31 October 2010

HIDUP OLEH DAN DI DALAM ANUGERAH ALLAH (Denny Teguh Sutandio)

HIDUP OLEH DAN DI DALAM ANUGERAH ALLAH

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku.”
(1Kor. 15:10)



Salah satu semboyan penting Reformasi Gereja dari Dr. Martin Luther adalah sola gratia (hanya oleh anugerah Allah). Memang dalam konteksnya, Dr. Luther mengaitkan anugerah Allah ini dengan keselamatan di dalam Kristus, namun saya sangat percaya bahwa anugerah Allah sebenarnya bukan hanya berkaitan dengan keselamatan di dalam Kristus, namun di dalam seluruh aspek kehidupan Kristen. Dengan kata lain, hidup orang Kristen seharusnya merupakan hidup oleh dan di dalam anugerah Allah. Kata anugerah berarti suatu pemberian kepada orang yang tak layak menerimanya. Anugerah Allah di sini mencakup baik anugerah umum (common grace) dan anugerah khusus (saving grace) dari Allah, namun di dalam Kristus, kita mengkhususkan pada anugerah khusus. Jika demikian, apa yang dimaksud dengan hidup oleh dan di dalam anugerah Allah?


Hidup oleh anugerah Allah berarti:
Pertama, hidup yang berpusat pada anugerah Allah. Ini berarti dalam setiap inci kehidupan kita, baik dalam sekolah, kuliah, pekerjaan, jodoh, keluarga, dll, kita mengakui bahwa Allah saja yang berperan serta di dalamnya. Mengakui anugerah Allah identik dengan mengakui Allah berperan serta di dalamnya yang juga berarti mengakui bahwa Ia adalah Raja sekaligus Sahabat kita yang terbaik yang memelihara setiap inci kehidupan kita. Tanpa anugerah dan pemeliharaan-Nya, kita tidak mungkin seperti sekarang ini (bdk. pengakuan Paulus di dalam 1Kor. 15:10 di atas).

Kedua, tidak merasa diri hebat. Seperti dua sisi mata uang yang saling berkaitan, maka hidup oleh anugerah Allah di sisi lain juga berarti sebagai umat-Nya, kita tidak perlu merasa diri hebat. Terlalu banyak orang Kristen yang secara mulut mengakui anugerah Allah, namun secara hati dan kelakuan, mereka masih menyombongkan diri dan menganggap bahwa tanpa dirinya, orang lain akan merasa rugi bahkan tidak bisa hidup, dll (biasanya ini terjadi pada orang yang berusia tua atau sudah mengenyam pendidikan tinggi). Hal ini bisa kita ketahui dari motivasi seseorang tatkala menegur orang lain. Coba introspeksi diri kita masing-masing: ketika kita menegur orang lain yang salah, apa yang ada di benak kita? Apakah kita berpikir bahwa jika kita tak menegurnya, maka orang itu akan binasa atau lainnya? Ataukah kita menegur dengan kasih? Kedua, coba introspeksi diri kita dengan reaksi orang yang kita tegur. Setelah menegur seseorang, kita pasti mendapatkan reaksi dari orang tersebut, entah itu menerima atau menolak teguran kita. Jika orang tersebut menolak teguran kita, apa yang kita pikirkan? Akankah kita berpikir, “Jangan belagu lu, masih muda/belum berpengalaman sudah berani gak mau terima teguran orang tua yang sudah berpengalaman!”? Jika ini masih ada di dalam pikiran kita, bertobatlah sekarang, karena kita ternyata masih menyimpan bibit kesombongan secara tidak sadar meskipun secara mulut berkali-kali berkata tentang anugerah. Kita bisa membodohi manusia, namun jangan sekali-kali membodohi Allah!


Setelah kita menyadari bahwa segala sesuatu itu terjadi oleh anugerah Allah, maka apakah itu berarti kita tidak usah berbuat apa-apa? TIDAK! Doktrin anugerah Allah TIDAK menjadikan orang Kristen malas, malahan justru membangkitkan semangat orang Kristen untuk memuliakan-Nya. Karena segala sesuatu itu adalah anugerah Allah, maka anugerah-Nya memampukan kita untuk hidup di dalam anugerah-Nya yang berarti:
Pertama, meresponi anugerah-Nya. Meresponi anugerah Allah berarti sebuah tindakan pasif (sekaligus aktif) yang menghadirkan anugerah Allah itu di dalam setiap aspek kehidupan kita. Di sini kita dimampukan-Nya untuk tidak merebut kemuliaan-Nya demi kepentingan sendiri. Ketika kita dipuji seseorang karena kita baik atau tampan/cantik atau cinta Tuhan, apa reaksi kita? Meresponi anugerah-Nya menuntut kita untuk mengembalikan semua pujian hanya kepada Allah saja, karena kita menyadari bahwa tanpa anugerah-Nya, kita ini hina dan bobrok.

Kedua, memancarkan anugerah-Nya. Tidak cukup hanya menghadirkan anugerah-Nya, kita dipanggil juga untuk memancarkan anugerah-Nya dengan melakukan segala kehendak-Nya dengan penuh pengorbanan. Perhatikan perkataan Paulus di dalam 1 Korintus 15:10. Di ayat 9, ia memaparkan fakta bahwa dia adalah yang paling hina dari semua rasul, karena ia pernah menganiaya Jemaat Allah, namun di ayat 10 merupakan turning point bagi Paulus, yaitu karena anugerah (atau kasih karunia) Allah, ia bisa seperti sekarang ini (memberitakan Injil) dan bahkan ia mengakui bahwa ia lebih bekerja keras daripada semua rasul, namun itu semua bukan karena dirinya sendiri yang hebat, namun karena anugerah Allah. Anugerah-Nya memampukan Paulus dan kita sebagai umat-Nya bekerja keras memberitakan Injil dan melayani-Nya dengan penuh semangat dan pengorbanan kepada sebanyak mungkin orang sambil mengakui pelayanan yang kita kerjakan inipun bukan karena kehebatan kita, namun karena anugerah-Nya.


Sebagaimana hidup Paulus adalah hidup yang dipenuhi oleh anugerah Allah dan ia sendiri hidup di dalam anugerah-Nya itu, bagaimana dengan kita? Sudahkah anugerah Allah bekerja dan melingkupi iman dan kehidupan kita sehari-hari kita sebagai saksi Kristus? Biarlah Roh Kudus membuka hati dan pikiran kita agar kita makin menyadari anugerah Allah yang begitu besar bagi umat-Nya sekaligus mendorong kita untuk makin bersaksi bagi-Nya demi hormat dan kemuliaan nama Allah Tritunggal. Amin. Soli Deo Gloria.

JOHN CALVIN DAN TRADISI GEREJA (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

JOHN CALVIN DAN TRADISI GEREJA

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.




Salah satu semboyan reformasi yang terkenal adalah sola scriptura (lit. “hanya Alkitab”). Penekanan pada semboyan ini tidak terletak pada kata “scriptura”, karena gereja pada waktu itu (sekarang disebut Gereja Roma Katolik) juga menerima Alkitab. Seperti semboyan yang lain (sola fide dan sola gratia), penekanan dalam semboyan ini terletak pada kata “sola.” Konsep ini secara jelas terungkap dalam pernyataan Martin Luther (1483-1546) yang terkenal pada waktu Diet of Worms, 16 April 1521:
Unless I am convinced by the testimony of the Scriptures or by clear reason (for I do not trust either in the pope or in councils alone, since it is well known that they have often erred and contradicted themselves), I am bound by the Scriptures I have quoted and my conscience is captive to the Word of God. I cannot and I will not retract anything, since it is neither sale nor right to go against conscience. “I cannot do otherwise, here I stand, may God help me, Amen1

Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh John Calvin. Terlepas dari beberapa kontroversi seputar konsep bibliologi Calvin,2 dalam buku monumentalnya, The Institutes of Christian Religion, ia secara eksplisit menjelaskan bahwa Alkitab bersumber dari Allah sendiri dan bukan dari gereja (1.6.1; 1.7.1-2; 2.8.12).

Semangat yang diusung melalui semboyan sola scriptura adalah penolakan terhadap pandangan gereja yang memakai dua standar otoritas, yaitu Alkitab dan tradisi. Para reformator menganggap gereja telah mempraktekkan banyak hal yang tidak diajarkan dalam Alkitab. Gereja lebih mementingkan tradisi daripada kitab suci. Keputusan gereja Katolik dalam Konsili Trent yang menerima kitab-kitab apokrifa3 sebagai firman Allah (untuk mendukung theologi dan praktek kegerejaaan mereka) merupakan gambaran paling jelas tentang sikap gereja terhadap otoritas Alkitab dan tradisi. Sebagai reaksi terhadap kesalahan ini, para reformator mengumandangkan semangat sola scriptura.

Penjelasan di atas secara sekilas bisa memberikan dua kesan: (1) para reformator benar-benar menolak semua yang disebut tradisi gereja; (2) para reformator membangun theologi dan praktek kegerejaaan mereka langsung dari Alkitab (tanpa dipengaruhi oleh tradisi gereja).

Apakah kesan di atas benar? Apakah para reformator memiliki penilaian yang benar-benar negatif terhadap tradisi? Penulis akan membatasi penyelidikan terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas pada reformasi John Calvin saja. Dengan kata lain, Penulis ingin secara khusus menyelidiki sikap John Calvin terhadap tradisi gereja. Pembatasan ini diambil berdasarkan beberapa pertimbangan.

Pertama, semi-jurnal Reformata berlatarbelakang theologi Reformed (bukan Protestan secara umum). Kedua, setiap reformator memiliki pandangan dan sikap yang berbeda tentang tradisi gereja, sehingga semuanya tidak mungkin dibahas dalam satu tulisan. Mengingat tulisan ini dirancang untuk sebuah semi-jurnal, Penulis akan menghindari pembahasan yang bersifat sangat teknis dan terlalu mendetail.


JOHN CALVIN DAN TRADISI
Earle E. Cairns, seorang ahli sejarah gereja, memberikan perbandingan singkat yang sangat bermanfaat tentang Luther dan Calvin. Salah satu yang disinggung adalah perbedaan sikap terhadap praktek gerejawi sehubungan dengan liturgi dan pemakaian hal-hal tertentu di dalam ibadah: “Luther rejected only what the Scriptures would not prove, but Calvin refused everything of the past that could not be proved by the Scriptures.”4 Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Dari tulisan-tulisan Calvin terlihat jelas bahwa ia memang sangat menentang apa pun yang diyakini dan dipraktekkan oleh gereja kalau hal-hal itu tidak diajarkan oleh Alkitab. Dalam hal seputar kontroversi penggunaan gambar (iconoclastic controversy), Calvin memberikan penolakan yang sangat tegas dan komprehensif: gereja hanya boleh mempraktekkan apa yang memang diajarkan oleh Alkitab.

Pernyataan ini di atas bisa menimbulkan kesan bahwa dibandingkan Luther, Calvin memiliki pandangan yang lebih negatif terhadap tradisi gereja. Seandainya kesan ini benar, maka sikap tersebut merupakan sesuatu yang luar biasa, karena Calvin sendiri mengakui betapa ia “was more stubbornly addicted to the superstitions of the Papacy.”5 Beberapa sarjana, mengikuti pandangan Theodorus Beza, bahkan berpendapat bahwa pertobatan Calvin sudah terjadi jauh sebelum ia akhirnya memisahkan diri secara total dengan Gereja Roma Katolik pada tahun 1533.6

Penyelidikan yang lebih komprehensif ternyata mampu memberikan penjelasan yang lebih seimbang dan tepat tentang sikap Calvin terhadap tradisi. Ia sebenarnya tidak bersikap negatif secara mutlak terhadap gereja dan tradisinya.

Hal pertama yang perlu dipahami adalah pengertian “tradisi.” Istilah “tradisi” berasal dari kata Latin tradition/traditio, yaitu tindakan meneruskan sesuatu.7 Pemakaian istilah ini dalam sejarah gereja menunjukkan adanya perubahan (keberagaman) konsep tentang tradisi.8 Pada zaman gereja mula-mula istilah “tradisi” bermakna positif. Sebagai reaksi terhadap ajaran sesat Gnostisisme yang menekankan “pewahyuan” Allah yang eksklusif dan mistis, para bapa gereja membuktikan bahwa ajaran mereka mengikuti tradisi para rasul. Apa yang bapa gereja sampaikan bukanlah sesuatu yang baru. Sebaliknya, mereka hanya meneruskan apa yang sebelumnya telah diteruskan oleh para rasul. Hal ini sesuai dengan sikap para rasul sendiri. Paulus menekankan bahwa ajarannya adalah apa yang dia terima sendiri dari Tuhan dan ia teruskan kepada jemaat (1Kor. 11:23; 15:1-3). Yohanes memberitakan apa yang telah para rasul dengar, lihat dan raba dari Yesus (1Yoh. 1:1). Lukas menginformasikan adanya penerusan tradisi tentang Yesus, baik secara lisan maupun tertulis (Luk. 1:1-4).

