27 October 2008

Matius 11:28-30: MARILAH KEPADA-KU

Ringkasan Khotbah: 06 Agustus 2006
Marilah Kepada-Ku
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 11:28-30


Pendahuluan
Tema keseluruhan Injil Matius adalah Kerajaan Allah, the Kingdom of Heaven. Injil Matius membukakan tentang Kristus sebagai Raja dan pemegang otoritas tertinggi menata Kerajaan-Nya di tengah dunia dan orang Kristen yg menjadi warga-Nya haruslah tunduk dan taat pada Sang Raja. Pada pasalnya yg ke-11 Matius menegaskan bahwa orang yg mengaku beriman pada Kristus maka hidupnya harus berpusat pada Kristus. Iman Kristen bukan ideologi yg hanya dimengerti sebagai pengetahuan. Tidak! Alkitab menegaskan bahwa iman Kristen bukan percaya kepada Kristus melainkan percaya ke dalam Kristus berarti ada relasi antara manusia dg obyek iman. Dalam bahasa Yunani menggunakan istilah eis berarti memasukkan diri ke dalam obyek yg kita percaya. Sebelum kita masuk dalam klimaks dari Matius pasal 11 ini ada baiknya kita mengingat kembali:
Pertama, Yohanes ingin supaya para muridnya berbalik arah; mereka yg semula mengagungkan Yohanes kini mereka harus beriman pada Kristus. Dan cara yg dipakai Yohanes sangat unik, dia menyuruh para muridnya untuk bertanya langsung pada Kristus dan jawaban yg diberikan Kristus pun sangat unik. Tuhan Yesus meminta para murid untuk melihat dan mendengar enam tanda yg telah dikerjakan oleh Tuhan Yesus dan dari apa yg mereka lihat dan mereka dengar itu mereka harus menyimpulkan sendiri: siapakah Yesus. Inilah cara Tuhan Yesus mengkonfrontasi iman. Iman bukan sekedar sebuah jawaban teologis tetapi iman adalah bagaimana kita memasukkan seluruh pikiran dan pengalaman hidup kita pada obyek iman yg kita percaya. Iman bukan sekedar pengetahuan. Iman merupakan pertemuan pribadi antara pribadi dg obyek iman.
Kedua, Tuhan Yesus mengecam keras kota-kota yg banyak mendapat mujizat tetapi kota itu justru tidak bertobat. Orang hanya mau ekses iman, orang hanya mau berkat saja tapi orang tidak Sang Pembuat mujizat dan celakanya, orang sudah merasa dirinya beriman. Hati-hati, kalau kita salah dalam memahami iman maka itu akan membawa kita pada kebinasaan. Iman Kristen bukanlah iman ekstensi tapi esensi.
Ketiga, Seorang warga Kerajaan Sorga haruslah mempunyai pikiran seperti Bapa sama seperti Kristus, yakni melakukan apa yg menjadi perintah Bapa-Nya. Iman bukan diselesaikan dg nalar yg jenius atau bijaksana duniawi. Tidak! Iman bukan hasil pencerahan pikiran kita tapi iman haruslah diselesaikan dg kesederhanaan dan dg rendah hati mengaku di hadapan Tuhan bahwa kita adalah orang berdosa.
Pada bagian klimaks Tuhan Yesus mengundang setiap orang yg berletih lesu dan berbeban berat untuk datang kepada-Nya dan Tuhan akan memberi kelegaan. Setelah kejatuhan, dunia tidak pernah lepas dari masalah dan sengsara maka undangan Tuhan Yesus ini sangat relevan sampai saat ini. Manusia merasa diri lebih pandai dari Allah, manusia merasa diri berhak sebagai penentu kebenaran. Jadi, kejatuhan manusia itu bukan pada saat manusia makan buah. Tidak! Letak permasalahannya adalah pada masalah positioning – manusia ingin menjadi Allah maka pertanyaan pertama Allah adalah: Adam, dimana kamu? Pertanyaan ini bukan mempertanyakan secara fisik tetapi Allah menanyakan posisi Adam dan Hawa secara spiritual. Dosa menyebabkan manusia mengalami keterkiliran dalam posisi akibatnya kesengsaraan. Sebagai gambaran dari kesengsaraan ini adalah ketika tulang kita terkilir maka saat tulang dikembalikan pada posisi aslinya, kita akan merasakan kesakitan yg luar biasa. Jangan pikir ketika manusia keluar dari posisi asli akan lebih menyenangkan atau manusia lebih hebat. Salah!
Dua efek dasar yg dialami oleh manusia berdosa, yakni: 1) Orang mengalami letih lesu, dan 2) orang akan berbeban berat. Hari ini kita akan merenungkan efek pertama, yaitu letih lesu. Kata “letih lesu“ berasal dari bahasa aslinya “fatigue“ yakni suatu kondisi dimana orang sudah tidak tahan lagi dg beban atau tuntutan yg ada hingga sampailah orang pada suatu titik keputusasaan. Sebuah logam baja mempunyai titik lentur jika kita mengenakan suatu perlakuan melebihi titik lentur, baja menjadi retak dan akhirnya patah; logam tidak dapat kembali seperti bentuk semula. Dosa menyebabkan manusia akan berada dalam kondisi fatigue namun ironis, dalam kondisi demikian manusia tidak mau kembali dan bersandar pada Tuhan tapi malah membuang Tuhan. Salah satu penyebabnya adalah sejak kecil, manusia telah dididik untuk hidup mandiri, artinya orang dapat mengerjakan apapun tanpa pertolongan orang lain.
Orang tidak sadar hal ini justru berakibat buruk, orang tidak mudah percaya pada orang lain, segala sesuatu haruslah ditentukan diri sendiri, setiap keputusan atau masalah haruslah diselesaikan sendiri. Kalau setiap saat harus menghadapi situasi demikikan maka sampailah ia pada suatu titik fatigue dan sampai titik itu kalau orang tidak punya sandaran maka ia akan bunuh diri. Kelelahan ini merupakan kelelahan esensial.
