29 December 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:24-25 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:24-25

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 9:24-25


Sebagian penafsir mempersoalkan posisi 9:24-27. Menurut mereka, bagian ini tidak memiliki keterkaitan yang jelas dengan keseluruhan pasal 9. Gambaran tentang olahragawan di bagian ini diyakini tidak berhubungan dengan tema makan makanan berhala (pasal 8) maupun kebebasan/hak yang dikorbankan demi kepentingan orang lain (pasal 9). Berdasarkan keyakinan ini mereka menduga bahwa 9:24-27 merupakan tambahan dari orang lain yang disisipkan secara keliru di posisi seperti sekarang.

Spekulasi di atas tidak bisa dibenarkan. Poin yang ingin disampaikan dalam ilustrasi di 9:24-27 melengkapi prinsip yang sudah diajarkan di 9:-13. Sebelumnya Paulus sudah memberikan contoh dari pelayanannya sendiri tentang bagaimana kita melepaskan kebebasan dan hak kita demi mencapai tujuan yang mulia, yaitu memenangkan orang lain bagi Injil. Prinsip ini sama dengan kehidupan para atlet. Demi sebuah kemenangan, mereka rela mengorbankan kenyamanan hidup, mengontrol nafsu makan, dan menguasai keinginan. Dalam latihan ini mereka jelas harus mengorbankan kebebasan dan hak mereka. Walaupun mereka berhak makan apa pun, namun akhirnya mereka memilih untuk mengabaikan itu demi suatu tujuan yang mereka anggap lebih berharga daripada soal makanan. Walaupun mereka bebas untuk mengatur aktivitas hidup mereka (istirahat, bersantai, latihan fisik), tetapi demi sebuah hadiah mereka akhirnya memilih untuk melepaskan kebebasan ini. Begitu pula dengan prinsip hidup Paulus di 9:1-23. Ia mau melepaskan hak dan kebebasannya demi Injil.

Keterkaitan lain mungkin didapatkan dari fakta bahwa pertandingan akbar olah raga sering kali dilakukan dalam konteks memperingati atau menghormati dewa tertentu, yang pasti melibatkan melibatkan unsur relijius di dalamnya. Sangat mungkin isu relijius inilah yang dianggap Paulus relevan dengan isu tentang makan makanan berhala di pasal 8, karena itu ia sengaja memilih ilustrasi dari pertandingan olah raga.

Gambaran tentang pertandingan olah raga di 9:24-27 pasti sudah sedemikian akrab bagi jemaat Korintus. Pertanyaan “tidak tahukah kamu?” di awal ayat 24 merupakan pertanyaan retoris yang tidak perlu dijawab. Penggunaan iustrasi dari dunia olah raga untuk mengajakan semangat perjuangan yang kuat merupakan fenomena yang sangat umum pada waktu itu. Baik penulis Yahudi (Philo) maupun penulis kafir (Epictetus) beberapa kali memakai gambaran seperti ini. Bagaimanapun, khusus bagi jemaat Korintus, ilustrasi dari dunia olah raga memiliki kesan yang berbeda. Mereka mengetahui seluk-beluk pertandingan olah raga bukan hanya dari tulisan, tetapi melalui pengalaman langsung. Mereka pasti sudah sering mendengar atau bahkan menonton pertandingan Isthmian. Pertandingan yang dilaksanakan di sebuah tempat berjarak 24 km dari Korintus ini bahkan sering kali dikutip oleh para penulis kuno terkenal. Pertandingan ini dilakukan setiap dua tahun dan mempertandingkan berbagai cabang olah raga. Dibandingkan dengan jenis perhelatan olah raga besar lainnya, pertandingan Isthmian adalah yang terbesar kedua setelah pertandingan Olympic. Pertandingan lain yang kalah populer dari Isthmian adalah Delphi dan Nemea. Bagi orang Korintus pertandingan Isthmian merupakan kebanggaan mereka. Usia pertandingan yang sudah berabad-abad menjadi salah satu keunggulan dari pertandingan ini. Walaupun pada tahun 146 SM perhelatan olah raga ini sempat berhenti seiring dengan kehancuran kota akibat invasi militer Romawi, pada tahun 44 SM penduduk Korintus kembali menggalakkan pertandingan ini. Orang-orang kaya mengumpulkan dana yang besar untuk membangun kembali stadion yang hancur dan membiayai penyelengaraan lomba. Semua ini mereka lakukan demi sebuah kehormatan. Paulus sendiri pasti cukup mengenal pertandingan ini, terutama ketika ia dulu berada di Korintus. Menurut Kisah Para Rasul 18 Paulus sempat melayani di Korintus selama hampir 2 tahun sebelum Galio akhirnya menjadi gubernur di Akhaya dan mempersulit pelayanannya di sana (18:9-12). Dengan mempertimbangkan catatan historis bahwa Galio menjadi gubernur di sana sekitar tahun 50 atau 51 M, kita mendapatkan bukti yang cukup kuat untuk meyakini bahwa Paulus dalam taraf tertentu sangat mengenal pertandingan Ishtmian. Ia mungkin mengenal pertandingan ini pada tahun 49 atau 51 atau dua-duanya.

Dugaan seperti ini tidak berlebihan. Selain Paulus sendiri memang menyukai olah raga (terlihat dari kebiasaan Paulus memakai ilustrasi dari bidang ini, Gal. 5:7; Flp. 2:13-14, 16; 2Tim. 2:5; 4:8), pekerjaan Paulus sebagai pembuat tenda memang berkaitan dengan penyelengaraan pertandingan di Isthmian. Selama berlangsungnya pertandingan ini banyak orang dari berbagai penjuru dunia berkunjung ke Korintus/Isthmian untuk menyaksikan perlombaan akbar ini. Pada waktu itulah mereka sangat membutuhkan tenda untuk tempat tinggal sementara. Bagi Paulus, hal ini adalah kesempatan untuk mendapatkan uang yang bisa ia pakai untuk mendukung pemberitaan Injil yang ia lakukan. Di samping itu, kedatangan ribuan orang dari berbagai etnis dan belahan dunia merupakan kesempatan yang besar bagi Paulus untuk memberitakan Injil, sehingga Injil lebih cepat tersebar ke seluruh dunia. Pola pemikiran ini sangat mungkin meniru dari pola kerja Allah pada Hari Pentakosta (Kis. 2:1-11). Mengapa Roh Kudus dicurahkan pada saat hari raya ini dilaksanakan? Mengapa pertobatan massal terjadi pada momen yang sama? Jawabannya berkaitan dengan rencana ilahi untuk membawa Injil sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8). Pada saat Hari Pentakosta inilah semua orang Yahudi di perantauan datang ke Yerusalem. Dengan menjangkau mereka pada momen seperti ini berarti Injil disebarkan ke seluruh dunia dengan lebih cepat dan efisien.

Melalui ilustrasi dari dunia olah raga di 9:24-27 Paulus ingin mengajarkan bahwa kehidupan rohani dan pelayanan dapat diibaratkan seperti kehidupan seorang atlet. Kehidupan rohani tidak bisa dijalani dengan santai dan tanpa tujuan. Beberapa ungkapan yang digunakan di 9:24-25 menunjukkan usaha yang begitu keras untuk menjalani. Sama seperti seorang atlet lari, kita harus berlari sekuat tenaga kita (9:24b). Atlet yang ikut dalam pertandingan disebut dengan “ho agōnizomenos”. Kata dasar agōnizomai bisa memiliki arti “berjuang” (Luk. 13:24; 1Tim. 4:10), “melawan” (Yoh. 18:36), “bergumul” (Kol. 1:29; 4:12), atau “bertanding” (1Tim. 6:12; 2Tim. 4:7). Semua arti ini menyiratkan usaha yang penuh kesungguhan dan kerja keras. Tidak heran, di perkembangan selanjutnya kata agōnizomai memiliki makna yang berkaitan dengan ide “menderita”, misalnya Bahasa Inggris “agonize” yang berarti “menderita sekali”. Kehidupan rohani memang sebuah perjuangan melawan diri sendiri, Iblis, dan dunia (1Yoh. 2:16; Ef. 6:10-18). Tidak ada waktu untuk bersantai. Pepatah “biar lambat agar selamat” tidak berlaku dalam urusan pertumbuhan rohani.


Syarat Kemenangan (ay. 24-25a)
Paulus tidak hanya menunjukkan bahwa kehidupan rohani atau pelayanan ibarat sebuah pertandingan. Ia juga memberikan rahasia atau strategi bagaimana pertandingan tersebut dapat dimenangkan. Apa saja syarat untuk meraih kemenangan ini?
Berlari Sedemikian Rupa (ay. 24b)
Ilustrasi yang dipakai Paulus di bagian ini menimbulkan kesulitan bagi sebagian orang. Problem ini terutama berkaitan dengan “hanya satu orang yang mendapatkan hadiah”. Apakah Paulus memaksudkan bahwa semua orang Kristen harus berlari tetapi hanya ada satu orang Kristen saja yang berhasil mendapatkan hadiah? Lalu apa yang terjadi dengan mereka yang tidak mendapatkan hadiah? Apakah kehidupan kekristenan memang sebuah kompetisi dengan sesama orang Kristen? Beberapa orang berusaha memberikan solusi dengan cara menafsirkan “satu orang” sebagai gereja secara keseluruhan, sedangkan orang-orang laina dalah “non Kristen”. Sebagian memahami “satu orang” sebagai Kristus yang sudah mewakili kita dalam perlombaan iman. Yang lain lagi menganggap Paulus memang salah memilih ilustrasi yang tepat.

Semua upaya ini sebenarnya tidak diperlukan. Kesulitan untuk memahami ilustrasi ini muncul karena ketidaktahuan tentang cara menafsirkan ilustrasi. Sebuah ilustrasi tidak boleh dipahami secara detil seolah-olah setiap aspek yang berkaitan dengan ilustrasi itu memiliki makna spiritual. Dalam menafsirkan ilustrasi atau gambaran kita harus memperhatikan poin analogi utama. Dalam metafora di 9:24-27 inti yang mau disampaikan bukan jumlah peserta, tetapi betapa sulitnya mendapatkan hadiah. Poin inilah yang ingin ditonjolkan oleh Paulus. Ia tidak menyinggung tentang apakah para pelari itu memiliki hubungan kekeluargaan atau tidak. Yang ingin ditekankan hanya satu: karena hadiah hanya diperuntukkan bagi satu orang, maka setiap pelari harus berusaha sekeras mungkin untuk mendapatkannya. Poin ini dipertegas dengan nasehat Paulus “karena itu larilah sedemikian rupa”.

Jika kita mengamati secara lebih seksama, penekanan pada nasehat ini bukan terletak pada kata “lari”. Semua peserta, baik yang menang maupun yang kalah, memang harus terus berlari. Yang ditekankan adalah kata “sedemikian rupa”. Dalam kalimat Yunani kata ini diletakkan di bagian awal ayat 24b, sehingga bagian ini secara hurufiah dapat diterjemahkan “sedemikian rupa kalian harus berlari untuk mendapatkannya”. Berlari saja tidak cukup. Kita harus berlari sedemikian rupa. Kita harus memberikan usaha terbaik, bukan yang biasa saja.

Di tempat lain Paulus pernah mengajarkan tips berlari yang baik (Flp. 3:13-14). Orang yang berlari tidak boleh terbebani dengan apa yang ada di belakang. Ia harus “melupakan” semua itu dan mengarahkan diri ke depan (Flp. 3:13). Matanya harus diarahkan pada hadiah yang ingin diraih (Flp. 3:14). Dengan kata lain, pelari harus memiliki fokus. Ia tidak boleh terganggu oleh apa pun juga. Demikian pula dengan kerohanian dan pelayanan kita. Kita pun harus mengarahkan hidup kita pada Injil.

Menguasai Diri Dalam Segala Hal (ay. 25a)
Syarat lain untuk meraih kemenangan adalah menguasai diri dalam segala hal. Menurut kebiasaan waktu itu, para atlet yang ingin mengambil bagian dalam pertandingan di Olympic/Isthmian harus menjalani pemusatan latihan selama 10 bulan. Pada bulan yang terakhir, latihan dipusatkan di stadion tempat berlangsungnya pertandingan. Semua ini dimaksudkan agar mereka memiliki peluang yang makin besar untuk memenangkan pertandingan. Selama latihan inilah kekuatan seseorang dalam menguasai dirinya benar-benar diuji.

Penambahan kata “dalam segala sesuatu” menyiratkan cakupan yang inklusif, sama seperti sikap Paulus yang mau menjadi segala-galanya bagi semua orang (9:23). Seorang atlet bukan hanya dituntut untuk menjalani program latihan yang ketat, tetapi ia juga harus menjaga pola makan. Epictetus, seorang penulis kafir kuno, pernah menggambarkan latihan keras yang dijalani atlet dengan kalimat sebagai berikut: “kalian harus tunduk pada disiplin, mengikuti diet yang ketat, mengabaikan kue yang manis, latihan di bawah tekanan pada jam tertentu, baik di cuaca panas maupun dingin; engkau tidak boleh minum air dingin atau anggur sewaktu-waktu seperti yang engkau mau”. Penguasaan diri dalam konteks pertandingan olah raga waktu itu juga mencakup kepatuhan pada peraturan olah raga. Para atlet yang ingin bertanding harus mengambil sumpah untuk mematuhi semua peraturan pertandingan dan menjalani latihan yang ketat. Tidak salah jika kita merangkum semua ini dalam kalimat “kemenangan di pertandingan tidak mungkin diperoleh tanpa keringat”. No pain, no gain. Sebagai seorang manusia, atlet jelas memiliki hak dan kebebasan untuk makan apa pun yang mereka inginkan atau beristirahat kapan pun mereka mau. Bagaimanapun, mereka akhirnya memilih untuk mengorbankan semua hak, kebebasan, dan kenyamanan hidup mereka demi memperoleh hadiah. Hadiah itulah yang dianggap lebih penting daripada segala tantangan dan penderitaan fisik yang harus dijalani.

Begitu pula dengan kehidupan rohani kita. Kalau kita menganggap bahwa penerimaan Injil oleh orang lain sebagai tujuan hidup yang penting (9:19-23 “supaya aku dapat memenangkan sebanyak mungkin orang”), maka kita pasti akan rela menanggalkan semua hak/kebebasan kita (9:15-18) guna mencapai tujuan tersebut. Kita tidak akan mengijinkan hak/kebebasan itu menjadi penghalang bagi tujuan yang akan kita capai (9:12b).

Sikap di atas tidak dimiliki oleh jemaat Korintus. Mereka tidak mau peduli dengan kehidupan rohani orang lain. Mereka menggunakan kebebasan secara sembarangan (8:9), sehingga orang lain justru tersandung karena tindakan itu (8:11). Seharusnya mereka bersedia mengorbankan “kebebasan” untuk makan makanan persembahan berhala demi kepentingan orang lain. Kegagalan mereka melakukan hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak bisa menguasai diri. Kalau atlet saja mau mengorbankan kebebasan demi membangun tubuh fisik mereka, jemaat Korintus seharusnya lebih bersedia untuk berkorban demi membangun sesama tubuh Kristus (8:1).


Hadiah yang Diperoleh (ay. 25b)
Dalam pertandingan kuno waktu itu, ujuan utama seorang atlet bukanlah materi, seperti sebagian besar atlet profesional sekarang. Masyarakat Romawi meletakkan kehormatan di atas segalanya. Materi memang penting, namun hal itu masih di bawah kehormatan. Justru materi harus dipakai sebagai sarana untuk memperoleh kehormatan. Demikian pula dengan para atlet. Mereka adalah atlet amatir yang terobses terutama oleh ketenaran. Momen yang paling mengesankan bagi mereka adalah ketika terompet ditiup, semua penonton diharuskan berdiam diri, nama pemenang diumumkan, dan sebuah mahkota diletakkan di atas kepala mereka, dengan diiringi oleh tepuk-tangan semua penonton.

Tujuan seperti ini jelas tidak berlangsung lama. Mahkota untuk para juara yang biasanya terbuat dari daun tumbuhan tertentu dalam beberapa minggu pasti sudah layu. Penonton tidak akan memberikan tepuk-tangan terus-menerus. Nama pemenang pun dalam beberapa tahun sudah dilupakan orang. Tidak ada nilai permanen dalam semua ini.

Para filsuf Stoa memiliki konsep yang sedikit lebih mendalam. Bagi mereka hadiah yang paling penting bukanlah mahkota atau ketenaran. “Hadiah” yang sesungguhnya adalah kepribadian positif yang terbentuk, ketahanan diri menghadapi penderitaan, dan kedamaian hati karena berhasil menguasai diri. Semua hadiah ini dianggap memiliki nilai yang lebih permanen daripada sekadar mahkota atau tepukan tangan penonton.

Bagaimanapun, konsep hadiah menurut Stoa tetap tidak bisa menandingi konsep hadiah yang diajarkan Paulus dalam bagian ini. Mahkota yang menanti orang percaya bukan hanya tahan lama, tetapi abadi (ay. 25b). Mahkota ini adalah “suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga” (1Ptr. 1:4). Hadiah seperti ini jelas melampaui segala macam hadiah yang ditawarkan oleh dunia.

Yang dimaksud mahkota di bagian ini tentu saja bukan kehidupan kekal itu sendiri. Keselamatan kita tidak perlu diusahakan; semua berdasarkan anugerah cuma-cuma dari Allah (Ef. 2:8-9). Mahkota di sini berbicara tentang kualitas hidup kekal atau upah yang menyertai keselamatan kita. Ada beberapa alasan yang mendukung ke arah konklusi ini: (1) konteks pasal 9 secara keseluruhan bukanlah “bagaimana kita bisa selamat”, tetapi “bagaimana kita seharusnya memberitakan Injil”. Konteks pembicaraan Paulus di pasal ini bukan tentang keselamatan, tetapi pelayanan/pemberitaan Injil; (2) Paulus sebelumnya sudah menyinggung tentang upah yang akan ia terima sebagai pelayan Tuhan (3:8) dan upah ini dibedakan dengan keselamatan rohani (3:14-15); (3) di tempat lain mahkota dikaitkan dengan kemuliaan (1Ptr. 5:4) atau kebenaran (2Tim. 4:8); (4) di beberapa tempat “mahkota” tampak dibedakan dari dan dipakai untuk menerangkan kualitas kehidupan kekal (Yak. 1:12; Why. 2:10 “mahkota kehidupan”).


Aplikasi
Allah sudah menyiapkan hadiah yang terbaik bagi kita, suatu hadiah yang kekal dan sangat mulia. Kalau atlet duniawi saja mau berkorban begitu rupa untuk hadiah yang fana dan kurang mulia, bukankah kita seharusnya lebih mau berkorban lagi demi mendapatkan sesuatu yang jauh lebih mulia? Mengapa kita justru tampak tidak bergairah menjalani pertandingan rohani kita? Mengapa kita sering kali tidak mau berkorban untuk hal-hal rohani yang bernilai kekal? Biarlah firman Tuhan kali ini menggugah semangat kita untuk serius menghadapi kehidupan rohani kita dan bersedia berkorban waktu, tenaga, pikiran, maupun perasaan kita demi pekerjaan Tuhan di muka bumi. Soli Deo Gloria.



Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 22 Agustus 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/SER-1Korintus%2009%20ayat%2024-25.pdf