24 October 2010

WHO (WHAT) IS YOUR GOD? (Denny Teguh Sutandio)

WHO (WHAT) IS YOUR GOD?

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.”
(Kel. 20:3)




PENDAHULUAN
Di gunung Sinai, Allah memberikan Sepuluh Perintah yang lebih dikenal dengan Dasa Titah kepada umat-Nya Israel. Sebelum memberi Dasa Titah, di Keluaran 20:2, Ia mengingatkan mereka bahwa Ia adalah Allah yang membawa mereka keluar dari Tanah Mesir, tanah perbudakan. Setelah itu, Ia langsung mengeluarkan titah pertama kepada Israel bahwa tidak boleh ada ilah lain di hadapan-Nya di antara Israel. Jika kita memperhatikan Dasa Titah ini di dalam bahasa Indonesia, maka kita menjumpai bahwa setiap titah diawali kata “Jangan.” Di dalam bahasa Ibrani, ada dua bentuk perintah dari kata kerja Qal, yaitu: lō (al{) yang berarti tidak (termasuk larangan tetap/ilahi) dan ’al (לa) yang berarti jangan (termasuk larangan pada saat itu). Nah, khusus di Keluaran 20, setiap titahnya diawali kata Ibrani lō yang berarti tidak, bukan jangan. Mengapa menggunakan kata “tidak” dan bukan “jangan”? Pdm. F. Abigail Susana, D.Th., dosen bahasa Ibrani saya di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) Surabaya menjelaskan bahwa penggunaan kata lō di dalam Keluaran 20 itu dilatarbelakangi oleh suatu alasan theologis, yaitu titah tersebut diwahyukan oleh Allah dengan maksud agar ditaati sebagai respons terhadap cinta kasih Allah yang telah dialami dan dirasakan oleh orang Israel, jadi bukan merupakan suatu paksaan. Uniknya, titah pertama langsung melarang Israel untuk tidak ada ilah lain di hadapan-Nya karena titah ini sebagai persiapan iman bagi Israel tatkala mereka hidup di tengah bangsa kafir pada waktu itu dan di kemudian hari. Titah ini juga merupakan pendahuluan/presuposisi bagi titah-titah selanjutnya yang berisi kaitan dengan sesama manusia (titah kelima sampai dengan kesepuluh). Ketika kita tidak mengerti siapakah Allah yang kita sembah dan TIDAK boleh ada ilah lain di hadapan-Nya, maka kita pun tidak akan mengerti relasi manusia dengan sesamanya, entah itu dengan otoritas turunan (dari Allah) di atas kita maupun yang sederajat dengan kita, karena sumber otoritas berasal dari Allah.




ALLAH VS “ILAH-ILAH” LAIN
Jika sumber otoritas adalah Allah, benarkah orang Kristen hari-hari ini menjadikan Allah sebagai Allah yang harus disembah? Fakta membuktikan banyak orang Kristen hari-hari ini rajin menghadiri kebaktian di gereja, namun mereka sebenarnya tidak menTuhankan Kristus, tetapi memiliki ilah-ilah lain di luar Allah sejati. Apa itu ilah lain? Sering kali kita mengira bahwa patung itu wujud ilah lain. BUKAN! Itu hanya sebagian kecil. Ilah lain lebih dari sekadar patung. Dr. Martin Luther pernah mengatakan bahwa ilah lain adalah sesuatu yang membuat diri kita terpikat dan terikat dengannya. Dengan kata lain, ilah lain bisa berupa kesenangan, kepandaian, kehebatan, dll yang kita banggakan lebih dari Allah. Ilah-ilah ini bisa dibedakan menjadi dua: ilah mati dan ilah hidup.
1. Ilah Mati
Ilah lain wujud pertama adalah ilah yang merupakan sesuatu yang mati yang mengikat hidup banyak orang Kristen. Ilah-ilah ini meliputi:
Pertama, uang. Duit merupakan ilah tertinggi dalam kehidupan banyak orang Kristen. Demi uang, orang Kristen rela mengurangi jam kebaktian gereja (belum ibadah selesai, sudah pulang duluan) demi mengerjakan sesuatu yang berduit. Tidak jarang orang Kristen yang siap meninggalkan imannya demi uang. Demi uang, mantan pebisnis yang menjadi pemimpin gereja berani membentuk dan mendirikan gereja lalu berkhotbah dengan tidak bertanggungjawab demi mengeruk uang persepuluhan dari jemaat. Demi uang, orangtua “Kristen” yang seharusnya mendidik anak-anaknya untuk takut akan Tuhan, malahan mendidik anak-anaknya untuk melakukan segala sesuatu yang “menghasilkan”.

