24 April 2011

RELIGIUS VS ROHANI: Bagaimana Menjadi Seorang Kristen yang Takut akan Tuhan? (Denny Teguh Sutandio)

RELIGIUS VS ROHANI:
Bagaimana Menjadi Seorang Kristen yang Takut akan Tuhan?


oleh: Denny Teguh Sutandio




Kita hidup di zaman yang menekankan perasaan lebih daripada rasio, sehingga kebenaran diukur dari subjektivitas masing-masing pribadi dan HAMPIR menyangkali kebenaran objektif. Tidak heran, makin banyak manusia yang cuek terhadap makna hidupnya, tidak terkecuali banyak orang Kristen. Namun di antara banyak orang Kristen yang cuek terhadap makna hidup apalagi imannya, ada sekelompok orang Kristen yang terkesan tidak demikian. Mereka tidak suka dugem (=dunia gemerlap), merokok, apalagi melakukan tindak asusila lainnya, sebaliknya mereka bahkan mungkin sekali seorang yang aktif mengikuti kebaktian (dan acara rohani lain) di gereja, bahkan rajin mencatat khotbah di dalam persekutuan pemuda di gerejanya. Tidak hanya itu, setiap malam, mereka juga aktif saat teduh dan mendengarkan lagu-lagu rohani (di mana dulu mereka tidak suka mendengarkan lagu rohani). Secara kasat mata, mereka tampak seolah-olah mereka berbeda dengan orang-orang dunia, namun pertanyaan lebih lanjut, apakah dari fenomena-fenomena demikian dapat dikatakan orang-orang tersebut adalah orang Kristen sejati yang memiliki kerohanian yang beres atau orang Kristen yang takut akan Tuhan? Fakta membuktikan TIDAK. Beberapa orang Kristen yang menunjukkan fenomena-fenomena seperti rajin mengikuti kebaktian, saat teduh, aktif mencatat khotbah, berdoa, mendengarkan lagu-lagu rohani, menulis artikel rohani baik di blog, dll, bahkan belajar theologi sekalipun TIDAK menunjukkan bahwa orang tersebut adalah seorang Kristen yang benar-benar takut akan Tuhan atau seorang yang rohani, tetapi itu semua hanya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki kehidupan religius yang baik.


Sejujurnya, seorang Kristen yang religius TIDAK membuktikan bahwa dia benar-benar takut akan Tuhan atau memiliki kerohanian yang beres. Tidak usah heran, makin seorang Kristen menunjukkan fenomena-fenomena religius, dirinya makin tidak beres. Coba bergaullah dengan orang-orang “Kristen” model ini dan periksalah kehidupan rohani dan kehidupan sehari-harinya. Meskipun tidak semua, kebanyakan orang “Kristen” religius hanya mau tampak religius, namun dalam dirinya belum ada pertobatan sungguh-sungguh, apalagi dilahirbarukan. Jangan heran, karena belum bertobat, maka diri dan prinsip hidupnya sendiri adalah kebenaran. Jangan kaget bergaul dengan orang ini, ia akan anti dengan teguran dari orang lain karena baginya, teguran orang lain terkesan mengatur dirinya! Jika ada orang Kristen yang keras kepala, namun terkesan religius, itu sama sekali TIDAK membuktikan dirinya benar-benar telah dilahirbarukan oleh Roh Kudus, mengapa? Karena setan dan anak buahnya pun dapat meniru tindakan religius demikian! Ada orang Kristen religius yang aktif mencatat khotbah di persekutuan pemuda di suatu gereja dan tentunya sudah pernah mendengar bahwa uang itu bukan segala-galanya, namun dalam prinsip hidupnya, ia tetap saja mencari pasangan yang “mapan” alias tajir, kalau bisa tidak akan habis hartanya, supaya hasratnya yang suka shopping dipenuhi oleh si pasangan.


Lalu, apakah berarti, kegiatan religius itu salah semua? Oh, tentu saja tidak, namun yang saya soroti adalah kegiatan religius tanpa hasrat kuat yang takut akan Tuhan. Di mata Tuhan, kegiatan religius tanpa iman dan takut akan Tuhan TIDAK berarti apa-apa! Alkitab mencatat, Allah sangat membenci perayaan religius bangsa Israel, karena mereka melakukannya tidak dengan hati yang takut akan-Nya. Tuhan berfirman di Yesaya 29:13, “Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,” (dikutip oleh Tuhan Yesus di Mat. 15:8-9) Dengan kata lain, di mata Tuhan, yang terpenting adalah hati yang dipersembahkan kepada-Nya dengan tulus dan murni, seperti yang pernah diucapkan oleh Dr. John Calvin, salah seorang reformator Protestan besar setelah Dr. Martin Luther. Mengapa? Karena mengutip perkataan Pdt. Yohan Candawasa, S.Th., agama Kristen bukan agama performa (kelihatan luar), tetapi agama HATI! Artinya, Kekristenan sangat menekankan HATI sebagai intinya, BUKAN pada performa religius dengan menjalankan syariat-syariat tertentu. Orang Kristen yang telah menyerahkan hatinya kepada Tuhan adalah seorang yang berkomitmen untuk mengaitkan segala sesuatu dengan Tuhan. Itu yang saya sebut sebagai orang Kristen rohani.


Apa saja yang menjadi ciri orang Kristen yang rohani dan sungguh-sungguh takut akan Tuhan?
Pertama, rindu akan Allah (Mzm. 63). Karena hatinya telah diserahkan kepada Allah, maka di dalam proses pengudusan, seorang Kristen rohani akan memiliki hasrat akan Allah. Seperti kerinduan Daud akan Allah di Mazmur 63, maka orang Kristen ini akan rindu akan Allah dengan terus mengingat akan kasih setia-Nya dan kedahsyatan kuasa-Nya. Ia akan menyadari bahwa tanpa Allah, hidupnya tak berarti seperti tanah yang kering dan tandus (Mzm. 63:2). Selain itu, di dalam hidupnya, ia terus mengaitkan dan memusatkan hidupnya pada Allah dan kehendak-Nya saja (Rm. 11:36), sehingga tidak ada satu inci kehebatan manusia yang dibanggakannya! Hal ini berbeda dengan orang “Kristen” yang religius di mana ia akan terus-menerus (eksplisit maupun implisit) menganggap bahwa diri dan prinsip diri adalah kebenaran dan orang lain (khusus pasangannya) harus percaya pada dia! Terus terang, bagi saya, jangan percaya pada orang “Kristen” religius model ini, karena tatkala kita percaya pada orang ini sebagai kebenaran, di saat itu, kita sedang berdosa, karena telah menjadikan manusia berdosa (bukan Allah) sebagai sumber kebenaran!

Kedua, merindukan firman-Nya dengan mendengar, menerima, merenungkan, dan menaati firman-Nya (Mzm. 1:1-2; 119; Mat. 13:1-23; Yak. 1:21-25). Seorang yang sungguh-sungguh rindu akan Allah tentu juga seorang yang rindu akan firman-Nya. Seorang yang merindukan firman-Nya adalah seorang yang pertama-tama suka mendengar firman-Nya. Jangan percaya dengan orang Kristen yang berkata bahwa ia mencintai Yesus apalagi yang mengklaim “melayani Tuhan”, tetapi ketika disuruh mendengarkan khotbah yang benar-benar menyampaikan firman Tuhan, ia malah tidur! Orang “Kristen” yang di titik pertama tidak menghargai firman Tuhan adalah orang “Kristen” yang tidak beres!
Tidak cukup hanya mendengar firman, tetapi juga harus menerima firman itu dengan rendah hati (bdk. Yak. 1:21). Menerima firman berarti menerima pengajaran firman Tuhan tanpa banyak pertanyaan dan juga harus menerima firman entah itu yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan diri! Sayang, beberapa orang Kristen yang tampak rajin mencatat khotbah dari mimbar yang dikutip dari Alkitab bahwa cinta uang adalah akar segala kejahatan adalah orang “Kristen” yang sama yang tetap gemar shopping untuk membeli barang-barang yang sudah dimilikinya! Firman Tuhan yang didengarnya diibaratkan masuk melalui telinga kiri dan keluar lagi melalui telinga kiri alias tidak nyangkut sama sekali.
Tidak hanya menerima, orang Kristen juga harus mengertinya dengan merenungkan firman-Nya (Mzm. 1:1-2). Merenungkan firman berbicara mengenai kerohanian seseorang yang langsung merefleksikan firman itu ke dalam hidupnya sehari-hari. Ia bukan seorang yang gemar memakai ayat Alkitab untuk menyerang orang lain atau menunjukkannya kepada orang lain yang bersalah kepada dia, tetapi ia langsung mengaitkan setiap firman dengan dirinya sendiri, karena ia menyadari bahwa firman Tuhan yang dibacanya merupakan cara Tuhan mengoreksi hidupnya. Ia berkata seperti pemazmur, “Ya, peringatan-peringatan-Mu menjadi kegemaranku, menjadi penasihat-penasihatku.” (Mzm. 119:24; bdk. ay. 34)
Seorang yang mengerti dengan merenungkan firman-Nya mengakibatkan ia berkomitmen untuk menjalankan firman Tuhan dengan taat mutlak pada kehendak dan rencana-Nya (Yak. 1:22-25). Ketika firman Tuhan mengajar bahwa cinta uang adalah akar segala kejahatan (1Tim. 6:10), maka seorang anak Tuhan sejati menerima firman itu, merenungkannya, dan berkomitmen untuk menjalankannya dengan cara berusaha mengikis kebiasaan lamanya untuk shopping, berhenti dari menetapkan standar bahwa pasangannya harus seorang yang “mapan” alias tajir (khusus cewek), bekerja tidak terlalu keras sampai mengorbankan keluarga (bagi cowok), dll. Memang tidak mudah menjalankan firman Tuhan, namun tidak mudah bukan berarti tidak mungkin menjalankan firman. Kita bisa menjalankan firman karena Roh Kudus yang memimpin kita menjalankan firman. Oleh karena itu, ketika kita lemah dan sulit menjalankan firman, mintalah Roh Kudus memimpin kita. Biarlah kita berdoa seperti pemazmur, “Biarlah aku hidup menurut petunjuk perintah-perintah-Mu, sebab aku menyukainya. Condongkanlah hatiku kepada peringatan-peringatan-Mu, dan jangan kepada laba.” (Mzm. 119:35-36) Doa yang dinaikkan dengan suatu hasrat yang mendalam merupakan suatu komitmen anak Tuhan sejati untuk berusaha menjalankan firman Tuhan, meskipun itu sulit! Allah melihat komitmen hati kita untuk terus berproses di dalam pengudusan yang Roh-Nya kerjakan di dalam kita, bukan hanya hasil akhirnya!
Seorang yang menjalankan firman-Nya mengakibatkan ia berbuah sesuai dengan kehendak-Nya (Mat. 13:23). Buah itu sama dengan menjadi berkat bagi orang lain di sekitarnya di mana melalui buah itu, banyak orang memuji Kristus dan mungkin sekali menjadi orang Kristen entah itu melalui penginjilan secara verbal/perkataan maupun melalui tindakan (mengasihi, mengampuni, dll). Dan ketika ia berbuah, ia juga menyadari bahwa hasilnya bukan karena kehebatannya sendiri, tetapi karena anugerah Allah saja (bdk. Flp. 2:12-13)

Ketiga, melayani-Nya. Seorang anak Tuhan yang rindu akan Allah dan firman-Nya mengakibatkan ia rajin melayani-Nya di mana pun Tuhan menyuruhnya untuk melayani-Nya entah itu di gereja, dll. Teladanilah Rasul Paulus. Ia bukan saja seorang Yahudi yang mengerti Taurat sekaligus filsafat Yunani dan juga memiliki pengalaman rohani bersama Tuhan, ia juga seorang yang rajin melayani Tuhan dengan berapi-api (Rm. 12:11). Makin saya mempelajari beberapa surat-surat Paulus di dalam Perjanjian Baru, saya makin kagum dengan sosok Paulus yang adalah seorang: theolog, penginjil, sekaligus gembala (mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong), dan saya menambahkan: hamba Tuhan yang benar-benar berjiwa pelayan/hamba. Dengan kata lain, seharusnya, orang Kristen yang melayani Tuhan harus didahului oleh seorang yang sungguh-sungguh merindukan Allah dan firman-Nya, bukan dibalik apalagi dipisahkan dengan berprinsip: melayani Tuhan tidak berkaitan dengan belajar firman, dll. Namun fakta hari ini, seorang “Kristen” yang katanya “melayani Tuhan” adalah orang yang bukan hanya tidak mengerti apa-apa tentang firman Tuhan, ia ternyata malas membaca Alkitab! Mengenaskan, bukan? Lalu, apa motivasi dia melayani Tuhan? Sebenarnya sambil melayani Tuhan, orang ini sambil menghina Tuhan, karena ia hanya mau seolah-olah “membantu” Allah, padahal Allah TIDAK perlu dibantu!


Aktivitas-aktivitas religius tentu tidak salah, yang salah adalah inti di baliknya. Jangan salah mengerti. Seorang Kristen yang rohani adalah orang yang hatinya diserahkan kepada Tuhan dan tentunya mengakibatkan ia melakukan tindakan-tindakan rohani, seperti: berdoa, membaca Alkitab, saat teduh, dan melayani Tuhan dalam berbagai bidang, namun itu dilakukannya sebagai respons atas anugerah-Nya. Tuhan tidak melihat aktivitas-aktivitas religius yang kita pertontonkan di hadapan orang banyak, IA melihat hati Anda, hati saya, dan hati kita semuanya ketika melakukannya. Biarlah renungan singkat ini boleh menyadarkan kita untuk memiliki hati yang murni di hadapan-Nya sambil tetap merindukan-Nya, firman-Nya, dan juga melayani-Nya dengan rendah hati! Ingatlah: jangan merebut kemuliaan Tuhan! Amin. Soli DEO Gloria.

Resensi Buku-118: TENTU SAJA SAYA PERCAYA, ... LALU BAGAIMANA?: Belajar dari Kitab Yakobus (Rev. James Montgomery Boice, D.Theol., D.D.)

...Dapatkan segera...



Buku
TENTU SAJA SAYA PERCAYA, … LALU BAGAIMANA?:
Belajar dari Kitab Yakobus


oleh: Rev. James Montgomery Boice, D.Theol., D.D.

Penerbit: Yayasan ANDI, 2004

Penerjemah: T. Wahyuni





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Kitab Yakobus merupakan satu-satunya kitab dalam Alkitab yang kurang mendapat perhatian di kalangan Kekristenan. Dr. Martin Luther menyebutnya sebagai surat jerami. Diikuti oleh beberapa orang Kristen yang mengaku menyukai hal-hal praktis, namun enggan membaca Kitab Yakobus. Mengapa demikian? Bagi Rev. Dr. James M. Boice, penyebabnya adalah Kitab Yakobus berisi hal-hal yang menyentuh aspek kehidupan praktis secara personal dari orang Kristen di mana banyak orang Kristen enggan untuk dikritik. Aspek kehidupan praktis secara personal tersebut meliputi: menggunakan kekayaan Anda, mengendalikan lidah Anda, meretas kekhawatiran, dan membangun persahabatan. Hal-hal inilah yang dibahas oleh Rev. Dr. James M. Boice dalam bukunya Tentu Saja Saya Percaya, … Lalu Bagaimana? Dalam bukunya tentang studi Kitab Yakobus ini, Dr. James M. Boice menguraikan secara praktis seluruh pasal dalam Kitab Yakobus dengan bahasa yang sederhana dan “mendarat” (aplikatif), sehingga orang Kristen dapat memahami Kitab Yakobus dengan lebih baik. Setelah menguraikan seluruh pasal dalam Kitab Yakobus dalam 10 bab, beliau menambahkan 10 bab lagi sebagai pertanyaan untuk direnungkan. Biarlah buku ringan ini boleh menyadarkan dan mengoreksi kerohanian kita di dalam bertumbuh dalam pengenalan akan firman-Nya.





Rekomendasi:
“Almarhum mentor dan rekan kerja saya, James Montgomery Boice, memiliki talenta yang tak ada duanya dalam mengajarkan Alkitab. Tafsirnya terhadap Surat Yakobus merupakan bukunya yang sangat praktis dan memiliki relevansi yang abadi bagi para pria dan wanita Kristen masa kini. Para pembaca akan memperoleh pemahaman yang semakin kaya tentang makna memiliki iman yang benar-benar bekerja.”
Rev. Philip Graham Ryken, D.Phil.
(Pendeta Senior di Tenth Presbyterian Church, Philadelphia, U.S.A. yang menyelesaikan studi Bachelor of Arts—B.A. di Wheaton College, Illinois, U.S.A.; Master of Divinity—M.Div. di Westminster Theological Seminary, Philadelphia, U.S.A.; dan Doctor of Philosophy—D.Phil. di Oxford University, U.K.)

“James Boice adalah salah satu guru Alkitab terbesar di abad kedua puluh. Tafsirannya terhadap Surat Yakobus merupakan suatu tuntunan yang luar biasa, menunjukkan pemikiran Boice yang tajam dalam gaya penulisan yang mudah dibaca. Dengan senang hati saya merekomendasikan buku ini bagi para pendeta dan para mahasiswa theologi lainnya.”
Rev. Eric J. Alexander, M.A., B.D.
(Pendeta yang melayani di Church of Scotland yang menyelesaikan studi Master of Arts—M.A. dan Bachelor of Divinity–B.D. di University of Glasgow)





Profil Rev. Dr. James Montgomery Boice:
Rev. James Montgomery Boice, D.Theol., D.D. (7 Juli 1938–15 Juni 2000) adalah pendeta di Tenth Presbyterian Church, Philadelphia, U.S.A. sejak tahun 1968. Beliau juga pernah menjadi ketua International Council on Biblical Inerrancy selama lebih dari 10 tahun dan anggota pendiri dari the Alliance of Confessing Evangelicals. Beliau menyelesaikan studi Diploma di The Stony Brook School (1956); Bachelor of Arts (A.B.) di Harvard University (1960); Bachelor of Divinity (B.D.) di Princeton Theological Seminary, U.S.A. (1963); Doctor of Theologie (D.Theol.) di the University of Basel di Switzerland (1966); dan Doctor of Divinity (D.D.) di the Theological Seminary of the Reformed Episcopal Church (1982).