Pada periode abad pertengahan, pengertian seperti di atas mengalami pergeseran. Tradisi dianggap sebagai sumber otoritas baru yang sifatnya melengkapi atau menambahkan Alkitab. Mula-mula pemahaman ini hanya diterapkan pada hal-hal yang tidak dibicarakan secara jelas dalam Alkitab. Selanjutnya tradisi justru semakin mendapat tempat. Tradisi tidak lagi menyentuh hal-hal yang “Alkitab diam”, tetapi tradisi juga menetapkan hal-hal yang bertentangan dengan Alkitab. Calvin dapat dikatakan anti tradisi hanya dalam pengertian tradisi yang populer waktu itu. Beberapa kutipan dari tulisan Calvin yang tampak sangat anti tradisi, sebenarnya hanya ditujukan pada pemahaman gereja waktu itu yang menganggap tradisi sebagai firman Allah atau sejajar dengan firman Allah. Berikut ini adalah dua pernyataan Calvin tentang tradisi yang dikutip oleh Alister E. McGrath:
Let this then be a sure axiom: that nothing ought to be admitted in the church as the Word of God, save that which is contained, first in the Law and the Prophets, and secondly in the writings of the Apostles; and that there is no other method of teaching in the church than according to the prescription and rule of his Word...I approve only of those which are founded upon the authority of God and derived from Scriptures (garis bawah ditambahkan)9

Sehubungan dengan pengertian tradisi sebagai warisan para rasul, Calvin justru bersikap sangat positif, bahkan lebih positif daripada Luther. Ketika Gereja Roma Katolik menuduh para reformator telah mengobarkan konsep dan praktek yang inovatif, Luther dan Calvin meresponi dengan cara yang berbeda. Luther merasa sudah cukup untuk meresponi tuduhan tersebut dengan berdiri di atas firman Allah. Calvin, di sisi lain, juga berusaha menunjukkan bahwa ajarannya sesuai dengan theologi bapa-bapa gereja awal. Hal ini tentu saja tidak berarti bahwa Calvin telah menggantikan Alkitab dengan tradisi bapa gereja abad permulaan. Calvin memang mengakui bahwa Kekristenan abad awal lebih murni dan benar, namun “for him, only Scripture contains the authentic, reliable, and normative tradition in the truest sense.”10

Calvin ingin menunjukkan bahwa ketika ajaran Gereja Roma Katolik berbeda dengan ajarannya, pihak Gereja Roma Katoliklah yang telah melenceng dari tradisi gereja yang sebenarnya di abad permulaan. Dengan kata lain, Gereja Roma Katolik telah mengadakan inovasi.11 Dalam The Institutes of the Christian Religion, Calvin secara khusus mengutip banyak bapa gereja dan mengontraskan pandangan mereka dengan pandangan Gereja Roma Katolik.12 Ketika ia terlibat dalam Perdebatan Lausanne (the Lausanne Disputation) melawan para pengikut Gereja Roma Katolik pada Oktober 1536, ia berhasil mematahkan tuduhan mereka. Ia mengutip kalimat-kalimat bapa-bapa gereja di luar kepala – lengkap dengan nama dan sumber tulisan tersebut – untuk membuktikan bahwa tuduhan terhadap orang Protetan yang dianggap telah menyalahi ajaran bapa-bapa gereja tentang Perjamuan Kudus adalah tidak benar.13 Pengenalannya yang luar biasa terhadap tulisan bapa-bapa gereja telah mempertobatkan seorang imam Katolik saat itu juga dan 200 imam lainnya selanjutnya juga meninggalkan Gereja Roma Katolik.14

Walaupun studi detail tentang pengaruh bapa-bapa gereja bagi pemikiran Calvin merupakan tugas yang sangat kompleks,15 mayoritas sarjana umumnya sepakat bahwa Calvin sangat berhutang pada bapa-bapa gereja. Dalam pembahasannya tentang sumber-sumber yang dipakai Calvin dalam buku The Institutes of the Christian Religion, Francois Wendel tidak lupa menyebutkan tulisan-tulisan bapa gereja.16 Pendapat ini sangat bisa dibenarkan. Jumlah kutipan dari bapa-bapa gereja abad permulaan dalam tulisan Calvin sangat melimpah.17 Pendeknya, Calvin bisa disebut sebagai murid bapa-bapa gereja.18 Di antara bapa gereja yang ia kutip, Calvin terutama sangat berhutang pada Agustinus: jumlah kutipan dari tulisan Agustinus melebihi jumlah total kutipan dari tulisan bapa gereja yang lain (Lane); 2000 kutipan dari Agustinus tersebut tidak ditemukan dalam tulisan-tulisan Agustinus yang ditemukan (Payne).19 Perbandingan antara tulisan Agustinus dan Calvin juga menunjukkan bahwa Calvin sangat dipengaruhi oleh Agustinus, baik pengaruh secara langsung dari tulisan-tulisan Agustinus yang dipelajari Calvin maupun dari tulisan tokoh-tokoh Kristen abad pertengahan yang mengikuti tradisi Agustinus.20


KONKLUSI DAN REFLEKSI
Gerakan reformasi pada abad ke-16, terutama reformasi dalam tradisi Calvinis/Reformed, bukanlah upaya untuk meletakkan hal-hal yang baru dalam Kekristenan. Sebaliknya, sama seperti semboyan ad fontes (lit. “kembali ke sumber”) dari para pemikir renaissance, reformasi Calvinis benar-benar ingin mengembalikan gereja pada sumber utama Kekristenan, yaitu ajaran Alkitab yang diteruskan (ditradisikan) kepada bapa-bapa gereja awal. Konsistensi ajaran inilah yang menjadi ciri khas dari theologi Reformed.

Situasi dunia dan tantangan gereja terus berubah, tetapi gereja harus mampu meresponi situasi ini dan merelevansikan Injil sambil terus berdiri di atas konsistensi ajaran para pemikir Reformed, pendahulu gerakan reformasi, bapa-bapa gereja, dan Alkitab. Hal ini semakin penting untuk direnungkan seiring dengan semangat zaman yang mendewakan perubahan dan kebebasan. Semangat ini tidak jarang juga berimbas pada mereka yang mengaku memegang pandangan Reformed, tetapi tidak mengenal dan mengajarkan kekayaan warisan theologi Reformed yang terprasasti dalam berbagai tulisan theolog Reformed dan kredo/pengakuan iman yang ada. Mereka merasa berhak mengklaim sebagai orang Reformed tanpa harus terikat pada sistem theologi dan tradisi Reformed. Akhirnya, saya ingin menutup dengan sebuah pertanyaan, “hal esensial apa yang menjadikan seorang menjadi Reformed?” #




Catatan kaki:
1. J. J. Pelikan, H. C. Oswald & H. T. Lehmann, Ed. Luther, M. 1999, c1958. Luther's works, vol. 32: Career of the Reformer II (Philadelphia: Fortress Press, 1999, c1958), hlm. 112-113.
2. Beberapa topik seputar konsep bibliologi Calvin yang dianggap kontroversial adalah pernyataan Calvin dalam The Institutes 4.8.9 (“sure and genuine scribes of the Holy Spirit” who composed Scripture “under the Holy Spirit’s dictation”) yang dianggap mendukung teori pengilhaman dikte. Di sisi yang lain, sebagian sarjana berpendapat bahwa Calvin tidak menerima ketidakbersalahan (inerrancy) Alkitab. Calvin dianggap membatasi ketidakbersalahan Alkitab hanya pada masalah iman. Terhadap mereka yang melihat doktrin inspirasi Calvin (dan Luther) berbeda dengan doktrin Injili modern, Louis Berkhof mengatakan, “But why should they rely on mere inferences, when these great Reformers use several expressions and make many plain statements, which are clearly indicative of the fact that they held the strictest view of inspiration” (Systematic Theology: New Combined Edition, Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1996, 145).
3. Gereja Katolik memakai istilah deuterokanonika (lit. “kanon kedua”) daripada apokrifa (lit. “kitab-kitab yang tidak jelas”).
4. Christianity Through the Centuries: A History of the Christian Church (3rd. Rev & exp. ed., Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1996), 302.
5. John Thomas McNeill, The History and Character of Calvinism (New York: Oxford University Press, 1954), hlm. 108.
6. Kisah pertobatan Calvin merupakan salah satu topik yang sampai sekarang masih diperdebatkan. Tidak seperti Agustinus, Luther maupun Wesley, Calvin jarang sekali menceritakan tentang kehidupan pribadinya, termasuk pertobatannya. Para sarjana modern berusaha merekonstruksi kapan dan bagaimana Calvin bertobat berdasarkan rujukan yang sangat terbatas. Dua teks yang sering dijadikan dasar (sekaligus pusat perdebatan) adalah surat kepada Sadoleto dan tafsiran kitab Mazmur. Lihat, John Bratt, The Rise and Development: A Concise History (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1964), hlm. 12.
7. Secara umum dalam bidang keagamaan dan sosial, tradisi dapat dipahami sebagai “an inherited, established, or customary pattern of thought, action, or behavior (as a religious practice or a social custom).” Merriam-Webster, I. 1996, c1993. Merriam-Webster's Collegiate Dictionary. Includes index. (10th ed.). Merriam-Webster: Springfield, Mass., U.S.A.
8. Lihat bab terakhir dari Heiko A. Oberman, The Dawn of the Reformation: Essays in Late Medieval and Early Reformation Thought (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1992, c1986), hlm. 269-296.
9. Historical Theology: An Introduction to the History Christian Thought (Malden, Massachusets: Blackwell Publishers, 1998), hlm. 177.
10. John E. Burkhart, “Tradition” in Encyclopedia of the Reformed Faith, ed. Donald K. McKim (Louisville/Edinburgh: Westminster/John Knox Press/Saint Andrew Press, 1992), hlm. 373.
11. David J. Marshall, “Calvin, John” dalam Augustine Through the Ages: An Encyclopedia, Allan D. Fitzgerald, gen. ed., (Grand Rapids: William. B. Eerdmans Publishing Company, 1999), 116-117.
12. James Swan dalam artikelnya yang berjudul “Calvin, the Church Fathers and the Roman Church” (http://beggarsallreformation.blogspot.com/2005/12/calvin-church-fathers) memberikan 13 kontras antara bapa-bapa gereja dan Gereja Roma Katolik, sekaligus menjelaskan nama dan sumber tulisan bapa gereja yang dikutip oleh Calvin.
13. Donald K. McKim, ed., The Cambridge Companion to John Calvin (excerpt; Cambridge: Cambridge University Press, t.th), 10.
14. Erroll Hulse, “John Calvin and his Missionary Enterprise”, http://www.reformedtheology.org/html/issue04/calvin.htm, 1. Posted on 9/29/2006.
15. Kesulitan dalam diskusi ini terkait dengan metodologi yang dipakai, lingkup rujukan yang ada (hanya yang eksplisit atau termasuk yang implisit), pembuktian pengaruh (apakah kesamaan konsep secara otomatis mengindikasikan pengaruh?), mediasi (apakah Calvin dipengaruhi bapa-bapa gereja secara langsung atau melalui para pemikir skolastik?), dll.
16. Calvin: Origins and Development of His Religious Thought (terj. Philip Mairet; Durham: The Labyrinth Press, 1987), hlm. 123-125.
17. Artikel terbaik yang membahas tentang hal ini, sejauh yang saya tahu, ditulis oleh A. N. S. Lane, “Calvin’s Use of the Fathers and the Medieval”, CTJ 16/2 (1981), hlm. 149-190.
18. A. N. S. Lane, John Calvin: Student of the Church Fathers (Grand Rapids: Baker Book House, 2000). Sejauh ini, buku ini adalah yang paling komprehensif dan spesifik dalam memaparkan pengaruh bapa-bapa gereja bagi pemikiran Calvin.
19. David E. Parks, John Calvin: The Man and His Doctrine. www.wcofc.org/going_deep.htm, Oktober 03, 2002. Menurut Smits, jumlah kutipan dari Agustinus dalam tulisan Calvin adalah 1700 kutipan eksplisit dan 2400 kutipan/alusi yang tidak disertai referensi. Lihat, Marshall, “John Calvin”, hlm. 117.
20. Sebuah buku klasik tentang perbandingan kedua tokoh ini ditulis oleh seorang theolog Reformed yang bernama B. B. Warfield, Calvin and Augustine (Philadelphia: Presbyterian and Reformed, 1956). Sayangnya, buku ini tidak terlalu menolong para pemula untuk mengetahui benang merah pemikiran Agustinus ke Calvin.





Sumber:
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/HIS%2015%20John%20Calvin%20&%20Tradisi.pdf




Profil Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.:
Ev. Yakub Tri Handoko, S.Th., M.A., Th.M., Ph.D. (Cand.), yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus.org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia. Beliau menikah dengan Ev. Nike Pamela, M.A. dan dikaruniai 2 orang putra: Calvin Gratia Handoko dan Aurel Fide Handoko.




Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.

27 October 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:13-14 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:13-14

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 9:13-14



Bagian ini merupakan kelanjutan dari argumen Paulus tentang hak para rasul. Mereka berhak menerima tunjangan hidup dan pelayanan (9:4-6), karena realitas kehidupan sehari-hari mengajarkan bahwa setiap pekerja mendapatkan sesuatu dari yang ia kerjakan (9:7). Lebih jauh, Hukum Taurat juga menegaskan bahwa lembu yang mengirik pun berhak untuk makan dari hasil panen yang ia kirik, sehingga ia tidak boleh diberangus mulutnya pada waktu mengirik (9:8-10). Sekarang Paulus menambahkan dua argumen lagi: (1) praktek keagamaan secara umum menunjukkan bahwa setiap imam atau rohaniwan berhak menerima upah dari pelayanan yang ia lakukan (9:13); (2) Tuhan Yesus pun mengajarkan bahwa para pemberita Injil harus hidup dari Injil yang mereka beritakan (9:14).

Sebelum kita membahas setiap argumen secara detil, kita perlu memikirkan posisi 9:11-12 dalam keseluruhan argumen ini. Mengapa Paulus tidak langsung melanjutkan argumen dari 9:7-10 ke 9:13-14? Mengapa ia perlu menegaskan lebih dahulu bahwa ia tdak mau mempergunakan apa yang menjadi haknya (9:11-12)? Bukankah penegasan ini nanti juga akan dibahas ulang secara lebih detil di 9:15-18? Apakah 9:11-12 merupakan sebuah sisipan, transisi, atau memang sejak awal dimaksudkan seperti sekarang?

Sebagian penafsir menduga bahwa Paulus awalnya memang ingin menutup argumennya di 9:10, karena itu ia langsung menegaskan sikapnya yang tidak mau mempergunakan hak (9:11-12). Setelah mengutarakan hal tersebut, Paulus baru ingat bahwa masih ada dua argumen lain yang perlu ia sampaikan (9:13-14). Dengan demikian para penafsir ini menganggap 9:13-14 sebagai tambahan spontan dari Paulus. Walaupun dugaan ini sangat menarik, tetapi hal ini tampak bertentangan dengan petunjuk yang ada di dalam teks.

Pertama, 9:7-18 menunjukkan struktur yang seimbang:
Dua alasan bagi hak para rasul (9:6-1)
Paulus tidak mau mempergunakan hak itu (9:11-12)
Dua alasan bagi hak para rasul (9:13-14)
Paulus tidak mau mempergunakan hak itu (9:15-18)

Kedua, Paulus sengaja memisahkan kelompok argumen ke-1 (9:7-10) dengan ke-2 (9:13-14) untuk tujuan tertentu. Ia ingin menampilkan perbedaan dari dua kelompok argumen ini. Kelompok ke-1 lebih berkaitan dengan pekerjaan yang “sekuler”, misalnya peperangan, pertanian, penggembalaan, atau pengirikan, sedangkan kelompok ke-2 secara lebih khusus menyoroti pekerjaan yang langsung berkaitan dengan hal-hal rohani (pelayan di kuil/bait Allah maupun pemberita Injil). Berdasarkan pengaturan seperti ini dan peletakkan ajaran Tuhan Yesus di argumen terakhir, tersirat bahwa Paulus sedang mengajak jemaat Korintus untuk memikirkan argumen-argumen lain yang lebih relevan daripada argumen sebelumnya.

Dengan berpindah ke kelompok argumen berikutnya, Paulus sekarang bisa mengaitkan hal ini dengan isu utama di pasal 8-10 secara lebih dekat. Inti masalah yang sedang dibahas adalah tentang makanan berhala (8:1, 4), terutama tindakan makan di kuil (8:10; 10:14-22). Sebagian jemaat merasa punya hak untuk melakukan itu dan mereka tidak mau melepaskan kebiasaan ini demi kepentingan saudara seiman. Dalam kaitan dengan hal ini, sangat wajar apabila Paulus menyinggung tentang hak para pelayan di kuil/bait Allah (9:13). Penggunaan ajaran Tuhan Yesus sebagai argumen yang klimaks (9:14) dan ketidakmauan Paulus untuk menggunakan hak tersebut (9:15-18) mengajarkan jemaat Korintus bahwa memiliki hak bukanlah segala-galanya, apalagi dari sisi logis maupun theologis jemaat Korintus sebenarnya tidak memiliki hak untuk makan di kuil. Mereka bukan pelayan rohani di kuil yang memang harus makan dari sana, melainkan mereka hanya datang dalam kapasitas sebagai pengunjung.


