30 June 2008

Matius 10:19-20: PROVIDENSIA ALLAH

Ringkasan Khotbah : 27 Nopember 2005

Providensia Allah
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 10:19-20


Pendahuluan
Kita telah memahami bahwa anak Tuhan itu layaknya seperti seekor domba yang berada di tengah-tengah serigala. Secara logika, posisi ini sangatlah sulit sebab domba adalah binatang lemah, ia tidak mempunyai pertahanan untuk dapat menyelamatkan dirinya dari cengkeraman musuh akan tetapi di dalam kondisi demikian Tuhan tidak ingin kita serupa dengan menjadi seekor serigala. Tidak! Bagaimanapun juga kita tetap harus menjadi domba. Tuhan sudah membukakan dari awal tentang semua hal yang positif dan negatif kalau kita menjadi pengikut Kristus, yakni kita akan ditangkap, disesah dan diserahkan ke majelis agama. Hati-hati, hari ini banyak konsep Kekristenan yang menipu akibatnya orang tertipu dan terkejut karena realita ternyata tidaklah sesuai dengan yang diajarkan. Bukanlah hal yang mudah sebagai orang Kristen untuk hidup benar dan suci di tengah-tengah dunia yang tidak benar namun ketika kesulitan itu datang, janganlah kuatir sebab Tuhan telah berjanji Dia akan selalu beserta dan memelihara umat-Nya. Doktrin ini disebut sebagai providensia Allah.

Signifikansi Providensia Allah
1. Providensia diberikan hanya kepada anak Tuhan yang taat dan setia pada-Nya.
Hari ini muncul konsep yang salah tentang providensia Allah; orang beranggapan kalau Allah memelihara maka orang Kristen boleh berbuat seenaknya sebab Allah akan menjagai, kita tidak akan menderita dan apapun yang dilakukan pasti berhasil maka tidaklah heran kalau ternyata yang diajarkan tidak sama dengan realita yang dihadapi orang menjadi terkaget-kaget dan ironisnya, orang menyalahkan Tuhan, kenapa Tuhan tidak menjaga? Sesungguhnya bukan Tuhan yang salah tetapi manusialah yang tidak mau taat dan menyeleweng dari jalan Tuhan, kitalah yang hilang dari posisi kita. Pertanyaannya sekarang adalah dimanakah posisi kita? Apakah kita seorang anak Tuhan yang sejati? Providensia Allah digambarkan seperti seekor domba yang dekat dengan gembalanya; si domba akan aman berada dalam pemeliharaan sang gembala ketika ia dekat dengan sang gembala akan tetapi ketika si domba itu menyeleweng jauh dari sang gembala maka si domba akan berada dalam kesulitan. Untuk memahami providensia Allah maka kita harus kembali pada posisi yang asli, yaitu domba yang dekat dengan gembala disana kita dapat merasakan Allah menjadi benteng yang melindungi (Mzm. 48:1-15).

2. Providensia Allah membuktikan kelemahan dan keterbatasan diri manusia.
Di satu pihak orang butuh providensia Allah khususnya ketika kita berada dalam kesulitan tetapi di sisi lain, orang menolak providensia Allah karena providensia ini dirasakan telah membatasi eksistensi dirinya. Dalam hal ini providensia tidak lebih hanya sebagai alat pendukung dimana Tuhan seperti seorang bodyguard. Ingat, Tuhan bukan budak kita yang dapat kita perintah seenaknya. Tidak! Sadarlah, kitalah yang budak dan harus taat mutlak pada Tuhan. Manusia adalah makhuk lemah dan terbatas dalam banyak hal manusia tidak dapat mengatasi segala kondisi dan situasi yang sulit, kita tidak tahu apakah esok cerah ataukah gelap, manusia tidak berkuasa atas alam apalagi atas Tuhan sang pemilik alam. Ironisnya, dunia tidak mau mengakui kalau dirinya lemah dan terbatas. Hendaklah kita selalu mawas diri, janganlah kita terus menengok ke bawah tetapi tengoklah ke atas, masih banyak orang yang segalanya lebih dari kita. Kita bukanlah siapa-siapa, kita hanyalah remah-remah yang seharusnya dibuang. Konsep pemeliharaan Allah menyadarkan kita bahwa kita adalah manusia lemah dan terbatas dan seharusnya kembali pada posisi yang tepat. Orang yang tidak mengerti hal ini maka ia tidak akan pernah memahami betapa kita butuh pemeliharaan-Nya. Selama orang masih sukses, orang tidak akan pernah sadar akan kelemahannya ketika realita berbicara lain barulah orang mulai teriak: Tuhan dimana? Keterbatasan otak kitalah yang membuat kita sulit melihat penyertaan dan pemeliharaan Tuhan yang indah dalam hidup kita. Providensia menuntut ketaatan dan kesadaran akan posisi kita dengan demikian kita tahu bagaimana seharusnya memperlakukan dan bersikap pada Allah.

3. Providensia memperluas kapasitas manusia.
Orang lebih suka berjalan sendiri, orang tidak suka kalau Tuhan memelihara, orang tidak suka diatur oleh Tuhan sebaliknya orang lebih suka mengatur Tuhan. Pertanyaannya sekarang memang siapakah manusia mau mengatur Tuhan dan menjadi penasehat bagi Tuhan semesta alam? Sampai seberapakah kepandaian, kekayaan dan kekuatan manusia? Sadarlah justru pada saat kita bersandar dan hidup dalam pemeliharaan Tuhan itulah batasan kita diperluas. Ketika manusia tidak sanggup lagi mengatasi segala kesulitan maka saat itu kita akan melihat Allah sanggup mengatasi semua perkara yang menjadi kesulitan kita, kita akan melihat cara Tuhan yang ajaib yang sulit dimengerti oleh logika manusia. Tuhan kita adalah Tuhan yang hidup, Dia akan memberikan kepada kita kekuatan yang melampaui teori manusia. Terkadang kita sulit untuk mengerti namun percayalah, Tuhan pasti akan menolong kita disaat yang paling sulit dan Tuhan bisa memakai apapun juga seperti halnya Tuhan memeliharakan Elia dengan memakai burung gagak. Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktu-Nya.

Prinsip Providensia Allah
1. Hidup Beriman
Hidup dalam pemeliharaan Tuhan diperlukan iman. Orang yang selalu kuatir membuktikan satu hal, yakni ia tidak beriman pada Tuhan. Sejauh diri dapat mengontrol maka kekuatiran itu tidak akan muncul akan tetapi ketika segala sesuatu mulai berada di luar kontrol diri muncullah rasa kuatir. Orang yang kuatir adalah orang yang berjuang sendiri dengan mengandalkan kekuatannya sendiri untuk menyelesaikan segala sesuatunya seorang diri saja tetapi di luar kemampuan diri. Banyak hal di dunia ini kita tidak tahu, kita tidak tahu apa yang terjadi esok, kita tidak tahu masa depan kita maka wajarlah kalau timbul rasa kuatir dan takut. Kekuatiran dan ketakutan itu muncul karena kita tidak kenal diri sendiri, kita tidak tahu posisi siapa yang lebih tinggi siapa yang lebih rendah. Ironis, orang justru lebih takut pada iblis padahal secara ordo, iblis itu ada di bawah kita. Anak Tuhan sejati harusnya lebih takut pada Tuhan yang menjadi Bapa kita. Jadi, rasa takut dan kuatir itu karena masalah teologis bukan psikologis.
Seorang anak Tuhan sejati tidak perlu takut dan kuatir karena kita mempunyai Tuhan yang hidup yang akan memberikan kekuatan dan memimpin langkah hidup kita. Sebagai anak Tuhan, kita harus waspada. Seorang yang waspada tetap aktif mengerjakan segala sesuatu dan pada saat ia aktif, alert system yang ada pada dirinya itu tetap berjalan, ia peka ketika ada hal-hal yang menyeleweng dari jalan Tuhan dengan demikian kita tidak terjebak dan saat itulah seorang anak Tuhan yang sejati harus menjadi saksi. Orang yang beriman pada Tuhan tidak akan pernah merasa kuatir; hanya satu hal yang dia tahu yaitu taat mutlak pada pimpinan Tuhan. Sejauh kita taat dan berjalan bersama dengan Tuhan maka tidak ada hal lain yang perlu kita kuatirkan sebab kita tidak sedang mengerjakan rencana manusia tetapi rencana-Nya; kalau memang itu kehendak Tuhan maka segala rintangan dan halangan yang ada di depan pasti akan hancur karena Tuhan yang memimpin.
Selama kita hidup taat pada Tuhan maka tiap langkah Tuhan akan pimpin. Namun ingat, ketika Tuhan pimpin bukan berarti kita akan hidup nyaman. Tidak! Tuhan menegaskan sejak awal orang Kristen seperti domba di tengah serigala itu berarti setiap saat banyak tantangan dan penderitaan yang harus kita hadapi. Seorang yang taat akan pimpinan Tuhan maka ia harus berani dan siap dengan segala tantangan dan penderitaan maka orang yang demikian ini akan dipakai Tuhan dengan luar biasa. Tuhan panggil kita untuk melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sebelumnya dan Ia mau supaya kita hidup di dalamnya (Ef. 2:10). Saat kita melakukan kehendak Tuhan maka justru saat itulah kita merasakan hidup yang paling aman dan tenang karena kita tahu Tuhan yang memimpin kita adalah Tuhan yang hidup.

2. Hidup dalam Anugerah Tuhan
Firman Tuhan menegaskan apabila mereka menyerahkan kamu, janganlah kamu kuatir...karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga (Mat. 10:19). Semua yang ada pada kita itu merupakan anugerah dari Tuhan. Konsep ini sangat penting dalam kita memahami providensia Allah. Pemeliharaan Allah itu bukan menjadi hak kita untuk mendapatkannya tetapi semua itu Tuhan anugerahkan kepada setiap anak-anak-Nya. Inilah yang menjadi kekuatan kita. Kita tahu sekarang bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang baik, Tuhan yang tidak akan meninggalkan anak-anak-Nya sendiri. Kita sepatutnya bersyukur atas anugerah yang ada pada kita baik yang sifatnya materi maupun non materi seperti kepandaian, ketrampilan, dan lain-lain karena Tuhan anugerahkan semua itu pada kita supaya kita dapat berjalan menjadi anak-Nya; Tuhan memberikan semua itu supaya kita sebagai anak-Nya tidak mempermalukan Dia dan Tuhan memberikan semua itu untuk menyadarkan kita bahwa Dia menolong kita dan tanpa Dia kita bukanlah siapa-siapa. Hidup yang paling indah adalah ketika kita berada di posisi kita, yaitu sebagai domba yang berada dekat dengan Sang Gembala. Kita akan merasa aman dan nyaman karena Sang Gembala itu akan menuntun kita di padang yang berumput hijau, Dia membimbing kita ke air yang tenang dan ketika kita berada dalam bahaya maka gada dan tongkat-Nya yang akan menghiburkan dan menolong kita (Mzm. 23). Sangatlah disayangkan kalau kita melewatkan anugerah Tuhan yang begitu besar ini.
Katekismus Westminster menyatakan bahwa tujuan hidup Kristen adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia seumur hidup kita. Hubungan Allah dengan anak-Nya bukanlah hubungan yang menyakitkan tetapi justru ketika kita dekat dengan Allah kita dapat merasakan indahnya. Hubungan Allah dengan anak-Nya ini digambarkan seperti hubungan suami istri. Janganlah kita iri hati kepada mereka orang yang tidak percaya Tuhan namun hidup dengan nyaman dan tidak ada penderitaan sebaliknya kita melihat orang yang beriman justru hidup menderita. Jangan tertipu dengan fenomena sebab sesungguhnya Tuhan menaruh mereka di tepi jurang yang licin yang sekarang ada dan besok lenyap, bagaikan rumput yang hari ini tumbuh dan besok dibuang (Mzm. 73). Seorang anak Tuhan bukan berarti tidak akan pernah mengalami kesulitan atau penderitaan. Tidak! Anak Tuhan juga akan melewati lembah-lembah kekelaman akan tetapi dalam semua aspek itu ingatlah Sang Gembala berada dekat dengan domba-domba-Nya, Ia siap menolong kita.
3. Hidup dalam Waktu dan Cara Tuhan
Tuhan tahu sampai dimana batas kekuatan kita, kapan waktu yang tepat dan dengan cara yang seperti apa untuk menolong kita disaat kita berada dalam kesulitan. Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik untuk anak-anak-Nya maka pemberian itu tidak akan kurang atau berlebih dan pemberian ini tidak menjadi beban bagi anak-Nya. Dalam hal ini Tuhan Yesus telah mengajarkan dalam doa Bapa Kami, yaitu berilah pada hari ini makanan kami yang secukupnya (Mat. 6:9-13). Jadi, saat kita hidup pas, tidak kurang dan tidak berlebih itulah hidup yang terbaik. Celakanya, manusia tidak tahu ukuran yang pas dalam diri mereka. Manusia berdosa telah dikuasai oleh jiwa humanis dan materialis sehingga manusia yang serakah selalu ingin mendapatkan lebih dan lebih. Hal ini dapat kita lihat pada jaman Perjanjian Lama dimana Tuhan telah sediakan manna tiap-tiap harinya dan Tuhan perintahkan untuk mengambil manna itu secukupnya, yaitu hanya untuk satu hari kecuali pada hari Sabat barulah boleh mengambil lebih, yakni persediaan untuk tiga hari tapi Alkitab mencatat manusia yang serakah itu mengambil lebih, mereka tidak percaya pada janji Tuhan, mereka takut kalau Tuhan tidak menurunkan manna keesokan harinya, akibatnya manna yang diambil berlebih itupun busuk. Tuhan sudah mengatur sedemikian rupa itu untuk kebaikan manusia tapi memang sifat manusia berdosa yang serakah dan tidak mau taat pada Tuhan. Bayangkan, kalau Tuhan memerintahkan orang Israel mengambil manna untuk persediaan selama satu bulan maka dapatlah dibayangkan beratnya beban yang harus dipikul selama berada di padang gurun dan lagipula mereka juga tidak tahu seberapa banyakkah manna yang harus disimpan untuk persediaan selama satu bulan, bukan?
Tuhan tahu batas ukuran kita maka apa yang ada pada kita sekarang itu adalah yang terbaik dan ukurannya pun tepat. Ukuran yang tepat itu justru memudahkan kita untuk bergerak dan bekerja bagi Tuhan. Percayalah, kalau sudah kehendak Tuhan pada waktunya Tuhan pasti akan sediakan dan ingat, semua anugerah pemberian harus kita pertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Memang mustahil bagi kita untuk meniadakan gelombang dunia yang semakin hari semakin besar tetapi sebagai anak Tuhan kita mempunyai Tuhan yang memberikan kita kekuatan untuk berdiri di atas gelombang dan tidak terhanyut di dalamnya. Biarlah kita mengubah seluruh konsep pemikiran, langkah hidup kita kembali pada posisi yang tepat maka kita akan merasakan hidup yang indah bersama Tuhan. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 9:1-5: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-1: Status Israel

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-1


“Israel” Sejati atau Palsu-1: Status Israel

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 9:1-5

Setelah mempelajari tentang pengajaran Paulus tentang bentuk pertama dan kedua dari segala sesuatu yang dikaruniakan Allah bagi kita bersama-sama dengan Kristus, yaitu pembenaran (ayat 33) dan kita menjadi warga Kerajaan Surga bersama-sama dengan Kristus di ayat 35 s/d 39, maka selanjutnya, kita akan merenungkan pengajaran Paulus berkenaan dengan predestinasi mulai pasal 9 s/d 11. Pada bagian ini, kita hanya akan membahas pasal 9 ayat 1 s/d 5 yang merupakan pendahuluan dan pemaparan Paulus tentang bangsa Israel dan apa yang mereka peroleh.