Kelelahan esensial ini juga dialami oleh bangsa Israel namun mereka tidak mau mengakui hal ini, bangsa Israel sangat sombong. Kesombongan ini terpancar jelas dari perdebatan antara para ahli taurat dg Tuhan Yesus (Yoh.8). Para ahli taurat langsung marah ketika Tuhan Yesus menyatakan kalau sesungguhnya, mereka adalah hamba. Orang Yahudi tidak dapat terima dikatakan sebagai hamba, mereka merasa diri sebagai orang merdeka yg berhak menentukan segala sesuatunya sendiri. Bangsa Israel tidak mau menyebut diri sebagai hamba Allah tetapi sebagai anak Allah karena istilah “hamba“ disini menyadarkan mereka akan keterbatasan dirinya dan istilah “anak Allah“ seolah kita mempunyai suatu kebebasan dan otoritas. Jangan salah mengerti dg istilah “anak.“ Istilah “anak“ dibedakan dua, yakni: 1) secara ekstensial, contoh: anak dokter, apakah itu berarti ia dokter? 2) secara esensial, contoh: anak manusia maka dapatlah pastilah ia manusia.
Tuhan Yesus membukakan pada para ahli Taurat ini kalau sesungguhnya mereka bukan anak Allah tetapi yg lebih cocok mereka adalah anak iblis. Sesungguhnya, bangsa Israel berada di bawah jajahan baik secara fisik maupun spiritual. Secara fisik, bangsa Israel adalah jajahan bangsa Roma dan Raja Herodes yg memerintah itu pun bukan orang Yahudi asli tetapi ia adalah orang Idumea. Secara spiritual, bangsa Yahudi adalah jajahan, orang Yahudi mempunyai 2 imam besar, yakni Hanas dan Kayafas. Ironisnya, mereka marah ketika Tuhan Yesus membukakan tentang hal ini. Selama kita berada dalam kuasa penaklukkan dosa, kita akan masuk dalam kondisi fatigue. Bagaimana tidak fatigue kalau kita hidup di tengah dunia berdosa dg cara berdosa? Manusia berdosa mencoba menyelesaikan semua permasalahan dg caranya sendiri, dan celakanya cara yg dipakai adalah cara dunia berdosa maka hal ini membuatnya makin terjepit dalam dosa. Sesungguhnya, manusia menyadari kalau ia berada dalam keletihan yg sangat itu namun yg menjadi pertanyaan adalah kenapa manusia tidak mau kembali pada Tuhan? Apa yg membuat manusia fatigue tetapi tetap mempertahankan fatigue?
I. Manusia merasa berhak menetapkan makna hidupnya sendiri.
Manusia yg sombong ingin menentukan hidupnya sendiri. Sesungguhnya dibalik kesombongan itu, orang tidak mau percaya Tuhan Yesus. Hanya anak Tuhan sejati yg percaya pada Tuhan Yesus dan anak Tuhan yg sejati ini jumlahnya sangat sedikit meski faktanya jumlah gereja sangat banyak, minoritas di dalam minoritas. Kesombongan ini tidak lepas dari pendidikan dunia modern yg mengajarkan anak untuk berkompetisi. Sadarkah kita kompetisi mengakibatkan dua hal: sukses atau kehancuran. Apalah artinya kesuksesan atau kepandaian kalau kita hanya berhasil dalam satu bidang? Maka tidaklah heran kalau kita mendapati orang yg menang dalam lomba fisika tetapi dia tidak lulus sekolah. Kesuksesan dalam kompetisi juga berakibat buruk, orang tidak lagi membutuhkan orang lain apalagi Tuhan sebab orang merasa dapat menetapkan makna hidupnya sendiri.
Pernahkah kita bertanya dalam hati, apakah arti hidupku? Apakah kita melibatkan Tuhan dalam setiap keputusan yg kita ambil dalam seluruh aspek hidup kita? Pada dasarnya, manusia ingin menentukan makna hidupnya sendiri dan Tuhan dijadikan seperti layaknya “pesuruh“ yg harus siap menolong kalau kita menghadapi kesulitan. Perhatikan, kita yg memilih dan mengambil keputusan sendiri maka kita harus berani menanggung resikonya. Jangan salahkan Tuhan kalau ternyata hasilnya tidak seperti yg kita harapkan. Berbeda halnya kalau Tuhan yg memilih dan menempatkan kita maka Dia pasti akan menolong dan memimpin setiap langkah kita karena disitu, Tuhan ingin menyatakan kemuliaan-Nya melalui kita. Manusia berpendapat dg menentukan makna hidupnya sendiri ia akan hidup bahagia. Pendapat yg salah! Saat itu kita justru masuk dalam kondisi yg sangat lelah sebab kita keluar dari rencana Tuhan, kita berjuang sendiri, segala sesuatu harus kita kerjakan sendiri. Sebagai pelarian dari rasa lelah yg sangat luar biasa ini manusia mencari jalan pintas dg lari pada hal-hal berdosa, seperti free sex, narkoba, minuman keras, dan lain-lain. Orang makin masuk dalam jerat dosa dan sulit bagi manusia untuk keluar. Manusia masuk dalam kondisi totally fatigue.
Biarlah kita mengevaluasi diri, apakah selama ini kita mengalami keletihan? Bertobat dan kembalilah pada jalan Tuhan. Relakanlah hidupmu untuk dibentuk oleh Tuhan. Mungkin, kita merasa tidak suka dg apa yg Tuhan tetapkan tetapi sebagai Kristen sejati kita harus taat. Memang, ketika mengikut Tuhan bukan berarti kita tidak ada beban. Tidak! Tuhan akan memberikan beban, pikullah kuk yg Kupasang sebab kuk-Ku itu enak dan bebanKu pun ringan (Mat. 11:30).

