14 December 2008

Resensi Buku-58: MENDAPATKAN-MU DALAM KEHILANGANKU (Pdt. Yohan Candawasa, S.Th.)

...Dapatkan segera...
Buku
MENDAPATKAN-MU DALAM KEHILANGANKU

oleh: Pdt. Yohan Candawasa, S.Th.

Penerbit: Mitra Pustaka dan Unveilin GLORY, Bandung, 2006





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Hidup manusia tidak pernah terlepas dari penderitaan atau kehilangan. Sebagai respon atas kehilangan itu, ada (banyak) manusia yang hanyut oleh kehilangan tersebut, lalu menjadi kecewa, sedih, dan bahkan menghujat Tuhan. Tidak terkecuali, ada orang Kristen yang bereaksi seperti demikian. Mengapa orang Kristen bisa menghujat Tuhan ketika penderitaan mengancam? Karena banyak dari mereka diajar dengan ajaran yang tidak bertanggungjawab, yaitu menjadi Kristen pasti sukses, kaya, berhasil, dan Tuhan pasti mengabulkan apa yang kita minta. Lalu, konsep ini diidentikkan dengan konsep “Alkitab” yang mereka mengerti sendiri yaitu Allah itu Kasih, maka Ia tidak membiarkan anak-anak-Nya mengalami kesusahan. Benarkah konsep ini? Buku reflektif karya Pdt. Yohan Candawasa ini mengingatkan kita bahwa di dalam keterhilangan yang dialami umat Tuhan, di situlah mereka mendapatkan Allah. Dengan bahasa yang mudah dimengerti digabungkan dengan eksposisi singkat akan nats Alkitab, Pdt. Yohan Candawasa mulai mengajar kita dengan dasar yaitu Kasih Allah, lalu dilanjutkan dengan menjelaskan kepada kita tentang Kelegaan Ada Di Mana? Kemudian, beliau menjelaskan tentang konsep Kehilangan, Allah Tak Terselami di mana kehendak-Nya berbeda dengan bahkan jauh melampaui kehendak kita, Kesenyapan Allah yang tidak berarti Allah cuek dengan umat-Nya. Setelah memaknai kehilangan dan campur tangan Allah di dalamnya, beliau mengajak kita untuk menjalankan Hidup Penuh Syukur, kemudian kita mulai Melihat Seperti Allah Melihat, sehingga kita tidak terjebak oleh situasi sekeliling kita (penderitaan, kehilangan, kesusahan, dll). Dengan mengerti dan melihat seperti Allah melihat, maka pada akhirnya, kita diajar untuk mengerti bahwa Susah itu Ada Gunanya, bukan seperti ajaran dunia bahwa susah itu tidak ada gunanya.

Sekadar sharing pribadi, ketika membaca buku ini di setiap bab, Tuhan mencerahkan hati dan pikiran saya melalui kumpulan khotbah hamba-Nya, Pdt. Yohan Candawasa ini. Dalam buku ini, Tuhan mengajar saya banyak hal baik melalui uraian beliau maupun ilustrasi yang beliau paparkan. Itulah yang saya sukai ketika saya membaca buku-buku hasil kumpulan khotbah Pdt. Yohan Candawasa. Selain pemaparan eksposisi singkat, beliau menajamkan dan mengajar dengan cerita-cerita dan ilustrasi-ilustrasi yang menyentuh hati. Berarti, ada penggabungan antara doktrin yang sehat dan implikasinya yang menyentuh hati baik melalui cerita maupun ilustrasi. Buku ini adalah buku kedua dari Pdt. Yohan Candawasa yang saya baca. Buku pertama yang saya baca: Merupa Hidup Dalam Rupa-Nya. Biarlah buku Mendapatkan-Mu Dalam Kehilanganku dari hamba-Nya ini menyentuh hati kita, mengubah paradigma kita tentang penderitaan, dan mengarahkan kita untuk tetap melihat rencana dan kehendak Allah di balik setiap penderitaan kita. Soli Deo Gloria.






Profil Pdt. Yohan Candawasa:
Pdt. Yohan Candawasa, S.Th. dilahirkan pada tanggal 11 Maret 1960. Selulus SMA, beliau melanjutkan studi di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang, sebagai jawaban atas panggilan Tuhan baginya.
Beliau mendalami studi Biblika dan Eklesiologi yang kemudian dituangkan dalam skripsinya.
Kerinduannya untuk membina jemaat Tuhan dinyatakan selama pelayanan di Gereja Kristen Abdiel Elyon, Surabaya (1985-1987) dan juga Gereja Kristen Immanuel Bandung (1988-1996). Selama pelayanan tersebut, beliau berkesempatan mengunjungi RRC dalam rangka perjalanan misi. Dalam kunjungan tersebut, beliau memperoleh beban pelayanan dari Tuhan untuk menggumuli penginjilan di RRC.
Beliau menikah dengan Stephanie, dan telah dikaruniai seorang putra bernama Yeiel Candawasa.
Tahun 1996-1997 beliau melayani sebagai Gembala Sidang di Mimbar Reformed Injili di Taipei. Kemudia tahun 1998-1999 beliau melayani di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Granada Jakarta.
Mulai tahun 2000 beliau melayani di CCM (Care for China Ministry). Selain itu, beliau juga mengajar di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta.

Roma 12:3-8: IBADAH SEJATI-3: Karunia-karunia Allah yang Saling Melengkapi

Seri Eksposisi Surat Roma :
Aplikasi Doktrin-3


Ibadah Sejati-3: Karunia-karunia Allah yang Saling Melengkapi

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 12:3-8.


Setelah menjelaskan bahwa kita tidak boleh serupa dengan dunia dan kita harus mengubah pola pikir kita, maka di ayat berikutnya, Paulus menjelaskan langkah awal di dalam merombak pola pikir kita yaitu mempertanggungjawabkan setiap karunia yang Allah berikan kepada kita untuk kita pergunakan memuliakan-Nya.