Pembahasan Paulus tentang pemilihan orang percaya yang diakhiri di pasal 8 ayat 39 berhubungan erat dengan pemilihan Israel mulai pasal 9, di mana pemilihan orang percaya adalah seperti pemilihan Israel. Mulai pasal 9 s/d 11, ketika kata Israel muncul, Paulus sudah mengunci artinya yaitu bukan Israel secara bangsa/fisik, tetapi Israel rohani (9:6-8). Mengapa demikian ? Karena Paulus menyadari bahwa tidak semua orang Israel adalah pilihan Allah. Sisa-sisa dari orang Israel inilah yang sungguh-sungguh disebut umat pilihan Allah. Demikian juga halnya dengan orang-orang Kristen, bukan identitas “Kristen”nya yang menentukan/menyelamatkan, tetapi isi dari imannya yang menentukan apakah dia termasuk umat pilihan Allah atau bukan.

Di awal pembahasannya di pasal 9, Paulus mengatakan, “Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta. Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus, bahwa aku sangat berdukacita dan selalu bersedih hati.” (ayat 1 dan 2) Kedua ayat pembukaan ini menandakan bahwa betapa seriusnya pemilihan Israel (rohani) bagi Paulus. Keseriusan ini ditandai dengan dua kesaksian yaitu: kesaksian dari kebenaran dalam Kristus dan kesaksian hati nurani bersama Roh Kudus.
Pertama, kesaksian dari kebenaran dalam Kristus. Kata “kebenaran” dalam ayat 1 ini dalam bahasa Yunani alētheia berarti kebenaran (truth). Berarti, Paulus hendak mengatakan bahwa pemilihan Israel didasarkan pada kebenaran Allah di dalam Kristus, di mana Israel sejati bukanlah Israel secara lahiriah/fisik, tetapi rohaniah. Kebenaran ini sangat penting, karena di ayat berikutnya, Paulus mengemukakan bahwa banyak orang Israel menyombongkan diri karena mereka menyangka bahwa mereka keturunan Abraham, maka mereka pasti selamat. Padahal kriteria keselamatan bukan ditentukan apakah dia keturunan Abraham, tetapi mutlak pada pemilihan Allah yang berdaulat.
Kedua, kesaksian hati nurani bersama Roh Kudus. Kata “suara hatiku” di dalam ayat 1 dalam bahasa Yunani suneidēsis berarti hati nurani (conscience). Bukan hanya kebenaran Allah di dalam Kristus, hati nurani Paulus yang dibimbing Roh Kudus juga ikut bersaksi bahwa Israel sejati bukanlah karena keturunan, tetapi karena pilihan Allah. Ini adalah kekonsistenan antara masing-masing Pribadi Allah Trinitas, yaitu masing-masing Pribadi Allah menyatakan kebenaran: Allah Bapa menyatakan kebenaran-Nya di dalam Kristus, dan Roh Kudus mengefektifkan kebenaran itu di dalam hati nurani dan pikiran umat pilihan-Nya agar mereka mengerti kebenaran-Nya.
Kesaksian kebenaran di dalam Kristus dan kesaksian hati nurani bersama Roh Kudus mengakibatkan Paulus sangat berdukacita dan bersedih hati. Kata “berdukacita” dalam terjemahan Inggris dan Yunani sama-sama mengartikan dukacita yang besar. Lalu, kata “bersedih hati” dalam terjemahan Yunani berarti kesedihan yang terus-menerus/tidak berhenti (King James Version menerjemahkannya continual sorrow ; American Standard Version menerjemahkannya unceasing pain). Artinya, kedua kesaksian yang Paulus sebutkan mengakibatkan dirinya sangat sedih hati dan menderita tidak habis-habis. Ini berarti ada perasaan “tertekan” dalam diri Paulus.

Ketertekanan ini ditandai langsung dengan pengakuannya di ayat 3, “Bahkan, aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani.” Beberapa terjemahan Inggris (American Standard Version, Geneva Bible, King James Version dan New King James Version) TIDAK memisahkan kedua hal ini yaitu terkutuk dan terpisah bagi Kristus. Tetapi empat terjemahan Inggris lainnya (English Standard Version, International Standard Version, New American Standard Bible dan New International Version) memisahkan kedua hal ini. Hal ini juga sesuai dengan terjemahan bahasa asli (Yunani)nya (yang memisahkan kedua hal ini dengan kata penghubung “sehingga”). Ketertekanan Paulus ini ditandai dengan keinginan dan kerelaan Paulus untuk dikutuk (menjadi obyek yang dikutuk) sehingga ia terlepas/terpisah dari Kristus. Paulus rela melakukan hal ini demi saudara-saudara sebangsanya yaitu Israel secara jasmani. Kata “saudara” dalam bahasa Yunani adelphos yang bisa berarti saudara (seiman) atau saudara (sebangsa). Kata ini muncul sebanyak 343 kali di dalam Perjanjian Baru. (Sutanto, 2006, p. 18) Ini berarti demi saudara-saudara sebangsanya, Paulus rela mati dikutuk bahkan sampai terpisah dari Kristus. Inilah teladan Paulus yaitu mengasihi jiwa demi Kristus. Kebenaran Allah di dalam Kristus dan kesaksian Roh Kudus di dalam hati nuraninya mengakibatkan dia memiliki hati yang mengasihi jiwa. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita juga ingin seperti Paulus yang rela mati dikutuk demi mengasihi bangsa yang berdosa ini dan memberitakan Injil kepada mereka ? Apakah kita juga siap mati seperti Paulus demi pengabaran Injil ? Karakter dan teladan Paulus adalah teladan seorang hamba Tuhan yang taat dan setia akan panggilan-Nya. Di abad postmodern, status “hamba Tuhan” bukanlah seperti status hamba Tuhan di abad-abad sebelumnya. Status ini banyak mengalami pergeseran makna. Kalau dahulu, di zaman para rasul, bapa gereja, dll, status hamba Tuhan adalah status yang mulia (di mata Allah), sekaligus “hina” (di mata manusia), tetapi sayangnya di abad postmodern, status ini banyak mengalami pergeseran, di mana banyak “hamba Tuhan” merasa diri mulia (di mata manusia), sebaliknya di mata Allah, sebenarnya mereka hina. Paulus adalah Rasul Kristus dan hamba Tuhan yang mungkin dipandang hina oleh dunia (beberapa orang Islam di dalam zaman postmodern ini menghina Paulus dan membedakan antara ajaran Yesus dan Paulus {suatu anggapan yang konyol dan tidak bertanggungjawab}), tetapi di mata Allah, Paulus adalah Rasul Kristus yang mulia. Kriteria mulia dan hina di dalam keKristenan sangat berbeda dari kriteria yang ditetapkan dunia, karena kedua kriteria ini di dalam keKristenan sangat Theosentris (berpusat kepada Allah), sedangkan di dalam dunia, kedua kriteria ini sangat antroposentris (berpusat kepada manusia). Ketika kita mengukur seorang hamba Tuhan berdasarkan standar ukur Alkitab, maka ukurlah mereka dari kacamata kedaulatan Allah, apakah mereka setia dan taat kepada kehendak-Nya ataukah mereka “setia” kepada kehendaknya sendiri. Ini yang membedakan antara Hamba Tuhan sejati dengan “hamba ‘tuhan’” palsu, antara Israel sejati dengan “israel” palsu.

Mengapa Paulus rela dikutuk demi Israel ? Alasannya di ayat 4-5, “Sebab mereka adalah orang Israel, mereka telah diangkat menjadi anak, dan mereka telah menerima kemuliaan, dan perjanjian-perjanjian, dan hukum Taurat, dan ibadah, dan janji-janji. Mereka adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu. Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya. Amin!” Kedua ayat ini dapat dibagi menjadi dua yang berarti dua status Israel, yaitu:
Pertama, Israel telah diangkat menjadi anak. King James Version menerjemahkannya bahwa Israel telah diadopsi. Dari sekian banyak bangsa, Allah berdaulat memilih Israel bukan karena kebaikannya, tetapi mutlak karena kerelaan kehendak-Nya yang berdaulat. Pemilihan Allah berlanjut pada pengadopsian Israel menjadi umat-Nya. Hal ini sesuai dengan Keluaran 4:22, “Beginilah firman TUHAN: Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung;” Uniknya, status Israel sebagai anak Allah ditunjukkan di depan Firaun (baca konteks Keluaran 4). Ini berarti ada hak istimewa Israel sebagai umat/anak-Nya (yang tetap harus diuji oleh-Nya) di hadapan bangsa-bangsa lain. Ketika Israel diadopsi menjadi umat-Nya, Ia mewahyukan diri-Nya dan Paulus menyebutkan 5 hal yang diperoleh Israel sebagai wahyu Allah, yaitu:
(1) kemuliaan. King James Version (KJV), New King James Version (NKJV), American Standard Version (ASV), English Standard Version (ESV), Geneva Bible, International Standard Version (ISV) dan New American Standard Bible (NASB) menerjemahkannya glory (=kemuliaan) ; New International Version (NIV) menejermahkannya divine glory (kemuliaan Allah) ; bahasa Yunani menerjemahkannya kehormatan. Ketika diadopsi menjadi anak Allah, Israel menerima kemuliaan (Allah) atas mereka. Ini juga berlaku bagi kita sebagai umat pilihan Allah di dalam Kristus yang akan dimuliakan-Nya kelak (lihat Roma 8:30b).
(2) Perjanjian-perjanjian. Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah diathēkē berarti disposition (=pengaturan atau ketentuan). Dalam bahasa Inggris, kata ini diterjemahkan covenant (=kovenan atau perjanjian). Sebagai anak-Nya, Allah mengadakan perjanjian dengan mereka. Ada dua pandangan mengenai perjanjian, yaitu perjanjian antara dua pihak yang setara (antar teman/saudara/rekan) dan perjanjian antara dua pihak yang tidak setara (antara bos dengan karyawan). Perjanjian/kovenan yang terjadi antara Allah dan Israel adalah perjanjian model kedua, yaitu Allah yang membuat perjanjian dengan Israel dan Israel harus taat (tidak boleh membantah). Perjanjian Allah dengan Israel dimulai dari kovenan kerja di Taman Eden, dilanjutkan dengan kovenan Allah dengan Abraham, di mana melalui keturunannya, semua bangsa akan mendapat berkat, dan berlanjut sampai kovenan Allah dengan Ishak, Yakub dan keturunan mereka. Kovenan ini HANYA berlaku bagi umat Israel dan sekarang, kovenan ini berlanjut sampai kovenan keselamatan, di mana hanya di dalam Kristus, umat pilihan-Nya dibenarkan dan diselamatkan dari dosa-dosa.
(3) Hukum Taurat. Dalam bahasa Inggris, kata ini diterjemahkan law (tidak mengindikasikan adanya Hukum Taurat). Tetapi ketika kita memperhatikan konteksnya, maka kata “hukum” ini bisa ditafsirkan sebagai hukum Taurat. Sebagai umat-Nya, Ia memberikan hukum Taurat untuk memimpin langkah hidup umat-Nya agar berjalan di jalan-Nya. Hukum Taurat menunjuk kepada dasa titah di dalam Keluaran 20. Selain itu, hukum ini juga berlaku sebagai hukum standar dalam bidang politik, dll di dalam bangsa Israel agar bangsa ini menjalankan perintah Allah di dalam segala segi, baik moralitas, politik, dll. Sebagai umat pilihan Allah di dalam Kristus pun, kita diberikan oleh Allah sebuah Alkitab sebagai pedoman bagi iman dan kehidupan kita sehari-hari, sehingga hidup kita adalah hidup yang memuliakan Allah dalam segala segi kehidupan, baik theologi, moralitas, ekonomi, politik, hukum, dll. Semua hukum Allah ini mewujudnyatakan seluruh atribut Allah yang Mahakasih, Mahaadil, Mahakudus, Mahabijaksana dan Maha segala-galanya.
(4) Ibadah. ESV dan ISV menerjemahkannya worship, dan KJV, NKJV, Geneva Bible, ASV menerjemahkannya the service of God. NASB menerjemahkannya the temple service, dan NIV menerjemahkannya the temple worship. Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah latreia berarti menyembah (worship). Dengan kata lain, sebagai anak-Nya, Israel diajar bagaimana menyembah atau beribadah kepada Allah, di mana cara ini berbeda dari bangsa-bangsa di luar Israel. Cara ini adalah cara khusus yang Allah sendiri ajarkan kepada anak-Nya. Apakah itu ? Ibadah Israel dimulai dengan pengakuan akan adanya Allah yang Esa (tidak berarti satu pribadi, tetapi satu di dalam esensi) (baca: Ulangan 6:4-5). Apakah Ulangan 6:4 mengajarkan bahwa Allah orang Israel adalah Allah yang hanya satu pribadi ? TIDAK. Banyak “pemimpin gereja” baik yang menganut Unitarian, Sabellianisme, dll mengklaim ayat ini sebagai ayat yang mengajarkan ketunggalan Allah. Padahal Ulangan 6:4 ditulis bukan dengan motivasi ingin mengajar Israel bahwa Allah itu hanya satu pribadi, tetapi motivasinya adalah agar Israel beriman yang beres (di dalam Tuhan à Ibrani: YHWH/Yahweh/Yehovah) di tengah-tengah bangsa-bangsa di luar Israel yang menyembah banyak ilah (politeisme). Dengan kata lain, marilah kita memperhatikan konteksnya, jangan asal menemukan ayat lalu ditafsirkan seenaknya sendiri ! Di dalam keKristenan, hal ini diperjelas lagi, yaitu Allah yang Esa adalah Allah yang berpribadi tiga dan beresensi satu (=Allah Trinitas).
(5) Janji-janji. Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah epaggelia yang secara khusus berarti divine assurance of good (=asuransi Allah akan kebaikan). Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible membagi janji ini menjadi dua, yaitu janji temporal (sementara) dan spiritual. Janji temporal ini dijelaskan oleh Adam Clarke di dalam tafsirannya Adam Clarke’s Commentaries on the Bible sebagai janji akan tanah Kanaan dan janji spiritual yaitu janji Mesias yang akan diutus. Sebagai orang Kristen, kita tidak lagi menantikan janji kedatangan Mesias, tetapi kita menantikan janji Allah yang akan membangkitkan kita kelak di dalam Kristus. Itulah janji Allah yang bersifat spiritual bagi kita.

