19 February 2008

Matius 9:1-8; 16:23: THINKING AFTER GOD'S THINKING

Ringkasan Khotbah : 10 April 2005

Thinking After God's Thinking
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 9:1-8, 16:23



Sebagai warga Kerajaan Sorga maka seharusnya kita harus taat pada hukum Kerajaan Sorga yang kita kenal dengan Khotbah di Bukit (Mat. 5-7). Tuhan juga menuntut kita untuk hidup kudus. Kita telah memahami bahwa kudus tidak sama dengan suci; kudus berasal dari kata kadosh (bhs. Ibrani) yang artinya separated for God’s Mission, dipisahkan dari dosa untuk menjalankan misi Kerajaan sorga di tengah dunia. Pemisahan disini bukanlah pemisahan di permukaan tapi lebih dari itu, yaitu pemisahan paradigma atau pola pikir. Seperti ungkapan Francis Schaefer, I do what I think and I think what I believe; apa yang saya percaya mempengaruhi atau memberikan seluruh warna pada pemikiran saya lalu pemikiran saya itulah yang mempengaruhi seluruh tindakan yang saya lakukan tiap-tiap harinya. Itulah sebabnya kalau orang meminta penjelasan tentang keputusan yang mendasari tindakan kita maka kita dapat memberikan alasan pada mereka. Pemikiran ini tidak muncul mendadak; apa yang kita pikirkan kita merupakan produk dari kepercayaan kita. Begitu juga kalau kita bertanya pada orang Kristen tentang iman kepercayaannya maka ia akan mengaku bahwa ia percaya kalau Tuhan memimpin akan tetapi kalau kita mau jujur ternyata keputusan dan pemikiran kita tidak sesuai dengan prinsip kebenaran Firman Tuhan tapi seringkali kita berjalan menurut kehendak diri sendiri. Orang hanya bertanya kalau melakukan tindakan ini boleh/tidak? Sebenarnya yang menjadi inti permasalah bukan boleh atau tidak tapi pertanyaannya adalah kenapa boleh dan kenapa tidak? Apa yang mendasari boleh/tidaknya kita melakukan suatu tindakan? Sebab sesuatu tindakan suatu saat boleh dilakukan tapi di suatu saat tidak boleh dilakukan maka orang akan memberikan argumentasi dimana argumentasi tersebut merupakan hasil dari pemikiran kita yang menjadi dasar iman kepercayaan kita.
Pada perikop ini LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) memberikan judul “Orang Lumpuh Disembuhkan“ padahal bukan itu yang menjadi inti dari tulisan Matius sebab yang menjadi inti adalah kenapa sembuh. Di setiap perikop, LAI memberikan judul yang tidak sesuai dengan inti permasalahan yang hendak dipaparkan oleh Matius. Perikop “Matius Pemungut Cukai Mengikut Yesus“ inti dari kisah itu adalah kenapa seorang pemungut cukai bisa mengikut Yesus? Perikop lain, yakni “Hal berpuasa“ penekanan bukan puasanya tetapi alasan kenapa orang harus berpuasa, apakah orang yang puasa berarti ia saleh? Dalam bagian ini, Tuhan Yesus langsung membicarakan masalah yang biasanya mucul dalam kehidupan kita sebagai seorang yang beriman. Ahli Taurat bukanlah seorang yang tidak mengerti theologi. Tidak! Mereka banyak mempelajari Perjanjian Lama tapi mereka tidak memahami dengan pikiran yang tepat sehingga mendatangkan dampak yang negatif. Ketika mereka mempelajari Firman Tuhan seharusnya mereka melihat Kristus adalah Mesias sebab semua ayat dalam Perjanjian Lama menuliskan tentang Kristus yang berinkarnasi tapi kenapa mereka tidak tahu kalau Mesias itu ada di depan mereka? Bukankah mereka mempelajari Firman bahkan hafal seluruh hukum-hukum Israel yang dibangun oleh Firman Tuhan? Dimanakah kesenjangan yang terjadi?
Di dunia modern ini ketika segala sesuatunya orang selalu menguji pikiran namun ironis, orang Kristen justru tidak mau menggunakan pikiran sebab mereka menganggap iman saja sudah cukup. Pertanyaannya sekarang adalah kalau kita tidak menggunakan pikiran apakah kita dapat mencerna kalimat tersebut di atas? Pernyataan itupun merupakan hasil dari pemikiran orang yang berpikir yang mengajak orang untuk tidak berpikir. Hati-hati jangan terjebak dengan permainan pikiran di dalam dunia theologi. Sangatlah disayangkan, hari ini banyak orang Kristen yang mulai berpikir untuk tidak mau lagi berpikir dan hanya percaya saja maka ia merasa sudah beriman dengan benar dan berani mengecam orang lain. Maka tidaklah heran kalau kemudian muncul pendapat bahwa doktrin atau theologi tidaklah penting, percaya dan beriman pada Kristus itulah yang paling penting. Kalimat ini muncul dari pikiran manusia yang merupakan suatu doktrin yang hendak meniadakan doktrin. Seorang ahli Taurat adalah seorang yang sangat mengerti theologi tetapi ia telah mengkonfirmasi theologinya tanpa berani mempertanggung jawabkannya. Ahli Taurat (dan kita semua!) umumnya hanya berpikir tentang hal kesembuhan saja. Kita berpikir kalau Tuhan Yesus cukup berkata, “Bangun dan berjalanlah“ dengan demikian tidak ada pertentangan theologis, tidak ada unsur paradigma, tidak ada tuntutan iman. Ingat, kesembuhan bukan tergantung iman. Alkitab mencatat seorang perwira Romawi yang beriman pada Kristus tetapi hambanya yang tidak mengenal Kristus justru yang mengalami kesembuhan. Jadi, tidak ada unsur iman, kesembuhan itu karena Tuhan Yesus yang beranugerah sebaliknya juga orang yang beriman sungguh pada Yesus pun belum tentu mengalami kesembuhan. Banyak orang sakit di kolam Bethesda tetapi Tuhan Yesus datang dan hanya menyembuhkan satu orang saja. Kenapa hanya satu orang? Tuhan Yesus adalah Raja maka Dia berhak memutuskan siapa yang harus disembuhkan. Kalau Matius hanya berhenti sampai pada kesembuhan orang lumpuh maka kisah ini tidak ada maknanya, tidak beda dengan cerita duniawi lain. Tuhan Yesus masuk pada inti yang paling sentral, yaitu menjadi murid Kristus haruslah mempunyai pemikiran yang kudus, thinking after God’s thinking. Untuk mencapai hal ini maka ada beberapa aspek yang perlu untuk diperhatikan:
1. Kejujuran dan Keterbukaan
Ahli Taurat tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh Kristus akan tetapi dia tidak berani berterus terang, dia menggerutu di dalam hatinya. Di tengah dunia ini banyak orang yang menyembunyikan iman, orang seringkali menutupi iman dengan hal-hal yang fenomena saja. Dunia meletakkan “iman“ ke dalam wilayah yang sangat pribadi, tidak boleh dipertanyakan ataupun didiskusikan. Puji Tuhan, Indonesia merupakan salah satu negara yang masih bersifat terbuka, dimana mukadimah UUD’45 berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa. Indonesia masih menempatkan iman di tempat teratas dan terbuka dalam pengertian yang bertanggung jawab. Banyak orang yang mau mencoba mengunci hukum ini sehingga tidak lagi menjadi hukum yang bisa dipertanggung jawabkan tetapi iman bersifat fanatisme yang tidak bisa dipertanyakan atau diuji tapi harus ditaati mutlak. Akan tetapi di ekstrim yang lain kita menjumpai ada sekelompok golongan tertentu yang hendak meniadakan iman dan agama. Orang menganggap iman dan agama sebagai hal yang bersifat pribadi maka negara tidak berhak mencampuri urusan pribadi. Akibatnya kalau ada orang yang bertanya atau mempertanyakan iman maka dijerat dengan hukum. Iman diproteksi sedemikian rupa menjadi iman yang divakumkan dari kejujuran.
Iman adalah sesuatu yang melandasi pemikiran dan tindakan kita. Tidak ada pertanggung jawaban tindakan tanpa ada alasan rasional yang mendasari tindakan tersebut. Sayangnya, hari ini banyak orang yang tidak dapat memberikan penjelasan ketika dipertanyakan tentang iman yang mendasari tindakannya, orang malah menjadi marah. Sebenarnya orang dapat memberikan alasan yang rasional ketika ditanya: Atas dasar pertimbangan apakah kamu melakukan tindakan itu? Akan tetapi hanya sebatas itu sebab kalau ditelusur lebih dalam lagi ternyata ada yang salah dengan imannya. Kalau kita mau jujur sesungguhnya di dalam seluruh tatanan hidup kita maka seringkali kita serupa dengan dunia. Sebagai orang Kristen tentulah kita tahu akan prinsip Alkitab yang benar dimana hal itu menegur kita akan tetapi kita berusaha menutupinya dengan harapan kesalahan tersebut tidak diketahui oleh orang lain maupun diri sendiri. Ingat, Tuhan Yesus tahu apa yang ada di dalam hati kita dan Dia ingin supaya kita jujur dan terbuka di hadapan-Nya.