2. Manusia merasa harus berjuang sendiri.
Manusia berpendapat Tuhan adalah sesuatu yang fiktif sehingga Dia tidak dapat menolong ketika manusia dalam kesulitan. Hati-hati, kalau kita mengerti iman secara sepotong-potong berarti kita terjatuh dalam pikiran Feuerbach, Marx, Engels yang menyatakan bahwa agama itu seperti layaknya sebuah candu, pembiusan manusia karena itu, orang tidak perlu beragama toh Tuhan tidak realistis. Manusia harus menentukan segala sesuatu sendiri dan berjuang sendiri. Orang hanya percaya pada Tuhan yang deisme, yakni Tuhan hanyalah pencipta saja dan selanjutnya manusia yang menentukan. Konsep kehendak bebas, free will disini menjadi cetusan yang manusia paling suka.
Adalah kegagalan total manusia yg mencoba merealistiskan konsep free will ini masuk dalam pengalaman duniawi. Orang baru mau percaya kalau terbukti, yakni apa yg diminta dikabulkan oleh Tuhan. Apakah ini yg dinamakan iman? Bukan! Ini adalah permainan pengalaman. Perhatikan, orang yg mendapat pengalaman rohani akan menjadi menggebu-gebu dan bersemangat melayani karena ia merasa Tuhan itu riil di dalam pengalaman, seperti sakit disembuhkan, miskin menjadi kaya, dan sebagainya. Orang mulai berani menyimpulkan kalau ia mengalami pengalaman rohani berarti Tuhan ada. Pengalaman ini bukanlah pengalaman sejati karena bukan Tuhan yg menetapkan tetapi dia sendiri. Konsep yg salah! Titik absolutnya pindah dari Tuhan kepada diri.
Maka tidaklah heran ketika segala sesuatu tidak berjalan seperti yg manusia pikirkan, orang mulai bertanya-tanya pada Tuhan dan mulai menyalahkan Tuhan. Perhatikan, yg mengabulkan seluruh permintaan kita bukan Tuhan tapi iblis, iblis memberikan iming-iming manis supaya kita masuk dalam jebakannya. Celakanya, orang merasa ia sudah beriman namun sesungguhnya itu bukan iman sejati, ia justru masuk dalam kebinasaan. Hal ini memicu manusia semakin tidak percaya kepada Tuhan. Aspek kedua ini lebih berbahaya dari aspek pertama. Kalau di aspek pertama, manusia tidak percaya Tuhan karena ia belum pernah berpengalaman tetapi di aspek kedua, setelah orang mengalami pengalaman rohani akan lebih sulit untuk diinjili lagi karena ia telah mempunyai pengalaman negatif dg apa yg dimengerti sebagai Tuhan yg diajarkan kepadanya sebagai Tuhan. Orang-orang yg seperti ini akhirnya jatuh dalam konsep atheisme humanistik. Sesungguhnya, orang telah sampai pada titik fatigue yg sangat parah. Hari ini, banyak orang Kristen yg tertipu merasa dirinya beriman pada Tuhan yg sejati ternyata itu bukan Tuhan sejati tetapi iblis. Orang telah tertipu masuk dalam suatu tipuan, euforia palsu, kepuasan perjuangan diri palsu.