Kedua, mereka adalah keturunan nenek moyang. “Bapa-bapa leluhur” dalam bahasa Yunani lebih tepat diterjemahkan nenek moyang. Artinya, dari keturunan Israellah, Mesias lahir. Dengan kata lain, Israel melahirkan Kristus secara jasmani. Di dalam ayat ini, terjemahan bahasa Indonesia kurang jelas menguraikan dwi natur Kristus yang adalah 100% Allah dan 100% manusia. Mengapa ? Karena di dalam terjemahan LAI, ayat yang berbunyi, “Mereka adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu. Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya. Amin!”, kata “Ia” bisa ditafsirkan sebagai Allah Bapa, tetapi jika kita memperhatikan terjemahan bahasa Inggris, kita langsung menemukan adanya dwi natur Kristus. English Standard Version, misalnya, menerjemahkan, “To them belong the patriarchs, and from their race, according to the flesh, is the Christ who is God over all, blessed forever. Amen.” Dengan kata lain, Mesias yang dinantikan oleh orang Israel telah digenapi di dalam Pribadi Kristus yang 100% Allah dan 100% manusia yang menyelamatkan manusia dari dosa-dosa mereka dengan menebus umat-Nya.


Dari kelima ayat ini, kita sudah mendapatkan gambaran tentang siapakah Israel, dan itu juga menggambarkan kita sebagai orang Kristen. Bagaimana respon kita sebagai umat-Nya? Apakah seperti Israel yang tegar tengkuk atau kah kita taat dan setia kepada Allah dan kehendak-Nya ? Biarlah perenungan lima ayat ini menjadi perenungan yang mempersiapkan kita pada ayat-ayat berikutnya tentang kegagalan Israel dan kedaulatan Allah. Soli Deo Gloria. Solus Christus.

27 June 2008

GEREJA; MAU KE MANA?: KONSERVATIF DAN RADIKAL (Rev. Dr. John R. W. Stott, CBE)

GEREJA; MAU KE MANA?:
KONSERVATIF DAN RADIKAL


oleh: Rev. DR. JOHN R. W. STOTT, CBE



Di dalam gereja kontemporer ada dua ekstrim yang tidak seharusnya ada, yaitu aliran konservatif dan aliran radikal. Sebaiknya kita memberikan definisi untuk kedua istilah ini terlebih dahulu. Yang disebut aliran konservatif ditunjukkan kepada sebagian orang yang bertekad untuk memelihara hal-hal yang sudah lewat dan meneruskannya, sehingga menolak perubahan apapun. Sedangkan aliran radikal ditunjukkan kepada sebagian manusia yang melawan tradisi-tradisi yang sudah lampau sehingga senantiasa mencari perubahan di dalam kegelisahan.

Pada tahun 1968 saya mengikuti Sidang Raya IV dari Dewan Gereja Sedunia yang diadakan di Upsala, Swedia sebagai penasehat. Setiba di sana saya mendapatkan bahwa kami semua secara serentak sudah diklasifikasikan, khususnya di dalam surat kabar pada hari itu. Jika bukan dihina dan digolongkan sebagai aliran tradisionil yang konservatif, anti perombakan, pemelihara kondisi sekarang atau aliran tradisionil yang tidak menginginkan kemajuan, maka akan langsung digolongkan dan diterima secara hangat ke dalam aliran radikal yang bersifat perubahan dan revolusionir. Bukankah ini semua merupakan klasifikasi yang tidak berarti sama sekali? Sebenarnya setiap orang Kristen yang seimbang harus berjejak di atas kedua wilayah itu sekaligus. Ijinkan saya memberi penjelasan lebih mendetail mengapa setiap orang Kristen harus sekaligus menjadi konservatif dan juga radikal, khususnya di dalam pengertian tertentu.

Setiap orang Kristen seharusnya bersifat konservatif karena seluruh gereja dipanggil oleh Tuhan untuk memelihara Wahyu-Nya, sehingga boleh memelihara mandat yang diberikan serta mempertahankan kebenaran yang satu kali sudah diberikan kepada orang suci. (Yudas 17, “Ingatlah akan apa yang dahulu telah dikatakan kepada kamu oleh rasul-rasul Tuhan kita, Yesus Kristus"). Tugas gereja bukan menemukan Injil yang baru secara terus menerus atau menemukan theologi baru atau moral baru atau kekristenan yang baru, melainkan menjadi pemelihara yang setia bagi satu-satunya Injil yang bersifat kekal. Wahyu yang diberikan Allah sendiri sudah sempurna di dalam Anak-Nya Yesus Kristus dan kesaksian- kesaksian rasul-rasulNya terhadap Kristus yang sudah dicatat di dalam seluruh Kitab Suci. Pewahyuan dari diri Allah tidak boleh diubah dengan bentuk dan cara apapun – tidak perduli ditambahkan atau dikurangi – kebenaran dan otoritas Kitab Suci tidak boleh diubah.

Penulis dari buku “Pertumbuhan dan Persatuan” mengutarakan konsep ini dengan dinamis, “Tugas gereja yang utama adalah memelihara keutuhan Injil. Untuk membicarakan kebiasaan mental ini dengan maksud mengatakan, barang itu memang kuno serta penentang segala pikiran baru, sama sekali bukan maksud kita. Penggemar hal-hal kuno dan penentang pencerahan merupakan kebiasaan buruk orang Kristen, sedangkan konservatifisme merupakan kebajikan orang Kristen.”

Namun disesalkan ada sebagian orang Kristen yang tidak hanya membatasi konservatifisme mereka di dalam theologi Alkitabiahnya, tetapi juga dalam hal-hal lain. Bahkan mereka memiliki kepribadian yang konservatif, sehingga mereka selalu bersifat konservatif di dalam pandangannya tentang politik dan sosial, di dalam bentuk hidupnya, pakaiannya, model rambutnya bahkan mode jenggotnya dan segala bentuk hidup yang bisa kita bayangkan. Mereka semua sangat kuno adanya. Bukan saja mereka telah menjerumuskan diri ke dalam lumpur saja, melainkan lumpur yang sudah membeku sebagai semen. Mereka membenci segala macam perubahan. Mereka mirip dengan seorang guru besar yang pernah berbicara di dalam universitas Cambridge pada masa mahasiswanya, “Perubahan macam apa saja di dalam waktu apa saja dengan alasan apa saja, semuanya harus disesalkan!” Motto yang paling digemari adalah “Sebagaimana permulaan dunia ini tetaplah sekarang dan selama-lamanya seperti itu juga sampai selama-lamanya, Amin!”

Di pihak lain aliran radikal adalah mereka yang bertanya-tanya tentang agama negara. Mereka menganggap tidak ada tradisi kebiasaan atau organisasi yang begitu suci sehingga tidak boleh diganggu atau diubah; juga menganggap tidak ada pribadi manusia yang begitu suci sehingga tidak boleh dikritik. Sebaliknya mereka bersedia untuk mengadakan penghakiman dan pengritikan terhadap segala sesuatu yang diwarisi dari masa lampau. Bukan saja demikian, penghakiman semacam ini senantiasa memimpinnya menuju perombakan yang tuntas, jika perlu menuju revolusi (sebagai seorang Kristen mungkin ia tidak memakai kekuatan yang rusuh).

Dilihat sepintas lalu aliran konservatif berlawanan dengan aliran radikal sehingga kita tidak mungkin menghindarkan diri dari keekstriman di dalam masalah ini, tetapi faktanya tidak demikian. Ini semua disebabkan oleh kurangnya pengertian kita bahwa Tuhan kita Yesus Kristus adalah sekaligus konservatif dan radikal, tetapi di dalam segi- segi yang berbeda.

Sikap Tuhan terhadap Alkitab bersifat konservatif – kitab Suci tidak bisa digugurkan. Ia berkata, “Aku datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi melainkan untuk menggenapinya.” (Matius 5:17). Juga berkata, “Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat sebelum semuanya terjadi.” (Matius 5:18). Teguran utama Yesus terhadap pemimpin Yahudi sezamannya adalah mereka tidak menghormati kitab Suci Perjanjian Lama serta kekurangan ketaatan yang sejati terhadap otoritas kitab Suci yang kudus.

Tetapi Yesus juga sebenarnya harus disebut sebagai radikalis, Dia merupakan pengeritik yang tajam terhadap aliran penguasa Yahudi yang tajam, tanpa ketakutan apapun, bukan hanya karena mereka tidak setia kepada firman Allah secara sempurna, juga karena mereka terlampau setia kepada tradisi mereka sendiri. Yesus pernah secara tegas menghapuskan tradisi yang sudah diturunkan secara berabad-abad demi supaya firman Allah boleh dilihat kembali dengan jelas serta terpelihara.

Yesus sangat berani di dalam mendobrak segala kebiasaan sosial. Ia menegaskan pentingnya memperhatikan lapisan masyarakat yang rendah yang selalu dihina dan diabaikan. Ia berbicara dengan perempuan di hadapan umum, yang tidak diijinkan dalam zaman itu, Ia mengundang anak kecil datang kepada-Nya, sedangkan di dalam masyarakat orang Romawi anak-anak buangan selalu terlantar dan sangat kotor sehingga umumnya manusia menganggap lumrah jika tidak mau diganggu oleh anak-anak kecil. Ia mengijinkan para pelacur mendekati-Nya (umumnya orang Farisi menghindarkan diri dari perempuan macam ini karena membencinya), sedangkan Yesus sendiri sungguh-sungguh menjamah orang berpenyakit kusta yang sebenarnya dilarang untuk dijamah (orang Farisi umumnya melempar batu kepada mereka supaya memelihara diri dari mereka dalam jarak tertentu) di dalam cara-cara seperti ini dan sebagainya. Yesus menolak untuk diikat oleh kebiasaan dan adat manusia, hati nurani dan jiwa-Nya hanyalah diikat oleh firman Allah. Sebab itu Yesus merupakan sesuatu kombinasi yang unik dari sifat konservatif dan radikal. Ia bersifat konservatif terhadap Kitab Suci tetapi jika diperhatikan secara saksama Ia bersifat radikal terhadap hal-hal lain yang Ia temukan.

“Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada tuannya.” (Matius 10:24) demikianlah perkataan Kristus yang pernah diucapkan-Nya. Maka jika Yesus dapat mengkombinasikan semangat radikal dan semangat konservatif, kita yang menyebut diri sebagai pengikutNya juga dapat meneladaniNya. Secara fakta jika kita hendak setia kepadaNya kita haruslah demikian. Pada masa ini kita sangat memerlukan lebih banyak orang-orang radikal konservatif sehingga orang Kristen Injili memperkembangkan daya penelitian yang lebih bersifat kritis untuk membedakan apakah yang boleh dan harus diubah serta apa yang tidak perlu dan tidak boleh diubah.

Yang lebih patut kita perhatikan adalah kita perlu lebih jelas di dalam membedakan Kitab Suci dan kebudayaan. Karena Kitab Suci merupakan firman Allah yang tidak berubah untuk selama-lamanya. Sedangkan kebudayaan dibentuk oleh tradisi gereja, kebiasaan dan adat masyarakat serta daya kreatif manusia. Segala otoritas yang dimiliki kebudayaan adalah diwarisi oleh masyarakat dan gereja.[1] Sebaliknya kebudayaan berubah sesuai zaman dan tempat. Lebih dari itu kita orang Kristen menyatakan kerelaan kita hidup di bawah otoritas firman Allah, maka seharusnya kita menaklukkan kebudayaan zaman kita di bawah penghakiman Alkitab yang terus menerus tanpa henti sehingga sama sekali tidak merasa bosan atau menentang perubahan kebudayaan. Kita seharusnya berpihak dan berdiri di front mereka yang mengusulkan serta merombak kebudayaan, sehingga kebudayaan boleh menyatakan dengan sungguh-sungguh kehormatan sifat manusia serta menyenangkan Allah Pencipta kita.

Pada suatu kunjungan saya ke sekolah theologi Trinitas (Trinity Evangelical Divinity School, ed.) di Deerfield, Illinois di Amerika Serikat, mahasiswa sekolah ini memberi kesan yang dalam bagi saya. Meskipun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, namun mereka menemukan bersama bahwa di dalam pengabdian mereka terhadap Kekristenan yang Alkitabiah. Mereka bersatu untuk melepaskan diri dari agama Kristen Amerika kontemporer serta bertekad bulat untuk menerapkan Kitab Suci di dalam segala masalah besar hari ini. Maka mereka bersama-sama membentuk satu persekutuan doa dan studi yang bersifat gabungan. Organisasi tersebut bertumbuh menjadi kesatuan Kekristenan rakyat, sedangkan jurnal mereka adalah “Manusia Amerika yang berlalu.” Cover edisi perdananya melukiskan Kristus yang sedang memakai mahkota duri, tangan yang terbelenggu sedang menudungi bendera yang bergaris dan berbintang. Ada yang menganggap gambaran ini bersifat menghujat tetapi saya tidak berpikir demikian. Lukisan ini merupakan pernyataan jenius yang memperhatikan kemuliaan Kristus. Jimmy Wallace di dalam tajuk rencananya mengumumkan, “Serangan terhadap agama yang ada berupa berita yang menjelekkan kekristenan yang bersifat melepaskan agama dari kebudayaan. Lembek dan tanpa daya hidup sehingga dengan sendirinya ditolak oleh generasi kita ini secara gampang... . Kita menemukan bahwa gereja Amerika sangat diikat oleh nilai kebudayaan kita dan bentuk kehidupan kita...”