Praktek Keagamaan Secara Umum (ay. 13)
Ayat ini dimulai dengan sebuah pertanyaan retoris (ouk oidate) yang mengharapkan jawaban “ya”. Dari bentuk kalimat tanya yang dipakai terlihat bahwa apa yang disampaikan di ayat ini bukanlah sesuatu yang baru. Seandainya jemaat Korintus lebih peka dan mau berpikir, maka mereka pasti sudah mengetahui argumen ini, apalagi di Kota Korintus memang terdapat banyak kuil penyembahan. Dalam hal ini Paulus hanya sekadar mengingatkan mereka terhadap hal-hal kecil atau sehari-hari yang seringkali lepas dari pengamatan serius.

Siapakah yang dimaksud dengan “mereka yang melayani tempat kudus” atau “melayani mezbah” di sini? Apakah mereka adalah orang-orang Lewi dan para imam di bait Allah? Beberapa penafsir menjawab “ya” untuk pertanyaan ini, namun jawaban yang mereka berikan bertentangan dengan petunjuk yang ada di dalam teks. Paulus tidak sedang membatasi diri pada ibadah di bait Allah. Ia memikirkan ibadah secara umum, baik ibadah Yahudi (di bait Allah) maupun kafir (di kuil-kuil).
• Kata “tempat kudus” di ayat ini dalam bahasa Yunani berbentuk jamak (ta hiera). Secara harfiah kata ini lebih tepat diterjemahkan “tempat-tempat ibadah” (baik bait Allah maupun kuil kafir). Sebagian versi mempertahankan bentuk jamak, tetapi menganggap ta hiera merujuk bentuk pelayanan, bukan tepat ibadah (KJV “holy things”, NASB “sacred services”, RSV/NRSV “temple service”). Versi lain dengan tepat menerjemahkan “temple” (NIV/NET), tetapi mereka gagal mempertahankan bentuk jamak yang dipakai. Mempertimbangkan bentuk jamak ta hiera, kita sebaiknya tidak memahami ayat 13 hanya sebatas ibadah Yahudi di bait Allah, karena bait Allah hanya satu sedangkan ta hiera yang dipakai di sini jamak.
• Kata “melayani” (ay. 13b) dalam bahasa Yunani adalah paredreuo. Kata ini hanya muncul sekali di seluruh Akitab (hapax legomena). Pemakaian di luar Alkitab menunjukkan bahwa kata paredreuo seringkali digunakan untuk aktivitas para imam kafir dalam mempersembahkan korban kepada dewa-dewa mereka.
• Kata dasar to hieron (bentuk tunggal dari ta hiera) dalam Alkitab memang bisa merujuk pada bait Allah (Kis. 3:2, 10) maupun kuil kafir (Kis. 19:27).
• Kata “mezbah” (ay. 13b) memakai kata Yunani thysiasterion yang hanya dipakai untuk altar persembahan di bait Allah.

Dari semua petunjuk di atas terlihat bahwa Paulus memikirkan bait Allah di Yerusalem maupun tempat-tempat ibadah yang lain. Ia ingin menunjukkan bahwa semua aliran keagamaan mengadopsi pandangan yang sama, yaitu para pekerja rohani berhak mendapatkan tunjangan materi dari apa yang mereka lakukan.

Sebagain penafsir mencoba membedakan “mereka yang melayani tempat-tempat kudus” dengan “mereka yang melayani mezbah”, terutama para penafsir yang meyakini bahwa ayat 13 berbicara secara khusus tentan ibadah di bait Allah. Mereka menganggap bahwa frase “yang melayani tempat kudus” merujuk ada orang-orang Lewi, sedangkan frase “yang melayani mezbah” pada para imam. Walaupun Alkitab memang membedakan pekerjaan orang-orang Lewi dan para imam serta mengatur upah yang mereka dapatkan dari pekerjaan tersebut (Bil. 18:8-4; Ul. 18:1-8), namun kita sebaiknya tidak membedakan ayat 13a dengan 13b. Ayat 13b hanya bersifat menegaskan saja.

Ada dua argumen yang mengarah pada kesimpulan ini. Dalam kalimat Yunani, antara ayat 13a dan 13b tidak dihubungkan dengan kata sambung kai (“dan”, kontra semua versi). Penggunaan kata kai akan lebih jelas menunjukkan bahwa Paulus sedang membicarakan dua kelompok pelayan, namun ia ternyata tidak memakai kata sambung ini. Alasan lain berhubungan dengan kesejajaran (paralelisme) antara ayat 13a dan 13b. Baik ayat 13a maupun 13b memakai struktur kalimat “artikel + kata benda + participle present + kata benda + indikatif present”. Paralelisme ini menyiratkan bahwa Paulus tidak sedang membedakan para pelayan di ayat 13a dan 13b.


Ajaran Tuhan Yesus (ay. 14)
Penempatan argumen ini di bagian terakhir menyiratkan keyakinan Paulus bahwa ajaran Tuhan Yesus merupakan otoritas tertinggi dalam semua argumen. Apa yang dikatakan Tuhan Yesus sudah merupakan argumen yang konklusif. Di samping itu, hal ini juga dimaksudkan sebagai klimaks yang spesifik, karena ajaran Tuhan Yesus yang dikutip memang sangat dan langsung berkaitan dengan hak para rasul sebagai pemberita. Pemakaian kata “demikian pula” (houtos kai) di awal ayat ini mengajarkan sebuah kebenaran yang penting tentang kebenaran. Allah telah menempatkan kebenaran-Nya dalam realitas kehidupan sehari-hari (9:7), Hukum Taurat (9:8-10) maupun praktek keagamaan secara umum (9:13). Walaupun dunia sudah dipengaruhi oleh dosa dan seluruh dimensi kehidupan manusia sendiri juga tercemar, tetapi Allah tetap memberi anugerah dengan cara menyisakan kebenaran di dunia ini. Semua kebenaran ini perlu ditinjau dari perspektif ajaran Kristus, karena pewahyuan sempurna hanya ada di dalam Dia (Yoh. 1:18; Ibr. 1:1-3). Berdasarkan penjelasan ini kita perlu mengingat bahwa semua kebenaran adalah kebenaran Allah dan Ia memakai semua kebenaran itu sebagai salah satu cara untuk mengontrol dunia ini, karena itu kita perlu respek terhadap penganut agama lain yang dalam hal-hal tertentu memang mengetahui beberapa kebenaran berdasarkan wahyu/anugerah umum. Kita memang harus tegas menyatakan bahwa tidak ada keselamatan di luar Kristus Yesus (Yoh. 14:6), tetapi hal ini bukan berarti bahwa kita meremehkan atau mengabaikan kebenaran umum di dalam agama-agama. Sebaliknya, kita patut mensyukuri hal itu, karena Allah memang telah meletakkan banyak kebenaran di alam, realitass kehidupan seharihari, pikiran manusia, dsb., walaupun kebenaran tertinggi hanya ada satu, yaitu di dalam firman Tuhan.

Kutipan dari ajaran Tuhan Yesus ini semakin membuktikan bahwa Paulus mengenal tradisi lisan dari Yesus dengan baik, sekalipun ia bukan saksi mata kehidupan Yesus. Ia beberapa kali mengutip perkataan Yesus (1Kor. 7:10; 11:23-25; 1Tim. 5:18), bahkan perkataan yang nantinya tidak dicatat dalam kitab-kitab Injil (Kis. 20:35). Ia mungkin mendapatkan ajaran Yesus dari para rasul maupun secara langsung.

Di 1 Korintus 9:14 ini Paulus mengutip perkataan Tuhan Yesus sebelum Ia mengutus murid-murid untuk memberitakan Injil ke seluruh daerah Israel (Mrk. 6:7-11; Mat. 10:1-15; Luk. 9:1-15; 10:1-12). Tuhan Yesus melarang mereka untuk menguatirkan kehidupan mereka dengan cara membawa banyak persediaan atau perlengkapan hidup. Larangan ini bukan dimaksudkan untuk menyengsarakan mereka, tetapi justru untuk mengajar mereka bersandar kepada Allah. Allah pasti akan memelihara kehidupan mereka dengan cara menyediakan orang-orang yang mau menerima Injil yang mereka sampaikan sekaligus memberikan tempat tinggal serta makanan bagi mereka.

Seandainya para pemberita Injil harus hidup dari Injil – seperti yang diajarkan Tuhan Yesus – maka keputusan Paulus untuk menolak tunjangan materi dari jemaat Korintus merupakan sikap yang menarik untuk ditelaah. Apakah dalam hal ini Paulus telah melanggar perintah Tuhan Yesus? Apakah ada pertimbangan lain yang lebih tinggi daripada perintah Tuhan Yesus? Hampir semua penafsir percaya bahwa Paulus tidak menentang ajaran Tuhan Yesus, tetapi tidak semua mereka memberikan penjelasan yang tepat. Beberapa mencoba menerjemahkan diatasso di ayat ini dengan kata “menetapkan” (LAI:TB/KJV) untuk memperlunak bobot dari perkataan Tuhan Yesus. Perkataan Tuhan Yesus bukan sebuah perintah, tetapi hanya sekadar ketetapan. Upaya ini tidak dapat dipertahankan. Kata diatasso dalam Alkitab selalu berarti “memerintahkan”. Kalaupun kata ini mau diterjemahkan “menetapkan”, sulit dimengerti mengapa “ketetapan” dianggap kurang berbobot daripada “perintah”. Tidak ada perbedaan esensial dari dua kata ini.

Beberapa yang lain mencoba menerjemahkan diatasso dengan makna yang umum (“memerintahkan”), tetapi mereka mengangap perintah ini ditujukan pada penerima Injil, bukan pemberitanya. Beberapa versi menyiratkan bahwa tidak ada objek khusus dari perintah ini. Tuhan Yesus hanya memerintahkan sesuatu (konsepnya). Mereka memilih terjemahan “demikian pula Tuhan Yesus memerintahkan/menetapkan bahwa mereka yang memberitakan Injil harus hidup dari Injil” (NIV/RSV/NRSV).

Alasan yang paling tepat harus dilihat dari konteks perkataan Tuhan Yesus. Jika kita memperhatikan konteks ucapan Tuhan Yesus (Mrk. 6:7-11; Mat. 10:1-15; Luk. 9:1-15; 10:1-12), maka kita akan melihat bahwa memang ada ruang atau kemungkinan bahwa pemberita Injil tidak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan. Ada kemungkinan mereka ditolak oleh para pendengar Injil. Ketika murid-murid mengalami ini, Tuhan Yesus tidak memerintahkan mereka untuk memaksa para pendengar mereka. Hal ini menyiratkan bahwa menerima tunjangan materi dari para pendengar Injil lebih merupakan suatu hak daripada kewajiban. Konsep inilah yang dipahami Paulus dan ditekankan dalam 1 Korintus 9. Sebagai sebuah hak, maka ada ruang untuk tidak menggunakan hak tersebut tanpa melanggar Sang Pemberi hak. Sebagai contoh, kita wajib menolong orang lain yang sedang menderita kesusahan, tetapi orang itu tetap memiliki hak untuk tidak bersedia menerima pertolongan dari kita dengan alasan tertentu. Orang tersebut belum tentu secara sengaja menentang hukum kasih yang menjadi dasar mengapa kita wajib menolong dia. Dia mungkin hanya sekadar sungkan atau sudah ada orang lain yang memberi pertolongan kepadanya. Paulus juga demikian. Ia tidak mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus dengan pertimbangan khusus (tidak mau disamakan dengan para filsuf keliling, lihat eksposisi 9:11-12), namun ia tetap mau menerima tunjangan dari jemaat di Makedonia (2Kor. 11:8-9).

Sikap Paulus yang tidak mau menggunakan hak sebagai peberita Injil merupakan teladan sekaligus teguran bagi jemaat Korintus. Mereka sebenarnya tidak berhak makan di kuil, baik secara logis (mereka bukan pelayan kuil) maupun theologis (tindakan itu termasuk penyembahan berhala). Mereka hanya berhak atas makanan itu jika mereka datang dan turut dalam ibadah di sana. Jika mereka tidak mau melepaskan “hak” ini demi orang lain, maka mereka patut merasa malu dan mulai meneladani Paulus. Ia memiliki hak penuh (dalam arti yang sesungguhnya) atas tunjangan materi bagi kehidupan dan pelayanannya, tetapi ia justru rela melepaskan hak itu demi orang-orang lain. Mengapa jemaat Korintus begitu sulit melepaskan “hak” yang sebenarnya tidak berarti itu? Biarlah pertanyaan ini juga menjadi perenungan kita selama seminggu ini. Apakah ada hal-hal tertentu yang selama ini kita pertahankan dan itu justru menyakiti atau menjadi batu sandungan bagi orang lain? #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 14 Maret 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/SER-1Korintus%2009%20ayat%2013-14.pdf

24 October 2010

WHO (WHAT) IS YOUR GOD? (Denny Teguh Sutandio)

WHO (WHAT) IS YOUR GOD?

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.”
(Kel. 20:3)




PENDAHULUAN
Di gunung Sinai, Allah memberikan Sepuluh Perintah yang lebih dikenal dengan Dasa Titah kepada umat-Nya Israel. Sebelum memberi Dasa Titah, di Keluaran 20:2, Ia mengingatkan mereka bahwa Ia adalah Allah yang membawa mereka keluar dari Tanah Mesir, tanah perbudakan. Setelah itu, Ia langsung mengeluarkan titah pertama kepada Israel bahwa tidak boleh ada ilah lain di hadapan-Nya di antara Israel. Jika kita memperhatikan Dasa Titah ini di dalam bahasa Indonesia, maka kita menjumpai bahwa setiap titah diawali kata “Jangan.” Di dalam bahasa Ibrani, ada dua bentuk perintah dari kata kerja Qal, yaitu: lō (al{) yang berarti tidak (termasuk larangan tetap/ilahi) dan ’al (לa) yang berarti jangan (termasuk larangan pada saat itu). Nah, khusus di Keluaran 20, setiap titahnya diawali kata Ibrani lō yang berarti tidak, bukan jangan. Mengapa menggunakan kata “tidak” dan bukan “jangan”? Pdm. F. Abigail Susana, D.Th., dosen bahasa Ibrani saya di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) Surabaya menjelaskan bahwa penggunaan kata lō di dalam Keluaran 20 itu dilatarbelakangi oleh suatu alasan theologis, yaitu titah tersebut diwahyukan oleh Allah dengan maksud agar ditaati sebagai respons terhadap cinta kasih Allah yang telah dialami dan dirasakan oleh orang Israel, jadi bukan merupakan suatu paksaan. Uniknya, titah pertama langsung melarang Israel untuk tidak ada ilah lain di hadapan-Nya karena titah ini sebagai persiapan iman bagi Israel tatkala mereka hidup di tengah bangsa kafir pada waktu itu dan di kemudian hari. Titah ini juga merupakan pendahuluan/presuposisi bagi titah-titah selanjutnya yang berisi kaitan dengan sesama manusia (titah kelima sampai dengan kesepuluh). Ketika kita tidak mengerti siapakah Allah yang kita sembah dan TIDAK boleh ada ilah lain di hadapan-Nya, maka kita pun tidak akan mengerti relasi manusia dengan sesamanya, entah itu dengan otoritas turunan (dari Allah) di atas kita maupun yang sederajat dengan kita, karena sumber otoritas berasal dari Allah.