3. Manusia merasa harus mengunggulkan pikirannya sendiri.
Dunia berpendapat kalau kita menuruti kehendak Tuhan malah dianggap sebagai orang bodoh karena kita tidak dapat memanfaatkan kesempatan yg ada. Hati-hati, jangan masuk dalam jebakan iblis yg mengiming-imingi kita dg gula manis tapi di dalamnya racun yg mematikan. Berbeda halnya dg Tuhan, mungkin jalan di depan kelihatan susah namun di balik kesusahan itu ada keindahan menanti. Semakin canggih dunia jebakan yg digunakan juga semakin canggih dan menggiurkan. Tak terkecuali dg Kekristenan juga mencoba menggunakan cara dunia untuk meraih keuntungan. Camkanlah, itu bukan ajaran Kristen. Kekristenan sejati tidak menggunakan cara-cara duniawi yg licik untuk memanipulasi orang lain. Hati-hati dg segala tipuan manis. Apakah tipuan-tipuan seperti ini yg dikatakan sebagai kesempatan? Banyak orang yg mencari kesempatan untuk menyelesaikan segala macam permasalahan yg menimpa hidupnya tapi permasalahan tetap tidak terselesaikan akibatnya orang sampai pada kondisi fatigue. Pada saat kehancuran itu, manusia harusnya bertobat dan kembali pada Tuhan tapi manusia tidak mau bertobat; manusia terbelit dalam jeratan dosa dan sukar bagi manusia untuk keluar dari jeratan iblis.
Jangan biarkan dirimu dipermainkan oleh pikiran-pikiran duniawi tapi hendaklah kita kembali pada Kristus dan mengakui semua kesalahan dan seluruh dosa kita. Seperti gambaran orang yg terkilir, ia tidak akan rela kalau tulangnya dikembalikan ke posisi semula karena sakitnya sangat luar biasa tapi justru lebih sakit kalau tulang itu tidak dikembalikan pada posisi semula. Satu-satunya cara yaitu dipaksa, dikembalikan pada posisi asli, reposisi kembali. Biarlah kita mereposisi hidup kita kembali pada Kristus, yakni: 1) dg rendah hati mengaku segala kebodohan kita maka saat itu, kuk yg diberikan Tuhan baru terasa ringan dan enak, 2) kita harus bereaksi, kita yg berjalan kepada Kristus, janganlah pernah mencurigai Kristus tetapi curigailah segala macam tawaran iblis. Tuhan pasti tidak akan mencelakakan kita; Dia akan memimpin kita pada jalan-Nya yg indah. Ironis, manusia tidak percaya sehingga orang merasa perlu untuk mempunyai “allah cadangan,“ 3) kita harus menjadi anak yg selalu dengar-dengaran akan Firman Tuhan setiap hari, setiap saat. Hal ini seharusnya konsisten, terus menerus kita kerjakan sepanjang hidup kita. Banyak orang yg bertobat pada saat KKR tetapi setelah KKR kembali pada hal duniawi. Tidak! Pertobatan adalah kembali satu kali lalu berjalan bersama Kristus, daily activity.
Biarlah mulai hari ini kita disadarkan kembali dan mulai menata ulang hidup kita untuk kembali pada jalan Tuhan. Ingatlah akan nama Yesus, Tuhan Yesus selalu memimpin setiap langkah kita dalam dunia yg penuh dg gejolak. Betapa indah hidup yg dipimpin dan berjalan bersama Tuhan, kita tidak akan menjadi fatigue. Puji Tuhan, Tuhan masih mengingat orang-orang sisa dan terbuang ini, remnan untuk dibentuk kembali dan dipakai menjadi saksi-Nya yang menyatakan kemuliaan-Nya. Ingat, nilai tertinggi hidup kita bukan dilihat dari kekayaan atau kedudukan atau kepandaian kita. Hidup kita menjadi bermakna ketika kita berjalan bersama Tuhan dan percayalah, hidup kita akan nyaman dan pada akhirnya ingat, tujuan hidup manusia hanya satu, yaitu memuliakan nama-Nya dan menikmati Dia sepanjang hidup kita. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 11:13-18: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-17: Kedahsyatan Pikiran Allah-2 dan Anugerah

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-15


“Israel” Sejati atau Palsu-17 (Penutup):
Kedahsyatan Pikiran Allah-2 dan Anugerah


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 11:13-18


Untuk menjelaskan bahwa Allah tidak bermaksud agar umat pilihan-Nya sendiri binasa, maka Paulus telah membuka penjelasannya di ayat 11 dan 12. Lalu, ia mulai menguraikannya mulai ayat 13. Pada bagian ini, kita akan merenungkan ayat 13 s/d 18 terlebih dahulu sebagai poin pertama.

