01 February 2009

INTRODUKSI PADA IMAN REFORMED-1 (Prof. John M. Frame, M.Phil., D.D.)

Introduksi Pada Iman Reformed-1

oleh: Prof. John M. Frame, M.Phil., D.D.1




Pendahuluan
Ketika pertama kali saya datang ke Seminari Westminster sebagai mahasiswa (1961), sebagian besar mahasiswa berlatar belakang Reformed. Banyak mahasiswanya telah mendapatkan pengajaran di sekolah-sekolah dan universitas-universitas Calvinistis;2 bahkan telah mempelajari katekismus dan pengakuan-pengakuan iman Reformed. Hari ini hal itu jarang ditemui. Semakin banyak mahasiswa yang datang ke Westminster berasal dari latar belakang non-Reformed, malahan ada yang baru mengalami pertobatan. Mereka yang berasal dari latar belakang Reformed pun tidak selalu mengetahui katekismus mereka dengan baik.

Banyak mahasiswa Westminster ketika baru pertama kali datang bahkan tidak mengerti dengan jelas posisi doktrin Westminster. Mereka tahu bahwa Westminster memegang kuat pandangan otoritas Alkitab dan ineransi; mereka tahu bahwa Westminster berpegang pada doktrin-doktrin fundamental Kekristenan evangelikal. Mereka juga tahu bahwa kami menjelaskan dan memertahankan doktrin-doktrin ini secara kesarjanaan yang superior. Namun, kadang-kadang tidak semua menyadari kenyataan bahwa Westminster adalah sebuah institusi pengakuan iman, yang menganut tradisi doktrinal historis tertentu, yaitu iman Reformed.

Saya sangat bergembira semua murid ini ada di sini! Saya sangat senang karena Westminster menarik murid-murid yang berasal jauh di luar lingkaran pengakuan iman normal kami. Tetapi kehadiran mereka mengharuskan adanya beberapa pengajaran yang sangat mendasar mengenai posisi doktrin seminari ini. Memperkenalkan para mahasiswa pada iman Reformed sedini mungkin di awal karier mereka di seminari merupakan hal yang esensial. Iman Reformed itu yang memberikan energi dan mengarahkan semua pengajaran di sini. Murid-murid harus siap untuk itu. Untuk kepentingan itulah esai ini ditulis.

Saya juga memiliki alasan lain untuk menulis introduksi ini. Ketika Saudara memulai studi di seminari, Saudara akan melihat bahwa ada berbagai variasi di dalam tradisi Reformed secara umum. Saudara akan belajar tentang “hyper-Calvinism”, "theonomy”, “antinomianism”, “presuppositionalism”, “evidentialism", “perspectivalism”, “traditionalism”, dan lain-lain. Beraneka ragam nama yang dipakai untuk menyebut diri kita sendiri dan untuk menyebut orang lain. Bukan hal yang selalu mudah untuk menentukan siapa yang “Reformed sejati” dan siapa yang bukan, atau yang lebih penting lagi, siapa yang “benar-benar alkitabiah.” Dalam tulisan ini, paling sedikit, saya ingin memerlihatkan kepada Saudara di mana saya berpijak dalam tradisi Reformed dan memberikan sedikit bimbingan serta menolong Saudara untuk menemukan arah melewati keragaman ini.

Tulisan ini hanyalah suatu “introduksi” kepada iman Reformed, jadi bukan merupakan suatu analisis yang mendalam. Namun, jelas tetap bermanfaat untuk mengetahui gambaran sekilas pada saat awal studi Saudara. Bersama-sama dengan tulisan ini, saya mengharapkan Saudara membaca Pengakuan Iman Westminster, Larger dan Shorter Catechism, serta “tiga bentuk kesatuan” dari gereja-gereja Reformed di benua Eropa: Pengakuan Iman Belgia, Katekismus Heidelberg, serta Kanon-kanon Dordt. Semua itu merupakan ringkasan yang indah dari posisi doktrin Reformed, yang disajikan secara utuh, ringkas, dan tepat. Heidelberg adalah salah satu karya devosional yang agung di sepanjang masa. Saya juga percaya ada banyak manfaat yang bisa didapatkan dari pembukaan ringkasan theologi Reformed karya Cornelius Van Til, “The Defense of the Faith.”3

Sebelum saya sampai pada hal-hal doktrinal yang substansif, izinkan saya untuk mengajukan pertanyaan: "Mengapa kita harus berpegang pada pengakuan apa pun, selain Alkitab?" Ini merupakan pertanyaan yang baik. Di dalam hati, saya berharap tidak perlu ada kredo atau ada denominasi-denominasi yang berpegang pada kredo itu. Denominasi- denominasi pada tahap tertentu, selalu akibat dari dosa perpecahan.4 Saya berharap ketika seseorang bertanya tentang afiliasi religius saya, dengan sederhana saya dapat berkata, "Kristen." Dan ketika seseorang menanyakan keyakinan agama saya, saya dapat dengan sederhana berkata, "Alkitab."

Sayangnya, jawaban-jawaban sederhana seperti itu tidak cukup lagi. Bermacam-macam orang mengaku Kristen pada hari ini, bahkan mereka yang percaya Alkitab, namun sebenarnya jauh dari kerajaan Kristus. Di antaranya kaum liberal, penganut bidat, dan penganut sinkretis zaman baru. Ketika kita mengunjungi tetangga kita dan mengajaknya ke gereja, dia berhak untuk mengetahui apa yang kita percayai. Jika Saudara mengatakan bahwa Saudara adalah seorang Kristen dan percaya Alkitab, dia berhak untuk bertanya lebih lanjut, "Menurut Saudara, (dan gereja Saudara) apa yang mereka ajarkan tentang Alkitab?" Itu merupakan pertanyaan di mana kredo dan pengakuan iman dirancang untuk menjawabnya. Sebuah kredo hanyalah suatu ringkasan kepercayaan dari seseorang atau dari sebuah gereja terhadap apa yang diajarkan Alkitab. Dan tentu saja, tidak ada yang keberatan untuk menulis ringkasan seperti itu bagi kenyamanan anggota-anggota gereja dan orang-orang yang membutuhkannya.

Pengakuan iman bukan Kitab Suci, dan mereka tidak seharusnya diperlakukan sebagai normatif yang tanpa salah dan tertinggi. Tentu saja, saya percaya bahwa sangat penting bagi sebuah persekutuan gereja dimungkinkan untuk merevisi pengakuan iman, dan untuk tujuan tersebut, dimungkinkan juga bagi para jemaat dan para pejabat gereja untuk tidak sepaham dengan pengakuan iman tersebut sampai batas-batas tertentu. Kalau tidak, itu berarti pengakuan iman secara praktis dapat dikatakan, otoritasnya diangkat pada posisi setara dengan Kitab Suci. Pandangan "ketat" yang menyatakan bahwa para pendeta tidak pernah diizinkan untuk mengajar sesuatu yang bertentangan dengan rincian yang ada di dalam kredo harus dilihat sebagai cara untuk melindungi orthodoksi dari gereja itu. Namun, menurut pandangan saya, pandangan semacam itu sebenarnya menentang orthodoksi, yaitu menentang otoritas Alkitab dan kecukupan Alkitab. Dalam pandangan semacam itu, maka Kitab Suci tidak diberi kebebasan untuk mereformasi gereja sesuai dengan kehendak Allah.

Namun kredo-kredo itu sendiri sebenarnya sah, bukan hanya bagi gereja- gereja dan individu-individu, melainkan juga bagi seminari-seminari. Seminari-seminari perlu juga untuk dapat memberitahukan kepada para pendukung, para mahasiswa, dan para calon mahasiswa tentang doktrin macam apa yang diajarkan dalam kurikulum seminari.

Iman Reformed merupakan penemuan yang indah bagi banyak orang Kristen. Saya mendengar banyak orang menyaksikan bahwa pada saat mereka mulai mempelajari theologi Reformed, mereka melihat untuk pertama kali bahwa Alkitab benar-benar dapat dipahami. Dalam bentuk theologi yang lain, ada banyak eksegesis yang artifisial: pemilahan ayat-ayat yang tidak bisa dipercaya, merasionalisasi “bagian-bagian yang sukar”, memasukkan skema di luar Kitab Suci atas, teks Alkitab. Theologi Reformed memperlakukan Kitab Suci secara natural, sebagaimana para penulis (manusia dan Allah) maksudkan dengan jelas dalam ayat itu. Tentu saja ada kesulitan-kesulitan di dalam sistem Reformed sebagaimana yang ada pada lainnya. Tetapi banyak orang, pada saat mereka mulai membaca Alkitab di bawah pengajaran Reformed, mengalami peningkatan yang besar dalam pemahaman dan keyakinan. Firman Tuhan berbicara pada mereka dalam kuasa yang lebih besar dan memberikan mereka suatu motivasi yang lebih besar pada kekudusan.