Langkah awal tersebut dimulai dengan pengajaran Paulus bahwa segala sesuatu terjadi melalui anugerah Allah di dalam karunia iman. Di ayat 3, Paulus mengatakan, “Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” Di ayat ini, Paulus mengajarkan bahwa karena Allah telah memberikan anugerah-Nya kepadanya, maka ia menasihati jemaat Roma agar mereka tidak mengukur diri sendiri terlalu tinggi, tetapi mengukur diri dengan ukuran yang tepat sesuai dengan iman yang dianugerahkan Allah. Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari di dalam ayat ini:
Pertama, tidak menganggap diri sendiri tinggi. Pernyataan “memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan” di dalam bahasa Yunani dapat diterjemahkan, “menganggap diri melebihi (apa) yang patut untuk menganggap (nya)” (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 862-863). Di titik pertama, sebelum membicarakan karunia Allah, Paulus membicarakan bahwa semua terjadi melalui anugerah Allah di dalam karunia iman. Ketika kita menyadari bahwa segala sesuatu terjadi melalui anugerah Allah di dalam karunia iman, maka hal pertama yang patut kita sadari adalah jangan pernah menganggap diri atau mengukur kita lebih tinggi daripada seharusnya. Mengapa? Karena kita adalah manusia berdosa yang telah ditebus oleh Kristus, sudah seharusnya kita bergantung total kepada Allah di dalam hidup kita. Bagaimana kita bisa tidak menganggap diri sendiri tinggi/hebat/pintar/dll? Kita tidak menganggap diri dengan terus berserah total kepada Allah. Ketika kita terus berserah kepada-Nya, kita tahu bahwa tanpa Dia kita tidak bisa berbuat apa-apa. Konsep tidak menganggap diri sendiri tinggi dan berserah kepada Allah telah diajarkan sejak Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Di dalam Amsal 3:5-8, Tuhan melalui Raja Salomo mengajarkan, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan; itulah yang akan menyembuhkan tubuhmu dan menyegarkan tulang-tulangmu.” Kalau kita memerhatikan, penulis Amsal adalah Salomo, seorang raja yang bijaksana, tetapi di dalam kebijaksanaannya, ia tetap mengaku bahwa yang terpenting bukanlah kehebatan atau kepandaian diri, tetapi percaya di dalam Tuhan (trust in the Lord) dengan seluruh hati kita. Di dalam percaya di dalam Tuhan, Salomo membagikan beberapa pengertian, yaitu: pertama, percaya di dalam Tuhan berarti tidak mengandalkan pengertian sendiri. Ketika seseorang memercayakan hidupnya di dalam dan kepada Tuhan, di saat yang sama, ia tidak akan memegahkan pengertiannya sendiri. Mengapa? Karena ketika kita memercayakan hidup kita kepada dan di dalam Dia, kita tahu bahwa hanya Dia sumber pengharapan kita yang layak disandari, sedangkan manusia adalah makhluk ciptaan yang berdosa yang tidak layak menjadi sumber pengharapan. Biasanya seseorang baru mau menyandarkan hidupnya kepada Tuhan dan tidak bersandar kepada pengertian sendiri ketika ia menemui jalan buntu atau sudah merasa pintar namun hidupnya hampa. Di kala susah, putus asa, dan kosong di dalam hidup, manusia baru sadar keterbatasan diri dan kembali kepada Tuhan. Jangan biarkan kita merasakan kekosongan hidup baru mencari Tuhan, tetapi biarkan sejak saat ini, kita terus berserah total kepada Allah dan tidak pernah bersandar kepada pengertian diri sendiri. Kedua, percaya di dalam Tuhan berarti mengakui Dia dalam segala laku kita. Orang yang tidak menganggap diri sendiri tinggi adalah orang yang percaya di dalam Tuhan, di mana dia akan selalu terus mengakui Dia dalam segala lakunya. Jangan pernah katakan bahwa kita percaya di dalam Tuhan jika kita tidak mau mengakui-Nya di dalam segala laku kita! Percaya dikaitkan dengan mengakui. Seorang yang memercayakan hidup kepada Tuhan adalah seorang yang menaruh pengharapan di dalam Dia dan otomatis orang tersebut pasti mengakui Dia sebagai satu-satunya Sumber Pengharapan di dalam segala lakunya. Tanda seseorang tidak lagi menganggap diri sendiri tinggi adalah ketika seseorang mau memercayakan diri kepada dan di dalam Tuhan sekaligus mengakui Dia bahkan di hadapan semua orang. Ketiga, orang yang percaya di dalam Tuhan adalah orang yang tidak menganggap diri sendiri bijak. Orang yang tidak menganggap diri sendiri tinggi di sini juga berarti orang yang tidak menganggap diri sendiri bijak. Artinya, orang ini setelah memercayakan hidup kepada Tuhan dan mengakui Dia dalam segala lakunya, maka secara otomatis di dalam proses, ia tidak menganggap diri sendiri bijak, mengapa? Karena kebijakan sendiri hanya ada di dalam diri Allah yang Mahabijak, sehingga kebijakannya berusaha disesuaikan dengan kebijakan-Nya. Keempat, orang yang percaya di dalam Tuhan adalah orang yang takut akan Tuhan sekaligus menjauhi kejahatan. Orang yang sudah percaya di dalam Tuhan, mengakui Dia dalam segala lakunya, dan tidak menganggap diri sendiri bijak adalah orang yang akhirnya kembali takut akan Tuhan sekaligus membenci kejahatan. Di dalam keempat poin, Salomo mengaitkan lima prinsip penting di dalam relasi percaya di dalam Tuhan dengan tidak bersandar kepada pengertian sendiri: percaya à pengertian kita dikuduskan (jangan bersandar kepada pengertian sendiri) à pengakuan (akuilah Dia dalam segala laku kita) à kebijakan yang disesuaikan dengan kebijakan Tuhan (jangan menganggap diri bijak) à takut akan Tuhan. Di dalam iman, kita mengerti: kekudusan pikiran, kekudusan pengakuan kita di dalam hidup, kekudusan kebijakan kita, dan kekudusan kita untuk takut akan Tuhan.
Di dalam Perjanjian Baru, penulis yang sama dengan penulis Surat Roma, yaitu, Paulus memaparkan di dalam suratnya yang lain mengatakan, “Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu… Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar. Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah. Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang, yaitu hikmat yang bukan dari dunia ini, dan yang bukan dari penguasa-penguasa dunia ini, yaitu penguasa-penguasa yang akan ditiadakan. Tetapi yang kami beritakan ialah hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia, yang sebelum dunia dijadikan, telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita.” (1Kor. 2:1, 3-7) Di Surat Korintus, ia mengatakan bahwa ia memberitakan firman Allah bukan dengan hikmat manusia, tetapi dengan hikmat Allah. Di sini, Paulus sadar bahwa bukan kemampuan berkhotbah atau berpidatonya yang bisa menarik jemaat kepada Tuhan, tetapi karena kuasa dan hikmat Allah. Di sini, Paulus mengajar kita agar kita tidak menganggap diri sendiri tinggi/bijak, tetapi kembali melihat Allah dan anugerah-Nya di dalamnya, sehingga kita makin bersyukur kepada-Nya, bukan makin menyombongkan diri.
Di dalam pelayanan dan kehidupan kita sehari-hari, apakah kita masih menganggap diri bisa mengerjakan segala sesuatu tanpa bantuan orang lain? Apakah kita membantu orang lain (bahkan Tuhan) dengan praanggapan bahwa kita ini hebat dan tanpa kita, orang lain (bahkan Tuhan) tidak bisa berbuat apa-apa? Mari kita mengintrospeksi diri. Jangan pernah merasa diri hebat ketika kita melayani Tuhan atau membantu orang lain. Selidikilah motivasi kita melayani dan membantu orang sebelum kita melayani dan membantu orang lain. Tuhan ingin agar kita tidak menganggap dan mengukur diri sendiri lebih tinggi dari ukuran seharusnya. Ketidakcocokan dengan ukuran kita sebenarnya (yang dianugerahkan Allah) itulah DOSA (dalam bahasa Yunani, hamartia berarti meleset dari sasaran).