Ikatan terhadap gereja yang bersifat Amerika ini mengakibatkan hal yang sangat disesalkan yaitu mempersamakan gaya hidup Amerika dengan gaya hidup Kekristenan. Di dalam tempat-tempat lain di dunia penyataan kebudayaan kekristenan juga demikian. Di dalam dunia ketiga dan bagi banyak gereja ini merupakan masalah utama. Kekristenan dicangkokkan oleh misionari dan Eropa dan Amerika Utara, sedangkan gereja sekarang sedang mencari identitas mereka dengan kebudayaan yang ada. Mereka menemukan masalah dalam menghadapi dua kebudayaan.

Pertama mengenai kebudayaan setempat atau suku mereka, khususnya di Afrika, pemimpin Kristen setempat menyadari meskipun banyak kebiasaan tradisional Afrika – yang berfungsi merefleksikan sumber kebudayaan mereka yang kafir tetapi bukan saja tidak merugikan iman, kasih, keadilan, dan hal-hal baik lainnya di dalam kemoralan dan kerohanian, secara faktual mereka harus menaati kedaulatan Kristus yang memungkinkan hidup secara kelimpahan.

Kedua adalah mengenai kebudayaan kafir (tidak perduli Eropa atau Amerika) yaitu masalah setelah Injil dikabarkan di dunia ketiga. Masalah ini sebagian disebabkan seolah-olah Injil, yang mengakibatkan kebudayaan kekristenan, merupakan penghinaan terhadap kehormatan kebudayaan bangsa mereka, sehingga seruan, “Usirlah agama orang putih!” timbul di sana sini. Padahal seruan ini salah adanya. Karena agama Kristen bukan milik orang putih atau organisasi yang lain. Yesus Kristus merupakan Tuhan dari setiap bangsa, negara dan segala usia, tanpa perbedaan. Tetapi untuk orang Asia, Afrika maupun Amerika Latin yang menemukan serta memperkembangkan cara untuk mengutarakan penerapan kebenaran Kristus dan kehidupan kekristenan melalui kebudayaan yang ada pada mereka merupakan hal yang tepat. R. Peddila di dalam kongres Penginjilan Sedunia di Lausanne pada tahun 1974 telah memperdebatkan lagi dengan semangat yang menggebu-gebu tentang masalah kebudayaan Kekristenan.

Itu sebabnya para pemimpin Kristen dari gereja-gereja Gerakan Baru bukan hanya memerlukan hikmat untuk membedakan kebudayaan bangsa dan kebudayaan impor, juga harus dapat membedakan kebudayaan yang bernilai dan kebudayaan yang tidak bernilai. Mereka juga harus memiliki keberanian untuk memelihara yang satu dan menolak yang lain.

Kekristenan di Eropa juga harus demikian, sebab sumbernya boleh ditelusuri sampai 2000 tahun yang lalu. Kekristenan di daerah ini juga terpendam di bawah kebudayaan Spanyol pada abad-abad tersebut. Pada saat kita membicarakan gereja Lutheran, Anglican, Presbyterian atau Brethern kita perlu membedakan secara saksama. Karena setiap aliran mengandung bentuk, tradisi atau kebudayaan Kekristenan. Warna bentuk kebudayaan tradisionil bukan hanya ditemukan di dalam pengutaraan dotrinal, tetapi juga tidak luput dari liturgi dan musik, arsitektur dan gaya serta pandangan peranan ulama dan kaum awam, juga metode penggembalaan dan pemberitaan Injil. Pada faktanya setiap hal dalam gereja kita adalah demikian dan setiap hal harus ditaklukkan ke bawah penelitian Alkitab yang bersifat ketat dan kritis.

Maka pada saat kita menolak perubahan tidak peduli di dalam gereja atau masyarakat, kita perlu instrospeksi sendiri apakah ini sesuai dengan kitab Suci yang kita pertahankan (bila kebiasaan kita adalah mempertahankan secara ketat), atau hanya terbatas di dalam tradisi yang dihargai oleh sebagian tua-tua gereja atau tradisi kebudayaan saja. Ini tidak berarti semua tradisi harus dibuang hanya karena semua adalah tradisi. Aliran anti adat tanpa sifat kritis sama bodohnya dengan aliran konservatif tanpa kekritisan, bahkan kadang-kadang lebih berbahaya. Yang mau saya tegaskan adalah tidak ada tradisi yang berhak meloloskan diri dari penelitian ulang dan tidak ada hak istimewa pada tradisi tertentu.

Di lain pihak pada waktu kita tergesa-gesa di dalam perubahan, kita harus mengerti dengan jelas Alkitab tidak melawan hal-hal yang ingin kita ubah. Sebaliknya ada tradisi-tradisi yang tidak Alkitabiah sebenarnya boleh diteruskan serta memerlukan perubahan untuk membenarkannya. Jikalau ada yang tidak Alkitabiah dan nyata-nyata melawan prinsip Alkitab, kita harus berani mendongkel serta menghentikannya sekuat tenaga. Jika tradisi yang tidak Alkitabiah seolah-olah tidak relevan dengan Alkitab, minimalnya kita harus mempertimbangkannya dengan kritis.

Pada umumnya kita mengetahui dan mengakui sifat otoritas dari pikiran, kebudayaan yang kita bayangkan, namun kebenaran dan kekekalan hanya dimiliki Kitab Suci. Kebudayaan telah menjadi sebagian perasaan keamanan kita. Bila hal-hal ini diancam, kita juga merasakan ancaman itu sehingga kita selalu menghindari bahaya dan berusaha mempertahankannya.

Kadang-kadang kita kurang menaruh perhatian terhadap otoritas Alkitab. Kita memperlakukan Firman Allah sama dengan cara kita memperlakukan tradisi dan konsep manusia, sehingga gampang melalaikannya. Dengan ini membuktikan kita masih orang Kristen duniawi, yang secara tuntas sudah menerima sikap anti otoritas yang dimiliki oleh orang dunia, sehingga tidak bersedia hidup di bawah otoritas Allah serta otoritas pemerintahanNya terhadap umat-Nya.

Orang Kristen zaman ini dipanggil untuk menjalankan tali keseimbangan ini. Kita tidak menolak segala perubahan, juga tidak mengubahnya secara total secepat mungkin, lebih dari itu terhadap hal-hal yang diperbolehkan oleh Alkitab dan yang dapat diubah juga kita serang dengan serampangan. Setiap orang Kristen yang percaya Allah di dalam sejarah dan pekerjaan Roh Kudus sepanjang sejarah gereja tidak mungkin merasa senang untuk mengubah sesuatu hanya disebabkan ingin mengubahnya. Kadang-kadang yang lama ada juga baiknya, karena telah bertahan dalam ujian waktu. Kita perlu sikap peka terhadap orang Kristen tua yang beraliran konservatisme. Mereka tidak mudah membiasakan diri terhadap perubahan tetapi lebih gampang merugikan dan menghambat perubahan. Dari pandangan Alkitab kita mengetahui yang kita butuhkan adalah daya membedakan yang bijaksana. Maka kita harus bisa menikmati tradisi yang lampau serta berdaya responsif terhadap aliran- aliran baru. Hanya dengan demikian baru kita dapat mempergunakan penghakiman dari Kitab Suci yang radikal di dalam segala macam kebudayaan, serta di bawah pimpinan Tuhan baru mungkin mencapai perubahan yang lebih baik.

Kiranya Tuhan memberikan kebijaksanaan yang sama kepada kita saat ini. Kiranya Dia juga memberikan keberanian kepada kita sehingga mempergunakan kebijaksanaan ini bukan hanya untuk urusan gerejani, tetapi dapat juga diterapkan ke dalam wilayah sosial, etika, dan politik.

Mungkin saya boleh mempergunakan terminologi biologis untuk mengutarakan maksud saya. Yaitu kita memerlukan kutu sapi Kristen (orang yang membenci kita) untuk mengganggu dan menusuk kita sehingga kita melangsungkan perubahan. Pada saat yang sama kita juga memerlukan anjing penjaga Kristen (pengawal) pada saat kita menyatakan tanda- tanda mengkompromikan kebenaran Alkitab. Di dalam keadaan bagaimanapun, pengawal itu dapat menggonggong dengan suara keras yang bertahan lama. Tidak perduli yang menusuk orang atau menggonggong orang, kedua macam pribadi ini sulit kita ajak kerja sama. Mereka pun tidak gampang menemukan minat persamaan antara mereka sendiri. Namun yang menusuk harus tidak menggigit yang menggonggong dan yang menggonggong harus tidak menelan yang menusuk. Mereka harus belajar hidup rukun dalam gereja Kristus serta mengkonsentrasikan perhatian terhadap umat Tuhan yang begitu banyak, guna melaksanakan tugas mereka masing-masing. Kita sebenarnya sangat membutuhkan kedua macam hamba Tuhan ini.

Setelah peringatan tentang bahaya dari perubahan yang terlalu banyak dan perubahan yang terlalu sedikit, sekarang marilah kita mengambil kesimpulan, yaitu bahaya yang lebih besar (paling sedikit di dalam aliran Injili) adalah salah menanggapi unsur kebudayaan sebagai unsur Alkitabiah sampai akhirnya menjadi terlampau konservatif dan terlampau terikat oleh tradisi. Sehingga tidak bisa melihat hal-hal gerejawi dan sosial yang tidak berkenan kepada Tuhan. Konsekuensinya kita menjadi terlalu kolot di dalam ikatan kondisi sekarang serta menolak pengalaman yang paling tidak enak yaitu perubahan.


BENTUK DAN KEBEBASAN
Dari membicarakan ekstrim konservatif dan radikal mari kita beralih kepada ekstrim berorganisasi dan tidak berorganisasi. Organisasi sekuler sedang mengalami perpecahbelahan di sana sini. Secara global manusia melawan bentuk dan struktur yang kaku serta mengejar kebebasan dan fleksibilitas. Gereja Kristen telah diakui di seluruh dunia sebagai satu struktur organisasi yang menonjol dan mantap. Sehingga kita tidak mungkin luput dari tantangan zaman yang satu ini. Kita harus ingat tantangan ini berasal dari sudut internal maupun eksternal. Banyak orang Kristen yang muda sedang menuntut sesuatu agama Kristen tanpa organisasi untuk menanggalkan beban gereja Kristen yang harus ditanggungnya. Mari kita menganalisa gerakan ini di dalam 3 pernyataannya yang utama.

Pertama orang sedang mencari gereja yang tidak memiliki bentuk yang tetap. Kelompok-kelompok Kekristenan seluruh dunia sedang menerobos tradisi dan mengerjakan segala hal menurut caranya sendiri.

Kedua, orang Kristen sedang mencari macam penyembahan yang tidak terikat peraturan. Pendeta tidak lagi memimpin setiap upacara melainkan mendorong jemaat untuk berpartisipasi, organ sudah diganti oleh gitar, liturgi yang kuno sudah diganti oleh bahasa sehari-hari. Makin banyaknya kebebasan berarti makin sedikitnya upacara. Makin banyaknya inisiatif berarti makin sedikit hal-hal yang statis.

Ketiga, melawan denominasionalisme dan suatu hal yang ditekankan yaitu kebebasan. Rupanya generasi yang baru ini sangat puas dengan membuang segala sesuatu yang lampau. Bahkan semua ikatan gereja-gereja lain pada saat ini. Mereka suka menyebut diri sebagai Kristen dan tidak mau panji denominasi apapun.

Kita tidak perlu ragu bahwa ketiga tuntutan ini mempunyai kekuatan yang meyakinkan. Mereka memiliki perasaan yang berkobar-kobar dan mereka berbicara secara dinamis. Kita tidak bisa mengabaikannya atau menganggapnya sebagai gila, maupun menganggap mereka adalah kaum pemuda yang tidak bertanggung jawab. Karena ini merupakan sesuatu gejala global yang menuntut kebebasan, fleksibilitas, kemandirian dan non-organisasi. Orang Kristen generasi tua dan yang agak bersifat tradisionil perlu mengerti hal ini. Kita harus bisa bersimpati dan sebisa mungkin berjalan bersama dengan mereka. Kita harus mengakui bersama bahwa Roh Kudus mungkin dan kadang-kadang sudah dibelenggu di dalam struktur organisasi kita.[2] Dan terbatas di dalam bentuk yang ada pada kita.

Namun saya masih ingin sampaikan bahwa kebebasan dan kacau balau tidak mempunyai arti yang sama, apakah sebabnya kita memerlukan semacam bentuk dan organisasi tertentu.

Pertama, gereja yang berorganisasi. Orang Kristen berasal dari latar belakang gereja yang berbeda-beda dan mengasihi serta menghargai tradisi yang berbeda-beda. Meskipun tidak semuanya, tapi paling tidak mayoritas menyetujui bahwa pendiri gereja yang asli, yaitu Kristus, menghendaki gereja-Nya mempunyai organisasi yang tampak. Gereja juga mempunyai aspek yang tidak bisa dilihat, ini merupakan satu fakta. Di situ hanya ada “orang-orang” yang diketahui sebagai milik-Nya sendiri. Tetapi tidak boleh kita memakai alasan bahwa gereja sejati adalah yang tidak kelihatan untuk menyangkal bahwa Yesus Kristus mengharapkan umat-Nya boleh dilihat dan diketahui oleh dunia, Dia sendirilah yang telah menetapkan sakramen pembaptisan sebagai upacara masuk ke dalam gereja, dan baptisan merupakan sesuatu yang terbuka dan bisa dilihat. Dia juga mendirikan sakramen perjamuan suci bagi persekutuan orang Kristen, yang melaluinya gereja boleh dipersatukan dan dengan ini pun mengeksklusifkan orang-orang yang bukan anggota. Sehingga boleh melaksanakan disiplin di dalam anggota-anggota gerejanya. Bukan saja demikian, Dia juga mengutus gembala-gembala untuk memelihara kaum dombaNya. Maka tidak perduli di mana pun, jika ada baptisan, perjamuan suci, pendeta atau istilah-istilah tradisionil, penginjil, sakramen, maka di sana ada organisasi. Mungkin organisasi ini bersifat lebih sederhana dari denominasi-denominasi historis. Mungkin lebih fleksibel tetapi tetap ada sesuatu organisasi yang jelas dan tegas. Lebih dari ini seseorang boleh menyatakan perlawanan yang keras terhadap nilai pemberitaan firman dan nilai sakramen namun pemberitaan firman dan sakramen tetap diakui bersama oleh gereja-gereja yang berbeda.