Seminari Westminster tidak menuntut mahasiswa mereka untuk memiliki keyakinan Reformed sewaktu mereka mendaftar atau sewaktu mereka lulus. Jadi, mereka harus memutuskan sendiri. Tetapi dari pengalaman saya, terlihat bahwa para mahasiswa Westminster dari latar belakang non- Reformed yang terbuka pada pendekatan Reformed, pada umumnya mereka akhirnya memeluk pandangan itu. Sepanjang 35 tahun saya bergabung dengan Westminster, saya dapat menghitung dengan jari jumlah mahasiswa yang sepengetahuan saya telah lulus dengan berpegang pada posisi Arminian. Hal itu bukan disebabkan karena sekolah menekan para mahasiwa untuk menyetujui posisi doktrinal dari sekolah. Kebanyakan dari para dosen berusaha untuk menghindari melakukan hal itu. Para dosen berusaha untuk memberikan kepada mahasiswa kemungkinan sebesar mungkin untuk mengekspos diri mereka pada theologi Reformed dan untuk membandingkannya dengan theologi non-Reformed. Pada waktu mereka selesai mempelajarinya, saya percaya mereka akan bersukacita sebagaimana halnya dengan kami menerima iman Reformed.

Apakah iman Reformed itu? Berikut ini argumen saya, bahwa: (1) iman Reformed adalah evangelikal; (2) iman Reformed adalah predestinarian; dan (3) iman Reformed mengajarkan kovenan ketuhanan Yesus Kristus secara komprehensif.


Iman Reformed Adalah Evangelikal
Sering kali, sulit bagi orang Kristen Protestan yang percaya pada Alkitab untuk mengetahui mereka harus menyebut diri mereka apa. Kata “Kristen” itu sendiri dan pernyataan “orang Kristen yang percaya Alkitab”, bisa juga kabur, bahkan menyesatkan (lihat pembahasan sebelumnya). “Orthodoksi” memberikan kesan tentang para imam yang berjanggut. “Konservatif” berbunyi seperti suatu posisi politikus atau seorang yang temperamental dibanding dengan suatu keyakinan religius. “Fundamentalis” pada hari ini memiliki konotasi yang tidak menyenangkan, yaitu dianggap sebagai antiintelektualisme, meskipun pada masa lampau fundamentalis diaplikasikan pada sarjana-sarjana Kristen yang sangat agung.

Saya pikir istilah yang paling baik untuk menjelaskan orang Kristen Protestan yang percaya pada Alkitab adalah istilah “evangelikal”, meskipun istilah itu telah menjadi rancu sepanjang sejarah. Istilah itu digunakan oleh para reformator Lutheran untuk mengindikasikan karakter dari gerakan itu, dan sampai sekarang di benua Eropa, kata “evangelikal” kurang lebih bersinonim dengan “Lutheran.” Namun, di dunia yang berbahasa Inggris, kebanyakan penggunaan istilah “evangelikal” dikaitkan dengan kebangunan rohani dari “kebangkitan evangelikal” di abad delapan belas di bawah pengkhotbah John Wesley, George Whitefield, dan yang lainnya. Theologi Wesley adalah Arminian, sedangkan theologi Whitefield adalah Calvinis; jadi gerakan evangelikal itu sendiri memiliki unsur-unsur Arminian dan Calvinistis. Banyak denominasi-denominasi di dunia yang berbahasa Inggris sangat dipengaruhi oleh gerakan ini.

Pada abad kesembilan belas, banyak denominasi yang tadinya dipengaruhi oleh gerakan evangelikal telah menjadi liberal. Bukan merupakan hal yang aneh untuk mendengar orang liberal seperti Charles Brigg menyebut dirinya sebagai “evangelikal”; “evangelikal liberal” pada waktu itu tidak dianggap kontradiksi. Orang masih mendengar istilah itu dalam referensi pada istilah theologis Inggris, meskipun penggunaannya tidak konsisten pada poin itu. Tetapi di Amerika, istilah itu sejak Perang Dunia II telah secara umum dibatasi secara theologi pada posisi konservatif. Setelah perang itu, sejumlah orang Kristen konservatif tiba pada konklusi bahwa "fundamentalisme" merupakan suatu konsep yang negatif dan mereka mengadopsi istilah "Evangelikal" sebagai suatu deskripsi yang menjelaskan dirinya sendiri, kebalikan dari penggunaan pada abad kedelapan belas. Di antara mereka adalah Carl F. H. Henry, Harold John Ockenga, dan J. Howard Pew penganut theologi Calvinistis; yang lainnya bukan penganut theologi Calvinistis. Jadi, “Evangelikal” menjadi sebuah payung yang menaungi orang-orang Kristen Reformed dan non-Reformed, yang menganut pandangan yang tinggi terhadap Kitab Suci dan penganut dari "iman yang fundamental.”

Tidak semua orang Reformed telah bersedia untuk menerima sebutan “Evangelikal.” Di satu sisi, orang Reformed kadang-kadang ada yang tidak menyetujui kebangunan rohani, meskipun sebagian pengkhotbah kebangunan rohani seperti Whitefield adalah Reformed. Jadi, sebagian orang Reformed telah enggan untuk menerima suatu sebutan yang muncul dalam konteks kebangunan rohani. Di sisi lain, karena banyak orang Reformed tidak mau bergabung dengan Arminian yang memiliki sebutan yang sama, karena kepercayaan bahwa ada perbedaan yang besar secara theologis. Jadi, bagi sebagian Calvinis, termasuk Cornelius Van Til,5 “Evangelikal” berarti “Protestan yang non-Reformed.”

Saya menolak penggunaan ini, terlepas dari pendapat yang diberikan oleh mentor saya, Van Til. Penggunaan yang diberikan oleh Van Til tidak historis, karena secara historis kata "Evangelikal" mencakup Calvinis. Lebih penting lagi, bagi saya kelihatannya kita memang membutuhkan istilah untuk menyatukan orang-orang Protestan yang percaya Alkitab, dan sebutan yang cocok untuk tujuan itu hanyalah “Evangelikal.”6

Menurut pandangan saya, kaum Reformed dan kaum Evangelikal disatukan atas dasar banyak poin doktrinal yang signifikan, bisa diargumentasikan bahwa keduanya disatukan atas dasar yang paling penting. Jadi, saya tetap menyatakan bahwa iman Reformed adalah Evangelikal.

Apakah kepercayaan utama dari theologi Evangelikal? Seorang Evangelikal, berdasarkan definisi saya, adalah seseorang yang mengakui theologi Protestan Historis. Hal itu mencakup kepercayaan-kepercayaan berikut ini:
1. Allah adalah satu Pribadi, yang maha bijak, adil, baik, benar dan berkuasa, realitas terakhir, berhak disembah secara eksklusif, dan ditaati tanpa perlu dipertanyakan, yang telah menciptakan dunia ini dari yang tidak ada menjadi ada.
2. Manusia, diciptakan menurut gambar Allah, berdasarkan kehendaknya tidak menaati perintah Allah, dan karena itu layak mendapatkan upah maut. Sejak saat itu, semua umat manusia, kecuali Yesus Kristus, telah berdosa terhadap Allah.
3. Yesus Kristus, Putra Allah yang kekal, menjadi manusia. Ia (secara harfiah, sesungguhnya) lahir dari seorang dara. Ia melakukan mukjizat-mukjizat. Ia menggenapi nubuat. Ia menderita dan mati bagi dosa kita, menanggung kesalahan dan hukum dari dosa kita. Ia dibangkitkan secara fisik dari kematian. Ia akan datang kembali (secara harfiah, secara fisik) untuk mengumpulkan umat-Nya dan untuk menghakimi dunia.
4. Keselamatan dari dosa datang bagi kita bukan atas dasar perbuatan baik kita, melainkan melalui penerimaan karunia yang cuma-cuma dari Allah melalui iman. Iman yang menyelamatkan menerima pengorbanan Kristus sebagai pengorbanan kita, sebagai satu-satunya dasar dari persekutuan kita dengan Allah. Iman yang menyelamatkan semacam itu tanpa disangkali telah memotivasi kita pada ketaatan.
5. Kitab Suci adalah firman Allah yang membuat kita bijak dalam keselamatan.
6. Doa bukan hanya sekadar meditasi atau pengembangan diri, melainkan suatu percakapan yang tulus dengan Pencipta dan Penebus kita. Di dalam doa kita memuji Allah, mengucap syukur, memohon pengampunan, dan membuat permohonan yang membawa perubahan konkret dalam dunia.

Pernyataan-pernyataan ini dapat disebut “hal-hal yang fundamental dari iman.” Mereka merepresentasikan pusat dari injil biblikal, dan di atas injil ini, kaum Reformed disatukan dengan semua kaum Evangelikal. Saya terluka pada waktu mendengar kaum Reformed mengatakan bahwa “kami tidak memiliki hal yang sama dengan Arminian.” Sebenarnya, kita memiliki injil biblikal yang sama dengan mereka, dan itu hal yang besar. Saya pasti berargumen bahwa theologi Arminian tidak konsisten dengan injil itu. Tetapi saya tidak dapat meragukan bahwa kebanyakan dari mereka percaya injil itu dari hati mereka.