Di ayat 13, Paulus menyatakan, “Aku berkata kepada kamu, hai bangsa-bangsa bukan Yahudi. Justru karena aku adalah rasul untuk bangsa-bangsa bukan Yahudi, aku menganggap hal itu kemuliaan pelayananku,.” Paulus beralih dari bangsa Yahudi/Israel menuju kepada bangsa non-Yahudi. Hal ini dilakukan untuk menyadarkan bangsa Israel. Kata “bukan Yahudi” dalam ayat ini diterjemahkan sebagai bangsa kafir (Gentiles). Artinya, Paulus yang adalah seorang Yahudi tetapi dipanggil Tuhan justru menjadi rasul dan melayani orang-orang bukan Yahudi (bdk. Efesus 3:8). Dan kerasulan Paulus untuk orang-orang non-Yahudi menjadi suatu kebanggaan tersendiri baginya, bahkan ia menghormati/memuliakan pelayanannya (King James Version, “I magnify mine office:”) Kata office dalam KJV dalam bahasa Yunaninya adalah diakonia berarti pelayanan. English Standard Version (ESV), God’s Word (GW), International Standard Version (ISV), Modern King James Version (MKJV), New King James Version (NKJV), dan beberapa terjemahan Alkitab bahasa Inggris lainnya menerjemahkannya, “my ministry”. Terjemahan ini lebih cocok dengan teks aslinya yang bermakna pelayanan. Lalu, mengapa Paulus juga dipanggil Tuhan menjadi rasul untuk orang-orang non-Yahudi? Ia menjelaskan alasannya di ayat 14, “yaitu kalau-kalau aku dapat membangkitkan cemburu di dalam hati kaum sebangsaku menurut daging dan dapat menyelamatkan beberapa orang dari mereka.” Terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan, “Saya mengharap saya dapat menimbulkan iri hati pada bangsa saya sendiri, supaya dengan jalan itu saya dapat menyelamatkan sebagian dari mereka.” Alasan Paulus sungguh unik. Ia mau menjadi rasul bagi bangsa non-Yahudi justru untuk menyelamatkan sebagian/beberapa orang-orang Yahudi. Dengan kata lain, pimpinan Allah itu unik. Allah tidak memakai Paulus untuk menjadi rasul orang Yahudi untuk menyelamatkan beberapa Yahudi, tetapi sebaliknya, Ia memakai Paulus untuk menjadi rasul orang “kafir” (menurut Yahudi) agar melaluinya, ia dapat membuat hati orang Israel cemburu. Mengapa Allah memakai cara yang unik ini? Karena Ia melihat kebebalan hati Israel. Israel di zaman Perjanjian Lama setelah sekian lama meninggalkan Yahweh akhirnya mereka sadar dan kembali ke jalan yang benar yaitu menyembah Yahweh dan menantikan datangnya Mesias. Tetapi herannya, ketika Mesias datang, mereka tidak mengenalinya, mengapa? Karena Mesias yaitu Tuhan Yesus datang tidak seperti yang dibayangkan oleh orang-orang Israel yaitu memulihkan negara mereka dari cengkeraman penjajah, tetapi Ia datang mendirikan Kerajaan Allah secara surgawi/rohani. Pola pikir yang berbeda ini juga sempat dialami oleh Petrus (Mat. 16:22-23). Pola pikir inilah yang menghambat datangnya Kerajaan Allah sejati. Oleh karena itu, keselamatan yang seharusnya dapat dinikmati oleh orang Israel akhirnya tidak terjadi, justru sebaliknya, Allah malahan mengutus Paulus menjadi rasul bagi orang-orang non-Yahudi agar orang-orang Yahudi menjadi cemburu. Atau dengan kata lain, Paulus diutus untuk menjadi rasul bagi orang “kafir” dengan maksud agar orang Israel menjadi sadar bahwa jika mereka tidak segera bertobat, maka mereka akan malu karena keselamatan justru banyak dirasakan oleh orang-orang non-Yahudi, padahal mereka lah yang pertama kali menerima janji kovenan Allah melalui Abraham (Kej. 17). Kecemburuan/keirihatian yang Paulus memang sengaja lakukan pada orang Yahudi sebenarnya juga bermaksud agar beberapa orang Yahudi (yang dipilih-Nya) menjadi sadar dan kembali kepada Kristus dengan pengertian yang tepat. Dengan kata lain, Allah memakai cara di luar pikiran kita. Biasanya kita berpikir bahwa untuk menegur kita, Tuhan memakai segudang cara untuk mengingatkan kita. Tetapi di sini, kita belajar pikiran Allah yang berbeda total. IA tidak memakai cara menegur Israel dengan mengirim rasul lagi bagi mereka, tetapi Ia memakai Paulus menjadi rasul untuk orang “kafir” agar beberapa orang Israel sadar dan bertobat serta kembali kepada Kristus. Bagaimana dengan kita? Seperti Paulus, pada saat ini Ia berhak memakai para hamba-Nya untuk melayani-Nya, dan alangkah bahagia memang jika mereka boleh melayani dan membangun iman kita seturut firman-Nya. Tetapi jika para hamba-Nya diutus lebih-lebih untuk memberitakan Injil kepada mereka yang belum percaya, kita harus waspada. Ada dua alasan. Pertama, mungkin hamba Tuhan itu memiliki panggilan lebih ke arah penginjilan, atau kedua, mereka diutus Tuhan kepada orang-orang yang belum percaya untuk memalukan kita yang sudah percaya tetapi tidak mau bertobat dari dahulu. Kalau alasan kedua yang terjadi, kita harus benar-benar mengintrospeksi diri. Kalau kita mengaku diri orang percaya tetapi tidak mau bertobat, kita seharusnya malu dengan mereka yang belum Kristen begitu diinjili langsung bertobat dan menerima Kristus. Mereka yang belum percaya begitu diinjili langsung bertobat dan menerima Kristus adalah mereka yang mayoritas sungguh-sungguh merasakan anugerah Allah yang begitu besar terhadap dosa mereka, sehingga mereka dengan sungguh hati bertobat, tetapi sungguh memalukannya jika sudah menjadi orang Kristen bertahun-tahun, hati kita tetap membatu sampai sekarang dan tidak mau bertobat. Jangan heran, di Surga nanti, Tuhan akan menyingkapkan pada kita tentang realita banyak yang mengaku diri “Kristen” bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun dan aktif “melayani ‘tuhan’” ternyata bukan warga Kerajaan Surga, tetapi warga iblis/neraka, sebaliknya mereka yang dulunya belum Kristen akhirnya baru menjadi Kristen beberapa tahun, merekalah yang banyak bertobat dan diselamatkan, karena kebanyakan hati mereka tulus. Mari kita bertobat.