2. Kerelaan Hati
Kita seringkali memakai paradigma kita sebagai batasan ukuran untuk mengukur orang lain. Hal inilah yang dilakukan oleh ahli Taurat, ia memakai paradigma yang ada padanya yang ia anggap benar untuk menghakimi Yesus. Si ahli Taurat ini tidak menjalankan prinsip tersebut pada dirinya sendiri tetapi ia merelasikan prinsipnya pada orang lain. Dan ketika dua prinsip bertemu, itu berarti pertemuan antara dua iman yang bersifat mutlak. Ahli Taurat ini menuduh Yesus sebagai penghujat sebab menurut kepercayaannya tidak seorang pun manusia dapat mengampuni dosa. Sampai batas ini, Tuhan Yesus pasti setuju dengan pemikiran ahli Taurat tersebut. Ketika Tuhan Yesus memberitahukan pada ahli Taurat bahwa Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa maka reaksi mereka langsung berubah sebab ada pertentangan iman di sana. Iman yang ada dalam diri ahli Taurat sedang menghakimi Kristus Ketika iman saling bertemu maka di dalamnya seharusnya mengandung pertanggung jawaban dan ada resiko besar yang harus ditanggung. Kenapa orang sulit sekali untuk berpikir seperti Tuhan berpikir, thinking after God’s thinking? Sebab itu berarti kita harus siap membongkar pemikiran kita yang salah. Iman adalah suatu kemutlakan yang tidak dapat dikompromikan atau dikombinasikan, satu-satunya cara adalah membuang pikiran kita dan menggantinya dengan yang baru. Adalah mustahil orang dapat percaya sekaligus tidak percaya kalau Yesus adalah Tuhan Allah dan Juruselamat, bukan? Menggeser sebuah iman menuntut pertanggung jawaban dengan keberanian dan kerelaan yang sungguh. Apakah kita percaya kalau Tuhan menuntun hidupmu? Setiap orang Kristen pasti akan menjawab: percaya akan tetapi kalau kita mau jujur benarkah dalam setiap keputusan yang kita ambil sehari-hari itu, Yesus memimpin hidup kita? Cobalah uji dirimu seminggu di belakang saja, apakah di setiap keputusan ataupun tindakanmu telah sesuai dengan kehendak-Nya?
Ketika kita memberitakan Injil pada seseorang maka janganlah bersukacita dulu ketika orang sudah mengatakan: “Aku percaya pada Tuhan Yesus“, cobalah bertanya lebih dalam lagi kalau sudah percaya Kristus maukah meninggalkan segala kepercayaanmu yang lain dan taat mutlak pada-Nya? Dari jawabannya barulah kita mengetahui bagaimana kepercayaan dia yang sesungguhnya. Tuhan kita bukanlah Tuhan yang bersifat new age bukan inclusive God tetapi exclusive God maka bunyi hukum pertama dari hukum Taurat adalah jangan ada ilah lain di hadapan-Ku. Kalau kita mempermainkan iman maka itu berarti kita belum mengerti apa artinya dikuduskan di dalam Kristus. Ahli taurat hanya ingin kesembuhan maka kalau iman hanya menyangkut kesembuhan maka itu bukan ajaran Kristen tapi penipuan dan menjual nama Yesus. Kalau kita percaya pada Kristus maka kita harus melepaskan semua kepercayaan kita dan mengikut pada Kristus. Inilah kadosh, kekudusan Allah yang menuntut pemisahan untuk mengutamakan Allah dalam hidup kita.