Berdasarkan pemahaman ini, kaum Reformed ini tidak hanya berdiri dengan saudara-saudari Arminian mereka di dalam mengakui kebenaran biblikal, tetapi mereka juga bersama-sama melawan kekorupan yang sama dari iman. Kita berdiri bersama semua kaum Evangelikal melawan humanisme sekuler, bidat, gerakan Zaman Baru, dan tradisi liberal dalam theologi. “Liberal” yang saya maksudkan di sini adalah jenis theologi apa pun yang menyangkali hal-hal “fundamental” yang mana pun. Dalam pengertian ini, saya mencakupkan sebagai yang “liberal” bukan hanya kaum modern pada zaman J. Gresham Macken,7 termasuk juga tradisi neo-orthodoksi (Barth dan Brunner, kaum “modernis yang baru” menurut Van Til), dan gerakan terkini seperti theologi pembebasan, theologi proses, dan theologi pluralis. Gerakan yang lebih terkini sering dikontraskan dengan liberalisme, tetapi seperti yang saya percaya, kita butuh satu istilah untuk menjelaskan semua orang Protestan yang percaya pada Alkitab, demikian pula saya percaya kita butuh satu istilah untuk menjelaskan orang-orang yang mengaku Kristen, yang menyangkali satu atau lebih dari yang fundamental; dan "liberalisme" merupakan istilah yang terbaik untuk tujuan itu.

Saya akan meringkaskan beberapa rumusan yang biasanya ada dalam tradisi liberal dalam kategori yang diselaraskan dengan pernyataan- pernyataan 1-6 di atas.
1. Allah adalah “melampaui personalitas”, “melampaui yang baik dan yang jahat”, tidak menuntut ketaatan, menghukum dosa, atau menjawab doa.
2. Dosa bukan merupakan ketidaktaatan pada suatu hukum eksternal bagi manusia, melainkan keterasingan dari yang lain dan dari kemanusiaan yang sejati orang itu.
3. Yesus hanya seorang laki-laki yang dengan berbagai cara dikaitkan dengan Allah. Mukjizat yang harfiah dan kebangkitan adalah tidak mungkin, tetapi mereka adalah lambang dari suatu realitas yang lebih tinggi.
4. Keselamatan bukan berasal dari pengorbanan Kristus yang bersifat substitusi, atau melalui iman kepada Kristus sebagai cara keselamatan yang eksklusif. Semua yang diselamatkan atau “orang yang selamat” adalah mereka yang mengikuti berbagai etika dan program-program politik.
5. Kitab Suci merupakan tulisan manusia, bisa keliru dan cenderung pada kekeliruan, yang dengan cara bagaimana mengomunikasikan berita ilahi.
6. Doa pada dasarnya penghormatan pada diri sendiri.

Sebagaimana yang kita lihat, injil Evangelikal sangat berbeda dengan penyangkalan liberal akan injil itu. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi kita untuk memiliki posisi yang jelas dalam hal ini. Saya secara khusus mendorong mereka yang mulai belajar theologi untuk memerhatikan isu ini secara pribadi. Ini adalah waktu di mana Saudara harus jelas tentang relasi Saudara dengan Allah. Apakah Saudara percaya bahwa Allah yang dinyatakan di Kitab Suci ada? Dan bahwa Ia adalah Tuhan yang agung dari langit dan bumi? Apakah Saudara percaya bahwa Saudara secara pribadi berdosa dan Saudara hanya layak untuk mendapatkan murka-Nya dan hukuman yang kekal? Apakah Saudara percaya berdasarkan perbuatan Saudara sendiri (termasuk di antaranya kehadiran di gereja, pelayanan Kristen, benar secara intelektual) dapat menyelamatkan Saudara, atau hanya di dalam kebenaran yang sempurna dari Kristus?

Apabila Saudara tidak pernah menjawab pertanyaan sejenis ini, saya mendorong Saudara demi Kristus untuk menjawabnya sekarang! Tidak semua orang yang masuk seminari adalah orang percaya dalam pengertian semacam ini. Adalah mudah untuk menipu diri sendiri pada waktu Saudara telah melalui kehidupan Kristen. Semasa Saudara belajar di seminari, kembali ke dasar dengan cara ini makin lama akan makin sulit. Pada saat Saudara menjadi ahli theologi, Saudara bisa menjadi bangga atas pencapaian Saudara, dan karena itu Saudara tidak sabar terhadap siapa pun yang menyatakan bahwa Saudara butuh menjadi seperti anak kecil dan menaruh seluruh kepercayaan Saudara pada hikmat orang lain. “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” (Ef. 2:8-9)


Iman Reformed Adalah Predestinarian
Istilah “Reformed” untuk alasan tertentu pada mulanya dikaitkan dengan cabang Reformasi dari Swiss (Zwingli, Bucer, Bullinger, Calvin), dan kemudian menjadi sinonim dengan “Calvinis.” Pengajaran yang paling kontroversial dari orang-orang ini adalah doktrin predestinasi mereka. Doktrin ini sering kali dilihat sebagai perbedaan yang utama dari pengajaran Reformed dengan bentuk-bentuk evangelikalisme lainnya. Pada tahun 1618-1619, di sebuah pertemuan sidang sinode Reformed di Dordrecht (atau Dort) di Belanda, dipresentasikan lima “poin” ringkasan dari pengajaran Jacob Arminius (“Arminianisme”). Sebagai oposisi terhadap kelima poin itu, sinode mengadopsi apa yang disebut dengan "lima poin Calvinisme", yang merupakan ringkasan doktrin predestinasi. Poin-poin ini dikenal dengan inisial dari bunga Belanda yang indah, yaitu TULIP: Total Depravity, Unconditional Election, Limited Atonement, Irresistible Grace, Perseverance of the Saints.

Kita tidak boleh melihat kelima poin ini sebagai ringkasan dari sistem doktrin dari Reformed. Di Dort, kelima topik itu dibahas berdasarkan pilihan kaum Arminian, bukan kaum Calvinis. Kelima poin itu sebenarnya merupakan suatu ringkasan dari “apa yang tidak disukai oleh kaum Arminian tentang Calvinisme”, bukan merupakan ringkasan dari Calvinisme itu sendiri. Poin-poin itu bukan meringkas Calvinisme, melainkan aspek-aspek kontroversial dari Calvinisme. Saya pikir apabila sidang itu diminta untuk memberikan ringkasan iman Reformed yang sebenarnya, maka mereka akan menyusunnya secara berbeda, yaitu lebih seperti “Pengakuan-pengakuan Belgic dan Westminster.”

Poin kontroversial tidak harus merupakan keprihatinan fundamental dari suatu sistem. Sehubungan dengan iman Reformed, sistem doktrinalnya lebih dari lima poin; iman Reformed merupakan pemahaman yang komprehensif dari Kitab Suci, jadi merupakan suatu pandangan komprehensif dari wawasan dunia dan wawasan kehidupan. Namun demikian, sekarang saya akan secara singkat membahas “kelima poin” itu. Meskipun sentralitas “kelima poin” ini bisa berlebihan, namun mereka tentu saja penting dan sering disalah mengerti.
1. Total Depravity
Meskipun orang yang sudah jatuh dalam dosa mampu secara eksternal melakukan perbuatan baik (perbuatan yang baik menurut masyarakat), mereka tidak dapat melakukan apa pun yang sesungguhnya baik, misalnya memerkenankan Allah (Rm. 8:8). Allah melihat hati. Berdasarkan sudut pandang-Nya, orang yang sudah jatuh dalam dosa tidak memiliki kebaikan, dalam pikiran, perkataan, atau perbuatan. Oleh karena itu, ia tidak mampu memberikan sumbangsih apa pun pada keselamatannya.

2. Unconditional Election
Oleh karena itu, pada saat Allah memilih manusia untuk diselamatkan, Ia tidak memilih mereka berdasarkan apa pun yang ada pada diri mereka. Ia tidak memilih mereka karena kebaikan mereka sendiri, atau bahkan karena Allah mengetahui sebelumnya bahwa mereka akan percaya, melainkan hanya karena kemurahan-Nya semata-mata, yaitu berdasarkan anugerah (Ef. 2:8-9).

3. Limited Atonement
Poin ini merupakan poin yang paling kontroversial dari kelima poin, karena Alkitab kelihatannya mengajarkan bahwa Kristus mati untuk setiap orang. Lihat contohnya, 2 Korintus 5:15; 1 Timotius 4:10; 1 Yohanes 2:2. Ada dimensi “universal” dari penebusan: (a) penebusan untuk semua bangsa; (b) hal itu suatu penciptaan baru dari seluruh umat manusia; (c) hal itu ditawarkan secara universal; (d) hal itu satu-satunya cara bagi setiap orang untuk diselamatkan dan karena itu satu-satunya keselamatan untuk semua orang; (e) nilainya cukup untuk semua. Namun demikian, Kristus bukan merupakan substitusi untuk dosa-dosa dari setiap orang; kalau demikian halnya, maka setiap orang akan diselamatkan. Oleh karena penebusan Kristus berkuasa dan efektif. Penebusan Kristus bukan hanya sekadar membuat keselamatan menjadi mungkin; melainkan penebusan itu benar-benar menyelamatkan. Pada waktu Kristus “mati untuk” seseorang, orang itu pasti diselamatkan. Salah satu “teks penebusan universal” adalah 2 Korintus 5:15, di mana hal itu dinyatakan dengan jelas. Jadi, Ia mati hanya bagi efektivitas dari penebusan pada “limitasi”nya; mungkin kita harus menyebutnya “penebusan yang efektif” daripada “penebusan terbatas”, dan itu akan mengubah singkatan TULIP menjadi TUEIP. Tetapi tentu saja efektivitas mengimplikasikan limitasi, jadi limitasi adalah sebuah aspek yang penting dari doktrin ini.