Kedua, berpikir sehat sesuai dengan iman yang dikaruniakan Allah. Di sisi positif, Paulus menasihatkan jemaat Roma (dan juga kita) agar kita memakai pikiran kita dan mengukur diri kita dengan pikiran yang sehat sesuai dengan iman. Pernyataan, “hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” di dalam terjemahan LAI kurang jelas. King James Version (KJV) menerjemahkannya, “to think soberly, according as God hath dealt to every man the measure of faith.” “Soberly” berarti dengan sungguh-sungguh/sadar. Analytical-Literal Translation (ALT) menerjemahkannya dengan kata “sensibly” (=dengan masuk akal/sensibel). Lalu, 1965 Bible in Basic English (BBE) menerjemahkannya dengan kata “have wise thoughts” (=pikiran bijaksana). Terjemahan serupa dapat ditemukan di dalam 1898 Young’s Literal Translation (YLT): “to think wisely.” James Murdock New Testament menerjemahkannya, “think with modesty” (=berpikir dengan rendah hati). Modern King James Version (MKJV) menerjemahkannya, “set your mind to be right-minded” (=aturlah pikiranmu agar menjadi pikiran yang benar). Terjemahan Yunani untuk bagian ini bisa diterjemahkan “berpikiran sehat.” (Ibid., hlm. 863) Berbagai terjemahan Alkitab bahasa Inggris dan terjemahan Yunani ini menambah pengertian tentang bagaimana kita bisa berpikir sedemikian rupa. Di sisi negatif di atas kita dinasihati Paulus agar kita tidak menganggap diri pandai/tinggi, sebaliknya di sisi positif ini, kita dinasihati Paulus agar kita berpikir dengan sehat/tepat/rendah hati/bijaksana/sadar/sungguh-sungguh sesuai dengan ukuran iman yang dianugerahkan Allah. Tuhan tidak memerintahkan kita untuk menjadi sombong, tetapi juga tidak memerintahkan kita untuk minder (rendah diri), tetapi Ia menginginkan kita mengukur diri sesuai dengan apa yang dianugerahkan-Nya kepada kita di dalam iman. Tuhan memberikan ukuran iman kepada masing-masing anak-Nya dengan kualitas berbeda. Di dalam ayat ini, Paulus menunjuk kepada karunia iman. Seseorang yang mendapat karunia iman adalah seseorang yang diberikan ketajaman dan kemampuan melihat apa yang Tuhan lihat. Dengan kata lain, karunia iman dikaitkan dengan visi Tuhan. Contoh, George Muller memiliki karunia iman bahwa semua anaknya pada waktu itu akan mendapat makanan meskipun ia diberi tahu bahwa persediaan makanan di dalam asrama yang dikelolanya sudah habis. Dan benarlah, Tuhan mengabulkannya. Karunia iman yang dimilikinya berkaitan dengan visi yang Tuhan singkapkan bagi dia, sehingga meskipun orang lain tidak melihat, tetapi Muller melihat apa yang tidak dilihat orang lain, karena apa? Karena ia memiliki karunia iman, sehingga ia dapat melihat apa yang Tuhan lihat dan singkapkan. Itulah visi. Bagi Pdt. Dr. Stephen Tong, visi BUKANlah ambisi, tetapi visi adalah melihat apa yang Tuhan lihat yang tidak dilihat oleh orang lain. Pdt. Billy Kristanto menambahkan bahwa visi itu selalu ditujukan kepada pribadi lain, seperti visi Tuhan Yesus ditujukan kepada manusia berdosa. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menyadari karunia iman dan visi seperti yang Tuhan singkapkan bagi kita?

Karunia iman dan visi tersebut memimpin dan mengarahkan kita untuk melihat pada keanekaragaman tubuh Kristus sebagai satu gereja yang kudus dan am. Hal ini dijelaskan Paulus di ayat 4-5, “Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain.” Karena Tuhan memberikan karunia iman kepada masing-masing orang berbeda, maka Ia menuntut penggunaan karunia iman itu untuk membangun Tubuh Kristus yang terintegrasi. Membangun tubuh Kristus didasarkan pada pola pikir bahwa tubuh Kristus terdiri dari banyak anggota yang berbeda. Keberbedaan ini ditandai dengan anggapan kita bahwa kita adalah anggota yang seorang terhadap yang lain atau kita adalah anggota satu sama lain. Oleh karena itu, keberbedaan ini menimbulkan adanya saling melengkapi dan membangun di dalamnya. Kita bisa saling melengkapi dan membangun antar sesama anggota hanya di dalam Kristus. Inilah artinya: berbeda, tetapi satu di dalam Kebenaran (unity in diversity in the truth). Ini berarti Kristus adalah kepala tubuh juga sebagai kepala Gereja yang kudus dan am yang mempersatukan seluruh keanekaragaman jemaat/tubuh-Nya. Dengan kata lain, membangun tubuh Kristus mencakup dua poin: keanekaragaman anggota di dalam 1 tubuh Kristus dan semua itu harus mengarah kepada Kristus di dalam segala hal. Lalu, bagaimana cara menerapkan penggunaan karunia iman dan/visi tersebut pada pembangunan tubuh Kristus?