Lebih tajam lagi, Paulus menjelaskan di ayat 15, “Sebab jika penolakan mereka berarti perdamaian bagi dunia, dapatkah penerimaan mereka mempunyai arti lain dari pada hidup dari antara orang mati?” Kecemburuan yang dikobarkan Paulus bagi orang-orang Yahudi ditunjukkan dengan mengajarkan bahwa jika orang Israel ditolak, maka itu berarti orang-orang non-Yahudi (“kafir” menurut Yahudi) diperdamaikan (atau bisa diterjemahkan: diselamatkan). Luar biasa. Tuhan memakai Paulus untuk membukakan pikiran kita bahwa ketika orang mengaku diri warga Israel, mereka bukan sungguh-sungguh Israel sejati (secara rohani). Mengapa? Karena justru yang mengaku diri Israel jasmani banyak yang ditolak, sebaliknya banyak yang non-Israel secara jasmani diterima dan bahkan diselamatkan.Tuhan tidak melihat status mereka yang pura-pura umat pilihan, tetapi sebenarnya tidak. Bagaimana dengan kita? Kita mungkin sudah aktif melayani Tuhan bertahun-tahun lamanya, aktif memberitakan Injil, dll, tetapi benarkah kita seorang Kristen sejati? Atau kita hanya memakai label/tameng “Kristen” saja? Jangan heran, jika suatu hari, Allah enggan memakai banyak orang Kristen turunan, tetapi Ia justru memakai dengan dahsyat banyak orang yang mantan non-Kristen lalu menjadi Kristen sejati. Jika hal itu terjadi, berarti ada sesuatu yang bermasalah di dalam iman Kristen kita. Di dalam zaman kita, kita melihat seorang Dr. Ravi Zacharias, seorang apologet keturunan India, dia adalah mantan anak pandita Hindu yang bertobat. Pertobatannya membuat dia semakin giat melayani Tuhan dan berapologetika memberitakan Injil. Bagaimana dengan banyak orang yang mengaku sudah dari kecil “Kristen”? Ke manakah mereka” Masihkah mereka aktif di gereja dan lebih tajam lagi, masihkah mereka mau hidup sungguh-sungguh bagi Kristus? Atau sebaliknya, banyak orang “Kristen” turunan kelihatan aktif “melayani” di gereja, tetapi hati dan hidupnya bukan tertuju pada Kristus, tetapi pada hal-hal duniawi, seperti kekayaan, umur panjang, dll, akhirnya secara fenomena tampak “Kristen”, tetapi secara esensial kosong. Tuhan tidak mudah tertipu oleh orang seperti ini. Selagi Tuhan masih memberi kesempatan, marilah kita bertobat.

Bangsa Israel yang ditolak Allah sudah menjadi berkat bagi orang-orang non-Yahudi, bagaimana jika beberapa umat Israel diterima Allah? Jika beberapa umat Israel diterima Allah, Paulus menyatakan bahwa itu adalah anugerah yang sangat besar atau hidup yang diberikan kepada orang yang sudah mati. Kondisi kematian diidentikkan dengan kondisi manusia berdosa, sehingga ketika beberapa umat Israel diselamatkan dan diterima oleh Allah, maka itu suatu anugerah yang besar, seperti hidup (kekal) diberikan kepada orang yang sudah mati. Begitu juga dengan kita. Mungkin banyak orang yang mengaku diri dari kecil sudah Kristen, tetapi jika beberapa orang dari mereka saja diselamatkan, mereka akan lebih berbahagia ketimbang sisanya yang mengaku diri “Kristen” sejak kecil tetapi tidak diselamatkan. Di sini, Tuhan tidak melihat kuantitas orang yang masuk Surga, tetapi Ia melihat esensinya yaitu hati. Tuhan tidak melihat/menghitung seberapa aktif kita melayani, tetapi Ia menyelidiki motivasi dan hati yang jujur dan tulus. Kalau kita sudah termasuk anggota dari umat pilihan Allah, tidakkah kita bersyukur kepada-Nya atas anugerah-Nya yang begitu besar yang telah memilih kita dari sekian miliar/triliun orang di dunia.