4. Irresistible Grace
Anugerah bukan seperti satu atau dua permen yang dapat Saudara kembalikan apabila Saudara tidak menghendakinya. Anugerah adalah kemurahan Allah, suatu sikap dari hati Allah sendiri. Kita tidak dapat menghentikan Dia untuk mengasihi kita apabila Ia memilih untuk melakukannya. Demikian pula kita tidak dapat menghentikan Dia dari memberikan kita berkat keselamatan: regenerasi, justifikasi, adopsi, pengudusan, serta glorifikasi. Tujuan-Nya di dalam diri kita akan pasti digenapi (Flp. 1:6; Ef. 1:11).

5. Perseverance of the Saints
Apabila Saudara dilahirbarukan kembali oleh Roh Allah, dibenarkan, diadopsi ke dalam keluarga Allah, maka Saudara tidak dapat kehilangan keselamatan Saudara. Allah akan menjaga Saudara (Yoh. 10:27-30; Rm. 8:28-29). Ketekunan tidak berarti bahwa setelah Saudara menerima Kristus, lalu Saudara boleh berdosa sekehendak hati Saudara dan Saudara tetap diselamatkan. Banyak orang menerima Kristus secara munafik dan kemudian menyangkali kehidupan Kristen. Mereka yang murtad, dan tidak kembali menerima Kristus di hati mereka, mereka mati dalam dosa-dosa mereka. Tetapi apabila Saudara mengakui Kristus dari hati, maka Saudara pasti akan bertekun, karena Saudara tidak akan didominasi oleh dosa (Rm. 6:14).


Catatan Kaki:
1. Diterjemahkan dan dimuat sesuai dengan izin yang diberikan secara lisan oleh penulis.
2. Dalam tulisan ini, saya menggunakan istilah “Calvinistis” dan “Reformed” dengan arti yang sama.
3. (abridged ed. Philadelphia: Presbyterian and Reformed, 1975) 7-22.
4. Lihat teguran terhadap perpecahan dalam 1 Korintus 1-4. Saya membahas isu ini secara mendalam dalam Evangelical Reunion (Grand Rapids: Baker, 1991).
5. “A Christian Theory of Knowledge” (t.k.: Presbyterian and Reformed, 1969) 194 dan lainnya.
6. Adalah benar bahwa, bahkan di Amerika Serikat, garis pemisah antara kalangan injili dengan yang lainnya telah menjadi kabur. Sebagian telah menyangkali ineransi Kitab Suci secara total, sementara itu mengklaim dirinya Evangelikal. Dalam pandangan saya, hal ini tidak sesuai. Namun demikian, bagi saya istilah “Evangelikal” bukan sama sekali tidak berguna lagi, dan saya tahu tidak ada yang lebih baik untuk maksud saya sekarang ini.
7. Lihat Christianity and Liberalism dari Machen, tetap merupakan tulisan yang terbaik tentang perubahan-perubahan yang fundamental antara kedua cara berpikir itu.




Diambil dari:
Judul jurnal : Veritas, Volume 08, Nomor 02 (Oktober 2007)
Judul artikel : Introduksi pada Iman Reformed
Penulis : John M. Frame
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang 2007
Halaman : 169 – 179

Sumber:
http://www.sabda.org/e-reformed/introduksi_pada_iman_reformed



Sedikit diedit dan dikoreksi oleh: Denny Teguh Sutandio.




Profil Dr. John M. Frame:
Prof. John M. Frame, M.A., M.Phil., D.D. adalah Profesor Theologi Sistematika dan Filsafat di Reformed Theological Seminary, U.S.A. Beliau meraih gelar Bachelor of Arts (A.B.) dari Princeton University; Bachelor of Divinity (B.D.) dari Westminster Theological Seminary; Master of Arts (M.A.) dan Master of Philosophy (M.Phil.) dari Yale University; dan gelar Doctor of Divinity (D.D.) dari Belhaven College. Beliau menulis beberapa buku, di antaranya:
· Van Til, the Theologian (1976)
· The Doctrine of the Knowledge of God (1987) (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Doktrin Pengetahuan tentang Allah oleh Literatur SAAT Malang)
· Medical Ethics (1988)
· Perspectives on the Word of God (1990)
· Evangelical Reunion (1991)
· Apologetics to the Glory of God (1994) (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Apologetika bagi Kemuliaan Allah oleh Penerbit Momentum)
· Cornelius Van Til: An Analysis of his Thought (1995) (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Cornelius Van Til: Analisa Terhadap Pemikirannya oleh Penerbit Momentum)
· Worship in Spirit and Truth (1996)
· Contemporary Music: a Biblical Defense (1997)

Resensi Buku-65: KRISTEN TAUHID: Siapa & Bagaimana Ajaran Mereka (Ir. Herlianto, M.Th.)

...Dapatkan segera...
Seri Buku Saku YABINA:
KRISTEN TAUHID:
Siapa dan Bagaimana Ajaran Mereka


oleh: Ir. Herlianto, M.Th.

Penerbit: Mitra Pustaka dan YABINA Ministry, 2007.





Penjelasan singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Kira-kira dua tahun terakhir ini, di Indonesia muncul aliran “Kristen” baru yang menamakan dirinya “Kristen” Tauhid. Meskipun tidak terlalu dikenal oleh banyak orang Kristen, aliran “Kristen” ini cukup mempengaruhi Kekristenan orthodoks melalui buku-buku yang mereka tulis, salah satunya adalah dari Frans Donald, “Allah dalam Alkitab dan Alquran”, dll. Aliran ini menolak bahwa Allah itu Trinitas, melainkan Allah itu esa (1 pribadi). Aliran ini ditelusuri oleh Ir. Herlianto, M.Th. dilatarbelakangi oleh filsafat Yunani, yaitu dari Platonisme dan Gnostisisme menuju kepada Arianisme, Unitarian, Christadelphian, dan Saksi-saksi Yehuwa. Arianisme yang telah berakhir masa kejayaannya pada tahun 650 M, sekarang berkembang lagi di era postmodern ini dengan munculnya Unitarian. Unitarian sendiri ada yang Unitarian Universalist artinya kaum Unitarian yang tidak memercayai Tuhan lagi dengan menerima anggota dari orang-orang non-Kristen dan Unitarian Theis yang masih memercayai Allah. Presuposisi Unitarian adalah mereka menghendaki adanya kompromi theologi melalui jalan dialog antar agama, dll (di bagian profil dalam bukunya Frans Donald, ia memaparkan bahwa ia berpindah keyakinan menjadi Unitarian adalah karena Unitarian dinilai terbuka dan tidak dogmatis, memberi kebebasan kepada setiap orang untuk merumuskan iman berdasarkan hati nurani dan akal sehatnya) seperti yang MIRIP dikerjakan oleh “theologi” religionum. Bedanya, Unitarian mengkompromikan iman orthodoks dari Alkitab sampai kepada esensinya yaitu menolak Trinitas. Karena menolak Trinitas, “Kristen” Tauhid atau Unitarian ini mengajar bahwa Yesus bukan Allah, tetapi hanya ciptaan Allah (mirip Saksi-saksi Yehuwa) dan Roh Kudus hanya sebagai tenaga aktif Allah. Hal yang mirip terjadi dengan orang-orang Saksi-saksi Yehuwa yang memercayai hal ini. Karena mereka memercayai hal ini, mereka rela mengubah Alkitab LAI dengan menerbitkan Alkitab versi mereka, yaitu Kitab Suci Terjemahan Dunia Baru (KS-TDB). Unitarian meskipun tidak berpegang pada KS-TDB, tetapi konsep-konsep mereka yang anti-Trinitarian hampir mirip dengan konsep Saksi-saksi Yehuwa yang memercayai Yesus adalah ciptaan pertama Allah, Yesus adalah malaikat yang diciptakan, Yesus lebih rendah dari Bapa, dan Roh Kudus adalah tenaga aktif Allah. Dengan teliti namun singkat, Ir. Herlianto, M.Th. menyelidiki ayat-ayat yang dipakai di KS-TDB (dan tentunya kepercayaan Unitarian juga meskipun tidak berpegang pada KS-TDB) dan membandingkannya dengan terjemahan asli Yunani, Alkitab terjemahan Inggris, dan beberapa tafsiran dari theolog Perjanjian Baru. Semua itu menunjukkan bahwa terjemahan KS-TDB tidak sah dipakai sebagai terjemahan Alkitab yang benar, karena beberapa ayat diterjemahkan sedemikian rupa (tidak sesuai dengan bahasa Yunaninya) agar sesuai dengan doktrin Saksi-saksi Yehuwa. Di Bab 7, penulis mengakhirinya dengan menjelaskan Trinitas yang diajarkan Alkitab. Kesemuanya ini membuktikan bahwa Allah Trinitas yang sudah diajarkan Alkitab secara implisit, bapa-bapa gereja yang setia (Tertullianus, Athanasius, dll) adalah ajaran yang benar, sedangkan anti-Trinitarian yang dipercayai sejak Arianisme, Christadelphian, Saksi-saksi Yehuwa, sampai “Kristen” Tauhid adalah tidak bertanggung jawab. Yang lebih aneh lagi, Arianisme yang sudah dinyatakan sebagai bidat di dalam Konsili Nicaea (325 M) dimunculkan kembali oleh “Kristen” Tauhid ini. Manusia berdosa tidak juga jera mengulangi kesalahan yang sudah terjadi di dalam sejarah. Hal ini sesuai dengan dua perkataan penting. Pertama, dari Alkitab. Pengkhotbah mengajarkan, “tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.” (Pkh. 1:9b) Dan kedua, seorang filsuf mengatakan bahwa pelajaran terbesar dari sejarah adalah orang tidak mau belajar dari sejarah. Biarlah Kekristenan di Indonesia belajar dari sejarah dan tidak mengulangi kesalahan dari sejarah, serta kembali kepada Alkitab sesuai dengan iman Kristen sejati yang memercayai Trinitas.