ALLAH VS “ILAH-ILAH” LAIN
Jika sumber otoritas adalah Allah, benarkah orang Kristen hari-hari ini menjadikan Allah sebagai Allah yang harus disembah? Fakta membuktikan banyak orang Kristen hari-hari ini rajin menghadiri kebaktian di gereja, namun mereka sebenarnya tidak menTuhankan Kristus, tetapi memiliki ilah-ilah lain di luar Allah sejati. Apa itu ilah lain? Sering kali kita mengira bahwa patung itu wujud ilah lain. BUKAN! Itu hanya sebagian kecil. Ilah lain lebih dari sekadar patung. Dr. Martin Luther pernah mengatakan bahwa ilah lain adalah sesuatu yang membuat diri kita terpikat dan terikat dengannya. Dengan kata lain, ilah lain bisa berupa kesenangan, kepandaian, kehebatan, dll yang kita banggakan lebih dari Allah. Ilah-ilah ini bisa dibedakan menjadi dua: ilah mati dan ilah hidup.
1. Ilah Mati
Ilah lain wujud pertama adalah ilah yang merupakan sesuatu yang mati yang mengikat hidup banyak orang Kristen. Ilah-ilah ini meliputi:
Pertama, uang. Duit merupakan ilah tertinggi dalam kehidupan banyak orang Kristen. Demi uang, orang Kristen rela mengurangi jam kebaktian gereja (belum ibadah selesai, sudah pulang duluan) demi mengerjakan sesuatu yang berduit. Tidak jarang orang Kristen yang siap meninggalkan imannya demi uang. Demi uang, mantan pebisnis yang menjadi pemimpin gereja berani membentuk dan mendirikan gereja lalu berkhotbah dengan tidak bertanggungjawab demi mengeruk uang persepuluhan dari jemaat. Demi uang, orangtua “Kristen” yang seharusnya mendidik anak-anaknya untuk takut akan Tuhan, malahan mendidik anak-anaknya untuk melakukan segala sesuatu yang “menghasilkan”.

Kedua, tradisi. Selain duit, tradisi juga bisa menjadi ilah tatkala tradisi ditekankan begitu rupa melebihi apa yang Tuhan inginkan. Demi tradisi budaya tertentu, orang Kristen dari suku tertentu dilarang menikah dengan orang Kristen dari suku yang lain (meskipun harus dipertimbangkan juga perbedaan suku; namun ini bukan hal mutlak). Demi tradisi budaya tertentu, banyak orang Kristen rela membungkukkan diri di depan foto orang yang sudah meninggal dengan dalih “menghormati.” Menghormati koq ditunjukkan dengan membungkukkan diri? Demi tradisi budaya tertentu, orang Kristen dari suku yang sama sekalipun dilarang menikah dengan alasan konyol: shionya jiong!

Ketiga, muka. Ilah ketiga dalam diri banyak orang Kristen hari-hari ini adalah MUKA alias jaga muka atau jaga gengsi. Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa muka banyak orang Kristen ingin terus dielus-elus. Demi muka, banyak orang Kristen enggan ditegur, karena teguran membuat mukanya tercoreng. Demi muka, mereka enggan bertobat karena bertobat berarti meninggalkan “muka”nya yang lama dan menggantikannya dengan “muka” yang baru. Demi muka, karena tidak mau ditegur dan bertobat, banyak orang Kristen gemar mencari gereja yang menyenangkan telinga mereka (bdk. 2Tim. 4:3-4). Demi muka, beberapa orang Kristen menjadi seorang yang bermuka dua, kelihatan baik di depan banyak orang, selalu memuji banyak orang, namun jika orang tersebut sudah pergi, orang yang bermuka dua tersebut menjelek-jelekkan mereka.

Keempat, cuek. Karena muka telah menjadi ilahnya, maka banyak orang Kristen akan menjadikan mukanya tetap bersih dengan cuek terhadap segala sesuatu yang berbeda dari pendiriannya. Mereka cuek dengan kebenaran. Yang mereka pegang adalah apa yang mereka anggap sendiri benar. Mereka merayakan kebenaran subyektif dan menghina kebenaran obyektif (Alkitab). Yang penting bagi mereka adalah mereka mengalami dan tidak peduli apakah pengalaman yang dialaminya itu sesuai dengan Alkitab atau tidak. Selain itu, cuek-isme ditandai dengan beberapa orang Kristen (bahkan beberapa pemimpin gereja) yang berani mengatakan bahwa semua agama itu sama saja yang sama-sama menuju ke satu “Tuhan” (ada miripnya dengan ide Monisme dalam Gerakan Zaman Baru). Pernyataan ini tentu tidak keluar dari penyelidikan tuntas akan semua agama, namun berasal dari kesimpulan gegabah dari kecuekan. Beberapa kali saya menjumpai tipe orang Kristen seperti ini ketika saya mencoba menegur ajaran yang selama ini ia imani.

Kelima, waktu luang. Waktu luang bisa menjadi ilah dalam hidup kita tatkala kita menjadikan waktu luang itu segala-galanya. Waktu luang tersebut bisa berupa: hobi, jadwal rutin, dll. Olahraga badminton merupakan refreshing dalam hidup manusia, namun refreshing ini bisa menjadi ilah tatkala refreshing tidak lagi menjadi refreshing. Misalnya, jika ada acara pembinaan iman, saya menjumpai beberapa orang Kristen sibuk justru dengan refreshingnya bermain badminton. Ia tidak rela jadwal rutin main badminton diganti atau ditiadakan demi mengikuti pembinaan iman atau bersekutu dengan orang Kristen lain. Selain itu, menonton TV pun bisa menjadi ilah ketika waktu menonton TV lebih besar porsinya dari waktu lain terutama waktu bersekutu dengan Tuhan. Demi melihat sinetron berseri atau reality show tertentu, beberapa orang Kristen malas pergi ke gereja.

Keenam, barang-barang tertentu. Selain waktu luang, barang-barang tertentu yang kita sukai ternyata bisa menjadi ilah dalam hidup kita. Mulai dari baju, aksesoris, sampai BlackBerry (BB), dll bisa menjadi berhala. Buktinya, ketika ada midnight sale dengan diskon besar untuk baju-baju terbaru, tidak jarang cewek Kristen rela berjubel dan tidak telat semenit pun, namun sebaliknya kalau disuruh ke gereja, mereka dengan mudahnya terlambat dengan segudang alasan, misalnya: jalanan macet, dll. BlackBerry yang dirancang untuk mempermudah komunikasi di dalam berbisnis telah menjadi gadget gengsi, seolah-olah tidak memiliki BB dianggap jadul alias kuno. Bahkan demi BB, banyak orang Kristen tidak ada waktu lagi untuk membaca Alkitab, membaca buku, berdoa, dll.


2. Ilah Hidup
Ilah kedua ini adalah ilah yang merupakan sesuatu yang hidup, yaitu manusia.
Pertama, orangtua. Karena tradisi merupakan ilah mati yang bisa mengikat manusia, maka kaitannya adalah orangtua pun juga bisa merupakan ilah hidup yang bisa mengikat manusia khususnya anak-anaknya. Ada suatu fakta, orangtua perempuan (ibu) berasal dari sebuah gereja Injili Tionghoa di Surabaya (yang kemudian tidak lagi ke gereja karena ditipu oleh seorang majelis gereja—bisa dilihat iman macam apa yang dimiliki oleh si perempuan ini) mengindoktrinasi anak-anaknya dari kecil untuk mengikuti apa yang dikehendaki si orangtua dengan meneruskan usaha orangtuanya. Dengan kata lain, demi orangtua, anak harus mengikuti apa kemauan mereka meskipun itu tidak sesuai dengan kehendak dan panggilan khusus Allah dalam hidup si anak. Kredonya: segala sesuatu adalah dari orangtua, oleh orangtua, dan untuk orangtua; bagi orangtua kemuliaan sampai selama-lamanya (bdk. Rm. 11:36).

Kedua, pasangan hidup. Pasangan hidup (bisa berarti pacar atau istri/suami) seharusnya menjadi seseorang yang melengkapi kita di dalam mengarungi kehidupan sehari-hari kita, namun tidak jarang justru pasangan hidup menjadi ilah kita tatkala kita menjadikan pasangan hidup tersebut segala-galanya, bahkan tanpanya, kita akan mati. Dari konsep konyol ini, muncullah pernyataan puitis yang tidak logis, seperti: “Cinta itu tak harus memiliki”, “cinta itu buta”, dll dan herannya pernyataan ini bisa diimani oleh seorang anak sulung dari seorang majelis gereja! Demi pasangan hidup pula, seorang Kristen bisa dengan mudahnya berkompromi iman dan akhirnya meninggalkan iman Kristennya. Dari selebritis/artis sampai orang awam, gejala ini sudah terlalu banyak terjadi.

Ketiga, selebritis/artis atau tokoh favorit. Selebritis/artis atau tokoh favorit pun bisa menjadi ilah tatkala kita menggandrungi si artis sedemikian rupa sampai-sampai lupa daratan. Misalnya, karena menggandrungi si Brandon di Indonesia Mencari Bakat (IMB), banyak orang (Kristen) rela menghabiskan pulsa demi mendukung tokoh favoritnya. Karena menggandrungi Batman, seorang anak kecil dibelikan baju bergambar Batman (ada “sayap”nya) oleh orangtuanya. Karena menggandrungi film anak-anak Upin Ipin, boneka Upin Ipin dan bahkan bahasanya ditiru. Karena menggandrungi F4 dari Taiwan, banyak anak muda dulu ingin rambutnya dipotong seperti para personel F4. Namun masih adakah anak-anak dan orang-orang Kristen yang meneladani ajaran-ajaran dan tokoh-tokoh Alkitab? Saya jarang menemukannya.




BERTOBAT: MEMBUANG “ILAH-ILAH” LAIN DAN KEMBALI KEPADA ALLAH SEJATI!
Setelah mengamati 9 ilah lain dalam hidup banyak orang Kristen, bagaimana reaksi kita? Firman Tuhan di dalam Keluaran 20:3 mengingatkan kita kembali agar kita jangan ada ilah lain di hadapan-Nya. Saatnya kita bertobat dari kepemilikan dan keterikatan kita akan 9 ilah lain di atas. Menurut Rev. Joshua E. Harris, bertobat adalah turn away from sins and turn back to God (menolak/memalingkan diri dari dosa dan kembali kepada Allah). Bagi saya, bertobat berarti menolak ilah-ilah lain (pseudo-gods: ilah-ilah palsu) dan kembali kepada Allah sejati. Pertobatan kita dimulai dari:
Pertama, peka terhadap Roh Kudus yang mencerahkan hati dan pikiran kita akan kebenaran firman-Nya. Pertobatan terjadi bukan karena aksi kita, tetapi karena reaksi kita (atas anugerah-Nya) terhadap aksi Roh Kudus yang pertama kali melahirbarukan kita dengan mencerahkan dan membukakan hati dan pikiran akan kebenaran firman-Nya akan adanya ilah-ilah lain dan kesalahannya yang dulu kita miliki dan pegang kuat-kuat.

Kedua, peka terhadap Roh Kudus menggunakan media khotbah dan persekutuan untuk menegur kita. Selain firman Tuhan, Roh Kudus dapat menggunakan media khotbah/penyampaian berita firman Tuhan yang murni untuk menegur kita yang memiliki ilah-ilah lain di dalam hidup kita. Khotbah yang murni dan beres adalah khotbah yang berpusat kepada Kristus dan berdasarkan Alkitab. Khotbah inilah yang mampu dan layak mengoreksi iman, kerohanian, dan kehidupan kita. Selain khotbah, Roh Kudus dapat menggunakan sarana orang percaya untuk menegur dan mengingatkan kita akan bahaya memiliki ilah-ilah lain dan memimpin kita untuk kembali kepada Alkitab!

Ketiga, peka terhadap Roh Kudus yang memimpin kita untuk berkomitmen membuang ilah-ilah lain dan kembali kepada Allah. Setelah melalui firman-Nya, khotbah, dan persekutuan orang percaya, maka Roh Kudus akan memimpin kita untuk mengambil komitmen yang tegas dan kuat untuk membuang ilah-ilah lain dan kembali kepada Allah! Roh Kudus memimpin kita di dalam proses, sehingga makin lama kita menjumpai bahwa pimpinan Roh Kudus makin jelas mengarahkan kita untuk percaya kepada Allah dan membuang ilah-ilah lain.

Keempat, peka terhadap Roh Kudus yang memimpin kita bijak dalam bersikap. Setelah memimpin kita membuang ilah-ilah lain dan kembali kepada Allah, Roh Kudus yang sama memimpin kita untuk bersikap bijak. Artinya, meskipun kesembilan hal yang bisa menjadi ilah kita itu salah dan melawan Allah, itu TIDAK berarti mayoritas dari kesembilan hal tersebut TIDAK penting. Kita perlu memiliki uang, menghargai tradisi, mempergunakan waktu luang, memiliki dan menggunakan barang tertentu, menghormati orangtua, menyayangi pasangan hidup, dan menghargai selebritis, namun itu TIDAK berarti kita menjadikan kesemuanya itu sebagai ilah yang menggantikan posisi Allah di dalam hidup kita.


Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita peka akan ilah-ilah lain di dalam hidup kita sebagai orang Kristen? Relakah kita ditegur oleh Roh Kudus untuk membuang ilah-ilah lain dan kembali kepada Allah sejati? Relakah kita juga dipimpin-Nya untuk tetap menghargai apa yang patut dihargai dalam batas-batas kewajaran di bawah otoritas Allah dan firman-Nya, Alkitab? Biarlah Roh Kudus memimpin komitmen yang telah, sedang, dan akan kita buat demi hormat dan kemuliaan nama-Nya. Amin. Soli DEO Gloria.

Resensi Buku-104: HARI-HARI TERAKHIR YESUS: Apa yang Sesungguhnya Terjadi? (Prof. Craig A. Evans, Ph.D., D.Habil. dan Bishop Dr. N. T. Wright, D.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
HARI-HARI TERAKHIR YESUS:
Apa yang Sesungguhnya Terjadi?


oleh:
Prof. Craig Alan Evans, Ph.D., D.Habil.
dan
Bishop Dr. Nicholas Thomas (N. T.) Wright, D.Phil., D.D.