Renungan Paskah 2011: EASTER-CENTERED LIFE (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Paskah 2011



EASTER-CENTERED LIFE:
Menghidupi Paskah Di Dalam Kehidupan Sehari-hari


oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: 1 Korintus 15:1-10




Setiap manusia yang dilahirkan ke dalam dunia ini, entah itu filsuf, raja/presiden, pemerintah, orang “suci”, rakyat jelata, dll pasti suatu saat meninggal dunia. Setelah meninggal, mereka pasti masuk ke dalam dunia lain. Namun ada sosok pribadi yang setelah meninggal, pada hari ketiga, Pribadi itu bangkit dari kematian. Siapakah itu? Meskipun Ia bernatur manusia seperti kita, Ia juga adalah Allah. Dialah Tuhan Yesus Kristus! Bahkan kematian dan kebangkitan Kristus pun telah dinubuatkan di dalam Perjanjian Lama bahkan dinubuatkan oleh Kristus sendiri (Mat. 17:22-23; 20:19)! Tetapi, pertanyaan banyak orang non-Kristen maupun “Kristen” yang liberal adalah benarkah Kristus bangkit? Apakah waktu itu para wanita yang hendak pergi ke kuburan Kristus tidak salah kuburan? Ataukah memang Kristus tidak pernah mati di salib? Semua tuduhan dan fitnahan tersebut TIDAK berdasarkan FAKTA sejarah sekaligus tidak masuk akal, karena fakta sejarah mengajar kita bahwa Tuhan Yesus mati disalib dan bangkit pada hari yang ketiga! Saya tidak akan mengatakan di mana ketidakmasukakalannya, karena banyak buku dari para sarjana Injili yang percaya pada kematian dan kebangkitan Kristus secara historis telah membahas hal itu. Saya hendak mengatakan bahwa kebangkitan Kristus adalah sebuah fakta sejarah yang tidak bisa diganggu gugat. Dari mana kita mengetahuinya? Alkitab jelas memberi tahu kita. Bacalah 1 Korintus 15:5-8, di situ dikatakan Kristus yang bangkit menampakkan diri kepada: Kefas (alias Simon Petrus), ke-12 murid-Nya, 500 saudara seiman yang kebanyakan masih hidup pada waktu itu (beberapa telah meninggal), Yakobus, semua rasul, dan terakhir kepada Rasul Paulus. Mungkin ada yang menyanggah, mungkin saja mereka semua berhalusinasi karena sedih memikirkan Yesus yang disalib. Coba dipikir: Pertama, masuk akalkah 500 orang lebih berhalusinasi secara bersamaan? Kedua, jika mereka berhalusinasi, pasti itu terjadi sesaat, namun fakta membuktikan setelah penampakan Kristus yang bangkit itu, mereka semua memberitakan fakta kebangkitan Kristus kepada banyak orang di seluruh pelosok dunia. Apakah halusinasi mengakibatkan orang giat dan berapi-api bekerja keras demikian? Jika ada yang berani meragukan fakta kebangkitan Kristus dan mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal, tantanglah mereka untuk memberikan bukti sejarah yang mendukung tuduhan mereka itu, dijamin mereka tidak akan pernah bisa, karena fakta sejarah tetap adalah fakta sejarah! Mereka yang enggan percaya pada fakta kebangkitan Kristus sebenarnya adalah orang yang menghina sejarah masa lalu, lalu dengan arogannya membuat “fakta sejarah” rekaan mereka supaya cocok dengan nafsu mereka yang menghina kebangkitan Kristus!

Kebangkitan Kristus bukan hanya sekadar fakta sejarah, tetapi saya menyebutnya sebagai sebuah fakta transformatoris. Artinya, fakta kebangkitan Kristus membawa dampak dahsyat bagi pribadi-pribadi yang mendapat penampakan kebangkitan Kristus tersebut. Rasul Petrus yang dahulu menyangkal Kristus sebanyak 3x pada waktu Kristus dianiaya oleh penguasa Romawi, namun setelah mendapat penampakan kebangkitan Kristus dan dipenuhi Roh Kudus, ia menjadi salah satu rasul Kristus yang berani. Hal ini ditunjukkannya ketika ia berkhotbah dengan berani pada saat Pentakosta (Kis. 2:14-36) dan Alkitab mencatat bahwa pada waktu itu, ada 3000 orang yang bertobat (Kis. 2:41)! Dan ada rasul Kristus yang lain yang berdampak dahsyat setelah menerima penampakan kebangkitan Kristus, yaitu Rasul Paulus yang menuliskan Surat 1 Korintus ini. Paulus menerima penampakan kebangkitan Kristus pada saat ia hendak menganiaya jemaat Tuhan di Damsyik (Kis. 9:1-9). Setelah peristiwa itu, ia langsung sadar bahwa ia tidak layak. Perhatikan kesaksian pribadinya di 1 Korintus 15:9, “Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah.” Kata “paling hina” dalam ayat ini dalam bahasa Yunani seharusnya berarti paling kecil. Beberapa Alkitab terjemahan Inggris menerjemahkan least (=terkecil/paling kecil). Mengapa ia menyebut diri sebagai yang paling kecil dari semua rasul? Karena ia telah menganiaya Jemaat Allah. Ia menyadari dosanya dahulu terlalu besar. Di sini, kita belajar poin pertama tentang dampak kebangkitan Kristus di dalam diri Paulus yaitu ia menyadari ketidaklayakannya. Ia tidak pernah membanggakan diri sebagai rasul yang paling hebat, pandai, dll. Ia sadar bahwa tidak ada satu pun yang baik dari dirinya yang patut dibanggakan, karena apa yang telah diperbuatnya dahulu. Kebangkitan Kristus seharusnya membuat umat-Nya menyadari bahwa mereka tidak layak dan berdosa. Ingatlah akan status kita dahulu sebagai hamba dosa dan musuh/seteru Allah (bdk. Rm. 3:10-23; 5:10). Makin kita menyadari status kita dahulu sebagai musuh Allah, kita akan makin sadar betapa tidak layaknya diri kita di hadapan Allah. Ingatlah, tanpa Kristus yang mati dan bangkit pada hari yang ketiga demi menebus dan menyelamatkan kita yang termasuk umat pilihan-Nya yang berdosa, kita tetap manusia berdosa yang pasti binasa kelak karena upah dosa adalah maut/kematian (Rm. 6:23)

Paulus bukan hanya berhenti dengan “merenungi nasibnya” yang dahulu sebagai penganiaya jemaat, namun ia melihat pada anugerah Allah. Di ayat 10a, Paulus berkata, “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang” Di ayat ini, ia sadar bahwa dahulu ia berdosa dengan menganiaya jemaat Allah, namun anugerah-Nya melalui kebangkitan Kristus yang dinyatakan kepadanya membuatnya bertobat, menerima Kristus, dan melayani-Nya sambil bersyukur. Kebangkitan Kristus seharusnya membuat umat-Nya bukan hanya melihat masa lalu sebagai pengingat, tetapi juga masa kini seraya terus bersyukur atas anugerah-Nya. Karena Kristus telah bangkit, maka kita yang termasuk umat pilihan-Nya tidak lagi dihukum oleh karena dosa-dosa kita, tetapi dibenarkan dan diselamatkan-Nya (Rm. 8:1).

Cukupkah Paulus dengan mensyukuri anugerah-Nya saja? TIDAK. Di ayat 10b, ia melanjutkan, “dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua;” Bersyukur atas anugerah-Nya tidak cukup bagi Paulus, karena itu ia berkata bahwa anugerah-Nya itu dipertanggung jawabkannya dengan mengerjakan kehendak-Nya. Dengan mengerjakan kehendak-Nya, maka ia berani berkata bahwa anugerah-Nya tidaklah sia-sia. Bagaimana ia mengerjakan kehendak-Nya? Ia berani berkata bahwa dibandingkan para rasul lain, ia bekerja atau berjerih lelah lebih keras (menurut kata Yunaninya, seharusnya diterjemahkan: lebih banyak). Dengan kata lain, anugerah-Nya melalui kebangkitan Kristus mengakibatkan ia bekerja keras lebih banyak dan giat daripada para rasul lain yaitu memberitakan Injil dan melayani Tuhan. Apa yang Paulus katakan ternyata benar. Di dalam seluruh kitab dalam Perjanjian Baru, Paulus lah yang paling banyak menulis surat (1 dan 2 Korintus, Roma, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, 1 dan 2 Tesalonika, 1 dan 2 Timotius, Titus, dan Filemon). Di samping itu, Paulus saja yang bekerja keras memberitakan Injil ke negara yang jauh di daratan Eropa, seperti: Roma, Filipi, dll. Cukup? TIDAK. Di dalam suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus (menurut kanonisasi Alkitab yang kita miliki sekarang; kemungkinan Surat 2 Korintus ini merupakan surat Paulus yang keempat kepada jemaat di Korintus), ia bercerita secara lengkap tentang jerih lelahnya, “Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian,” (2Kor. 11:23-27) Tidak ada satu rasul Kristus bahkan hamba Tuhan sekarang yang bekerja lebih keras dan banyak daripada Paulus. Itu semua dilakukannya demi Injil Kristus! Paulus tidak takut pada penderitaan, penganiyaan, dll di dalam melayani-Nya, karena ia percaya pada kebangkitan Kristus yang terus-menerus menguatkan semangatnya. Kebangkitan Kristus yang telah membangkitkan semangat Paulus untuk memberitakan Injil dan melayani-Nya dengan berapi-api kiranya dapat membangkitkan semangat kita juga yang termasuk umat-Nya, sehingga kita pun juga dibakar untuk berapi-api memberitakan Injil dan melayani-Nya dengan rendah hati. Kita mengetahui bahwa di dalam melayani-Nya, pasti ada penderitaan dan penganiayaan, namun percayalah, kebangkitan Kristus menjamin kita untuk menang menghadapinya, meskipun itu tidak berarti penderitaan itu akan sirna dengan sendirinya.

Mungkin dari kita akan menyangka Paulus itu sombong karena ia membanggakan diri karena ia lebih banyak bekerja keras dari semua rasul. Benarkah demikian? TIDAK. Untuk menjawabnya, maka Paulus menambahkan di ayat 10b, “tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku.” Semua jerih lelah Paulus diakuinya sendiri BUKAN karena dia yang hebat dan pandai, tetapi karena anugerah Allah yang menolongnya. Dengan kata lain, anugerah Allah memimpin dan menolong kita untuk menggenapkan kehendak-Nya bagi kita. Di sini, kita belajar 2 poin sekaligus dari Paulus bahwa anugerah Allah memimpin kita untuk bekerja keras bagi-Nya sambil menyadari bahwa kerja keras kita pun atas anugerah-Nya. Saya menyebutnya sebagai: from grace to grace (dari anugerah kepada anugerah). Itulah theologi Paulus! Theologi Paulus ini hendaknya juga menjadi theologi kita yang termasuk umat-Nya, di mana kita seharusnya menyadari bahwa karena kita telah diselamatkan oleh anugerah Allah melalui karya Kristus yang mati dan bangkit bagi kita, maka kita harus meresponinya dengan bersyukur sambil bekerja keras bagi-Nya dengan memberitakan Injil dan melayani-Nya sepenuh hati, dan kita pun harus tetap menyadari bahwa sambil bekerja keras bagi-Nya, kita pun harus melihat anugerah Allah yang memungkinkan kita bertindak demikian. Dengan pola pikir ini, maka jangan pernah membanggakan jasa baik kita di mata Allah. Jangan pernah merasa diri melayani Tuhan, lalu arogan dengan berkata (eksplisit maupun implisit) bahwa tanpa kita, semua pekerjaan Tuhan akan rusak! Hindari motivasi demikian! Melayani Tuhan TIDAK membuat kita menjadi sombong, tetapi justru seharusnya membuat kita rendah hati dan mawas diri, karena kita bisa melayani-Nya pun itu pun karena anugerah-Nya saja!

Setelah merenungkan perubahan dahsyat pada pribadi Paulus, apa yang menjadi respons kita tatkala memperingati Paskah tahun ini? Adakah respons dan kerinduan Paulus juga menjadi respons dan kerinduan kita di dalam melayani-Nya dengan berapi-api sambil terus berpusat pada anugerah-Nya untuk menyadarkan kita agar kita tidak sombong dan merasa diri berjasa? Biarlah Paskah tahun ini menjadi momen Paskah yang transformatoris yang menyadari, “segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm. 11:36) Amin. Soli DEO Gloria.


Selamat hari Paskah 2011. Selamat merenungkan kebangkitan Kristus dan mengaplikasikannya demi hormat dan kemuliaan nama Allah Trinitas. Amin.

17 April 2011

Resensi Buku-117: JESUS AND MUHAMMAD: Profound Differences and Surprising Similarities (Prof. Mark A. Gabriel, Ph.D.)

...Get it now...



Book
JESUS AND MUHAMMAD:
Profound Differences and Surprising Similarities


by: Prof. Mark A. Gabriel, Ph.D.

Publisher: Front Line, Florida, 2004





Simple Description from Denny Teguh Sutandio:
Most people claim that all religions are same. Is that statement true? NO. One of the examples is the great differences between Christianity and Islam. Eventhough most people especially many “Christian” pastors (who deny the infallibility and inerrancy of the Bible and other orthodox doctrines) claim that Christian and Islam worship one God, the fact tells us that Christianity and Islam are different religions. A person who proves that fact is Prof. Mark A. Gabriel, Ph.D., a Christian evangelist which was a former lecturer of Islamic History at Al-Azhar University, Cairo, Egypt. In his book Jesus and Muhammad, Dr. Gabriel explains some similarities between Jesus and Muhammad especially in their childhood and also many and great differences between them in their doctrine and the way spreading their messages to people (especially Gentile). Before explaining similarities and differences between Jesus and Muhammad, Dr. Gabriel tells us his personal testimony: his childhood in devout Muslim in Egypt, his study in Islamic history until his doctoral thesis, some questions that he asked to his previous lecturers, and the way that he found the Truth in Christ. After explaining similarities and differences between Jesus and Muhammad, Dr. Gabriel continues his personal testimony: what’s happened after he converted to Christianity. I believe that this book is prohibited to be sold in Indonesia, but I know that Indonesian translation of this book has been already downloadable in a website: faithfreedom. I think that this book is an academic book both for Christianity and Islam in order to understand Christianity and Islam well, because Dr. Gabriel has studied Ph.D. in Islam and Ph.D. in Christian education.





Biography of Prof. Mark A. Gabriel, Ph.D.:
Prof. Mark A. Gabriel, Ph.D. who was born on 30 December 1957 to Muslim parents in the region of upper Egypt known as Al Saeed was a Professor of Islamic History at Al-Azhar University, Cairo, Egypt (the most respected, authoritative Islamic university in the world). He earned Bachelor, Master, and doctoral degree in Islamic History and Culture from Al-Azhar University, Egypt. After he converted to Christianity, he pursued a Christian education: Discipleship Training School with Youth With a Mission in Cape Town, South Africa; Master’s degree in World Religion and Doctorate degree in Christian Education from Florida Christian University in Orlando, Florida, U.S.A, and also induction as a fellow in the Oxford Society of Scholars in September 2003. He wrote other books, include: Against the Tides in the Middle East, International Academic Centre for Muslim Evangelism in South Africa, 1997 (published under the name “Mustafa”), Islam and Terrorism: What the Qur’an Really Teaches about Christianity, Violence and the Goals of the Islamic Jihad (2002), and Islam and the Jews: The Unfinished Battle (2003). After wrote Jesus and Muhammad, he also wrote other books, i.e. Journey into the Mind of an Islamic Terrorist (2006), Culture Clash, and Coffee with the Prophet: 21st Century Conversations with Muhammad.

PRIA SEJATI: Sejatikah?-2 (Ev. Calvin L. Renata, M.Div.)

PRIA SEJATI: Sejatikah?-2
Membedah Theologi Di Balik Gerakan Pria Sejati


oleh: Ev. Calvin L. Renata, M.Div.




SIAPAKAH MANUSIA?
Dalam bukunya Menjadi Pria Sejati, Cole menyatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan keserupaan moral Allah. Menurut Cole, Allah memperlengkapi kita dengan lima kemampuan yang memungkinkan kita menjalani kehidupan yang serupa dengan kehidupan Kristus. Untuk lebih lengkapnya, ia menuliskan demikian:
“Ketika Allah menciptakan manusia menurut gambar dan keserupaan moral-Nya, Dia memperlengkapi kita dengan lima kemampuan yang memungkinkan kita menjalani kehidupan yang serupa dengan kehidupan Kristus. Dengan demikian Allah telah mencurahkan sebagian keunggulan sorga ke bumi ini. Kelima kemampuan itu adalah:
(1). Kemampuan untuk mengetahui kebenaran
(2). Kemampuan untuk mengenali keutamaan moral
(3). Kekuatan untuk melakukan kehendak kita
(4). Daya cipta melalui perkataan kita
(5). Hak dan kemampuan untuk berkembang biak.”(49)

Sepintas lalu tidak ada yang salah dengan kalimat ini. Namun perhatikan baik-baik poin yang ke-4. Cole mengajarkan bahwa manusia diberi kemampuan untuk mencipta melalui perkataannya. Kapan Allah memberikan kemampuan ini kepada manusia? Di mana ajaran Alkitab yang mengatakan demikian? Manusia memang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, tetapi Allah tidak pernah memberikan kemampuan mencipta melalui perkataan.

Dalam seluruh Alkitab hanya Allah sendiri yang mencipta melalui kuasa firman (perkataan), lihat kejadian pasal 1. Bahkan ketika Allah menciptakan manusia, Ia tidak memakai perkataan-Nya melainkan ia memakai debu tanah. Demikian juga ketika Allah menciptakan Hawa, Ia memakai media tulang. Yang terjadi dalam taman Eden adalah Allah memerintahkan manusia untuk bekerja dan mengelola taman tersebut (Kej. 2:15). Manusia harus bekerja untuk mencipta bukan berfirman untuk mencipta! Cole dalam poin ini ingin menyamakan kemampuan manusia dengan Allah, sesuatu dosa yang dilakukan Adam dan Hawa dan sekaligus dosa yang dibenci Allah. Dalam Mazmur 8, Daud hanya mengatakan bahwa manusia itu diciptakan mirip dengan Allah, inilah artinya peta dan teladan Allah. Daud tetap menyadari perbedaan antara ciptaaan (dirinya) dengan pencipta (Allah). Bahkan selama Tuhan Yesus berinkarnasi dalam daging, Ia tidak pernah memakai kuasa kata-kataNya untuk menciptakan sesuatu secara Ex-Nihilo (dari tidak ada menjadi ada).
Tidak berhenti dengan pemikiran di atas, Cole kembali menjunjung status manusia secara berlebihan yang tidak diajarkan dalam Alkitab.
“Anda harus dapat menjadi wahyu Allah yang dinyatakan bagi orang-orang tersebut. Sebagaimana dahulu Yesus menjadi wahyu Allah yang dinyatakan di atas bumi, demikian pula kaum pria harus berdiri mewakili Kristus dan menjadi wahyu Allah bagi sesamanya.”(50)

Sepertinya kalimat yang indah, namun salahnya luar biasa. Sejak manusia pertama diciptakan di taman Eden hingga dicipta ulang dalam Kristus Yesus, Alkitab tidak pernah menjadikan manusia sebagai wahyu Allah. Manusia bukan wahyu Allah, manusia justru membutuhkan wahyu Allah baik secara umum (ciptaan, alam semesta, dll) maupun wahyu secara khusus (Alkitab dan Tuhan Yesus). Melalui wahyu inilah manusia mengenal Allah. Terlebih lagi Alkitab tidak pernah memerintahkan kita menjadi wakil Tuhan Yesus sebagai wahyu Allah di bumi. Bagaimana mungkin manusia yang berdosa menjadi wakil Yesus Kristus yang tidak berdosa? Perhatikan apa yang dikatakan seorang theolog Reformed Cornelius Van Til tentang relasi manusia dan wahyu Allah: “All of God’s revelation to man is law to man (semua wahyu Allah kepada manusia adalah hukum bagi manusia).(51) Jika wahyu Allah menjadi hukum bagi manusia, bagaimanakah manusia menjadi wahyu itu sendiri? Itu sesuatu yang tidak masuk akal.

Yang benar adalah Kristus datang ke dunia justru menjadi wakil umat pilihan Allah, bukan sebaliknya. Ia tidak perlu diwakilkan siapa-siapa. Siapakah kaum pria sehingga berhak dan layak mewakili Yesus? Jika Kristus perlu diwakilkan manusia, berarti Yesus Kristus tidak sempurna, tidak maha kuasa, tidak berotoritas dan ini berarti manusia lebih hebat dari Kristus. Tuhan Yesus tidak pernah mengatakan Ia perlu diwakilkan sebagai wahyu Allah. Tuhan Yesus hanya mengatakan “kamu akan menjadi saksiKu” (Kis. 1:8), “kamu adalah terang dunia”, “kamu adalah garam dunia” (Mat. 5:12-13). Ini menunjukkan sekali lagi pemikiran Cole yang tidak utuh tentang kebenaran Firman Allah mengenai siapa manusia itu.

Masih belum puas dengan kedua hal di atas, kembali Cole mengatakan bahwa melalui kelahiran baru, manusia akan memiliki sifat/kodrat ilahi. Ini suatu hal yang tidak pernah Alkitab ajarkan. Manusia memang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya tetapi Allah tidak pernah menjadikan manusia memiliki sifat ilahi pada dirinya.
“Manusia terlahir dari daging dan tidak memiliki kodrat ilahi melalui kelahiran alami. Itulah sebabnya Yesus mengatakan kepada Nikodemus bahwa ia harus dilahirkan kembali (Yoh. 3:3). Dia mengajarkan bahwa Allah adalah Roh, dan oleh karena itu untuk dapat menerima kodrat Allah, kita harus dilahirkan dari Roh-Nya sebagaimana kita dilahirkan dari daging. Ketika Roh Kristus masuk ke dalam kehidupan seorang manusia, terjadilah suatu “kelahiran”, karena dengan cara itu manusia dibuat hidup di dalam Roh.”(52)

Mungkin Alkitabnya Cole berbeda dengan Alkitab kita. Oleh karena dalam Yohanes 3 ketika Tuhan Yesus berbicara dengan Nicodemus, Tuhan Yesus tidak berbicara manusia akan menerima kodrat/sifat ilahi kalau ia dilahirbarukan, melainkan manusia harus dilahir-barukan supaya ia dapat masuk kerajaan Allah. Ini perkataan Alkitab yang sebenarnya:
Yohanes 3:5, Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
Tuhan Yesus tidak pernah mengatakan:
Yohanes 3:5, Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak memperoleh kodrat/sifat ilahi.”
Ini dua kalimat yang sama sekali berbeda artinya. Cole tidak memahami arti lahir baru yang sebenarnya. Kelahiran baru tidak pernah merubah hakekat manusia menjadi/memiliki sifat ilahi. Jadi apa yang dimaksudkan dengan kelahiran baru itu? Theologi Reformed memahami kelahiran baru sebagai karya Roh Kudus, di mana Ia menanamkan benih kehidupan rohani yang baru dalam kehendak, ratio, dan emosi manusia, sehingga ia dihidupkan secara rohani. Louis Berkhof mendefinisikannya sebagai berikut:
“Regeneration is that act of God by which the principle of the new life is implanted in man, and the governing disposition of the soul is made holy.”(53)
(Kelahiran baru adalah tindakan Allah di mana prinsip hidup baru ditanamkan pada manusia, dan kecenderungan hati manusia dijadikan kudus).

Pada buku yang sama, Berkhof menegaskan kembali apa yang saya katakan bahwa kelahiran baru tidak merubah hakekat manusia: “regeneration is not a change in the substance of human nature (Kelahiran baru bukanlah perubahan substansi/hakekat natur manusia).(54)

Dengan mengganti-ganti ayat semau dirinya, Cole tidak sadar sudah mengajarkan kesesatan baru dalam ajarannya. Lalu apa maksud Petrus dalam 2 Petrus 1:4 ketika ia mengatakan, “Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia.”?(55)

Kata “mengambil bagian” (NIV: participate) dalam bahasa Yunaninya adalah koinōnoi (koinonoi) yang bisa diartikan partner, companion, sharer. Apa yang Petrus katakan dalam suratnya ini sama sekali tidak mengajarkan bahwa manusia setelah percaya memiliki sifat ilahi pada dirinya (deification). Konteks ayat ini berbicara bahwa manusia yang berdosa telah dipanggil oleh kuasa-Nya yang mulia dan dan ajaib (ay. 3) serta diberikan janji yang berharga dan sangat besar (ay 4). Semuanya itulah yang memungkinkan orang berdosa bersekutu (koinonoi) dengan Allah dalam kebenaran dan kekudusan dan pengenalan yang benar. Inilah yang Petrus maksudkan ketika ia berbicara “kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi.” Sesuatu yang dulunya kita tidak miliki sekarang kita peroleh melalui Kristus. Tidak ada indikasi apa pun dalam ayat ini Petrus mengajarkan perubahan hakekat manusia sehingga memiliki sifat ilahi, seperti yang Cole ajarkan. Richard Bauckham misalnya, hanya menafsirkan ayat ini: “To share in divine nature is to become immortal and incorruptible.”(56) (berbagian dalam sifat ilahi adalah menjadi immortal dan incorruptible).

Sedangkan Kevin VanHoozer menafsirkan ayat ini lebih menekankan kepada persekutuan dengan Allah Tritunggal dalam konteks Covenant (perjanjian):
“The focus is on the communicative union – fellowship, not fusion – brought into being by triune dialogical action oriented to covenantal relation.”(57)
(Fokusnya adalah persatuan komunikasi – suatu persekutuan, bukan peleburan – yang diberikan kepada manusia oleh Allah Tritunggal dalam suatu relasi perjanjian).
Theologi Reformed sangat menekankan perbedaan yang hakiki antara pencipta dan ciptaan. Maka harus kita tegaskan sekali lagi bahwa dalam seluruh Alkitab tidak pernah ada ajaran mengilahkan manusia (deification). Ini bukan ajaran iman Kristen. Let God be God, let man be man!


DOA DAN KETAATAN: SINERGI ATAU OPOSISI?
Cole dalam tulisannya mempertentangkan doa dan ketaatan. Hal ini nampak dari kalimat berikut ini:
“Satu ton doa tidak akan pernah menghasilkan satu ons keinginan untuk hidup taat. Setelah Anda mengucapkan semua doa Anda, bila Anda tidak taat, Anda sedang menyangkal doa-doa Anda itu. Percaya ditambah dengan perbuatan sama dengan iman.”(58)

Ini ajaran yang cukup menyesatkan, sebab dalam Alkitab doa dan ketaatan bukan untuk dipertentangkan. Bagaimana Cole begitu yakin bahwa “satu ton” doa tidak akan menghasilkan ketaatan? Bagaimana seseorang bisa taat kalau ia tidak berdoa? Suatu ajaran yang konyol dengan mengatakan bahwa doa tidak akan menghasilkan ketaatan. Cole dalam statement ini sangat meremehkan kekuatan doa dan ia tidak mengerti untuk apa kita berdoa. Kita berdoa justru menyerahkan kehendak kita di dalam ketaatan kepada Allah. Tuhan Yesus sudah membuktikan keduanya tidak bisa dipisahkan. Oleh karena Tuhan Yesus berdoa, Ia mendapatkan kekuatan berjalan ke kalvari (Mat 26:42). Hana berdoa meminta seorang anak kepada Allah dan ia berjanji untuk mempersembahkan anak itu kembali kepada Allah (1 Sam ). Hana berdoa dan dalam doanya menghasilkan ketaatan. Dalam kitab Ezra 9, nabi Ezra berdoa bagi bangsa Israel dan diikuti dengan suatu pertobatan dan ketaatan. Terlalu banyak ayat dalam Alkitab yang menghubungkan doa dan ketaatan. Ajaran Cole tidak Alkitabiah dan Cole perlu lebih banyak waktu untuk membaca Alkitab agar lebih memahami tentang relasi doa dan ketaatan.


HERMENEUTICS YANG PERLU DIPERTANYAKAN
Cole dalam buku-bukunya sering memakai cerita-cerita Alkitab dan mencuplik ayat-ayat, tetapi cara ia menafsirkan tidak menunjukkan bahwa ia seorang yang mengerti hermeneutics yang bertanggung jawab.
1. Cole melakukan penafsiran yang alegori
Tafsiran dengan cara alegori adalah tafsiran yang tidak berdasarkan konteks history maupun eksegesis yang baik, melainkan lebih didasarkan kepada subyektifitas penafsirnya. Sehingga hasilnya adalah ayat dicocok-cocokan dengan kemauan Cole sendiri.
Dalam bukunya Kesempurnaan Seorang Pria bab 1, Cole berbicara tentang Tanah Perjanjian (the promise land) yang Allah hendak berikan kepada bangsa Israel ketika mereka keluar dari Mesir. Tiba-tiba ia berpindah topik bahwa tanah kanaan ini adalah tanah kanaan rohani bagi kaum pria.
“Sekarang, di sini, izinkanlah saya menjelaskan kepada Anda arti dari Tanah Kanaan, dan bagaimana menerapkannya di dalam kehidupan Anda.”(59)
“Saya ingin Anda mengerti bahwa Kanaan adalah Tanah Perjanjian, tempat di mana Allah menginginkan Anda hidup dengan iman saat ini. Di tempat itu, Allah akan menggenapi janji-janji-Nya atas kehidupan Anda. Di sana, Anda dapat meraih potensi maksimal Anda.”(60)
“Allah menginginkan agar kita memiliki Tanah Kanaan di dalam pernikahan, usaha, hubungan orang tua dan pendidikan kita.”(61)
Tafsiran seperti ini adalah tafsiran yang salah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Musa sebagai penulis kitab Keluaran ini sama sekali tidak bermaksud untuk memakai tanah Kanaan sebagai hal rohani, apalagi untuk pernikahan, usaha, dll. Tanah Kanaan di sini adalah jelas bersifat jasmani dan teritorial bukan rohani. Cole lupa bahwa justru di tanah Kanaan-lah bangsa Israel melakukan kawin campur, menyembah berhala, dsb. Apakah ini potensi maksimal yang ia maksudkan di tanah Kanaan? Tafsiran allegory ini memang populer di abad mula-mula seperti yang dilakukan oleh Clement dan Origen (Alexandria), Agustinus dalam beberapa tafsirannya dan beberapa theolog pada masa medieval ages (abad pertengahan). Tetapi cara penafsiran seperti ini sudah ditinggalkan sejak reformasi karena dianggap tidak bertanggung jawab.

2. Cole tidak bisa membedakan arti rohani dan jasmani
Masih mirip dengan kesalahan diatas, Cole kembali menunjukkan kekonyolan dengan tafsirannya tentang terminology ‘hati’ (Inggris: heart). Dalam bab 17 buku Kesempurnaan Seorang Pria, nampak Cole bingung/rancu dengan tafsirannya sendiri.
Cerita diawali dengan gadis berumur 8 tahun yang menerima transplantasi jantung (Inggris: heart) dari seorang anak gadis berumur 10 tahun yang mati karena diperkosa dan dibunuh. Anak penerima jantung ini diceritakan sering mimpi hal–hal yang dialami pedonor. Singkatnya, melalui mimpi-mimpi ini akhirnya si pembunuh tertangkap. Anehnya, dengan cerita ini Cole mau menunjukkan bahwa hati manusia itu yang terpenting dalam diri manusia. Ia banyak mengutip ayat-ayat Alkitab, misalnya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Jelas di sini yang dimaksudkan Tuhan Yesus dengan kata ‘hati’ sama sekali bukan jantung seperti yang Cole ceritakan di atas. Keduanya sama sekali tidak ada hubungan. Dalam cerita di atas jantung (heart) bersifat jasmani sedangkan hati (heart) di sini bersifat non-jasmani. Bagaimana seorang “nabi” tidak bisa membedakan hal demikian sederhana? Ini suatu analogi dan cara penafsiran yang menunjukkan bahwa Cole tidak memahami hermeneutic dengan baik.

3. Cole menyetujui tafsiran yang salah
Kembali ke buku Menjadi Pria Sejati, Cole dalam tulisannya menyetujui tafsiran yang salah.
“Beberapa ahli Alkitab berpendapat bahwa Adam diusir dari Taman Eden bukan karena ia berbuat dosa, melainkan karena ia menolak bertanggung jawab atas perbuatannya.”(62)
Siapa yang Cole maksudkan dengan ‘beberapa ahli Alkitab’ di sini? Tetapi pointnya adalah Cole menyetujui penafsiran ini. Apakah jika Adam mau bertanggung jawab ia tidak akan dihukum? Pertanyaan yang lebih serius, apakah mungkin Adam dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya? Jelas ini tafsiran yang tidak bertanggung jawab. Adam diusir karena ia sudah berdosa bukan karena ia tidak mau bertanggung jawab. Dengan menyetujui tafsiran seperti ini Cole sudah meremehkan makna dosa yang sebenarnya.

4. Tafsiran yang dipaksakan menurut subyektifitasnya
Berulang kali dalam buku-bukunya Cole mengatakan bahwa “Kesempurnaan seorang pria dan keserupaan dengan Kristus adalah hal yang sama.”(63) Motto ini kelihatannya baik, tapi secara exegesis tidak dapat dipertanggung jawabkan. “Manhood and Christ likeness are synonymous” (keserupaan dengan Yesus dan ke-priaan adalah sama). Mari kita lihat prinsip keserupaan dengan Kristus yang dicatat di dalam Alkitab.
2 Korintus 3:18, “Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar.”
Filipi 3:10, “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya”
Filipi 3:21, “yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya.”
Dari kemunculan ayat-ayat yang berbicara tentang Christlikeness, semuanya sama sekali tidak berbicara khusus untuk pria (manhood), melainkan ayat-ayat ini ditujukan untuk siapa pun yang ada dalam Kristus sebagai ciptaan yang baru. Jika Christlikeness hanya ditujukan untuk kaum pria hanya karena Kristus adalah pria, maka bagaimana dengan kaum wanita? Mereka tidak mempunyai figure teladan. Memang Yesus dilahirkan sebagai laki-laki, tetapi Ia tidak secara khusus hanya menjadi teladan bagi laki-laki saja. Ini tafsiran yang dipaksakan dan tidak alkitabiah. Kristus berinkarnasi menjadi pria bukan secara khusus supaya jadi teladan bagi kaum pria. Tetapi, lebih kepada budaya bangsa Yahudi yang patriakat dan kepentingan secara jasmani di mana Ia harus menerima siksaan yang demikian hebat. Semua yang ada dalam diri Yesus (watak, teladan, cara berpikir, ketaatan, dsb), haruslah diteladani oleh semua orang percaya, bukan hanya khusus kaum pria.