Kedua, penyembahan yang resmi. Secara pribadi saya sama sekali menyetujui penyembahan kaum muda yang timbul dari dalam hati yang melimpah dengan sukacita dan ramai-ramai. Meskipun kadang-kadang saya merasakan kepahitan di dalamnya seperti pengalaman saya satu kali di suatu tempat. Telinga saya hanya berjarak beberapa inchi dari loud speaker yang keras sekali.

Kadang-kadang penyembahan kita terlalu formil, terlalu tinggi dan monoton. Bahkan di dalam kebaktian modern boleh dikatakan sama sekali sudah kehilangan ibadat sehingga sangat merisaukan. Sebagian orang Kristen seolah-olah menganggap bukti utama penyertaan Roh Kudus adalah keramaian dan inspirasi inisiatif. Bukankah ini mengisyaratkan bahwa kita sudah melupakan bahwa merpati, angin, dan api sama-sama adalah tanda Roh Kudus? Pada saat Roh Kudus hadir dengan kuasa-Nya di tengah- tengah umat, kadang-kadang Ia mendatangkan ketenangan, kesejahteraan, keagungan dan mengakibatkan perasaan takut kepada Tuhan. Suara kecil-Nya boleh didengar. Di dalam ketakutan terhadap Roh, manusia berlutut di hadapan kuasa Allah yang hidup dan sejati. Menyembah dengan “hanya Tuhan ada di dalam Bait-Nya yang suci, manusia seluruh bumi sepatutnya berdiam diri dan hormat di hadapan-Nya.” Saya tidak bermaksud untuk mengatakan ibadat dan bentuk pasti bersatu. Karena kebaktian yang tidak resmipun kadang-kadang bersifat ibadat. Sedang penyembahan resmi yang memakai upacara yang agung kadang-kadang tidak memiliki ibadat yang bersifat rohani. Namun di mana terjadi persatuan antara keagungan lahiriah dan ibadat batiniah, di sana penyembahan yang dipersembahkan paling memuliakan Allah.

Ketiga, prinsip yang berelasi. Mayoritas kita menegaskan gereja lokal paling sedikit harus memiliki sifat kemerdekaan tertentu. Sedangkan menurut Kitab Suci gereja lokal adalah penyataan yang nampak di dalam satu tempat yang bersifat gereja global. Sedangkan gereja lokal bukan saja adalah gereja global, juga disebut sebagai Bait Allah dan tubuh Kristus. (Gereja lokal: 1 Korintus 3:16; 12:27, gereja global: Efesus 2:19-22; 4:4, 16). Namun gereja lokal mungkin terlalu menekankan prinsip otonomi gereja lokal ini sehingga melalaikan orang Kristen dari zaman lampau dan zaman sekarang. Pada saat terjadinya kondisi semacam ini gereja lokal akan menjadi terlampau memuaskan diri sehingga menekan gereja Tuhan baik secara waktu dan ruang.

Maka kita perlu mengingatkan diri tentang kebenaran-kebenaran Alkitab yang senantiasa mudah dilupakan oleh kaum muda. Apakah anda hanya tertarik dengan keadaan sekarang, apakah generasi ini khusus menggemari kalimat Henry Ford yang menganggap sejarah itu hampa adanya? Kadang-kadang seolah-olah ini benar. Namun Allah macam apakah yang anda percaya? Allah di dalam Kitab Suci adalah Allah sejati, Allah Abraham, Ishak, Yakub, Allah Musa dan nabi-nabi, Allah Yesus Kristus dan rasul-rasulNya, Allah gereja abad permulaan, Dialah yang melampaui segala abad untuk merealisasikan kehendak-Nya. Jika Allah memang adalah Tuhan sejarah, bagaimana kita boleh melalaikan sejarah atau tidak tertarik kepadanya? Ia adalah juga Allah dari seluruh gereja. Persatuan gereja berasal dari persatuan sifat ilahi karena hanya ada satu Bapa, satu keluarga, karena hanya ada satu Tuhan, satu iman, satu pengharapan, satu baptisan dan hanya karena ada satu Roh Kudus maka hanya ada satu tubuh (gereja).

Jikalau kita tidak boleh melalaikan masa lampau, maka kita juga tidak boleh melalaikan masa sekarang. Seluruh masalah yang berelasi dengan orang Kristen yang lain adalah sangat kompleks dan mudah menimbulkan perselisihan. Alkitab tidak memberikan jaminan untuk menemukan atau memelihara persatuan tanpa kebenaran, tetapi Alkitabpun juga tidak memberikan jaminan bahwa kita boleh menemukan kebenaran tanpa persatuan. Ini benar adanya namun persekutuan di dalam kepercayaan pengakuan bersama itu pun benar adanya.

Sekali lagi saya menyerukan di dalam masalah ini janganlah kita terus menempuh cara ekstrim. Di dalam gereja Kristus berorganisasi atau tanpa organisasi, formil atau tidak formil, suasana khidmat atau inspirasi inisiatif, independen atau bersekutu, kita harus memberikan tempat kepada keduanya.

Gereja masa permulaan telah memberikan teladan yang sempurna kepada kita di dalam masalah ini. Bukankah kita membaca setelah hari Pentakosta orang Kristen yang baru dipenuhi Roh Kudus berbakti ke dalam rumah sembahyang dan memecahkan roti di dalam rumah mereka sendiri. Maka mereka tidak langsung menolak gereja orang Yahudi, tetapi memperbaikinya berdasarkan Injil yang diterimanya, bahkan mereka memakai kebaktian di rumah mereka untuk mengisi penyembahan dan permintaan yang formal di dalam Bait Allah. Apa yang saya lihat di sini setiap gereja lokal seolah-olah harus menampung baik ibadah yang formal di dalam gereja dan persekutuan tidak formal di dalam rumah ke dalam pengaturan programnya. Sedangkan generasi tua dan anggota gereja tradisionil yang senang kepada penyembahan formal memerlukan pengalaman kebebasan dalam penyembahan keluarga. Sedangkan anggota gereja yang muda, yang gemar kepada keramaian dan inspirasi inisiatif memerlukan pengalaman penyembahan gerejani yang bersifat khidmat dan formil. Karena kombinasi semacam ini adalah sangat sehat.


Catatan dari Pdt. Dr. Stephen Tong:
[1] Hal ini merupakan refleksi masyarakat Barat di mana gereja mempunyai peranan penting dalam masyarakat, bukan refleksi masyarakat Timur di mana gereja merupakan minoritas masyarakat.
[2] Sebenarnya Roh Kudus yang membebaskan tidak mungkin dibelenggu oleh kita. Kalimat ini harus dimengerti sebagai berikut, yaitu: Jika kita mementingkan organisasi dan struktur kita, kita akan mengikat diri di dalam keterbatasan kita sendiri sehingga tidak mengalami berkat dan kuasa Roh Kudus yang melampaui keterbatasan kita, maka kitalah yang menjadi terbelenggu, bukan Roh Kudus.


Sumber:
Judul Majalah: Momentum 7
Judul Artikel: Gereja; Mau Kemana? Konservatif dan Radikal
Pengarang: John R. W. Stott
Penerbit: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1989
Halaman: 6-11


Disarikan dari:
http://reformed.sabda.org


Profil Rev. DR. JOHN R. W. STOTT:
Rev. Dr. John Robert Walmsley Stott,
CBE adalah seorang pemimpin Kristen dari Inggris dan pendeta gereja Anglikan yang tercatat sebagai seorang pemimpin dari gerakan Injili di seluruh dunia. Beliau terkenal sebagai salah seorang penulis terpenting dari Lausanne Covenant pada tahun 1974. Beliau lahir di London pada tahun 1921 dari Sir Arnold dan Lady Stott. Stott belajar modern languages di Trinity College, Cambridge di mana beliau lulus dengan dua gelar dalam bidang bahasa Prancis dan Theologi. Di universitas, beliau aktif di Cambridge inter-collegiate Christian Union (CICCU).
Setelah ini, beliau berpindah ke
Ridley Hall Theological College (juga the University of Cambridge) sehingga beliau dapat ditahbiskan menjadi pendeta Anglikan pada tahun 1945 dan menjadi pembantu pendeta di the Church of All Souls, Langham Place (1945-1950) (website: www.allsouls.org) kemudian Pendeta (1950-1975). Beliau dipilih menjadi Pendeta bagi Ratu Inggris Elizabeth II (1959-1991) dan Pendeta luar biasa pada tahun 1991. Beliau menerima CBE pada tahun 2006 dan menerima sejumlah gelar doktor kehormatan dari sekolah-sekolah di Amerika, Inggris dan Kanada. Salah satunya adalah Lambeth Doctorate of Divinity pada tahun 1983.

23 June 2008

Bagian 3

Manusia: Peta Teladan Allah-3


Sekali manusia lahir, ia tidak bisa musnah. Ia akan tetap ada, entah akan mati kekal atau hidup kekal. Hal ini menjadikan manusia unik dan sekaligus sangat berharga. Manusia tidak boleh sembarangan hidup. Ia tidak boleh mempermainkan kesempatan yang ada.


Imago Dei (peta dan teladan Allah) merupakan tema yang banyak dibahas di Abad Pertengahan. Bonaventura (1221-1274), Thomas Aquinas (1225-1274), Alexander of Hales (1170-1245), Peter Abelard (1079-1142), dan Bernard of Clairvaux (1090-1153) di abad ke-12 dan ke-13 banyak membicarakan tema ini. Baru kira-kira 250 tahun kemudian, John Calvin (1509-1564), Martin Luther (1483-1546), Theodore Beza (1519-1605), Johann Heinrich Bullinger (1504-1575), dan Philipp Melanchthon (1497-1560) di masa Reformasi mengulas kembali tema yang sangat penting ini.

Siapakah manusia? Manusia adalah makhluk yang dicipta menurut peta dan teladan Allah. Ia menjadi wakil Tuhan di mana kemuliaan, keagungan, dan kebijaksanaan Tuhan dinyatakan. Mulai dari pernyataan penciptaan manusia, ketritunggalan Allah telah dibukakan. Manusia terdiri dari tubuh materi dan Tuhan menghembuskan nafas rohani ke dalam diri manusia, sehingga manusia terdiri dari dua unsur, yaitu tubuh dan jiwa (roh). Allah adalah Roh, dan manusia memiliki unsur rohani, sehingga manusia bisa memiliki pengertian rohani. Di sini roh manusia berbeda sifat dari roh binatang. Di dalam Pengkhotbah 3:21 dikatakan: “Siapakah yang mengetahui, apakah nafas (roh) manusia naik ke atas dan nafas (roh) binatang turun ke bawah bumi.” Di sini kita melihat perbedaan roh manusia dan roh binatang. Konsep Alkitab ini banyak tidak dimengerti dan banyak orang Kristen mengatakan bahwa manusia punya roh, sedangkan binatang tidak mempunyai roh. Ini pandangan yang salah.

Dan kini kita masuk ke dalam esensi tema kita, yaitu apa sebenarnya yang dimaksud dengan “Manusia dicipta menurut peta dan teladan Allah”?
Pertama, Allah berpribadi, maka manusia berpribadi. Karena memiliki roh, maka dia merupakan satu person. Persone (Yun.), pribadi (Ind.) berarti satu oknum. “Oknum” itu mempunyai keunikan tersendiri, yaitu (1) mempunyai sifat kekekalan, (2) mempunyai eksistensi yang tidak berhenti keberadaannya, dan (3) mempunyai kesadaran tentang keberadaan diri sendiri. Manusia sebagai manusia sadar bahwa dia ada. Tetapi anjing hanya sadar diri dalam kaitan kebutuhan hidupnya saja. Anjing memiliki pengetahuan anjing, memiliki perasaan anjing, dan memiliki kemauan anjing. Tapi semua itu hanya berkaitan dengan kebutuhan jasmaniahnya saja. Manusia tidak demikian. Manusia akan memikirkan, merasakan, dan menginginkan hal-hal hingga kekekalan. Manusia bisa menghitung jarak bumi ke matahari sejauh 150 juta km, atau kecepatan cahaya yang 300 ribu km per detik. Tidak ada binatang yang bisa mengukur seperti ini. Emosi manusia jauh lebih mendalam dan penuh pengertian. Ini tidak dimiliki oleh binatang. Binatang tidak bisa mendefinisikan kasih. Manusia itu begitu rumit dan kebenaran itu begitu mendalam (man is so complicated and truth is so profound). Kebenaran begitu mendalam sampai kemampuan paradoks.

Kedua, Allah itu kekal, maka manusia berunsur kekekalan. Allah itu kekal adanya. Itu sebab Pengkhotbah 3:11 mengatakan, “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.” Saya sangat senang dengan ayat ini. Allah itu sempurna, baik, dan pada waktunya. Dia dengan teliti dan lengkap menciptakan segala sesuatu pada waktu yang ditetapkan-Nya, sehingga setiap urutan itu memiliki arti tersendiri. Orang yang tidak mengerti urutan dan signifikansinya selalu membanggakan siapa yang terlebih dahulu. Yang lebih dahulu selalu merasa harus lebih dihormati. Tetapi kucing ada lebih dahulu dari manusia, apakah itu berarti manusia harus hormat pada kucing? Sering orang yang masuk sekolah lebih dahulu merasa lebih penting. Di gereja juga demikian, yang menjadi majelis lebih dahulu, menghina orang yang baru menjadi majelis. Yang senior menghina yang junior. Kalau diurutkan secara penciptaan, maka manusia yang paling junior, karena dicipta terakhir. Jika diukur dari teori evolusi, menurut konsep survival of the fittest (yang kuat yang menang), maka kecoa adalah binatang yang konon diduga paling kuat dan tidak bisa dipunahkan. Manusia adalah “binatang yang paling lemah”. Kecoa memiliki daya tahan hidup yang luar biasa, sementara manusia tidak. Jerapah mempunyai tubuh yang tinggi dan kuat. Bayi jerapah dilahirkan oleh ibunya sambil berdiri. Maka bayi itu jatuh sebentar ke tanah, lalu sepuluh menit kemudian sudah bangun dan mulai berlari. Bayi manusia, jika dilahirkan ibunya sambil berdiri, pasti mati. Lalu bayi manusia membutuhkan hampir 12 bulan untuk bisa berlari. Sungguh, manusia adalah makhluk yang paling lambat berdikari. Aesop mengatakan, lambat tidak apa-apa seperti kura-kura, asalkan jangan tertidur seperti kelinci. Manusia dicipta terakhir, tetapi manusia memiliki unsur kekekalan, karena ia dicipta menurut peta dan teladan Allah. Allah menciptakan segala sesuatu dengan indah, dan sempurna pada waktunya.