Editor: Troy A. Miller, Ph.D.

Penerbit: Literatur Perkantas, 2008

Penerjemah: Ev. Paul Santoso Hidayat, M.Th.





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Iman Kristen adalah iman yang unik karena berpusat kepada Kristus dan karya-Nya, khususnya kematian dan kebangkitan-Nya. Dua hal ini menjadi inti Kekristenan. Jika Kristus tidak mati dan bangkit, maka iman Kristen menjadi mati. Inilah yang menjadi senjata iblis untuk meruntuhkan Kekristenan pelan namun pasti. Dari banyak theolog, ilmuwan, novelis, dll bersama-sama ingin menghancurkan Kekristenan, khususnya tentang kematian dan kebangkitan Kristus. Fenomena yang telah dan sedang terjadi adalah munculnya “injil” Thomas (dan “injil-injil” Gnostik lainnya), novel dan film The Da Vinci Code, buku Holy Blood, Holy Grail, dll. Benarkah Kristus mati disalib? Bukankah menurut “injil” palsu yang dipercaya oleh orang yang beragama tertentu mengatakan bahwa yang disalib itu Yudas Iskariot, bukan Yesus? Bagaimana dengan penguburan Tuhan Yesus? Benarkah Ia dikubur? Bagaimana dengan kebangkitan Kristus? Benarkah Ia bangkit? Ataukah Ia hanya mati suri, kemudian bangun kembali? Ataukah kuburan-Nya dicuri oleh para murid? Kesemua pertanyaan ini telah dijawab dengan jelas, tegas, namun sederhana dalam buku Hari-hari Terakhir Yesus yang diedit oleh Troy A. Miller, Ph.D. dalam ceramah yang disampaikan oleh dua profesor Biblika, yaitu: Prof. Craig Alan Evans, Ph.D., D.Habil. dan Bishop Dr. Nicholas Thomas (N. T.) Wright, D.Phil., D.D. Dr. Evans membahas tentang fakta sejarah tentang kematian Kristus dan penguburan-Nya dan Dr. N. T. Wright membahas tentang fakta sejarah tentang kebangkitan Kristus. Dari pembuktian-pembuktian ini, iman kita makin dikuatkan dan kita disadarkan bahwa iman Kristen bukan iman buta, tetapi iman yang didasarkan pada fakta sejarah (meskipun TIDAK berarti kita beriman setelah kita mengerti fakta sejarah.)





Profil Dr. Craig A. Evans, Dr. N. T. Wright, dan Dr. Troy A. Miller:
Prof. Craig Alan Evans, Ph.D., D.Habil. adalah Payzant Distinguished Professor of New Testament dan Direktur dari graduate program di Acadia Divinity College in Wolfville, Nova Scotia. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) dalam bidang Sejarah dan Filsafat di Claremont McKenna College; Master of Divinity (M.Div.) di Western Baptist Seminary, Portland, Oregon; Master of Arts (M.A.) dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam bidang Studi Biblika di Claremont Graduate University. Beliau dianugerahi gelar D.Habil. oleh the Karoli Gaspard Reformed University di Budapest. Website beliau: http://www.craigaevans.com/

Bishop Dr. Nicholas Thomas (N. T.) Wright, D.Phil., D.D. yang lahir pada tanggal 1 Desember 1948 di Morpeth, Northumberland, Inggris adalah Bishop di Durham, Inggris, anggota dari International Anglican Theological and Doctrinal Commission, dan Fellow di Institute for Christian Studies, Toronto. Beliau menyelesaikan semua studinya di Exeter College (dari 1975, Merton College), University of Oxford, U.K. dan meraih gelar: B.A. dalam bidang Literae Humaniores, B.A. dalam bidang Theologi, M.A., Doctor of Philosophy (D.Phil.), dan Doctor of Divinity (D.D.). Beliau dianugerahi gelar D.D. dari: Aberdeen University (2001), Nashotah House (2006), Wycliffe College di Toronto (2006), Durham University (2007), John Leland Center for Theological Studies, Washington DC (2008), dan St. Andrews University (2009). Beliau juga mendapat Honorary Fellow dari Downing College, Cambridge (2003) dan Merton College, Oxford (2004). Selain itu, beliau juga dianugerahi gelar Doctor of Humane Letters (L.H.D.) dari Gordon College, Massachusetts, U.S.A. pada tahun 2003. Website beliau: www.ntwrightpage.com

Prof. Troy A. Miller, Ph.D. yang menjadi editor buku aslinya adalah seorang Associate Professor of Bible and Theology di Crichton College, Memphis, Tennessee, U.S.A. Beliau menyelesaikan studi B.A. di Palm Beach Atlantic College; M.Div. di Southern Baptist Theological Seminary; dan Ph.D. di University of Edinburgh.

22 October 2010

AGAMA DAN FINALITAS KRISTEN (Pdt. Sapto Harsoyo, D.Min.)

AGAMA DAN FINALITAS KRISTEN

oleh: Pdt. Sapto Harsoyo, D.Min.



HAKEKAT AGAMA
Pada saat agama dipahami terkait dengan perenungan yang paling hakiki dalam diri setiap manusia.1 maka pembicaraan mengenai agama di samping bersifat universal juga bersifat sangat mendasar. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa manusia adalah makhluk religius yang dalam dirinya mereka memiliki kesadaran dan antusiasme bathiniah terhadap wilayah-wilayah keagamaan. Sebagaimana yang dikomentarkan oleh Nafisul Atho, salah satu pemerhati bidang hubungan antar agama di Indonesia terhadap interest utama Emile Durkheim terhadap Sejarah Agama-Agama,2 bahwasannya dalam bentuknya yang paling primitif pencarian-pencarian serta perwujudan-perwujudan terhadap dimensi keagamaan merupakan realitas sosiologis manusia di manapun mereka berada. Agama selalu ada pada saat ada manusia.

Masih dalam dimensi sosiologi agama, adalah penegasan Atho mengenai ketetapan realitas agama dalam diri manusia, “Individu boleh saja meninggal dunia, ataupun generasi berlalu dan digantikan oleh yang lain (baru), akan tetapi kekuatan ini (pen. kepercayaan pada satu kekuatan) akan hidup terus dan tetap sama. Ia menghidupi setiap generasi, baik yang sekaran ini, yang telah lalu, maupun yang akan datang. Ia dapat disebut dewa dalam kepercayaan totemik, bersifat impersonal, tanpa nama, tanpa hikayat, imanen di sunia ini dan tersebar melekat pad benda yang tak terhitung banyaknya.”3

Tidak disangkali memang di tengah suara bulat mengenai realitas menetap dari fenomena agama dalam peradaban manusia, maka kita juga mendapati pertanyaan kritis dari arus pemikiraan yang mempertentangkan universalitas agama dalam masyarakat. Fenomena agama dalam masyarakat telah mendapatkan pertanyaan ulang dalam realitasnya. Misalnya, walaupun secara mendasar para sosiolog agama modern seperti Durkeheim dan Freud mengakui mengenai universalitas fenomena agama, namun pada umumnya fenomena agama dalam diri manusia dipahami sebagai “ungkapan cita-cita sosial masyarakat itu sendiri.”4 Sebagaimana disimpulkan David W. Shenk sebagai berikut:
“Karya Sigmund Freud, The Future of an Illusion, yang diterbitkan hanya sekitar satu setengah dasawarsa setelah karya klasik Durkheim, tiba pada kesimpulan yang sebagian besar sama. Freud memakai perangkat-perangkat penelitian psikoanalisa. Ia percaya bahwa agama adalah sebuh proyeksi atas dasar kebetuhan seseorang akan seorang ayah. Dia menemukan bahwa seorang dewa disembah untuk memenuhi peran figure sang ayah dalam keluarganya.”5

Shenk melanjutkan analisanya mengikuti asumsi sosiologis dari para sosiolog agama dengan mengungkapkan satu persepsi “modern” dari para filsuf Yunani kuno tentang morfologi dewa-dewa,
“Bagi sejumlah filsuf Yunani, sepertinya dewa-dewa yang orang sembah sungguh merupakan ciptaan-ciptaan pikiran manusia, Xenophanes dengan sinis mengamati bahwa jika sapi, singa atau kuda dapat membuat dewa-dewa, maka para dewa akan menyerupai sapi, singa atau kuda. Ide filsuf-filsuf Yunani Kuno ini bahwa para dewa adalah perluasan imajinasi manusia luar biasa modernya. Penelitian anthropologis dan psikologis abad kedua puluh telah menunjukkan bahwa ide-ide tentang yang ilahi dalam budaya-budaya berbeda hampir seluruhnya merupakan psikoproyeksi dari nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan sebuah masyarakat…”6

Pergumulan mengenai validititas dan obyektivitas eksistensi agama-agama dalam masyarakat akan senantiasa menjadi tantangan bagi masa depan agama-agama di dunia. Studi tentang agama -agama secara umum dirincikan oleh Douglas Davis meliputi dua pendekatan,7 yakni pendekatan kepercayaan dan pendekatan keilmuan. Yang dimaksud dengan pendekatan kepercayaan adalah menyangkut studi tentang esensi dari agama tertentu yang di dalamnya meliputi studi tentang theologi, nilai-nilai etika serta perwujudan perilaku peribadatan agama. Sedangkan pendekatan keilmuan adalah usaha pendekatan secara ilmiah terhadap fenomena agama-agama.

Pada umumnya pendekatan ini merupakan tindakan analisis terhadap fenomena agama tertentu melalui jalur keilmuwan, misalnya pendekatan antropologis. Anthropolog E. E. Evans-Pritchars berpendapat bahwa agama adalah “what religion does”.8 Sedangkan psikologist William James memaknai agama sebagai “a value in helping man to live a positive and courageous live”.9 Pendekatan evolusionistik terhadap fenomena-fenomena agama pada umumnya menjadi pendekatan yang dipakai oleh para sosiolog terutama Emili Durkheim yang pada intinya meneliti fenomena agama yang perwujudannya melalui proses interaksi konsep dalam dinamika kebudayaan masyarakat.

Dengan demikian agama dapat dipahami sebagai perwujudan proses pergumulan internal manusia terhadap nilai-nilai dan kebutuhan yang paling hakiki, yang perwujudannya meliputi seluruh kelengkapan antara wilayah material dan immaterial, sebagaimana pemahamanan terhadap makna kebudayaan, bahwa kebudayaan selalu merupakan perwujudan antara kultus dan kultur. Kultus meliputi segala fomat ideologi dan kultur adalah perwujudan khasad mata yang dalam konteks agama adalah mengakomodasi segala bentuk ritual keagamaan.

Pengertian agama bisa diperluas hingga pada wilayah format nilai dan ideologi, sehingga walaupun sebuah ideologi tertentu tidak terwujudkan dalam ungkapan ritual yang bersifat agamawi maupun kepercayaan, namun apabila ideologi dipahami merupakan hasil dari pertimbangan-pertimbangan mendalam terhadap hakekat kebenaran maka hal itu bisa dikategorikan sebagai agama minimal sebuah bentuk kepercayaan.


AGAMA DAN DINAMIKA MASYARAKAT10
Identitas dan dinamika masyarakat terkait langsung dengan agama. Dalam pengertiannya yang luas, tidak ada satupun identitas dan dinamika masyarakat tanpa dikaitkan dengan agama dan nilai yang dianut oleh masyarakatnya. Lobi-lobi dan tarik ulur kebijaksanaan dalam pemerintahan manapun sebagai pemproduk kebijaksanaan masyarakat senantiasa dilatar belakangi asumsi nilai dan kepercayaan tertentu. Agama dan kepercayaan senantiasa menjadi jiwa dari seluruh kompleksitas pola dan perilaku masyarakat dari berkeluarga, pendidikan, bisnis, pengelolaan alam, kesehatan, hiburan, seni, pola-pola sosialisasi, nutrisi, manajemen waktu, ibadah, politik, hukum, dsb. Pendeknya seluruh kompleksitas perilaku masyarakat. Pada saat Filsuf Perancis Antoine Destutt de Tracy memberikan identifikasi khusus terhadap istilah “ideology” sebagai “la theorie des theories”, It was the queen of sciences since it necessarily preceded all of the sciences which of necessity utilized ‘ideas’”,11 maka dapat dipahami bahwa gagasan nilai dan format kepercayaan senantiasa menjadi motivasi dan dinamisasi masyarakat. Agama dan kepercayaan senantiasa bersifat universal, dan senantiasa ada dalam masa depan setiap bangsa.

Dalam konteks masyarakat Indonesia misalnya, walaupun interpretasi terhadap Ideologi Pancasila sebagai dasar filosofi bangsa juga telah menghasilkan berbagai multi tafsir, namun secara umum dan mendasar diakui bahwa perwujudan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia didasari dan diinspirasi oleh filsafat dan ideologi Pancasila. Dalam konteks masyarakat global Shenk memberikan pernyataan yang menegaskan dinamika masyarakat dalam perwujudan agama dan kepercayaan dengan seruan agar “Komunitas global tidak boleh terus menerus mengabaikan hubungan yang peka antara komunitas manusia dan alam. Secara sensitif kita harus sadar akan komitmen-komitmen keagamaan dan ideologis yang menunjang serta menginformasikan hubungan-hubungan itu.”12

Paul F. Knitter memberikan komentar perihal peranan agama dalam dinamika masyarakat sebagai berikut:
“Dalam berbagai simbol dan naratif yang sangat berbeda-beda, agamamenawarkan kepada para pengikutnya suatu visi tentang pengharapan – pengharapan bahwa mereka dan dunianya bisa berbeda, bisa mengalami transformasi, bisa menjadi lebih baik. Agama berhadapan dengan dunia apa adanya, mengungkapkan berbagai kekurangannya (penderitaan, ketidakadilan, dosa), serta menyatakan bahwa dunia dan kondisi umat manusia tidak harus mengalami semua hal itu karena berbeda.”13

Geddes MacGregor dalam bukunya Introduction to Religious Philosophy14 menyinggung aspek penting dalam agama yakni dimensi Aesthetika dalam perwujudan pengalaman beragama, di mana dia menunjukkan adanya dimensi dan ekspresi keindahan dalam perwujudan kehidupan beragama para pengikutnya. Penghayatan dan perilaku beragama para penganutnya senantiasa terkandung ekspresi dan harapan tentang tatanan masyarakat yang indah, dan tertib.

Setidaknya, dalam konteks theologi kristiani. iman dan dinamika masyarakat senantiasa menjadi pokok pergumulan dalam realitas kehidupan masyarakat sebagai penganut kepercayaan dan nilai tertentu. Franz Magnis-Suseno15 menunjukkan setidaknya tiga aspek mendasar dalam inti kepercayaan kristiani yang secara otomatis bersinggungan langsung dengan dinamika masyarakat yakni, nilai martabat manusia sebagai persona, yang menggaris bawahi penarikan konsekwensi paling logis dari setiap kepercayaan terhadap nilai dan perwujudan nilai terhadap makna personalitas manusia; solideritas, tumbuh dan berkembangnya kesadaran akan keumatan dan masalah kemiskinan, yang bisa diperluas dalam dimensi yang utuh terhadap segala aspek kemisikinan dan kesengsaraan manusia.