Hal ini dijelaskan Paulus di ayat 6-8 tentang prinsip karunia. Penggunaan karunia iman dan/ visi untuk membangun tubuh Kristus adalah dengan cara mempergunakannya setiap karunia Allah dan panggilan-Nya. Visi baru bisa diwujudnyatakan jika setiap umat Tuhan mempergunakan setiap karunia-Nya untuk saling melengkapi antar tubuh Kristus. Di dalam ayat 6-8, Paulus mendaftarkan 7 macam karunia Allah bagi jemaat-Nya beserta cara melakukannya yang berpusat pada Kristus, yaitu:
Pertama, karunia bernubuat (ay. 6). “Bernubuat” di sini jangan langsung ditafsirkan berhubungan dengan suatu kejadian di masa depan. Bernubuat di sini berarti menyampaikan firman (=berkhotbah/preach the Word). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. menerjemahkan bahasa Yunani untuk karunia bernubuat sebagai “karunia memberi pesan Allah.” (Ibid., hlm. 863) Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “mengabarkan berita dari Allah.” Paulus mengatakan bahwa kalau ada yang memiliki karunia memberitakan Firman, maka kita harus melakukannya sesuai dengan iman kita (ay. 6). Pernyataan “melakukannya sesuai dengan iman kita” bisa disalahmengerti. Oleh karena itu, Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. memberi terjemahan dari bahasa Yunani, “menurut kesesuaian/proporsi ajaran yang diimani.” Ini berarti memberitakan Firman tidak bisa dilepaskan dari ajaran iman orthodoks dari para rasul dan para nabi. Memberitakan Firman di zaman sekarang adalah suatu risiko yang sulit dan besar. Mengapa? Karena pada zaman ini, manusia sulit mendengarkan ajaran yang keras, tegas, bertanggungjawab, setia, dan kembali kepada Alkitab. Sebenarnya, bukan hanya di zaman sekarang ini saja, di zaman para nabi pun, hal serupa terjadi. Setiap orang yang mendapat karunia pemberitaan Firman adalah orang yang paling sulit, karena ia menyampaikan berita dari Allah yang berisi sesuatu yang berbeda dari konsep pikiran manusia berdosa. Di zaman nabi-nabi, tidak sedikit nabi yang dibunuh mati karena berita-berita yang mereka sampaikan tidak cocok dengan konsep orang Israel karena menubuatkan/memberitakan penghukuman dan kesusahan, sebaliknya para “nabi” palsu yang memberitakan ajaran kemakmuran disenangi oleh orang Israel. Di zaman para rasul, Paulus menasihatkan anak rohaninya, Timotius untuk tetap memberitakan Firman di dalam segala situasi meskipun harus menghadapi akan datangnya orang tidak mau lagi mendengarkan ajaran yang sehat, tetapi justru mengumpulkan guru-guru untuk memberikan mereka dongeng (2Tim. 4:2-4). Meskipun sulit, Tuhan tetap menyertai setiap hamba-Nya dengan kuasa Roh Kudus, sehingga mereka mendapatkan kekuatan ketika melakukan tugas pemberitaan Firman. Bagaimana dengan kita? Zaman kita dilanda oleh relativisme dan pragmatisme yang cuek dan anti dengan segala macam otoritas termasuk Allah, masihkah kita dengan tegas dan berani memberitakan Firman? Mari kita mengintrospeksi diri kita masing-masing!

Kedua, karunia diaken (ay. 7a). Terjemahan Yunani yang tepat untuk pernyataan “karunia untuk melayani” di ayat 7 sebenarnya yang tepat adalah, “jabatan diaken.” (Ibid., hlm. 863) Mengapa saya katakan terjemahan LAI ini kurang tepat? Karena karunia untuk melayani di dalam terjemahan LAI bisa ditafsirkan bagi semua orang Kristen yang melayani, padahal dari terjemahan Yunani, kita mengerti bahwa yang dimaksud Paulus adalah jabatan diaken yang melayani. Ini berimplikasi bagi kita yang melayani di gereja sebagai diaken. Paulus mengajar bahwa ketika kita sebagai diaken melayani, biarlah kita melayani. Artinya, di dalam pelayanan gereja, jangan pernah mendua hati. Ketika kita melayani sebagai diaken, layanilah orang lain dengan sungguh-sungguh dan takut akan Tuhan, bukan untuk cari untung di balik jabatan diaken kita. Tuhan tidak mau kita melayani sambil cari untung. Tuhan mau kita melayani dengan hati dan motivasi yang murni di hadapan-Nya.

Ketiga, karunia mengajar (ay. 7b). Ketika seseorang memiliki karunia mengajar, hendaklah ia mengajar. Hari ini, karunia mengajar banyak dilupakan bahkan dihilangkan dari banyak gereja kontemporer, karena banyak dari mereka tidak mempedulikan pengajaran, tetapi lebih mempedulikan karunia fenomenal, seperti bahasa roh, mukjizat, dll. Padahal di Surat Roma, karunia itu tidak disebutkan di dalam konsep ibadah sejati yang bertalian dengan karunia-karunia Allah di dalam jemaat. Jika karunia fenomenal yang mereka tekankan itu sangat penting, maka baik di Surat Roma maupun Korintus, karunia itu disebutkan, tetapi anehnya, di Surat Roma, karunia itu tidak disebutkan, hanya di Surat Korintus, karunia itu disebutkan, itu pun diletakkan di dalam urutan terakhir (1Kor. 12:10). Ini membuktikan semua karunia fenomenal meskipun masih ada sampai sekarang bukanlah hal yang terpenting, karena itu bisa dipalsukan oleh setan! Kembali, ketimbang kita berkutat dengan karunia-karunia fenomenal yang bukan esensial, mari kita kembali melihat pentingnya karunia mengajar. Mengapa karunia mengajar penting? Karena karunia mengajar berkenaan dengan mendidik orang. Mengajar dilakukan setelah kita memberitakan Firman (bdk. Mat. 28:19). Bagi kita yang memiliki karunia mengajar, Tuhan menuntut kita sungguh-sungguh mengajar dengan bertanggungjawab sesuai dengan kebenaran firman Tuhan (Alkitab). Tuntutan Tuhan tersebut disertai dengan ancaman bahwa barangsiapa yang mengajarkan kesesatan, maka ia akan dihukum juga oleh Allah (bdk. Mat. 18:6-10; Yak. 3:1; 1Ptr. 4:17). Oleh karena itu, di dalam mengajar Firman, berusahalah hati-hati dan seteliti mungkin, sehingga dengan demikian kita memuliakan Allah, bersaksi bagi-Nya, dan menghindarkan kita dari murka-Nya atas kita yang berani menyesatkan orang lain (termasuk anak kecil).