3. Tidak ada posisi netral
Pendekatan religiusitas modern menegaskan bahwa semua pendekatan agama jika dibasiskan pada paradigma agamanya maka agama itu bersifat netral. Akan tetapi di mata Tuhan tidak ada posisi netral, di mata Tuhan hanya ada baik dan jahat; Dia langsung menegur ahli Taurat dengan mengatakan bahwa Dia memikirkan hal yang jahat. Ahli Taurat mendapat suatu pengujian sekaligus penghakiman, Tuhan Yesus menyatakan kebenaran sekaligus kesalahan. Ada konflik tersendiri dalam diri si ahli Taurat. Di dalam theologi Yudaisme, adalah hal yang mustahil kalau seorang penghujat dapat menyembuhkan. Namun kedua hal yang berlawanan ini oleh Tuhan Yesus dikerjakan secara paralel. Ahli Taurat ini tidak dapat menerima realita ini namun ia tidak berani berterus terang sehingga ia hanya menggerutu di dalam hati, ia berpikir jahat. Hal inipun juga terjadi pada murid Tuhan Yesus, yakni setelah pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Anak Allah maka Tuhan Yesus memberitahukan kebenaran bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga. Mendengar hal ini Petrus sangat kaget, ia menarik tangan Tuhan Yesus dan marah pada-Nya sebab Mesias yang ada dalam pikirannya adalah Raja dengan kuasa dan kekuatan besar dan mempunyai kerajaan yang besar bahkan menguasai seluruh kerajaan Daud dan kerajaan Salomo. Iman Petrus adalah iman duniawi yang dirohanikan. Tindakannya dipengaruhi oleh pola pikir dan pola pikirnya dipengaruhi oleh imannya. Namun Petrus tidak berani jujur, dia tidak berani mengkonfrontasikan imannya dan meninggalkan apa yang ia percaya. Petrus bukan berpikir apa yang dipikirkan Allah tetapi apa yang dipikirkan manusia karena itu Tuhan Yesus menegur Petrus dengan keras: ”Minggir setan“ (terjemahan asli).
Hal ini membuktikan bahwa di dalam dunia ini tidak ada yang netral, Tuhan hanya melihat yang baik dan jahat. Kalau kita berani menguji diri dan mengoreksi diri pastilah hari ini hidup kita menjadi lebih bersih sebab kita tahu hal yang jahat tetapi kita justru menganggapnya sebagai kebaikan. Dunia modern seringkali mengkompromikan hal-hal yang jahat bahkan cenderung mengabaikannya dengan menganggapnya netral. Memang bukanlah hal yang mudah bagi kita untuk berpikir seperti Tuhan pikir tapi biarlah sebagai warga Kerajaan Sorga, kita mempunyai hati yang teachable, hati yang mau dibentuk oleh Tuhan karena kita tahu, Tuhan pasti akan memimpin kita menuju pada kebaikan. Janganlah hidup mengandalkan dunia tapi hendaklah kita mengandalkan Kristus Tuhan kita. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber:

Roma 5:20-21: IMPLIKASI PERBEDAAN ESENSIAL-1: Taurat dan Anugerah Allah

Seri Eksposisi Surat Roma :
Manusia Lama Vs Manusia Baru-3


Implikasi Perbedaan Esensial-1 : Taurat dan Anugerah Allah

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 5:20-21.

Setelah kita mempelajari perbedaan manusia pertama dengan kedua secara khusus pada ayat 18 s/d 19, maka Paulus mulai membahas tentang implikasinya yang pertama yaitu di dalam Taurat dan anugerah Allah di ayat 20 s/d 21. Untuk itu, mari kita mempelajarinya satu per satu.