Eksistensi agama dan dinamika masyarakat setidaknya merangkumkan “peranan” agama dalam memberikan arah dari dinamika masyarakat terkait dengan aspek-aspek berikut:
Agama dan Moralitas Masyarakat
Istilah “moral” dipahami sebagai norma nilai, yang di dalamnya terkandung ide-ide tentang keutamakan hidup, yang pada gilirannya akan menghasilkan penilaian etis terhadap yang benar dan yang salah. Dalam theologi Kristen fenomena agama dan moralitas dalam diri manusia dipandang sebagai realitas yang essensial yang ada dalam diri manusia. Itulah sebabnya hal kesadaran tentang yang baik dan yang buruk, yang walaupun dalam kenyataannya akan menghasilkan multi interpretasi dan multi aplikasi, akan selalu menjadi bentuk perwujudan pola pikir dan perilaku masyarakat. Pengertian “gambar dan rupa Allah yang diterapkan dalam diri manusia adalah salah satu pemahaman dan penghayatan sentral dalam iman Kristen.

“sebagai kesimpulannya dapat dikatakan bahwa gambar dan rupa Allah ini mencakup: (a) Dalam jiwa atau roh manusia yaitu dalam kualitas kesederhanaan, spiritualitas, tidak dapat dilihat, dan kekal. (b) Dalam kekuatan fisik manusia sebagai keberadaan rasional dan moral, yaitu intelektual dan kehendak dan segala fungsinya. (c) Dalam integritas intelektual dan moral dari natur manusia yang terungkap dalam pengetahuan yang benar, kebenaran, dan kesucian, Efesus 4:24; Kolose 3:10; (d) Dalam tubuh, bukan sebagai substansi material tetapi sebagai alat yang sesuai dengan jiwa, yang juga kekal, yang sebagai alat yang olehnya manusia dapat menguasai makhluk ciptaan yang lain. (e) Dalam kuasa manusia atas bumi.”16

Itulah sebabnya hal pergumulan manusia agamis atau ideologis dalam usahanya untuk memahami, merumuskan dan mewujudkan nilai-nilai moral dalam kehidupan akan senantiasa ada. Dalam peradaban dan kebudayaan masyarakat ide-ide moralitas, ajaran-ajaran moral dan usaha perwujudan perilaku bermoral senantiasa menjadi inti dari sebuah peradaban dan kebudayaan.17


Agama dan Pembangunan Masyarakat
Interest perihal agama dan kepercayaan serta keterkaitannya dengan pembangunan masyarakat menjadi pokok yang senantiasa menarik untuk dibicarakan. Konsep dan wujud pembangunan masyarakat tidak bisa disangkali senantiasa terwujud dalam proses penghayatan iman dalam pergumulannya dengan masalah-masalah sosial. Seorang teolog kristen Asia Masao Takenaka18 dalam tulisannya: Christian Art in Asia: Sign of a Renewal, menyimpulkan pandangan M. M. Thomas terkait dengan”living theology in Asia” dengan paparan sebagai berikut:
“Participating in the emerging theological discussion of churches in Asia, M.M. Thomas has summarized the thrust of “living theology in Asia” in the following way: 1) A living theology is always “situasional” or cotextual. 2) The content of a living theology is the discernment of what God-in-Christ is doing in the situation and the interpretation of the truth and meaning of Jesus Christ in terms of the situation and self-understanding. 3) The stuff of living theology is the life and witness the laity in the lay world and the fellowship of the churches”s congregations responding to Christ to save the secular neighborhood. 4) There is the need of the new understanding of the meaning of orthodoxy and heresy with respect to Christian Theology”

Pergumulan pembangunan masyarakat yang holistik senantiasa merupakan perwujudan dari perilaku kehidupan agamawi para penganutnya.19


Agama dan Problema Transformasi Nilai
Agama, kepercayaan dan nilai senantiasa diperhadapkan pada tantangan perubahan dan pergeseran. Kecepatan informasi global, kemajuan infrastuktur, berbagai tekanan dan tantangan hidup memperhadapkan nilai anutan pada kemampuannya memberi jawab terhadap masalah-masalah kehidupan. Transformasi nilai, pergeseran dan tantangan perubahan pandangan hidup semakin tidak terelakkan. Perpindahan penganut agama akan menjadi fenomena yang makin aktual yang membutuhkan respons secara proporsional oleh tatanan nilai dan kepercayaan apa saja dewasa ini.

Dalam dimensi dinamika budaya, perubahanan nilai yang didalamnya mengandung perjumpaan, interaksi, dan dialektika nilai merupakan realitas yang wajar dalam perilaku sosial. Bahkan bagi sebagian masyarakat yang memiliki interes terhadap keutuhan dan kebersamaan global, dialetika nilai telah menjadi ultimasi fokus sebagai cara terapi terhadap penyakit disharmonisasi sosial. Dalam konteks ini, pada saat dialektika nilai diyakini sebagai terapi mujarab terhadap konflik nilai, maka nilai-nilai otentik atau yang disebut “visi asali” yang telah mewujudkan tradisi hidup keumatan (“peoplehood”) sering dipahami tidak memadai dalam memberikan respons perubahan sehingga membutuhkan “visi baru” terhadap nilai yang lebih akomodatif, kreatif dan segar.20 Transformasi nilai memang sebuah fakta dari kehidupan itu sendiri, bagaimana setiap pemegang nilai senantiasa diposisikan dalam kondisi dinamis yang tak terelakkan. Setiap individu atau kelompok masyarakat penganut nilai harus memberikan respons yang semestinya terhadap natur trasformatoris nilai-nilai dalam kondisi masyarakat yang terus bergerak secara dinamis.21


Agama dan Konflik Sosial
Inti dari agama adalah interpretasi nilai. Sehingga apabila agama direlasikan dengan konflik dalam masyarakat, problem utamanya adalah terletak pada bagaimana para penganut agama merumuskan interpretasi terhadap kepercayaannya baik dalam ranah ide maupun dalam praktek berkehidupan. Data singkat yang dipaparkan Shenk sangat cukup untuk memberikan gambaran bagaimana praktek beragama amat sering sangat erat dikaitkan dengan konflik sosial:22
“Terlalu sering kita memakai agama-agama kita untuk mengumpan sikap intoleransi bahkan kebencian-orang muslim versus orang Budha di Burma, Katolik versus Protestan di Irlandia Utara. Sikh versus Hindu di Punjab, Muslim Syi’ah versus Muslim Suni di Irak, Budha versus Hindu di Sri Lanka, Marxis versus Budha di Tibet, Muslim versus Kristen di Libanon, Yahudi versus Muslim di Yerusalem, Muslim versus Kristen di Nigeria, orang-orang Kristen kepausan versus orang-orang Kristen Orthodox di Yugoslavia, Marxisme versus Gereja di Cina. Setiap komitmen terhadap kesejahteraan hidup global memberikan sebuah mandat kepada semua komunitas keagamaan dan ideologis: hiduplah dalam damai, satu dengan yang lain.Tidak mengejutkan bahwa UNESCO menyelenggarakan sebuah simposium “Tidak Ada Perdamaian Dunia Tanpa Perdamaian Keagamaan (Paris, Februari 1989).”

Nampaknya masalah perdamaian dan kebersamaan sejati menjadi wilayah yang sangat membutuhkan perhatian dalam perwujudan perilaku beragama sepanjang jaman. Agama dan nilai-nilai norma yang di dalamnya selalu mengandung kebenaran “azasi” bagi pemeluknya, selalu diperhadapkan pada kebutuhan relevansi, yakni bagaimana kehidupan dalam peradaban mendapatkan fondasi dan ruang geraknya yang proporsional. Sifatnya yang eksklusif dan inklusif dari nilai-nilai norma itu sangat membutuhkan pengertiannya yang azasi dan relevansinya yang presisi, kalau tidak demikian fenomena agama sebagai sumber konflik masyarakat bisa jadi akan menjadi axiomatik.




AGAMA DAN FINALITAS KRISTEN
Mengutip pandangan Alvin Plantingga, Joseph Tong menegaskan pembedaan natur dari agama dan kepercayaan dalam konteks finalitas Kristen dari sudut pandang pengertian antara Penyataan Umum (General Revelation) dan Theologi Alamiah (Natural Theology).23 Dalam hal ini Penyataan Umum dipahami sebagai Penyataan Diri Allah kepada manusia melalui alam, sedangkan theologi natural adalah hasil dari spekulasi manusia terhadap Allah atau perihal hakekat kebenaran. Dalam proses usaha pemahaman terhadap keber-Ada-an Allah, maka finalitas pemahaman terhadap Dirinya melibatkan kegenapan dari penyataan Allah yakni kesaksian alam dan kesaksian Kristus yang terwujud melalui Alkitab dan karya pencerahan Roh Kudus. Di luar hal tersebut Theologi Alamiah, hanya akan menghasilkan spekulasi konsep tentang Allah atau nilai.

Lebih lanjut terkait dengan tantangan finalitas terhadap seluruh agama, kepercayaan dan nilai di tengah masyarakat, Joseph Tong mengungkapkan lima tantangan fundamental yang harus dijawab yakni24:
Foundational Challence: yang mengaktulisasi pengalaman iman agama di dalam Allah yang hidup; Natural Challence: yang mengaktulalisasi posisi manusia sendiri terhadap alam dan kehidupan, apakah manusia menjadi tuan atau sebaliknya budak alam dan manusia sebagai penerima mandat Allah sebagai pengelola; Social Structural Challence: yang mengaktualisasi pembedaan antara Humanisme dan kekristenan humanis, Epistemological Challence: Rasionalisasi melawan Revelationalisasi; serta Ultimate Challlence: nihilisme-natural melawan teleologisme-theologis. Pada akhirnya masalah finalitas agama dan kepercayaan dalam sudut pandang kekristenan sangat ditentukan pada masalah natur, otoritas dan penafsiran terhadap Alkitab. Natur Alkitab dikaitkan dengan tindakan penyataan Allah, di mana Alkitab adalah kebenaran Allah yang dibahasakan.25 Sedangkan Otoritas Alkitab adalah komitmen penerimaan kedaulatan Alkitab sebagai sumber kebenaran utama dan Penafsiran terhadap Alkitab, yang di dalamnya mengandung persetujuan terhadap prinsip penafsiran Alkitab yang semestinya. Memang pada akhirnya interpretasi terhadap Alkitab secara semestinya hanya dimungkin dalam konteks yang inklusif, yakni dalam komunitas kekristenan, hal tersebut seperti diungkapkan oleh Tong sebagai berikut:
“Bible is to be studied in the context community, where we have to listen seriously to the interpretations of other Christian and expect to hear God’s word through them. The community is the whole people of God On Christian heritage and legacy of Christian wealth in the interpretation of Scripture.”26

Sebetulnya dalam posisinya yang paradox nilai-nilai kristiani senantiasa dalam posisi obyektif-subyektif. Obyektif karena nilai-nilai Kristen dibangun atas dasar Wahyu, yakni penyingkapan Diri Allah kepada umat, dan subyektif karena jelas tafsir terhadap Wahyu bukanlah Wahyu itu sendiri. Namun demikian hal itu bukan berarti kekristenan tidak memungkinan adanya validitas kebenaran, sebab hal-hal yang pokok dalam kebenaran memang sudah dinyatakan dalam wahyu yakni wahyu umum yang mendapat bimbingan dan pencerahan oleh wahyu khusus.

Nilai-nilai kristiani yang juga bisa disebut sebagai theologi Kristen mendapatkan dua panggilan tugas yang mendasar yakni pertama, mengusahakan tafsir terhadap Alkitab dengan fokus mengusahakan semaksimal mungkin menemukan maknanya yang otentik, yakni sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penulis teks Alkitab pertamanya, menyusunnya sehingga menjadi ajaran Kristen yang utuh, serta yang kedua, mewartakan secara kontekstual hasil tafsirannya. Berdasarkan pertimbangan relasi proporsional antara Wahyu umum dan Wahyu khusus, maka theologi Kristen dalam tugas pewartaannya harus mengfungsikan diri pada panggilan pengudusan dan penyelamatan terhadap nilai-nilai agama dan kepercayaan yang ada di tengah masyarakat, sehingga setidaknya theologi Kristen bersama-bersama nilai-nilai lain yang ada dalam masyarakat mendapatkan nilai-nilai yang final dalam Alkitab.



Catatan Kaki:
1. Istilah “religi” telah menghasilkan berbagai interpretasi, dalam dimensi filosofi, John R. Everett menyimpulkan ungkapan makna dari sudut pandang filsafat sebagai “a superstitius structure of incoherent metaphysical notions” dengan bentuk-bentuk karakter yang paling pokok antara lain: penyembahan, ide pemisahan antara yang sacral dan profane, kepercayaan pada realitas roh, kepercayaan pada Ilah atau Ilah-ilah; penerimanaan pada penyataan supranatural, dan pertanyaan perihal keselamatan”. John R. Everett, dalam Encyclopedia Americana, Volume, XXII; Americana Coporation (1964); hlm. 342.
2. Nafisul Atho, dalam Emile Durkheim, Sejarah Agama (Penerbit IRCiSoD; Yogjakarta; 1992), hlm. 9
3. Ibid.
4. David W. Shenk, Ilah-Ilah Global (BPK Gunung Mulia; Jakarta: 1995), hlm. 4
5. Ibid
6. Ibid
7. Douglas David, The Study of Religion; dalam R. Pierce Beaver (et.all); Erdman’s Handbook to The World’s Religions (Grand Rapids:Will. B. Erdmans, 1982) hlm. 11.
8. Ibid
9. Ibid
10. Agama senantiasa menyangkut posisi interpretative dalam wujud operatifnya. Hal tersebut seperti dipaparkan oleh Joseph Tong yang mengkategorikan praktek keagamaan setidaknya dalam katagori “Religions-Anthropocentricsm” dan “Religions-Theocentricsm” Joseph Tong dalam Seminar “Kekristenan Awal, Homogen atau Heterogen”, Universitas Pelita Harapan, Sidoarjo, (6 Nopember 2008).
11. Andrew Vincent, Modern Political Ideologies (Great Britain: T. J. Press, 1992), hlm. 1-3.
12. David W. Shenk, Ibid., hlm. 38.
13. Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 106.
14. Geddes MacGregor; Introduction to Religious Philosophy (Boston: Geddes MacGregor, 1959), hlm. 326.
15. Franz Magnis-Suseno: Beriman Dalam Masyarakat: Butir-Butir Theologi Kontekstual (Kanisius: Yogyakarta, 1995), hlm. 120-125.
16. Louis Berkhof, Theologi Sistematika 2 Doktrin Manusia (Jakarta: LRII, 2001), hlm. 2:56.
17. Leo D. Lefebure menyinggung teori mimesis (imitasi) dan kekerasan dari Rene Girard (sejarawan, kritikus sastra dan athropolog Perancis) yang berasumsi bahwa motif peniruan dan rivalitas adalah motif utama agama-agama yang memiliki tradisi korban penumpahan darah. Korban penumpahan darah dalam ritus merupakan jalan terwujudnya pendamaian. Dengan kata lain ide–ide ke alahan pada dasarnya dikaitkan dengan peniruan, rivalitas dan kekerasan. Namun demikian Lefebure menyanggah asumsi Girard dengan membuktikan bahwa pada kenyataannya nilai-nilai ucapan syukur dan pemujaan akan keindahan sangat menonjol dalam motif ritus-ritus peribadatan. (band. Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 25-41).
18. Masao Takenaka, “Christian Art in Asia: Sign of a Renewal” dalam Douglas J. Elwood (ed.), Asian Christian Theology, Emerging Themes (U.S.A.: The Wesminster Press, Philadelphia, 1980), hlm. 170-171.
19. Dewasa ini beberapa isu pembangunan masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan ide-ide keagamaan sangat ramai dibicarakan, misalnya masalah undang-undang pornografi, masalah poligami, dsb.
20. David W. Shenk, Ibid., hlm. 19.
21. Dialetika nilai kadang didentifikasi dengan istilah “sinkretisme’ atau “fusi” di mana istilah-istilah ini telah menghasilkan interpretasi dan respons yang beragam.
22. Shenk, hlm. 35-36.
23. Joseph Tong, “Systematic Theology and Pastoral Ministry”, Syllabus and Class Notes (Pacet: International Center of Theological Studies, 2008), hlm. 12.
24. Ibid., hlm. 4-5
25. Ibid.
26. Ibid.





