29 August 2010

KOINONIA-1: Dari Melihat Menjadi Menyentuh (Pdt. Joshua Lie, M.Phil., Ph.D.--Cand.)

Koinonia-1:
DARI MELIHAT MENJADI MENYENTUH

oleh: Pdt. Joshua Lie, M.Phil., Ph.D. (Cand.)




Kisah Para Rasul 2:42
“Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa”



Pernahkah Anda merindukan suasana ketika berada di dalam gedung gereja? Saya ingat ketika masih berumur 12 tahun, gedung gereja merupakan tempat terbaik untuk berdoa. Ruangan yang tenang, atap yang menjulang, dan di hadapan kita ada kayu salib yang besar. Ibu saya beberapa kali mengajak saya masuk ke dalam gedung gereja ketika sepi karena bukan hari minggu, lalu berlutut bersama. Itulah kesan saya tentang gereja. Suasana gedung gereja memberikan “sentuhan” yang tak terlupakan. Demikian pula suasana bersama teman-teman gereja berbeda dengan suasana teman-teman di sekitar rumah atau di sekolah. Apa yang berbeda?

Kisah Para Rasul mengungkapkan “suasana” jemaat mula-mula sebagai jemaat “yang bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan … selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” Mereka bertekun. Bertekun (prokarterountes) dalam arti harfiahnya “being strong toward.” “Suasana” gereja mula-mula muncul dari jemaat itu sendiri, yaitu jemaat yang bertekun. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul, bertekun dalam persekutuan, bertekun dalam memecahkan roti dan bertekun berdoa. Bayangkan ketekunan mereka menghasilkan “suasana” gereja yang sejati. Menariknya, dikatakan mereka bertekun dalam persekutuan. Bukankah dengan mereka berkumpul, mereka sudah bersekutu? Mengapa perlu bertekun? Inilah keunikan gereja, mereka bertekun dalam koinonia (persekutuan).

Bagi orang Gerika, koinonia adalah suatu perkumpulan atau suatu masyarakat. Ketika sejumlah orang berkumpul dan saling berbagi, atau ketika sejumlah orang mengadakan kesepakatan bekerja bersama, atau ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan menikah, disanalah koinonia berlangsung. Selanjutnya bagi orang Gerika, koinonia adalah lawan kata dari pleonexia, yaitu sikap mau menang sendiri, atau mau mengambil segala sesuatu bagi dirinya sendiri. Adanya pleonexia meniadakan koinonia, Ketika sejumlah orang berbisnis namun hanya sebagian kecil yang mengambil keuntungannya, kumpulan itu bukanlah koinonia. Ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan menikah namun salah satu saja yang memetik keuntungannya, maka pernikahan itu bukanlah koinonia.

Bagaimana dengan gereja sebagai koinonia? Apa yang membedakannya dengan koinonia orang Gerika? Apa bedanya gereja dengan perseroan, atau dengan perkumpulan arisan, atau dengan perkumpulan-perkumpulan lainnya? Ada cuplikan video yang pernah saya lihat. Sejumlah orang sedang berbaring, bercanda-ria, ada pula yang duduk-duduk menghirup udara segar di padang rumput yang hijau dengan latar belakang gunung yang indah. Tiba-tiba seorang pemuda berdiri lalu mulai bergoyang, dan terus bergoyang, tampaklah ia menari dengan wajah yang tersenyum. Orang-orang mulai memperhatikannya. Mulailah satu persatu orang berdiri dan mulai bergoyang. Satu persatu mulai menari! Inilah model koinonia Gerika. Mereka berkumpul, lalu semua menikmati tanpa ada yang memonopoli. Inilah gambaran koinonia Gerika.

Koinonia Gerika berasal dari kata koine, yaitu suatu yang sama dan menyatukan, common. Sejumlah orang berkumpul untuk mendapatkan manfaat bersama disatukan oleh suatu kepentingan bersama. Apa yang menyatukan mereka? Apa yang menjadi “common” yang menyatukan? Koinonia Gerika ditandai dengan kesenangan mereka berkumpul di teater. Teater bagi mereka sekaligus merupakan lukisan kehidupan mereka. Bahkan kata “teori” berasal dari kata “teater” dalam bahasa mereka. Mereka menemukan “common” (kesamaan) yang membentuk koinonia melalui teater. Teater menyatukan orang berkumpul sebagai penonton, penyaksi, orang yang melihat. Mereka disatukan dalam penglihatan. Mereka berkumpul, duduk, lalu dengan mata yang melihat, mereka menemukan kepentingan yang sama di dalam teater, dan menikmatinya bersama. Itulah koinonia Gerika.