Kedua, tradisi. Selain duit, tradisi juga bisa menjadi ilah tatkala tradisi ditekankan begitu rupa melebihi apa yang Tuhan inginkan. Demi tradisi budaya tertentu, orang Kristen dari suku tertentu dilarang menikah dengan orang Kristen dari suku yang lain (meskipun harus dipertimbangkan juga perbedaan suku; namun ini bukan hal mutlak). Demi tradisi budaya tertentu, banyak orang Kristen rela membungkukkan diri di depan foto orang yang sudah meninggal dengan dalih “menghormati.” Menghormati koq ditunjukkan dengan membungkukkan diri? Demi tradisi budaya tertentu, orang Kristen dari suku yang sama sekalipun dilarang menikah dengan alasan konyol: shionya jiong!

Ketiga, muka. Ilah ketiga dalam diri banyak orang Kristen hari-hari ini adalah MUKA alias jaga muka atau jaga gengsi. Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa muka banyak orang Kristen ingin terus dielus-elus. Demi muka, banyak orang Kristen enggan ditegur, karena teguran membuat mukanya tercoreng. Demi muka, mereka enggan bertobat karena bertobat berarti meninggalkan “muka”nya yang lama dan menggantikannya dengan “muka” yang baru. Demi muka, karena tidak mau ditegur dan bertobat, banyak orang Kristen gemar mencari gereja yang menyenangkan telinga mereka (bdk. 2Tim. 4:3-4). Demi muka, beberapa orang Kristen menjadi seorang yang bermuka dua, kelihatan baik di depan banyak orang, selalu memuji banyak orang, namun jika orang tersebut sudah pergi, orang yang bermuka dua tersebut menjelek-jelekkan mereka.

Keempat, cuek. Karena muka telah menjadi ilahnya, maka banyak orang Kristen akan menjadikan mukanya tetap bersih dengan cuek terhadap segala sesuatu yang berbeda dari pendiriannya. Mereka cuek dengan kebenaran. Yang mereka pegang adalah apa yang mereka anggap sendiri benar. Mereka merayakan kebenaran subyektif dan menghina kebenaran obyektif (Alkitab). Yang penting bagi mereka adalah mereka mengalami dan tidak peduli apakah pengalaman yang dialaminya itu sesuai dengan Alkitab atau tidak. Selain itu, cuek-isme ditandai dengan beberapa orang Kristen (bahkan beberapa pemimpin gereja) yang berani mengatakan bahwa semua agama itu sama saja yang sama-sama menuju ke satu “Tuhan” (ada miripnya dengan ide Monisme dalam Gerakan Zaman Baru). Pernyataan ini tentu tidak keluar dari penyelidikan tuntas akan semua agama, namun berasal dari kesimpulan gegabah dari kecuekan. Beberapa kali saya menjumpai tipe orang Kristen seperti ini ketika saya mencoba menegur ajaran yang selama ini ia imani.

Kelima, waktu luang. Waktu luang bisa menjadi ilah dalam hidup kita tatkala kita menjadikan waktu luang itu segala-galanya. Waktu luang tersebut bisa berupa: hobi, jadwal rutin, dll. Olahraga badminton merupakan refreshing dalam hidup manusia, namun refreshing ini bisa menjadi ilah tatkala refreshing tidak lagi menjadi refreshing. Misalnya, jika ada acara pembinaan iman, saya menjumpai beberapa orang Kristen sibuk justru dengan refreshingnya bermain badminton. Ia tidak rela jadwal rutin main badminton diganti atau ditiadakan demi mengikuti pembinaan iman atau bersekutu dengan orang Kristen lain. Selain itu, menonton TV pun bisa menjadi ilah ketika waktu menonton TV lebih besar porsinya dari waktu lain terutama waktu bersekutu dengan Tuhan. Demi melihat sinetron berseri atau reality show tertentu, beberapa orang Kristen malas pergi ke gereja.