Profil Ir. Herlianto, M.Th.:
Ir. Herlianto, M.Th. adalah Pemimpin Umum Yayasan Bina Awam (YABINA), Bandung (situs: http://www.yabina.org) dan dosen dalam bidang Sosiologi dan Aliran Kontemporer di Sekolah Tinggi Theologi Bandung. Beliau adalah seorang insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1968 lalu memperdalam ilmu dalam bidang Pembangunan Perkotaan dan memperoleh diploma International Course on Housing, Planning and Building di Boueweentrum International Education, Rotterdam pada tahun 1979 serta mengikuti Urban Studies Course pada Princeton University di USA pada tahun 1982. Beliau belajar theologi di Institut Injil Indonesia, Batu pada tahun 1972, lalu dilanjutkan ke Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang dan pada tahun 1976 memperoleh gelar Bachelor of Theology (Th.B.) Pada tahun 1982, beliau menyelesaikan studi Master of Theology (M.Th.) di Princeton Theological Seminary, USA dengan spesialisasi masalah kemasyarakatan dan perbandingan agama. Beliau dapat dihubungi melalui e-mail: herlianto@yabina.org.

Roma 13:1-5: ALLAH DAN PEMERINTAHAN-1: Siapakah Pemerintah Itu?

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-9


Allah dan Pemerintahan-1: Siapakah Pemerintah Itu?

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 13:1-5.



Setelah merenungkan prinsip tentang kasih di dalam persekutuan tubuh Kristus di ayat 9 s/d 20, Paulus memaparkan beberapa konsep tentang bagaimana mewujudnyatakan prinsip kasih dan kebenaran di dalam sikap kita terhadap pemerintah di pasal 13 ayat 1-7. Pada bagian pertama, kita akan membahas konsep Allah dan Pemerintahan di dalam subtema siapakah pemerintah itu di ayat 1-5.

Di ayat 1, Paulus mengatakan, “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah.” Ayat ini merupakan ayat yang unik, mengapa? Karena di titik pertama, Paulus mengajar jemaat Roma untuk takluk kepada pemerintah. Biasanya, kita mendengar bahwa kalau kita tunduk kepada seseorang harus ada alasannya mengapa kita harus tunduk. Tetapi Paulus di kalimat pertama menyebutkan bahwa kita harus takluk kepada pemerintah. Kata “takluk” dalam terjemahan bahasa Yunani bisa diartikan “tunduk” dan kata kerja ini menggunakan bentuk verb third person present passive imperative (=kata kerja orang ketiga bentuk sekarang/present pasif yang bersifat perintah). Dengan kata lain, ketika Paulus mengatakan bahwa tiap-tiap orang harus tunduk/takluk kepada pemerintah, artinya ia memerintahkan agar mereka menundukkan diri secara pasif kepada pemerintah. New International Version (NIV) menerjemahkannya, “Everyone must submit himself to the governing authorities,” Kata submit himself berarti menundukkan dirinya (ada unsur pasif). Kita menundukkan diri kepada siapa? Paulus menjawab kepada pemerintah yang di atasnya (terjemahan NIV: otoritas pemerintahan). Berarti, pemerintahan memiliki otoritas di atas kita sebagai warga negara. Apakah dengan tunduk pasif kepada otoritas pemerintahan berarti kita menyetujui semua tindakan pemerintah meskipun itu melawan Allah? Tidak. Mari kita membandingkan pengajaran yang sama di dalam 1Ptr. 2:13, “Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi,” Pernyataan “karena Allah” di dalam ayat ini menyatakan bahwa kita tunduk secara pasif kepada pemerintah karena Allah. Dengan kata lain, Allah menjadi sumber utama kita tunduk kepada pemerintah.

Lalu, mengapa kita harus tunduk kepada pemerintah? Paulus menjawab karena tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah. Kata “pemerintah” dalam ayat ini dalam terjemahan Indonesia tidak ditemukan dalam banyak terjemahan Inggris (kecuali terjemahan God’s Word) dan Yunani. King James Version (KJV), American Standard Version (ASV), 1965 Bible in Basic English (BBE), Bishops’ Bible 1568, Geneva Bible 1587, Revised Version (RV), 1833 Webster Bible menerjemahkannya power (=kuasa); NIV, Darby Bible, English Majority Text Version (EMTV), English Standard Version (ESV), Good News Bible (GNB), International Standard Version (ISV), New King James Version (NKJV), Modern King James Version (MKJV), Literal Translation of the Holy Bible (LITV), James Murdock New Testament, dan 1898 Young’s Literal Translation (YLT) menerjemahkannya authority (=otoritas). Terjemahan Yunani untuk kata ini adalah exousia yang bisa berarti hak istimewa: kuasa, kemampuan, kapasitas, dll. Dengan kata lain, terjemahan yang lebih tepat untuk ayat ini adalah tidak ada KUASA pemerintah yang tidak berasal dari Allah. Yang ditekankan seharusnya adalah KUASA dari pemerintah, bukan oknum pemerintah itu. Dari pengertian ini, kita mendapatkan penjelasan bahwa alasan di titik pertama tadi Paulus mengatakan bahwa kita harus tunduk pasif kepada pemerintah, yaitu tidak ada KUASA pemerintah yang tidak berasal dari Allah. Tuhan Yesus pernah mengingatkan konsep ini ketika berhadapan dengan Pilatus di dalam Yoh. 19:11, “Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas. Sebab itu: dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar dosanya.” Kata “kuasa” di ayat ini menggunakan bahasa Yunani yang sama yaitu exousia. Di ayat ini, Tuhan Yesus jelas sekali menunjuk kuasa Pilatus adalah berasal dari Allah, sehingga Ia mengingatkannya agar ia tidak sombong dengan kuasa yang dimilikinya itu. Untuk menjelaskan bahwa kuasa pemerintah dari Allah, Allah mengajar melalui nabi Daniel di dalam Daniel 2:21, “Dia mengubah saat dan waktu, Dia memecat raja dan mengangkat raja, Dia memberi hikmat kepada orang bijaksana dan pengetahuan kepada orang yang berpengertian;” Kesemuanya ini menjelaskan bahwa kuasa pemerintahan bersumber dari Allah. Mengapa demikian? Karena Allah sendirilah Sumber Otoritas sejati itu. Allah adalah Sumber Otoritas sejati, maka Ia memberi kuasa kepada pemerintah untuk memerintah rakyat. Alasan kedua yaitu karena sumber struktur pemerintahan masyarakat (NIV Spirit of the Reformation Study Bible, hlm. 1833).

Bukan hanya berasal dari Allah, kuasa pemerintah itu pun ditetapkan oleh Allah. Kapankah pemerintah itu ditetapkan Allah? Sebelum atau sesudah manusia jatuh ke dalam dosa? Firman Tuhan menjawab bahwa pemerintah ditetapkan Allah sesudah manusia berdosa. Sebelum manusia berdosa, Allah lah yang menjadi Pemerintah atas Adam dan Hawa, tetapi dosa mengakibatkan manusia menolak otoritas Allah sampai pada zaman Nuh. Dari Nuh, generasi-generasi Allah mulai muncul sampai zaman bangsa Israel. Tetapi Israel di zaman Samuel, mereka berani meminta raja. Konteks waktu itu, anak-anak Samuel menjadi hakim atas Israel dan anak-anaknya itu hidup tidak beres (1Sam. 8:1-3). Nah, hal inilah yang mendorong para tua Israel mendesak Samuel agar memberi mereka raja seperti bangsa lain (ay. 6). Lalu, Samuel berdoa kepada Allah dan Allah menjawab bahwa sebenarnya Allah sebagai Rajalah yang orang Israel tolak, bukan kepemimpinan Samuel (ay. 7), lalu Ia berfirman kepada Samuel untuk memberi tahukan hak raja (ay. 9, 11-18), tetapi apa respon Israel? Mereka tetap menginginkan seorang raja (ay. 19-20). Dua kesalahan yang Israel lakukan, yaitu menolak Allah sebagai Raja dan menginginkan raja karena iri dengan bangsa lain. Kebebalan Israel akhirnya sengaja diizinkan Tuhan, sehingga mereka memiliki raja, tetapi sejarah Israel mencatat bahwa raja-raja mereka ternyata ada yang setia kepada Allah dan ada yang tidak (baca seluruh 1 dan 2 Raja-raja). Itu semua akibat manusia memberontak kepada Allah, tetapi Allah tetap mengizinkan agar manusia mengerti konsekuensi dosa yang mereka lakukan. Sampai di Perjanjian Baru, Allah menegaskan kembali bahwa pemerintah ditetapkan oleh Allah. Mengapa pemerintah ditetapkan Allah? Karena pemerintah adalah wakil Allah untuk mengatur manusia agar manusia hidup lebih baik (bdk. ay. 4). Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen bersikap terhadap pemerintah? Di ayat pertama ini, Paulus telah mengajar kita bahwa kita harus tunduk pasif kepada otoritas pemerintah karena otoritas pemerintah bersumber dari Allah dan ditetapkan-Nya. Berarti, kita tunduk kepada pemerintah yang tunduk kepada Allah, karena Allah adalah Sumber Otoritas tertinggi. Sudahkah kita melakukannya?