Kehidupan modern meneruskan dan tentunya mengembangkan koinonia Gerika. Mata berperanan penting untuk menemukan yang menyatukan (common). Di gedung bioskop, puluhan, ratusan bahkan ribuan mata disatukan dalam pertunjukan. Beribu bahkan berjuta mata terpaku pada surat kabar dan televisi, lalu menemukan “common” dalam kehidupan moderen. Dan kini kita sedang disatukan dalam piala dunia di Afrika Selatan. Semua mata dari berbagai penjuru dunia dipadukan menjadi koinonia di stadium bola!

Bagaimana dengan koinonia gereja?

Hari Minggu pagi. Satu persatu jemaat berangkat dari rumah mereka menuju gereja. Mereka seperti biasanya tiba, bersalaman, dan mencari tempat duduk dalam gedung gereja. Kebanyakan jemaat duduk di tempat yang sama. Kemudian mereka disatukan dengan pandangan menuju ke panggung dan mimbar. Setelah menyanyikan doksologi dan menerima berkat, pergilah jemaat meninggalkan gedung gereja. Apa yang membedakan koinonia gereja dengan koinonia Gerika dan dunia moderen?

Koinonia gereja mula-mula bukan sekadar kumpulan orang-orang yang mempunyai kepentingan yang sama. Mereka bertekun di dalamnya. Koinonia dinyatakan dengan berbagi harta kepunyaan bahkan berbagi hidup. Itulah kehidupan gereja mula-mula di Yerusalem. Koinonia gereja adalah koinonia yang dibangun atas “kamu yang dahulu ‘jauh,’ sudah menjadi ‘dekat’ oleh darah Kristus” (Ef. 2:13). Koinonia yang “mendekatkan” satu dengan yang lain dengan “merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan” (Ef. 2:14).

Untuk memahami lebih lanjut koinonia gereja, mari kita sejenak memperhatikan Kitab Yosua.

Yosua 2:1a
“Yosua bin Nun dengan diam-diam melepas dari Sitim dua orang pengintai, katanya: “Pergilah, amat-amatilah negeri itu dan kota Yerikho.”

Yosua adalah seorang yang dipanggil TUHAN untuk memimpin umat Israel memasuki tanah Kanaan. Setelah menerima janji dan perintah TUHAN (Yos. 1), kini saatnya ia menerapkan janji dan perintah TUHAN itu dalam kepemimpinannya untuk merebut kota Yerikho.

Langkah awal adalah mengirim dua pengintai dengan perintah “pergi dan lihat.” Yosua mengulangi strategi Musa ketika ia bersama 11 pengintai lainnya diutus untuk mengamat-amati keadaan negeri yang akan mereka masuki (Bilangan 13).

“Pergi dan lihat” merupakan strategi yang ampuh sebagai persiapan memasuki tanah yang asing. Melihat adalah sikap menjaga jarak. Ada jarak antara yang melihat dan yang dilihat. Jarak itulah yang dapat menyatukan sejumlah orang ketika melihat suatu obyek dari lokasi yang sama. Namun ada persoalan dalam penglihatan, yaitu menilai. Maka koinonia Gerika dan koinonia moderen yang berdasar “penglihatan” memberikan pijakan yang sama dalam penilaian agar terjadi kesepakatan.

Namun soal iman bukanlah sekadar soal penilaian. Sepuluh pengintai melihat kenikmatan tanah Kanaan namun mereka juga “melihat” bangsa yang diam di tanah itu adalah bangsa yang kuat dan berkubu. Ini bukan sekadar soal penilaian tetapi soal iman, yaitu soal kesetiaan memegang janji TUHAN sebagai umat-Nya. Di sanalah, Yosua bin Nun dan Kaleb “melihat” bukan dengan mata saja tetapi juga dengan iman (Bil. 14:7-9).