Setelah membahas aspek ketidaktaatan manusia pertama vs ketaatan manusia kedua, yaitu Kristus, di ayat 20, Paulus menjelaskan tentang konsep ketaatan versi lain, “Tetapi hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin banyak; dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah,” Kalau kita melihat sejarah Perjanjian Lama, kita akan mempelajari bahwa setelah manusia jatuh ke dalam dosa, Allah mewahyukan Taurat kepada umat-Nya Israel melalui perantaraan Nabi Musa. Di dalam Keluaran 20 disebutkan tentang sepuluh titah atau Dasa Titah dari Allah bagi umat-Nya, Israel. Belajar dari John Calvin, semua hukum Allah diwahyukan oleh-Nya sebagai pedoman tingkah laku umat pilihan-Nya sekaligus sebagai cermin keberdosaan manusia. Artinya, hukum Taurat berfungsi sebagai pedoman agar umat pilihan-Nya berjalan di dalam jalan dan kehendak Allah, sekaligus sebagai “cermin” yang menyadarkan manusia akan realita dosa dan ketidakmampuan mereka. Hal kedua inilah yang dijelaskan oleh Paulus di ayat ini, yaitu Taurat sebagai cermin agar manusia menyadari keberdosaannya. Mengapa Paulus menuliskan ayat ini ? Kalau kita kembali memperhatikan konteks surat Roma, maka ia menuliskan surat ini kepada orang-orang Yunani dan Yahudi. Khususnya orang-orang Yahudi yang mempercayai Taurat, mereka berpikir bahwa dengan menjalankan Taurat, mereka pasti diampuni dosanya, hidup benar dan diperkenan oleh Allah. Tidak ada bedanya dengan orang-orang di luar Kristus sekarang yang terus mengejar perbuatan baik agar diperkenan oleh Allah. Terhadap hal ini, Paulus justru membukakan dua realita penting di dalam ayat ini, yaitu,
Pertama, semakin Taurat ditambahkan, pelanggaran semakin banyak. Kata “supaya” menunjukkan bahwa ketika Taurat semakin ditambahkan maka pelanggaran/dosa manusia semakin banyak. Hal ini tidak berarti bahwa Allah mewahyukan Taurat agar manusia semakin berdosa. Jika demikian, Allah tidak ada bedanya dengan setan yang bermotivasi menjatuhkan manusia. Tetapi hal ini berarti bahwa Allah mewahyukan Taurat sebagai sarana-Nya menyingkapkan seluruh kebobrokan manusia yang selalu menganggap diri benar, pintar, bijaksana dan hebat. Dengan kata lain, semakin manusia membaca Taurat dan terus ingin melakukan Taurat, mereka harus sadar bahwa mereka tak mungkin sempurna melakukan Taurat tanpa cacat sedikitpun. Mengapa demikian ? Karena justru bagi Allah, semakin orang berbuat baik dan berusaha untuk sesuatu yang bukan miliknya (seperti keselamatan dan dibenarkan oleh Allah), semakin sia-sia dan bahkan semakin berdosa. Tuhan Yesus membukakan realita ini kepada seorang pemuda yang mengaku diri telah menjalankan semua Taurat, “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” (Matius 19:21) Lalu, Alkitab mencatat di ayat 22 bahwa pemuda yang mengaku diri telah menjalankan Taurat akhirnya meninggalkan Tuhan Yesus dengan sedih. Di sini, kita melihat fakta bahwa bagi Tuhan Yesus, orang yang telah menjalankan Taurat pun masih kurang sempurna, mengapa ? Karena ia tidak mengerti esensi Taurat yaitu mengasihi Allah dan sesama. Bagian ini bukan sedang mengajarkan bahwa kita harus membantu orang miskin, seperti yang diajarkan oleh para pemuja “theologia” religionum/social “gospel”, tetapi bagian ini mengajarkan bahwa esensi Taurat dan hukum Allah adalah mengasihi Allah dan sesama (Matius 22:36-40). Esensi utamanya adalah tetap mengasihi Allah lebih dari siapa dan apapun. Nah, masalah yang terjadi pada diri orang muda ini adalah ia lebih mengasihi hartanya ketimbang Allah, tetapi berani mengaku telah menjalankan Taurat. Rasul Yakobus pernah memperingatkan bahwa ketika seseorang tidak melakukan (mengabaikan) satu hukum di dalam Taurat, itu berarti ia tidak menjalankan seluruh hukum Taurat (Yakobus 2:10). Ini berarti ada tuntutan kesempurnaan yang mustahil bisa dicapai oleh manusia hebat siapapun. Tetapi herannya, pada zaman postmodern ini, para penganut agama di luar Kristen pun melakukan hal yang aneh dan sama dengan banyak orang Yahudi. Mereka semakin berlomba-lomba beramal/berbuat baik untuk sesuatu yang bukan miliknya, yaitu diselamatkan dari dosa. Sungguh ironis memang. Untuk meraih sesuatu yang bukan miliknya, tetapi milik Allah, mereka rela berusaha keras tanpa bertanya apa yang Allah kehendaki. Sama seperti banyak orang yang mengaku diri “Kristen” bahkan “melayani ‘tuhan’”, tidak ada bedanya dengan orang-orang dunia yang atheis yang selalu melakukan apapun berdasarkan selera masing-masing bukan menurut kehendak Allah (bahkan berani mengajarkan sesuatu yang tidak bertanggungjawab, “agama dengan science tidak ada hubungannya.”), padahal sebenarnya hidup mereka adalah milik Allah. Bagaimana dengan kita? Apakah kita mirip seperti orang-orang postmodern yang selalu menganggap diri hebat, pintar, bijaksana, dll, tetapi sebenarnya bodoh, sok tahu, tolol, dll ? Ataukah kita mau taat kepada Firman dan berani mempersembahkan seluruh tubuh kita kepada Allah (Roma 12:1-2) ? Ingatlah, hidup, kebenaran, keselamatan, dll adalah milik Allah, sehingga kita sebagai anak-anak-Nya di dalam Kristus harus mempersembahkan kembali seluruh hidup kita baik tubuh dan jiwa kita kepada Allah yang telah menebus dan menyelamatkan kita dari kuasa dosa, iblis dan maut. Orang “Kristen” yang menganut paham dualisme dengan mengatakan bahwa agama dan science tidak ada hubungannya sebenarnya adalah orang “Kristen” yang tidak pernah mengalami anugerah penebusan Kristus dan tentunya orang ini menyangkal kedaulatan Allah serta inkarnasi Kristus (Allah yang memakai tubuh manusia tanpa meninggalkan natur Ilahinya).
Kedua, semakin dosa bertambah, maka anugerah Allah semakin berlimpah-limpah. Di sini, kita baru mendapatkan solusi satu-satunya yang sejati dari Allah, yaitu anugerah Allah. Pernyataan ini memang terkesan “aneh” bagi orang-orang di luar Kristen, karena bagi mereka, anugerah itu berlaku bagi orang yang dosanya kecil atau bahkan tidak berdosa. Tidak heran, agama mayoritas di Indonesia selalu menekankan rahmat Tuhan berlaku bagi mereka yang beramal/berbuat baik (menurut mereka, dengan cara ini, dosa mereka diperkecil). Kalau ajaran ini benar, sebenarnya agama ini sedang merendahkan otoritas Allah, mengapa ? Karena Allah tidak ada bedanya dengan banyak hakim di Indonesia yang gemar menerima uang suap/suapan. Berbeda total dari konsep dunia, Allah melalui Paulus membukakan realita dan mengajar kita bahwa justru semakin dosa itu bertambah, dua hal terjadi : pertama, manusia semakin tidak mampu berbuat baik untuk menutupi/menghapus dosanya, dan kedua, karena manusia tak mampu berbuat baik, maka Allah dari Surga menganugerahkan keselamatan dan pembebasan dari dosa di dalam Pribadi Tuhan Yesus dan anugerah keselamatan ini diefektifkan oleh Roh Kudus di dalam hati umat pilihan-Nya. Geneva Bible Translation Notes memaparkan bahwa justru pada saat hukum Taurat masuk membawa dan menyadarkan mereka bahwa mereka sebenarnya memerlukan Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat mereka dan kemuliaan hanya bagi nama-Nya. Apapun yang Ia lakukan bagi manusia itu baik menurut kehendak-Nya dan hanya bagi kemuliaan-Nya (Roma 11:36). Ketika Ia merencanakan, menggenapi dan menyempurnakan keselamatan, Ia melakukannya dari Dia sendiri, oleh Dia dan bagi kemuliaan-Nya. Apakah Dia gila hormat ? TIDAK ! Allah tidak gila hormat, tetapi Allah memang harus dan pantas dihormati, disembah dan dipuji selama-lamanya, karena begitu besar kasih, anugerah, kuasa, keadilan dan kebenaran-Nya yang tidak tertandingi ! Kembali, setelah anugerah-Nya dinyatakan, kita yang termasuk umat pilihan-Nya akan memiliki kuasa Allah untuk terus-menerus mematikan dosa yang ada di dalam diri kita sambil terus berpegang pada Allah sebagai Sumber. Semakin orang Kristen telah mengalami anugerah penebusan Kristus, mereka semakin merasa diri tidak layak di hadapan-Nya dan semakin bergantung dan berserah kepada Allah sebagai Sumber Hidupnya. Sebaliknya jika ada orang “Kristen” yang terus membanggakan diri karena dia telah berbuat sesuatu yang “hebat”, orang itu sebenarnya belum atau bahkan tidak pernah mengalami anugerah penebusan Kristus, karena orang itu bukan semakin rendah hati, tetapi sombong. Kerendahan hati timbul setelah umat pilihan-Nya menerima anugerah penebusan Kristus dan mengalaminya di dalam kehidupannya sehari-hari dengan terus-menerus meneladani Pribadi Kristus yang merendahkan diri-Nya (Filipi 2:1-11). Jadi, di dalam ayat ini, ada step-by-step understanding (pemahaman yang perlahan-lahan semakin jelas) yang berkaitan, yaitu : Allah sebagai Pengwahyu Taurat (sekaligus sebagai sumber perencana tunggal keselamatan bagi manusia pilihan-Nya) ® Taurat ditambahkan/masuk ® dosa semakin banyak ® kesadaran akan ketidakmampuan manusia ® anugerah Allah di dalam Kristus semakin berlimpah ® kerendahan hati anak-anak Allah untuk terus-menerus bergantung pada Allah.