Keempat, karunia untuk menasihati (ay. 8a). Menasihati di sini sama artinya dengan mendorong/menghibur. Di dalam jemaat, Tuhan tidak ingin kita semua pandai bertheologi, menguasai segala macam doktrin, tetapi semangat persekutuan kita kosong dan kering. Tuhan ingin kita berdoktrin sehat dan bersekutu. Tanda gereja yang sehat bukan banyaknya doktrin tanpa persekutuan, tetapi doktrin yang kuat ditambah persekutuan yang intim dan sehat. Persekutuan yang sehat ditandai dengan adanya saling menghibur ketika kesusahan dan menasihati. Ketika ada jemaat yang bersalah atau berdosa, hendaklah jemaat lain mengingatkan dan menasihati dengan kasih. Ketika ada jemaat yang kesusahan atau sakit, hendaklah jemaat lain menghibur dan menguatkan sehingga yang lemah iman dapat dikuatkan agar masing-masing jemaat dapat memuliakan Kristus. Biarlah ini bukan menjadi teori saja, tetapi kita praktikkan di dalam hidup kita dan di dalam pelayanan gerejawi kita. Di dalam hal pendidikan pun juga sama. Pdt. Sutjipto Subeno di dalam salah satu kuliahnya tentang pendidikan Kristen membukakan pikiran saya bahwa pendidikan jangan pernah diukur hanya dari sisi akademis saja atau sisi praktika saja (bersosialisasi), tetapi dua-duanya harus seimbang. Pendidikan Kristen yang sehat adalah pendidikan yang seimbang yang memerhatikan aspek kognitif dan praktika.

Kelima, karunia membagi-bagi (ay. 8b). Kalau ada orang yang memiliki karunia membagi-bagi, hendaklah ia membagi-bagi dengan ikhlas. Sekali lagi, konsep kemurnian motivasi dan hati ditekankan Paulus. Di dalam pelayanan membagi-bagi, tidak jarang kita menjumpai praktik korupsi bahkan di dalam gereja Tuhan. Tuhan tidak menginginkan kita asal-asalan membagi berkat kepada orang lain, tetapi Ia menuntut kita tulus ikhlas membagi-bagikan berkat tersebut. Kasus Ananias dan Safira yang mendustai para rasul (=mendustai Allah) di dalam hal pembagian hasil kepada jemaat lain (Kis. 5:1-11) memberi teladan bagi kita pentingnya motivasi yang tulus ikhlas di dalam melayani apalagi pelayanan membagi-bagi berkat. Tuhan tidak menginginkan kita menunjukkan berapa besar kita menyumbang atau memberi kepada orang lain, karena itu tidak penting. Ingatlah, bagi Tuhan, yang terpenting adalah kualitas dan motivasi pemberian kita, bukan kuantitas. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita melakukan pelayanan membagi-bagi berkat itu dengan hati yang tulus ikhlas?

Keenam, karunia memimpin (ay. 8c). Paulus mengajar bahwa kalau ada orang yang memiliki karunia memimpin, hendaklah ia memimpin dengan ketekunan (terjemahan KJV: diligence). Terjemahan Yunani untuk kata “ketekunan” dalam KJV ini adalah “dengan usaha yang sungguh-sungguh.” (Ibid., hlm. 863) Berarti, karunia memimpin harus dilakukan oleh orang yang memiliki karunia ini dengan sungguh-sungguh dan tekun. Mengapa Paulus mengajar hal ini? Paulus sadar bahwa rasul Kristus senior seperti Petrus tidak sanggup memimpin jemaat Tuhan, sehingga ia pernah menegur Petrus sebagai orang munafik (Gal. 2:11-14). Seperti Petrus, banyak pemimpin gereja di abad postmodern ini memimpin dengan tidak sungguh-sungguh, bahkan banyak yang memimpin dengan motivasi ingin mencari uang dan kedudukan terhormat. Tidak sedikit para pemimpin gereja di abad postmodern, seperti Petrus, suka mengompromikan imannya agar bisa diterima oleh orang yang beragama lain. Pemimpin seperti itu masih layakkah disebut pemimpin? Biarlah hamba Tuhan yang dikaruniai oleh Tuhan sebagai pemimpin, ia mempergunakan karunia itu untuk memimpin dengan usaha yang sungguh-sungguh. Memimpin dengan usaha yang sungguh-sungguh berarti memimpin dengan berpegang terus pada prinsip Firman Tuhan, setia dan sabar di dalam segala situasi di dalam proses memimpin. Ingatlah, ketujuh karunia ini bersumber dan berpusat pada Kristus, sehingga setiap karunia yang tidak berpusat pada Kristus dan firman-Nya, karunia itu tidak benar.

Ketujuh, karunia menaruh belas kasihan (ay. 8d). Karunia terakhir di dalam bahasa Yunani diterjemahkan, “menaruh belas kasihan.” (Ibid., hlm. 863). Apa artinya? Geneva Bible Translation Notes dan Adam Clarke Commentary on the Bible menafsirkan pernyataan ini sebagai menaruh belas kasihan kepada orang miskin. Lalu, timbul di benak kita, bagaimana menaruh belas kasihan kepada orang banyak? Apakah dengan memberi uang sebanyak mungkin? TIDAK! Uniknya, Alkitab mengajar bahwa Allah mengasihi orang kecil/miskin, di sisi lain, Ia juga tidak ingin orang kecil terus dibela. Kapan Alkitab mengajar bahwa orang kecil tidak boleh terus dibela? Di dalam Imamat 19:15, Tuhan berfirman, “Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan; janganlah engkau membela orang kecil dengan tidak sewajarnya dan janganlah engkau terpengaruh oleh orang-orang besar, tetapi engkau harus mengadili orang sesamamu dengan kebenaran.” Tuhan tidak ingin karena kita terlalu berbelas kasihan kepada orang kecil, lalu kita membela mati-matian (tidak sewajarnya) orang kecil itu. Tuhan menginginkan keadilan. Jangan karena orang kecil, maka seluruh kepentingan orang lain dikorbankan! Orang kecil meskipun dikasihi Tuhan, tetapi juga harus dididik dengan kebenaran dan keadilan dengan cara memberi mereka pekerjaan agar mereka tidak terus bergantung pada pemberian orang lain tanpa kerja. Tuhan membenci orang malas yang mendapat uang tanpa bekerja! Inilah prinsip kasih dan keadilan kepada orang kecil/miskin. Itulah pelayanan Kristen yang sehat dan seimbang. Bagi kita yang memiliki karunia ini, maukah kita melakukannya?

Melalui perenungan keenam ayat ini, kita diingatkan akan keanekaragaman karunia Allah yang dipergunakan untuk membangun tubuh Kristus. Hari ini, marilah kita mengintrospeksi diri, karunia macam apakah yang Tuhan berikan bagi kita bagi gereja-Nya? Lalu, sadarilah, maukah kita berkomitmen menggunakan karunia itu bagi kemuliaan-Nya di dalam gereja-Nya? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 12:1-15: IMAN DAN HUKUM-2: Kristus Sebagai Hukum yg Hidup (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah : 8 Oktober 2006

Iman & Hukum-2: Kristus sebagai Hukum yang Hidup
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 12:1-15


Pendahuluan
Injil Matius khususnya pasal yang ke-12 membukakan pada kita akan supremasi Kristus; Kristus berotoritas mutlak atas segala sesuatu yang ada di dunia – Dia adalah Tuan dari semua yang dipertuan di dunia. Kristus adalah hukum yang hidup merupakan puncak dari pernyataan-Nya. Sebelumnya kita telah memahami bahwa perdebatan antara Kristus dan orang Yahudi ini bukan sekedar perdebatan tentang hukum Sabat tapi di dalamnya, Tuhan Yesus membukakan tentang perbedaan konsep hukum dunia dengan konsep hukum berdasarkan Firman Tuhan. Salib merupakan puncak dari keadilan dan hukum Tuhan; salib merupakan pertemuan antara keadilan dunia dan hukum Allah dimana pertemuan ini sangatlah kontras. Hal ini seharusnya menjadikan kita semakin memahami arti dari hukum dan keadilan dan bagaimana penerapan hukum yang sejati berdasarkan prinsip Firman Tuhan bukan berdasarkan pengertian dunia berdosa. Konsep keadilan dan hukum yang diajarkan dunia dilepaskan dari kebenaran sejati akibatnya kesejahteraan yang sangat diinginkan manusia itu tidak dapat tercapai. Tanpa keadilan yang sejati, kesejahteraan tidak akan pernah dirasakan oleh manusia. Pertanyaannya adalah keadilan seperti apakah yang dapat membuat hidup manusia sejahtera?
Orang Yahudi sangat ketat menjalankan keadilan dan hukum tapi toh itu tidak membuat hidup mereka bahagia dan sejahtera, hidup mereka justru hidup dalam ketegangan dan tekanan yang luar biasa. Hal ini disebabkan karena mereka salah memahami konsep keadilan dengan benar. Hukum haruslah kembali pada kebenaran sejati dimana kebenaran sejati itu hanya ada dalam satu pribadi, yaitu Kristus Yesus. Kebenaran sejati bukan sekedar teori atau rentetan hukum seperti yang dimengerti oleh dunia. Kristus adalah Sang Kebenaran itu, Ia menjalankan kebenaran dengan sempurna dan hal ini ditegaskan sendiri oleh-Nya: “Akulah jalan, dan kebenaran dan hidup“ (Yoh. 14:6). Dunia tidak suka dengan Kebenaran akibatnya dunia jatuh dalam dua ekstrim besar, yaitu: legalisme dan atinomianisme. Di satu sisi, orang begitu ketat menjalankan semua peraturan hukum yang berlaku, hidupnya tidak ubahnya seperti robot yang berjalan dengan berbagai aturan maka dapatlah dibayangkan, orang demikian ini hidupnya berada dalam ketegangan. Namun di sisi lain, orang yang hidup tanpa aturan hukum, hidupnya sangat liar. Orang menyadari legalisme maupun antinomianisme tidak membuat hidup menjadi lebih baik maka orang berpikir untuk menggabungkan keduanya; manusia ingin bebas tapi manusia juga butuh keadilan dan hukum. Namun toh namanya juga manusia berdosa maka dunia berdosa ingin mengadili orang lain dengan seadil-adilnya tetapi untuk diri sendiri, ia tidak suka dengan segala hal yang berbau aturan atau hukum.
Orang Yahudi sangat meninggikan hukum Sabat karenanya Tuhan Yesus perlu mengubahkan konsep berpikir mereka yang salah dan mengembalikannya pada hukum Taurat. Tuhan Yesus membukakan tentang Daud dan para pengikutnya yang tidak diperbolehkan makan roti sajian kecuali oleh para imam. Para imam yang bekerja pada hari Sabat dan melampaui batasan-batasan yang dibolehkan pada hari Sabat tetapi mereka tidak dianggap berdosa, lalu apa artinya hukum? Bagaimana mengerti Sabat? Tuhan Yesus menegaskan: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah (Mat. 12:7). Orang Farisi beranggapan bahwa orang yang melanggar hukum Sabat dianggap bersalah sedang bagi Tuhan Yesus, orang yang melanggar hukum Sabat tersebut tidaklah bersalah. Jelaslah bahwa perbedaan pandangan ini terletak pada konsep belas kasihan, mercy. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita merelasikan hukum dengan konsep belas kasihan?
Didalam perdebatan tersebut kita mendapati orang Yahudi menegur pada Tuhan Yesus tentang perbuatan para murid-murid-Nya yang memetik dan memakan bulir gandum pada hari Sabat? Sesungguhnya, orang Yahudi biasa melakukan hal tersebut tapi yang membuat mereka tidak dapat menerima perbuatan para murid Kristus adalah kenapa dilakukan pada hari Sabat. Artinya perbuatan memetik dan memakan bulir gandum itu diperbolehkan jika tidak dilakukan pada hari Sabat. Konsep hukum sejati telah dikunci oleh aturan-aturan yang mati akibatnya manusia menjadi mati di bawah aturan yang mati. Esensi hukum lepas dari Kristus sebagai kebenaran sejati. Keadilan dan kebenaran, righteousness tidak boleh dilepaskan dari kebenaran sejati, truth. Manusia tidak suka pada kebenaran sejati, manusia ingin menegakkan keadilan tanpa kebenaran lalu menjadikan hukum keadilan yang disusun oleh manusia. Manusia akhirnya terjebak dalam satu konsep bagaimana melaksanakan hukum berdasarkan jiwa berdosa. Hal inilah yang menyebabkan manusia tidak dapat melihat hukum dengan tepat. Pertanyaannya bagaimana kita melihat mercy sebagai dasar dari motivasi hukum? Dunia sulit melihat hubungan antara hukum keadilan dengan belas kasihan. Bagaimana menegakkan teori keadilan? Atas dasar apa kita menegakkan hukum dan keadilan?