Ada dua jenis urutan di dalam Alkitab yang harus kita pelajari. Ada urutan di mana hal yang paling penting diletakkan di depan dan yang paling tidak penting di belakang. Misalnya karunia Roh Kudus. Ada karunia hikmat, pengetahuan, juga karunia mengatur dan memerintah, lalu yang terakhir sekali, karunia lidah atau menafsir bahasa lidah. Orang yang penting itu misalnya rasul, nabi, pengabar injil, gembala, pengajar, lalu sesudah itu yang bisa menyembuhkan orang sakit, dan seterusnya. Makin lama makin tidak penting dan yang paling tidak penting adalah karunia lidah. Ini urutan signifikansi yang menurun. Pertama rasul, kedua nabi, ketiga guru, sesudah itu yang bisa menyembuhkan, dan akhirnya memerintah. Itu sebabnya, majelis bukan yang paling penting, majelis tempatnya di bawah yang memerintah. Rasul lebih penting, penginjil lebih penting, gembala lebih penting. Anda yang menjadi tua-tua atau majelis, jangan sombong karena di dalam urutan karunia Anda di posisi yang rendah. Itu alasannya mengapa GRII mementingkan doktrin dulu, tidak mementingkan organisasi. Ini semua prinsip Alkitab.

Allah menciptakan Adam dan Hawa dengan peta teladan, dicipta urutannya terakhir tetapi berbeda dengan urutan di atas. Di sini justru yang terakhir yang terpenting. Tuhan menciptakan tikus, ikan, beruang, gajah, sapi, anjing, babi semua terlebih dahulu, baru terakhir Tuhan menciptakan manusia. Manusia dicipta terakhir, tetapi manusia paling penting. Inilah yang dinyatakan: “Tuhan menciptakan segala sesuatu indah pada waktunya.” Ini adalah theology of time. Banyak orang tidak melihat ini. Pengkhotbah 3:11 dalam versi KJV ada satu pengertian yang sama sekali lain. Di situ dikatakan: “He put the world into human heart.” Ia meletakkan dunia di dalam hati manusia. Allah tidak menciptakan dunia di dalam hati manusia, tetapi Allah menciptakan kekekalan yang ke dalam hati manusia. Ini aspek kedua dari peta dan teladan Allah.

Kekekalan menjadikan manusia tidak habis walaupun sudah mati. Sekali manusia lahir, ia tidak bisa musnah. Ia akan tetap ada, entah akan mati kekal atau hidup kekal. Hal ini menjadikan manusia unik dan sekaligus sangat berharga. Manusia tidak boleh sembarangan hidup. Ia tidak boleh mempermainkan kesempatan yang ada. Manusia satu waktu kelak harus berhadapan dengan Allah dan bertanggung jawab di hadapan-Nya. Waktu akan menjadi penguji yang paling kejam, tetapi sekaligus saksi yang paling setia.

Kekekalan menjadikan manusia harus melihat ke masa kini, masa lampau, dan masa depan. Kekekalan menjadikan manusia menyadari adanya proses menggeser hidupnya. Di sini manusia memiliki kesadaran sejarah dan bisa mempelajari sejarah. Sejarah memungkinkan kita menengok ke belakang dan belajar apa yang telah dikerjakan oleh orang-orang lain maupun diri kita sendiri di masa lampau. Lalu dari situ kita menatap ke depan dengan penuh pengharapan.

Dalam kaitan dengan waktu dan sejarah, manusia hanya bisa dibagi tiga macam: pewaris sejarah, pembelajar sejarah, dan pencipta sejarah.
1. Orang yang mewarisi sejarah. Orang seperti ini adalah orang yang hanya mengikuti apa yang sudah diturunkan dari nenek moyang. Di Palestina ada orang Biduin, yang setiap generasi tidak pernah berubah karena hanya mengikuti tradisi nenek moyang. Lebih dari 3.000 tahun lamanya mereka tidak berubah, hidup berpindah-pindah, tidak memiliki kakus, hidup primitif sekali. Di Eropa ada sejenis orang seperti ini, yang disebut Gipsy. Mereka tidak mau sekolah, juga hidup berpindah-pindah, bersenang-senang, tidak mau belajar dan bekerja keras. Akhirnya mereka turun-temurun menjadi bodoh. Mereka tertinggal dari perkembangan pengetahuan dan budaya. Ketika mereka diberi kesempatan sekolah, mereka tidak bersyukur, tetapi menolak dan merasa nyaman hidup seperti itu. Ini adalah orang-orang yang hanya hidup mewarisi sejarah.

2. Orang yang mempelajari sejarah. Tipe kedua ini adalah orang yang belajar dari sejarah. Ia mempelajari apa yang terjadi di dalam sejarah. Georg Wilhelm Hegel, guru dari Karl Marx, mengatakan, “Pelajaran terbesar bagi manusia adalah manusia tidak mau belajar dari sejarah.” Manusia tidak bisa maju jika tidak mau belajar dari sejarah. Tumpukan sejarah memberi pengertian bagi kita untuk dapat mengoreksi diri melalui menghisap pengalaman orang lain. Barangsiapa yang mau belajar dari sejarah, ia akan menjadi orang yang sangat pandai.

3. Orang yang mengubah sejarah. Orang semacam ini adalah orang yang melakukan transformasi sejarah. Mereka menggugurkan sejarah lama dan membangun sejarah yang baru. Orang yang demikian sudah ditentukan menjadi orang-orang yang paling tersendiri, seperti Socrates, Beethoven, atau Johann Sebastian Bach. Orang macam ini adalah orang yang menerima sejarah dan akhirnya melampaui sejarah. Dia menggugurkan sejarah dan sejarah selanjutnya mengikuti dia. Mengapa bisa demikian? Karena manusia memiliki kekekalan. Engkau dicipta menurut peta teladan Allah. Memiliki sifat peta dan teladan Allah adalah hal yang sangat besar, sehingga kita harus berhati-hati di dalamnya. Amin.

Roma 8:35-39: PENGHARAPAN ANAK-ANAK ALLAH-5: Lebih dari Pemenang Melalui Iman-2

Seri Eksposisi Surat Roma:
Menjadi Manusia Baru-5


Pengharapan Anak-anak Allah-5:
Lebih dari Pemenang Melalui Iman-2


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 8:35-39.

Setelah mempelajari tentang pengajaran Paulus tentang bentuk pertama dari segala sesuatu yang dikaruniakan Allah bagi kita bersama-sama dengan Kristus, yaitu pembenaran (ayat 33), maka sekarang kita akan merenungkan bagian kedua, yaitu menjadi warga Kerajaan Surga bersama-sama dengan Kristus di ayat 35 s/d 39.

Setelah dibenarkan melalui anugerah Allah di dalam Kristus, kita dijadikannya warga Kerajaan Surga bersama-sama dengan Kristus, sehingga “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” (ayat 35) Dengan menjadi warga Kerajaan Surga bersama-sama dengan Kristus, kita tidak akan dipisahkan dari kasih Kristus. Pertanyaan di ayat 35 sebenarnya merupakan pertanyaan retoris yang tidak memerlukan jawaban, karena pembaca diharapkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan di ayat 35 melalui pengertian yang didapatkan dari ayat 34 dan ayat-ayat sebelumnya. “Siapakah yang akan memisahkan” menggunakan keterangan masa depan (future) yang berarti pada saat kita dibenarkan melalui iman di dalam karya Kristus yang menjadi Perantara (ayat 34 LAI menerjemahkan : “Pembela”, arti bahasa Yunani : memohonkan―memakai bentuk present), pada saat yang sama dan berlanjut untuk selama-lamanya, kita tidak akan lagi dipisahkan dari kasih Kristus. Ini adalah bentuk pemeliharaan Allah di dalam hidup dan keselamatan kita. Berbeda dari Arminian yang menekankan keselamatan yang merupakan joint venture antara Allah dan manusia, sehingga keselamatan seorang percaya sungguh-sungguh bisa hilang karena orang tersebut murtad, maka theologia Reformed yang ketat berdasarkan ayat ini dengan jelas mengajarkan bahwa keselamatan umat pilihan-Nya TIDAK mungkin bisa hilang, mengapa ? Jelas, Paulus mengemukakan alasannya yaitu karena Allah telah memilih, menentukan, memanggil, membenarkan dan memuliakan kita pada waktunya dengan kasih dan kedaulatan-Nya (ayat 29-30). Kedua, Allah yang sama juga telah membenarkan kita melalui Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus, sehingga tidak ada yang bisa memisahkan kita dari kasih Kristus. Kalau Arminian “benar”, maka ayat ini seharusnya berbunyi, “Ada yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus.” Tetapi puji Tuhan, Arminian dalam hal ini salah total, dan Alkitab lah yang benar. Lalu, apa yang mungkin akan memisahkan kita dari kasih Kristus (tetapi itu tidak mungkin) ?
Pertama, penindasan. Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah thlipsis berarti pressure (tekanan). Hampir semua Alkitab terjemahan Inggris (King James Version/KJV, New King James Version/NKJV, American Standard Version/ASV, Geneva Bible, English Standard Version/ESV) menerjemahkannya tribulation yang berarti kesengsaraan atau penderitaan, tetapi Alkitab versi International Standard Version (ISV) menerjemahkannya trouble atau masalah. Kalau kita melihat konteksnya, kita dapat merasakan bahwa Paulus sangat mengerti kondisi jemaat Roma yang mengalami penindasan, khususnya dari pihak Kaisar yang mewajibkan warganya untuk menyembah Kaisar sebagai “Tuhan”. Dari konteks inilah, maka Paulus mengajar jemaat Roma bahwa ketika kita dibenarkan melalui iman di dalam Kristus, pada saat yang sama dan selama-lamanya, kita tidak akan dipisahkan dari kasih Kristus meskipun harus menghadapi penindasan atau kesengsaraan. Di kala penindasan atau kesengsaraan, Paulus mengajar jemaat Roma untuk mengarahkan mata hatinya kepada Kristus sebagai satu-satunya Sumber Pengharapan, sehingga mereka mampu menghadapi penindasan itu dengan penuh iman, pengharapan dan kasih yang tertuju kepada Kristus. Bagaimana dengan kita ? Ketika menghadapi penderitaan sedikit saja, kita sudah bersungut-sungut terhadap Tuhan, “mengapa ini terjadi ?”, dll. Ini membuktikan kita masih memiliki iman yang kanak-kanak (childish faith). Tetapi melalui bagian ini, Paulus mengingatkan kita bahwa meskipun kita harus menanggung aniaya/penderitaan (memang yang seharusnya kita tanggung karena mengikut Kristus : Matius 16:24), maka kita harus menanggungnya dengan pengharapan dan iman yang pasti bahwa penderitaan ini tidak akan sebanding dengan kemuliaan yang akan kita peroleh (Roma 8:18). Inilah iman Kristen yang dewasa yang tahu resiko akan harusnya menderita bagi Kristus, tetapi di sisi lain tetap beriman dan berharap penuh pada janji-Nya yang selalu menyertai dan menguatkan kita.
Kedua, kesesakan. Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah stenochōria berarti kesengsaraan atau kesedihan atau bencana atau kesusahan. New International Version (NIV) menerjemahkannya hardship (penderitaan/kesengsaraan). Seringkali bukan hanya penderitaan yang harus ditanggung, jemaat Roma pun juga menanggung kesusahan yang mendalam, entah itu diejek oleh orang-orang Roma yang atheis, pemerintah Roma, dll karena mereka menjadi Kristen. Mereka dihimpit begitu rupa sehingga mungkin beberapa di antara mereka (tentu bukan umat pilihan-Nya) yang tidak tahan akan menyangkal imannya. Di dalam kondisi ini, Paulus kembali mengingatkan bahwa kasih Kristus tidak akan melepaskan dan meninggalkan kita begitu saja, tetapi kasih-Nya memampukan kita meskipun kita harus mengalami kesusahan dan tekanan hidup yang sangat berat. Dialah satu-satunya Sumber Hidup yang patut disembah, dipuji, diagungkan dan dijadikan pedoman dan standar hidup.
Ketiga, penganiayaan. Ini adalah tahap yang lebih parah dari dua tahap sebelumnya, karena setelah menerima penderitaan dan kesesakan, jemaat Roma juga mengalami penganiayaan, ada yang dibunuh, dibakar hidup-hidup, dll. Penganiayaan ini lebih bersifat fisik. Di dalam kondisi yang lebih tertekan lagi, Paulus kembali mengingatkan bahwa meskipun harus mati sekalipun demi Kristus, percayalah, kita akan dibangkitkan dan dimuliakan bersama-sama dengan-Nya. Hal ini sesuai dengan sabda Tuhan Yesus sendiri di dalam Matius 5:10, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Mungkin di dunia, mereka ditolak dan harus menderita karena kebenaran, tetapi di Surga, mereka TIDAK akan mungkin ditolak, karena di Surga, Allah menerima mereka dan mereka dimuliakan bersama-sama dengan Kristus. Penderitaan, kesesakan hidup dan yang lebih parah, penganiayaan tidak seharusnya membuat kita terlena, tetapi bangkit dan beriman di dalam Kristus.
Keempat, kelaparan dan ketelanjangan. Bukan hanya masalah fisik yang disiksa, mungkin kita juga mengalami kelaparan atau perut kita kosong atau kekurangan makanan dan kekurangan pakaian. Paulus kembali mengingatkan kita bahwa Kristus lah Roti Hidup yang sanggup mengeyangkan kita dengan berkat-berkat rohani yang bernilai kekekalan ketimbang roti jasmani yang sesaat sifatnya. Kasih Kristus membuat kita yang mungkin kelihatan miskin dan tak berdaya di mata manusia, tetapi di mata Allah, kita begitu berharga. Tetapi hal ini tidak berarti kita harus melarat, miskin, dll. TIDAK. Itu semua tergantung pada kedaulatan Allah atas hidup kita yang berdaulat memberikan kekayaan dan sanggup juga membiarkan kita miskin.
Kelima, bahaya dan pedang. Kata “pedang” di sini secara figuratif dapat diterjemahkan sebagai perang. Bahaya bisa meliputi bahaya yang mengancam hidup, misalnya kapal kandas, tenggelam, dll. Melalui semuanya itu, kita seringkali takut, gentar, dan putus asa. Tetapi, sekali lagi, Paulus mengingatkan kita bahwa tidak ada yang bisa memisahkan kita dari kasih Kristus meskipun ada marabahaya dan perang sekalipun. Bagaimana dengan kita ? Konflik Israel dan Palestina, Irak dan Iran, bahaya yang mengancam hidup kita terus mencengkeram dan menghimpit hidup kita, seakan-akan tidak ada damai sejahtera, tetapi percayalah, Allah yang Berdaulat akan memberikan damai sejahtera bagi umat-Nya ketika tidak ada damai sejahtera, supaya kita yang telah merasakan damai sejahtera Allah dapat menyalurkannya kepada mereka yang membutuhkan damai sejahtera dengan memberitakan Injil Kristus. Meskipun tetap harus melewati bayang-bayang maut, Tuhan akan Kekuatan kita dan Sumber Damai Sejahtera kita, sehingga kita tidak akan goyah dan juga kita harus mewujudnyatakan damai sejahtera itu kepada mereka yang membutuhkan.

Uniknya, meskipun tidak ada yang bisa memisahkan kita dari kasih Kristus (penderitaan, kesesakan, penganiayaan, dll), tetapi kita tidak berarti lepas dari segala kesulitan, melainkan harus melewatinya. Hal ini lah yang diajarkan di dalam ayat 36 yang mengutip Mazmur 44:23, “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.” Pemazmur menyanyikan hal ini dengan suatu iman dan pengharapan bahwa hanya karena Allah saja, umat-Nya ada dalam bahaya maut. Mazmur 44 secara unik menjelaskan hal ini. Pasal ini dapat saya bagi menjadi 2 poin, yaitu, pertama, ayat 1 s/d 9 yang mengisahkan kebesaran, keagungan dan kedaulatan Allah yang memimpin bangsa Israel serta pujian ini berakhir di ayat 9, dan kedua, ayat 10 s/d 27, Allah yang juga mendisiplin umat-Nya dengan berbagai penderitaan, kesesakan, dll, meskipun demikian umat-Nya tetap beriman di dalam Allah (ayat 18 s/d 22). Inilah pengharapan iman umat Israel dan juga kita sebagai umat pilihan-Nya. Di sini jelas dikatakan bahwa meskipun kasih Kristus tidak pernah meninggalkan kita, tidak berarti kita dibiarkannya menjadi anak Allah yang manja, hidup serba instan, hidup sukses, lancar, tanpa sakit penyakit, dll, tetapi Allah mengizinkan berbagai penderitaan, kesesakan, bahaya, dll mengancam hidup umat-Nya, supaya melalui itu semua, iman mereka dimurnikan. Yang lebih unik lagi, penderitaan, kesesakan, bahaya maut, dll langsung dikaitkan dengan pernyataan, “Oleh karena Engkau”. Hal ini menunjukkan bahwa Allahlah yang mengizinkan semuanya terjadi. Tuhan Yesus sendiri mengajar kita bahwa barangsiapa yang mengikut-Nya harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut-Nya (Matius 16:24) serta barangsiapa yang tidak mau menyangkal diri dan memikul salib, orang itu tidak layak bagi-Nya (Matius 10:38). Rasul Petrus mengajarkan hal serupa, “Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung.” (1 Petrus 2:19) Bagi Petrus, penderitaan sejati adalah penderitaan yang ditanggung dengan kesadaran bahwa itu terjadi atas kehendak Allah. Kembali, kata “kehendak Allah” disebutkan. Hal ini berarti kalau kita menderita bukan atas kehendak Allah, misalnya karena kesalahan kita sendiri yang teledor, maka jangan bersukacita atas penderitaan itu, tetapi bertobatlah. Yakobus juga menjelaskan hal serupa, “Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun. Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah,…” (Yakobus 1:2-5a) Yakobus mengajarkan bahwa jika kita jatuh ke dalam berbagai pencobaan, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan (arti bahasa Yunani : sukacita). Mengapa ? Karena pencobaan (atau bisa diterjemahkan godaan) yang diizinkan Tuhan itu menghasilkan ketekunan (arti Yunaninya : ketahanan) dan ketekunan/ketahanan itu menghasilkan buah yang matang (arti Yunaninya : perwujudan yang sempurna ; ASV, Geneva Bible, KJV dan NKJV menerjemahkannya perfect work/karya yang sempurna), supaya kita menjadi sempurna dan utuh serta tidak ada sesuatupun yang kurang/tertinggal. Di dalam pengujian dari Tuhan (bisa melalui iblis yang menggoda), kita bukan hanya diperintahkan untuk menganggapnya sebagai suatu sukacita, tetapi juga kita harus membutuhkan hikmat Allah untuk menanganinya. Inilah uniknya Yakobus 1:5a yang langsung terkait erat dengan ayat 2 s/d 4. Dengan kata lain, Allah yang mengizinkan kita melewati bayang-bayang maut, Ia pulalah yang akan memimpin dan menuntun kita di dalam bayang-bayang maut melalui hikmat-Nya untuk memuliakan-Nya. Bagaimana dengan kita ? Banyak orang Kristen gemar mengeluh ketika harus menderita, melarat, dll, mereka menganggapnya itu kutukan dari iblis yang harus di“tengking” dan dilepaskan (pemulihan atas resesi ekonomi). Benarkah itu ? Apakah setiap penderitaan pasti dari iblis ? BELUM TENTU ! Penderitaan bisa dipakai Allah untuk menguji umat-Nya. Ketika kita mungkin melarat, gagal dalam usaha kita, introspeksi diri kita apakah kita memang yang salah, teledor, dll, atau sebenarnya ada ujian Allah bagi kita supaya kita HANYA menTuhankan Kristus, bukan harta kita. Ingatlah ! Setiap hidup kita harus berserah total kepada-Nya dan menTuhankan Kristus, sehingga meskipun harus menghadapi marabahaya, kita tetap kuat dan tidak goyah, bukan karena kehebatan kita, tetapi karena kuasa dan anugerah Allah.

Lalu, apakah kita yang harus menghadapi segala marabahaya, nantinya akan kalah dan tidak berpengharapan ? TIDAK ! Ayat 37 menjelaskannya bagi kita, “Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.” Meskipun harus menghadapi marabahaya, kita tidak ditentukan untuk kalah, tetapi MENANG ! Bahkan Alkitab kita menyatakan bahwa kita lebih dari orang-orang yang menang atau terjemahan Yunaninya berarti kita beroleh kemenangan mutlak atau kita mampu menaklukkan semuanya itu. Inilah janji Allah bagi umat-Nya. Kita bukan lemah, kalah, dll oleh karena pencobaan dan ujian, tetapi kita mampu menaklukkan semuanya itu dan menjadi lebih dari pemenang oleh iman. Mengapa ? Karena iman kita ditujukan bukan pada penderitaan, tetapi kepada Kristus yang telah menang. Karena Kristus telah menang atas kuasa dosa, iblis dan maut melalui kebangkitan-Nya, maka Ia menjamin kemenangan umat pilihan-Nya untuk menaklukkan segala penderitaan untuk memuliakan-Nya. Karena Kristus yang telah bangkit dan menang mengalahkan kuasa dosa, iblis, dan maut serta memberikan kemenangan itu bagi umat-Nya, kita tidak perlu sombong, tetapi kita harus terus-menerus bersyukur atas anugerah dan kasih-Nya. Inilah yang ditegaskan Paulus di dalam pernyataannya kemudian, “oleh Dia yang telah mengasihi kita.” Dengan kata lain, tanpa kasih Kristus, kita tak mungkin bisa menang mengalahkan iblis, dosa, maut, dll. Tanpa Kristus, kita pasti terus-menerus menjadi budak dosa yang mengilahkan dosa. Tetapi puji Tuhan, melalui dan di dalam Kristus, kita menjadi lebih dari pemenang atau memperoleh kemenangan mutlak melawan kuasa dosa, iblis dan maut. Perlu diingat, kemenangan kita bukan kemenangan yang tidak mau melihat masalah/penderitaan, tetapi kemenangan yang TELAH MELEWATI masalah/penderitaan melalui kasih dan anugerah-Nya di dalam Kristus. Kemenangan yang tidak mau menghadapi penderitaan adalah kemenangan palsu yang merupakan tipuan iblis, tetapi kemenangan yang mau menghadapi dan berhasil menaklukkan penderitaan, itulah kemenangan yang Kristus kerjakan di dalam kita, karena Kristus bangkit BUKAN tanpa melalui kematian, tetapi melalui kematian, Ia telah menaklukkan kematian itu di dalam kebangkitan-Nya. Sehingga, tidak heran, Rasul Paulus di dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus berani mengatakan, “Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?" Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat. Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” (1 Korintus 15:55-57) Kemenangan Kristus mengakibatkan dosa, iblis dan maut tidak memiliki kuasa yang membelenggu kita dan kita dilepaskan dari ketiga kuasa tersebut. Meskipun demikian, kita masih bisa berdosa, oleh karena itu, kita harus terus-menerus mengalahkan dosa dan godaan iblis dengan mata hati tertuju HANYA kepada Kristus.

Bagaimana mengarahkan mata hati kita tertuju HANYA kepada Kristus ? Inilah yang disimpulkan Paulus di dalam pembahasannya di ayat 38-39, “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” Bahasa Yunani menerjemahkan “aku yakin” dengan “aku diyakinkan”. Ini artinya Paulus diyakinkan melalui kebangkitan Kristus bahwa baik maut maupun hidup (aspek fisik), malaikat maupun pemerintah baik yang ada sekarang maupun yang akan datang (aspek penguasa), kuasa-kuasa baik yang ada di atas maupun yang di bawah atau sesuatu makhluk lain (aspek supranatural) tidak mampu memisahkan umat-Nya dari kasih Allah di dalam Kristus Yesus, Tuhan. Hal ini berarti baik kematian mencengkeram hidup kita, pemerintah yang mungkin melarang kita menyembah Allah di dalam Kristus atau iblis (dan para kroninya) yang gemar menggoda umat Allah, itu semua tidak mampu memisahkan umat-Nya dari kasih Allah. Dengan kata lain, umat pilihan-Nya tidak mungkin akan berkompromi dengan segala macam tipu daya setan. Alkitab dan sejarah gereja menjadi teladan bagi kehidupan Kristen kita tentang hal ini. Rasul Paulus tidak takut ketika ia harus dianiaya, dicambuk, dll, mengapa ? Karena ia tahu bahwa mengikut Kristus harus menderita dan penderitaan itu bernilai kekekalan, karena melalui penderitaan itu, mata hati kita terus menuju HANYA kepada Kristus. Polycarphus, murid Rasul Yohanes siap mati karena dia tidak mau mengkompromikan iman Kristennya kepada Raja/Kaisar waktu itu. Mengapa Polycarphus melakukan hal ini ? Dunia akan menghina dia sebagai orang “bodoh”, karena dia tak mau berkompromi. Tetapi di mata Allah, apa yang dianggap bodoh bagi dunia, itulah hikmat dan hal yang tertinggi. Di mata Allah, penderitaan yang diizinkan-Nya membuat umat-Nya tidak berfokus kepada kesenangan dunia (lalu terlena karenanya), tetapi berfokus hanya kepada Kristus. Bagaimana dengan kita ? Jangankan disuruh mati, banyak orang “Kristen” postmodern disodori hal-hal dari iblis (seperti MLM, training motivasi sukses-nya Andrie Wongso, membaca buku-buku Robert T. Kiyosaki, dll) saja sudah tergiur, bagaimana mau mati bagi Kristus ? Kita harus menyadari hal ini. Iman Kristen kita khususnya di zaman postmodern hampir luntur. Sudah seharusnya, sebagai umat pilihan-Nya yang sungguh-sungguh, kita TIDAK lagi akan tergiur oleh bujuk rayu iblis, tetapi hidup kita harus menTuhankan Kristus dengan tidak mempedulikan untung rugi, hidup mati, senang susah, dan sehat sakit. Biarlah teladan Polycarphus ini menyadarkan kita agar kita sebagai orang Kristen menTuhankan Kristus di dalam hidup kita dan siap mati bagi-Nya jika diperlukan.

Banyak pemimpin “gereja” mengajarkan bahwa kita sebagai anak-anak Raja tidak akan mengalami kesusahan, penderitaan, bahkan tidak pernah digigit nyamuk, tetapi melalui perenungan kita akan 5 ayat ini mengajarkan bahwa penderitaan, kesesakan, dll harus kita alami sebagai pengikut-Nya, dan percayalah dengan iman, semua penderitaan itu pasti dapat kita taklukkan dan menang oleh karena kasih dan kuasa Allah di dalam kebangkitan Kristus Yesus yang menjamin dan menjadikan kita lebih dari pemenang dalam hidup yang gelap di dunia ini. Orang-orang dunia pasti meraba-raba di dalam dunia postmodern yang gelap ini, tetapi puji Tuhan, umat pilihan-Nya di dalam Kristus TIDAK pernah meraba-raba atau kuatir, karena Kristus menjamin hidup dan keselamatan mereka sampai akhir. Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 10:16-22: WASPADALAH!

Ringkasan Khotbah: 13 Nopember 2005

Waspadalah !
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 10:16-22


Latar Belakang
Tuhan Yesus menyatakan bahwa posisi orang Kristen di tengah dunia ini adalah seperti domba di tengah serigala. Secara logika, sangatlah mustahil seekor domba, binatang yang lemah dapat hidup ketika ia berada di tengah-tengah serigala namun ternyata tidaklah demikian. Tuhan mengajarkan meski kita berada di tengah-tengah serigala, kita harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati dan justru inilah yang menjadi kekuatan kita. Memang, secara sepintas kekuatan ini tidak terlihat namun fakta membuktikan bahwa si domba itu tidak mati. Perhatikan, cerdik dan tulus ini tidak boleh dipisahkan. Cerdik tanpa disertai dengan ketulusan akan menjadikannya seorang yang licik yang pandai menipu. Namun ingat, sepandai-pandainya orang menipu, suatu hari nanti ia pasti akan kena tipu juga. Sebaliknya ketulusan tanpa disertai dengan kecerdikan maka orang itu dapatlah dikatakan seorang yang bodoh karena ia akan menjadi korban orang lain. Di tengah dunia ini kita akan berhadapan dengan banyak lawan yang siap menerkam karena itu, kita perlu perhatikan beberapa aspek:
Pertama, orang Kristen harus memandang dunia secara realistis, utuh dan menyeluruh. Cara Tuhan mengutus para murid ini sangatlah unik – para murid tidak diperkenankan membawa bekal berupa apapun juga namun itu bukan berarti Tuhan tidak peduli. Tidak! Tuhan memberikan kuasa kepada mereka untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan kelemahan (Mat. 10:1). Para murid juga diberikan kuasa lain, yaitu apabila orang yang kepadanya kamu datangi tidak mendengarkan perkataanmu maka rumah itu mendapat kutuk sebaliknya apabila ia menerima kabar Injil maka rumah itu akan mendapatkan berkat. Kuasa yang diberikan Tuhan ini sangatlah luar biasa tapi ingat, janganlah lupa diri karena di dunia ini, musuh kita sangatlah banyak. Dunia akan membenci setiap orang yang menjadi pengikut Tuhan. Ingat, Tuhan tidak pernah berjanji bahwa anak Tuhan tidak akan pernah menderita. Tidak! Orang Kristen akan dianiaya, disesah dan hidup menderita, kita seperti domba di tengah-tengah serigala. Inilah kondisi dunia kita, itulah sebabnya Tuhan ingin supaya kita melihat dunia ini secara realistis, utuh dan menyeluruh. Sangatlah disayangkan, hari ini banyak orang Kristen hanya melihat satu sisi realita dunia yang positif saja dan menutup-nutupi bagian lain yang negatif. Maka tidaklah heran ketika orang mengalami penderitaan, sakit penyakit, dan lain-lain, orang mulai marah dan menyalahkan Tuhan. Ingat, Tuhan tidak pernah janji orang yang hidup dan berjalan bersama Dia hidupnya akan selalu nikmat. Tidak! Tuhan janjikan hidup kuat, jalan dipimpin Dia dan disitulah justru kita akan mendapatkan kebahagiaan yang sejati.
Kedua, orang Kristen ketika melakukan segala sesuatu haruslah dilakukan dengan motivasi murni. Sejak awal Tuhan Yesus telah membukakan pada dunia tentang hal yang positif dan negatif ketika kita menjadi murid-Nya. Tuhan tidak pernah mengiming-imingi kita dengan segala tawaran yang manis dan palsu. Hendaklah kita peka dan cermat akan segala macam tipu muslihat iblis yang mencoba menipu dan mengiming-imingi kita dengan segala tawaran manis tapi justru berakhir dengan kebinasaan. Kita harus berhati-hati terhadap orang yang menawarkan sesuatu pada kita tetapi hanya menunjukkan hal yang positif saja, ia hanya seorang penipu. Betapa bodohnya kita kalau kita bisa kena tipu, padahal sudah jelas-jelas kalau ia sedang menipu kita. Itu disebabkan karena kita tidak cerdik dan tulus. Berbeda halnya kalau kita cerdik dan tulus maka kita tidak akan mudah kena tipu. Seorang penipu tidak akan peka ketika ada orang lain yang menipu dirinya karena ia terbiasa menipu. Hendaklah kita meneladani Tuhan Yesus yang telah mengimplikasikan kecerdikan dan ketulusan secara bersamaan. Jadi, barangsiapa mau kembali kepada kebenaran Firman dan hidup dalam kebenaran maka ia akan peka sebab Firman itu menjadi dasar baginya untuk melakukan verifikasi atau pengujian ketika melakukan segala sesuatu. Hal inilah yang Tuhan inginkan ada dalam diri setiap anak Tuhan, meski kita domba yang lemah tapi kita cerdik dan tulus dengan demikian kita tidak mudah masuk dalam jebakan dan tipuan.
Setelah kita memahami aspek tersebut di atas maka kita juga Tuhan ingin kita lebih tajam menggumulkan beberapa hal:
I. Dunia yang Berdosa
Dunia sudah jatuh dalam dosa maka semua tindakan dan pemikiran yang dilakukan manusia mengandung unsur dosa. Dahulu, kita juga berasal dari dunia berdosa, kita adalah manusia berdosa tetapi Tuhan telah memanggil kita dari dunia berdosa dan menjadikan diri kita sebagai ciptaan yang baru. Dan kini, Tuhan mengutus kita untuk kembali di tengah-tengah dunia berdosa maka disini kita mendapati ada suatu kesenjangan. Dunia adalah dunia berdosa namun ironisnya, dunia tidak mau mengakui kalau dunia adalah dunia berdosa. Dunia selalu menggunakan standar ganda dan standar yang digunakan ini tidaklah sah. Dunia mengatakan bahwa dirinya tidaklah jahat tetapi orang lainlah yang jahat. Adalah sifat manusia berdosa yang selalu ingin menghancurkan orang lain, orang tidak peduli kalau dirinya telah membuat orang lain susah; manusia selalu berpikir licik dan egois.
Di dunia berdosa yang licik dan penuh dengan kejahatan ini, tidak ada satu pun tempat yang dapat membuat kita merasa aman dan nyaman – setiap saat ancaman bahaya itu selalu muncul. Kemana pun kita pergi maka kita akan bertemu serigala-serigala yang selalu siap menerkam. Realita dunia berdosa yang rusak ini justru tidak diakui oleh dunia. Dunia selalu mengatakan bahwa dunia ini adalah dunia yang indah dan nyaman namun semua keindahan dan kenyamanan tersebut tidak lebih hanya sebuah fatamorgana yang semu. Pada akhirnya, manusia menyadari realita dunia yang tidak pernah memberikan kebahagiaan sejati maka muncullah satu pertanyaan yang menjadi problem of evil, yakni: kalau memang benar Tuhan itu ada lalu kenapa ada sakit dan penderitaan? Pertanyaan ini muncul sebab manusia sudah jatuh dalam dosa. Problem of evil ini menjadi pergunjingan sengit di kalangan dunia filsafat metafisika sehingga menimbulkan theodecy.
Manusia tidak menyadari kalau sesungguhnya, sengsara, sakit penyakit dan penderitaan yang ada di dunia ini adalah akibat dari ulah manusia itu sendiri. Manusialah yang merusak alam maka jangan salahkan Tuhan kalau akhir-akhir ini timbul berbagai bencana alam yang menelan banyak korban jiwa, dan masih banyak lagi ulah manusia berdosa. Orang sulit menerima fakta dunia berdosa yang penuh dengan penderitaan ini. Pertanyaannya sekarang adalah kalau Tuhan tidak ada apakah dunia akan menjadi lebih baik? Kalau semua manusia di dunia ini hidup benar dan suci maka problem of evil itu pasti tidak akan ada. Ingat, Tuhan tidak dapat dipermainkan sebab suatu hari kelak Tuhan akan menyatakan keadilan-Nya dan hal itu membuktikan kalau Tuhan itu ada. Tuhan telah memanggil kita untuk kembali pada kebenaran Tuhan dan Dia mengutus kita kembali ke dunia berdosa. Karena itu, waspadalah akan segala macam tipu muslihat iblis. Kita harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati dengan demikian kita dapat dipakai menjadi saksi bagi Tuhan.
II. Kekuatan Pembeda (Discerning Power)
Anak Tuhan yang sejati harus selalu waspada sebab orang yang mempunyai kewaspadaan tinggi maka ia mempunyai kemampuan membedakan antara kebenaran dan kepalsuan. Perhatikan, orang yang waspada berbeda dengan orang yang paranoid. Ciri-ciri orang yang paranoid selalu melihat orang lain sebagai musuh yang membahayakan dan merugikan hidupnya maka orang yang paranoid akan selalu merasa ketakutan. Tuhan tidak mengajar anak-anak-Nya menjadi orang yang paranoid tetapi orang yang selalu waspada. Seorang yang waspada bukan seorang yang pasif. Tidak! Sebaliknya orang yang waspada adalah orang yang aktif mengerjakan berbagai hal yang positif namun meski demikian ia tidak kehilangan kepekaan, ia akan langsung peka ketika ada hal-hal yang tidak benar. Kekuatan dan kepekaan membedakan inilah yang harus dimiliki oleh setiap anak Tuhan yang sejati dengan demikian kita tidak mudah diombang-ambingkan dunia dan dibawa ke dalam situasi yang bias.
Di dunia modern ini ada empat hal yang perlu untuk kita waspadai: 1) benar-benar benar; 2) benar-benar tidak benar; 3) tidak benar-benar benar; 4) tidak benar-benar tidak benar. Setiap manusia di dunia harus kembali pada kebenaran yang sejati, yaitu yang benar-benar benar. Alangkah bodohnya manusia sudah tahu sesuatu itu benar-benar tidak benar tapi masih kejeblos di dalamnya. Ini menunjukkan alert system yang dimilikinya sudah mati dan yang mematikan alert system atau sistem kewaspadaan ini sesungguhnya adalah diri sendiri, yakni: pertama, ketika pertama kali kita memberikan peluang pada dosa itu masuk dan menganggap dosa sebagai hal yang biasa. Kewaspadaan kita sedikit demi sedikit akan hilang dan pelan namun pasti hati nurani kita pun akan mati. Seorang anak Tuhan sejati harus berani mengatakan kebenaran adalah kebenaran dan dosa adalah dosa. Hati-hati sekali saja kita berkompromi dengan dosa maka itulah titik kehancuran kita, kedua, manusia adalah manusia yang serakah, ketika manusia sudah mempunyai nafsu yang didorong dengan semangat ingin mencari keuntungan diri sendiri maka saat itulah ia lupa segalanya sehingga tanpa berpikir panjang lagi segala hal yang ditawarkan padanya akan diterimanya. Itulah saat kehancurannya. Gambaran manusia yang serakah ini adalah seperti seekor monyet yang tangannya terjebak dalam tempurung kelapa karena serakah ingin mendapatkan buah kelapa. Hati-hati iblis tahu sifat manusia yang serakah ini karena itu hendaklah kita selalu waspada jangan masuk dalam jebakannya.
Untuk hal yang tidak benar-benar benar kita juga perlu waspada karena sepintas sepertinya benar tapi sesungguhnya tidak benar. Kepekaan ini tidak dapat terjadi secara otomatis tetapi kepekaan ini akan kita peroleh kalau kita berpaut dengan Tuhan, yaitu dengan membaca Firman Tuhan. Sangatlah disayangkan, hari ini banyak orang Kristen tidak dapat lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah hal ini disebabkan karena di satu sisi orang mau mengikut Tuhan tapi masih mempunyai konsep dunia dan gereja Tuhan tidak lagi mewartakan berita Kebenaran sejati. Sebagai anak Tuhan sejati, hendaklah kita bertekad belajar Firman dengan demikian kita tidak mudah dibodohi oleh dunia.
Di antara keempat hal tersebut yang paling membahayakan adalah tidak benar-benar tidak benar. Prinsip perhitungan: – x – = + tidak dapat dikenakan pada prinsip: tidak benar x tidak benar = benar. Salah! Orang berpendapat bahwa segala sesuatu yang belum terbukti salah, janganlah dipandang sebagai suatu kesalahan. Setuju! Tetapi ketika kita menganggap sesuatu yang belum terbukti salah tersebut sebagai kebenaran maka itupun merupakan suatu kesalahan fatal. Perhatikan, tidak benar-benar tidak benar bukan berarti sudah benar; dan tidak terbukti salah itupun bukan berarti sudah benar. Kita harus waspada akan konsep ini sebab dunia akan membawa kita masuk dalam konsep tidak benar-benar tidak benar. Karena itu, kita harus kembali kepada kebenaran sejati, yaitu yang benar-benar benar dengan demikian kita tidak mudah dipermainkan dunia dan orang dapat hidup suci.
III. Bahaya Posisi Pengkhianat
Dalam terjemahan bahasa Indonesia, Mat. 10:18 ini kurang jelas untuk dipahami. Terjemahan yang tepat adalah kamu akan digiring ke muka penguasa-penguasa (penguasa kota atau penguasa wilayah) dan raja-raja (penguasa yang lebih tinggi) supaya kamu membawa kesaksian untuk melawan Aku. Perhatikan, sejak awal Tuhan Yesus telah memperingatkan bahwa orang Kristen akan dibawa ke depan penguasa tetapi bukan sebagai orang yang berposisi di dalam Kristus. Tidak! Orang Kristen akan ditaruh dalam posisi sebagai saksi bagi orang kafir dan melawan Kristus. Posisi ini disebut sebagai posisi betraying. Di tengah dunia yang semakin kacau ini, posisi betraying, yakni suatu posisi yang memungkinkan kita menjadi seorang pengkhianat ini sangat terbuka lebar. Pada saat Tuhan Yesus mengatakan hal demikian ini, dua orang murid yang nantinya akan mengkhianati-Nya, yakni Yudas dan Petrus ada bersama-sama dengan Dia. Tuhan Yesus tahu bahwa suatu hari kelak mereka akan berada di posisi betraying ini dan mereka akan mengkhianati Dia.
Berbeda halnya kalau kita diadili karena tuduhan menjadi pengikut Kristus maka hal itu justru menjadi sukacita bagi kita. Celakanya, hari ini banyak orang Kristen karena alasan takut dimusuhi dan dibinasakan oleh dunia sehingga orang lebih memilih berada di posisi betraying dengan memilih menjadi pengkhianat dan melawan Kristus. Ironis, orang justru lebih takut berhadapan dengan dunia daripada berhadapan dengan murka Tuhan. Jangan pikir kalau kita ikut dunia maka kita akan aman. Tidak! Kita akan binasa sebab segala kenikmatan yang ditawarkan hanya bersifat semu belaka. Tuhan telah membukakan pada kita positif – negatifnya menjadi pengikut Kristus dan kini, keputusan ada di tangan kita mau mengikut Tuhan dengan resiko dibenci oleh dunia namun berakhir dengan hidup kekal ataukah mengikut dunia – mendapatkan kebahagiaan semu dan berakhir dengan kebinasaan kekal? Jangan takut pada segala sesuatu yang dapat membunuh tubuh tetapi tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka (Mat. 10:28). Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: