. 39a). Berangkat dari prinsip ini, ia lalu mengaplikasikan prinsip itu dalam suatu keadaan hipotetikal (pengandaian), yaitu jika suami telah mati (ay. 39b). Dalam kasus seperti ini seorang istri bisa memutuskan untuk kawin lagi dengan persyaratan tertentu (ay. 39c), tetapi menurut Paulus ia akan lebih berbahagia kalau tetap hidup sendiri (ay. 40a). Paulus lalu menutup bagian ini dengan penegasan bahwa ia juga memiliki Roh Allah (ay. 40b).


Durasi Ikatan Pernikahan (ay. 39a)
Pernyataan Paulus di awal ayat 39 bahwa sebuah pernikahan berlangsung sampai kematian memisahkan sebuah pasangan merupakan konsep yang sangat berani untuk ukuran waktu itu. Konsep yang sama ia ajarkan di Roma 7:2. Dibandingkan dengan mayoritas pandangan Yahudi yang memandang perceraian sebagai hal yang sangat lazim dan mudah untuk dilakukan (bdk. Mat. 19:3, 7, 10), pandangan Paulus tampak sangat radikal. Kesan yang sama akan kita dapatkan apabila pandangan Paulus ini dibandingkan dengan budaya Yunani-Romawi yang juga memberi ruang luas bagi perceraian, termasuk yang bermula dari inisiatif istri (1Kor. 7:10, 13).

Ketegasan Paulus dalam hal pernikahan juga terlihat jelas apabila dikontraskan dengan pandangannya tentang pertunangan. Jika hanya sekadar ikatan pertunangan, Paulus masih memberi ruang yang cukup luas untuk membatalkan hal tersebut (7:37). Kasus akan sangat berbeda jika berkaitan dengan pernikahan. Suami-istri tidak boleh bercerai (7:10-11). Dalam kasus perkawinan campur pun orang Kristen tidak boleh mengupayakan perceraian (7:12-16). Konsep yang sangat tegas dan berbeda dengan budaya waktu itu ini pasti berasal dari otoritas kitab suci dan ajaran Tuhan Yesus. Sejak awal Allah sudah menetapkan pernikahan sebagai suatu ikatan yang tidak dapat dibatalkan oleh manusia (Mat. 19:4-6). Hanya kematian yang bisa memisahkan, karena kematian berasal dari Tuhan sendiri (Ayb. 12:10; Yak. 4:15), termasuk kematian yang disebabkan oleh orang lain atau kecelakaan (Kel. 21:13).

Dalam surat 1 Korintus Paulus beberapa kali menjelaskan beberapa keterkaitan praktis yang sangat besar dari prinsip di atas. Seseorang tidak boleh melakukan hubungan seks dengan orang yang bukan menjadi suami/istrinya yang sah (6:16). Suami-istri memiliki kewajiban seksual satu dengan yang lain dan saling berbagi kepemilikan tubuh mereka karena mereka adalah satu tubuh (7:2-4; bdk. Kej. 2:24). Suami-istri juga tidak boleh bercerai (7:10-11). Bagi yang sudah terlanjur bercerai, mereka diperintahkan untuk berdamai dengan pasangannya atau sedikitnya orang itu tidak boleh kawin lagi dengan orang lain (7:11).


Kasus Pengandaian: Jika Suami Meninggal Dunia (ay. 39b-40a)
Karena pernikahan memiliki keterikatan seumur hidup (ay. 39a) dan di surga tidak akan ada ikatan pernikahan lagi (Mat. 22:30), maka kematian salah satu pasangan juga berarti akhir dari sebuah pernikahan. Kata Yunani di balik kata “meninggal [dunia]” adalah koimaō. Kata yang secara hurufiah berarti “tidur” ini hanya dipakai Paulus untuk orang-orang Kristen saja (11:30; 15:6, 18, 20, 15; 1Tes 4:13-15). Penggunaan kata ini bukan berarti orang percaya yang mati berada dalam keadaan tidak sadar (Why. 5:8-14; 6:10) atau mereka berada dalam suatu tempat penantian di dunia roh (Luk. 23:43; Flp. 1:23). Pemilihan kata ini hanyalah sebuah gaya bahasa penghalus (eufemisme) yang menyiratkan ide bahwa kematian bukanlah sebuah titik akhir. Orang percaya akan dibangkitkan dan diberi tubuh kemuliaan (1Kor. 15:13-16, 21-22). Jika kematian seorang suami sungguh-sungguh terjadi, istrinya memiliki dua pilihan: ia boleh kawin lagi (ay. 39b) atau ia tetap hidup sendiri (ay. 40a).

Pilihan untuk kawin lagi (ay. 39b)
Kematian pasangan menjadikan seseorang berada dalam keadaan bebas (eleutheros). Kata ini bisa menyiratkan kebebasan secara sosial (7:21-22) atau keadaan tidak berada dalam keharusan atau tanggung-jawab tertentu (9:1, 19). Dalam konteks 1 Korintus 7:39b kata ini merujuk pada keadaan yang tidak terikat secara hukum (bdk. Rm. 7:2). Seorang istri yang ditinggal mati suaminya bukan hanya bebas untuk kawin lagi, namun ia juga bebas memilih siapa yang akan jadi pasangannya (LAI:TB “dengan siapa saja yang dikehendakinya”). Pernyataan ini membuktikan bahwa Paulus tidak sedang memikirkan hukum levirat di mana seorang janda terikat untuk diperistri oleh adik iparnya (Ul. 25:5-6).

Ada beberapa kemungkinan mengapa hukum levirat tidak berlaku dalam kasus ini: si janda mungkin sudah memiliki anak dari suaminya atau Paulus sedang membicarakan pernikahan dalam konteks Yunani-Romawi. Kemungkinan terakhir ini tampaknya lebih masuk akal, karena dalam ayat ini Paulus juga menunjukkan kebebasan istri dalam memilih suami baru (hal ini terdengar asing dalam konteks Yahudi di mana pihak laki-laki memegang peranan sangat aktif dan dominan). Kebebasan untuk memilih siapa saja yang dikehendaki bukan berarti si janda bisa memilih sembarangan. Paulus tetap memberikan batasan, yaitu “dengan orang yang percaya” (ay. 39b). Frase ini dalam teks Yunani secara hurufiah berbunyi “hanya di dalam Tuhan” (monon en kuriō, KJV/NASB/RSV). Apa atau siapa yang harus “di dalam Tuhan”? Beberapa versi mencoba menafsirkan bahwa yang harus di dalam Tuhan adalah laki-laki yang dipilih oleh janda Kristen itu (LAI:TB/NIV/NLT). Sebagian penafsir juga mengadopsi pandangan yang sama. Di sisi lain, beberapa penafsir menganggap frase “di dalam Tuhan” menerangkan perempuan yang ditinggal mati suaminya. Dengan kata lain mereka berpendapat bahwa janda tersebut harus bertindak sebagai orang Kristen, misalnya tidak melepaskan kepercayaannya, sebaliknya dengan motivasi Kristiani untuk memenangkan pasangannya yang tidak beriman.

Di antara dua pendapat di atas, yang pertama jauh lebih kuat karena didukung oleh beragam argumen. (1) di ayat 25-35 Paulus sudah menjelaskan bahwa pernikahan – sekalipun antar orang Kristen – akan membawa kesusahan tambahan yang berpotensi mengganggu fokus hidup eskhatologis orang percaya. Dengan konsep seperti ini, sangat tidak masuk akal apabila Paulus memberi izin kepada seorang Kristen untuk kawin dengan non-Kristen yang berpotensi untuk bersikap tidak simpatik terhadap iman Kristiani dan dengan demikian akan semakin menambah kesusahan tersebut; (2) nasehat Paulus untuk mempertahankan perkawinan campur dan menggunakan itu sebagai media penginjilan di ayat 12-16 harus dipahami dalam konteks bahwa pernikahan tersebut sudah terlanjur terjadi. Pada waktu menikah keduanya dahulu sama-sama bukan orang percaya; (3) pembatasan pernikahan hanya pada pasangan yang sama-sama Kristen selaras dengan beragam nasehat di Alkitab (Ul. 7:3; Yos. 23:12; Neh. 13:23-25; Mal. 2:11, 14-15; bdk. 2Kor. 6:14-15); (4) konsep “Kristen” (Kis. 11:26; 26:28; 1Ptr. 4:16) diungkapkan Paulus melalui beberapa cara; penggunaan frase “di dalam Tuhan” merupakan salah satu di antaranya (Rm. 16:11 “yang ada di dalam Tuhan”).

Pilihan untuk tetap hidup sendiri (ay. 40a)
Nasehat Paulus di bagian ini sesuai dengan sikap Paulus yang menganggap hidup selibat sebagai sesuatu yang lebih baik daripada menikah (7:7, 38). Sama seperti di ayat 25, di ayat 40a Paulus juga mengungkapkan bahwa sikap itu adalah pendapatnya secara pribadi; dengan demikian ini bukanlah sebuah perintah yang normatif. Pendapat ini bukanlah pembatasan pada kebebasan yang dimiliki seorang janda (bdk. ay. 39b), walaupun kebebasan tidak berarti bebas untuk digunakan (8:9; 9:19). Ada hal lain yang lebih penting daripada menggunakan kebebasan kita.

Berbeda dengan bagian sebelumnya, kali ini Paulus tidak memakai kata “lebih baik” (kreisson, ayat 38) tetapi “lebih berbahagia” (makariōtera). Beberapa penafsir memandang “bahagia” di sini secara theologis (baca: “diberkati”, bdk. Mat. 5:3-11; Rm. 4:7-8; 14:22). Makna “bahagia” ini tidak terlalu berkaitan dengan perasaan seseorang (secara objektif seseorang sedang diberkati oleh Tuhan tetapi orang itu mungkin tidak merasa bahagia). Di sisi lain, sebagian penafsir menolak makna theologis tersebut. Bagi mereka, kebahagiaan ini berkaitan dengan kesejahteraan hidup belaka. Sesuai dengan konteks 1 Korintus 7, Paulus sudah menjelaskan mengapa hidup selibat lebih baik daripada menikah: menghindari kesusahan badani (ay. 28) dan melayani Tuhan tanpa gangguan (ay. 35). Hidup selibat akan mengurangi kekuatiran hidup dan berguna untuk memfokuskan hidup pada perkara Tuhan. Jadi, kata makariwtera tidak hanya mencakup makna theologis, sekalipun makna theologis adalah yang paling dominan. Lebih diberkati bukan berarti lebih rohani. Dalam konteks penantian kedatangan Tuhan, hamba yang diberkati adalah mereka yang didapati Tuannya dalam keadaan siap melayani (Luk. 12:37). Penggunaan kata “lebih berbahagia” menyiratkan bahwa pernikahan sendiri merupakan suatu kebahagiaan, walaupun tidak sebesar hidup selibat. Hal ini menunjukkan sikap Paulus terhadap pernikahan yang bukan hanya netral (tidak berdosa, ayat 28, 36), tetapi positif. Pernikahan adalah baik (kalws) dan bahagia (makarios). Itulah sebabnya Paulus tidak segan-segan memakai gambaran pernikahan untuk mengungkapkan mistri yang sangat besar tentang hubungan Kristus dan jemaat (Ef. 5:31-32).


Penegasan tentang Otoritas Paulus (ay. 40b)
Apa yang disampaikan oleh Paulus memang adalah pendapat pribadi dan bukan berupa perintah yang normatif (ay. 40a), tetapi bukan berarti bahwa hal tersebut dapat dipandang remeh. Sebelumnya ia sudah mengungkapkan bahwa ia adalah orang yang dipercaya oleh Allah karena telah diberi rahmat ilahi (ay. 25b). Sekarang ia menegaskan bahwa dia memiliki Roh Allah (ay. 40b).

Penggunaan kata kagw (“aku juga”) di bagian ini mendorong kita untuk menduga bahwa ada orang lain yang membuat pernyataan yang sama. Ungkapan ini sangat ungkin merupakan sindiran bagi sebagian jemaat Korintus yang merasa mendapat pengetahuan mistis dari Roh Allah. Jika ini benar maka dapat disimpulkan bahwa konsep asketisisme yang dianut mereka (7:1b) diyakini berasal dari ilham Roh. Dugaan ini tidak terlalu berlebihan karena jemaat Korintus memang adalah jemaat yang penuh dengan berbagai karunia roh (1:5-7) dan cenderung menyukai hal-hal seperti itu (pasal 12-14).

Melalui pernyataan di ayat 40 Paulus sekaligus mengajarkan konsep yang benar tentang pengilhaman Roh Kudus. Banyak orang menganggap diri memiliki pengetahuan khusus dari Roh Kudus, tetapi tidak berarti bahwa semua klaim itu dapat dibenarkan. Salah satu petunjuknya adalah ketaatan pada ajaran para rasul atau para nabi (ay. 40b; 2Tes. 2:1-12; 2Ptr. 1:19-21). Sama seperti jemaat mula-mula yang tetap bertekun dalam pengajaran para rasul (Kis. 2:42) sekalipun mereka baru saja mengalami pekerjaan Roh Kudus yang luar biasa pada Hari Pentakosta (Kis. 2:1-11), demikian pula jemaat Korintus seharusnya lebih memperhatikan ajaran Paulus (bdk. 1:1; 9:1-2; 2Kor. 12:12) daripada berkanjang pada hal-hal mistis yang sering kali justru bertentangan dengan kebenaran firman Allah. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 27 September 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2039-40.pdf

20 August 2010

KEBENCIAN PENGIKUT KRISTUS (Ev. Agus Barlianto Sadewa, M.C.S., M.T.S.)

KEBENCIAN PENGIKUT KRISTUS

oleh: Ev. Agus Barlianto Sadewa, M.C.S., M.T.S.




Lukas 14:25-26
A religion that gives nothing, costs nothing, and suffers nothing, is worth nothing.
(Martin Luther)

What I taught with my lips, I seal with my blood.
(John Hus)


Boleh dikatakan Tuhan Yesus sedang menapaki tangga kesuksesan. “… banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya.” Seandainya kita bertanya pada orang banyak itu, ada apa gerangan mengikuti Yesus beramai-ramai begini? Saya kira mereka akan menjawab dengan pasti, “Kami adalah pencinta Yesus,” “Kami nge-fans pada Yesus.”

Kata suneporeuonto oleh LAI diterjemahkan sebagai “mengikuti.” Menarik bahwa TNIV menerjemahkan kata tersebut sebagai “traveling.” Oleh karena itu, patut dipertanyakan lebih jauh apakah mereka mengikuti perjalanan Yesus sebagai tourists atau sebagai followers, sebagai travelers atau sebagai disciples? Dengan kata lain, jangan bilang cinta kalau tidak benar-benar cinta. “Love is a commitment with a beginning and no end.”

Tuhan Yesus nampaknya tidak begitu terkesan pada keramaian. Ia mencari murid sejati, bukan spectator. Kualitas pengikut lebih penting daripada kuantitas pengikut.

Namun demikian, para pelopor Church Growth Movement menganggap jumlah banyak sebagai ukuran keberhasilan. Bagaimana gereja bisa inclusive, menjangkau sebanyak mungkin orang? Menjadi user-friendly church! Untuk itu lagu-lagu ibadah hendaknya dipilih yang singkat dan singable. Kalau perlu lagu-lagu jingles sebagaimana lagu-lagu yang dipergunakan untuk advertising. Makin mudah dihapal, makin user-friendly. Khotbah-khotbah hendaknya dapat menyentuh perasaan, mengundang tawa; pokoknya, dapat menghibur, menyenangkan telinga audiens. Memang betul apa kata Gore Vidal, “Today’s passion is for immediate and casual.” Segala hal yang immediate dan casual biasanya remeh-temeh dan tidak memerlukan komitmen.

Saya melihat respons Tuhan Yesus bertolak belakang dengan respons para pelopor user-friendly churches. Responnya, dalam perspektif pemasaran, tidak menjual sama sekali. Tidak menjual oleh karena Ia terlalu jual mahal. Ia berbeda jauh dari respons selebritis yang tak akan mengecewakan fans-nya. “Everything I do is for my fans,” begitu kata selebritis.

Apa kata Tuhan Yesus? Seorang yang datang pada-Ku dan tidak membenci keluarganya, bahkan dirinya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Bagaimana kita memahami kata “membenci” di sini? Apa Tuhan Yesus tidak salah bicara? Tidakkah Ia percaya pada Sepuluh Perintah Allah, “Hormatilah orangtuamu!”? Bukankah Ia pernah mengatakan, “Kasihilah sesamamu manusia …”

Di Matius 10:37 kita menemukan ucapan Tuhan Yesus yang parallel dengan itu, “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku …”

Saya melihat Tuhan Yesus sedang berbicara tentang cinta. Terbukti bahwa Ia membandingkan cinta pada keluarga dengan cinta pada-Nya. Cinta seperti apa yang kita berikan pada-Nya? Para penafsir membaca kata “membenci” dalam Injil Lukas sebagai love less. Penginjil Matius agaknya lebih plain dengan menggunakan ungkapan love more. Akan tetapi saya tetap menganggap bahwa Injil Lukas itu unik. Dengan memasukkan kata “membenci,” Ia mengejutkan para pembacanya. Ucapan semacam disebut exaggerated saying, ucapan yang berlebihan, dipakai untuk menonjolkan suatu pesan.

Menghormati orangtua dengan cara menguburkannya; mengasihi suami, isteri, anak, saudara lelaki atau perempuan sungguh membutuhkan komitmen juga. Tuhan Yesus tahu benar adat Yahudi yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kekerabatan. Ia tidak mengatakan bahwa komitmen terhadap keluarga tidak penting. Sebaliknya, komitmen terhadap pernikahan, keluarga, dan orangtua sangat penting. Namun di atas komitmen yang sangat penting itu masih ada yang lebih penting dan mendasar lagi, yaitu komitmen mengikuti Yesus.

Komitmen atau kesungguhan mengikuti Yesus bukan perkara prioritas, melainkan perkara keterpautan hati. Bukan soal manajemen hidup, melainkan soal ibadah. Berbicara tentang hati, pilihannya hanya dua: all or nothing. Tuhan Yesus berkata, “seorang tidak dapat mengabdi pada dua tuan.” Hati bercabang jelas tidak diperkenan oleh Tuhan Yesus. Ia menghendaki hati yang murni, hati yang single.

Saudara-saudari terkasih, mengikuti Yesus merupakan urusan yang serius. Oleh karena Ia tidak mengajak kita sekadar traveling bersama-Nya, atau kumpul-kumpul ice cream party di pantai. Kita perlu secara bijaksana menghitung ongkosnya agar kita tidak berhenti di tengah jalan. Saya tidak dapat lebih setuju lagi dengan perkataan Eugene Peterson berikut ini, “Discipleship is a long obedience in the same direction.” Oleh karena itu tanpa kesungguhan yang total, discipleship hanya omong kosong. Janganlah kita berespon secara impulsive terhadap ajakan Tuhan Yesus. Duduklah dahulu, pikirkan segala sesuatu matang-matang. Sekali bilang cinta, there should be no point of return.

Apakah kita bersedia membayar ongkosnya?


Sumber:
http://www.irect.org/articles.asp?action=1&id=15




Profil Ev. Agus B. Sadewa:
Ev. Agus Barlianto Sadewa, M.C.S., M.T.S. adalah gembala jemaat Indonesian Reformed Evangelical Church in Toronto (IRECT). Ia pernah menjadi staf pembina di Pusat Rehabilitasi Narkoba Reformed After-Care (RACE) di Karawaci, Tangerang, sejak 2000-2001. Kemudian sejak 2001-2002 Ia melayani sebagai pembina remaja di Gereja Kristen Indonesia – Perniagaan dan guru agama di SLTP Mangga Besar. Pada 2003-2004 Ia melayani sebagai gembala jemaat Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Tanah Abang, pembina di Persekutuan Karyawan Tanah Abang (PERKATA), dan staf pengajar di Sekolah Theologi Reformed Injili Jakarta (STRIJ). Pada 2004-2006, beliau melanjutkan studi theologi di Calvin Theological Seminary, Grand Rapids, Michigan, dengan mengambil program Master of Theological Studies (M.T.S.) yang berfokus pada Pastoral Care. Pada bulan Maret 2006 Ia menerima panggilan untuk meneruskan pelayanan Pdt. Joshua Lie sebagai gembala jemaat IRECT. Selain menggembalakan jemaat, Ia juga melanjutkan studi theologi di Waterloo Lutheran Seminary, Wilfrid Laurier University, Waterloo, dengan mengambil program Master of Theology (M.Th.) in Pastoral Counselling.
Ev. Agus menikah dengan Shinta Dewi dan telah dikaruniai dua orang anak, Agatha Dawn Sadewa dan Mark Anselm Sadewa. Beliau dapat dihubungi melalui:
Alamat: 711 - 17 Michael Power Place
Etobicoke, ON M9A 5G5
Telepon: 416-792-2796
E-mail: agus.sadewa@irect.org
Website: http://agussadewa.berteologi.net/

18 August 2010

WHAT'S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-6: Eden dan Dosa-5: Kebingungan Ordo

WHAT’S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-6:
Eden dan Dosa-5: Kebingungan Ordo


oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Kejadian 3:6b



Setelah melihat bahwa buah pohon pengetahuan baik dan jahat, apa yang Hawa lakukan kemudian? Alkitab mencatat, “Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya.” (Kej. 3:6b) Alkitab memberi tahu kita bahwa Hawa lalu mengambil buah tersebut dan memakannya. Apakah cukup hanya mengambil dan memakan buah tersebut? TIDAK. Alkitab mencatat kembali bahwa Hawa akhirnya memberikan buah tersebut ke suaminya dan suaminya itu memakannya. Pertanyaan lebih lanjut, mengapa si Adam mau menerima buah yang diberikan oleh Hawa dan yang lebih parah lagi ikut memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat tersebut? Bukankah Adam sudah mendapatkan perintah dan larangan dari Allah sendiri untuk tidak memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat (Kej. 2:17)? Allah sudah memberi perintah kepada Adam, supaya Adam nantinya memberi tahu Hawa, namun semuanya menjadi kacau dan Adam akhirnya mendengarkan perkataan Hawa. Di sini, kita melihat bahwa dosa mengakibatkan adanya kebingungan ordo/urutan. Allah telah menetapkan urutan:
Allah

Pria

Wanita

Makhluk lain (hewan dan tumbuhan)

Alam dan Iblis


Meskipun pria dan wanita diciptakan setara oleh Allah, namun Allah menetapkan ordo bahwa pria di atas wanita. Mengapa? Apakah ini tidak adil? TIDAK. Di dalam seluruh Alkitab, kita mencatat konsistensi pengajaran ini. Di dalam Perjanjian Lama, kita menjumpai bahwa Allah memilih banyak hakim dan raja bagi Israel selalu pria, dalam beberapa kasus, Ia mengizinkan munculnya Debora sebagai nabiah sekaligus hakim di Israel (Hak. 4:4) justru untuk mempermalukan pria yang waktu itu (Barak) seorang pengecut. Di dalam Perjanjian Baru, hal ini menjadi lebih jelas. Di dalam Efesus 5:23, Tuhan melalui Rasul Paulus mengajar kita, “karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat.” Kata “suami” dan “istri” di dalam ayat ini dalam bahasa Yunaninya bisa diterjemahkan pria (man) dan wanita (woman), sehingga dapat diterjemahkan bahwa pria adalah kepala wanita sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Oleh karena itu, sebagai implikasinya, Paulus mengajar dua poin: “Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu” (Ef. 5:24) dan “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (Ef. 5:25) Berarti, istri/wanita harus tunduk kepada suami/pria seperti jemaat tunduk kepada Kristus, namun sebaliknya, si pria/suami harus mengasihi wanita/istrinya seperti Kristus mengasihi jemaatnya. Mana yang lebih dahulu? Tentu pria harus terlebih dahulu mengasihi wanita, karena Kristus terlebih dahulu mengasihi jemaat-Nya, sehingga jemaat-Nya dapat tunduk kepada Kristus.

Setelah pria di atas wanita, maka ordo selanjutnya adalah pria dan wanita berada di atas makhluk ciptaan lain, yaitu hewan dan tumbuhan. Mengapa demikian? Karena Allah menciptakan hewan dan tumbuhan bagi manusia, sehingga manusia diberikan kebebasan oleh Allah untuk membunuh hewan untuk dimakan dagingnya dan memotong tumbuhan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan manusia. Orang Kristen bukanlah orang yang vegetarian alias herbivora (pemakan tumbuh-tumbuhan), tetapi omnivora, karena segala sesuatu halal di hadapan Allah. Saya pribadi heran dengan para vegetarian. Saya memperhatikan fakta di Pasar Atum, Surabaya, ada yang menjual makanan vegetarian, tetapi di situ juga tersedia makanan yang notabene ada dagingnya, ternyata ketika diselidiki itu bukan daging sungguhan, tetapi daging tipuan (kalau dimakan seperti daging, tetapi itu sebenarnya hanya dibuat dari tepung). Seorang vegetarian adalah seorang yang tidak konsisten dengan dirinya sendiri. Kalau mereka mau konsisten, mengapa mereka membuat makanan daging tiruan? Itu sama sekali tidak berguna. Meskipun kita diizinkan membunuh binatang, mengutip Pdt. Dr. Stephen Tong yang mengutip perkataan seorang penginjil, kita tetap tidak boleh menyiksa binatang, seperti menggunting kaki nyamuk, dll.

Kemudian, manusia berada di atas iblis, karena manusia diciptakan segambar dan serupa dengan-Nya, sedangkan iblis hanya berbentuk roh. Sekadar intermeso, Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) 2010: Rahasia Kemenangan dalam Cinta dan Seks Menuju Pernikahan memaparkan perbedaan manusia, binatang, dengan roh/malaikat (termasuk setan): manusia memiliki cinta dan seks; binatang memiliki seks, namun tidak memiliki cinta; sedangkan roh/malaikat memiliki cinta, namun tidak memiliki seks. Konsep manusia di atas iblis menjadi jelas tatkala ordo ini berlaku bagi orang Kristen, manusia Kristen sejati jelas berada jauh di atas iblis, bukan karena kehebatan manusia, namun karena Kristus telah mengalahkan setan dan kuasanya melalui karya penebusan-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati (1Kor. 15:55-57; 1Ptr. 5:8-9).


Ordo yang begitu jelas ini akhirnya dirusak oleh dosa, sehingga di Taman Eden yang terjadi:
Alam/iblis/makhluk lain (hewan/tumbuhan)

Wanita

Pria

Allah

Wanita bukan mendengarkan perkataan Allah, namun mendengarkan perkataan iblis. Begitu juga halnya dengan si pria yang malahan mendengarkan perkataan si wanita. Dan akhirnya Allah berada di posisi paling bawah yang tidak didengarkan perintah dan larangan-Nya. Mengapa semua ini bisa terjadi? Karena mereka hidup terlepas dari Allah. Mereka lebih menaati apa yang iblis katakan melalui “kebenaran” yang ditawarkannya, sehingga makin hidup mereka terlepas dari Allah, hidup mereka akan makin kacau dan tidak menentu. Orang sekuler, modern, apalagi yang baru-baru ini beredar paham Atheisme baru (New Atheism) selalu menganggap bahwa agama itu hanya candu dan merupakan sesuatu yang jahat yang harus dibasmi, namun mereka tidak pernah menyadari bahwa ketika Allah dihilangkan dari hidup mereka, hidup mereka bukan tambah baik, tetapi tambah rusak dan kacau. Tidak usah jauh-jauh, gara-gara ngotot menganut feminisme radikal, dunia kita makin lama makin kacau, negara kita yang dahulu pernah diperintah oleh seorang presiden wanita, apakah tambah beres? TIDAK! Benarlah apa yang dikatakan oleh penulis kitab Amsal, “TUHAN membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing, bahkan orang fasik dibuat-Nya untuk hari malapetaka.” (Ams. 16:4) Makin seseorang (jika bukan umat pilihan-Nya) hidup terlepas dari Allah, percayalah, pelan namun pasti, Tuhan akan menunjukkan kedaulatan-Nya dengan membiarkan orang tersebut binasa selama-lamanya.


Apa akibat dari kebingungan ordo ini?
Pertama, suara Allah diacuhkan. Kalau kita membaca kembali Kejadian 3:6, tidak ada indikasi sedikitpun baik Adam maupun Hawa menyadari peringatan Allah, sehingga mereka akhirnya tidak jadi memakan buah tersebut. Mereka semuanya telah hanyut oleh tipuan iblis. Tidak cukup di situ, keturunan langsung dari Adam dan Hawa pun meniru orangtuanya. Ketika Kain marah karena korban persembahannya tidak diindahkan Tuhan, sedangkan korban persembahan Habel diindahkan Tuhan, Tuhan masih mengingatkan Kain akan dosanya (Kej. 4:6-7). Namun, apa reaksi Kain? Pada ayat 8, Alkitab mencatat, Kain tetap bersikeras membunuh Habel dengan mengajaknya ke padang. Di sini, kita belajar bahwa ketika ordo sudah mulai kacau, di titik pertama, suara Allah diacuhkan.

Hal serupa juga terjadi di zaman yang kita hidupi saat ini. Ordo yang sudah kacau mengakibatkan di titik pertama, suara Allah dan kebenaran-Nya sudah mau diacuhkan. Kita sudah mulai jarang mendengarkan berita Kebenaran firman yang murni yang menegur dosa, mengkritik filsafat zaman, dll, mengapa demikian? Karena di zaman ini, suara Allah diacuhkan dan dianggap tidak up-to-date. Bagi orang zaman sekarang dan mungkin sekali tidak sedikit orang “Kristen” di dalamnya, Alkitab dianggap kuno, sedangkan sains dianggap up-to-date. Ini bukan hanya teori, saya sendiri sudah membaca sebuah pernyataan dari seorang teman saya yang non-Kristen (X) di Facebook yang mengatakan bahwa Alkitab itu kuno, nanti kalau saya masih mempercayai Alkitab, maka akan ditertawakan oleh anak dan cucu saya kelak. Dia juga berkata bahwa teori penciptaan (Allah menciptakan dunia) itu teori yang tidak masuk akal. Yang lebih lucu lagi, dia juga berkata bahwa agamanya mempercayai seperti teori Big Bang. Katanya, Einstein itu seorang ilmuwan yang menganut agamanya. Selain itu, dia juga bertanya kepada saya bahwa dari mana saya tahu bahwa Tuhan menciptakan dunia, Tuhan itu disebut Tuhan, dll? Saya menjawab pertanyaannya dengan beberapa penjelasan singkat (saya berpikir bahwa penjelasan yang terlalu mendetail tidak diperlukan, karena ia belum Kristen). Perlu diketahui, teman saya ini adalah seorang yang menganut agama Timur. Dia tidak percaya akan adanya Tuhan, apalagi Tuhan yang berpribadi. Bagi dia (agamanya), “Pencipta”nya (agama ini TIDAK mengakui adanya Tuhan, namun herannya, ketika memberi selamat ulang tahun kepada temannya di Facebook, si penganut agama ini mengucapkan, “GBU”—God Bless You—sebuah kontradiksi “iman” yang benar-benar lucu) adalah sebuah hukum alam. Seorang yang mempercayai hukum alam adalah seorang yang mempercayai akan adanya kebetulan, karena hukum alam itu tidak berpribadi! Sekarang mari berpikir logis. Jika teman saya (X) percaya bahwa “pencipta”nya adalah sebuah hukum alam, tolong tanya, bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa dia bisa lahir di Surabaya pada akhir abad 20? Yang lebih lucu lagi, ketika saya bertanya kepada dia, dia menjawab, “Itu hukum karma.” Jaka Sembung naik ojek, gak nyambung jek, hahaha… Kedua, jika agamanya mempercayai seperti teori Big Bang, itu lebih tidak masuk akal. Bagaimana mungkin sebuah ledakan besar mengakibatkan munculnya sebuah dunia yang teratur seperti sekarang ini? Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. di dalam sebuah seminar di UK Petra, Surabaya pernah memberikan ilustrasi: anggaplah kita sekarang berada di sebuah gedung, mendadak terjadi ledakan bom di depan gedung di mana kita berada, mungkinkah hasil dari ledakan bom tersebut membentuk sebuah mainan anak-anak yang lucu dan indah? TIDAK MUNGKIN, bahkan konyol! Hal yang sama konyolnya terjadi pada orang yang mati-matian mempercayai teori Big Bang sebagai “kebenaran”. Jadi, sebenarnya yang lebih tidak masuk akal: Alkitab atau agamanya yang mempercayai hukum alam dan Big Bang tersebut? Silahkan pikir dan renungkan sendiri!

Kedua, suara iblis didengarkan. Seorang yang di titik pertama telah mengacuhkan suara Allah, maka otomatis ia dengan mudahnya mendengarkan perkataan iblis. Adam dan Hawa telah membuktikannya. Begitu juga halnya dengan Kain yang akhirnya lebih mendengarkan suara iblis untuk membunuh si Habel. Makin seseorang mendengarkan suara iblis, orang tersebut hidupnya makin kacau, bahkan dapat dikatakan, makin bodoh. Saya teringat akan perkataan Pdt. Solomon Yo, M.Div. di dalam khotbah mimbar tanggal 15 Agustus 2010. Beliau mengatakan bahwa orang berdosa adalah orang yang tidak logis. Yup, saya sangat setuju dengan pernyataan beliau. Orang berdosa itu seolah-olah nampak logis, namun ketika ditelusuri ternyata tidak logis. Itulah wajah orang berdosa yang lebih mendengarkan suara iblis. Makin mendengarkan suara iblis, manusia makin bodoh, meskipun terlihat seolah-olah pandai. Mengapa? Karena yang didengarkannya adalah suara dari bapa/sumber pendusta! Tidak heran, Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengeluarkan pernyataan yang sangat berani dan menohok bahwa semua agama, filsafat, dan ilmu yang melawan Alkitab PASTI berkontradiksi dengan dirinya sendiri (self-defeating). Saya sudah membuktikan pernyataan beliau.

Ketiga, wanita memerintah pria dan pria tidak berdaya. Kebingungan ordo mengakibatkan wanita yang memerintah pria dan si pria sendiri tidak berdaya karena diperintah wanita. Adam dan Hawa adalah contoh pertama yang telah membuktikannya. Adam yang seharusnya menegur Hawa agar taat kepada Allah, eh, ternyata malahan menerima tawaran “manis” dari si Hawa dan ikut-ikutan makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Bahkan Alkitab mencatat bahwa bapa orang beriman, Abram pun yang sudah mengenal Allah pernah suatu kali lebih menaati istrinya, Sarai untuk menghampiri budaknya, Hagar. Perhatikan lebih jelas apa yang Alkitab catat, “Berkatalah Sarai kepada Abram: "Engkau tahu, TUHAN tidak memberi aku melahirkan anak. Karena itu baiklah hampiri hambaku itu; mungkin oleh dialah aku dapat memperoleh seorang anak." Dan Abram mendengarkan perkataan Sarai.” (Kej. 16:2) Sarai tentu mengetahui bahwa Tuhan telah berjanji akan membuat Abram menjadi bangsa yang besar (Kej. 12:2), namun Sarai menyadari bahwa sampai usia tua, ia mandul. Demi “merealisasikan” kehendak Tuhan, maka Sarai memberikan alternatif kepada Abram, yaitu menyuruh Abram untuk tidur dengan Hagar, pembantunya, supaya mendapatkan anak. Dan lucunya, Abram waktu itu menyetujui usul istrinya. Dari sini, kita belajar bahwa istri yang tidak takut akan Allah biasanya (tidak selalu) adalah seorang istri yang mendesak suaminya untuk lebih menaati perkataan si istri ketimbang perkataan Tuhan. Dan karena cinta (atau lebih tepatnya karena cinta yang disisipi oleh dosa di dalamnya), si suami lebih menuruti perkataan si istri yang dinilai masuk akal ketimbang perkataan Tuhan. Di situlah letak rusaknya sebuah keluarga Kristen, dikarenakan seorang istri yang tidak takut akan Tuhan.


Kebingungan ordo mengakibatkan hidup manusia makin lama makin kacau, sehingga tidak ada jalan lain, kecuali pertobatan yang sungguh-sungguh. Sudah saatnya orang Kristen meninggalkan semua filsafat dunia dan tradisi nenek moyang yang melawan Alkitab, lalu bertobat dan menerima Kristus serta melakukan apa yang dikehendaki-Nya sesuai dengan Alkitab. Biarlah renungan singkat ini menyadarkan kita akan pentingnya ordo yang dibangun di atas dasar pengenalan akan Allah dan firman-Nya yang TIDAK mungkin bersalah dalam teks aslinya, yaitu Alkitab! Amin. Soli Deo Gloria.

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:36-38 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:36-38

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:36-38



Para penafsir sepakat bahwa teks ini (terutama ay. 36) merupakan salah satu yang paling sulit untuk ditafsirkan dalam surat 1 Korintus. Hampir setiap bagian telah menjadi sumber perdebatan para penafsir. Siapakah yang dimaksud dengan “seorang” (tis) di ayat 36 yang telah bertindak tidak wajar terhadap gadisnya? Apakah ia adalah ayah dari gadis itu atau suami ‘spiritual’ atau tunangan laki-laki? Apakah yang dimaksud dengan “bertindak tidak wajar” (aschēmoneō)? Apakah kata Yunani hyperakmos ditujukan pada pihak perempuan dengan arti “usianya bertambah tua” (LAI:TB/KJV/NASB/NIV) atau pada pihak laki-laki dengan makna “nafsu yang kuat” (ESV/NLT/RSV)? Bagaimana kita menjelaskan frase “benar-benar merasa harus kawin”? Apakah yang menyebabkan mereka “harus” mengambil tindakan ini?

Persoalan menjadi lebih rumit karena semua pertanyaan di atas saling berkaitan. Secara khusus, pandangan seseorang terhadap pertanyaan pertama (identitas tis) sering kali mempengaruhi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Berdasarkan hal ini kita perlu membahas pertanyaan pertama lebih dahulu sebelum kita menyelidiki ayat 36-38 secara lebih mendetil. Seperti sudah disinggung secara sekilas di atas, para penafsir memberikan 3 usulan tentang identitas tis di ayat 36-37.

Pertama, tis adalah ayah dari “gadisnya” (ee parthenos autou). Menurut pandangan ini, beberapa ayah dalam jemaat telah terpengaruh oleh konsep asketisisme jemaat Korintus yang salah. Mereka kemudian menerapkan konsep itu pada anak-anak gadis mereka. Pemaksaan ini sangat dimungkinkan karena hukum pathr potestas, yaitu hukum Romawi yang memberikan kuasa mutlak kepada ayah atas anak-anak mereka. Begitu kuatnya hukum ini sampai-sampai seorang ayah dimungkinkan untuk menjual anaknya sebagai budak dan apabila anak itu sudah bebas dari perbudakan, ayah tersebut masih berhak lagi untuk menjualnya kembali. Dengan konsep asketisisme yang salah dan kuasa yang berlebihan sebagai seorang ayah, mereka sangat mungkin telah bertindak tidak wajar terhadap anak-anak gadis mereka. Para gadis itu dilarang untuk kawin, sehingga pada saat Paulus menulis surat 1 Korintus usia para gadis itu sudah melewati batas usia perkawinan. Argumen paling kuat untuk pandangan ini adalah pemakaian kata kerja “kawin” (gamizō) di ayat 38. Kata ini secara hurufiah berarti “menyerahkan dalam perkawinan”. Kata ini berbeda dengan kata “kawin” yang berkali-kali dipakai Paulus di pasal ini (7:9, 10, 28, 33, 34, 36, 39), yaitu gameō. Perbedaan ini dianggap disengaja oleh Paulus untuk menyatakan ide yang berbeda. Argumen lain yang dipakai adalah perbedaan dua kata tersebut di dalam ajaran Yesus. Matius 22:30//Markus 12:25//Lukas 12:27 Yesus mengatakan, “orang tidak kawin (gameō) dan tidak dikawinkan (gamizō)”.