Bukan hanya berbicara tentang perbedaan antara anugerah Allah dan Taurat di dalam lingkup dosa, Paulus juga mengajar tentang perbedaan ini dalam lingkup kebenaran di ayat 21, “supaya, sama seperti dosa berkuasa dalam alam maut, demikian kasih karunia akan berkuasa oleh kebenaran untuk hidup yang kekal, oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” Kata “berkuasa” di dalam King James Version diterjemahkan reigned dan bahasa Yunaninya basileuō berarti to rule (memerintah). Kata Yunani ini mengingatkan kita pada kata basilea yaitu kerajaan, sehingga di dalam ayat ini Paulus hendak mengatakan bahwa dosa itu memerintah kita dan terus membawa kita ke dalam kematian. Dengan kata lain, orang yang hidup di dalam dosa (Adam pertama dan keturunannya) adalah orang yang diperbudak oleh dosa atau hamba dosa (Yohanes 8:34 ; Roma 6:17,20). Artinya, orang ini hanya mau menaati dosa dan bukan kebenaran atau tidak taat kepada kebenaran Allah (Roma 6:20). Itulah yang dikerjakan oleh orang-orang di luar Kristus yang terus menganggap diri baik, padahal sebenarnya jijik di hadapan Allah. Sebaliknya, kasih karunia atau anugerah Allah akan memerintah dan menguasai anak-anak Tuhan (umat pilihan Allah) melalui kebenaran ke dalam hidup yang kekal oleh Tuhan Yesus Kristus. Di sini, Paulus menjabarkan empat hal yang anak-anak Tuhan peroleh ketika menerima anugerah Allah, yaitu :
Pertama, umat pilihan-Nya dikuasai oleh anugerah Allah. Artinya, seluruh hidup umat pilihan-Nya adalah anugerah Allah dan mereka harus mempergunakannya dengan semaksimal mungkin untuk kemuliaan-Nya. Kalau orang Kristen sadar bahwa hidupnya adalah anugerah Allah, maka tidak seharusnya mereka membenci Allah, tetapi justru semakin bersyukur atas anugerah-Nya. Bukan hanya hidup, keselamatan pun adalah anugerah Allah, dan ini seharusnya membangkitkan rasa syukur di dalam diri orang Kristen kepada Allah. Hidup yang dikuasai oleh anugerah Allah adalah hidup yang bersyukur dan rendah hati. Artinya, orang Kristen yang hidupnya dikuasai oleh anugerah Allah adalah orang Kristen yang terus-menerus bersyukur dan sadar bahwa tanpa Allah, ia tak mampu berbuat apapun, sehingga ia terus-menerus bergantung dan berserah total kepada Allah.
Kedua, umat pilihan-Nya dikuasai oleh anugerah Allah melalui kebenaran. Ketika orang berbuat dosa, maka orang itu menjadi hamba dosa, tetapi ketika orang itu dikuasai oleh kebenaran anugerah Allah, maka orang itu menjadi hamba kebenaran (Roma 6:18). Artinya, bukan hanya bersyukur dan rendah hati, umat pilihan-Nya pun harus diproses dalam kebenaran (righteousness ; Yunani : dikaiosunē) oleh Roh Kudus sehingga mereka dapat serupa dengan Kristus, Kakak Sulung mereka. Orang Kristen yang tidak mau diproses, tetapi selalu menuntut orang lain “sempurna” seperti dirinya sebenarnya bukan anak-anak Tuhan sejati, karena ia tak mau diproses, tetapi mau memaksa orang lain supaya menuruti kemauannya, bukan kemauan Allah. Bagaimana kita diproses melalui kebenaran ? Kita dapat diproses dalam/melalui kebenaran dengan cara kita men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidup kita. Artinya, kita hanya taat mutlak kepada perintah Kristus di dalam Alkitab dan bukan perintah-perintah manusia yang melawan Allah dan bertentangan dengan Alkitab. Lalu, kita pun harus rela menyangkal diri bagi Kristus. Artinya, keinginan kita harus berani dimatikan kalau keinginan kita itu bertentangan dengan keinginan Kristus. Orang yang selalu menuntut orang lain memuaskan keinginan kita dan bukan keinginan Kristus itu bukan orang Kristen, tetapi orang-orang dunia yang mengklaim diri “Kristen”.
Ketiga, umat pilihan-Nya dikuasai oleh anugerah Allah melalui kebenaran ke dalam/kepada kehidupan yang kekal. Kalau Adam pertama dan para keturunannya di luar Kristus (umat yang tertolak/reprobate) dipersiapkan untuk masuk neraka, maka sebaliknya umat pilihan-Nya yang bersyukur, rendah hati dan rela diproses dalam kebenaran sebenarnya dipersiapkan oleh Allah untuk masuk ke dalam kehidupan yang kekal. Pengudusan terus-menerus (progressive sanctification) dari Roh Kudus mengakibatkan kita terus-menerus maju, kudus, dan semakin serupa dengan Kristus, sehingga “di dalam” kekekalan nanti, kita bisa berjumpa muka dengan muka dengan Kristus, Tuhan kita dan Allah Bapa di Surga. Ini adalah anugerah yang terindah setelah kita menerima anugerah penebusan Kristus. Berjumpa dengan Kristus bukan hal sepele, tetapi hal yang teragung, sedangkan ketika kita hanya berjumpa dengan orang-orang suci itu bukan hal yang agung, tetapi hal yang sepele. Apalagi bila kita hanya berjumpa dengan orang yang selalu menganggap diri/dianggap “suci” tetapi ternyata beristri banyak, kita justru malah menghina mereka dan tidak ingin bertemu dengannya. Mari kita belajar memiliki konsep nilai yang beres dan bertanggungjawab. Maukah kita diproses oleh Roh Kudus untuk mempersiapkan kita ke dalam kehidupan kekal ?
Keempat, umat pilihan-Nya dikuasai oleh anugerah Allah melalui kebenaran ke dalam/kepada kehidupan yang kekal oleh Tuhan Yesus Kristus. Titik utama kita dapat mengalami ketiga hal tentang anugerah Allah di atas adalah di dalam Tuhan Yesus Kristus. Artinya, kita bisa bersyukur, rendah hati, mau diproses oleh Roh Kudus di dalam kebenaran dan memperoleh hidup kekal, itu semua karena Tuhan Yesus Kristus. Tanpa Kristus, mustahil kita bisa melakukan hal-hal tersebut. Dunia postmodern (keturunan Adam pertama) selalu mengajarkan bahwa manusia itu hebat, pintar, bijaksana, dll, tetapi anak-anak Allah sejati yang belajar dari Alkitab selalu rendah hati dan hanya bergantung dan berserah kepada Allah sebagai Sumber segala sesuatu. Itulah implikasi pertama perbedaan Adam pertama dan Adam kedua.

Maukah kita hari ini belajar bersyukur, rendah hati, diproses oleh Roh Kudus di dalam kebenaran ? Tuhan mau kita dibentuk agar serupa dengan Kristus. Oleh karena itu, siapkanlah hatimu dan bukalah hatimu untuk dibentuk oleh Roh Kudus. Bagi Anda yang belum menerima Tuhan Yesus, biarlah Roh Kudus membuka hati dan pikiranmu sehingga Anda dapat menerima Kristus sebagai Tuhan dan satu-satunya Juruselamat karena kunci keselamatan hanya ada di dalam Dia. Amin. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-43: MEMBANGUN WAWASAN DUNIA KRISTEN (diedit oleh: Prof. W. Andrew Hoffecker, Ph.D. dan Prof. Gary Scott Smith, Ph.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
BUILDING A CHRISTIAN WORLDVIEW
(MEMBANGUN WAWASAN DUNIA KRISTEN)


Editor :
Prof. W. Andrew Hoffecker, Ph.D. dan
Prof. Gary Scott Smith, Ph.D.


Penerbit : Momentum Christian Literature, 2000

Penerjemah : Peter Suwadi Wong






Hidup kita adalah hidup yang merupakan anugerah Tuhan. Tetapi sayangnya banyak orang tidak mempergunakan hidup ini untuk memuliakan Allah. Caranya ? Dengan membangun pola pikir dan wawasan dunia yang menjadi dasar “iman” mereka. Dunia menawarkan beragam wawasan dunia dari sejak zaman filsafat Yunani, Plato, Aristoteles, dll. Tetapi sayangnya wawasan dunia yang mereka tawarkan berhenti di titik stagnan di mana mereka tidak mengerti siapa Allah, konsep manusia, dosa, dll, karena mereka tidak mendapatkan wahyu khusus dari Allah. Akibatnya, kehidupan mereka tidak menemui kedamaian sejati dan pengharapan sejati. Sebaliknya, di sisi lain, keKristenan menawarkan satu presuposisi wawasan dunia yang bersumber dari wahyu khusus Allah, yaitu Alkitab. Tetapi sayangnya ada beberapa orang “Kristen” yang berusaha mensintesiskan filsafat Yunani dengan Alkitab, dan akhirnya mereka bukan mengajarkan keKristenan yang bertanggungjawab, melainkan keKristenan yang berkompromi. Lalu, bagaimana kita sebagai orang Kristen sungguh-sungguh membangun wawasan dunia Kristen yang murni bersumber dari Alkitab ? Tidak ada jalan lain, hanya melalui theologia Reformed yang konsisten, kita dapat membangun wawasan dunia Kristen yang bertanggungjawab. Di dalam volume 1 ini, buku Membangun Wawasan Dunia Kristen membukakan kepada kita presuposisi wawasan dunia Kristen tentang Allah, manusia dan pengetahuan (epistemologi) yang melampaui semua wawasan dunia sekuler yang statis, mati dan menemui kehampaan. Biarlah buku ini menjadi berkat bagi para pembaca.

Isi Buku :
(1) Theologi dan Antropologi (Prof. W. Andrew Hoffecker, Ph.D.)
(2) Perjanjian Lama : Kovenan antara Allah dan Manusia (Rev. Prof. Robert P. Vande Kappelle, Ph.D. dan Prof. John D. Currid, Ph.D.)
(3) Humanisme Yunani Klasik (Prof. Charles S. MacKenzie, Ph.D. , Th.D., L.H.D.)
(4) Perjanjian Baru : Kovenan Penebusan dalam Yesus Kristus (Prof. Gregory K. Beale, Ph.D. dan Prof. James Bibza, Ph.D.)
(5) Munculnya Theologi Kristen : Konsili Nicea (Prof. W. Andrew Hoffecker, Ph.D.)
(6) Jeda Alkitabiah : Trinitarianisme Augustinus (Prof. Charles S. MacKenzie, Ph.D., Th.D., L.H.D.)
(7) Skolastisisme Abad Pertengahan : Sintesis Thomistis (Prof. W. Andrew Hoffecker, Ph.D.)
(8) Penemuan Kembali Akar Alkitabiah : Reformasi (Prof. W. Andrew Hoffecker, Ph.D.)
(9) Dari Renaisans ke Zaman Naturalisme (Prof. John D. Currid, Ph.D.)
(10) Humanisme Naturalistis (Prof. Gary Scott Smith, Ph.D.)
(11) Epistemologi : Pendahuluan (Prof. W. Andrew Hoffecker, Ph.D.)
(12) Epistemologi Alkitabiah : Penyataan (Prof. W. Andrew Hoffecker, Ph.D. dan Prof. Gregory K. Beale, Ph.D.)
(13) Epistemologi Yunani : Plato dan Aristoteles (Prof. Charles S. MacKenzie, Ph.D., Th.D., L.H.D. dan Prof. W. Andrew Hoffecker, Ph.D.)
(14) Augustinus, Aquinas, dan Para Tokoh Reformasi (Prof. W. Andrew Hoffecker, Ph.D.)
(15) Rasionalisme dan Empirisisme (Prof. Vincent James Mannoia, Jr., Ph.D.)
(16) Revolusi Kopernikan Kant (Prof. Charles S. MacKenzie, Ph.D., Th.D., L.H.D.)
(17) Positivisme, Eksistensialisme, dan Pragmatisme (Prof. Charles S. MacKenzie, Ph.D., Th.D., L.H.D.)
(18) Epilog : Sebuah Tantangan bagi Generasi Kita (Prof. W. Andrew Hoffecker, Ph.D.)