Dunia mengajarkan bahwa hukum dan keadilan haruslah ditegakkan berdasarkan kebutuhan atau keinginan masyarakat. John Rolls menentang keras akan hal ini, ia melihat keadilan telah berubah menjadi alat untuk menekan yang minoritas; keadilan dipakai untuk kepentingan dan golongan tertentu. Di dunia modern ini jarang sekali ada orang yang memperjuangkan keadilan dengan motivasi murni karena memang ingin memperjuangkan hukum. Tidak! Orang biasanya menjadi peduli hukum ketika ia menjadi korban hukum. Hari ini, orang melihat ada orang lain di depan mata menjadi korban kejahatan pun orang tidak akan peduli. Inilah jiwa manusia berdosa. Keadilan yang diperjuangkan adalah keadilan yang dimotivasi dengan egoisme. Jadi, bagaimana mungkin orang dapat memahami belas kasihan dalam hukum? Karena itu, Kristus menegaskan hukum yang dipicu dengan jiwa egoisme akan menghasilkan pukulan balik yang menghancurkan diri sendiri. Dunia seringkali mengajarkan konsep keadilan yang salah, yakni mata ganti mata, gigi ganti gigi; pembalasan haruslah lebih kejam. Manusia telah gagal mengerti esensi hukum, manusia lebih suka mempermainkan hukum: menyatakan keadilan dengan menggunakan perisai keadilan tapi di belakang itu sesungguhnya ketidakadilanlah yang terjadi. Akibatnya perjuangan hukum di tengah dunia ini diperjuangkan dengan semangat egois demi untuk kepentingan diri dan golongan – hukum dibangun di atas jiwa egoisme. Dunia membangun hukum dengan prinsip survival of the fittest, siapa kuat dialah yang menguasai hukum. Tidak ada jiwa belas kasihan dalam hukum dunia.
Untuk mengerti hukum dengan benar maka kita harus kembali pada Firman, Kebenaran sejati, yaitu:
I. Hukum merupakan manifestasi dari hidup
Kekristenan menegakkan hukum karena Kekristenan ingin hidup, kehidupan itulah yang menjadi jiwa dari hukum. Jadi, ketika kita memperjuangkan hukum maka kita harusnya bertanya dalam diri kita: apakah hukum yang sedang kita perjuangkan tersebut membawa orang pada hidup ataukah malah membawa orang pada kebinasaan? Apakah didalamnya ada jiwa belas kasihan? Apakah kita sungguh memperjuangkan itu dengan motivasi murni dan bukannya demi untuk kepentingan pribadi? Hukum harusnya menangisi ketidakadilan, menangisi orang-orang yang telah mengalami kehancuran. Namun di dunia modern, jiwa belas kasihan ini telah hilang, manusia telah kehilangan hati nurani; tidak ada lagi air mata melihat orang sedang dalam kesulitan. Manusia dididik menjadi kejam bahkan lebih kejam dari binatang. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan jiwa Kekristenan, apakah kita mempunyai jiwa yang senantiasa memperjuangkan hukum dan keadilan sesuai yang Tuhan inginkan?
Hukum Taurat ditetapkan oleh Tuhan demi untuk manusia, yakni supaya manusia hidup sejahtera tetapi hukum telah bergeser menjadi sebuah aturan-aturan yang ketat dan tidak mempedulikan hidup. Bayangkan, bagaimana hidup tidak tegang kalau berjalan, mengangkat barang harus di atur, dan masih banyak lagi peraturan yang menjepit hidup manusia. Akibatnya manusia berubah menjadi seorang legalis dan tak ubahnya seperti sebuah robot-robot hidup yang tidak mengerti hidup itu sendiri. Manusia masuk dalam ekstrim yang lain, yakni manusia tidak mau diikat oleh hukum. Manusia pikir, tanpa hukum, hidupnya nikmat. Tidak! Manusia justru masuk dalam kehancuran. Hidup harus ada aturan dan tatanan supaya hidup kita dapat hidup secara benar. Hukum dibuat karena Dia mencintai manusia; Dia berbelas kasihan dan tidak ingin hidup manusia celaka. Cinta dan belas kasihan inilah yang menjadi motivasi hukum. Betapa indah hidup ini kalau setiap orang menjalankan hukum karena belas kasihan dan cinta. Sayangnya, hari ini dunia menjalankan hukum karena motivasi ingin menghukum, ingin balas dendam, semua untuk kepentingan diri. Kekristenan harus kembali pada kebenaran sejati dan kebenaran sejati adalah hidup sejati dan hidup sejati itu kita dapatkan ketika kita berpusat pada Kristus.
Ketika hukum Taurat diberikan, Tuhan ingin supaya hidup dijaga sedemikian rupa di dalam suatu kualitas hidup. Jiwa daripada hukum bukanlah hukum atau keadilan. Tidak! Jiwa daripada hukum adalah kehidupan – hukum haruslah mencapai hidup sejati tapi kalau hukum mulai mendestruksi dan menghancurkan harkat kehidupan maka dapatlah disimpulkan itu bukan hukum sejati. Kristus haruslah menjadi pusat, hukum yang hidup haruslah kembali pada Kebenaran yang hidup, Kebenaran yang berpribadi, the truth in person maka setiap orang yang menerapkan hukum Allah akan mempunyai hidup yang sangat agung.
II. Hukum merupakan manifestasi dari kesucian
“Yang Ku-kehendaki ialah belas kasihan...“ (Mat. 12:7) dalam hal ini Tuhan ingin manusia mencapai suatu kualitas hidup yang indah, jadi hidup bukan sekedar hidup. Tuhan ingin manusia menjadi mahkota ciptaan, crown of creation dengan hidup yang suci, mulia dan agung. Hukum yang sejati tidak menjadikan moral manusia semakin rusak, hukum yang sejati tidak mendegradasi kehidupan manusia menjadi semakin rendah. Tuhan ingin manusia menjadi manusia sejati karena itu dibutuhkan undang-undang dasar, manusia membutuhkan moral, etika dan hidup yang berkualitas. Manusia merupakan puncak ciptaan Tuhan yang dicipta dengan kesucian moral maka harus ada hukum yang menata: tidak boleh mencuri, tidak boleh membunuh, tidak boleh berzinah, dan masih banyak lagi hukum lain yang mengatur hidup manusia dimana didalamnya ada standar etika. Tuhan memberikan hukum supaya manusia mempunyai hidup yang berkualitas. Hukum yang didasari oleh Kebenaran sejati akan membangun moral dan harkat hidup manusia menjadi lebih berkualitas. Salib merupakan tempat pertemuan antara hukum Allah dan hukum dunia. Salib merupakan tempat demonstrasi kerusakan dan kebinasaan manusia dan demonstrasi keadilan Allah, Ia mengutus anak-Nya mati di kayu salib untuk membebaskan manusia berdosa dari jerat dosa. Penebusan Kristus merupakan manifestasi keadilan dan kesucian Allah supaya manusia dapat hidup suci maka untuk mengingat hal ini Tuhan menetapkan sakramen Perjamuan Kudus untuk kita lakukan. Orang yang mempermainkan Perjamuan Kudus akan dikutuk oleh Tuhan sampai pada kematian maka kalau kita menyadari hal ini janganlah kita mempermainkan Perjamuan Kudus. Ketika Kristus ditetapkan oleh Allah sebagai korban tebusan demi untuk memulihkan hubungan manusia dengan Allah yang terputus maka itu merupakan penerapan keadilan Allah dan semua itu didasari oleh rasa belas kasihan. Tuhan ingin manusia yang telah terpuruk itu untuk hidup dalam kesucian – hendaklah kamu kudus karena Tuhan Allahmu kudus adanya. Hal inilah yang Tuhan terapkan ketika ia menjalankan hukum-Nya. Pertanyaannya seberapa jauhkah ketika kita memikirkan tentang hukum dan keadilan, kita juga memikirkan tentang kesucian moral dan kualitas hidup didalamnya ataukah hukum justru menjadi kehancuran moral dan kerusakan etika? Biarlah sebagai orang Kristen kita memancarkan terang Kristus dimanapun kita berada kita harus menerapkan hukum dengan didasari oleh jiwa belas kasih, hukum haruslah membangun moral; ketika hukum ditegakkan didalamnya haruslah memancarkan kesucian dan menjadikan hidup seseorang itu agung dan mulia.
III. Hukum merupakan manifestasi dari cinta kasih
Di tengah dunia ini hukum telah kehilangan salah satu sisi yang harusnya menjadi basis kesetaraan yang bersifat paradoxical, yakni kasih dan keadilan. Hukum haruslah menegakkan cinta kasih dan keadilan secara bersama-sama akan tetapi dunia sulit untuk menjalankan kedua hal ini sebab didalamnya selalu dimotivasi dengan kebencian, balas dendam, dan kemarahan. Perhatikan, cinta kasih dan keadilan tidak dapat dipisahkan; orang yang penuh dengan cinta kasih adalah orang yang harus menjalankan keadilan. Memang, bukanlah hal yang mudah bagi kita untuk menjalankan cinta kasih dan keadilan dengan tepat secara bersamaan. Alkitab mengajarkan untuk mendidik seorang anak, kita harus menggunakan rotan tapi bagaimana membuat si anak tetap hormat dan sayang pada kita diperlukan suatu hikmat Tuhan? Ketika kita hendak marah pada anak, hendaklah kita mengevaluasi diri sebelumnya apakah memang ia layak mendapat hukuman karena ia bersalah ataukah karena kita yang merasa terganggu kenyamanan kita? Orang tua yang seharusnya menjadi wakil Allah telah gagal tapi lebih tepatnya, orang tua telah menjadi wakil setan. Ketika kenyamanan kita mulai terganggu dan amarah itu mulai datang maka itu waktunya kita untuk keluar ruangan dan memohon ampun pada Tuhan, hendaklah kita mengevaluasi diri, janganlah iblis yang bekerja dan menguasai hati dan pikiranmu. Kenapa kita tidak marah ketika anak memecahkan gelas yang harganya murah? Tapi kenapa kita menjadi sangat marah ketika anak memecah vas kristal yang harganya sangat mahal? Pertanyaannya dalam hal ini siapa yang berdosa?
Seorang anak kecil belum bisa membedakan sebuah nilai suatu barang maka orang tua kalau mau konsisten, seorang anak tetap harus dihukum karena kecerobohannya, yaitu memecahkan sebuah barang tidak peduli murah atau mahal harganya. Dengan demikian hukum dapat membangun dia untuk hidup lebih baik, mengerti moral dan etika hidup. Dan perhatikan, dengan semakin bertambahnya usia si anak, cara orang tua mendidik haruslah berbeda demikian juga dengan hukuman yang dikenakan padanya. Pdt. Stephen Tong menyatakan ketika orang tua hendak menghukum anak maka harus memperhatikan beberapa hal, yaitu: 1) ukuran, ketika kita memberi hukuman pada anak maka kita harus tahu ukuran yang tepat, tidak kurang atau lebih sebab kalau hukuman terlalu ringan maka si anak akan menyepelekan hukuman sebaliknya kalau hukuman terlalu berat maka si anak akan benci dengan keadilan. Mengukur dengan tepat ini dapat dilakukan setelah kita menetralisir, bukan karena diri kita yang terganggu tapi karena kita memang ingin benar-benar menegakkan keadilan, 2) tingkat kesalahan yang dilakukan dan si anak pun juga harus tahu kesalahannya. Tuhan tidak langsung menghukum orang yang tidak tahu kesalahannya; Tuhan mengatakan pada perempuan yang berzinah untuk pergi dan jangan berbuat dosa lagi. Hal ini dikatakan supaya ia tahu seberapa hukuman yang harus ditimpakan atas dirinya dengan kesadaran itu, ia menyadari bahwa hukuman itulah yang harus diterima, 3) cinta kasih, ketika hukuman dijalankan hukuman maka pada saat yang sama harus ada cinta kasih. Orang tua yang baik akan merasa sangat sedih, karena ketika menghukum anaknya karena itu seperti menghukum dirinya sendiri; kesakitan yang dirasakan si anak turut pula dirasakan si orang tua.
Inilah yang dinamakan menghukum dengan cinta kasih. Si anak dapat merasakan kalau orang tua menghukum bukan karena tidak sayang tapi justru sebaliknya karena orang tua sangat sayang pada dirinya maka si anak akan mempunyai kehidupan moral yang sangat baik. Demikian halnya dengan Tuhan, Dia menghukum manusia bukan karena Tuhan benci pada manusia. Tidak! Tuhan ingin kehidupan manusia dibangunkan dan mempunyai hidup yang berkualitas. Salib merupakan manifestasi keadilan dan cinta kasih Allah. Marilah kita belajar keadilan dan hukum seperti yang Tuhan ajarkan dengan demikian dunia dapat melihat keadilan diterapkan dalam seluruh kehidupan kita menjadikan kehidupan semakin berkualitas. Orang berdosa harus dihukum tapi karena kasih-Nya, Kristus rela menyerahkan diri-Nya untuk menjadi tebusan dan menggantikan hukuman kita supaya kita dilepaskan dari kuasa dosa. Kuasa kebangkitan Kristus memungkinkan orang berdosa untuk hidup dan dibangunkan dalam iman, kesucian dan kebenaran untuk kita menjadi serupa Kristus. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)



Sumber:
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2006/20061008.htm