Sumber:
STULOS 9/1 (April 2010), hlm. 103-114
(http://www.sttb.ac.id/2007/newLook/uploads/07%20AGAMA%20DAN%20FINALITAS%20KRISTEN%20%28Sapto%20Harsoyo%29%20103-114.pdf)




Profil Pdt. Dr. Sapto Harsoyo:
Pdt. Sapto Harsoyo, B.Th., S.Th., M.Div., M.Th., D.Min. yang lahir pada tanggal 24 Juli 1962 adalah Rektor Sekolah Tinggi Theologi Injili Efrata, Sidoarjo. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Theology (B.Th.), Sarjana Theologi (S.Th.), dan Master of Divinity (M.Div.) di Sekolah Tinggi Theologi Institut Injil Indonesia (STT I-3), Batu, Malang; Master of Theology (M.Th.) dan Doctor of Ministry (D.Min.) di International Center For Theological Studies, Pacet, Mojokerto.




Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

20 October 2010

MASIH ADAKAH KEMURNIAN HATI DI TENGAH KEMUNAFIKAN ZAMAN INI? (Denny Teguh Sutandio)

Masih Adakah Kemurnian Hati Di Tengah Kemunafikan Zaman Ini?

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya.”
(Mzm. 73:1)





Mazmur 73 merupakan mazmur yang ditulis oleh Asaf di dalam konteks pergumulannya dengan Tuhan dengan membandingkan kondisi anak-anak Tuhan dengan mereka yang hidup di luar Tuhan. Pengakuan imannya didahului oleh pernyataan bahwa Allah itu baik bagi orang yang tulus hati dan bagi mereka yang bersih hati. Kalau kita memperhatikan teks aslinya, Ibrani, kata tulus hati tidak kita jumpai, namun yang dijumpai justru adalah Israel (yiSrä´ël). Di dalam pernyataan awal ini, Asaf mengajar kita bahwa Allah itu baik bagi umat pilihan-Nya, dalam konteksnya Israel dan Ia juga baik bagi mereka yang bersih hatinya. Kata bersih di dalam kata Ibraninya bar berarti murni. Setelah mengatakan hal ini, Asaf menyadari bahwa fakta seolah-olah berkata hal sebaliknya, yaitu orang yang hatinya tidak murni lah yang lebih mujur daripada orang yang bersih hatinya. Ia menjelaskan orang-orang yang hidup di luar Tuhan adalah mereka yang membual (ay. 3), sombong dan keras (ay. 6), perkataan mereka jahat dan melawan Allah (ay. 8-11), hidup hedonis dan materialis (ay. 12). Tetapi benarkah mereka yang hidup kelihatan mujur dapat dikatakan hidup dengan hati yang murni di hadapan Tuhan? Puji Tuhan, mulai ayat 17, atas anugerah-Nya, Asaf masuk ke dalam tempat kudus Allah dan mengerti kehendak-Nya dan di saat itulah, ia menyadari bahwa meskipun orang kafir itu hidup seolah-olah lebih mujur, namun Tuhan telah mempersiapkan hukuman kepada mereka. Di saat itulah, ia baru menyadari bahwa hidup di dekat Allah itu hidup yang benar-benar indah dan menyenangkan.


Hidup di dekat Allah adalah hidup dengan hati yang murni/bersih di hadapan-Nya. Hidup tersebut ditandai dengan keinginan bersekutu dengan-Nya (ay. 23), rela diproses oleh firman-Nya (ay. 24), mengingini Allah saja (ay. 25-26), dan menceritakan karya perbuatan Allah kepada dunia (ay. 28). Dengan kata lain, orang yang hidup dengan hati yang murni/bersih di hadapan-Nya tidak memiliki kedok bercabang atau menipu atau berbohong secara halus, dll. Namun, fakta di mana kita hidup berkata lain. Kita hidup di sebuah zaman yang dikuasai oleh manusia yang banyak berhati busuk. Hatinya sudah dikuasai oleh setan, sehingga apa pun yang keluar dari hatinya tidak pernah bersih/murni, selalu memiliki intrik menipu. Istilah tajamnya adalah MUNAFIK. Intrik menipu ini ditandai dengan dua hal:
Pertama, budaya sungkan-isme. Budaya sungkan adalah sebuah budaya yang dipengaruhi oleh budaya Timur yang menghargai etika sopan santun, namun diekstremkan. Jika sopan santun bermotivasi baik yaitu ingin menghargai orang yang lebih tua, namun budaya ini diekstremkan menjadi budaya sungkan yang ingin menghargai semua orang, sampai-sampai enggan mengatakan kebenaran. Namun di sisi lain, memang hal ini TIDAK berarti demi alasan mengatakan kebenaran, kita terlalu cepat menuding kesalahan orang bahkan dalam hal-hal sepele. Jangan ekstrem! Kembali, budaya ini dapat kita lihat tatkala seseorang mencoba menolak ajakan orang lain. Kebanyakan orang Timur karena sungkan selalu mencari-cari cara untuk menolak ajakan orang lain, namun tidak menyakiti orang yang mengajak tersebut. Di dalam beberapa hal ini tentu baik, karena tidak kasar, namun di sisi lain, tidak sedikit mereka yang bermotivasi baik ini memakai cara-cara busuk, misalnya berbohong untuk menolak ajakan orang lain (alasan klise yang sering dipakai, misalnya: lagi sibuk, sakit, ada urusan, dll). Saya menyebut budaya sungkan sebagai munafik pasif, artinya sikap ini merupakan sikap munafik (beda hati dengan mulut) namun dilakukan secara pasif.

Kedua, bermulut manis. Tidak cukup hanya dengan sungkan, banyak orang zaman sekarang jago bermulut manis atau bahasa Jawanya: mbasahi lambe. Saya menyebut bermulut manis sebagai tindakan munafik secara aktif. Seorang yang bermulut manis biasanya mengatakan sesuatu yang TIDAK dari hatinya, namun hanya sekadar lip service. Lip service ini dapat dilihat ketika seseorang itu sedang menyanjung seseorang, namun kalau orang yang disanjung itu pergi, maka si penyanjung ini akan membicarakan hal-hal negatif kepada orang lain. Lip service juga dapat dilihat pada seseorang yang mudah merayu pasangannya. Seorang cowok/cewek bisa dengan mudahnya merayu cewek/cowoknya dengan kalimat-kalimat “maut” yang membuat pasangannya jatuh hati, namun tanpa disadarinya si cowok/cewek tersebut ternyata juga mengatakan hal yang sama kepada cewek/cowok yang lain. Tidak heran, fakta ketidaksetiaan di dalam hubungan lawan jenis hari-hari ini begitu marak. Di sebuah sinetron Indonesia di SCTV hari ini (20 Oktober 2010), si cewek bisa merayu pacarnya (sekaligus ibunya), namun di sisi lain, si cewek tanpa merasa bersalah berselingkuh dengan cowok lain. Selain itu, lip service juga dijumpai pada banyak orang khususnya banyak salesman yang mencoba menawari klien dengan hal-hal bagus, namun menyembunyikan hal-hal lain. Pdt. Sutjipto Subeno pernah mengatakan bahwa beliau paling jijik mendengar seorang salesman mengatakan, “Saya ingin membantu bapak.” Di balik perkataan itu, benarkah salesman itu membantu customer, ataukah antara salesman dan customer saling membantu? Tujuan akhirnya adakah yang kedua (yaitu saling membantu), namun yang dikedepankan selalu hal-hal baik. Di dalam hubungan lawan jenis pun, kita menjumpai fakta yang tidak jauh berbeda: saling menutupi. Seorang cewek/cowok yang sudah punya gebetan (bahkan pacar) selalu ditutupi (supaya tampak alim), lalu dengan mudahnya menjalin hubungan lawan jenis dengan cowok/cewek lain, tetapi setelah ditelusuri, ternyata si cewek/cowok itu tidak lebih dari seorang playgirl atau playboy yang gemar mempermainkan orang lain. Hari ini jalan berdua dengan cowok X, minggu depan jalan berdua dengan cowok Y, dst. Ketika ditanya, si cewek (tanpa merasa bersalah) selalu berkata, “Itu teman.” (istilah gaulnya: Hubungan Tanpa Status/HTS yang berlangsung berbulan-bulan tanpa kejelasan) Dia tidak lebih dari seorang “pelacur”. Inilah citra banyak generasi muda (bahkan yang mengaku diri “Kristen”) zaman postmodern: semau gue: menuntut pasangan setia, namun dia sendiri tidak pernah setia. Benar-benar aneh!


Lalu, sebagai orang Kristen yang cinta Tuhan, apa yang harus kita lakukan untuk memiliki hati yang bersih di hadapan-Nya?
Pertama, serahkan hati kita kepada Tuhan. Setelah Roh Kudus melahirbarukan kita untuk kita bertobat, maka Ia memimpin kita untuk menyerahkan seluruh keberadaan dan kehidupan kita kepada Tuhan, termasuk hati kita. Hati sebagai satu-satunya unsur terpenting dalam kehidupan manusia yang harus diserahkan kepada-Nya agar Ia memproses dan memurnikan hati kita. Dari hati yang telah dimurnikan-Nya inilah, keluar pikiran dan sikap yang memuliakan-Nya. Mengapa seorang Dr. John Calvin dipakai Tuhan luar biasa? Karena ia telah berkomitmen sebelumnya untuk menyerahkan hatinya kepada-Nya dengan tulus dan sungguh-sungguh.

Kedua, tundukkan hati kita kepada firman-Nya. Setelah menyerahkan hati kita kepada Tuhan, Ia meminta kita menundukkan hati kita di bawah firman-Nya. Artinya, Tuhan memakai firman-Nya untuk memurnikan hati kita terus-menerus. Ketika firman-Nya berkata bahwa jika ya, hendaklah katakan ya; jika tidak, hendaklah katakan tidak (Mat. 5:37), maka anak Tuhan sejati tanpa banyak mengomel taat mutlak akan firman-Nya itu. Namun fakta berkata bahwa ada orang “Kristen” yang mengaku diri melayani Tuhan, namun dengan mudahnya membohongi orang lain (dengan alasan sungkan). Masih layakkah orang ini disebut Kristen (pengikut Kristus)? Inilah tanda orang “Kristen” yang hatinya belum diserahkan kepada Tuhan dan ditundukkan di bawah firman-Nya. Bertobatlah jika Anda masih bersikap demikian.

Ketiga, sinkronkan hati kita dengan pikiran, mulut, dan sikap kita. Firman Tuhan yang telah kita pelajari hendaknya TIDAK membuat kita pandai berdebat theologi dengan orang lain, namun menjadi media untuk mengaplikasikan firman Tuhan di dalam seluruh hidup kita dengan cara mensinkronkan hati yang telah, sedang, dan akan dimurnikan oleh Tuhan melalui firman-Nya itu dengan seluruh aspek kehidupan kita: pikiran, mulut, dan sikap kita. Ketika hati kita berkata TIDAK, maka pikiran kita juga berkata TIDAK, dan kita pun dengan tegas berkata TIDAK. Ini berarti ada totalitas penuh di dalam hidup kita sebagai citra pengikut Kristus.

Keempat, perhatikan keseimbangan. Setelah menyinkronkan hati dengan pikiran, mulut, dan sikap kita, maka apakah ini berarti kita mengatakan sesuatu dengan blak-blakan dan kasar? TIDAK! Kemurnian hati dan mengatakan kebenaran itu memang penting, namun TIDAK berarti ketika melakukannya dengan membabi buta! Tuhan mengajar kita untuk menegur dengan kasih/kesabaran dan pengajaran (2Tim. 4:2) Dengan kata lain, selain pengajaran yang tegas, Tuhan menuntut kita untuk menegur orang dengan kesabaran. Kesabaran ini mungkin ditandai dengan menggunakan bahasa-bahasa yang halus. Perlunya tata krama berbicara ini TIDAK berarti kita menjadi sungkan lalu membohongi orang lain. Tata krama yang halus pun HARUS disertai pengajaran yang tegas. Di sini perlu adanya keseimbangan yang jelas antara kesabaran dan pengajaran. Jangan berat sebelah!


Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memiliki hati yang murni di hadapan-Nya? Biarlah Roh Kudus memimpin dan memproses hati kita yang belum murni untuk dipakai bagi kemuliaan-Nya. Relakah kita diproses oleh Roh Kudus? Amin. Soli Deo Gloria.

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:11-12 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:11-12

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 9:11-12



Bagian ini merupakan aplikasi dari ajaran Taurat di ayat 8-9 maupun analogi tentang pembajak dan pengirik di ayat 10. Bagian ini sekaligus memberi penjelasan mengapa Paulus yakin bahwa ajaran dan analogi tersebut layak untuk diterapkan pada dirinya dalam kapasitas sebagai rasul (ia bahkan bukan hanya berhak, tetapi hak itu sangat besar, seperti terlihat dari pemakaian kata “berlebihankah” dan “hak yang lebih besar” di 9:11-12a). Semua ini terkait dengan dua hal: (1) jika para penabur jasmani berhak mendapatkan upah, apalagi para penabur rohani (ay. 11); (2) jika para pemberita Injil lain berhak mendapatkan upah, apalagi Paulus dalam kapasitas sebagai perintis di jemaat Korintus (ay. 12a).