Keenam, barang-barang tertentu. Selain waktu luang, barang-barang tertentu yang kita sukai ternyata bisa menjadi ilah dalam hidup kita. Mulai dari baju, aksesoris, sampai BlackBerry (BB), dll bisa menjadi berhala. Buktinya, ketika ada midnight sale dengan diskon besar untuk baju-baju terbaru, tidak jarang cewek Kristen rela berjubel dan tidak telat semenit pun, namun sebaliknya kalau disuruh ke gereja, mereka dengan mudahnya terlambat dengan segudang alasan, misalnya: jalanan macet, dll. BlackBerry yang dirancang untuk mempermudah komunikasi di dalam berbisnis telah menjadi gadget gengsi, seolah-olah tidak memiliki BB dianggap jadul alias kuno. Bahkan demi BB, banyak orang Kristen tidak ada waktu lagi untuk membaca Alkitab, membaca buku, berdoa, dll.


2. Ilah Hidup
Ilah kedua ini adalah ilah yang merupakan sesuatu yang hidup, yaitu manusia.
Pertama, orangtua. Karena tradisi merupakan ilah mati yang bisa mengikat manusia, maka kaitannya adalah orangtua pun juga bisa merupakan ilah hidup yang bisa mengikat manusia khususnya anak-anaknya. Ada suatu fakta, orangtua perempuan (ibu) berasal dari sebuah gereja Injili Tionghoa di Surabaya (yang kemudian tidak lagi ke gereja karena ditipu oleh seorang majelis gereja—bisa dilihat iman macam apa yang dimiliki oleh si perempuan ini) mengindoktrinasi anak-anaknya dari kecil untuk mengikuti apa yang dikehendaki si orangtua dengan meneruskan usaha orangtuanya. Dengan kata lain, demi orangtua, anak harus mengikuti apa kemauan mereka meskipun itu tidak sesuai dengan kehendak dan panggilan khusus Allah dalam hidup si anak. Kredonya: segala sesuatu adalah dari orangtua, oleh orangtua, dan untuk orangtua; bagi orangtua kemuliaan sampai selama-lamanya (bdk. Rm. 11:36).

Kedua, pasangan hidup. Pasangan hidup (bisa berarti pacar atau istri/suami) seharusnya menjadi seseorang yang melengkapi kita di dalam mengarungi kehidupan sehari-hari kita, namun tidak jarang justru pasangan hidup menjadi ilah kita tatkala kita menjadikan pasangan hidup tersebut segala-galanya, bahkan tanpanya, kita akan mati. Dari konsep konyol ini, muncullah pernyataan puitis yang tidak logis, seperti: “Cinta itu tak harus memiliki”, “cinta itu buta”, dll dan herannya pernyataan ini bisa diimani oleh seorang anak sulung dari seorang majelis gereja! Demi pasangan hidup pula, seorang Kristen bisa dengan mudahnya berkompromi iman dan akhirnya meninggalkan iman Kristennya. Dari selebritis/artis sampai orang awam, gejala ini sudah terlalu banyak terjadi.

Ketiga, selebritis/artis atau tokoh favorit. Selebritis/artis atau tokoh favorit pun bisa menjadi ilah tatkala kita menggandrungi si artis sedemikian rupa sampai-sampai lupa daratan. Misalnya, karena menggandrungi si Brandon di Indonesia Mencari Bakat (IMB), banyak orang (Kristen) rela menghabiskan pulsa demi mendukung tokoh favoritnya. Karena menggandrungi Batman, seorang anak kecil dibelikan baju bergambar Batman (ada “sayap”nya) oleh orangtuanya. Karena menggandrungi film anak-anak Upin Ipin, boneka Upin Ipin dan bahkan bahasanya ditiru. Karena menggandrungi F4 dari Taiwan, banyak anak muda dulu ingin rambutnya dipotong seperti para personel F4. Namun masih adakah anak-anak dan orang-orang Kristen yang meneladani ajaran-ajaran dan tokoh-tokoh Alkitab? Saya jarang menemukannya.




BERTOBAT: MEMBUANG “ILAH-ILAH” LAIN DAN KEMBALI KEPADA ALLAH SEJATI!
Setelah mengamati 9 ilah lain dalam hidup banyak orang Kristen, bagaimana reaksi kita? Firman Tuhan di dalam Keluaran 20:3 mengingatkan kita kembali agar kita jangan ada ilah lain di hadapan-Nya. Saatnya kita bertobat dari kepemilikan dan keterikatan kita akan 9 ilah lain di atas. Menurut Rev. Joshua E. Harris, bertobat adalah turn away from sins and turn back to God (menolak/memalingkan diri dari dosa dan kembali kepada Allah). Bagi saya, bertobat berarti menolak ilah-ilah lain (pseudo-gods: ilah-ilah palsu) dan kembali kepada Allah sejati. Pertobatan kita dimulai dari:
Pertama, peka terhadap Roh Kudus yang mencerahkan hati dan pikiran kita akan kebenaran firman-Nya. Pertobatan terjadi bukan karena aksi kita, tetapi karena reaksi kita (atas anugerah-Nya) terhadap aksi Roh Kudus yang pertama kali melahirbarukan kita dengan mencerahkan dan membukakan hati dan pikiran akan kebenaran firman-Nya akan adanya ilah-ilah lain dan kesalahannya yang dulu kita miliki dan pegang kuat-kuat.

Kedua, peka terhadap Roh Kudus menggunakan media khotbah dan persekutuan untuk menegur kita. Selain firman Tuhan, Roh Kudus dapat menggunakan media khotbah/penyampaian berita firman Tuhan yang murni untuk menegur kita yang memiliki ilah-ilah lain di dalam hidup kita. Khotbah yang murni dan beres adalah khotbah yang berpusat kepada Kristus dan berdasarkan Alkitab. Khotbah inilah yang mampu dan layak mengoreksi iman, kerohanian, dan kehidupan kita. Selain khotbah, Roh Kudus dapat menggunakan sarana orang percaya untuk menegur dan mengingatkan kita akan bahaya memiliki ilah-ilah lain dan memimpin kita untuk kembali kepada Alkitab!

Ketiga, peka terhadap Roh Kudus yang memimpin kita untuk berkomitmen membuang ilah-ilah lain dan kembali kepada Allah. Setelah melalui firman-Nya, khotbah, dan persekutuan orang percaya, maka Roh Kudus akan memimpin kita untuk mengambil komitmen yang tegas dan kuat untuk membuang ilah-ilah lain dan kembali kepada Allah! Roh Kudus memimpin kita di dalam proses, sehingga makin lama kita menjumpai bahwa pimpinan Roh Kudus makin jelas mengarahkan kita untuk percaya kepada Allah dan membuang ilah-ilah lain.

Keempat, peka terhadap Roh Kudus yang memimpin kita bijak dalam bersikap. Setelah memimpin kita membuang ilah-ilah lain dan kembali kepada Allah, Roh Kudus yang sama memimpin kita untuk bersikap bijak. Artinya, meskipun kesembilan hal yang bisa menjadi ilah kita itu salah dan melawan Allah, itu TIDAK berarti mayoritas dari kesembilan hal tersebut TIDAK penting. Kita perlu memiliki uang, menghargai tradisi, mempergunakan waktu luang, memiliki dan menggunakan barang tertentu, menghormati orangtua, menyayangi pasangan hidup, dan menghargai selebritis, namun itu TIDAK berarti kita menjadikan kesemuanya itu sebagai ilah yang menggantikan posisi Allah di dalam hidup kita.


Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita peka akan ilah-ilah lain di dalam hidup kita sebagai orang Kristen? Relakah kita ditegur oleh Roh Kudus untuk membuang ilah-ilah lain dan kembali kepada Allah sejati? Relakah kita juga dipimpin-Nya untuk tetap menghargai apa yang patut dihargai dalam batas-batas kewajaran di bawah otoritas Allah dan firman-Nya, Alkitab? Biarlah Roh Kudus memimpin komitmen yang telah, sedang, dan akan kita buat demi hormat dan kemuliaan nama-Nya. Amin. Soli DEO Gloria.

Resensi Buku-104: HARI-HARI TERAKHIR YESUS: Apa yang Sesungguhnya Terjadi? (Prof. Craig A. Evans, Ph.D., D.Habil. dan Bishop Dr. N. T. Wright, D.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
HARI-HARI TERAKHIR YESUS:
Apa yang Sesungguhnya Terjadi?


oleh:
Prof. Craig Alan Evans, Ph.D., D.Habil.
dan
Bishop Dr. Nicholas Thomas (N. T.) Wright, D.Phil., D.D.

Editor: Troy A. Miller, Ph.D.

Penerbit: Literatur Perkantas, 2008

Penerjemah: Ev. Paul Santoso Hidayat, M.Th.





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Iman Kristen adalah iman yang unik karena berpusat kepada Kristus dan karya-Nya, khususnya kematian dan kebangkitan-Nya. Dua hal ini menjadi inti Kekristenan. Jika Kristus tidak mati dan bangkit, maka iman Kristen menjadi mati. Inilah yang menjadi senjata iblis untuk meruntuhkan Kekristenan pelan namun pasti. Dari banyak theolog, ilmuwan, novelis, dll bersama-sama ingin menghancurkan Kekristenan, khususnya tentang kematian dan kebangkitan Kristus. Fenomena yang telah dan sedang terjadi adalah munculnya “injil” Thomas (dan “injil-injil” Gnostik lainnya), novel dan film The Da Vinci Code, buku Holy Blood, Holy Grail, dll. Benarkah Kristus mati disalib? Bukankah menurut “injil” palsu yang dipercaya oleh orang yang beragama tertentu mengatakan bahwa yang disalib itu Yudas Iskariot, bukan Yesus? Bagaimana dengan penguburan Tuhan Yesus? Benarkah Ia dikubur? Bagaimana dengan kebangkitan Kristus? Benarkah Ia bangkit? Ataukah Ia hanya mati suri, kemudian bangun kembali? Ataukah kuburan-Nya dicuri oleh para murid? Kesemua pertanyaan ini telah dijawab dengan jelas, tegas, namun sederhana dalam buku Hari-hari Terakhir Yesus yang diedit oleh Troy A. Miller, Ph.D. dalam ceramah yang disampaikan oleh dua profesor Biblika, yaitu: Prof. Craig Alan Evans, Ph.D., D.Habil. dan Bishop Dr. Nicholas Thomas (N. T.) Wright, D.Phil., D.D. Dr. Evans membahas tentang fakta sejarah tentang kematian Kristus dan penguburan-Nya dan Dr. N. T. Wright membahas tentang fakta sejarah tentang kebangkitan Kristus. Dari pembuktian-pembuktian ini, iman kita makin dikuatkan dan kita disadarkan bahwa iman Kristen bukan iman buta, tetapi iman yang didasarkan pada fakta sejarah (meskipun TIDAK berarti kita beriman setelah kita mengerti fakta sejarah.)





Profil Dr. Craig A. Evans, Dr. N. T. Wright, dan Dr. Troy A. Miller:
Prof. Craig Alan Evans, Ph.D., D.Habil. adalah Payzant Distinguished Professor of New Testament dan Direktur dari graduate program di Acadia Divinity College in Wolfville, Nova Scotia. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) dalam bidang Sejarah dan Filsafat di Claremont McKenna College; Master of Divinity (M.Div.) di Western Baptist Seminary, Portland, Oregon; Master of Arts (M.A.) dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam bidang Studi Biblika di Claremont Graduate University. Beliau dianugerahi gelar D.Habil. oleh the Karoli Gaspard Reformed University di Budapest. Website beliau: http://www.craigaevans.com/

Bishop Dr. Nicholas Thomas (N. T.) Wright, D.Phil., D.D. yang lahir pada tanggal 1 Desember 1948 di Morpeth, Northumberland, Inggris adalah Bishop di Durham, Inggris, anggota dari International Anglican Theological and Doctrinal Commission, dan Fellow di Institute for Christian Studies, Toronto. Beliau menyelesaikan semua studinya di Exeter College (dari 1975, Merton College), University of Oxford, U.K. dan meraih gelar: B.A. dalam bidang Literae Humaniores, B.A. dalam bidang Theologi, M.A., Doctor of Philosophy (D.Phil.), dan Doctor of Divinity (D.D.). Beliau dianugerahi gelar D.D. dari: Aberdeen University (2001), Nashotah House (2006), Wycliffe College di Toronto (2006), Durham University (2007), John Leland Center for Theological Studies, Washington DC (2008), dan St. Andrews University (2009). Beliau juga mendapat Honorary Fellow dari Downing College, Cambridge (2003) dan Merton College, Oxford (2004). Selain itu, beliau juga dianugerahi gelar Doctor of Humane Letters (L.H.D.) dari Gordon College, Massachusetts, U.S.A. pada tahun 2003. Website beliau: www.ntwrightpage.com

Prof. Troy A. Miller, Ph.D. yang menjadi editor buku aslinya adalah seorang Associate Professor of Bible and Theology di Crichton College, Memphis, Tennessee, U.S.A. Beliau menyelesaikan studi B.A. di Palm Beach Atlantic College; M.Div. di Southern Baptist Theological Seminary; dan Ph.D. di University of Edinburgh.