Profil para penulis :
(1) Prof. Gregory K. Beale, Ph.D. adalah Kenneth T. Wessner Chair of Biblical Studies, Profesor Perjanjian Baru di Wheaton College, USA. Beliau meraih gelar Bachelor of Arts (B.A.) in Humanities dari Southern Methodist University in Dallas, Texas, U.S.A. (mengambil mata kuliah utama dalam Filsafat dan Sejarah) pada tahun 1971 ; gelar Master of Arts (M.A.) in History dari Southern Methodist University in Dallas, Texas, U.S.A. (khusus di dalam studi Augustinian and Reformasion) 1976 ; Master of Theology (Th.M.) dari Dallas Theological Seminary, Dallas, Texas, U.S.A. (khusus studi di bidang Yunani, Ibrani, Biblika dan theologia ; lulus dengan penghargaan-penghargaan dari Departemen Semitik dan Perjanjian Lama) pada tahun 1976. Kemudian, beliau menyelesaikan gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) in Divinity dari University of Cambridge di Cambridge, Inggris (khusus di dalam eksegesis Yunani dan Ibrani) tahun 1981.
(2) Prof. James Bibza, Ph.D. adalah Profesor Agama dan Filsafat di Grove City College, U.S.A. Beliau meraih gelar Bachelor of Arts (B.A.) dari C.W. Post College ; Master of Divinity (M.Div.) dari Gordon-Conwell Theological Seminary ; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dari Princeton Theological Seminary.

(3) Prof. John D. Currid, Ph.D. adalah seorang Profesor Carl W. McMurray dalam bidang Perjanjian Lama di Reformed Theological Seminary, U.S.A. Beliau meraih gelar Bachelor of Arts (B.A.) dari Barrington College ; Master of Arts (M.A.) dari Gordon-Conwell Theological Seminary ; dan Ph.D. dari University of Chicago.

(4)Prof. W. Andrew Hoffecker, Ph.D. adalah Profesor Sejarah Gereja di Reformed Theological Seminary, U.S.A. Beliau meraih gelar Bachelor of Arts (B.A.) dari Dickinson College ; Master of Divinity (M.Div.) dari Gordon-Conwell Theological Seminary ; dan Ph.D. dari Brown University.

(5) Prof. Charles S. MacKenzie, Ph.D., Th.D., L.H.D. adalah Profesor Filsafat dan Theologia di Reformed Theological Seminary, USA. Beliau meraih gelar Bachelor of Arts (B.A.) dari Gordon College ; Master of Divinity (M.Div.) dan Ph.D. dari Princeton Theological Seminary ; Doctor of Theology (Th.D.) dari Princeton University ; dan gelar L.H.D. dari Grove City College, U.S.A.

(6) Prof. Vincent James Mannoia, Jr., Ph.D. adalah Presiden dari Greenville College, U.S.A. Beliau lulus dari pendidikan sekolah tinggi pada tahun 1967 di Escola Graduada de Sao Paulo, Brazil. Kemudian, beliau menyelesaikan studi Bachelor of Science (B.S.) in Physics pada tahun 1971 di Massachusetts Institute of Technology dengan tesis : "Observation of the Hanle Effect Using Intense Cadmium Ion Vapor Laser Systems" ; menyelesaikan studi Filsafat Sains pada tahun 1972 di St. Louis University ; dan pada tahun 1975, beliau menyelesaikan studi M.A. dan Ph.D. (dalam bidang Filsafat) di Washington University (St. Louis) dengan disertasi : “Whitehead's Ontological Principle: A Defense and Interpretation”

(7) Prof. Gary Scott Smith, Ph.D. adalah Kepala Departemen Sejarah dan koordinator the Humanities Core di Grove City College di mana beliau telah mengajar sejak tahun 1978. Beliau meraih gelar B.A. dalam bidang Psikologi di Grove City College ; Master of Divinity (M.Div.) dari Gordon-Conwell Theological Seminary, U.S.A. ; dan gelar M.A. dan Ph.D. dalam bidang sejarah Amerika dari Johns Hopkins University.

(8) Rev. Prof. Robert P. Vande Kappelle, Ph.D. adalah Ketua Departemen Agama dan Pendeta kampus di Washington and Jefferson College, U.S.A. (W&J), anggota dari the Committee on Preparation for Ministry of Washington Presbytery dan pendeta Presbyterian dan melayani sebagai seorang pendeta selama 2 tahun di New Jersey sebelum dia berpindah ke Pennsylvania untuk mengajar agama dan filsafat di Grove City College pada tahun 1975-1980. Beliau menyelesaikan studi M.A. dalam studi Amerika Latin. Kemudian, beliau melanjutkan dan menyelesaikan studi M.Div. dan Ph.D. dalam bidang studi Biblika di Princeton Theological Seminary.