Walaupun Paulus sangat berhak untuk menerima tunjangan hidup dan pelayanan, ia dengan tegas melepaskan hak tersebut (ay. 12b). Tindakan ini bukan didasarkan pada pertimbangan bahwa Paulus tidak membutuhkan semuanya itu atau ia sudah kaya raya. Pertimbangan di balik keputusan ini adalah efektivitas pekabaran Injil. Injil merupakan alasan bagi pilihan Paulus.


Paulus Membandingkan Penabur Rohani dengan Penabur Jasmani (ay. 11)
Dari struktur kalimat Yunani yang dipakai di bagian ini terlihat bahwa Paulus mengaplikasikan analogi tersebut dengan penuh penekanan dan sangat personal. Di ayat 11 ia memakai kata ganti orang hēmeis (“kami”) dan meletakkannya di bagian depan (setelah kata “jika”). Pemunculan hēmeis di sini dimaksudkan sebagai penekanan, karena kata “kami” sebenarnya sudah tersirat di kata kerja espeiramen (“kami menaburkan”) yang diletakkan di bagian akhir ayat 11a. Melalui hal ini Paulus ingin menekankan bahwa ia memiliki posisi yang unik! Ia lebih daripada para pengirik dan pembajak secara jasmani di ayat 10 maupun para pekabar Injil yang lain di ayat 12a.

Nuansa personal terlihat dari kata hymin (“bagi kalian”) yang langsung diletakkan setelah kata hemeis (ay. 11a, hēmeis hymin). Struktur seperti ini sangat sulit diekspresikan dalam terjemahan (lit. “jika kami bagi kalian hal-hal rohani [kami] menaburkan”). Struktur yang hampir identik ditemukan lagi di ayat 11b (hēmeis hymōn = “kami dari kalian”). Melalui susunan seperti ini Paulus ingin menekankan relasi yang khusus antara dia dengan jemaat Korintus. Itulah yang akan ia singgung lagi di ayat 12a.

Penggunaan kata “menabur” dan “menuai” di ayat ini menyiratkan upaya Paulus untuk menggambarkan pelayanannya dalam konteks agrikultural. Hal ini dapat dilihat beberapa kali dalam Surat 1 Korintus. Di pasal 3:6 Paulus mengambarkan dirinya (juga Apolos) sebagai petani/pekerja di ladang. Ia bahkan menyebut para petobat baru di Kota Korintus sebagai “buah sulung” (aparche, KJV/NASB “first fruits”; LAI:TB “orang-orang yang pertama bertobat”).

Kontras antara hal-hal rohani (ta pneumatika) dan hal-hal jasmani (ta sarkika) di ayat 11 harus dipahami dalam kaitan dengan analogi di ayat 10. Jikalau para penabur secara jasmani berhak mendapatkan upahnya, demikian pula dengan para penabur secara rohani seperti Paulus. Ia menganggap hal ini sama sekali tidak berlebihan. Bukan hanya hal tersebut tidak berlebihan, tetapi hal itu bahkan sudah menjadi keharusan. Jika mereka yang menaburkan benih jasmani yang tidak terlalu bernilai berhak mendapatkan hasil secara jasmani pula, maka mereka yang menaburkan benih rohani pasti berhak atas hasil jasmani yang lebih besar. Cara berpikir seperti ini sangat mirip dengan prinsip penafsiran para rabi yang disebut qal wahomer (“apa yang benar untuk hal-hal yang tidak penting, pasti lebih benar lagi untuk hal-hal yang lebih penting”).

Di Roma 15:27 Paulus juga menyinggung tentang konsep seperti ini. Ia mengajarkan bahwa orang-orang Kristen non-Yahudi wajib membantu orang-orang Kristen Yahudi di Yerusalem dengan harta benda mereka (bdk. pengulangan kata “wajib” di ayat ini). Alasan yang diberikan adalah karena orang-orang Kristen Yahudi dahulu sudah membawa Injil (harta rohani) kepada mereka yang bukan dari kalangan Yahudi. Jika mereka menerima harta yang lebih bernilai, maka sudah sepatutnya apabila mereka memberikan harta jasmani mereka yang kurang bernilai.

Hak materi bagi penabur rohani ini juga dapat kita pandang dari perspektif lain. Jika seorang pekerja di ladang Tuhan akan menerima upah rohani di akhir zaman (3:8), maka sangat tidak berlebihan jika ia menerima upah secara jasmani. Jika upah yang jauh lebih bernilai saja diberikan Tuhan kepada para pekerja-Nya, apalagi upah secara materi. Jadi, di mata Paulus pemberian tunjangan secara materi hanyalah “a small price to pay for the Gospel” (Barret).


Paulus Membandingkan Dirinya Dengan Orang Lain (ay. 12a)
Siapa yang dimaksud dengan “orang lain” (alloi) di sini? Sebagian penafsir menduga Paulus memikirkan para rasul palsu di Korintus (2Kor. 11:20) atau Apolos (1:12; 3:4, 5, 6, 22; 4:6) atau para guru (4:15) atau rasul-rasul lain (9:5). Dari semua kandidat ini, yang terakhir merupakan kandidat terkuat: (1) di pasal 9 Paulus memang sudah menyinggung tentang rasul-rasul lain; (2) Paulus menyebut alloi sebagai orang yang memang memiliki hak, sedangkan para rasul ia sebut sebagai penipu; (3) sejak pasal 4 Paulus sudah tidak menyinggung tentang Apolos.

Paulus menjelaskan bahwa rasul-rasul lain memiliki hak (exousias metechousin). Secara hurufiah frase ini mengandung arti “berbagi hak” (NASB “share the right”). Kata dasar metecho sebelumnya sudah muncul di akhir ayat 10 (LAI:TB “memperoleh bagian”), sehingga pemunculan kata metechō di bagian ini menunjukkan bahwa Paulus masih mengaitkan ini dengan analogi penabur/pembajak. Penggunaan kata exousia merujuk balik pada exousia di 8:9 (LAI:TB “kebebasan”). Kata ini merupakan kata kunci bagi jemaat Korintus yang sangat menekankan kebebasan maupun hak mereka (6:12; 10:23). Ketika Paulus mengajarkan bahwa rasul lain memiliki hak (RSV/NRSV/ESV “rightful claim”), ia memiliki dua tujuan. Pertama, ia tidak ingin rasul-rasul yang bersedia menerima tunjangan terlihat lebih jelek dibandingkan dengan dia yang tidak mau menerima tunjangan.

Kedua, ia ingin menegaskan bahwa ia jauh lebih berhak daripada rasul-rasul lain yang punya hak tersebut. Poin terakhir inilah yang ditekankan Paulus. Ia merasa memiliki hak yang lebih besar daripada rasul-rasul lain. Mengapa ia merasa demikian? Apakah ia memandang dirinya lebih baik daripada rasul-rasul lain? Tentu saja tidak! Paulus sebelumnya sudah menegaskan bahwa masing-masing pekerja akan menerima hak masing-masing (3:8). Superioritas Paulus hanyalah dalam hal waktu. Ia yang pertama-tama memberitakan Injil di Korintus (3:5; 2Kor. 10:14). Dengan demikian ia adalah bapa rohani mereka dalam arti yang khusus (4:15). Sebagai perintis jemaat ia memiliki relasi khusus dengan mereka (9:2). Hal inilah yang meyakinkan Paulus bahwa ia dalam taraf tertentu lebih berhak daripada para pemberita Injil yang lain.


Paulus Tidak Mau Menggunakan Hak (ay. 12b)
Setelah memaparkan alasan-alasan yang mendukung hak para rasul (9:7-10) dan menegaskan bahwa ia lebih berhak daripada yang lain (9:11-12a), Paulus mengambil sikap untuk tidak menggunakan hak-hak tersebut. Sikap ini akan ia uraikan lebih jauh di 9:15-18, setelah ia menambahkan beberapa alasan lain bagi hak kerasulannya di 9:13-14.

Kata sambung “tetapi” (alla) di ayat 12b berfungsi untuk memberikan kontras. Paulus tidak mau menerima tunjangan materi bukan karena ia tidak berhak atas hal itu. Ia memiliki hak lebih besar daripada siapapun (9:12a). Ia hanya memilih untuk tidak mempergunakan (chraomai) hak tersebut. Bentuk aorist echrēsametha mungkin merujuk pada pelayanannya pertama kali di Korintus. Kata kerja ini nanti akan dipakai lagi dalam tense perfect di 9:15 untuk menunjukkan bahwa sampai ia menulis surat ini pun ia tetap tidak mau menggunakan hak itu.

Paulus tidak hanya menolak untuk menggunakan haknya, tetapi ia melakukan yang lebih. Kata sambung “tetapi” (alla) yang muncul untuk ke-2 kalinya di ayat ini (LAI:TB “sebaliknya”) menyiratkan bahwa Paulus melangkah lebih jauh daripada sekadar tidak menggunakan hak. Ia menanggung (stegō) segala sesuatu. Bentuk tense present stegomen menunjukkan bahwa ini sudah menjadi kebiasaan Paulus dalam kaitan dengan jemaat Korintus. Kata stegō dalam tulisan Paulus dipakai dalam konteks kesusahan maupun kekuatiran (1Tes. 3:1, 5). Sikap stegō merupakan salah satu ciri khas kasih (1Kor. 13:7). Jika semua pemunculan ini diamati maka terlihat bahwa keengganan Paulus untuk menerima tunjangan merupakan salah satu bentuk kasihnya kepada jemaat Korintus. Ia melakukan ini untuk kepentingan mereka, sekalipun untuk itu Paulus harus menderita. Ia memilih untuk bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang hina (4:12a; 1Tes. 2:9-10; 2Tes. 3:8). Hal ini merupakan bukti bahwa Paulus telah menghidupi prinsip hidup berdasarkan prinsip kasih (8:1) walaupun harus kehilangan kebebasan/hak (8:9).

Keputusan ini merupakan sikap yang luar biasa. Paulus selama di Korintus mengalami kekurangan (2Kor. 11:9). Ketidakmauannya menerima tunjangan bukan karena ia berada dalam kelimpahan. Ia berada dalam kekurangan. Apa yang didapatkan dari pekerjaannya sebagai pembuat tenda pun sangat mungkin tetap tidak mencukupi kebutuhannya, sehingga ia perlu ditunjang oleh jemaat lain (2Kor. 11:9; bdk. Flp. 4:15-16). Dalam situasi seperti ini ia tetap tidak mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus.

Mengapa Paulus tidak mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus? Bagian terakhir ayat 12b menjelaskan “supaya jangan kami mengadakan rintangan bagi pemberitaan Injil Kristus”. Makna dari ungkapan ini tidak terlalu jelas. Halangan apa yang ada dalam pikiran Paulus? Kita tampaknya harus melihat sikap ini secara kasus per kasus. Paulus tidak selalu menolak tunjangan materi dari jemaat. Kalau di Tesalonika dan Korintus ia memutuskan tidak mau menerima, maka ia pasti memiliki alasan khusus yang berkaitan dengan konteks jemaat di sana.

Beberapa penafsir menerangkan bahwa keputusan Paulus berhubungan dengan natur Injil yang bersifat cuma-cuma (anugerah). Karena Injil diberikan secara cuma-cuma, maka Paulus pun memberitakannya secara gratis. Walaupun usulan ini menarik, tetapi kita harus menolak pandangan ini. Di tempat lain Paulus mau menerima tunjangan (apakah Injil yang disampaikan Paulus ada yang cuma-cuma dan tidak?). Para rasul lain pun (kecuali Barnabas) menerima tunjangan (apakah mereka memberitakan Injil yang berbeda dengan Injil Paulus?).

Dugaan yang paling beralasan adalah kesalahpahaman jemaat Korintus tentang natur pemberita Injil. Mereka menuntut bahwa pemberita Injil harus memiliki hikmat duniawi (filsafat) dan mampu menyampaikan hal itu dengan retorika yang menawan (1Kor. 1-3) seperti para ahli retorika kuno waktu itu. Konsep seperti inilah yang menyebabkan mereka mudah ditipu oleh para pengkhotbah keliling yang palsu (2Kor. 11:20). Paulus sangat berbeda dengan para pengkhotbah tersebut. Ia tidak mau bersandar pada cara-cara duniawi dalam pemberitaan Injil (2:1-5). Ia pun tidak mau diperlakukan secara sama. Para pengkhotbah keliling hanya mau memberikan orasi dan menerima tunjangan hidup dari apa yang mereka kerjakan. Semakin banyak orang yang senang dengan isi orasi mereka, maka semakin banyak tunjangan materi yang mereka dapatkan. Paulus memilih untuk bekerja dengan tangannya sendiri. Hal ini jelas akan menurunkan reputasi Paulus sebagai pengkhotbah, tetapi ia tidak mau peduli. Ia tidak ingin dianggap sebagai para pengkhotbah filsafat, sehingga Injil yang ia beritakan kehilangan kekuatannya.

Dengan tidak mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus Paulus membuktikan dua hal: (1) ia tidak mau mencari keuntungan materi (2Kor. 2:17; 1Tes. 2:5-10); (2) ia tidak mau memberi kesan bahwa Injil dapat disamakan dengan hikmat dunia. Dua hal ini sangat penting bagi pemberitaan Injil yang efektif. Jika banyak orang mencurigai seorang pemberita Injil hanya ingin mendapatkan keuntungan materi, maka pemberitaan yang ia lakukan akan mendapat rintangan. Demikian juga jika seorang pemberita Injil memakai cara-cara duniawi untuk mempersuasi para pendengarnya, maka pemberitaan itu tidak akan memiliki kuasa apapun, karena kuasa ilahi berada dalam Injil itu sendiri (Rm. 1:16-17) melalui pekerjaan Roh (1Kor. 2:5).


Aplikasi
Dalam bagian ini Paulus mengajarkan beberapa kebenaran rohani yang penting. Hal ini ia ajarkan bukan hanya melalui perkataan, tetapi teladan hidup. Ia mengajarkan bahwa hal-hal rohani jauh lebih bernilai daripada materi. Berapapun materi yang kita keluarkan untuk pemberitaan Injil, hal itu tidak pernah terlalu mahal. Hanya orang-orang Kristen duniawi yang menerapkan prinsip “untung-rugi” dalam sebuah pelayanan. Paulus juga mengajarkan kita untuk berani melepaskan hak demi kemuliaan Kristus. Dalam dunia yang begitu egois (semua untuk kepentingan kita) dan mengandalkan kuasa (mengalah adalah kelemahan), kita ditantang untuk memberi respon berbeda. Apakah kita selama ini masih memegang hal-hal tertentu (kekayaan, jabatan, popularitas kesibukan, dsb) yang membuat kita justru semakin tidak memuliakan Tuhan? Maukah kita belajar melepaskan semua yang kita miliki bagi orang lain dan demi Injil Kristus diberitakan seluas-luasnya? #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 28 Februari 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2009%20ayat%2011-12.pdf