Koinonia “melihat” dapat terbentuk dengan adanya obyek yang mampu menyatukan, entah itu suatu yang enak ditonton, figur yang dikagumi, atau kisah yang menawan. Koinonia gereja tidak seharusnya dipadukan di atas panggung, melainkan pada “mata” iman setiap orang yang berkumpul. Sebagaimana Yosua dan Kaleb berpadu bukan pada apa yang mereka lihat di tanah Kanaan, tetapi pada janji Allah bagi mereka untuk mendiami tanah itu.

Yosua 2:1b
“Maka pergilah mereka dan sampailah mereka ke rumah seorang perempuan sundal, yang bernama Rahab, lalu tidur di situ.”

Perintah Yosua mirip dengan perintah Musa kepada keduabelas pengintai, namun kisah selanjutnya berbeda. Keduabelas pengintai pergi dan melihat, namun sekembalinya mereka menghadap Musa dan segenap umat Israel, tampaklah perbedaan di antara mereka. Laporan kesepuluh pengintai membuat umat ketakutan.

Kini dua pengintai mendapat perintah Yosua untuk pergi dan melihat, namun ternyata mereka pergi ke rumah Rahab dan tidur di situ. Kedua pengintai bukan sekadar pergi dan melihat (ada jarak) tetapi kini mereka masuk bahkan bermalam di rumah Rahab, perempuan Kanaan. Di antara pengintai dan yang diintai seolah-olah tidak lagi berjarak. Keduanya “bersentuhan.” Maka selanjutnya terjadilah percakapan antara kedua pengintai itu dengan Rahab.

Peristiwa pertemuan kedua pengintai dan Rahab menggambarkan koinonia yang tidak hanya “melihat” (seeing) tetapi “bersentuhan” (touching). Inilah koinonia gereja. Gereja bukan sekadar koinonia yang dibangun atas dasar “mata” iman tetapi koinonia yang dibangun atas dasar kehadiran, kedekatan bahkan dikatakan rasul Paulus, keutuhan tubuh, yaitu tubuh Kristus. Itulah “suasana” gereja mula-mula. Mereka berkumpul, memecahkan roti untuk dibagikan satu kepada yang lain. Mereka bersekutu untuk berbagian dalam cawan dan roti yang melambangkan darah dan tubuh Yesus Kristus.

Dua pengintai yang diutus Yosua tidak lagi sekadar melihat. Mereka perlu masuk dan tinggal. “Kedekatan” ini berhasil oleh karena kasih karunia TUHAN dinyatakan melalui Rahab. Bagi Rahab, karya TUHAN begitu “dekat” dengannya (Yos. 2:9-13). Rahab seorang yang “mendengar” dan “gemetar” atas pekerjaan TUHAN, menyatakan komitmennya melalui perjanjian yang dibuatnya dengan dua orang pengintai. Ini kunci yang penting. Rahab membangun “koinonia” dengan dua orang pengintai dengan perjanjian!

Koinonia gereja bukan hanya dipadukan dalam “mata” iman tetapi dalam kedekatan satu dengan lainnya. Maka koinonia itu hanya dapat dibangun dalam salib Kristus dan Roh Kudus (2Kor. 13:13). Inilah dasar yang kokoh bagi koinonia kita sebagai gereja.

Mendekatkan diri berarti meniadakan jarak. Jarak yang memisahkan. Namun ketiadaan jarak tidak dapat dibangun tanpa perjanjian anugerah TUHAN. Gereja perlu terus menerus memelihara dan mengembangkan koinonia ini.




Sumber:
http://www.wkristenonline.org/index.php?option=com_content&view=article&id=36:dari-melihat-menjadi-menyentuh&catid=28:koinonia&Itemid=42




Profil Pdt. Joshua Lie:
Pdt. Joshua Lie, S.Th., M.Phil., Ph.D. (Cand.) adalah Pendiri Reformational Worldview Foundation (RWF) dan dosen di Sekolah Tinggi Theologi Amanat Agung (STTAA) Jakarta. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang; Master of Philosophy (M.Phil.) di Institute for Christian Studies (ICS), Toronto, Canada; dan sedang studi Doctor of Philosophy (Ph.D.) di ICS.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

No comments: