08 October 2009

KEMURNIAN HATI: Masih Adakah? (Denny Teguh Sutandio)

KEMURNIAN HATI: Masih Adakah?

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”
(1Sam. 16:7b)

“Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.”
(Ams. 4:23)



I. PENDAHULUAN
Di dalam 1 Samuel 16:7b, ketika hendak melantik raja Israel menggantikan Saul, Tuhan berfirman kepada Samuel untuk memilih raja BUKAN dari sesuatu yang kelihatan di depan mata, tetapi hati, karena Tuhan melihat hati manusia dan IA tidak akan tertipu oleh penampilan luar manusia. Oleh karena itu, dari anak-anak Isai, Tuhan memilih Daud menggantikan Saul. Tetapi jika kita memerhatikan deskripsi siapa Daud, kita akan terkejut. Di ayat 12, dikatakan, “…Ia kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok…” Deskripsi ini tentu di mata manusia TIDAK cocok diangkat menjadi raja, karena dari segi fisik, jelas, Daud masih terlalu muda dan kurang berpengalaman. Adalah celaka jika standar manusia ini dipakai oleh Tuhan. Tetapi puji Tuhan, IA TIDAK memakai standar manusia untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Allah memakai standar-Nya sendiri untuk melakukan kehendak-Nya, yaitu Ia menilai hati umat-Nya. Daud dipilih Tuhan menjadi raja, karena hatinya dipersembahkan untuk Tuhan. Hati yang dipersembahkan untuk Tuhan itulah yang terutama di dalam pandangan Allah. Kalau kita mundur ke belakang dan melihat sejarah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, kita akan melihat prinsip Tuhan ini konsisten luar biasa. Mengapa Allah memilih Abram? Apakah karena ia baik di mata masyarakat? TIDAK! Ia memilih Abram karena itu kehendak-Nya. Mengapa Allah memilih nabi-nabi-Nya? Apakah karena mereka lebih suci? TIDAK! Karena itu kehendak-Nya. Yang lebih dahsyat lagi, mengapa Ia memilih Petrus yang kurang berpendidikan? Karena Ia mau memakainya dan Ia melihat hati. Dengan kata lain, hati adalah inti terdalam kehidupan manusia yang Tuhan lihat dan selidiki.

Namun, sayang, manusia berdosa TIDAK memerhatikan hatinya, mereka sibuk dengan urusan lahiriah/fenomenal saja. Tidak heran, hati manusia berdosa tidak lagi murni. Kalau kita melihat kembali fakta kejatuhan manusia ke dalam dosa di dalam Kejadian 3, kita akan mendapat gambaran yang lebih jelas. Dosa bukan sekadar dinilai dari memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, tetapi dosa dilihat dari pemberontakan hati kepada Allah. Manusia pertama memiliki hati yang tidak tulus kepada Allah, sehingga mereka memakai standar mereka sendiri untuk menggantikan standar Allah. Bagi Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. di dalam bukunya The Defense of the Faith, dosa adalah mengganti standar Allah dengan standar manusia.
[1] Dari hati yang tidak tulus kepada Allah ini, timbullah pikiran, sifat, perkataan, dan tindakan yang melawan Allah. Tidak heran, dunia kita dipenuhi dengan sekumpulan orang yang tidak berhati murni dan tentunya tidak berpikir, berkata, dan bertindak beres. Dengan kata lain, dunia kita sedang dipenuhi oleh banyak orang yang MUNAFIK!






II “REALITAS” KEMUNAFIKAN
A. Definisi Kemunafikan
Apa arti munafik? Mari kita menelusuri definisinya dari dua perspektif: Alkitab dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Menurut New International Version (NIV) Spirit of the Reformation Study Bible, kata “munafik” di dalam Roma 12:9 yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai hyprocrisy berasal dari kata hypocrites (aktor) di dalam drama Yunani kuno yang menggunakan topeng.
[2] Dengan kata lain, si hipokrites/aktor yang bermain dalam drama ini menggunakan topeng. Ketika kita berbicara mengenai topeng, kita sebenarnya berbicara mengenai kepalsuan. Apakah kepalsuan adalah suatu realitas? TIDAK! Mengutip Pdt. Sutjipto Subeno dan L. T. Jeyachandran, gelap bukan suatu realitas/entitas, tetapi absennya terang. Demikian juga palsu bukan suatu entitas/realitas, tetapi absennya kejujuran/keaslian. Berarti palsu/munafik adalah ketidakadaan suatu kemurnian/kejujuran. Kepalsuan ini nantinya ditunjukkan dengan definisi kedua tentang munafik di bawah ini.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan munafik sebagai, “berpura-pura percaya atau setia kepada agama dsb tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak; suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya; bermuka dua: …”
[3] Dari definisi ini, kita mendapatkan gambaran kedua tentang munafik, yaitu ketidakkonsistenan antara iman dengan hati dan antara perkataan dengan perbuatan.




B. Variasi Kemunafikan
Dari definisi ini, mari kita menyelidiki variasi kemunafikan dan alasan-alasannya:
1. Kemunafikan Iman vs Hati
Variasi kemunafikan pertama adalah iman vs hati. Variasi pertama ini saya sebut sebagai kemunafikan konsep. Ada orang yang beragama mengaku dirinya beragama/beriman tertentu, namun sayangnya hatinya tidak sesuai dengan apa yang dia percayai. Yang lebih parah lagi, jika hal ini terjadi pada Kekristenan. Orang Kristen mengaku beriman kepada Kristus, tetapi dalam hatinya, ia lebih beriman kepada dirinya yang “dibaptis” dalam nama “Yesus”. Hal ini sungguh mengerikan. Mengapa hal ini bisa terjadi?
a) Tidak berfokus kepada Allah
Orang “Kristen” di atas bisa berlaku munafik karena iman dan hatinya tidak berfokus kepada Allah. Seorang yang berfokus kepada Allah adalah seorang yang memiliki keutuhan hidup yang diserahkan kepada Allah (bdk. Rm. 12:1). Keutuhan hidup itu meliputi berbagai aspek kehidupan manusia: iman, hati, sifat, pikiran, perkataan, tingkah laku, dan tindakan. Tetapi orang “Kristen” yang tidak berfokus kepada Allah adalah mereka yang memiliki disintegrasi. Secara iman, orang ini mungkin terlibat aktif di dalam hal-hal kerohanian, namun secara hati, orang ini menolak apa pun yang dikaitkan dengan Allah. Orang seperti ini jelas tidak konsisten dan berkontradiksi dengan diri sendiri. Yang lebih mengerikan, konsep ini TIDAK jelas diungkapkannya di depan umum, namun dipoles sedemikian rupa, sehingga hanya orang-orang terdekat saja yang mengetahui kerusakan konsepnya. Kepada orang-orang luar, ia memoleskan konsep rusaknya dengan segudang hal-hal baik dan “logis” di mata dunia.

b) Lebih cocok dengan dunia
Selain tidak berfokus kepada Allah, orang “Kristen” model ini mengalihkan pandangan hidupnya kepada dunia. Secara rasio, ia mengimani dan menyetujui semua khotbah di mimbar dan ajaran Alkitab, namun sayang, hatinya tidak benar-benar ditundukkan di bawah firman Tuhan. Akibatnya, tidak heran, dengan bangganya, orang ini memilah-milah mana yang cocok dengan dia dan mana yang tidak. Supaya hal ini tidak terlalu kelihatan vulgar negatif, maka ia mem“baptis” dalam nama “yesus” konsepnya menjadi konsep bijaksana dunia (“Kristen”). Lalu, kalau ditanya, mengapa tidak sesuai dengan Alkitab? Mereka akan menjawab dengan “logis” bahwa Alkitab itu susah diterapkan, terlalu idealis, dll. Mengutip istilah Pdt. Sutjipto Subeno, orang ini maunya satu kaki mau menginjak di Sorga, satu kaki lainnya mau menginjak neraka. Ya, pasti orang ini akan terjengkang, heheheJ Kepada orang “Kristen” seperti ini, Tuhan Yesus berfirman, “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Mat. 6:24) Hari ini, jika Anda termasuk orang seperti ini, Tuhan menantang Anda, siapkah Anda memutuskan fokus hidup Anda?


2. Kemunafikan Hati vs Perkataan dan Perkataan vs Tindakan
Variasi kemunafikan kedua adalah kemunafikan hati vs perkataan dan perkataan vs tindakan. Kemunafikan jenis ini saya sebut sebagai kemunafikan aplikasi, yaitu kemunafikan sebagai akibat dari konsep disintegrasi yang saya jelaskan di poin nomer 1 di atas. Seorang yang dari titik pertama sudah tidak konsisten antara iman dan hati pasti mengakibatkan disintegrasi seluruh aspek kehidupannya. Misalnya, hati dan perkataannya berbeda, begitu juga perkataan dan tindakannya berbeda bahkan berkontradiksi. Biasanya kemunafikan ini terjadi pada beberapa (atau mungkin banyak) cewek. Mungkin hal ini terjadi karena cewek terlalu menekankan aspek perasaannya, jadi bisa berubah-ubah tak menentu. Lalu, apa alasan mereka bisa munafik seperti demikian?
a. Mau terlihat baik
Alasan pertama adalah mau terlihat baik. Orang yang munafik antara hati vs perkataan dan perkataan vs tindakan biasanya karena orang ini mau terlihat baik di depan orang lain. Bahasa gaulnya: jaim (jaga image). Orang ini bisa memoles kelakuan buruknya sehingga nampak baik di mata orang lain. Hanya orang-orang tertentu/terdekat saja yang bisa melihat kemunafikan seperti ini. Tentu saja orang ini sangat berbahaya. Pdt. Dr. Stephen Tong sendiri mengaku bahwa beliau sangat sulit bekerja sama dengan orang yang luarnya kelihatan baik, namun dalamnya busuk. Mengapa? Karena orang ini sulit ditebak motivasinya mengerjakan apa pun. Jika ia disuruh melayani di gereja, orang ini mungkin memasang muka baik, ramah, dll, tetapi tidak jarang di dalam hatinya muncul dendam, tidak suka, dll. Hanya dia, Tuhan, dan setan yang tahu akan hal ini. Oleh karena itu, jika kita termasuk salah satu di antara orang model ini, biarlah kita sadar bahwa bermuka dua seperti ini tidak diperkenan Tuhan dan bertobat, karena Allah sangat membenci kemunafikan!

b. Berusaha baik kepada semua orang
Alasan kedua orang munafik adalah berusaha baik kepada semua orang. Alasan ini berkaitan dengan alasan pertama. Seorang munafik yang mau terlihat baik di depan orang lain, biasanya adalah seorang yang berusaha baik kepada semua orang. Ide di baliknya adalah bagaimana supaya orang lain memuji dirinya sebagai orang baik. Caranya adalah berusaha merayu dan memuji orang lain secara berlebihan. Misalnya, orang ini akan memuji orang lain yang kurang cantik sebagai orang cantik, dll. Biasanya orang seperti ini motivasinya tidak tulus, karena ada maksud-maksud tersembunyi di baliknya, misalnya merayu orang lain ini agar mau membeli produk yang dijual atau alasan lain. Istilah yang saya pernah dengar: berdiplomasi di dalam berbicara. Orang ini bermulut manis demi mencapai tujuannya. Orang yang suka berusaha baik kepada semua orang adalah orang yang tidak memiliki prinsip. Orang ini jelas berdosa dobel: pertama, dari segi motivasi, dia sudah tidak tulus. Kedua, isi pujian berbeda dengan realitas obyektif. Jika kita termasuk orang model ini, segeralah bertobat, karena orang yang berdiplomasi di dalam berbicara sesungguhnya tidak disukai orang banyak (jika orang banyak ini adalah orang yang normal).

c. Sungkanisme: takut menyinggung perasaan orang lain
Alasan ketiga adalah sungkanisme. Orang yang berusaha baik kepada semua orang ini mengakibatkan dia menjadi sungkan dengan orang lain. Sungkan-isme ini di dalam bahasa Jawa biasa disebut: mbasahi lambe. Ini yang menjadi ciri khas orang yang sudah diracuni oleh filsafat budaya Timur. Budaya sungkanisme dilatarbelakangi oleh sebuah presuposisi etika yang tidak mau menyakiti perasaan orang lain. Padahal kalau mau ditelusuri lebih tajam, justru budaya ini mengakibatkan perasaan orang lain disakiti. Suatu kontradiksi konsep filsafat budaya yang aneh. Etika yang tidak menyakiti perasaan orang lain memiliki dampak positif dan negatif. Ada dampak positifnya, yaitu menghargai perasaan orang lain, namun ada juga dampak negatifnya, TIDAK berani terus terang mengatakan kebenaran dan akibatnya justru fatal, yaitu menyakiti perasaan orang lain. Orang seperti ini bisa dianggap ambigu, berdusta, dll. Mengapa orang ini bisa demikian? Mungkin karena ia adalah orang Kristen yang belum lahir baru yang belum mengerti apa arti kemurnian hati dan kekonsistenan hidup. Padahal Tuhan Yesus dengan tajam dan tegas mengajar kita, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Mat. 5:37) Di sini, Tuhan Yesus sangat menghargai kejujuran di dalam segala aspek kehidupan. Tidak ada toleransi apa pun, baik itu dilakukan oleh pria maupun wanita. Apa pun di luar kejujuran itu adalah DOSA dan itu berasal dari setan. Kita bisa melihat perbedaan tajam antara apa yang budaya Timur ajarkan dengan firman Tuhan Yesus. Puji Tuhan, Tuhan Yesus yang berfirman ini adalah seorang pria, bukan seorang wanita. Bayangkan jika Tuhan Yesus itu seorang wanita lalu mengajar, apakah mungkin Ia bisa mengajar setegas dan setajam Matius 5:37? Tidak berarti, semua wanita seperti itu. Saya mengenal beberapa wanita mengaku TIDAK seperti itu. Hal tersebut yang saya hargai, karena orang-orang tersebut TIDAK mempermainkan orang lain.






III. TUHAN MEMBENCI KEMUNAFIKAN!
A. Dasar Alkitab
Dunia kita yang menggemari kemunafikan dengan beragam ide terselubung demikian ternyata dibenci oleh Allah! Ya, Tuhan sangat membenci kemunafikan! Di dalam Alkitab baik dalam PL maupun PB, Ia mengajar kita bahwa Ia sangat membenci kemunafikan. Mari kita menelusurinya.

Di dalam Amsal 4:23, Tuhan berfirman, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Tuhan mengajar kita agar kita menjaga hati dengan hati-hati, karena hati itulah sumber kehidupan kita. Kalau hati kita rusak, maka seluruhnya menjadi rusak. Kalau hati kita beres di hadapan-Nya, maka seluruh hidup kita beres. Tidak ada posisi netral di dalamnya. Lalu, bagaimana menjaga hati kita dengan hati-hati? Tentu, dengan firman Tuhan melalui kuasa Roh Kudus dan juga melalui doa. Firman dan doa menjadi sarana kita menjaga kemurnian hati kita agar berkenan di hadapan-Nya. Selain firman dan doa, Tuhan bisa memakai sarana khotbah mimbar dan buku rohani untuk menegur kita mewaspadai hati kita. Saya pribadi mengalami hal tersebut. Ketika mendengar khotbah Pdt. Billy Kristanto dan membaca buku-buku Pdt. Yohan Candawasa, saya ditegur banyak hal khususnya mengenai motivasi hati. Dengan kata lain, Tuhan memimpin kita melalui sarana-sarana yang bisa mendekatkan kita dengan-Nya sehingga hati kita terus-menerus dimurnikan sesuai kehendak-Nya.

Tuhan juga adalah Tuhan yang tidak bermain-main dengan dosa kemunafikan. Ia bukan hanya mengajar kita agar berwaspada menjaga hati kita, tetapi Ia juga menunjukkan kepada kita bahwa Ia tidak segan-segan menghukum keras umat-Nya yang bermain-main dengan kemunafikan. Perhatikan firman-Nya di dalam Amos 4:4-13; 5:21-24. Khususnya di Amos 5:21-24, Tuhan berfirman, “"Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir."” Keempat ayat ini mengajar kita bahwa yang terpenting bukan aktivitas agamawi, tetapi inti dari agama, yaitu keadilan (judgment) dan kebenaran (righteousness). Ia yang mencipta kita, Ia pula yang menguji sampai kedalaman hati kita. Sudah saatnya kita tidak lagi bermain-main dengan tipuan fenomena duniawi dan kembali kepada Kristus yang menyelidiki hati kita sampai yang terdalam. Biarlah Roh Kudus menyelidiki hati kita dan memurnikannya.

Di dalam Perjanjian Baru, kita belajar bahwa Tuhan Yesus membenci kemunafikan para ahli Taurat di dalam Matius 23. Di dalam Matius 23:13-35, Ia mengatakan 8 perkataan “Celakalah kamu ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi…” Semuanya ini membuktikan bahwa Allah membenci kemunafikan bahkan kemunafikan ini dilakukan oleh para pemimpin agama yang seharusnya hidup bagi Allah. Hal ini juga menjadi peringatan bagi para pemimpin gereja zaman sekarang. Benarkah Anda tulus melayani-Nya atau Anda melayani Tuhan sambil ada motivasi lain? Biarlah Anda menguji hati Anda sendiri. Jika Anda kurang beres dalam melayani-Nya, bertobatlah selama masih ada waktu dan minta ampun serta perbaharui motivasi hati Anda, sehingga Anda tidak mendukakan hati-Nya.

Selain Tuhan Yesus, Rasul Paulus di dalam Roma 12:9 mengajar hal serupa, yaitu di dalam kasih tidak ada kepura-puraan/kemunafikan. Yang lebih unik lagi mengapa Paulus mengaitkan kasih dengan kepura-puraan/kemunafikan? Karena kasih adalah sesuatu yang keluar dari hati kita yang terdalam, sedangkan kemunafikan sebenarnya adalah manipulasi dari sesuatu yang ada di dalam hati kita. Jadi, bedanya kasih itu selalu tulus, sedangkan kemunafikan itu tidak pernah tulus. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memiliki kasih Allah yang membenci kemunafikan?




B. Alasan
Setelah menyelidiki 4 nats Alkitab, kita akan menyelidiki alasan mengapa Allah membenci kemunafikan:
1. Allah adalah Allah yang Mahasuci yang Membenci Ketidakjujuran dan Dosa
Allah membenci kemunafikan karena Ia adalah Allah yang Mahasuci yang tentunya membenci semua ketidakjujuran dan dosa. Allah yang Mahasuci adalah Allah yang tidak menolerir segala bentuk dosa, tentu termasuk sebuah ketidakjujuran. Karena bagi Allah, ketidakjujuran adalah sebuah penyimpangan dari hakekat diri-Nya yang Mahasuci dan Jujur. Perhatikan apa yang difirmankan-Nya di dalam Alkitab, pernahkah Ia berdusta? Ketika Ia berfirman kepada umat-Nya dan menegur umat-Nya, Ia selalu jujur dan apa adanya. Tidak ada maksud apa pun di balik perkataan-Nya. Hal ini berbeda dari apa yang manusia pada umumnya lakukan ketika berbicara. Manusia ketika berkata sesuatu biasanya sering memiliki makna ganda atau motivasi terselubung di dalamnya, makanya orang lain sebagai pendengar kadang kala susah menangkap maksud asli dari orang yang berbicara. Belajar dan teladanilah dari apa yang Allah kerjakan, karena kita adalah anak-anak-Nya.


2. Allah Mencipta Manusia untuk Memuliakan Allah
Selain Mahasuci, Ia juga mencipta manusia untuk memuliakan-Nya. Dengan kata lain, tujuan hidup manusia di titik pertama sudah jelas, bukan untuk memuliakan diri, tetapi memuliakan Allah. Katekismus Singkat Westminster Pasal 1 mengajarkan bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya. Berarti fokus hidup umat-Nya adalah memuliakan Allah dan sekaligus menikmati-Nya. Rev. Dr. John S. Piper di dalam bukunya Desiring God mengganti kata “dan” pada pasal 1 Katekismus Singkat Westminster ini dengan kata “dengan”. Jadi, tujuan hidup manusia adalah memuliakan Allah dengan menikmati Dia selama-lamanya. Berarti, kita bisa memuliakan Allah dengan menikmati Allah. Menikmati Allah berarti: menikmati pribadi, kehadiran-Nya, dan tentunya firman-Nya. Seorang yang menikmati Allah tentu akan berusaha membuat Allah yang dinikmati itu menjadi senang atau menyenangkan Allah. Seorang yang ingin menyenangkan Allah tentu akan berusaha memurnikan hatinya melalui bantuan Roh Kudus agar kelak ia dinilai murni di hadapan-Nya.






IV. PANGGILAN MEMILIKI KEMURNIAN HATI
Jika kita telah belajar tentang “realitas” kemunafikan dan bahwa Tuhan membenci kemunafikan, maka saat ini kita akan belajar tentang kemurnian hati. Apa itu kemurnian hati? Apa unsur-unsurnya? Bagaimana pula memiliki kemurnian hati? Mari kita mempelajarinya.
A. Definisi Kemurnian Hati
Di dalam Alkitab, kata kemurnian (hati) bisa diidentikkan dengan ketulusan (hati). Kata Yunani yang dipakai di sini adalah eilikrineia dan kata ini dipakai sebanyak 3x di dalam Perjanjian Baru, yaitu: 1 Korintus 5:8; 2 Korintus 1:12; dan 2 Korintus 2:17.
[4] Ketiga ayat ini di dalam Terjemahan Baru LAI memakai kata murni atau kemurnian.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, murni bisa didefinisikan, “1 tidak bercampur dng unsur lain; tulen: …; 2 belum mendapat pengaruh luar; polos; lugu: …; 3 tulus; suci; sejati (tt cinta): ; 4 ki belum terpengaruh oleh dunia luar; asli: …; 5 ki belum ternoda, dl keadaan yg masih suci (perawan); belum pernah nikah: …”
[5] Kemurnian sendiri artinya, “1 keadaan (hal) murni; keaslian: …; 2 kesucian; kebersihan”[6]

Dari dua definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemurnian (hati) adalah ketulusan (hati) yang asli.




B. Unsur-unsur Kemurnian Hati
Setelah kita mengerti definisi kemurnian hati, lalu apa yang menjadi unsur-unsur kemurnian hati?
1. Kebenaran
Pertama-tama, kemurnian hati harus didasarkan pada unsur Kebenaran (Truth). Kalau kita melihat kembali tiga ayat PB di atas yang memakai kata “murni”, maka ketiga ayat tersebut (1Kor. 5:8; 2Kor. 1:12; dan 2Kor. 2:17) berkaitan erat dengan Kebenaran. Khusus di dalam 1 Korintus 5:8, kata Kebenaran yang dipakai dalam bahasa Yunaninya adalah alētheia (Inggris: Truth; Indonesia: Kebenaran hakiki/mutlak). Mengapa kemurnian berkaitan erat dengan Kebenaran? Karena kemurnian hati berasal dari Kebenaran, yaitu Allah sendiri yang adalah Kemurnian itu sendiri. Allah adalah Pribadi yang Murni, maka kemurnian sejati pasti berasal dari Allah. Segala sesuatu yang tidak murni tentu bukan berasal dari Allah.


2. Ketulusan
Kedua, selain Kebenaran, kemurnian hati juga mengandung unsur ketulusan. Tulus berarti keluar dari hati yang terdalam. Tulus juga berarti tidak ada maksud lain. Dengan kata lain, ketika seorang pria mencintai pasangan hidupnya dengan tulus, maka cinta si pria ini tidak ada maksud/arah lain selain kea rah pasangan hidupnya. Jika poin pertama dan kedua digabungkan, maka di dalam kemurnian, terkandung unsur Kebenaran yang tulus. Kebenaran yang tulus jika berasal dari Allah itu tidak apa-apa, namun yang sering kali menjadi masalah adalah manusia yang memberitakan Kebenaran Allah itu sering tidak tulus. Khususnya orang Kristen dan para pemimpin gereja yang beres sering kali memberitakan Kebenaran Allah namun tidak dengan tulus. Atau mereka mungkin mengklaim sedang memberitakan “kebenaran” Allah, namun sayang yang diklaimnya tidak sesuai dengan realitas kebenaran firman Allah yang diteliti secara bertanggungjawab. Mereka memanipulasi “Kebenaran” Allah di dalam firman-Nya untuk memperkaya diri dan mendukung konsepnya sendiri. Ujung-ujungnya adalah dari diri, oleh diri, dan untuk diri (bandingkan dengan pengakuan iman Kristen di dalam Roma 11:36, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”). Pemanipulasian firman Allah ini yang saya sebut sebagai “Kebenaran” yang tidak tulus. Jadi, jika kita ingin memiliki kemurnian hati, kembalilah kepada Kebenaran yang tulus.


3. Kejujuran
Ketiga, Kebenaran dan ketulusan mengarahkan sebuah kemurnian kepada suatu unsur terakhir yaitu kejujuran (honesty). Kejujuran berarti berani berkata kebenaran dengan tulus. Alkitab mengajar kita tentang pentingnya kejujuran.

Di dalam Perjanjian Lama, titah ke-9 dalam Dasa Titah berbunyi, “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.” (Kel. 20:16) Ayub digambarkan sebagai orang yang, “saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.” (Ayb. 1:1) Penulis kitab Amsal mengajar kita pentingnya dan dampak dari kejujuran: “Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang yang tidak bercela lakunya,” (Ams. 2:7; bdk. 3:32; 15:8) “Berkat orang jujur memperkembangkan kota, tetapi mulut orang fasik meruntuhkannya.” (Ams. 11:11; bdk. 12:6) “Jiwaku bersukaria, kalau bibirmu mengatakan yang jujur.” (Ams. 23:6) “Orang bodoh adalah kekejian bagi orang benar, orang yang jujur jalannya adalah kekejian bagi orang fasik.” (Ams. 29:27)

Di dalam Perjanjian Baru, pengajaran tentang pentingnya kejujuran juga ditekankan baik oleh Tuhan Yesus maupun oleh para rasul Kristus. Ketika kita kembali ke Matius 5:37, kita mendapatkan pengajaran Tuhan Yesus yang jelas dan tegas, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” Ia mengajar kita tentang pentingnya kejujuran yang langsung dikaitkan dengan Kebenaran. Barangsiapa yang tidak jujur langsung dikaitkan dengan sumbernya yaitu setan. Kristus sendiri menyebut iblis sebagai bapa pendusta di dalam Yohanes 8:44, “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.” Selain Tuhan Yesus, rasul Kristus pun mengajar hal serupa. Rasul Paulus kepada Titus menasihatkan, “dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu,” (Tit. 2:7) Konteks ayat ini adalah nasihat Paulus kepada Titus agar ia menjadi teladan bagi orang muda agar orang muda bisa mengendalikan diri (baca ay. 6). Di dalam ayat 7, kata “jujur” di sini bahasa Yunaninya adiaphthoria (aphthoria
[7]) yang berarti incorruptibleness (jujur) atau murni. Dari Titus ini, kita bisa belajar bahwa Paulus menyamakan arti kejujuran dengan kemurnian. Dengan kata lain, di dalam kemurnian harus ada kejujuran mengungkapkan apa adanya.

Dari Alkitab baik PL maupun PB, kita belajar bahwa kejujuran itu penting dan sangat dihargai Allah. Namun dunia Timur dengan budaya sungkan-isme mengajar kita untuk tidak usah jujur karena takut menyinggung perasaan orang lain. Pilihan ada di tangan kita. Jika kita sungguh-sungguh anak Tuhan, maka kita harus tunduk mutlak kepada firman Allah dan membuang budaya Timur yang rusak yang tidak menghargai apa arti ketulusan dan kejujuran. Kemudian, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah berarti di dalam kejujuran tidak ada kasih? Itu TIDAK BENAR. Kejujuran memang harus disertai dengan kasih, namun kasih ini harus dimengerti bukan seperti kasih yang didengungkan oleh dunia postmodern saat ini yang menghilangkan unsur Kebenaran! Kejujuran yang disertai dengan kasih tetap harus bersumber pada Kebenaran. Kita jujur menegur dosa orang, karena Alkitab mengajar kita bahwa kita harus menegur dosa sesama saudara seiman (bdk. Mat. 18:15-18; Yak. 5:19-20; 1Yoh. 5:16). Namun kejujuran kita menegur dosa orang TIDAK berarti asal-asalan dan mengucapkan sumpah serapah (bahkan mencap “BIDAT”) kepada orang lain. Itu sama saja kita tidak jujur. Kejujuran itu terintegrasi, yaitu: motivasi, cara, dan tujuan yang dipakai itu jujur. Contoh, kita melihat saudara seiman kita berdosa. Dari segi motivasi, kita benar-benar jujur memberi tahu dosanya bukan karena kita membenci dia atau kita sedang ada masalah dengan dia, namun karena kita memang mengasihinya. Cara yang kita pakai pun harus dipikir secara bijaksana, yaitu menegur dia dengan kasih yang mengajar dan kita menegurnya secara personal, bukan di depan umum. Nah, dari motivasi dan cara yang beres, maka tujuan kita biasanya tercapai yaitu agar orang yang kita tegur bertobat (kalau Roh Kudus melembutkan hati orang yang kita tegur). Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita berlaku jujur yang disertai dengan kasih kepada orang lain, khususnya sesama saudara seiman kita?



C. Cara Memiliki Kemurnian Hati
Jika kita telah menyelidiki arti dan unsur-unsur kemurnian hati, maka pertanyaan selanjutnya, bagaimana kita bisa memiliki kemurnian hati? Jika itu kerinduan hati anak Tuhan sejati, maka mari kita bersama-sama memikirkan dan menjalankan cara-cara memiliki kemurnian hati.
1. Hidup Berpusat Kepada Allah dan Firman-Nya
Cara paling awal yang harus kita lakukan untuk memiliki kemurnian hati adalah hidup kita harus berpusat pada Allah dan firman-Nya. Mungkin cara ini kita anggap terlalu mudah dan klise, karena kita telah melakukannya sejak dahulu. Benarkah cara ini terlalu mudah? Sebenarnya tidak. Mengapa? Karena memusatkan hidup hanya pada Allah dan firman-Nya adalah tindakan yang berani dan melawan arus dunia. Dunia kita sedang gencar-gencarnya mengajarkan teori Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) yang mengambil bentuknya dalam training-training motivasi. Intinya, mereka mengajarkan bahwa di dalam diri manusia ada suatu kekuatan raksasa yang perlu dibangunkan. Ajaran mereka itu dicetuskan dalam bentuk slogan-slogan yang mudah diingat dan cocok (lebih tepatnya: ENAK) didengar oleh telinga manusia postmodern ini, misalnya: “Dahsyat!”, “Success is My Right”, “Miskin itu Dosa”, dll. Slogan-slogan tersebut kelihatannya enak didengar telinga manusia postmodern, namun sayang hal-hal tersebut pelan namun pasti menipu. Yang lebih celaka, ada (atau mungkin banyak?) orang “Kristen” yang dengan mudahnya ditipu oleh tipuan murahan tersebut. Orang “Kristen” dengan mudahnya mengikuti arus, mengapa? Karena itu cocok/enak didengar. Rasul Paulus sudah menubuatkan hal ini di dalam 2 Timotius 4:3-4, “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.” Perlukah kita sebagai orang Kristen ikut arus? Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengutip perkataan seorang pendeta yang mengatakan, “Ikan apa yang terus ikut arus? Jawabannya: ikan mati!” Apakah orang Kristen hari ini termasuk orang Kristen mati? Jika ya, mereka perlu disadarkan dan dihidupkan kembali. Bertobatlah! Sudah saatnya orang Kristen BERTOBAT dari kebiasaan buruknya mengikuti arus dunia, karena arus dunia itu berubah-ubah (tergantung situasi), TIDAK teruji kebenarannya, dan yang paling penting melawan Kebenaran. Dunia mengajar kita untuk berpusat pada diri. Pdt. Sutjipto Subeno mengatakan bahwa kredo/pengakuan “iman” konsep dunia, “Sebab segala sesuatu adalah dari saya, dan oleh saya, dan kepada saya: Bagi sayalah kemuliaan sampai selama-lamanya.” Namun Alkitab mengajar kita bertolak belakang dengan konsep dunia, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm. 11:36)

Pertanyaan selanjutnya, mengapa kita harus memusatkan hidup kita pada Allah dan firman-Nya? Kita harus memusatkan hidup kita pada Allah dan firman-Nya, karena kita sebagai anak-anak Allah adalah orang pilihan Allah yang telah diciptakan oleh-Nya dan ditebus oleh-Nya melalui penebusan Kristus di kayu salib untuk memulihkan gambar dan rupa-Nya yang telah dirusak oleh dosa, agar kita sebagai anak-Nya mampu hidup hanya bagi Allah saja. Jika Anda mengaku diri “Kristen” namun tidak mau memusatkan hidup kita pada Allah dan firman-Nya, nyatalah bahwa Anda jelas bukan orang pilihan Allah! Itulah realitas pembeda antara umat pilihan Allah dengan yang bukan umat pilihan Allah. Mari kita uji diri kita masing-masing, termasuk siapakah kita: umat Allah atau bukan umat-Nya?

Lalu, bagaimana kita memusatkan hidup kita pada Allah dan firman-Nya?
Pertama, taat. Tidak ada jalan lain, ketika kita mau memusatkan hidup kita pada Allah dan firman-Nya, kita harus TAAT pada apa yang difirmankan-Nya. Apa arti TAAT? TAAT bisa berarti TUNDUK. Apa arti tunduk? Perhatikan kata-kata bijak dari Rev. Dr. Eddie L. Long di dalam bukunya Apa yang Diinginkan Pria, Apa yang Dibutuhkan Wanita, “Sikap tunduk tidak muncul ketika Anda setuju; sikap tunduk muncul ketika segala sesuatu dalam diri Anda mungkin menolak, namun Anda berserah kepada otoritas Allah.”
[8] Ya, taat atau tunduk berarti mematikan kehendak kita dan berserah penuh kepada kehendak-Nya. Dengan kata lain, tunduk berarti mengatakan “TIDAK” kepada kehendak kita sendiri dan mengatakan “YA” kepada kehendak Allah. Yang perlu kita pahami adalah ketaatan atau ketundukan itu bukan sebuah tindakan instan, tetapi sebuah proses! Jangan mengharapkan ketaatan instan, karena itu sia-sia.

Kedua, rendah hati. Setelah kita taat/tunduk kepada kehendak-Nya, kita tentu akan dengan sendirinya rendah hati. Kerendahan hati berarti kerelaan menerima kelemahan diri, bersedia ditegur oleh firman Allah dan saudara seiman/hamba Tuhan, dan tentunya bersedia berubah/bertobat dari kebiasaan lama yang buruk. Jangan percaya kepada orang “Kristen” yang katanya taat, tetapi tidak mau rendah hati. Itu tipuan, karena kerendahan hati timbul dari sikap ketaatan/ketundukan. Namun sayang dunia postmodern kita kurang (atau mungkin TIDAK?) menyenangi sikap rendah hati. Alasannya sederhana, karena sikap tersebut berarti mengakui keterbatasan dan kelemahan kita, sedangkan dunia kita sedang gencar-gencarnya mengajarkan bahwa manusia itu hebat, sukses, pintar, dll. Dengan kata lain, dunia kita melawan kerendahan hati karena itu TIDAK cocok dengan filsafat dunia berdosa ini. Yang lebih parah lagi, beberapa (atau mungkin banyak?) orang Kristen dan bahkan beberapa (atau mungkin banyak?) hamba Tuhan/pemimpin gereja termasuk orang yang tidak rendah hati. Mereka mungkin adalah orang yang suka mengkhotbahkan pentingnya kerendahan hati, namun di dalam realitas hidupnya sehari-hari, mereka tidak menjalankan apa yang mereka khotbahkan, melainkan mereka akan menggunakan beragam rasionalisasi/argumentasi untuk menutupi/tidak mengakui kesalahannya. Biarlah kita mengoreksi diri kita masing-masing. Sudahkah kita rendah hati dikoreksi firman-Nya dan saudara seiman kita demi pertumbuhan iman, kerohanian, karakter, dan keseluruhan hidup kita demi kemuliaan-Nya? Ingatlah, meskipun kita adalah orang Kristen, kita tetap MANUSIA yang diciptakan Allah, terbatas, dan masih berpotensi melakukan dosa (meskipun TIDAK lagi dibelenggu dosa). Sungguh suatu kenaifan jika kita menganggap diri hebat dan tidak membutuhkan orang lain, apalagi Allah sebagai Pencipta kita.

Ketiga, kerinduan dan disiplin. Kerendahan hati dikoreksi firman Allah mengakibatkan kita semakin lama semakin rindu ingin mengenal isi hati-Nya dan menjalankan firman-Nya. Orang yang tidak lagi rindu mengenal isi hati-Nya perlu dipertanyakan Kekristenannya, benarkah ia seorang Kristen sejati atau “Kristen” pura-pura? Kembali, seorang yang rindu mengenal isi hati-Nya dan menjalankan firman-Nya tentu adalah seorang Kristen yang menjalankan disiplin mempelajari dan merenungkan firman-Nya. Jika ada orang “Kristen” (atau mereka yang mengklaim dirinya “taat”) yang malas mempelajari Alkitab, patut dipertanyakan apakah ia seorang Kristen sejati atau bukan. Mari kita belajar dari pemazmur yang rindu akan firman-Nya.

Pemazmur mengungkapkan kerinduannya mengenal firman-Nya demikian dalam di dalam Mazmur 119. Mari kita teliti ayat per ayat. Diawali ayat 2-3, pemazmur mengatakan, “Berbahagialah orang-orang yang memegang peringatan-peringatan-Nya, yang mencari Dia dengan segenap hati, yang juga tidak melakukan kejahatan, tetapi yang hidup menurut jalan-jalan yang ditunjukkan-Nya.” Di ayat ini, pemazmur mengajarkan dwi konsep, yaitu: mencari Allah dan memegang peringatan-peringatan-Nya langsung diaplikasikan ke dalam hidupnya yaitu: “hidup menurut jalan-jalan yang ditunjukkan-Nya.” Di ayat 11, “Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau.” Kata “janji” di sini dalam bahasa Ibrani bisa berarti perintah, firman, dll. Luar biasa, pemazmur bisa mengatakan bahwa firman-Nya disimpan di dalam hatinya, supaya ia tidak berdosa kepada Allah. Bagaimana dengan kita? Apa yang ada di dalam hati kita? Pacar atau pasangan hidup kita? Uang? Kedudukan tinggi? Mari kita belajar dari pemazmur yang menempatkan Allah dan firman-Nya di dalam hatinya, supaya ia tidak berdosa kepada-Nya. Ayat 15-16, “Aku hendak merenungkan titah-titah-Mu dan mengamat-amati jalan-jalan-Mu. Aku akan bergemar dalam ketetapan-ketetapan-Mu; firman-Mu tidak akan kulupakan.” Bukan hanya menyimpan firman-Nya, pemazmur juga merenungkannya dan bahkan bergemar di dalamnya serta tidak melupakannya. Oh, luar biasa kerinduan hati pemazmur. Bagaimana dengan kita ya? Apakah kita juga sedemikian bersukacita dengan firman-Nya? Ataukah kita sudah mulai bosan membaca, mempelajari, merenungkan, dan menjalankan firman-Nya? Mari kita mengintrospeksi kerohanian kita, jangan-jangan kepala kita sudah diisi oleh berbagai macam doktrin yang sulit-sulit, namun kerohanian kita mulai merosot. Berhati-hatilah.

Yang lebih dahsyat lagi, bukan hanya merenungkan, bergemar di dalam, dan tidak melupakan firman-Nya, pemazmur berkata di dalam ayat 20, “Hancur jiwaku karena rindu kepada hukum-hukum-Mu setiap waktu.” Ya, pemazmur bisa hancur jiwanya BUKAN karena ditinggal pasangan hidupnya, tetapi karena rindu kepada hukum-hukum Allah. Bagaimana dengan kita? Kita hancur jiwa kita karena apa? Karena ditinggal pasangan kita? Atau karena kita kehilangan uang? Biarlah kita menyadari hal ini. Selain hancur jiwa, pemazmur mengatakan signifikansi firman di dalam hidupnya di ayat 24-25, “Ya, peringatan-peringatan-Mu menjadi kegemaranku, menjadi penasihat-penasihatku. Jiwaku melekat kepada debu, hidupkanlah aku sesuai dengan firman-Mu.” Luar biasa, pemazmur lebih dalam lagi merindukan firman-Nya bahkan menjadikan firman-Nya itu kegemaran, penasihat, dan sumber hidupnya. Hal ini berbeda total dengan kebanyakan orang “Kristen” zaman ini yang sudah merasa hebat (sok tahu), lalu membuang firman Allah dan menganggapnya kuno dan tidak relevan lagi dengan zaman sekarang. Biarlah orang Kristen sadar dan bertobat akan hal ini! Sebagai penasihat hidupnya, pemazmur menjelaskan pentingnya firman-Nya itu di dalam ayat 35-37, “Biarlah aku hidup menurut petunjuk perintah-perintah-Mu, sebab aku menyukainya. Condongkanlah hatiku kepada peringatan-peringatan-Mu, dan jangan kepada laba. Lalukanlah mataku dari pada melihat hal yang hampa, hidupkanlah aku dengan jalan-jalan yang Kautunjukkan!” Firman Allah bagi pemazmur menjadi penuntun dan penasihat hidupnya, karena itu ia menyukainya. Bukan hanya menyukainya, ia memakai standar firman-Nya untuk menyoroti dunia berdosa. Di ayat 36-37, pemazmur dengan kejujuran mengatakan kepada-Nya untuk mencondongkan hatinya kepada firman-Nya dan tidak kepada laba, ditambah dengan kerinduannya agar Allah melalukan matanya untuk melihat hal-hal yang hampa, lalu hidup menurut jalan-jalan yang Allah tunjukkan. Mengapa ia sampai pada kesimpulan tersebut? Mari kita selidiki alasannya: Pertama, karena firman Allah itu kekal (ay. 89, “Untuk selama-lamanya, ya TUHAN, firman-Mu tetap teguh di sorga.”). Kedua, firman Allah itu benar dan teruji/murni (ay. 151, 160, “…dan segala perintah-Mu adalah benar... Dasar firman-Mu adalah kebenaran dan segala hukum-hukum-Mu yang adil adalah untuk selama-lamanya.” dan ay. 140, “Janji-Mu sangat teruji, dan hamba-Mu mencintainya.”). Ketiga, karena firman Allah membuat umat-Nya lebih bijaksana dan berpengetahuan lebih dari siapa pun. (ay. 98-100, 104-105, “Perintah-Mu membuat aku lebih bijaksana dari pada musuh-musuhku, sebab selama-lamanya itu ada padaku. Aku lebih berakal budi dari pada semua pengajarku, sebab peringatan-peringatan-Mu kurenungkan. Aku lebih mengerti dari pada orang-orang tua, sebab aku memegang titah-titah-Mu… Aku beroleh pengertian dari titah-titah-Mu, itulah sebabnya aku benci segala jalan dusta. Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.”)

Kerinduan pemazmur bukan hanya menjadikan firman-Nya itu sumber hidupnya sesaat, tetapi untuk selama-lamanya. Hal ini diungkapkannya di dalam ayat 44, “Aku hendak berpegang pada Taurat-Mu senantiasa, untuk seterusnya dan selamanya.” Luar biasa dahsyat, firman-Nya dipegang pemazmur bukan hanya untuk masa-masa tertentu yang sulit, namun untuk segala masa, bahkan selama-lamanya. Berarti, hati pemazmur HANYA mau berpaut pada firman-Nya. Bagaimana dengan kita ya? Kepada siapa hati kita berpaut? Seberapa lamanya?

Bukan hanya menjadikan firman-Nya itu sebagai sumber hidupnya selama-lamanya, pemazmur juga menyadari akan realitas negatif dari hidup umat-Nya dan mengaitkannya dengan kehendak Allah. Perhatikan ungkapannya itu di dalam ayat 71, “Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu.”

Bahkan, kerinduannya akan firman-Nya membuat pemazmur jijik melihat dosa dan melakukannya. Di ayat 113, pemazmur mengatakan, “Orang yang bimbang hati kubenci, tetapi Taurat-Mu kucintai.” Di ayat 163, pemazmur juga mengungkapkan, “Aku benci dan merasa jijik terhadap dusta, tetapi Taurat-Mu kucintai.”

Terakhir, kerinduannya akan firman-Nya membuat dia semakin rendah hati. Perhatikan ungkapan hati pemazmur di ayat 168, “Aku berpegang pada titah-titah-Mu dan peringatan-peringatan-Mu, sebab seluruh hidupku terbuka di hadapan-Mu.”


Kemudian, apa akibat dari orang yang memusatkan hidupnya pada Allah dan firman-Nya? Akibatnya jelas adalah mereka memiliki hati yang murni dan bersih di hadapan-Nya. Hati yang murni ini mengakibatkan apa yang diucapkannya pun jujur, murni, dan tulus, tanpa tedeng aling-aling. Sedangkan orang yang bermuka dua biasanya adalah orang yang tidak pernah memusatkan hidupnya pada Allah dan firman-Nya. Dan orang seperti ini pasti dibenci oleh orang Kristen normal. Perhatikan kritikan dan cetusan tajam dari Rev. Dr. Eddie L. Long kembali,
“Tahukah Anda apa yang sungguh membuat saya marah? Saya tidak suka berbicara kepada orang yang motif dan reputasi moralnya memaksa saya untuk mengetahui apa yang sebenarnya mereka maksudkan di balik kata-kata mereka yang diliputi kabut asap. Mereka lebih sering tidak serius dengan apa yang mereka ucapkan—mereka hanya memancing demi posisi yang menguntungkan, kekuasaan, atau perlindungan demi menutupi mereka. Mereka menyebut diri orang kerajaan padahal mereka adalah musang-musang.
Saya mencari orang yang serius dengan perkataan mereka dan mengatakan apa yang mereka maksudkan. Saya rindu bersekutu dengan orang-orang yang perkataannya tidak berbeda dengan kehidupan yang mereka jalani dari hari ke hari. Jika mereka mengatakan sesuatu, maka hal itu benar. Jika mereka tidak menyukai sesuatu yang Anda perbuat, maka mereka “menyatakan kebenaran di dalam kasih”, bukannya menikam Anda dari belakang melalui percakapan mereka dengan orang lain.”
[9]
Apa yang dilontarkan secara tajam oleh Rev. Dr. Eddie L. Long di atas sebenarnya ciri khas mayoritas orang Timur dengan budaya sungkan-isme mereka yang berpura-pura! Firman Tuhan TIDAK menyukainya dan begitu juga para hamba dan umat-Nya yang kudus juga TIDAK menyukainya. Pdt. Dr. Stephen Tong juga mengatakan hal serupa seperti yang diungkapkan Rev. Dr. Eddie L. Long tersebut. Pdt. Stephen Tong menjelaskan bahwa alasan beliau tidak suka bersekutu dengan orang yang bermuka dua yaitu karena anak terang tidak bisa bersekutu dengan anak gelap!

Perhatikan sekali lagi. Orang yang memusatkan hidupnya hanya kepada Allah dan firman-Nya adalah orang yang berkomitmen untuk hidup semurni mungkin dan tidak bermuka dua! Jika ada orang “Kristen” yang masih bermuka dua dan bermulut manis serta anehnya tidak mau menyadarinya dan bertobat, silahkan pikir sendiri, apakah orang ini masih layak disebut umat pilihan Allah yang memusatkan hidupnya kepada Allah dan firman-Nya? Biarlah kita bukan menilai dan menghakimi orang lain terlebih dahulu, tetapi menguji diri kita terlebih dahulu!


2. Berdoa Mohon Pimpinan Roh Kudus
Cukupkah kita memusatkan hidup kita pada Allah dan firman-Nya agar kita memiliki kemurnian hati? TIDAK. Kita juga perlu berdoa memohon pimpinan Roh Kudus untuk terus-menerus memurnikan hati kita. Firman Tuhan mengajar kita prinsip-prinsip kemurnian hati dan doa yang memohon pimpinan Roh Kudus memampukan kita dengan rendah hati menerima prinsip-prinsip tersebut dan berkomitmen menjalankannya. Mengapa kita memerlukan bantuan doa memohon pimpinan Roh Kudus? Karena tanpa Roh Kudus, kita tak mungkin sanggup memiliki kemurnian hati. Ingatlah, kita adalah manusia yang dicipta, terbatas, dan berpotensi melakukan dosa, maka bukannya tidak mungkin kita berpotensi bermuka dua. Nah, di sinilah peran Roh Kudus di dalam doa membantu kita terus-menerus hidup murni di hadapan-Nya. Roh-Nya membantu kita hidup terus di dalam jalan-jalan-Nya dengan pertama-tama mengoreksi dan memurnikan hati kita. Sudah siapkah kita dimurnikan Roh Kudus?


3. Bersekutu dengan Saudara Seiman
Setelah berdoa memohon pimpinan Roh Kudus, kita harus tetap bersekutu dengan saudara seiman. Persekutuan dengan saudara seiman yang sehat adalah persekutuan yang saling menguatkan, menegur, menasihati, mengajar, menghibur, dan mengingatkan. Jika kita atau saudara seiman kita sedang hidup di dalam kemunafikan, maka tugas saudara seiman lain menegur dan mengingatkannya dengan kasih dan kebenaran. Nah, bagi orang yang menerima teguran ini, orang ini harus dengan rendah hati mengakui kesalahannya secara TULUS dan JUJUR, menerima teguran itu, dan bertobat. Saya pribadi mengalami hal ini. Saudara seiman saya terus menegur dan mengingatkan saya jika hati saya sudah tidak murni lagi. Yang terpenting, khotbah-khotbah para hamba Tuhan yang beres dan sungguh-sungguh sangat membantu saya untuk bertobat. Saya banyak belajar dari hamba-hamba-Nya mengenai kemurnian hati: Pdt. Dr. Stephen Tong, Pdt. Yohan Candawasa, S.Th., Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., dan Pdt. Drs. Thomy Job Matakupan, S.Th., M.Div. Jika saya telah, sedang, dan akan mengalaminya, maukah kita juga mau dibentuk Tuhan untuk lebih murni lagi melalui saudara seiman dan para hamba Tuhan yang bertanggungjawab demi hormat dan kemuliaan nama-Nya?






V. PENUTUP dan TANTANGAN
Setelah kita merenungkan tema kemurnian hati, apa yang menjadi reaksi kita? Cuek? Ataukah kita benar-benar dicerahkan dan dilembutkan oleh Roh Kudus untuk berkomtimen memiliki kemurnian hati di hadapan-Nya? Ingatlah, kemurnian hati adalah sebuah proses dan itu dimulai dari komitmen kita sungguh-sungguh di hadapan-Nya melalui gerakan Roh Kudus. Dunia boleh bermuka dua (karena itu memang wajah aslinya), tetapi anak-anak Tuhan TIDAK boleh bermuka dua, karena itu adalah kejijikan di hadapan-Nya! Saat ini, saya menantang Anda, beranikah kita berkomitmen untuk hidup murni di hadapan-Nya? Sebagai penutup, mari kita belajar apa yang Allah melalui Rasul Yohanes ajarkan kepada kita di dalam 1 Yohanes 2:15-17, “Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu. Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia. Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.”

Biarlah saat ini, Roh Kudus bekerja di dalam hati kita: mencerahkan, menegur, dan mempertobatkan kita. Amin. Soli Deo Gloria.


[1] Cornelius Van Til, The Defense of the Faith (USA: Presbyterian and Reformed Publishing Co., 1955), hlm. 15.
[2] New International Version Spirit of the Reformation Study Bible (U.S.A.: Zondervan, 2003), hlm. 1833.
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 599.
[4] Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru (PBIK) Jilid II (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2006), hlm. 244.
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 601.
[6] Ibid.
[7] Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru (PBIK) Jilid II (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2006), hlm. 135.
[8] Eddie L. Long. Apa yang Diinginkan Pria, Apa yang Dibutuhkan Wanita, terj. Sri Meilyana (Jakarta: Metanoia, 2005), hlm. 42.
[9] Ibid., hlm. 56.