Walaupun argumen di atas tampak sangat menarik, namun pandangan ini memiliki beberapa kelemahan yang mendasar. (1) Konteks 7:25-35 tidak membahas relasi antara ayah dan anak gadis mereka sama sekali. Jika ayat 36-38 berbicara tentang relasi ayah-anak perempuan, maka Paulus telah berpindah topik secara cepat dan tiba-tiba serta tanpa petunjuk yang jelas. Hal ini tentu saja menyulitkan para pembaca dan tampaknya terlalu dipaksakan; (2) Perintah Paulus “baiklah mereka kawin” di ayat 36 jelas merujuk pada “seseorang” (tis) dan “gadisnya” (ee parthenos autou). Jika ayat 36-38 adalah tentang relasi ayah-anak, maka Paulus pasti akan mengatakan, “biarlah ia [gadis itu] kawin” (NASB memilih terjemahan ini walaupun teks Yunani tidak mengarah ke sana); (3) Penggunaan istilah parthenos (lit. “gadis”) untuk anak-anak gadis tampak sangat janggal. Jika Paulus memaksudkan ee parthenos autou sebagai “anak gadisnya”, maka ia pasti akan memakai ungkapan thugatēr [anak perempuan] parthenos autou yang lebih umum (bdk. Kis. 21:9 “anak-anak dara”); (4) Perbedaan antara gameō dan gamizō terlalu dilebih-lebihkan. Dalam periode Yunani Koine perbedaan antara akhiran eō dan izō sudah tidak seketat pada zaman Yunani klasik. Makna kedua kata itu cenderung sinonim. Perbedaan yang ada hanyalah untuk variasi penulisan belaka; (5) pandangan ‘relasi ayah-anak’ tidak sesuai dengan arti kata aschēmoneō dan hyperakmos (lihat pembahasan selanjutnya).

Kedua, ayat 36-38 berbicara tentang suami-istri yang menganut asketisisme. Mereka sudah menikah kemudian mengikuti ajaran jemaat Korintus yang salah ini. Karena mereka tidak mau bercerai juga, maka mereka memutuskan untuk tetap hidup serumah tetapi relasi mereka bukan seperti suami-istri pada umumnya. Mereka tidak melakukan hubungan seksual sama sekali. Mereka hidup sebagai saudara-saudari dalam iman. Inilah yang dimaksud dengan ‘perkawinan spiritual’. Tidak ada argumen khusus yang mendukung pandangan ini, namun beberapa dugaan dianggap mendukung pandangan ini. Keadaan ‘perkawinan spiritual’ ini dipercaya sangat menguntungkan, baik secara ekonomis (mengurangi beban ekonomi karena menganut gaya hidup asketis) maupun secara spiritual (keduanya bisa saling mendukung dalam iman secara intensif). Jika salah satu di antara mereka mulai lemah dan menginginkan seks, maka pasangannya dapat membantu untuk menguasai keinginan itu.

Sama seperti pandangan ke-1, pandangan ini juga memiliki kelemahan yang mendasar. (1) tidak ada bukti bahwa model perkawinan seperti ini pernah ada dalam gereja mula-mula. Ketika pasangan suami-istri menganut asketisisme, yang mereka lakukan bukanlah tinggal serumah, karena itu justru akan menggoda mereka untuk melanggar gaya hidup itu. 1 Korintus 7:2-5 menyiratkan bahwa mereka lebih memilih untuk saling menjauhi; (2) jika ayat 36-37 berbicara tentang perkawinan spiritual, maka nasehat Paulus di ayat 38 (tidak menikah adalah lebih baik) akan berkontradiksi dengan nasehatnya di ayat 2-5. Saling menjauhi secara seksual antara suami-istri bukanlah tindakan yang baik (apalagi labih baik!), karena hal itu bisa menyebabkan perzinahan (7:2a, 5b). Lebih jauh, bagi Paulus relasi fisik (seksual) merupakan aspek integral dari sebuah pernikahan (7:3-4); (3) pandangan ‘perkawinan spiritual’ tidak sesuai dengan nasehat “baiklah mereka kawin” (ay. 36), karena mereka memang sudah kawin. Paulus seharusnya mengatakan, “baiklah mereka berhubungan seksual”; (4) penggunaan istilah parthenos (lit. “perawan”) untuk wanita yang sudah kawin tampaknya sangat janggal. Jika Paulus memaksudkan ‘perkawinan spiritual’ di ayat 36-38 maka ia pasti akan memakai kata gunh (lit. “perempuan [yang sudah menikah]”).

Ketiga, ayat 36-38 membicarakan tentang relasi pertunangan. Pandangan ini paling sesuai dengan konteks keseluruhan mulai 7:25. Pandangan ini juga cocok dengan makna kata aschmonew dan hyperakmos, seperti akan terlihat dalam pembahasan berikut ini.


Alasan untuk Menikah (ay. 36)
Di ayat 25-35 Paulus berkali-kali dan dalam berbagai cara telah menunjukkan bahwa tidak menikah merupakan pilihan yang terbaik. Ia bahkan akan mengulangi hal ini lagi di ayat 38. Bagaimanapun, kita tidak boleh menganggap bahwa Paulus sangat anti terhadap perkawinan. Dalam konteks ini nasehat Paulus tidak mengikat setiap orang, karena tiap-tiap memiliki karunia masing-masing, ada yang dipanggil untuk selibat dan ada pula yang ditentukan untuk menikah. Ayat 36 merupakan sebagian petunjuk bahwa seseorang tidak dipanggil untuk hidup membujang.

Alasan pertama adalah “bertindak tidak wajar” (aschēmoneō). Kata ini memiliki arti yang cukup luas dan bisa ditujukan pada tindakan apa saja yang bertentangan dengan tata nilai tertentu. Sama seperti lawan kata aschēmoneō – yaitu kata sifat euschēmenon di ayat 35 - yang bermakna luas (tindakan yang sopan atau layak), kata aschēmoneō juga bermakna luas. Berdasarkan pemunculan kata ini dalam tulisan-tulisan kuno yang mencapai lebih dari 80 kali, kata aschmonew sering kali berkaitan dengan masalah seksual apabila dipakai dalam konteks relasi laki-laki dan perempuan. Ketidakwajaran atau ketidaksopanan yang dimaksud Paulus kemungkinan besar mencakup masalah seksual. Kita tidak perlu menafsirkan bahwa tindakan negatif ini sudah mengambil bentuk hubungan seks sebelum pernikahan. Jika keduanya sudah melakukan hal itu, maka Paulus pasti tidak akan memberikan toleransi apa pun. Ia akan memakai teguran yang sangat keras. Frase “jika seseorang menganggap (nomizō)” menyiratkan bahwa ketidaksopanan yang dimaksud belum separah melakukan hubungan seks. Jika laki-laki dan tunangannya sudah berhubungan seks mereka pasti langsung tahu bahwa hal itu adalah dosa yang sangat serius. Mereka tidak perlu “menganggap” (nomizō) hal itu sebagai sesuatu yang tidak wajar. Berdasarkan konsep Romawi tentang “rasa malu”, aschēmoneō di sini sangat mungkin merujuk pada tindakan atau pikiran tertentu yang dianggap seseorang kurang daripada yang ideal. Tindakan ini mungkin merujuk pada pikiran yang cenderung terfokus pada seks (pikiran kotor). Mereka yang memiliki kecenderungan ini akan lebih baik jika mereka memutuskan untuk menikah.

Alasan untuk menikah yang selanjutnya adalah hyperakmos. Ada dua persoalan yang sangat berkaitan sehubungan dengan kata ini: apakah arti dari kata ini dan kepada siapa ditujukan? Secara hurufiah kata ini berarti “melampaui batas” (hyperakmos terdiri dari kata hyper = melampaui dan akmē = titik tertinggi dari sesuatu), tetapi batas yang dimaksud tidak terlalu jelas. Sebagian memilih batas yang dimaksudkan adalah usia ideal untuk menikah, sedangkan yang lain memikirkan batas normal dari keinginan seksual. Pilihan pertama mengasumsikan bahwa hyperakmos ditujukan pada pihak laki-laki, sedangkan pilihan kedua mengaitkan hyperakmos dengan pihak perempuan. Walaupun kata sifat hyperakmos dapat berbentuk maskulin atau feminin, tetapi berdasarkan konteks yang ada kata ini sebaiknya dihubungkan dengan pihak laki-laki. Subjek utama di ayat 36 adalah laki-laki (ia menganggap diri telah bertindak tidak wajar; ia menghendaki perkawinan), karena itu tidak berlebihan jika subjek kata sifat hyperakmos adalah laki-laki juga. Jika ini diterima maka hyperakmos merujuk pada nafsu seksual seorang laki-laki yang melebihi batasan normal. Tafsiran seperti ini selaras dengan arti kata aschmonew yang juga berkaitan dengan tindakan negatif dalam konteks seksual. Di samping itu, penggunaan kata hyperakmos dalam literatur kuno mengarah pada kesimpulan yang sama. Kata ini sering dipadankan dengan kata katorgan yang merujuk pada keinginan yang kuat untuk berhubungan seks. Kata ini merupakan sinonim dari “terbakar” [secara seksual] di 7:9.

Alasan berikutnya adalah “benar-benar merasa bahwa mereka harus kawin”. Dalam teks Yunani ungkapan yang dipakai secara hurufiah mengandung arti “dan karena itu terikat untuk terjadi” (kai aoutōs opheilei ginesthai). Apa yang mengikat laki-laki ini memang tidak dijelaskan secara eksplisit. Dari konteks yang ada kita dapat menafsirkan bahwa ikatan tersebut berkaitan dengan nafsu seksual yang kuat dalam diri laki-laki itu. Laki-laki yang memiliki keinginan seksual yang sangat kuat sangat mungkin tidak dipanggil untuk hidup membujang. Ia justru akan jatuh dalam perzinahan.

Berdasarkan tiga alasan di atas Paulus menasehatkan bahwa laki-laki tersebut dan tuangannya sebaiknya menikah. Nasehat ini tidak boleh diartikan bahwa Paulus memiliki pandangan yang rendah terhadap perkawinan. Ia tidak mengajarkan bahwa pernikahan adalah solusi bagi godaan seksual yang berlebihan. Konsep seperti ini pasti tidak ada dalam pikiran Paulus. Solusi bagi setiap dosa adalah kuasa salib Kristus dan pekerjaan Roh Kudus dalam diri orang percaya (bdk. Rm. 8:5). Perselingkuhan membuktikan bahwa pernikahan bukanlah solusi bagi godaan seksual.

Nasehat Paulus di bagian akhir ayat 36 ini menunjukkan sikap Paulus yang realistis dan kepekaannya terhadap orang lain. Ia menyadari bahwa apa yang paling ideal belum tentu bisa dicapai oleh semua orang. Bagi mereka yang memiliki kelemahan di bidang seksual, keputusan untuk menikah jelas lebih bisa diterima daripada bersikeras hidup membujang. Daripada hangus karena hawa nafsu (7:9), lebih bijaksana bagi seseorang untuk menikah.


Alasan untuk Tidak Menikah (ay. 37)
Walaupun Paulus sudah memberikan alasan-alasan untuk menikah namun ia juga menjelaskan hal sebaliknya. Seseorang boleh saja memutuskan suatu ikatan pertunangan apabila ia memenuhi kriteria yang akan ia bahas di ayat 37. Kriteria ini disampaikan Paulus dalam gaya penulisan chiastic (ABBA). Sayangnya, struktur ini tidak terlalu terlihat dalam terjemahan LAI:TB, karena urutan yang ada sedikit diubah untuk mencapai terjemahan yang lebih mulus. Selain itu, beberapa ungkapan juga diterjemahkan secara agak bebas supaya lebih bisa dimengerti. Sesuai dengan kalimat Yunani yang dipakai, struktur ayat 37 dapat digambarkan sebagai berikut:
A orang yang yakin dalam hatinya
B tidak memiliki keharusan/kebutuhan
B’ memiliki otoritas atas keinginannya sendiri
A’ telah memutuskan hal ini dalam hatinya sendiri

Dari struktur yang ada terlihat bahwa kriteria untuk tidak menikah ada dua. Pertama, seseorang harus memiliki keteguhan hati. Kata “hati” (kardia) muncul dua kali di bagian awal dan akhir (LAI:TB tidak menerjemahkan kata kardia di bagian akhir) untuk merujuk pada bagian terdalam dalam diri manusia. Keputusan untuk menikah atau membujang sangat berhubungan dengan Allah, karena hal itu merupakan karunia yang khusus dari Dia (7:7). Allah bisa saja memberikan beberapa indikasi eksternal untuk memberitahu seseorang tentang panggilan hidup membujang, tetapi yang paling penting adalah pergumulan pribadi orang itu dengan Allah. Jikalau ia sudah meyakini panggilan tersebut, maka ia harus mengambil keputusan yang bulat daam hatinya.

Kedua, seseorang tidak terikat dengan nafsu seksual. Kata “kebutuhan” (anankē) merujuk pada kebutuhan [dalam konteks ini adalah kebutuhan seksual] yang besar sehingga menjadi sebuah paksaan bagi orang tersebut. Hal ini tidak berarti bahwa mereka yang dipanggil untuk membujang tidak memiliki keinginan seksual sama sekali. Seperti orang-orang lain, mereka tetap memiliki nafsu seksual. Perbedaannya, mereka memiliki otoritas (exousia) atas keinginan itu, dan bukan sebaliknya. Penguasaan seperti ini bisa saja menjadi petunjuk bahwa seseorang mendapat karunia untuk tidak menikah. Penjelasan di atas memberikan pedoman yang bermanfaat bagi mereka yang menggumulkan masa depan (menikah atau membujang). Ada banyak alasan mengapa seseorang tidak menikah (Mat. 19:12). Allah bisa saja memakai beragam cara untuk menyadarkan seseorang pada panggilan hidup membujang. Salah satunya adalah melalui kemampuan rohani untuk mengontrol nafsu seksual. Yang paling penting adalah keyakinan dalam diri seseorang melalui pergumulan pribadi dengan Tuhan.


Konklusi (ay. 38)
Jika ada dua pilihan – yaitu menikah (ay. 36) atau tidak menikah (ay. 37) – manakah yang harus dipilih? Pilihan apa pun harus sesuai dengan karunia seseorang (7:7). Paulus tetap konsisten dengan sikapnya bahwa secara umum keputusan untuk tidak menikah tetap yang terbaik (7:7, 26, 38), walaupun keputusan untuk menikah juga tidak berdosa (7:9, 28, 38). Sikap ini memiliki kesamaan dan perbedaan dengan sikap jemat Korintus. Baik Paulus dan jemaat Korintus sama-sama menganggap kehidupan membujang memiliki nilai lebih. Bedanya, Paulus tidak menilai pernikahan sebagai dosa, sedangkan jemaat Korintus memandang itu sebagai dosa.

Perbedaan lain teretak pada konsep tentang “baik”. Jemaat Korintus menganggap kata “baik” (kalōs) memiliki makna superioritas secara moralitas atau spiritual. Di sisi lain Paulus memandangnya secara praktis dan eskatologis. Secara praktis orang yang tidak menikah akan terhindar dari berbagai macam kesusahan (7:28b) dan kekuatiran (7:32a). Secara eskatologis orang yang tidak menikah akan lebih mampu mengarahkan hidupnya secara terfokus untuk menantikan kedatangan Kristus (7:26a, 29-34). Mereka tidak terlalu dipusingkan dengan hal-hal lain yang berpotensi ntuk mengganggu fokus hidup yang eskatologis tersebut. Sebaliknya, ia memiliki kesempatan untuk mengejar kekudusan dan melayani Tuhan seutuhnya (7:35). #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 13 September 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2036-38.pdf

16 August 2010

CHRIST CENTERED CHRISTIAN FAITH (Denny Teguh Sutandio)

CHRIST CENTERED CHRISTIAN FAITH
(IMAN KRISTEN YANG BERPUSAT KEPADA KRISTUS)


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur. Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.”
(Kol. 2:6-8)




KRISTEN: ASAL MULA DAN ARTINYA
Nama Kristen pada mulanya adalah sebutan yang dikenakan kepada jemaat di Antiokhia (Kis. 11:26). Kata Yunani yang dipakai adalah Christianos (Inggris: Christians) yang berarti pengikut Kristus. Nama ini sebenarnya merupakan panggilan/sebutan dari orang-orang Antiokhia pada waktu itu kepada jemaat Kristus di sana (seperti memanggil para pengikut Herodes sebagai Herodian, dll). Lambat laun, nama Kristen ini akhirnya dipergunakan oleh jemaat Antiokhia untuk menyebut diri mereka sendiri. Pada zaman dahulu, ketika mereka menyandang nama Kristen, orang-orang di luar sudah mengetahui bahwa mereka adalah para pengikut Kristus atau istilahnya Kristus-kristus kecil, seseorang yang menampilkan Kristus secara terbuka kepada orang lain. Tidak heran, di zaman gereja mula-mula, mereka yang berani menyebut diri Kristen kebanyakan akan menderita aniaya, entah itu difitnah, dibunuh, dll, karena sikap hidup mereka berlawanan dengan sikap hidup dunia di mana mereka hidup dan tinggal.


KRISTEN: SEBUAH REALITAS MENGENASKAN
Jika pada awal sebutannya, Kekristenan begitu indah dan banyak pengikut-Nya berani mati demi Kristus, namun sejarah kemudian membuktikan hal yang benar-benar mengenaskan. Nama Kristen yang begitu agung mulai diselewengkan dari zaman ke zaman. Dosa mengakibatkan penyimpangan signifikansi sebutan Kristen ini, sehingga tidak heran, makin hari kita melihat banyak orang Kristen yang tidak layak lagi disebut Kristen atau pengikut Kristus, karena mereka hidup di luar Kristus, meskipun masih terlihat seolah-olah rajin beribadah di gereja. Di dunia ini, hanya ada dua macam iman (Kristen), yaitu iman yang berpusat kepada Allah/Kristus vs iman yang TIDAK berpusat kepada Kristus. Iman yang tidak berpusat kepada Kristus, menurut Rev. Prof. Michael S. Horton, Ph.D., disebut sebagai Christless Christianity (Kekristenan yang tanpa Kristus). Jika orang Kristen tidak memusatkan imannya kepada Kristus, maka apa yang menjadi pusat iman mereka?

Pertama, human centered faith (iman yang berpusat kepada manusia). Iman ini ditandai dengan hal-hal yang berkaitan dengan manusia (entah itu rasio, perasaan, dll) yang menjadi berhala dalam iman dan kehidupan banyak orang Kristen. Biasanya banyak orang Kristen model ini meskipun terlihat alim dan rohani di dalam gereja, rajin melayani Tuhan, namun mereka sebenarnya lebih mementingkan hal-hal seperti: rasio, perasaan, dll. Mereka hanya mau menerima Kekristenan jika Kekristenan itu cocok dengan kemauannya, entah itu rasio atau perasaannya. Sebagai contoh, kita menjumpai perkataan, “Wah, hari ini, khotbahnya gak enak, gak ada humornya” atau mungkin sekali seorang pemimpin gereja melontarkan pernyataan, “Alkitab itu hanya berisi firman Allah, oleh karena itu Alkitab bisa salah.” Atau mungkin seorang Kristen bisa berkata, “Wah, gereja ini kuno, tidak ada ‘roh kudus’ (=maksud sebenarnya tidak ada musik band-nya).” Berbagai cara dilakukannya agar orang Kristen tersebut dapat memuaskan keinginan telinganya (2Tim. 4:3-4), salah satu caranya adalah dengan mencari gereja yang cocok dengan keinginan telinganya. Seorang Kristen bisa dengan mudahnya berpindah gereja dengan alasan yang sungguh pragmatis, yaitu musik gereja. Akibatnya, makin seorang Kristen beribadah, makin mereka membius diri dengan kesenangan “rohani”, lalu kemudian setelah pulang dari gereja, mulai hari Senin s/d Sabtu, mereka menjalani kehidupan mereka seperti biasa yang tanpa Kristus di dalamnya, kemudian hari Minggu berikutnya, membius diri kembali di gereja, dst. Tidak usah heran, Kekristenan model ini jika diserang oleh filsafat dunia misalnya dengan merebaknya buku The Da Vinci Code, Misquoting Jesus, dll, banyak dari mereka kaget, lalu beberapa pemimpin gereja mereka mengindoktrinasi jemaatnya untuk tidak membaca buku-buku tersebut, tanpa memberi tahu alasannya dengan jelas. Bagi saya, iman model ini adalah iman pokoke. Orang Kristen model ini hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan si pemimpin gereja (membeo), tanpa mau mengujinya berdasarkan Alkitab, karena bagi mereka, yang dikatakan di atas mimbar identik dengan Alkitab yang tidak bisa bersalah.

Selain emosi, banyak orang “Kristen” yang memusatkan imannya pada kehebatan diri. Peluang empuk ini ditangkap dan direalisasikan oleh banyak motivator, lalu kemudian mereka membentuk pelatihan motivasi yang beridekan Gerakan Zaman Baru. Pelatihan ini eksplisit maupun implisit mengajarkan bahwa di dalam diri manusia ada sebuah kekuatan yang luar biasa yang sedang tidur (ide Gerakan Zaman Baru yang merupakan pencampuran: monisme dan pantheisme), sehingga kekuatan ini harus dibangunkan, maka diperlukan teriakan-teriakan seperti, “Dahsyat!”, “Sukses adalah hak saya!”, “miskin adalah dosa”, dll. Tidak heran, sesuatu yang membuat manusia merasa diri hebat ini begitu laris diminati oleh banyak orang “Kristen” hari-hari ini, bahkan yang mengenaskan seorang motivator bisnis diundang berbicara di dalam seminar di sebuah gereja.

Kedua, worldly centered faith (iman yang berpusat pada duniawi). Selain berpusat pada manusia, ada juga tipe orang “Kristen” yang beriman kepada hal-hal duniawi, meskipun mengaku aktif melayani Tuhan di gereja. Iman yang berpusat kepada hal-hal duniawi ditandai dengan orientasi hidup mereka yang lebih mementingkan hal-hal duniawi ketimbang Kerajaan Allah. Misalnya, ada orang “Kristen” yang mati-matian gila uang, sehingga setiap hari dari Minggu s/d Sabtu dari pagi sampai malam dipergunakan untuk mencari dan menghitung uang. Dia tidak akan ingat lagi untuk pergi ke gereja di hari Minggu atau mungkin sekali dia masih ingat pergi ke gereja di hari Minggu, namun ia akan berusaha mencari gereja yang menyelenggarakan kebaktian/ibadah secepat mungkin (jika mungkin hanya 1 jam saja), karena waktu selanjutnya dipergunakan untuk mencari dan menghitung uang kembali. Jangankan orang Kristen, beberapa pemimpin gereja pun tidak luput dari iming-iming hal-hal duniawi ini. Seorang pebisnis Kristen pernah berujar bahwa hari-hari ini, bisnis apa saja gagal, hanya satu yang tidak bisa gagal, cho (cari untung di) gereja. Gimana cara bisnis di dalam gereja? Mudah, cukup menyewa satu tempat yang strategis, undanglah pengkhotbah yang top, jangan lupa juga undang artis Kristen yang top juga, supaya peserta/jemaat yang hadir juga banyak, kemudian setelah itu, tinggal memberi honor bagi si pengkhotbah dan artis top tersebut. Setelah gereja ini berkembang pesat, kemudian ada beberapa anak buah si pemimpin gereja ini tidak puas dengan pemimpinnya, sehingga beberapa anak buahnya memberontak dan akhirnya mendirikan gereja sendiri. Mengapa mereka tidak puas? Tidak puas dengan ajaran si pemimpin? Bukan! Kebanyakan mereka tidak puas karena mereka tidak mendapat kedudukan yang sama untungnya dengan si pemimpin gerejanya.

Selain uang, orang Kristen yang beriman duniawi itu ditandai dengan memberhalakan tradisi nenek moyang. Mereka berani mengklaim diri sebagai orang Kristen, bahkan beberapa di antara mereka berani membagikan iman Kristen khususnya doktrin tertentu yang dipercayainya kepada orang non-Kristen atau orang Kristen dari gereja yang berbeda darinya, namun sayang, imannya jika diteliti bukan lagi berpusat kepada Kristus, namun kepada tradisi nenek moyang. Segala sesuatu dalam hidupnya ditentukan bukan apa yang Alkitab katakan, tetapi apa yang tradisi katakan, bahkan yang lebih celaka lagi, apa yang shio katakan. Orangtua “Kristen” yang melihat lawan jenis anaknya bukan ditanya apa imannya, tetapi apa shionya, kemudian dilihat tanggal dan bulannya, lalu bertanya kepada orang-orang yang mengerti shio. Jika si lawan jenis dan si anak shionya jiong, maka si orangtua “Kristen” mati-matian memisahkan si anak dari lawan jenisnya. Ada juga orangtua “Kristen” yang masih melihat hari baik ketika hendak menikahkan anaknya. Bagi orang ini, khotbah di atas mimbar hanya cocok didengarkan, namun tidak untuk diaplikasikan, karena yang terpenting dalam hidup orang ini adalah tradisi nenek moyang yang sudah mendarah daging dalam dirinya. Orang seperti ini masih layakkah disebut Kristen??


KRISTEN: SEBUAH PANGGILAN UNTUK MEMUSATKAN HIDUP HANYA PADA KRISTUS
Sebuah tragedi mengenaskan terjadi pada banyak orang Kristen di zaman postmodern ini menyadarkan kita bahwa 2 ciri khas tersebut bukanlah apa yang Tuhan inginkan pada diri orang Kristen. Tuhan membenci perzinahan rohani (Kel. 20:3)! Oleh karena itu, sudah saatnya orang Kristen kembali kepada Alkitab, kembali melihat apa yang Tuhan inginkan pada diri orang Kristen SEJATI. Oleh karena itu, marilah kita menyimak apa yang Tuhan melalui Paulus ajarkan kepada kita di dalam Kolose 2:6-8:

Pertama, hidup di dalam Kristus (ay. 6b). Di dalam Kolose 2:6a, Paulus telah mengingatkan jemaat Kolose (termasuk kita) bahwa mereka (kita) telah menerima Kristus Yesus sebagai Tuhan, maka ia memerintahkan (bentuk imperatif) kita untuk hidup di dalam Kristus. Kata Yunani yang dipakai di sini adalah peripateō. Beberapa terjemahan Inggris menggunakan kata walk in Him (berjalan di dalam-Nya). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia menerjemahkannya, “hendaklah tetap hidup.” Di sini, kita diajar bahwa iman Kristen bukan hanya sekadar pengakuan secara mulut saja, namun juga pengakuan secara hidup, artinya hidup kita adalah hidup di dalam Kristus. Hidup di dalam Kristus berarti hidup berada di dalam wilayah kekuasaan Kristus di mana Kristus bertakhta sebagai Raja. Lalu, bagaimana hidup me-Raja-kan Kristus? Pada poin berikutnya akan dibahas.

Kedua, berakar dan dibangun di dalam-Nya (ay. 7a). Jika di ayat 6b, Paulus menggunakan kalimat aktif menurut struktur bahasa Yunani, maka di ayat 7 ini, ia menggunakan kalimat pasif. Menurut InterVarsity Press Bible Background: New Testament, penggunaan analogi agrikultural ini mengingatkan kita akan janji Tuhan di dalam Perjanjian Lama bahwa jika mereka mematuhi Tuhan, mereka akan mengambil akar, ditanam, dibangun, dll. Dengan kata lain, mulai tahap ini, Kristus yang menguasai seluruh aspek kehidupan kita. Kristus akan membuat kita berakar terus di dalam Dia dan dibangun di dalam-Nya melalui firman-Nya, Alkitab. Penyelidikan yang tuntas dan teliti akan Alkitab mengakibatkan kita makin lama makin mensyukuri anugerah-Nya dan memusatkan hidup kepada Kristus. Selain itu, penyelidikan akan Alkitab dengan tuntas dan menyeluruh mengakibatkan kita makin terus mengerti signifikansi menjadi pengikut Kristus di tengah arus dunia yang menyesatkan ini, yaitu menjadi garam dan terang bagi dunia (Mat. 5:13-16). Atas anugerah-Nya, orang Kristen terus-menerus berusaha menghadirkan cahaya Injil Kristus di setiap aspek kehidupannya (baik secara hati, pemikiran, perkataan, sikap, dll), sehingga orang lain melihat betapa mulia Kristus dan kemudian atas anugerah-Nya, orang lain tersebut banyak yang bertobat. Dengan kata lain, hidup yang berakar dan dibangun di dalam-Nya merupakan sebuah hidup yang berkelanjutan di dalam pengenalan akan Kristus dan Alkitab.

Ketiga, semakin diteguhkan dalam iman (ay. 7b). Setelah kita hidup di dalam Kristus dan tentunya berakar dan dibangun di dalam-Nya melalui Alkitab, maka Paulus mengingatkan kita bahwa kita perlu semakin diteguhkan di dalam iman. Di ayat 7b ini, kembali, Paulus tetap menggunakan bentuk pasif, yaitu BUKAN kita yang semakin berteguh imannya, tetapi iman kita yang diteguhkan. Siapa yang meneguhkan iman kita? Tentu Roh Kudus yang akan meneguhkan iman kita di dalam Kristus. Di sini kita melihat kesinambungannya. Kita bukan hanya makin mengerti Alkitab, tetapi kita juga dimampukan oleh Roh Kudus untuk berdiri teguh di dalam iman di dalam Kristus. Ada unsur pengetahuan doktrinal yang ketat, tajam, dan luas, namun juga ada unsur keteguhan iman yang kokoh. Beberapa orang Kristen bahkan pemimpin gereja menyelidiki Alkitab sampai tingkat doktoral, namun hati dan imannya kering, karena penyelidikan Alkitab yang dilakukannya hanya untuk memenuhi pikirannya saja. Paulus mengingatkan kita agar iman kita juga diteguhkan di dalam Kristus, sehingga antara rasio dan hati bekerja simultan. Makin belajar Alkitab, makin melihat keagungan, keindahan, kekonsistenan, kejujuran, dan kekokohan berita Alkitab melampaui semua agama, filsafat, tradisi, kebudayaan, sains, dan ilmu lainnya. Orang Kristen yang dengan mudahnya meninggalkan iman Kristennya hanya demi jabatan di kantor/perusahaan atau demi pasangan hidupnya sebenarnya merupakan orang Kristen yang belum mengerti keagungan dan kedahsyatan kuasa Injil Kristus. Bersyukurlah jika Anda hari ini masih beriman Kristen, karena Roh Kudus yang menguatkan iman Anda kepada Kristus.

Keempat, hidup bersyukur (ay. 7c). Orang Kristen tidak hanya dituntut untuk belajar firman Tuhan secara ketat dan bertanggungjawab, namun juga harus bersyukur. Di ayat ini, Paulus mengingatkan kita untuk bersyukur atas anugerah-Nya. Di 1 Tesalonika 5:18, Paulus juga menasihati jemaat Tesalonika untuk mengucap syukur dalam segala hal. Mengapa kita harus bersyukur? Dengan bersyukur: kita menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita bukanlah karena kehebatan kita, namun karena anugerah-Nya saja dan juga kita semakin terus bergantung pada kemurahan anugerah-Nya yang berdaulat yang memimpin hidup kita.

Kelima, tidak ditipu oleh arus dunia (ay. 8). Setelah kita hidup di dalam Kristus, berakar di dalam-Nya, bertambah teguh di dalam iman kepada-Nya, bersyukur, maka di poin terakhir yaitu ayat 8 ini, Paulus mengingatkan kita agar kita tidak ditipu/disesatkan oleh arus dunia. Dengan kata lain, melalui ayat ini, Paulus mulai mengajak jemaat Kolose (dan kita juga) untuk berwaspada terhadap dunia sekitar (beserta filsafat di baliknya) di mana kita hidup dan tinggal. Apa saja yang ditawarkan oleh dunia? Menurut IVP Bible Background: New Testament, Paulus membagikannya ke dalam dua hal: filsafat dan ajaran turun-temurun (tradisi). Menurut konteks surat Kolose ini, jemaat di sana menghadapi beragam filsafat Yunani (menurut Albert Barnes di dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menyebutkan adanya filsafat Yunani: Gnostik) dan juga tradisi Yudaisme yang kental. Nah, menurut Paulus, baik filsafat maupun tradisi ini sama-sama berasal dari roh-roh dunia (yang jahat) yang tidak menurut Kristus. Dengan menyebut filsafat dan tradisi, sebenarnya Paulus hendak mengajar dua macam penekanan dalam hidup seseorang: rasio dan mistik. Orang Yunani (nantinya memengaruhi dunia Barat) menekankan pentingnya rasio dan orang Yahudi (nantinya memengaruhi dunia Timur) menekankan pentingnya tradisi atau kebudayaan (yang juga mengandung unsur-unsur mistik terselubung).

Apakah berarti melalui ayat 8 ini, Paulus memerintahkan kita untuk membuang semua filsafat dan tradisi? TIDAK. Melalui ayat ini, Paulus tidak memerintahkan kita untuk anti filsafat dan tradisi, tetapi ia mengajar kita untuk jangan sampai ditipu dan disesatkan oleh filsafat dan tradisi yang berasal dari roh-roh jahat yang melawan Kristus. Di dalam iman Kristen berdasarkan perspektif theologi Reformed, kita menghargai filsafat dan tradisi sebagai respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah, namun penghargaan tersebut sebatas penghargaan, bukan pemberhalaan! Mengapa? Karena meskipun sebagai respons manusia terhadap wahyu umum Allah, respons tersebut tetap adalah sebuah respons berdosa dari manusia yang sudah berdosa, sehingga hasil akhirnya pun tetap berdosa. Oleh karena itu, diperlukan wahyu khusus Allah yaitu Kristus dan Alkitab untuk menebus respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah tersebut sehingga dapat memuliakan Allah. Iman Kristen yang beres adalah iman Kristen yang TETAP menghargai signifikansi tradisi dan filsafat, namun TIDAK pernah memberhalakannya, karena jika sampai memberhalakannya, itu sudah termasuk dosa, karena dosa, menurut Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D., berarti menggeser otoritas Allah dan menggantikannya dengan otoritas manusia.


KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Setelah merenungkan realitas yang mengerikan dari Kekristenan zaman postmodern ini dan panggilan untuk memusatkan iman kita kepada Kristus, apa yang menjadi reaksi kita? Apakah kita menyadarinya dan kemudian bertobat? Ataukah kita cuek? Biarlah Roh Kudus memakai perenungan singkat ini untuk menyadarkan dan memimpin iman kita terus-menerus untuk berpusat HANYA kepada Kristus. Amin. Soli DEO Gloria.

12 August 2010

Resensi Buku-101: BIOGRAFI TOKOH KRISTEN: JOHN CALVIN (Simonetta Carr)

...Dapatkan segera...
Buku
Biografi Tokoh Kristen:
JOHN CALVIN


oleh: Simonetta Carr

Ilustrasi oleh: Emanuele Taglietti

Penerbit: Momentum Christian Literature, 2009

Penerjemah: Chrisnah W. J. Ruston





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Belajar dari sejarah adalah sebuah pelajaran yang tak ternilai harganya. Begitu juga halnya di dalam Kekristenan. Belajar dari sejarah Kristen di masa lalu selain menambah hikmat bagi kita dan juga kita bisa meneladani para tokoh Kristen yang berjuang bagi kebenaran firman Allah. Salah satu tokoh Kristen agung yang bisa kita pelajari adalah Dr. John Calvin. Dr. John Calvin adalah salah seorang reformator yang cukup terkenal khususnya melalui karya agung yang ditulisnya yaitu Institutes of the Christian Religion. Selain itu, semangat pengorbanan dan kerja keras dari sosok Dr. John Calvin, bisa kita teladani di dalam kehidupan kita. Segala sesuatu yang menyangkut profil Dr. John Calvin bisa kita pelajari secara lengkap namun sederhana melalui buku John Calvin yang ditulis oleh Ibu Simonetta Carr. Meskipun buku ini sebenarnya ditujukan sebagai media mendidik dan mengajar tentang iman Reformed kepada anak-anak, namun buku ini juga bisa dibaca oleh para pembaca umum, karena selain disertai gambar-gambar menarik, buku ini juga menjelaskan riwayat Calvin dari sejak lahir sampai meninggal dengan bahasa yang mudah dimengerti dan alur sejarah yang jelas.




Apresiasi:
“Sebagai orangtua dari empat anak, saya dan istri rindu untuk memiliki materi yang baru untuk digunakan dan direkomendasikan. Buku ini adalah karya yang perlu kami promosikan. Sebagai penerjemahkarya-karya Reformed ke dalam bahasa Italia dan juga sebagai seorag pengajar, Simonetta adalah orang yang benar-benar berbakat. Bukan hjanya ia mengenal betul mengenai sejarah dan theologi Reformasi, ia juga tahu bagaimana ‘menyajikannya’ untuk anak-anak kita. Komunitas Reformed sungguh memerlukan literatur yang mendidik semacam ini bagi generasi muda kovenan kita.”
Rev. Prof. Michael S. Horton, Ph.D.
(Pendeta di United Reformed Church di Amerika Utara, J. Gresham Machen Professor of Systematic Theology and Apologetics di Westminster Seminary, California, pendiri dari Christians United for Reformation—CURE, dan anggota dari: the Oxford University Union Society, the Royal Institute of Philosophy, the American Academy of Religion, the American Theological Society, and the Calvin Studies Society; Bachelor of Arts—B.A. dari Biola University; Master of Arts—M.A. dari Westminster Seminary California; dan Doctor of Philosophy—Ph.D. dari University of Coventry and Wycliffe Hall, Oxford, U.K.)

“Buku ini adalah sebuah sumber yang terpercaya tentang hidup dan pelayanan John Calvin. Ditulis dengan sangat baik dan dilengkapi dengan ilustrasi yang sangat baik pula. Buku ini akan menjadi suatu pendidikan bagi anak-anak dan menarik bagi mereka.”
Rev. Prof. Hywel R. Jones, Ph.D.
(Professor of Practical Theology di Westminster Seminary, California dan ditahbiskan di Presbyterian Church of Wales; B.A. dari University of Wales; M.A. dari University of Cambridge; dan Ph.D. dari Greenwich University School of Theology, U.K.)

“Dalam bukunya tentang hidup dan perjalanan John Calvin, Simonetta Carr telah menyediakan sumber yang berharga bagi para orangtua Kristen untuk mengajar putra-putri mereka di dalam warisan iman Kristen yang bersejarah, tetapi melampaui zaman. Sementara banyak orang mengalami penderitaan berat demi membebaskan manusia dari takhayul dan ritual yang kosong, tetapi tiada yang menandingi penderitaan John Calvin dalam meyakinkan banyak insan akan pentingnya Alkitab, dan khususnya, Yesus Kristus di dalam hidup dan keberadaan mereka.”
Thomas McManus
(Principal di Covenant Christian School, Chula Vista, California)





Profil Simonetta Carr dan Emanuele Taglietti:
Simonetta Carr lahir di Italia dan telah menetap dan bekerja di banyak tempat dengan budaya yang beragam. Dengan latar belakang sebagai guru sekolah dasar, ia mengajar sendiri kedelapan anaknya di rumah selama bertahun-tahun. Ia menjadi penulis bagi surat kabar dan majalah di seluruh dunia dan telah menerjemahkan beberapa karya penulis Kristen ke dalam bahasa Italia. Sekarang ini, ia tinggal di San Diego bersama suaminya Thomas dan keluarga. Beliau adalah anggota dan guru sekolah minggu di Christ United Reformed Church.

Emanuele Taglietti lahir di Ferrara, Italia, dan menyelesaikan studinya di Roma. Sejak 1975, ia mengajar seni lukis pada Art Institute of Ferrara, sambil bekerja sebagai ilustrator pada beberapa majalah. Ia sangat dikagumi karena lukisan-lukisan cat air dan gaya fresco tradisionalnya. Ia tinggal di Ferrara bersama istrinya, Katia.