5. Cole tidak bisa membedakan tanda (sign) dan substansi
Ini tampak dalam tafsiran Cole tentang figure Abraham sebagai seorang ayah. Ia ingin menunjukkan bahwa ayah yang sejati haruslah melakukan beberapa hal seperti Abraham.
“Pertama, sunatkan anak laki-lakimu. Dalam perjanjian baru pekerjaan penyunatan anak laki ini (secara rohani) sama dengan memastikan bahwa anak-anak Anda adalah orang-orang Kristen sejati yang lahir dari Roh Allah.”(64)
Mungkin Anda bertanya apa yang salah dengan pengajaran ini? Banyak!
Pertama, perintah sunat sudah digantikan dengan baptisan, pasca masa Tuhan Yesus.
Mengapa Cole justru mengalami kemunduran dengan mengajarkan sunat bukan baptisan kepada pembacanya?
Kedua, tidak ada penyunatan secara rohani dalam masa PB. Semua anak laki-laki dalam PB disunat secara jasmani sebagai perintah Allah melalui Taurat. Bahkan Tuhan Yesus juga disunat secara jasmani. Apa yang Cole maksudkan dengan sunat secara rohani di sini?
Ketiga, yang paling fatal Cole menyamakan kalau anak sudah disunat berarti anak sudah lahir baru. Cole tidak bisa membedakan tanda (sign) dengan substansi. Sunat itu hanya tanda perjanjian Allah dengan Israel. Tanda perjanjian secara fisik (sunat) tidak menjamin seseorang sudah dilahir-barukan. Baik sunat maupun baptisan bukan jaminan seseorang sudah dilahirbarukan. Semua bangsa Israel secara jasmani pasti disunat sebagai tanda, tetapi Allah tetap menolak mereka. Jelas dari statement ini Cole tidak memahami arti sunat/baptisan dan kelahiran baru dengan benar.

6. Cole sengaja menafsirkan di luar konteks ayat Alkitab
Dalam bukunya Kesempurnaan Seorang Pria bab 19, Cole berbicara tentang peran seorang ayah. Salah satu topik yang ia bahas adalah relasi ayah tiri dengan anak tirinya. Anehnya, Cole mendasarkan pengajarannya dari ayat yang sama sekali tidak berbicara tentang ayah dan anak tiri. Ia mengatakan demikian:
“Prinsip yang diberikan Yesus sangat penting bagi para ayah tiri dan anak-anak tirinya. “Dan jikalau kamu tidak setia dalam harta orang lain, siapakah yang akan menyerahkan hartamu sendiri kepadamu?”(65)
Perhatikan bahwa dalam Lukas 16:12 ini Tuhan Yesus sama sekali tidak berbicara tentang ayah dan anak tiri. Tuhan Yesus berbicara mengenai tanggung jawab kita terhadap uang/mammon. Saya katakan ini kesengajaan, sebab konteksnya sudah jelas bahwa Tuhan Yesus tidak berbicara tentang ayah dan anak tiri. Yang mengherankan, kenapa Cole tidak memakai ayat Efesus 6:1-4 saja, sebab ayat ini sudah jelas berbicara tentang relasi orang tua dan anak terlepas anak tiri atau bukan. Ini menunjukkan berulang kali, bahwa Cole tidak memahami prinsip-prinsip penafsiran yang bertanggung jawab. Ataukah mungkin karena ia merasa diri seorang ‘nabi’ maka ia boleh menafsirkan Alkitab sesuka hatinya?

7. Cole mendasarkan pengajaran dari ayat yang tidak jelas.
Cole bukan hanya berbicara tentang manusia saja, dalam suatu pembahasannya ia menyinggung tentang malaikat.
“Anak-anak membutuhkan seorang ayah, bukan malaikat pelindung. Anak-anak sudah diperlengkapi dengan malaikat pelindung sebagai suatu standard keistimewaan.”(66)
Cole memiliki kebiasaan mengajar sesuatu tanpa memberikan dasar ayat yang jelas dari Alkitab. Ajaran tentang malaikat pelindung (guardian angel) nampaknya Alkitabiah. Siapa yang tidak suka punya pengawal (bodyguard), apalagi seorang malaikat. Alkitab menyatakan bahwa malaikat memiliki banyak tugas yang berhubungan dengan manusia, tapi di mana ada ayat yang mengajarkan bahwa setiap orang memiliki guardian angel? Harap Anda pahami bahwa ajaran ini berasal dari pemikiran agama kafir (gentile) yang kemudian diadopsi oleh gereja Roma Katolik. Mereka mendasarkan ajaran ini kepada penyembahan terhadap malaikat tertentu yang akan menjadi pelindung mereka.
Francis Turretin, seorang theolog Reformed dalam bukunya Institute of Elenctic Theology dengan jelas memberikan argumennya bahwa ajaran ini tidak Alkitabiah:
“Still we deny that it can rightly be gathered from this that a guardian and tutelary angel is assigned to each believer (Kita tetap menyangkal bahwa tidak dapat dibenarkan ada malaikat pelindung yang ditugaskan kepada setiap orang percaya)(67)
Alkitab justru menunjukkan fakta yang unik mengenai relasi antara malaikat dan manusia. Kadang satu malaikat melindungi banyak orang (Yes. 37:36), sebaliknya banyak malaikat diutus untuk menyertai satu orang (Mzm. 91:11, Kej. 32:1-2). Ayat yang sering dijadikan dasar doktrin malaikat pelindung ini adalah Matius 18:10: “Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga.” “See that you do not look down on one of these little ones. For I tell you that their angels in heaven always see the face of my Father in heaven” (NIV).
Bagaimana ayat ini harus dimengerti? Hal pertama yang harus diketahui adalah bahwa ayat ini tidak memiliki kekuatan yang jelas untuk mendasarkan bahwa setiap manusia memiliki malaikat pelindung. Perhatikan penuturan Thomas Constable dalam tafsirannya.
“Many interpreters believe that the last part of verse 10 teaches that God has guardian angels who take special care of small children. However the context of verse 10 is not talking about small children but disciples who need to be as humble as small children. Furthermore the angels in this passage are continually beholding God’s face in heaven, not watching the movements of small children on earth… Are there guardian angels for children? I like to think there are because of God’s concern for children (e.g., 19:14-15), but I cannot point to a verse that teaches this explicitly.”(68)
(Banyak penafsir yang percaya bahwa bagian terakhir dari ayat 10 mengajarkan bahwa Allah memiliki malaikat pelindung yang akan menjaga anak-anak kecil. Tetapi konteks dari ayat 10 ini tidak berbicara tentang anak kecil, melainkan tentang para murid yang harus merendahkan diri seperti anak kecil. Lagipula, malaikat-malaikat dalam ayat ini selalu memandang wajah Bapa di surga, bukan mengawasi anak-anak kecil di bumi…apakah ada malaikat pelindung bagi anak-anak? Saya hendak mengatakan demikian karena Allah memperhatikan anak-anak kecil (19:14-5), tetapi saya tidak menemukan ayat yang mengajarkan hal ini dengan jelas.”

Hal yang sama juga dikatakan oleh Charles Hodge: “Whether each individual believer has a guardian angel is not declared with any clearness in the Bible (Apakah setiap orang percaya memiliki malaikat penjaga tidak dikatakan dengan jelas dalam Alkitab).(69) Kevin Vanhoozer, Blanchard Professor of Theology di Wheaton College Graduate School (IL), juga menyatakan keberatannya dengan doktrin ini:
“At the other extreme lie the dangers of anthropomorphism (e.g., guardian angels for every individual) and of an unhealthy interest in something about which Scripture is largely silent.”(70)
(Pada sisi ekstrim lainnya ada bahaya dari anthropomorphism (misalnya, malaikat pelindung bagi setiap orang percaya) dan ketertarikan yang tidak sehat kepada sesuatu yang Alkitab sendiri tidak menyatakannya).
Bila para theolog, professor dan penafsir yang lebih berbobot dan akademis dari Cole saja tidak bisa memastikan pengajaran ini, bahkan menolak adanya malaikat pelindung, bagaimana Cole bisa begitu yakin menafsirkan ayat ini dengan benar dan tepat? Cole dalam penjelasannya tidak memberikan argumentasi dan eksegese apa-apa tentang ayat ini.


THEOLOGI KEMAKMURAN DAN PERPULUHAN
Selain berbicara tentang semua tema di atas, Cole juga berbicara tentang masalah uang, khususnya tentang persembahan dan perpuluhan.
“Apabila kita memberi, terutama bila kita memberi di luar persepuluhan, kita akan mengalami secara nyata hukum menabur dan menuai. Apabila Anda memberi persepuluhan, Allah berjanji akan menyelamatkan Anda dari kehancuran yang direncanakan oleh belalang pelahap terhadap Anda (Maleakhi 3:11).”(71)

Sekali lagi Cole menafsirkan ayat ini dengan begitu meyakinkan, tetapi salah. Jelas Maleakhi 3:11 di sini berbicara tentang binatang belalang sungguhan. Allah menghalau belalang tersebut agar tidak merusak panen bangsa Israel, sehingga bangsa Israel bisa memberikan perpuluhan kepada Allah. Cole meng-allegori-kan belalang di sini, namun tidak menjelaskan kepada kita apa yang ia maksudkan dengan “belalang pelahap” tersebut. Nampak di sini, motivasi Cole mengajarkan perpuluhan hanya agar kita diberkati (hukum tabur-tuai). Ini nampak dari cerita seorang yang bernama Ruben yang memberikan semua uangnya sebesar 2,20 dolar dan diganti 100 kali lipat.
“Ruben memberikan seluruh uang yang dimilikinya saat itu, yaitu sebesar 2,20 dolar dan menerima balasan seratus kali lipat, masih ditambah dengan suatu pernikahan yang sah, perbaikan hidup bagi anak-anak mereka, kehormatan sebagai seorang pria, iman yang semakin bertumbuh kepada Allah, dan suatu ukuran jati diri pria yang tidak pernah dimiliki sebelumnya.”(72)

Cole ingin menjadikan cerita yang dialami Ruben ini untuk mendorong pembacanya rajin memberikan perpuluhan/persembahan. Cole lupa bahwa pengalaman tidak bisa dijadikan doktrin. Oleh karena Allah sama sekali tidak mengganti seratus kali lipat seorang janda yang juga memberikan semua uangnya untuk Allah (Mrk. 12:42-44). Di sini hukum tabur-tuai sama sekali tidak berlaku. Bagaimana Cole menjelaskan hal ini? Tuhan Yesus memang pernah mengatakan kalimat yang menantang dalam Matius 19:29, “Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.”
Ini salah satu ayat favorit theologi kemakmuran. Tetapi apakah Petrus, Yohanes dan murid-murid lain mendapatkan rumah mereka diganti 100 kali, ladang mereka diganti 100 kali, istri mereka diganti 100 kali? Justru setelah mereka mengikut Tuhan Yesus, mereka tidak punya rumah dan ladang. Tentu saja Tuhan Yesus di sini bukan sedang mengajar matematika perkalian. Ia memakai gaya bahasa hyperbole yang menunjukkan bahwa meskipun kita mengalami kehilangan karena mengikut Kristus ada pemeliharaan Allah dalam bidang yang lain.
“It is difficult to say whether Jesus had in mind material as well as spiritual blessings, although his statement probably means that God will give spiritual blessings for material sacrifices. For example, someone may be rejected by his or her family for accepting Christ, but he or she will gain the larger family of believers with all the love it has to offer.”(73)
(Sulit untuk mengatakan apakah Yesus sedang bicara tentang berkat materi sebagaimana berkat rohani, meskipun dalam ayat ini kemungkinan besar Yesus (Allah) akan memberikan berkat rohani bagi pengorbanan materi. Contoh: seseorang yang ditolak keluarganya karena percaya pada Kristus, ia akan memperoleh keluarga besar orang percaya dengan semua cinta yang ditawarkan).

Selanjutnya, pada bukunya Menjadi Pria Sejati halaman 267, di sana jelas sekali bahwa Cole adalah seorang pengagum Robert Schuller. Siapakah Robert Schuller ini?(73) Robert Schuller adalah seorang pengkhotbah TV yang juga adalah gembala dari Crystal Cathedral di Garden Grove, California. Robert Schuller adalah penganut theologi kemakmuran. Ia adalah murid dari pengajar positive thinking Norman Vincent Peale. Maka tidak mengherankan injil yang diberitakan adalah injil kemakmuran dan positive thinking. Ia menafsirkan Alkitab dalam kacamata theologi kemakmuran dan positif thinking ini. Perhatikan apa yang ia katakan tentang beberapa doktrin dasar dalam sebuah wawancara berikut ini:(75)
Question: What is sin? (Apa itu dosa?)
Answer: “What do I mean by sin? Any human condition or act that robs God of glory by stripping one of his children of their right to divine dignity – Sin is any act or thought that robs myself or another human being of his or her self-esteem.”
(Apa yang saya maksudkan dengan dosa? Segala kondisi manusia atau tindakan yang merampok kemuliaan Allah dengan melepaskan/mencopot hak anak-Nya untuk memiliki kemuliaan ilahi – dosa adalah tindakan atau pikiran yang merampas diriku atau orang lain dari harga dirinya).
Halaman 68:
Question: What does it mean to be born again? (Apa artinya dilahir-barukan kembali?)
Answer: “To be born again means that we must be changed from a negative to a positive self image-from inferiority to self-esteem, from fear to love, from doubt to trust.”
(Dilahir-barukan berarti kita harus berubah dari gambaran diri yang negatif ke positif, dari rendah diri ke harga diri, dari takut kepada kasih, dari ragu-ragu ke percaya).(74)

Bahkan Schuller mendefinisikan pribadi Kristus sebagai berikut: “Christ is the Ideal One, for he was Self-Esteem Incarnate” (Kristus adalah yang Ideal One, karena Ia adalah harga diri yang berinkarnasi). Ini semua bukan ajaran Alkitab! Ini adalah Injil yang palsu dan gereja Crystal Cathedral milik Schuller yang dibangga-banggakan Cole sekarang sedang menuju kebangkrutan. Poin yang ingin saya sampaikan dengan penjelasan saya adalah: bagaimana mungkin bila Cole mengenal kebenaran iman Kristen menyetujui apa yang Schuller ajarkan? Dengan kata lain, hanya orang yang sepaham dengan Schuller yang dapat menyetujui semua apa yang ia ajarkan.


KESIMPULAN
Dari semua yang telah dipaparkan dalam bukunya dan melalui analisa dalam makalah ini, beberapa kesimpulan dapat kita ambil:
1. Unorthodox Faith (Iman yang tidak ortodoks)
Banyak pengajaran Cole dalam kedua buku ini tidak dapat dipertanggung jawabkan secara doktrinal. Hampir dapat dipastikan setiap kali Cole berbicara tentang doktrin/pengajaran selalu salah bahkan menyesatkan. Cole dengan berani ‘memodifikasi’ doktrin ortodoks dengan pemikirannnya sendiri yang salah dan sesat. Dengan kata lain, doktrin yang sudah baku ia tolak dan diganti dengan pengajarannya sendiri/wahyu yang baru. Anehnya, ia tidak merasa apa yang ditulis ini telah melenceng dari iman yang ortodoks.
“Ketika saya menulis bagian pertama dari buku ini, kuasa Allah hadir dan mempercepat apa yang saya tulis, dan saya merasakan bahwa apa yang ditulis itu begitu baik.”(76)
Cole tidak menyadari bahwa motivasi yang baik saja tidak cukup. Motivasi yang baik harus disertai dan dilandasi dengan pengajaran dan doktrin yang benar. Cole harus ingat bahwa Alkitab bukan hanya berbicara tentang tujuan yang baik, tetapi juga kebenaran yang absolute. Apa yang ia ajarkan dalam gerakan yang dipimpinnya ini memiliki kecacatan theologi yang sangat serius dan parah bahkan kesesatan. Jelas doktrin dasar ajaran/gerakan pria sejati ini memiliki landasan dan perspektif yang berbeda dengan apa yang kita percayai selama ini.

2. Experience vs Sola Scriptura (Pengalaman lebih penting dari Alkitab)
Meskipun Cole berulang kali menyebutkan dan mengutip Alkitab, tapi jelas dari pemaparannya ia tidak menundukkan diri kepada apa yang Alkitab ajarkan. Penafsiran yang salah dan membabi buta menunjukkan bahwa Cole lebih mementingkan pengalaman dan pemikirannya sendiri daripada apa yang Alkitab ajarkan. Alkitab sepertinya hanya jadi pelengkap saja, bukan landasan dari gerakan ini. Bahkan Cole sering menyelewengkan Alkitab sesuai dengan kemauannya. Ini Nampak dari cara Cole memahami dan menafsirkan Alkitab yang tidak sesuai dengan pemahaman ortodoksi. Ini sesuatu yang berbahaya dan spirit ini yang nampaknya ditularkan dalam gerakan ini, di mana kita sering kali mendengar kalimat “yang penting hasilnya”, “pokoknya dia berubah”, dsb, tanpa mau menganalisa apakah yang terjadi sesuai dengan kebenaran Alkitab atau tidak. Betapapun baiknya suatu visi, bila tidak didasarkan kepada kebenaran Firman Allah yang benar, itu hanya menjadi gerakan humanis semata-mata.