Paulus memberikan ilustrasi tentang hal ini di ayat 16, “Jikalau roti sulung adalah kudus, maka seluruh adonan juga kudus, dan jikalau akar adalah kudus, maka cabang-cabang juga kudus.” Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menafsirkan, “Roti sulung” sebagai buah sulung (dari roti), yaitu bagian pertama yang dikhususkan bagi Allah. (hlm. 858) Siapa yang dimaksud Paulus dengan “roti sulung” ini? Ada yang menafsirkan sebagai Kristus, tetapi itu tidak sesuai dengan konteks. Dengan tepat, Dr. John Gill di dalam John Gill’s Exposition of the Entire Bible menafsirkan bahwa “roti/buah sulung” itu menunjuk kepada orang Yahudi pertama yang dikuduskan atau menerima Kristus (bdk. Rm. 16:5). Di dalam tradisi Yahudi, buah/roti sulung (firstfruit) merupakan roti/buah tertentu yang dipisahkan dari roti/buah lain dan pemisahan ini ditujukan untuk dipersembahkan kepada Allah. Buah sulung inilah orang Yahudi (menunjuk kepada nenek moyang Israel) yang dulu dipisahkan Allah dari bangsa-bangsa lain untuk menyembah Allah. Jika buah sulung ini kudus, maka seluruh adonan menjadi kudus. “Adonan” di sini menunjuk kepada seluruh orang Israel. Berarti, ketika umat Israel sejati dikuduskan, maka orang-orang yang non-Israel jasmaniah juga dikuduskan. Hal serupa dapat diimplikasikan bagi kita saat ini. Jika hidup orang Kristen sejati dikuduskan atau dipisahkan bagi kemuliaan Allah, maka kita bisa menjadi berkat bagi mereka yang belum Kristen. Apa arti kudus? Kudus berarti dipisahkan. Kudus bukan hanya secara fenomenal kudus, tetapi secara esensi kudus (bdk. 1 Petrus 3:15). Artinya, kita menjadi kudus ketika seluruh hidup kita yang dimulai dari hati keluar ke pikiran, perkataan, sifat, dan tindakan kita dimurnikan oleh firman Tuhan terus-menerus. Ketika kita memiliki motivasi dan hati yang sungguh-sungguh murni dan tulus, pada saat itu kita kudus dan menjadi berkat bagi orang lain atau memancarkan terang kekudusan kepada orang lain.

Sama halnya dengan ilustrasi pertama, ilustrasi kedua yang Paulus pergunakan yaitu akar dan cabang. Ketika akarnya kudus, maka cabang-cabangnya juga kudus. Ev. Hendry Ongkowidjojo, S.E., M.Div. pernah menafsirkan “akar” di sini sebagai bapa leluhur Israel (bdk. Roma 9:5; 11:28. Berarti, orang Israel sejati (secara rohani) menjadi dasar penentu bagi sesama mereka. Di zaman sekarang, kita sebagai orang Kristen pun harus menjadi berkat bagi sesama kita, sehingga kita bisa saling menguatkan satu sama lain. Berapa banyak orang Kristen yang tidak menjadi berkat malahan membuat sesamanya yang Kristen benci kepadanya bahkan memusuhinya dan memutuskan untuk tidak pergi ke gereja lagi? Jika ini terjadi pada kita, marilah kita bertobat dan jadilah berkat bagi sesama kita.


Lalu, Paulus menjelaskan akibatnya di ayat 17, “Karena itu apabila beberapa cabang telah dipatahkan dan kamu sebagai tunas liar telah dicangkokkan di antaranya dan turut mendapat bagian dalam akar pohon zaitun yang penuh getah,” Sebelum masuk ke dalam pembahasan ayat ini, kita harus sepakat dulu di dalam beberapa hal, yaitu akar menunjuk kepada bapa leluhur Israel, tunas liar adalah orang-orang non-Yahudi, dan cabang menunjuk kepada orang-orang Yahudi. Dari tiga hal ini, mari kita menganalisa pemikiran Paulus di ayat ini dan 18. Di ayat 17, Paulus mengemukakan logika yang dalam di dalam 2 tahap: beberapa cabang (orang-orang Israel) telah dipatahkan à tunas liar (orang-orang non-Yahudi) dicangkokkan di antara cabang itu. Perhatikan di sini. Kata cabang di sini ditambahkan kata “beberapa” (some) yang menunjukkan bahwa beberapa orang Israel secara jasmani dipatahkan/dibuang. Lalu, dicangkokkanlah orang-orang non-Yahudi (tunas liar) di antara cabang-cabang yang tersisa itu. Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari:

Pertama, pembeda total. Beberapa orang Israel dipatahkan/dibuang menunjukkan satu realita bahwa tidak semua Israel adalah Israel sejati (bdk. Roma 9:6). Hal ini telah dijelaskan Paulus di pasal 11 ayat 4 dengan mengutip 1 Raja-raja 19:18. Allah menyisakan beberapa umat pilihan-Nya dari antara kaum Israel. Berarti kita mempelajari bahwa fenomena tidak menjamin esensi. Tidak semua orang Israel benar-benar Israel. Begitu juga tidak semua orang yang menyebut diri Kristen pasti beriman Kristen. Jangan pernah terkecoh oleh fenomena. Seperti Paulus yang sanggup membedakan total antara Israel sejati dengan yang palsu, maka kita pun harus bisa membedakan mana Kristen yang sejati dengan mana yang “Kristen”. Apa bedanya? Bukankah mereka hampir sama? Perbedaan utama ada pada hati dan motivasi. Orang yang menyebut diri “Kristen” mungkin kelihatan aktif di gereja, bahkan “melayani Tuhan”, tetapi perhatikanlah hati dan motivasi mereka, sungguhkah tulus atau supaya dilihat orang? Dari mana kita bisa tahu ketulusan hati dan motivasi mereka? Memang sulit, tetapi ada sedikit yang bisa dibuktikan, yaitu orang Kristen sejati datang ke gereja sungguh-sungguh ingin dikoreksi oleh khotbah yang berdasarkan Firman Tuhan dan saling bersekutu, sehingga mereka tidak suka menggosip di gereja, tidak sopan di gereja dengan berbicara sendiri atau bermain HP (mengetik SMS, dll). Meskipun ini tidak bisa menjadi jaminan mutlak, tetapi bisa dijadikan sedikit bukti yang membedakan orang Kristen dengan orang “Kristen” palsu. Sebaliknya, orang “Kristen” palsu juga aktif ke gereja, tetapi lihatlah keaktifan dan keseriusan mereka ke gereja, mayoritas mereka ada yang mengantuk ketika khotbah dengan beribu alasan (khotbah kurang menarik, terlalu berat, dll), bahkan ada yang berani menerima telepon di HP dari temannya ketika khotbah. Mereka menganggap gereja seperti gedung bioskop yang bisa menjadi tempat di mana mereka bisa seenaknya sendiri bertingkah. Mereka tidak menghargai lagi apa arti ibadah dan menyembah Allah. Sebagaimana Israel sejati vs Israel palsu dilihat dari hatinya, begitu juga dengan orang Kristen asli vs “Kristen” palsu juga dilihat dari hatinya, apakah berkenan di hadapan Tuhan atau tidak.

Kedua, universalitas keselamatan Allah. Jangan salah menafsirkan kata “universalitas” di dalam bagian ini. Universalitas keselamatan Allah berarti Allah menyediakan keselamatan bukan hanya bagi orang-orang Yahudi secara bangsa, tetapi kepada semua orang yang telah dipilih-Nya dari berbagai bangsa (termasuk Yahudi). Kovenan dari Allah kepada Abraham di Kejadian 17:4-8 tidak berlaku hanya untuk orang Israel, tetapi semua keturunan Abraham. Hal ini disingkapkan lagi oleh Paulus bahwa Allah menyelamatkan bukan hanya orang Israel, tetapi juga orang-orang non-Israel yang telah dipilih-Nya dari semula. Oleh karena itu, Paulus mengatakan bahwa beberapa cabang dipatahkan (menunjuk kepada beberapa orang Israel secara bangsa dibuang), sedangkan tunas-tunas liar (orang-orang non-Yahudi) dicangkokkan. Artinya, banyak orang non-Yahudi yang diselamatkan, sedangkan orang-orang Israel secara jasmani yang merasa diri dibenarkan justru beberapa dari mereka dibuang. Jika Allah tidak memandang orang (secara bangsa dan status) untuk diselamatkan, maukah kita hari ini juga tidak membedakan orang di dalam memberitakan Injil?


Lalu, bagaimana seharusnya sikap/reaksi orang-orang non-Yahudi yang diselamatkan? Di ayat 18, Paulus melanjutkan, “janganlah kamu bermegah terhadap cabang-cabang itu! Jikalau kamu bermegah, ingatlah, bahwa bukan kamu yang menopang akar itu, melainkan akar itu yang menopang kamu.” Ayat 18 menjadi ayat teguran bagi orang-orang non-Yahudi yang merasa sombong akan status mereka. Mereka pikir bahwa mereka bisa dicangkokkan ke dalam Israel, maka mereka bisa mendapat berkat-berkat Allah melalui Abraham, bapa leluhur Israel. Paulus mengatakan, “TIDAK”. Mereka tidak boleh bermegah terhadap cabang-cabang (orang-orang Israel) atau dengan kata lain mereka tidak boleh menyombongkan diri ketika mereka telah menggantikan posisi beberapa orang Israel yang telah dipatahkan/dibuang itu. Mengapa? Karena bukan mereka yang menopang akar itu, tetapi sebaliknya akar itu yang menopang mereka. Artinya, bukan orang-orang non-Yahudi yang menopang bapa leluhur Israel, tetapi bapa leluhur Israel yang menopang orang-orang non-Yahudi. Sebagaimana yang sudah dipaparkan oleh Dr. John Gill di atas, akar juga bisa menunjuk kepada orang pertama yang menerima Kristus, maka kita sebagai tunas liar yang dicangkokkan oleh Allah ke dalam cabang-cabang tersebut tidak boleh menyombongkan diri seolah-olah kita bisa menggantikan orang-orang Yahudi (atau orang pertama yang menerima Kristus) itu. Kita tetap sebagai tunas liar dan ingatlah tunas liar pasti dibuang oleh orang, tetapi Allah rela mencangkokkan tunas-tunas liar itu yaitu kita supaya kita menjadi anak-anak Allah di dalam Kerajaan-Nya. Bukankah ini suatu anugerah Allah yang begitu luar biasa dan agung? Tunas liar yang dicangkokkan. Rasul Petrus juga mengajar hal serupa ketika ia mengajar tentang status kita yang dulu berada di dalam kegelapan lalu dipanggil oleh Allah menuju kepada terang-Nya yang ajaib (1Ptr. 2:9-10). Sudahkah kita bersyukur atas anugerah-Nya yang besar itu? Caranya? Dengan menjadi saksi Kristus melalui mandat budaya dan penginjilan. Maukah kita berkomitmen untuk melakukannya?


Hari ini kita sudah merenungkan 6 ayat yang tergolong sulit dipahami tentang predestinasi Israel dan non-Israel. Kita sudah belajar tentang universalitas keselamatan Allah dan pembeda total antara kaum pilihan dan non-pilihan. Sudah menjadi kewajiban kita setelah merenungkan 6 ayat ini, kita sebagai umat pilihan berkewajiban memberitakan Injil Kristus karena keselamatan yang Allah sediakan juga berlaku bagi orang-orang di luar bangsa dan status kita. Biarlah Roh Kudus bekerja ketika kita memberitakan Injil. Amin. Soli Deo Gloria.