Karena otoritas pemerintah bersumber dari Allah dan ditetapkan-Nya, maka Paulus mengatakan di ayat 2, “Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya.” Di ayat kedua, Paulus lebih dalam lagi mengajar bahwa barangsiapa yang melawan/memberontak terhadap otoritas pemerintah, maka ia melawan/memberontak apa yang Allah tetapkan/dirikan (NIV menerjemahkannya: yang Allah telah dirikan). Berarti, Paulus mengidentikkan otoritas pemerintah dengan ketetapan Allah. Konsep ini harus dimengerti berkaitan dengan ayat 1 dan ayat sesudahnya, sehingga kita tidak salah mengerti, lalu menganggap pemerintah = Allah. Pemerintah tetap adalah manusia, tetapi otoritasnya diberikan dari Allah, sehingga setiap pemerintah yang menjalankan otoritas yang benar yang sesuai dengan ketetapan-Nya, maka pengidentikkan Paulus tadi berlaku, tetapi jika tidak, maka pengidentikkan Paulus ini tidak berlaku. Sejauh pemerintah itu sendiri menjalankan otoritas yang takluk kepada Allah, maka kita tunduk kepada pemerintah. Tetapi bagaimana jika pemerintah itu tidak takluk kepada Allah? Kita tetap tunduk, tetapi bukan tunduk mutlak lalu menyamakan pemerintah dengan Allah. Sikap tunduk kita kepada pemerintah yang melawan Allah adalah sikap tunduk yang disertai kebenaran. Artinya, kita lebih tunduk kepada Kebenaran Allah ketimbang tunduk kepada pemerintah yang melawan Allah. Dengan kata lain, kita siap mati untuk Allah jika misalnya kita diperlakukan tidak adil oleh pemerintah yang melawan Allah. Misalnya, jika pemerintah negara tertentu melarang warganya menjadi Kristen, bagaimana sikap kita? Takluk? TIDAK! Kita tetap harus tunduk mutlak kepada Allah, tetapi tetap menghormati (tidak melawan) pemerintah, sambil siap mati jika misalnya pemerintah memutuskan kita yang Kristen dihukum mati. Di sini, kita meletakkan otoritas sejati di tempat yang semestinya (primer) dan meletakkan otoritas pemberian di tempat sekunder. Jangan pernah membalikkan ordo/urutannya, karena membalikkan ordo ini, itulah dosa. Dosa adalah pembalikkan ordo dari ordo yang seharusnya.


Dengan konsep bahwa kita takluk kepada Allah lebih daripada kepada pemerintah (meskipun pemerintah itu melawan Allah), maka di ayat 3, Paulus mengatakan, “Sebab jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa takut terhadap pemerintah? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian dari padanya.” KJV menerjemahkannya bahwa pemerintah tidak akan menakuti-nakuti kita yang berbuat baik, tetapi yang berbuat jahat. Di ayat ini, Paulus mendorong jemaat Roma untuk berbuat baik dan ketika kita berbuat baik, kita tidak usah takut. Di sini, karena kita lebih takluk kepada Allah yang memberi kuasa kepada pemerintah, maka kita seharusnya bisa menunjukkan perbuatan baik kita yang sejati. Ketika menunjukkan perbuatan baik itu, kita sedang mewujudnyatakan kasih-Nya kepada orang luar dan kepada pemerintah bahkan meskipun pemerintah itu melawan Allah. Jadi, mari tunjukkan kebaikan yang telah kita terima sebagai respon kita menomersatukan Allah lebih dari siapa pun.

Bukan hanya mendorong jemaat Roma untuk berbuat baik, Paulus mengajar mereka juga untuk hidup tidak takut kepada pemerintah. Mengapa kita bisa hidup tidak takut kepada pemerintah? Karena pernyataan sebelumnya, yaitu kita berbuat baik yang mencerminkan kita menomersatukan Allah. Ketika kita berbuat baik, maka tentu kita tidak perlu hidup takut kepada pemerintah, kecuali kita berbuat jahat, maka kita perlu takut kepada pemerintah. Ambil contoh, perampok yang berbuat jahat pasti takut ketika dikejar aparat pemerintahan (polisi), sedangkan kita yang setiap hari berbuat baik menolong orang, apa kita perlu takut kalau kita dikejar polisi? Tentu tidak. Jadi, di sini, kita dituntut pertanggungjawaban sebagai orang Kristen (warga negara sorgawi) dan warga negara duniawi.

Ketika kita berbuat baik, Paulus mengatakan bahwa kita akan memperoleh pujian daripadanya (atau bisa diterjemahkan: pemerintah itu akan memujimu). Di sini, kita lebih jelas lagi melihat signifikansi apa yang kita perbuat terhadap pemerintah, meskipun pemerintah itu melawan Allah sekalipun. Ketika kita berbuat baik, kita mendapat pujian, dan ingatlah, kembalikan pujian itu kepada Allah yang memang seharusnya mendapat pujian untuk selama-lamanya. Jangan pernah mengambil pujian dari pemerintah untuk kita sendiri.


Mengapa kita melakukan hal-hal di atas? Paulus menjabarkannya di ayat 4, “Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat.” Dari ayat 4, Paulus menjabarkan alasan kita melakukan hal-hal di atas, yaitu karena pemerintah adalah hamba Allah. Kata “hamba” di sini dalam bahasa Yunani TIDAK diterjemahkan doulos, tetapi diakonos (=pelayan; Ing.: minister). Kata Yunani inilah yang melahirkan jabatan diaken di dalam gereja. Pemerintah adalah pelayannya Allah. Pelayan Allah untuk apa? Paulus menjabarkan tugas pemerintah menjadi dua, yaitu:
Pertama, pemerintah untuk mendatangkan kebaikan bagi rakyat. Jika di Indonesia, kita mendengar pengajaran bahwa pemerintah adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka di ayat ini, kita mendapat pengajaran yang agak berbeda, yaitu: dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah (dan rakyat). Tadi, kita telah belajar bahwa pemerintah dari Allah (bersumber dari Allah), lalu pemerintah itu ditetapkan oleh Allah, dan hasil akhirnya tetap harus untuk memuliakan Allah yang diimplementasikan bagi kepentingan rakyat. Apa artinya? Hasil akhir penetapan Allah memang untuk memuliakan-Nya, tetapi itu diimplementasikan kepada rakyat agar rakyat menikmati tugas pemerintah yang mengayomi masyarakat, sehingga masyarakat merasakan adanya perlindungan dari pemerintah seperti dari Allah. Itulah tugas pemerintah. Pemerintah yang hanya memikirkan keuntungan pribadi itu bukan pemerintah, tetapi penipu dan koruptor. Pemerintah sejati adalah mementingkan kebaikan rakyat (tidak egois).

Kedua, pemerintah untuk menindak tegas orang jahat. Sebagai kontranya, Paulus mengajar bahwa pemerintah adalah pelayan Allah untuk membalaskan murka Alalh kepada mereka yang berbuat jahat. Untuk itulah, pemerintah menyandang pedang. Dengan kata lain, pemerintah berhak mutlak menghukum mati orang-orang yang telah berbuat jahat, mengapa? Karena ia diberi otoritas oleh Allah untuk menyandang pedang untuk membalaskan murka Allah kepada mereka yang berbuat jahat. Hukuman mati dilegalkan oleh Alkitab! Pemerintah yang mengolor-olor waktu menjatuhkan hukuman mati (dengan alasan “agama”) kepada orang-orang yang jelas kelihatan bersalah itu jelas bukan pemerintah sejati. Pemerintah sejati adalah pemerintah yang berani menindak tegas siapa pun yang bersalah tanpa memandang suku, agama, ras, golongan, dll. Bagaimana dengan pemerintah Indonesia? Sudahkah kita berdoa bagi pemerintah kita yang terlalu lunak terhadap sekelompok penjahat kelas kakap yang berjubah “agama?”