3. Church and the Truth (Gereja dan Kebenaran)
Gereja dipanggil untuk menerangi dunia, memelihara dan meneruskan kebenaran Allah dalam dunia ini. Apa yang menjadi trend dalam suatu zaman belum tentu berasal dari Allah, meskipun kelihatannya baik. Firman Tuhan mengatakan “ujilah segala sesuatu” (1Tes. 5:21). Oleh karenanya dengan semua yang dipaparkan di dalam bukunya dan melalui analisa dan kritik dalam makalah ini, sudah sewajarnya dan seharusnya gereja dengan tegas menolak dan menghentikan gerakan dan ajaran ini.
Gereja yang hanya memfokuskan kepada phenomena akan melupakan noumena dibaliknya yaitu ajarannya. Kebenaran (truth) harus di atas kebaikan (goodness). Kebenaran harus di atas hasil (result). Kita jangan hanya melihat kebaikan dan hasil dari ajaran ini dan melupakan kebenaran Alkitab. Bila kita perhatikan, kesalahan-kesalahan yang ada dalam buku-buku Cole ‘terselip dan tersembunyi’ dengan aman di balik kata-kata yang indah. Jemaat dan hamba Tuhan yang tidak memiliki kepekaan tidak akan melihat kesesatan pengajaran ini.
Apa yang harus gereja lakukan? Melalui pengalaman ini, gereja harus mulai disadarkan bahwa tidak ada jalan lain untuk membendung segala pengajaran yang salah dan sesat selain kembali kepada pengajaran Firman yang sehat dan bertanggung jawab. Ada 3 sarana yang harus dimaksimalkan dalam membekali jemaat dengan kebenaran Firman. Pertama, mimbar yang kuat dan bertanggung jawab. Kedua, kelas pembinaan yang efektif dan terintegrasi. Ketiga, persekutuan komisi yang betul-betul membahas Firman Tuhan, bukan membahas tema-tema yang tidak ada relevansinya dengan kerohanian/Firman Tuhan.
Hamba Tuhan memiliki tanggung jawab terbesar dalam menjaga kemurnian pengajaran dan memberi makanan rohani yang sehat bagi jemaat. 1 Timotius 4:16 mengatakan: “awasilah dirimu dan awasilah ajaranmu!” Ini adalah perintah yang harus senantiasa kita ingat sebagai hamba Tuhan. Demikian juga kepada majelis, mereka adalah pendamping hamba Tuhan yang diberikan Allah bagi gereja-Nya. Majelis adalah orang yang “memelihara rahasia iman dalam hati nurani yang suci” (1Tim. 3:9). Oleh karenanya majelis juga bertanggung jawab kepada Allah dalam menjaga domba-domba, bukan sekedar mengurus hal-hal yang administratif belaka. Oleh sebab itu setiap majelis harus membekali diri dan menuntut diri untuk lebih mengerti kebenaran Firman Tuhan, agar pada saat yang dibutuhkan mereka dapat menyatakan kebenaran.
Terakhir, sebagai suatu antisipasi di masa yang akan datang, maka gereja harus mulai memikirkan adanya Departemen Theologi yang mempunyai tugas untuk menyeleksi hamba Tuhan, mengevaluasi khotbah dan pengajaran baik di mimbar atau persekutuan dan termasuk menjadi ‘menara pengawas’ terhadap ajaran-ajaran yang tidak bertanggung jawab.



Catatan kaki:
49. Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hlm. 93.
50. Ibid., hlm. 138.
51. Cornelius Van Til, An Introduction to Systematic Theology (New Jersey: P&R,1974), hlm. 105.
52. Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hlm. 72.
53. Louis Berkhof, Systematic Theology (Grand Rapids: Eerdmans, 1991), hlm. 469.
54. Ibid., hlm. 468.
55. NIV: 2 Pet 1:4, “Through these he has given us his very great and precious promises, so that through them you may participate in the divine nature and escape the corruption in the world caused by evil desires.”
56. Richard J. Bauckham, Word Biblical Commentary, Volume 50: Jude, 2 Peter (Dallas, Texas: Word Books Publisher, 1998).
57. Kevin J. Vanhoozer, Remythologizing Theology: Divine Action, Passion, and Authorship (United Kingdom: Cambridge University Press, 2010), hlm. 282 (Ebook).
58. Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hlm. 86.
59. Ibid., hlm. 8.
60. Ibid., hlm. 8.
61. Ibid., hlm. 9.
62. Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hlm. 227.
63. Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hlm. 137.
64. Ibid, hlm. 161.
65. Ibid., hlm. 162.
66. Ibid., hlm. 113.
67. Francis Turretin, Institute of Elenctic Theology, Vol 1 (New Jersey: P& R, 1992), hlm. 558.
68. Thomas Constable, Notes On Matthew, 2002 edition, hlm. 233-234 (Ebook).
69. Charles Hodge, Systematic Theology Vol 1 (Grand Rapids: Eerdmans, 1993), hlm. 640.
70. Kevin J. Vanhoozer, Remythologizing Theology: Divine Action, Passion, and Authorship, hlm. 250 (Ebook).
71. Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hlm. 272.
72. Ibid., hlm. 274.
73. Life Application Bible Commentary: Matthew 19:29. Program Quickverse.
74. Untuk info yang lebih utuh tentang Robert Schuller, apa yang ia ajarkan, kunjungi website misalnya: www.letusreason.org
75. Another possible gospel of Robert Schuller’s, available from www.letusreason.org
76. Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hlm. 165.



JAWABAN SINGKAT ATAS BEBERAPA SANGGAHAN
1. Kalau belum ikut gerakan ini jangan menghakimi dulu
Memang kalimat ini ada benarnya bila diaplikasikan untuk hal-hal yang tidak bersifat etika atau moral/dosa. Misalnya, soal makanan, tempat rekreasi, dll. Tetapi bila menyangkut hal-hal yang bersifat moral apalagi dosa, pernyataan ini sama sekali tidak tepat. Untuk mengatakan bahwa berzinah itu dosa, tidak perlu kita harus mencobanya terlebih dahulu. Untuk mengatakan berjudi itu dosa tidak berarti kita harus berjudi dulu, dsb. Termasuk untuk ajaran sesat, tidak perlu kita ikut dulu baru boleh mengatakan sesat. Tuhan Yesus berulang kali menghardik orang Farisi dan ahli taurat tanpa pernah ia harus ikut-ikutan jadi farisi terlebih dahulu. Kita harus bisa membedakan kapan prinsip ini dipakai.

2. Pembahasan dalam buku ini tidak fair karena tidak melibatkan nara sumber.
Jangan lupa bahwa Edwin Louis Cole adalah nara sumber di atas segala nara sumber gerakan pria sejati. Ia adalah pendiri gerakan ini. Justru pembahasan dalam makalah ini didasarkan apa yang dituliskan oleh pendirinya sendiri, first source (sumber utamanya). Buku/tulisan seseorang sudah cukup representative untuk menunjukkan theologi dan cara berpikir seseorang. Oleh karenanya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa pembahasan ini tidak fair, karena semua yang tercantum dalam makalah ini dapat dibuktikan berasal dari tulisan-tulisan Cole sendiri.

3. Yang penting khan hasilnya! Banyak orang berubah karena mengikuti gerakan ini.
Memang kalimat ini sering saya dengar. Setelah ikut gerakan ini orang berubah, rajin baca Alkitab, rajin melayani, dsb. Ini cara berpikir yang salah. Dalam menilai sesuatu, sekali lagi jangan hanya dilihat dari fenomenanya. Mengapa demikian? Sebab saya jamin kalau orang tersebut ikut gerakan Saksi Yehuwa, ia akan lebih rajin baca Alkitab. Bahkan, bukan saja membaca tetapi menggali Alkitab. Ia juga akan lebih rajin melayani, dsb. Oleh karenanya jangan terjebak hanya melihat hasil dan memetingkan hasil. Ini adalah cara berpikir pragmatis dan utilitarian. Apakah Anda juga setuju seseorang merampok demi mengobati anaknya yang sakit? Bagaimana jika Anda yang jadi korbannya? Tentu saja tidak bisa demikian. Hal yang sama juga berlaku dalam menilai suatu gerakan/ajaran.

4. Gerakan ini banyak pengikutnya. Bahkan, banyak Hamba Tuhan gereja Injili ikut gerakan ini.Ini menunjukkan gerakan ini benar!
Tuhan Yesus dalam pelayanannya sama sekali tidak pernah mementingkan kuantitas, bahkan dalam Yohanes 6 Ia mengusir semua orang yang mengikuti Dia tanpa motivasi yang benar. Benar tidaknya suatu gerakan sama sekali tidak ditentukan oleh jumlah pengikutnya. Saksi Jehovah jauh lebih banyak pengikutnya dari gerakan pria sejati ini, lalu apakah kita katakan gerakan ini benar? Banyak Hamba Tuhan Injili ikut gerakan ini karena mereka kemungkinan besar belum membaca buku Cole atau sudah membaca tetapi tidak menganalisa dengan teliti, sehingga apa yang tertulis seolah baik-baik saja. Padahal bila diteliti kita akan menemukan banyak penyimpangan bahkan kesesatan di dalam tulisan-tulisannya.

5. Tulisan dalam buku ini salah terjemahan!
Buktikan dulu kepada saya bahwa apa yang tertulis dalam buku-buku ini salah terjemahan. Harus diingat bahwa buku-buku ini sudah dicetak berulang kali tetapi tidak ada perubahan apa-apa. Ini menunjukkan bahwa memang tidak ada hal yang perlu diterjemahkan ulang. Salah terjemahan biasanya terjadi satu atau dua kalimat saja, tetapi buku ini hampir setiap halaman menunjukkan kesalahan/kesesatan.
Sesuatu yang tidak lazim bila hampir setiap halaman salah terjemahan ! Kalaupun buku ini salah terjemahan, harap diingat bahwa buku-buku ini sudah diterbitkan dan dibaca ribuan orang Kristen di seluruh Indonesia. Bagi saya semuanya harus bertanggung jawab. Yang menulis, menterjemahkan dan menerbitkan, semua harus bertanggung jawab atas apa yang tertulis dalam buku ini.

6. Gerakan ini dipimpin oleh hamba Tuhan terkenal berkelas international, jadi pasti benar.
Tidak ada jaminan suatu gerakan kalau dipimpin seorang yang terkenal pasti benar. Bila demikian rumusnya, maka ajaran Tuhan Yesus pasti salah, sebab Ia bukan pembicara kelas dunia. Ia bukan pembicara terkenal. Ia tidak pernah berceramah di luar Israel, dsb. Jadi benar tidaknya suatu gerakan bukan dinilai dari terkenal atau tidaknya pendirinya, melainkan pada isi ajarannya.

7. Bagaimana jika ajaran Pria Sejati kita betulkan yang salah, lalu kita bawa masuk ke gereja?
Kita harus tahu bahwa sesat itu berbeda dengan salah. Yang sesat pasti salah, tapi yang salah belum tentu sesat. Yang salah masih bisa diperbaiki, yang sesat tidak mungkin diperbaiki. Dari pembahasan yang telah kita lihat di atas, ajaran Pria Sejati bukan sekedar salah. Gerakan ini sudah menjurus kepada ajaran sesat. Misalnya: Yesus adalah ciptaan, perlu dilahir-barukan, perlu pengampunan, dsb. Tidak percaya Alkitab sudah selesai diwahyukan, menganggap diri nabi, tidak percaya dosa asal, dsb. Oleh karenanya tidak perlu ‘memperbaiki’ ajaran ini lalu membawa masuk ke dalam gereja. Lagipula menurut saya, tidak ada hal yang istimewa dalam ajaran ini, bahkan sebaliknya banyak doktrin yang sesat di dalamnya. Untuk apa dan dalam kepentingan apa ajaran seperti ini diajarkan kepada jemaat kita? Bukankah gereja sudah punya dasar pengajaran sendiri?

8. Pembahasan dalam makalah ini tidak komprehensif karena hanya membahas dua buku Cole, sementara Cole menulis banyak buku. Mengapa tidak semuanya dibahas?
Memang lebih baik membahas semua tulisan seseorang, tetapi kita harus sadar bahwa pembahasan tema ini juga dibatasi oleh waktu, sehingga tidak memungkinkan untuk membahas satu per satu buku Cole. Dengan membahas dua buku ini saja sudah menemukan banyak kesalahan dan kesesatan, apalagi membahas semua buku-buku Cole. Kedua buku ini menurut saya sudah cukup mewakili pemikiran Cole dan melalui makalah ini seharusnya Anda mulai bisa mengkritisi buku-buku Cole yang lainnya.
“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.” (2Tim. 3:16-17)



Sumber: http://gracia4christ.wordpress.com/







Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.

13 April 2011

“DOKTRIN GAK PENTING, YANG PENTING PERBUATANNYA”?? (Denny Teguh Sutandio)

“DOKTRIN GAK PENTING, YANG PENTING PERBUATANNYA”??

oleh: Denny Teguh Sutandio



“tidak akan ada kesehatan rohani tanpa pengetahuan doktrin.”
(Prof. J. I. Packer, D.Phil., Mengenal Allah, hlm. 9)




“Doktrin gak penting, yang penting perbuatannya,” begitulah cetusan seorang Kristen yang “melayani Tuhan” di sebuah gereja kontemporer yang top di Surabaya. Kemudian orang itu berujar, “Apa gunanya berdebat theologi ini itu, tetapi tidak memiliki kasih.” Atau ada juga seorang mantan non-Kristen yang pernah berbakti di sebuah gereja Injili di Surabaya, kemudian akhirnya enggan berbakti kembali setelah ditipu oleh seroang majelis gereja lalu berujar, “Percuma ke gereja, yang penting itu berbuat baik.” Mengapa ada orang Kristen berujar demikian? Karena:
Pertama, dia suntuk mendengar debat theologi yang tidak kunjung habis. Harus disadari bahwa theologi tidak sesederhana yang kita kira, karena theologi khususnya theologi Kristen berangkat dari pengenalan dan penafsiran seseorang akan Alkitab. Di dalam sejarah gereja, ada banyak perbedaan theologi yang mengakibatkan perdebatan berkepanjangan, sehingga hal inilah yang mengakibatkan beberapa (atau mungkin banyak?) orang Kristen suntuk berdebat theologi, karena baginya itu membuang waktu. Lalu, tidak heran, ia mengeluarkan pernyataan, “yang penting itu kasih.”

Kedua, dia malas belajar doktrin. Alasan pertama masih bisa sedikit dimaklumi, namun alasan lain mengapa seseorang mengatakan, “Yang penting perbuatannya” adalah orang tersebut malas belajar doktrin apalagi membaca Alkitab dan buku-buku theologi. Kalaupun ia mau belajar Alkitab, ia hanya mau menimba ilmu di sebuah sekolah Alkitab awam yang mudah yang tidak perlu memeras otaknya. Tidak heran, dari mulut orang seperti inilah terlontar pernyataan, “Doktrin gak penting, yang penting perbuatannya.”


Sebenarnya, orang yang berkata, “Doktrin gak penting, yang penting perbuatannya” memiliki kelemahan yang tidak disadarinya, yaitu:
Pertama, kontradiksi yang aneh. Bagi saya, orang yang terus berkoar-koar, “Doktrin gak penting, yang penting perbuatannya” sebenarnya adalah orang yang benar-benar aneh dan konyol, mengapa? Karena dengan mengatakan hal tersebut, ia sedang mengeluarkan pernyataan doktrinal bahwa doktrin itu tidak penting. Dengan kata lain, sambil berkoar-koar, “Doktrin gak penting, …”, ia sedang menciptakan sebuah doktrin bahwa doktrin tidak penting. Perlu diketahui bahwa doktrin itu berarti ajaran. Makin berkoar-koar, makin terlihat betapa konyol orang itu. Terhadap orang yang berkoar-koar ini, mudah saja, abaikan perkataannya, mengapa? Bukankah menurutnya doktrin itu tidak penting dan apa yang dikatakannya itu pun sebuah doktrin, jadi buat apa ngurusin doktrin yang menganggap bahwa doktrin tidak penting? Ke laut aja dech…. Wkwkwk

Kedua, ketidakkonsistenan. Coba cek perilaku dari orang yang berkoar-koar, “Doktrin gak penting, yang penting perbuatannya” atau “Percuma ke gereja, yang penting berbuat baik” atau sejenisnya, kebanyakan orang yang berkoar-koar hal tadi ternyata perilakunya juga tidak beres, bahkan beberapa orang dapat dikatakan kasar! Saya sudah membuktikan hal ini, sehingga saya bisa berkata demikian! Ada seorang mantan non-Kristen yang pernah berbakti di sebuah gereja Injili di Surabaya, namun tidak lagi berbakti lagi (karena ditipu oleh seorang majelis gereja), lalu dengan bangganya, dia berkata, “Percuma ke gereja, yang penting berbuat baik.” Tahukah Anda bahwa orang yang SAMA juga adalah orang yang berkata kasar kepada ayah saya? Aneh memang, orang yang ngotot berkata bahwa yang penting berbuat baik adalah orang yang SAMA pula berkata kasar. Hal ini berarti bahwa orang yang berkata, “yang penting perbuatannya” sebenarnya hanya menutupi diri untuk tidak mau mengenal Kebenaran sejati dengan dalih bahwa yang penting perbuatannya.

Ketiga, menghina Kristus! Jika ada orang Kristen yang gemar berkata, “Doktrin gak penting, yang penting perbuatannya”, maka Ev. Jimmy Setiawan, M.T.S. di dalam komentarnya di BlackBerry Messenger (BBM) group berkata, “Kalau yang penting perbuatannya, maka ga perlu Kristus… Jadi orang Budhist saja, mungkin lebih bermoral… Orang atheis saja banyak yang humanis.” Dengan kata lain, orang yang berkata bahwa yang penting perbuatannya sedang menghina Kristus:
Pertama, orang yang berkata bahwa yang penting perbuatannya adalah orang yang sama akan berkata bahwa manusia diselamatkan dan dibenarkan melalui perbuatannya, maka tidak perlu Kristus mati disalib untuk menebus dosa manusia.
Kedua, orang yang berkata bahwa yang penting perbuatannya, ia sedang menghina Kristus, karena Kristus pun selain mengasihi manusia (menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, dll) juga mengajarkan doktrin! Doa Bapa Kami dan Khotbah di Bukit adalah beberapa pengajaran-Nya yang berkuasa. Beranikah kita berkata bahwa doktrin yang Kristus ajarkan sendiri itu tidak penting?


Lalu, bagaimana sikap orang Kristen yang beres menanggapi pernyataan di atas?
Pertama, introspeksi diri. Orang Kristen yang beres di titik pertama tidak perlu emosional menghadapi pernyataan di atas, sebaliknya kita perlu mendengarkan pernyataan tersebut sambil mengintrospeksi diri apakah dirinya mencerminkan apa yang dikatakan orang Kristen pragmatis tadi. Secara umum, memang perlu diamini bahwa banyak orang Kristen khususnya theolog rajin berdebat theologi bahkan berselisih/berkelahi untuk urusan yang tidak terlalu penting. Bahkan di dalam sejarah gereja, gereja Barat dan gereja Timur berpisah salah satu alasannya adalah perbedaan penggunaan jenggot di mana gereja Barat tidak mengharuskan pemimpin gerejanya berjenggot, sedangkan gereja Timur mengharuskan pemimpin gerejanya berjenggot! Hanya untuk alasan yang sangat sepele, kedua arus gereja utama dahulu sudah berkelahi dan tidak saling berinteraksi, meskipun baru-baru di abad XX, mereka pernah bersilaturahmi. Secara khusus, banyak orang Kristen yang makin belajar theologi, makin rajin berdebat sini sana bahkan untuk urusan sepele, misalnya: makan, baptisan anak, dll. Selain itu, beberapa dari mereka juga merasa sok tahu dan susah ditegur, karena mereka merasa sudah mengerti theologi, filsafat, dll. Yang paling celaka adalah beberapa pendeta yang bergelar theologi, makin bergelar tinggi, makin sombong, enggan dikritik dengan beribu argumentasi “theologis”! Saya terus terang muak melihat orang Kristen yang gemar memakai ayat-ayat Alkitab dan kata-kata rohani untuk menutupi kesalahannya! Bagaimana dengan kita sendiri? Apakah kita yang rajin belajar doktrin termasuk orang yang cepat menghakimi orang lain dengan theologi yang kita pelajari?

Kedua, tunjukkan bahwa doktrin itu penting. Setelah introspeksi diri, kita perlu mengatakan kepada orang Kristen pragmatis di atas bahwa doktrin itu penting. Mengapa? Karena: Pertama, doktrin Kristen merupakan dasar iman Kristen. Dengan belajar doktrin Kristen, kita makin mengerti apa keunikan sekaligus finalitas Kekristenan dari semua agama, filsafat, tradisi, dll, di mana hanya Kekristenan SAJA (yang berdasarkan Alkitab) adalah satu-satunya agama/iman yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara logika, sejarah, maupun hati nurani. Beberapa doktrin dasar yang penting dalam iman Kristen: Allah Tritunggal, Kristus yang memiliki dua natur (Ilahi dan manusia), manusia diciptakan Allah, fakta dosa manusia, manusia ditebus dan diselamatkan dari dosa melalui anugerah Allah di dalam penebusan Kristus, dll. Makin mengerti doktrin hendaklah mengakibatkan kita makin rendah hati, bukan sombong! Kedua, doktrin Kristen yang benar merupakan dasar kita menguji suatu ajaran Kristen apakah sesuai dengan Alkitab atau tidak. Terlalu banyak orang menyebut diri “Kristen”, tetapi tidak beriman pada Allah Tritunggal atau mengakui Kristus hanya sekadar manusia/junjungan Allah (bukan Allah). Nah, belajar doktrin Kristen mengakibatkan kita makin berwaspada dengan pengajaran palsu demikian. Meskipun pendeta tersohor sekalipun yang mengajarkan bahwa Allah itu bukan Tritunggal, maka orang Kristen yang beres HARUS menolak ajaran tersebut dan bukan malahan mengikutinya secara membabi buta hanya karena sang pendeta itu “terkenal”! Ketiga, doktrin Kristen sebagai dasar kehidupan rohani. Belajar doktrin Allah Tritunggal, ketidakbersalahan Alkitab, dll sebenarnya merupakan dasar penting bagi pertumbuhan rohani kita. Prof. J. I. Packer, D.Phil. dalam bukunya Mengenal Allah pernah berujar, “tidak akan ada kesehatan rohani tanpa pengetahuan doktrin.” (hlm. 9) Misalnya, ketika kita belajar doktrin bahwa Allah itu adalah Pribadi Allah yang berdaulat, seharusnya doktrin ini bukan hanya mengisi pikiran kita untuk nantinya berdebat perbedaan Calvinisme dan Hiper-Calvinisme, dll, tetapi justru ini menjadi kekuatan dan penghiburan tersendiri bagi kita tatkala kita menghadapi penganiayaan, pemfitnahan, dll sekaligus menjadi jaminan kita hidup di dalam tangan-Nya yang berdaulat. Jika kita beriman pada Allah yang tidak berdaulat yang mudah mengubah keputusan-Nya atau paling konyol bukan pada Allah yang berpribadi, maka kita tidak akan mengerti makna hidup kita, karena apa/siapa yang kita imani (yang fana) tidak layak menopang hidup manusia yang fana!

Ketiga, berkomitmen untuk menjalankan apa yang kita telah pelajari. Setelah menunjukkan kepada orang Kristen pragmatis tersebut bahwa doktrin itu penting, maka tugas dan panggilan kita sebagai orang Kristen yang beres adalah berkomitmen untuk menjalankan apa yang telah kita pelajari. Doktrin bukan hanya dikonsumsi di pikiran saja, tetapi juga harus dijalankan, karena iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak. 2:14-26). Mengutip perkataan Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M. dalam siaran eksposisi Yakobus di radio Suzana FM, menurut Yakobus, orang Kristen yang telah dilahirbarukan oleh Roh Kudus adalah orang Kristen yang mendengar Firman, menerima Firman tersebut dengan lemah lembut, dan tidak lupa untuk melakukannya (Yak. 1:19-25). Memang tidak mudah menjalankan Firman, karena meskipun kita telah dilahirbarukan Roh Kudus, kita masih bisa berdosa karena ada natur kedagingan kita (meskipun dosa TIDAK lagi menguasai kita). Karena ini tidak mudah, tidak berarti itu tidak mungkin, mengapa? Karena Roh Kudus akan memimpin kita untuk menjalankan firman, sehingga kita dimampukan-Nya untuk memuliakan Allah. Biarlah kita dengan rendah hati siap dipimpin Roh Kudus untuk berusaha mematikan kedagingan kita dan taat mutlak pada firman, sehingga orang sekeliling kita tidak lagi berkata, “Doktrin gak penting, yang penting perbuatannya.” Dengan kata lain, kita yang sudah belajar banyak doktrin, tunjukkan itu sebagai teladan hidup dengan mengakui bahwa itu semua dapat terjadi karena anugerah-Nya.


Bagaimana dengan kita? Doktrin itu penting, namun doktrin yang penting itu hendaknya tidak bersarang di pikiran kita saja, tetapi juga di dalam hati dan kehidupan kita sehari-hari demi kemuliaan-Nya. Amin. Soli DEO Gloria.

10 April 2011

PRIA SEJATI: Sejatikah?-1 (Ev. Calvin L. Renata, M.Div.)

PRIA SEJATI: Sejatikah?-1
Membedah Theologi Di Balik Gerakan Pria Sejati


oleh: Ev. Calvin L. Renata, M.Div.





LATAR BELAKANG SINGKAT
CHRISTIAN MEN’S NETWORK adalah suatu gerakan yang dipelopori oleh seorang yang bernama Edwin Louis Cole (Ed Cole), di mana visi dari gerakan ini adalah menolong kaum pria untuk menjalani fungsi hidup sebagai suami dan ayah yang seharusnya. Gerakan ini muncul di USA pada kurang lebih tahun 1980-1982 an dan masuk ke Indonesia pada tahun 1999. Di balik segala fenomena yang ada, adalah penting bagi kita untuk mengenali bukan hanya dampaknya bagi gereja-gereja di Indonesia, tetapi juga mengenali theologi dibalik ajaran yang dikenal dengan nama “Pria Sejati” ini.

Untuk itu hal pertama yang harus kita kenali adalah tokoh di balik gerakan ini dan apa yang ia pahami tentang iman Kristen. Pembahasan dalam makalah ini difokuskan bukan kepada aktivitas camp, tokoh-tokoh gereja yang terlibat, pembicara-pembicara camp melainkan kepada Edwin Louis Cole dan apa yang ia tulis dalam kedua bukunya yaitu Menjadi Pria Sejati dan Kesempurnaan Seorang Pria.


EDWIN LOUIS COLE: NABI ALLAH DI TENGAH ZAMAN INI?(1)
Cole dilahirkan di Dallas, Texas, USA. Lahir tahun 1922 dan meninggal 27 Agustus 2007. Cole tinggal di Dallas dengan ibunya sampai umur 4 tahun. Berjangkitnya penyakit Scarlet Fever mengharuskan mereka pindah ke L.A., California. Di sana ia sekolah di Belmont High School di pusat kota L.A. Pada masa perang dunia II ia mendaftarkan diri sebagai pasukan penjaga pantai, di mana ia menemukan Nancy Corbette, sesama sukarelawan yang kemudian menjadi istrinya. Cole aktif dalam street witnessing (kesaksian di jalan), dan dua tahun kemudian ia menjadi pastor di sebuah gereja di California Utara.

Karir rohaninya dimulai sebagai pelayan khusus kaum pria. Ia menjalani dua dekade hidupnya sebagai pekerja rohani termasuk mission trip, penginjilan dan pembicara di TV. Tahun 1977 ia mendirikan Christian Men’s Network sambil tetap melayani sebagai pembicara di dua stasiun TV Kristen. Tahun 1984, ia keluar dan memfokuskan diri pada pelayanan pribadinya. Tahun 1993, ia dan istrinya kembali ke Texas untuk melayani di sana dan tahun 2002 ia divonis mengidap kanker serta meninggal pada tahun yang sama.

Visi yang mulia dan berdedikasi, tapi bila tidak didukung oleh pengenalan terhadap kebenaran dan dasar Firman yang kuat hanya akan membawa kepada kesalahan demi kesalahan bahkan kepada kesesatan. Hal pertama yang harus kita perhatikan dalam buku-bukunya, Cole tidak pernah disebutkan mengenyam pendidikan theologi di seminari tertentu. Seorang hamba Tuhan dituntut untuk mempunyai dasar dan pemahaman tentang Alkitab sebelum dia melayani. Bahkan dalam judul-judul bukunya tidak dituliskan gelar akademis yang ia miliki. Memang gelar bukan segalanya, tetapi ini menunjukkan kompentensi dan kapabilitas seseorang dalam menulis dan berbicara.(2) Bagi saya hanya ada dua kemungkinan. Pertama, Cole seorang yang sangat rendah hati sehingga ia tidak mau menyebutkan di mana ia sekolah Alkitab dan gelar akademis yang ia miliki.(3) Kedua, memang ia tidak pernah sekolah Alkitab sehingga tidak ada yang perlu dituliskan dalam biografinya. Dari dua kemungkinan ini, jika dilihat dari apa yang ia jabarkan tentang pengajarannya lebih menunjuk pada kemungkinan yang kedua, yaitu bahwa Cole tidak pernah mengenyam pendidikan theologi, sehingga ia tidak memahami Firman Tuhan dan kebenarannya dengan utuh. Namun ironisnya, banyak Hamba Tuhan yang telah mendapatkan gelar S2 bahkan S3 malah mengaminkan apa yang diajarkan dalam gerakan ini, tanpa berpikir kritis dan mempelajari dasar theologi gerakan ini. Ini adalah sesuatu yang sangat menyedihkan!

Hal yang tidak terlalu mengejutkan sebagai dampak dari identitas dirinya yang tidak jelas adalah berulang kali Cole menyebut dan mengklaim diri sebagai nabi Allah di tengah zaman ini.
“Sebenarnya perkara ini terlalu keras, terlalu tajam – bahkan untuk seorang nabi pengkotbah seperti saya, yang sudah berkotbah di hadapan ribuan orang. Perkara-perkara yang lalu sepertinya sudah tidak ada apa-apanya lagi bila dibandingkan dengan perkara ini.”(4)
“Edwin Louis Cole adalah pendiri dan pemimpin dari Christian Men’s Network yang telah banyak menyampaikan pesan-pesan nubuat bagi kaum pria dari generasi masa ini.”(5)

Dalam PL memang ada tiga jabatan penting, yaitu Raja, Imam dan Nabi (yang ketiganya bersatu dalam diri Yesus Kristus). Namun harus kita ketahui tiga jabatan ini telah berhenti. Jabatan raja berhenti ketika bangsa Yehuda/Israel berada di dalam masa intertestamental dan dijajah Romawi. Mereka sudah tidak memiliki kerajaan lagi. Jabatan imam berakhir ketika bait Allah diruntuhkan pada tahun 70 AD oleh Romawi dalam peperangan 4 tahun dengan Israel. Sejak itu mereka tidak memiliki lagi imam, yang ada hanya guru (rabbi). Jabatan nabi juga sudah selesai pada saat Allah telah selesai berfirman dan wahyu Allah berhenti.

Masih adakah nabi/rasul pada zaman ini? Rupanya Cole tidak memahami bahwa jabatan nabi/rasul sudah berhenti dengan selesainya wahyu Allah kepada manusia. Bagaimana dengan Efesus 4:11 yang mengatakan “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar.”? John Calvin dalam bukunya Ecclesiastical Ordinances mengatakan dengan jelas bahwa jabatan rasul dan nabi hanya diberikan sebagai dasar pembentukan gereja, sedangkan gereja pada masa pasca Kristus hanya memiliki 4 jabatan di dalamnya:
Fundamental to the Ecclesiastical Ordinances is that Calvin felt that the fourfold office of ministry laid out therein was God-given: “There are four orders of office instituted by our Lord for the government of his Church . . . pastors; then doctors; next elders, and fourth deacons.”(6)
(suatu hal yang mendasar dalam buku Ecclesiastical Ordinances adalah bahwa Calvin merasa hanya ada 4 jabatan yang Allah berikan kepada gereja-Nya: “ada empat jabatan yang didirikan Allah bagi pemerintahan gereja-Nya …pastors (gembala-gembala), kemudian doctors (pengajar-pengajar), kemudian elders (penatua-penatua) dan keempat deacons (diaken-diaken).”

Alkitab menunjukkan bahwa seorang nabi justru beritanya tidak didengar oleh bangsanya. Ia ditolak, dikucilkan bahkan dibenci oleh orang sezamannya. Hal itu terjadi karena ia memberitakan Firman yang tidak disukai oleh orang berdosa. Itulah yang dialami nabi Allah yang sejati, bukan disanjung-sanjung atau diikuti banyak orang. Intinya, tidak ada nabi yang hidupnya enak dan ia adalah orang yang kesepian dalam zamannya.

Lagipula, dalam Alkitab tidak pernah ada nabi khusus bagi kaum laki-laki/wanita yang hanya bicara masalah pria/wanita. Para nabi memberitakan semua Firman Allah baik penghukuman, murka Allah, dosa kepada semua orang baik pria dan wanita. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa seorang nabi dipilih dan dipanggil sendiri oleh Allah. Bahkan seperti nabi Yeremia dan Yohanes Pembaptis dipilih sejak mereka dalam kandungan. Pertanyaannya: kapan Allah memilih Cole menjadi seorang nabi? The Bible does not say anything about Cole! (Alkitab tidak berkata apa-apa tentang Cole). Adalah kesalahan sekaligus penyesatan mengklaim diri sebagai nabi Allah. Selain nabi-nabi yang disebutkan namanya dalam Alkitab, tidak ada nabi lagi pada zaman ini. Saya berani pastikan bahwa Cole bukanlah nabi Allah pada zaman ini.

Apakah bahaya dari mengklaim diri sebagai nabi Allah? Sebagai konsekuensi dari klaim bahwa dirinya seorang nabi Allah, Cole otomatis jatuh kepada kesalahan fatal lainnya, yaitu beranggapan bahwa Allah masih berfirman dan memberikan wahyu-Nya melalui dirinya. Hal ini akan kita bahas pada bab berikutnya.


ED COLE & WAHYU BARU
Mengaku sebagai nabi Allah otomatis akan mengaku menerima wahyu/firman yang baru. Ini adalah konsekwensi logis yang tidak bisa dihindari dan memang inilah yang diajarkan Cole dalam buku-bukunya. Kesesatan demi kesesatan berlanjut terus dalam buku yang ditulis Cole. Perhatikan apa yang ia tuliskan ketika ia sedang berada dalam sebuah pesawat terbang mempersiapkan sebuah khotbah:
“Saya sadar bahwa Roh Allah di dalam diri saya mengilhami dan menuntun pena saya untuk menuliskan sesuatu di dalam buku catatan.”(7)
“Tetapi, di dalam perenungan ini, saya seperti kehilangan kesadaran akan keadaan di sekitar saya. Sesuatu sedang bergolak di dalam roh saya. Saya sadar, hadirat Allah hadir.”(8)

Bahkan dalam prakata edisi revisi buku Kesempurnaan Seorang Pria, ia mengatakan:
“Saya juga telah menambahkan beberapa bab yang tidak hanya menguatkan apa yang telah ditulis pada awalnya, tetapi juga memberikan pewahyuan yang luas dan makna yang lebih dalam pada kebenaran bahwa “Kesempurnaan seorang pria dan keserupaan dengan Kristus adalah hal yang sama.”(9)

Dalam bukunya Menjadi Pria Sejati, Cole berulang kali membicarakan pentingnya wahyu baru bagi kita. Ia bahkan menghubungkan wahyu yang baru dengan gaya ibadah yang baru pula.
“Orang yang telah menerima wahyu tentang Allah akan mengalami suatu aliran baru dalam dirinya sehingga ia akan memiliki suatu ekspresi rohani yang baru pula, termasuk di dalamnya adalah cara penyembahan yang baru dan pujian yang baru juga.”(10)

Selanjutnya ia mengkritik suatu ibadah yang formal berarti semakin jauh dari wahyu Allah. Pemikiran Cole ini didasarkan kepada relasi antar sesama manusia, semakin akrab manusia maka semakin tidak ada formalitas. Perhatikan apa yang ia katakan berikut ini:
“Dalam hubungan antar manusia, formalitas menjadi pertanda adanya jarak dalam hubungan tersebut, sebab dalam hubungan yang intim tidak terdapat lagi bentuk-bentuk formalitas. Jadi, semakin formal bentuk penyembahan yang dilakukan, semakin jauh pula jarak antara si penyembah dengan wahyu yang mula-mula diterimanya. Pada titik yang kritis ini orang harus kembali kepada Tuhan untuk mendapatkan wahyu yang baru. Sebab, “firman” yang baru akan mendorong bangkitnya inspirasi baru dan memangkas kecenderungan yang menuju kepada kemerosotan itu.”(11)

Jadi menurut Cole, supaya manusia dapat dekat/intim dengan Allah, maka ibadah harus tidak boleh dalam bentuk yang formal (kaku/resmi). Ada benarnya, dalam hubungan antar sesama manusia semakin seseorang intim/dekat semakin tidak formal. Kita bisa memanggil langsung nama seseorang, kita bisa masuk rumahnya tanpa permisi, kita bisa ambil makanan dari mejanya tanpa sungkan. Itu sah-sah saja. Pertanyaan saya, bolehkah cara berelasi dengan sesama manusia yang berdosa ini dipakai dan diterapkan kepada Allah yang kudus? bagaimana dengan ibadah Israel sendiri baik ketika di kemah suci (tabernakel) atau bait Allah? Mereka sangat formal, tapi Allah tetap hadir di tengah-tengah mereka. Bagaimana dengan kasus Uza (2Sam. 6) yang memegang tabut Allah supaya tidak jatuh dan rusak, tetapi Allah malah menghukumnya? Uza mati, justru karena melanggar kaidah-kaidah formal yang Allah berikan. Apakah ini berarti semua ibadah dalam sepanjang sejarah gereja yang bersifat formal pasti Allah tidak hadir di dalamnya? Cole harus belajar theologi penyembahan yang lebih Alkitabiah. Keintiman relasi dengan Allah tidak pernah menjadikan umat-Nya menjadi liar dalam hal ibadah. Bagaimana kita beribadah bukan dilandaskan kepada wahyu baru ataupun selera kita melainkan kepada prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam Alkitab.(12)

Selanjutnya, Cole menyatakan bahwa wahyu Allah menggantikan doktrin yang baku. Ini suatu penghinaan terhadap otoritas Alkitab. Cole mengkritik gereja Injili yang menurutnya terlalu kaku memegang doktrin, pengakuan iman dan mengabaikan wahyu dan nubuatan yang baru.
“Doktrin dan kredo menjadi sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat lagi, lalu muncul hasrat untuk mempertahankan kedudukan yang ada. Apabila orang tidak berusaha mencari dan mendapatkan wahyu baru yang akan membuahkan suatu kemajuan…Pada titik ini jugalah kehidupan mulai terasa membosankan…Taktik-taktik manusiawi mulai menggantikan hal-hal yang bersifat nubuatan.”(13)

Dan lucunya, Cole memberikan beberapa kritikan tajam kepada pembacanya dan juga kaum Ortodoks/Injili yang percaya bahwa Allah sudah berhenti berfirman:
“Apabila Anda berpuas diri dengan wahyu yang lama tanpa pernah mau mencari atau menerima wahyu yang baru, inspirasi Anda pun akan terhenti, mengeras dan menjadi bentuk institusional yang kaku – selanjutnya Anda akan menjadi manusia yang ‘mengkristal’.”(14)
“Apabila orang menolak wahyu yang baru, maka ia akan terjerumus ke dalam proses kristalisasi. Padahal, Tuhan adalah Allah yang tidak mengenal kemandekan. Dia terus menerus menyatakan diri-Nya untuk memulihkan segala sesuatu sebelum kedatangan Kristus yang kedua kalinya.”(15)
“Orang semacam ini lalu akan meredakan perasaan bersalahnya dengan membenarkan dirinya sendiri, yaitu dengan cara mencemooh gelombang lawatan Roh Allah dan penyingkapan wahyu-Nya yang baru.”(16)
“Oleh karena itu, sebelum dihancurkan Allah, orang-orang semacam ini sebenarnya lebih baik merendahkan diri di hadapan Allah, bertobat, dan meminta wahyu baru dari Allah, sehingga sukacita ilahi itu akan mengisi kehidupan mereka lagi dan hubungan yang benar dengan Allah dapat terjalin kembali dengan baik.”(17)
“Allah menyediakan wahyu bagi Anda!”(18)

Jelas dari kalimat ini Cole anti dengan doktrin dan pengakuan iman yang selama ini dipegang dan diajarkan oleh gereja-gereja Injili/Ortodoks. Dengan statement ini Cole merendahkan otoritas Alkitab yang adalah satu-satunya wahyu Allah tertulis bagi kita. Ia lebih suka menerima wahyu baru daripada menerima Alkitab sebagai otoritas dalam pengajarannya.

Ini bertentangan dengan prinsip Sola Scriptura. Dalam Belgic Confession, salah satu pengakuan iman Reformed yang penting pada artikel 7 tentang The Sufficiency of Scripture, dikatakan, “for since it is forbidden to add to substract from the Word of God (sebab itu dilarang menambahkan atau mengurangi Firman Allah).”(19) Hal ini tidak mengherankan sebab ketika Anda membaca doktrin-doktrin yang diajarkan Cole, Anda akan menemukan penyimpangan bahkan penyesatan karena ia tidak mau terikat kepada doktrin dan pengakuan iman yang dianggapnya baku (kaku). Statement di atas menunjukan betapa dangkalnya cara berpikir Cole. Ia tidak memahami sejarah gereja dengan baik mengapa muncul doktrin dan apa pentingnya doktrin dan pengakuan iman dalam sepanjang sejarah gereja. Tanpa doktrin/pengajaran Tuhan Yesus dan para rasul gereja tidak akan berdiri di dunia ini. Tanpa pengakuaan iman yang dibuat bapak-bapak gereja, gereja akan melenceng dari doktrin yang asali. Mengenai pentingnya Alkitab/doktrin dan pengakuan iman, perhatikan kalimat yang dikatakan Alister McGrath dalam bukunya The Genesis of Doctrine berikut ini:
“Henry Scott Holland summarized the situation with admirable clarity: we cannot now, in full view of the facts, believe in Christ, without finding that our belief includes the Bible and the Creeds.”(20)
(Henry Scott Holland meringkas suatu situasi/permasalahan dengan kalimat yang jelas: berdasarkan fakta-fakta yang ada, kita tidak dapat percaya kepada Kristus, tanpa menemukan bahwa keyakinan iman kita juga termasuk Alkitab dan pengakuan-pengakuan iman).

Perlu Anda ketahui bahwa pemikiran Cole yang anti kepada doktrin dan pengakuan iman ini jelas bukan cara berpikir theologi Reformed/Injili. Tidak ada gereja Reformed atau Injili yang anti dengan doktrin yang benar dan pengakuan iman. Doktrin dan pengakuan iman adalah pondasi gereja yang tidak boleh dirubah, karena merubah doktrin berarti membongkar kekristenan itu sendiri.
Terakhir, Cole juga menghubungkan wahyu baru dengan pertumbuhan kerohanian seseorang.
“Tidaklah salah apabila manusia begitu menggebu-gebu dan bersemangat akibat pertobatan yang baru dialaminya. Wajar juga bila seseorang sangat tergetar oleh kemenangan rohani yang diperolehnya. Tetapi, semuanya itu hendaknya tidak membuat manusia lupa untuk kembali kepada Allah guna mendapatkan lagi wahyu yang baru.”(21)

Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa pertumbuhan rohani seseorang didapat dari wahyu yang baru, melainkan kembali kepada Firman Allah yang sudah lengkap. Dalam peristiwa Pentakosta, di mana ada 3000 jiwa yang bertobat, tidak pernah dikatakan orang yang bertobat diperintahkan untuk mencari wahyu baru sebaliknya: Kisah Para Rasul 2:42, “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.”
Sepanjang bab 9 dalam bukunya Menjadi Pria Sejati, Cole memakai istilah-istilah “wahyu”, “inspirasi” dengan tidak bertanggung jawab. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Cole sendiri tidak memahami iman Kristen dengan baik. Ia berbicara panjang lebar tentang wahyu dengan pemahaman yang salah total sehingga menghasilkan tulisan yang juga menyesatkan pembacanya. Dalam penjelasannya tentang Alkitab, Cole hanya menyinggung isi Alkitab tanpa menegaskan hakekat Alkitab itu sendiri. Dengan kata lain Cole tidak pernah menyatakan bahwa Alkitab adalah firman Allah yang sudah selesai diwahyukan. Inilah pengertian Cole tentang apa itu Alkitab:
“Alkitab adalah sebuah kitab sejarah, puisi, amsal, silsilah, hukum, nubuatan, pengajaran dan riwayat hidup. Salib merupakan topik utama dari Alkitab. Dalam Perjanjian Lama ada taurat, sejarah, puisi dan nabi-nabi. Dalam Perjanjian Baru ada Injil, sejarah, surat para rasul dan Wahyu.”(22)

Cole juga lupa bahwa tidak setiap saat Allah memberikan wahyu-Nya. Pada masa intertestamental (masa antara PL – PB) Allah tidak berfirman 400 tahun lamanya. Jika Allah bisa berhenti berfirman pada masa itu, mengapa Allah tidak bisa berhenti berfirman pada saat ini ketika Alkitab sudah menjadi kanon dan lengkap?


PENOLONG YANG LAIN ala COLE
Dengan memerankan diri sebagai nabi maka jangan heran Cole merasa mendapat pimpinan ‘langsung’ dari Roh Kudus. Berulang kali ia menyatakan pimpinan Roh Kudus yang berbeda dengan kebanyakan orang lain. Perkataan Cole dalam bukunya ini, kembali mengingatkan saya kepada Montanus, bapak gereja yang sesat yang terus menerus mendapatkan pimpinan bahkan wahyu secara khusus dari Roh Kudus. Ini seperti efek domino, ketika seseorang menganggap diri sebagai nabi, ia akan merasakan pimpinan Roh Kudus berbeda dari orang lain. Inilah yang Cole katakan:
“…saya merasakan Roh Kudus membisikkan kepada saya untuk juga menjangkau orang lain. Menyatakan perintah Allah kepada bangsa-bangsa lain, kepada setiap orang yang percaya dan yang belum percaya di mana pun mereka berada, dikotakota, di desa-desa dan di dalam persekutun-persekutuan.”(23)
Tetapi, Roh Kudus melangkah masuk, dengan tenang, dan hening, Ia membisikkan sebuah kalimat di dalam hati saya: “Bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu.”(24)
“Sebagaimana mereka berdoa, makin tampaklah bahwa yang berbicara adalah Roh Kudus – dan saya menerima pesan tersebut sebagai tujuan yang Allah berikan kepada saya.”(25)

Dengan apa yang ia katakan ini sebenarnya Cole telah melecehkan kehadiran Alkitab. Memang dalam PL khususnya, Allah berbicara langsung kepada nabi-Nya. Namun itu sebelum Alkitab dikanonkan. Setelah Alkitab menjadi kanon, Roh Kudus bekerja dan berbicara melalui Firman. Roh Kudus dan Firman tidak bisa dipisahkan.
“For Calvin, Word and Spirit belong inseparably together. The Spirit does not witness apart from the Word ; The Word without the work of the Spirit has no power or efficacy.”(26)
(Bagi Calvin, Firman dan Roh Kudus tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Roh Kudus tidak bersaksi terpisah dari Firman. Firman tanpa pekerjaan Roh Kudus tidak memiliki kuasa atau efektifitas).

Mengapa para reformator menghubungkan Roh Kudus dan Firman dalam pemikiran mereka? Karena mereka sudah melihat gejala seperti ini di dalam zaman mereka.
“On the other hand, some of Calvin’s contemporaries, ‘fanatics’ he called them were so enamoured of the Spirit that they saw little need for the written Word. Hence, “these rascal tear apart those things which the prophet joined together with an inviolable bond” (Inst. 1.9.1).(27)
(Pada sisi yang lain, beberapa orang sezaman Calvin yang ia panggil ‘fanatik’ sangat tergila-gila dengan Roh Kudus sehingga mereka tidak terlalu membutuhkan Firman. Mereka ini merusak apa yang dipersatukan oleh para nabi dengan ikatan yang seharusnya tidak boleh dirusak (Inst 1.9.1)).

Bukan itu saja, Cole dengan jelas menyetujui bahwa fenomena-fenomena dalam ibadah yang ecstatic adalah lawatan Roh Kudus. Ia berkata:
“Dengan gerakan yang tiba-tiba, tangan beberapa pria terangkat ke atas, dan mereka mulai menangis dan menjerit di dalam pujian dan penyembahan kepada Allah. Roh Kudus melawat kapel yang terletak di daerah pegunungan itu…”(28)

Cole menunjukkan konsistensinya bahwa ibadah yang benar harus berdasarkan kepada wahyu yang baru. Inilah yang disebut ibadah yang intim dengan Allah. Seperti yang saya telah jelaskan di atas, rupanya ini telah menjadi suatu trend dalam camp pria sejati. Anda seharusnya bisa menilai sendiri apa yang salah dengan ibadah seperti ini. Cole melanjutkan pengalamannya dengan Roh Kudus dalam pristiwa lainnya.
“Suatu ketika saya sedang melayani seorang pendeta di Chicago, tiba-tiba Roh Kudus mengambil alih ‘saat-saat Allah’ itu.”(29)
“Bertahun-tahun kemudian Tuhan kembali menyampaikan firman-Nya secara khusus kepada saya. Ketika itu saya sedang berpuasa dan seperti biasa, pagi itu saya juga berjalan-jalan menyusuri pantai seorang diri di tengah-tengah udara yang masih terasa begitu dingin dan berkabut. Saya kemudian berseru kepada Allah dan Roh-Nya menyampaikan kelima “firman” ini kepada roh saya: “Kuduskanlah dirimu. Beritakanlah firman Tuhan. Jangan ragu akan apa pun. Gunakanlah emas, namun jangan jamah kemuliaannya. Naikanlah doa yang terdapat dalam Kis 4:24.”(30)
“Ketika akhirnya saya merenungkan kejadian itu, saya mendengar suara lembut Roh Kudus berbicara dalam hati dan pikiran saya dan menyampaikan perkataan Yesus.”(31)

Dalam pembicaraannya tentang Roh Kudus, kita melihat bahwa Cole selalu memahami relasinya dengan Roh Kudus dengan cara yang berbau prophetic (kenabian). Ia seolah-olah ingin menunjukkan bahwa dirinya begitu istimewa. Terus menerus mendapat wahyu/firman yang baru. Sekali lagi saya tegaskan bahwa Allah bekerja dengan cara yang berbeda sebelum dan sesudah Alkitab selesai dituliskan. Memang kepada para nabi dan rasul, Roh Kudus menuntun mereka secara langsung (misal: Kis. 16:6). Tetapi harus diingat bahwa Cole bukanlah nabi ataupun rasul. Sebaliknya, dalam Alkitab juga begitu banyak peringatan kepada orang-orang yang merasa mendapat firman/wahyu dari Allah padahal sebenarnya tidak.(32)

Yeremia 23:21, “Aku tidak mengutus para nabi itu, namun mereka giat; Aku tidak berfirman kepada mereka, namun mereka bernubuat.”
Yeremia 14:14 Jawab TUHAN kepadaku: “Para nabi itu bernubuat palsu demi nama-Ku! Aku tidak mengutus mereka, tidak memerintahkan mereka dan tidak berfirman kepada mereka. Mereka menubuatkan kepadamu penglihatan bohong, ramalan kosong dan tipu rekaan hatinya sendiri.”
Maka orang Kristen sejati harus memiliki kewaspadaan terhadap nabi palsu yang senang mengkalim diri bahwa Roh Kudus berfirman kepadanya. Berhati-hatilah kepada orang seperti ini.


BUKAN YESUS YANG KUKENAL
Dalam bukunya Cole berbicara banyak tentang pribadi Yesus. Cole percaya bahwa Yesus Allah-manusia, misalnya dalam kalimat berikut ini:
“Kenyataan tersebut menghadapkan kita pada suatu pertanyaan yang telah digumuli umat manusia sejak dua ribu tahun silam. Bagaimana kita dapat menghampiri Allah-manusia, Yesus Kristus ini?”(33)
“Dia datang sebagai Anak Allah dan Anak Manusia- ketuhanan yang sempurna dan kemanusiaan yang sempurna bersatu dalam Pribadi Kedua dari Tritunggal. Allah yang sejati dan manusia yang sejati.”(34)

Kalimat di atas tidak ada masalah, karena sesuai dengan pengakuan iman Chalcedon, pribadi Yesus Kristus memang memiliki dua sifat yaitu ilahi dan manusia. Namun kita jangan berhenti hanya kepada kalimat ini saja, dalam aplikasi dan penerapannya Cole selalu menghubungkan Yesus Kristus dengan pemahaman pria sejati secara sangat naïf, misalnya dalam kalimat-kalimat seperti berikut:
“Saya berhenti berbicara dan memberi kesempatan bagi pria yang belum pernah mengambil keputusan untuk menjadi “pria sejati” agar maju dan menyatakan sikap mereka. Sewaktu ratusan pria beringsut maju ke depan, pria-pria yang lain bersorak gemuruh, “Yesus, Yesus, Yesus!”(35)
“Dia adalah “Pria yang sejati”. Oleh karena itu, setiap pria yang menemukan dan mengidentifikasikan dirinya dengan Kristus akan merasa benar-benar mantap juga dengan citra dirinya. Dan, selanjutnya Kristus akan membentuk mereka kembali agar sesuai dengan gambar-Nya yang sempurna itu.”(36)

Hanya karena seseorang maju dan bertobat, ia disamakan seperti Yesus? Dan herannya Cole bangga dengan teriakan-teriakan seperti ini. Adakah di dalam Alkitab orang berdosa yang bertobat lalu disamakan/menyamakan dirinya dengan Tuhan Yesus? Yang ada justru kebalikannya:
Lukas 18:13, “Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”
Lukas 5:8, “Ketika Simon Petrus melihat hal itu iapun tersungkur di depan Yesus dan berkata: “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.”
Jelas dalam pristiwa yang dibanggakan Cole ini tidak menghormati pribadi Yesus Kristus.(37)

Tidak ada nabi/rasul dalam Alkitab yang mengajarkan bahwa orang yang bertobat diidentifikasi seperti Yesus. Apa yang dibangga-banggakan Cole dengan KKRnya pada saat yang sama sangat melecehkan pribadi Kristus. Demikian pula apa betul setiap orang yang menyamakan dirinya dengan Kristus otomatis jadi pria sejati? Anehnya Tuhan Yesus justru malah mengingatkan agar kita hati-hati dengan orang yang menyamakan dirinya dengan Dia.
Matius 24:23, “Pada waktu itu jika orang berkata kepada kamu: Lihat, Mesias ada di sini, atau Mesias ada di sana, jangan kamu percaya.”
Matius 24:26, “Jadi, apabila orang berkata kepadamu: Lihat, Ia ada di padang gurun, janganlah kamu pergi ke situ; atau: Lihat, Ia ada di dalam bilik, janganlah kamu percaya.”
Ini adalah peringatan terhadap mesias-mesias palsu. Mereka adalah orang-orang yang mengidentifikasikan diri mereka dengan Kristus. Jika Cole benar bahwa setiap pria yang mengidentifikasikan diri mereka dengan Yesus otomatis jadi pria sejati, maka David Koresh adalah pria yang paling sejati, sebab ia menganggap dirinya adalah jelmaan Yesus Kristus.

Pada kesempatan yang lain Cole percaya bahwa kematian Yesus untuk menebus dosa-dosa manusia. Ia mengatakan:
“Itu sebabnya Yesus harus mati untuk menebus dosa-dosa kita, karena kita tidak mungkin menyucikan diri kita sendiri.”(38)
“Untuk menggenapi kehendak Allah, Kristus rela menanggung dosa seluruh dunia di Bukit Kalvari…Dia memikul tanggung jawab atas perbuatan orang-orang yang paling cemar dan tercela, menanggung kesalahan dan aib mereka, dan menanggung hukuman yang seharusnya menimpa mereka, padahal Dia sama sekali tidak berdosa dan tidak bersalah.”(39)

Namun, siapa Yesus yang mati menebus dosa kita ini? Seperti yang telah saya katakan di atas, Cole tidak mau terikat kepada doktrin dan pengakuan iman, maka Yesus yang Cole tuliskan dalam bukunya ini jelas bukan pribadi kedua Allah Tritunggal. Buktinya apa?
Pertama, Cole berulang kali menyatakan bahwa Yesus adalah ciptaan.
“Para pria tersebut tiba-tiba menyadari bahwa menjadi pria sejati artinya adalah menjadi seperti Yesus, satu-satunya Pria yang pernah hidup tepat sesuai dengan kehendak dan tujuan Allah dalam menciptakan diri-Nya.”(40)
“Yesus datang ke dunia sebagai perwujudan gambar Allah. Dia mengetahui dalam citra Siapa diri-Nya diciptakan, serta Siapa yang diwakili-Nya di bumi ini.”(41)

Kedua, betulkah Yesus yang dikatakan Cole tidak berdosa? Kalau memang demikian, mengapa Yesus perlu mengalami kelahiran baru? Perhatikan apa yang ia katakan tentang Yesus:
“Oleh karena kedudukannya sebagai Anak Allah, Yesus memampukan manusia menjadi anak-anak Allah, yaitu dengan cara manusia harus dilahirkan kembali oleh Roh Allah seperti yang telah dialami Yesus.”(42)

Bukan saja Tuhan Yesus perlu dilahirbarukan, Yesus Kristus juga perlu pengampunan. Ini yang dikatakan Cole:
“Ini adalah bagian yang maksimal dari kepriaan Anda. Memberi dan menerima pengampunan adalah tindakan yang menyerupai Kristus.”(43)

Pertanyaan saya kepada Cole, kapan Tuhan Yesus menerima pengampunan? Prinsip ini secara tidak langsung mengatakan bahwa Yesus bisa berdosa/bersalah dan membutuhkan pengampunan. Ajaran dari mana yang menyatakan Kristus seperti ini?
Meskipun Cole berbicara panjang lebar tentang pribadi Yesus, Kristologi Cole memiliki kesalahan yang sangat fundamental bahkan menyesatkan. Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa Yesus adalah ciptaan, Ia adalah Allah yang sama kekal, sama kuasa dengan Allah Bapa. Ia adalah pencipta bukan ciptaan seperti yang dikatakan Cole.
Kolose 1:16, “karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.”
Ibrani 1:2, “maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.”
Yohanes 1:3, “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.”
Alkitab juga tidak pernah mengajarkan bahwa Yesus harus mengalami kelahiran baru seperti kita. Justru sebaliknya, Yesuslah yang mengajarkan doktrin kelahiran baru (Yoh. 3). Bila Yesus harus mengalami kelahiran baru seperti kita, maka Yesus versi Cole adalah Yesus yang bisa berdosa dan ini bukan Yesus yang kita kenal. Inilah konsekwensinya bila Cole berpendapat bahwa doktrin dan pengakuan iman yang selama ini dipegang gereja sepanjang zaman dianggap terlalu kaku. Dalam hal ini tidak berlebihan apa yang Cole ajarkan tentang Kristus dalam bukunya ini mirip dengan ajaran Saksi Yehuwa. Saksi Yehuwa mengajarkan bahwa Yesus adalah ciptaan dan mengalami kelahiran baru (menjadi allah) saat Ia dibaptis. Apa bedanya?


TRITUNGGAL YANG ANEH
Cole berbicara tentang doktrin Tritunggal walaupun hanya singkat. Namun seperti biasanya, ketika berbicara tentang doktrin, ajaran Cole patut dipertanyakan.
“Para theolog menjelaskan tentang kedudukan Allah, Anak dan Roh Kudus dalam Tritunggal Allah, sebagai berikut: Anak = Visioner (pemegang visi), Roh Kudus = Administrator (pengelola), Bapa = Penguasa.”(44)
Pertama, siapa yang dimaksud oleh Cole dengan ‘para theolog’ dalam statement ini? Sebagai penulis, ketika ia mengutip perkataan seseorang ia harus menuliskan sumbernya dengan jelas. Ini adalah suatu pertanggung jawaban akademis. Apa yang Cole maksudkan dengan Anak = visioner? Roh Kudus = Administrator dan Bapa = penguasa? Ia sama sekali tidak memberikan penjelasan apa-apa. Lagipula sejauh saya mempelajari Tritunggal tidak ada theolog siapa pun yang mengajarkan Tritunggal seperti ini selain Cole. Di mana ayat-ayat yang mengajarkan doktrin Tritunggal seperti ini? Jangan-jangan ini karangan Cole sendiri.

Pembahasan tentang Tritunggal adalah sesuatu yang rumit yang tidak mungkin bisa dijelaskan secara tuntas dalam makalah ini. Secara umum, para theolog Reformed dan bapak-bapak gereja membagi Allah Tritunggal menjadi 2 pemikiran: Immanent Trinity (ad intra), yaitu relasi di antara masing-masing pribadi Tritunggal terlepas dari dunia ciptaan. Yang kedua adalah Economic Trinty (ad extra) yaitu apa yang Allah Tritunggal kerjakan dalam dunia ciptaan-Nya (penciptaan, keselamatan, wahyu, dsb). Dari semua pemikiran Allah Tritunggal dalam sepanjang sejarah gereja tidak ada satupun yang berpikiran seperti Cole. Bandingkan dengan pemikiran Gregory of Nyssa yang mewakili pandangan gereja secara umum:
“Gregory of Nyssa’s parsing still makes good sense: “Every operation which extends from God to the creation ... has its origin from the Father, proceeds through the Son, and is perfected in the Holy Spirit.”(45)
(Kalimat Gregory dari Nyssa masih masuk akal: setiap hal yang dikerjakan Allah dalam kaitannya dengan penciptaan … memiliki asal dari Bapa, diteruskan melalui Anak dan disempurnakan dalam Roh Kudus.)

Ini juga menunjukkan bahwa Cole tidak memahami doktrin yang begitu penting ini dengan komprehensif.


DOSA dan PENGAMPUNAN VERSI ED COLE
Cole banyak berbicara tentang dosa dan pengampunan dalam buku Kesempurnaan Seorang Pria. Mari kita kaji apa yang ia ajarkan tentang dosa dan pengampunan. Hal pertama yang cukup mengejutkan kita adalah Cole tidak percaya dosa asal/ turunan (original sin). Ini tulisannya:
“Dosa tidak memiliki sifat turun-temurun.”(46)
Suatu kalimat yang singkat tetapi sangat menyesatkan dan berbahaya. Sepanjang sejarah gereja, gereja yang ortodoks semua percaya bahwa dosa Adam diwariskan/diturunkan kepada setiap manusia yang pernah lahir kedalam dunia ini. Hanya bidat seperti Pelagianisme yang mengajarkan bahwa manusia dilahirkan tanpa dosa asal, manusia baik dan suci pada dasarnya. Bidat lainnya bagi saya adalah Cole sendiri.

Pengakuan iman Westminster yang juga adalah salah satu pengakuan iman resmi gereja-gereja Reformed mengatakan hal yang sebaliknya dari Cole. Pada bab 6 tentang kejatuhan manusia dalam dosa dikatakan:
“They being the root of all mankind, the guilt of this sin was imputed, and the same death in sin and corrupted nature conveyed to all their posterity, descending from them by ordinary generation.”(47)
(Mereka/Adam dan Hawa adalah nenek moyang semua manusia, dosa ini ditularkan, dan kematian dalam dosa serta nature yang tercemar dosa di teruskan kepada keturunan mereka, ditularkan dari mereka melalui kelahiran).

Alkitab dengan tegas mengatakan dalam Mazmur 51:5 bahwa sejak dalam kandungan kita sudah berdosa dan mewarisi dosa. “Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku.” Demikian pula Paulus dalam Roma 5:12 berbicara dengan jelas bahwa dosa Adam itu diwariskan kepada setiap manusia. “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.”
Alkitab berkata bahwa hanya Tuhan Yesus yang tidak tercemar dosa asal ini. Jika Cole menolak doktrin original sin, bagaimana ia menjelaskan sifat dosa yang ada dalam diri manusia? Dan untuk apa Tuhan Yesus mengharuskan kita dilahir-barukan kembali untuk masuk kerajaan surga? Yang lebih serius, untuk apa Tuhan Yesus mati menebus dosa manusia?

Pemahaman Cole tentang pengampunan dosa juga patut dipertanyakan secara exegesis. Ia mendefinisikan pengampunan dengan pemikiran yang non-Alkitabiah:
“Bila Anda tidak memaafkan dosa yang sudah diperbuat oleh seseorang terhadap Anda, sesungguhnya Anda sedang menanggung dosa tersebut; menahannya. Akibatnya Anda akan membuat kesalahan-kesalahan yang sama terhadap orang lain.”(48)

Cole mengatakan kalimat seperti ini, tapi tidak memberikan dasar ayatnya. Mengapa? Karena memang tidak ada ajaran seperti ini di dalam Alkitab! Ini adalah doktrin ciptaan Cole sendiri. Ajaran ini sama sekali tidak mendorong orang untuk mengampuni, malahan bisa menjadikan si korban yang menanggung dosa pelaku. Untuk memahami logika berpikir Cole, perhatikan contoh kasus sederhana ini.
Misalnya: Amir mencuri uang Agus, tetapi Agus (korban) tidak mau memaafkan Amir (pelaku). Menurut Cole yang menanggung dosa pencurian bukan Amir tapi Agus, karena Agus tidak mau memaafkan Amir. Jadi ujung-ujungnya Agus (korban) benar-benar kasihan hidupnya. Ia sudah kehilangan uang, berdosa karena tidak mau mengampuni dan ditambah lagi menanggung dosanya Amir, karena ia tidak mau mengampuni. Anda bingung? (kalau Anda bingung berarti Anda normal). Dan lebih anehnya lagi, karena Agus tidak mau memaafkan Amir, ia akan tertular jadi pencuri seperti orang yang tidak mau ia ampuni (Amir). Sungguh ajaran yang anehnya luar biasa!

Alkitab dalam terang theologi Reformed mengajarkan hanya ada tiga imputation (pelimpahan). Imputation Pertama adalah dosa Adam kepada keturunannya. Imputation kedua adalah dosa kita ditanggung Yesus Kristus dan imputation ketiga adalah kebenaran Kristus diberikan kepada kita yang percaya kepada Dia (justification by faith). Tidak ada ajaran dalam Alkitab tentang dosa dan pengampunan seperti yang Cole ajarkan dalam bukunya ini. Cole benar-benar mendapat ‘wahyu’ baru.



Catatan kaki:
1. Sumber: Wikipedia Free Encyclopedia dengan topic “Edwin Louis Cole.”
2. Anda juga pasti tidak mau pergi ke “dokter” yang tidak pernah sekolah medis. Anda pasti akan merasa safe ketika pergi ke dokter yang memang benar-benar sekolah medis dan diakui.
3. Kemungkinan pertama sangat kecil atau bahkan tidak mungkin. Manusia dalam dirinya adalah mahluk yang butuh pengakuan. Semua orang yang pernah bersekolah dan memiliki gelar cenderung akan menyebutkannya pada saat ia menuliskan sebuah buku, membuat kartu nama, dsb. Saya sudah membaca banyak buku, tidak ada orang yang memiliki gelar akademis tetapi tidak menuliskannya dalam judul bukunya atau paling tidak dituliskan dalam biografi penulis.
4. Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, Edisi Revisi (Jakarta: Metanoia, 2003), hlm. 5.
5. Flip cover sampul halaman belakang buku “Menjadi Pria sejati”
6. Donald McKim (Editor), Cambridge Companion to John Calvin (United Kingdom: Cambridge University Press, 2004), hlm. 156 (Ebook). Bandingkan juga pemikiran Calvin dalam Calvin: Institutes of the Christian Religion 2, Ed. John T. McNeill (Philadelphia: The Westminster Press), hlm. 1057-1061.
7. Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hlm. 5.
8. Ibid., hlm. 2.
9. Ibid, halaman prakata.
10. Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, Edisi Revisi (Jakarta: Metanoia, 2006), hlm. 140.
11. Ibid., hlm. 141.
12. Tidak mengherankan didalam camp/ retreat yang diadakan oleh gerakan CMN ini, banyak orang berteriak di tengah-tengah khotbah “123 Yes..Yes..” berulang-ulang. Inikah ibadah yang intim dan berkenan kepada Tuhan?
13. Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hlm. 141-142.
14. Ibid., hlm. 147.
15. Ibid, hlm. 142-143.
16. Ibid., hlm. 143.
17. Ibid., hlm. 143.
18. Ibid., hlm. 150.
19. Ecumenical Creeds and Reformed Confession (Grand Rapids: CRC Publication, 1988), hlm. 82.
20. Alister McGrath, The Genesis of Doctrine (Grand Rapids: Eerdmans, 1990), hlm. 172.
21. Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, Edisi Revisi, hlm. 148.
22. Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hlm. 151.
23. Ibid, hlm. 15.
24. Ibid., hlm. 40.
25. Ibid., hlm. 173
26. Donald McKim ,ed. , Reading in Calvin’s Theology (Grand Rapids: Bakerbook House, 1984), Calvin’s view of Scripture by Donald McKim, hlm. 58.
27. Timothy George, Theology of the Reformers (Nashville: Broadman Press,1988), hlm. 197.
28. Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hlm. 7- 8.
29. Ibid., hlm. 168.
30. Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hlm. 135.
31. Ibid., hlm. 270.
32. Kritik ini juga berlaku pada point di mana Cole mengklaim diri sebagai nabi Allah.
33. Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hlm. 8.
34. Ibid., hlm. 64.
35. Ibid., hlm. 9.
36. Ibid., hlm. 47.
37. Ini salah satu contoh dari apa yang Cole katakan bahwa ibadah yang formal berarti jauh dari wahyu Allah. Ibadah yang ia lakukan seperti ini berarti ‘intim’ dengan Allah. Benarkah KKR seperti ini intim dengan Yesus, atau sebaliknya tidak hormat kepada pribadi Yesus?
38. Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hlm. 20.
39. Ibid., hlm. 223-224.
40. Ibid., hlm. 9.
41. Ibid., hlm. 47.
42. Ibid., hlm. 228.
43. Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hlm. 45.
44. Edwin Louis Cole, Menjadi Pria Sejati, hlm. 130.
45. Kevin J. Vanhoozer, Remythologizing Theology: Divine Action, Passion, and Authorship (United Kingdom: Cambridge University Press, 2010), hlm. 269. (Ebook)
46. Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hlm. 46.
47. G.I Williamson, The Westminster Confession of Faith (Philadelpia: P&R, 1964), hlm. 56.
48. Edwin Louis Cole, Kesempurnaan Seorang Pria, hlm. 44.




Sumber: http://gracia4christ.wordpress.com/







Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.