Karena pemerintah menyandang pedang, maka di ayat 5, Paulus mengatakan, “Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita.” Pedang pemerintah dimaksudkan untuk membalaskan murka Allah. Tetapi apakah karena pedang itu, akhirnya kita takluk? Tidak. Paulus mengatakan bahwa kita perlu menaklukkan diri bukan HANYA karena pedang murka Allah, tetapi juga karena suara hati (NIV: conscience; Ind.: hati nurani). Di sini, Paulus mengajar bahwa sikap kita yang tunduk kepada pemerintah bukan tunduk kepada murka Allah melalui pedang pemerintah SAJA, tetapi lebih kepada hati nurani kita. Roh Kudus menerangi hati nurani kita agar kita tunduk kepada pemerintah yang tunduk kepada Allah. Ketika kita berani tunduk kepada pemerintah dengan hati nurani, di situ, kita membuktikan ketulusan sikap kita yang tunduk. Tetapi jika kita tunduk kepada pemerintah karena pedang, maka kita melakukannya dengan terpaksa. Tuhan lebih menuntut kita untuk tunduk kepada pemerintah dari hati kita, bukan karena murka Allah. Hal ini sama seperti pertobatan kita. Kita bertobat dan percaya kepada Kristus bukan takut murka dan hukuman Allah, tetapi sebagai reaksi dari hati kita yang telah disentuh kasih Allah yang menyelamatkan kita yang dikerjakan oleh Kristus melalui Roh Kudus. Bagaimana dengan kita? Sudahkah hati nurani kita dicerahkan Roh Kudus sehingga dari hati kita keluar suatu sikap yang tunduk kepada pemerintah? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 12:43-45: PRINSIP "RUMAH KOSONG" (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 25 Februari 2007

Prinsip "Rumah Kosong"
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 12:43-45



Perenungan kita hari ini masih berkait erat dengan ayat sebelumnya dan masih ditujukan untuk golongan Farisi dan para ahli Taurat. Disini Tuhan Yesus kembali menegaskan tentang orang Farisi dan para ahli Taurat sebagai angkatan yang jahat, the evil generations. Injil Mat. 12:43-45 ini merupakan suatu bentuk pengandaian “if clause.“ Jadi, hal yang tidak eksis dan tidak mungkin terjadi. Tuhan Yesus mau mengontraskan hidup orang yang men-Tuhankan Kristus dengan mereka yang tidak men-Tuhankan Kristus dan menganggap dirinya sebagai “tuan“ atas rumah kosong. Konsep humanisme ini bukan baru pertama muncul tetapi sejak jaman Adam dan Hawa, manusia ingin menegakkan keinginan dirinya dengan menjadi seperti Allah.
Konsep humanisme ini memuncak di akhir abad ini, banyak orang yang berteriak dan menuntut kebebasan. Yang dimaksud “bebas“ disini adalah tidak diatur oleh apapun atau siapapun. Manusia lupa kalau sesungguhnya manusia tidak pernah bebas. Kebebasan yang diinginkan itu hanyalah ilusi yang menjadi kerinduan manusia untuk dapat menjadi pemegang otoritas tertinggi, inlogical conclusion. Adalah natur manusia berdosa yang selalu ingin mengatur segala sesuatu tetapi tidak mau diatur. Manusia bukan dicipta sebagai pemegang otoritas tertinggi, makhluk independent. Manusia dicipta sebagai dependent being itu berarti orang berada di bawah otoritas. Sadarkah kita kalau hari inipun kita hidup tidak lepas dari otoritas, baik di rumah tangga, di sekolah maupun hidup bernegara. Namun perhatikan, semua otoritas yang ada di dunia ini hanya bersifat sementara dan relatif. Ada otoritas yang lebih tinggi dan mutlak, yaitu otoritas Allah Sang Pencipta.
Hati-hati dengan akal licik si iblis yang sengaja menanamkan hal-hal jahat dalam pikiran manusia. Iblis menanamkan pada Hawa bahwa ia akan menjadi “seperti“ Tuhan tahu tentang hal yang baik dan jahat. Tentu saja, hal ini sangat menggiurkan, manusia tidak sadar kalau yang ditawarkan iblis hanyalah sepotong kecil, yakni hanya tahu hal yang baik dan jahat. Cara iblis sangat licik, ia menawarkan suatu kenikmatan “seolah-olah“ hal luar biasa padahal yang ia berikan sangat terbatas. Sadarkah kita kalau cara iblis ini sampai hari inipun masih digunakan, banyak iklan yang menawarkan diskon besar-besaran tetapi dibelakangnya ada catatan tertentu yang sengaja ditulis sangat kecil. Hawa tidak sadar justru pada saat ia ingin seperti Tuhan sesungguhnya hal itu tidak membuat ia setingkat dengan Tuhan sebab pada saat yang sama ia telah tunduk pada iblis dan menjadi budak iblis.
Semangat humanisme ini memuncak di abad 20 maka layaklah kalau abad 20 dikatakan sebagai abad yang bodoh oleh Pdt. Dr. Stephen Tong. Abad 20 banyak mengadopsi dan tunduk dibawah konsep pemikiran filsafat seperti humanisme yang telah dicetuskan di abad sebelumnya. Di abad 20 juga jutaan manusia mati dalam pertempuran yang terjadi di abad 20 bahkan kalau dijumlah maka jumlah manusia yang mati sejak abad 1 hingga abad 19 dibandingkan dengan jumlah manusia yang mati di abad 20 maka abad 20 lebih banyak manusia yang mati. Manusia yang katanya hebat, maju dan berotoritas tetapi ia telah menjadi mesin pembunuh manusia yang paling menakutkan. Ironis, kehancuran infra struktur kehidupan tidak menjadikan orang bertobat. Manusia menganggap kehancuran yang terjadi sebagai hal yang biasa. Orang mulai jatuh dalam pemikiran pragmatisme; orang ingin mendapatkan segala sesuatu dengan cepat dan mudah.
Di tahun 1960-an muncul gerakan feminisme dimana para wanita ingin menegakkan otoritas dirinya. Para wanita mulai menduduki posisi pria dan berubah menjadi wanita maskulin. Ini merupakan pelanggaran esensi. Alkitab menegaskan bukan wilayah wanita untuk mengambil posisi-posisi penting dalam mengambil suatu keputusan sebab wanita merupakan sasaran empuk bagi iblis menjatuhkan manusia. Iblis tidak menggoda pria karena pada pria, Tuhan memberikan perlengkapan cukup, salah satunya yaitu berpikir secara rasional. Adam ada pada saat iblis menggoda Hawa tetapi saat itu, iblis tidak menggoda Adam tetapi ia masuk lewat Hawa. Kesalahan Adam adalah membiarkan Hawa dipermainkan oleh iblis. Itu menjadi kesalahan laten yang membuat ia harus dihukum juga. Berbeda halnya dengan wanita, segala keputusan tidak dipikirkan secara rasional tetapi segala keputusan diambil berdasar perasaan dan insting. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa orang yang menegakkan otoritas diri dan tidak mau tunduk pada Allah malah akan menjadikan dunia bertambah buruk dan hancur. Karena itu, kita harus kembali pada otoritas yang absolut, yaitu Kristus Tuhan.
Tuhan Yesus membukakan pada kita bahwa kita bukanlah “tuan“ atas sebuah rumah kosong. Tuhan menegaskan “apabila...“ berarti hal itu tidak pernah terjadi karena itu bukan sesuatu yang riil. Dan kalaupun terjadi, setan akan bekerja lebih ganas, hal ini digambarkan dengan angka tujuh yang melambangkan kesempurnaan; iblis tidak pernah membiarkan rumah itu kosong.
I. Tidak Ada Posisi Netral
Orang Farisi dan para ahli Taurat meminta tanda pada Kristus Yesus. Pertanyaannya siapakah manusia sehingga mereka berani meminta tanda pada Tuhan? Kitalah yang seharusnya tunduk dan taat pada Kristus Tuhan; kita bukanlah “tuan“ atas hidup kita sendiri. Namun pada angkatan yang jahat dan tidak setia ini toh Tuhan tetap memberikan tanda, yaitu tanda nabi Yunus. Tanda ini seharusnya menyadarkan mereka untuk bertobat seperti yang dilakukan bangsa Niniwe. Tuhan Yesus juga membandingkan mereka dengan ratu dari Selatan yang datang dari ujung bumi untuk mendengar hikmat Salomo maka Sang Hikmat Sejati itu ada di depan mereka, mereka justru menolaknya. Ironis, bukan? Manusia merasa diri bijak dengan menegakkan otonomi diri. Salah! Manusia bukanlah makhluk independent, manusia bukanlah makhluk yang bisa mengatur segala sesuatu dalam otoritas dirinya. Jadi, secara esensial tidak ada yang namanya rumah kosong, kita menjadi tuan rumah atas hidup kita sendiri. Manusia harus tunduk di bawah otoritas tertentu. Yang menjadi pertanyaan adalah pada otoritas siapakah kita harus tunduk? Alkitab menegaskan hanya ada dua otoritas, yaitu otoritas Allah dan otoritas setan. Kalau kita tidak membiarkan Allah yang mengisi dan menjadi tuan yang berkuasa atas rumah kosong kita maka iblis yang akan masuk dan berkuasa atasnya.
Siapakah yang menjadi tuan atas hidup kita? Cobalah kita mengevaluasi diri, apa yang mendasari keputusan kita? Apakah keputusan yang kita buat itu adalah kehendak Tuhan ataukah kehendak iblis? Ingat, tidak pernah ada posisi yang independen dan tidak ada posisi netral. Seorang penafsir, Leon Moris menyatakan bahwa kalau muncul suatu kesadaran bahwa hidup itu tidak netral maka kesadaran itu sendiri merupakan hikmat tertinggi. Seorang yang rajin ke gereja setiap minggu bukanlah jaminan ia seorang Kristen sejati sebab kemungkinan saja ia masih mempunyai pemikiran duniawi, segala keputusan yang diambil tidak lebih hanyalah untuk mendapat keuntungan diri. Tuhan Yesus menegaskan apabila roh jahat keluar dari manusia maka ia akan kembali lagi dengan lebih dahsyat. Hati-hati dengan akal licik si iblis yang menanamkan konsep “manusia adalah allah.“ Sadarlah, secara esensi tidak pernah ada rumah kosong. Kalau kita mengaku sebagai Kristen sejati berarti Tuhan yang menjadi penguasa dan memimpin hidup kita. Di tengah dunia, terlalu banyak pemalsuan, banyak orang yang menawarkan hal-hal yang kelihatan manis dan indah di depan, maka tidaklah heran kalau orang menjadi kecewa karena orang baru menyadari bahwa apa yang ia kerjakan selama ini ternyata sia-sia dan berakhir dengan kebinasaan. Firman Tuhan telah membukakan pada kita tentang segala akal licik iblis, jadi tidak ada alasan bagi anak Tuhan untuk tidak memahami akan hal ini. Kita bukanlah sebuah rumah kosong dimana kita menjadi tuannya yang berhak mengatur dan menata rumah kita. Tidak! Ingat, manusia bukanlah makhluk independen, manusia harus tunduk pada suatu otoritas. Pertanyaannya otoritas siapakah kita harus tunduk?
II. Tipuan Iblis dan Otonomi Manusia
Alkitab membukakan pada kita bahwa tidak ada konsep empty house lalu yang menjadi pertanyaan kenapa konsep empty house ini meluas di tengah dunia? Bahkan orang Kristen pun masih mempunyai pemikiran bahwa dirinya adalah sebuah rumah kosong dimana ia yang berhak mengatur rumah itu. Orang Kristen terbuai untuk menjadi tuan dalam kehidupannya. Dalam hal ini iblis telah berhasil menggoda manusia untuk masuk dalam jebakannya. Sejak Kejadian pasal 3, iblis menggoda manusia dengan kalimat yang sangat manis “seolah-olah“ Hawa mempunyai otorisasi tertinggi dan sejajar dengan Tuhan. Hati-hati, tawaran iblis sangatlah menggiurkan, tawaran yang ia berikan bukanlah tawaran yang menjatuhkan sebaliknya ia menawarkan sesuatu yang sangat nikmat dan semua itu kelihatan “sah dan legal“ secara hukum dunia. Kalau kita tidak peka, kita akan jatuh dalam jebakannya. Cara yang sama digunakan sampai hari ini – sepertinya keuntungan atau kenikmatan yang kita dapatkan tapi ternyata semua itu hanyalah kebohongan belaka. Sebagai contoh, hari ini banyak tawaran potongan harga besar-besaran tetapi tentu saja ada catatan yang ditulis kecil di bawahnya, yaitu dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dan biasanya, catatan ini luput dari perhatian kita. Memang, tidak ada yang salah dengan semua itu; cara yang dipakai sah. Letak permasalahannya adalah pada motivasi; di depan kelihatan sangat baik tetapi sesungguhnya, di belakangnya ada kejahatan yang mengerikan. Hendaklah kita waspada dengan segala akal licik si iblis.
Kitab Amsal 26:25 juga mengingatkan pada kita untuk berhati-hati pada orang-orang jahat yang tersenyum ramah pada kita karena di balik itu ada tujuh kejahatan yang tersimpan dalam hatinya. Angka tujuh merupakan simbol kesempurnaan. Hati-hati dan pekalah terhadap segala macam akal licik si iblis yang kelihatan manis di depan. Sebagai anak Tuhan sejati hendaklah kita mempunyai integritas dan hidup jujur. Anak Tuhan harus apa yang menjadi kebenaran saja. Sangatlah disayangkan, hari ini banyak orang Kristen yang ikut dengan cara setan tapi ia tetap merasa dirinya “Kristen“ maka tidaklah heran kalau di dunia banyak orang Kristen yang berkonsep satanic dan banyak gereja yang tidak memuliakan nama Tuhan lagi. Cara yang dipakai iblis sangat licik dan halus sehingga orang tidak menyadarinya kalau ia telah masuk dalam jebakan termasuk orang “Kristen.“
Banyak orang tidak suka men-Tuhankan Kristus sebab orang ingin menjadi “tuan“ atas hidupnya. Inilah konsep empty house yang diajarkan iblis. Ingat, kita bukan pemilik atas hidup kita; rumah kita bukanlah rumah kosong. Biarlah kita serahkan rumah hidup kita di bawah otoritas Tuhan dengan demikian hidup menjadi indah. Hidup berjalan dalam pimpinan Kristus Tuhan adalah hidup yang paling indah. Tidak ada hal yang lebih indah selain Kristus menjadi Tuan atas rumah kita.
III. Kristus Tuan Sejati
Kristus harus menjadi Tuhan. Pertanyaannya sekarang adalah kenapa harus Kristus? Kenapa kita tidak boleh memakai konsep “empty house“ seperti yang diajarkan iblis. Perhatikan, konsep “empty house“ yang diajarkan iblis ini tidak bedanya dengan rumah pelacuran dimana semua konsep boleh singgah di dalamnya termasuk materialisme, atheisme, humanisme sebab diri inilah yang menjadi tuan rumah. Alkitab menegaskan kalau Kristus mengetok pintu, Ia akan masuk dan mendapati kita di dalamnya artinya pada saat Kristus masuk dalam rumah hidup kita, Ia yang akan mengontrol hidup kita; Kristus menjadi Tuhan atas hidup kita. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah maukah hidup kita dikontrol oleh-Nya? Anak Tuhan sejati melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Tuhan Yesus menegaskan bukan orang yang berseru,“Tuhan, Tuhan“ yang akan masuk dalam Kerajaan Sorga tetapi Dia yang melakukan kehendak Bapakulah yang akan masuk dalam Kerajaan Sorga. Orang menyebut Kristus dengan Tuhan tetapi hidupnya tidak men-Tuhankan Kristus. Barangsiapa mengasihi Aku, ia memegang perintah-Ku dan melakukannya dan ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku, Bapa-Ku akan tinggal bersama dia dan Aku juga akan tinggal bersama dia. Ingat, cinta Tuhan bukan sekedar di mulut saja. Tidak! Jangan kenakan konsep cinta duniawi pada Tuhan. Cinta Tuhan berarti taat melakukan kehendak Bapa (Yoh. 14:16). Paulus juga menegaskan bahwa cinta Tuhan berarti hidupku bukan aku yang hidup tetapi Kristus yang hidup di dalamnya (Gal. 2:20). Siapa yang men-Tuhankan Kristus maka Dialah milik Kristus. Jadi, tidak ada konsep rumah kosong tetapi rumah itu harus diserahkan pada Kristus. Carilah dulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, hal ini juga ditekankan oleh Kristus.
Banyak orang Kristen yang ingin menjadi “tuan“ atas rumahnya dan mereka hanya menyediakan satu ruangan kecil untuk Tuhan dan kalau kita membutuhkannya barulah Dia kita panggil – Tuhan tidak lebih hanyalah budak kita. Ingat, Kristus bukan budak; Dia adalah Tuhan, Tuan atas segala tuan, Dia adalah Raja Sang pemilik alam semesta. Sangatlah disayangkan, hari ini banyak orang Kristen yang mencoba mengaburkan identitas dirinya sebagai orang Kristen, orang mau lari dari perintah Tuhan. Memang tidaklah mudah untuk taat pada perintah Tuhan, banyak tantangan yang harus kita hadapi, apalagi iblis tidak akan tinggal diam, ia akan mencari segala cara supaya orang menyeleweng dari perintah Tuhan. Iblis akan berusaha menawarkan segala kenikmatan semu yang menjadikan kita jauh dari Tuhan dan supaya kita tidak taat pada perintah-Nya. Namun percayalah, Tuhan pasti akan memelihara hidup anak-Nya yang setia dan taat pada-Nya. Orang Kristen bukanlah orang yang sempurna dan Tuhan juga tidak menuntut kita harus sempurna seutuhnya. Tidak! Bahkan para tokoh Alkitab pun bukan orang yang sempurna namun satu hal yang membedakan orang Kristen adalah mereka mempunyai suatu komitmen dan usaha implikasi, hidup yang berjuang men-Tuhankan Kristus tiap-tiap harinya.
Hati-hati dengan segala bentuk jebakan iblis sebab sekali kita masuk dalam jebakannya sulit bagi kita untuk keluar kecuali anugerah Tuhan yang melepaskan kita barulah kita dapat lepas dari belenggu ikatannya. Dan ingat, kita bukanlah sebuah rumah kosong yang menjadi tuan atas hidup kita. Tidak! Tuhanlah yang menjadi pemilik atas hidup kita. Pertanyaannya sekarang adalah maukah kita dipimpin oleh Kristus Tuhan dan membiarkan Dia menjadi Tuan atas hidup kita? Tuhan Yesus tidak janji akan berikan segala kenikmatan dunia yang semu seperti yang ditawarkan iblis. Tidak! Satu hal yang Tuhan Yesus janjikan dan janji-Nya pasti terlaksana, yaitu Tuhan berikan sukacita kekal dan kenikmatan sorgawi – keselamatan jiwa kita. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: