oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.
Salah satu semboyan reformasi yang terkenal adalah sola scriptura (lit. “hanya Alkitab”). Penekanan pada semboyan ini tidak terletak pada kata “scriptura”, karena gereja pada waktu itu (sekarang disebut Gereja Roma Katolik) juga menerima Alkitab. Seperti semboyan yang lain (sola fide dan sola gratia), penekanan dalam semboyan ini terletak pada kata “sola.” Konsep ini secara jelas terungkap dalam pernyataan Martin Luther (1483-1546) yang terkenal pada waktu Diet of Worms, 16 April 1521:
Unless I am convinced by the testimony of the Scriptures or by clear reason (for I do not trust either in the pope or in councils alone, since it is well known that they have often erred and contradicted themselves), I am bound by the Scriptures I have quoted and my conscience is captive to the Word of God. I cannot and I will not retract anything, since it is neither sale nor right to go against conscience. “I cannot do otherwise, here I stand, may God help me, Amen1
Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh John Calvin. Terlepas dari beberapa kontroversi seputar konsep bibliologi Calvin,2 dalam buku monumentalnya, The Institutes of Christian Religion, ia secara eksplisit menjelaskan bahwa Alkitab bersumber dari Allah sendiri dan bukan dari gereja (1.6.1; 1.7.1-2; 2.8.12).
Semangat yang diusung melalui semboyan sola scriptura adalah penolakan terhadap pandangan gereja yang memakai dua standar otoritas, yaitu Alkitab dan tradisi. Para reformator menganggap gereja telah mempraktekkan banyak hal yang tidak diajarkan dalam Alkitab. Gereja lebih mementingkan tradisi daripada kitab suci. Keputusan gereja Katolik dalam Konsili Trent yang menerima kitab-kitab apokrifa3 sebagai firman Allah (untuk mendukung theologi dan praktek kegerejaaan mereka) merupakan gambaran paling jelas tentang sikap gereja terhadap otoritas Alkitab dan tradisi. Sebagai reaksi terhadap kesalahan ini, para reformator mengumandangkan semangat sola scriptura.
Penjelasan di atas secara sekilas bisa memberikan dua kesan: (1) para reformator benar-benar menolak semua yang disebut tradisi gereja; (2) para reformator membangun theologi dan praktek kegerejaaan mereka langsung dari Alkitab (tanpa dipengaruhi oleh tradisi gereja).
Apakah kesan di atas benar? Apakah para reformator memiliki penilaian yang benar-benar negatif terhadap tradisi? Penulis akan membatasi penyelidikan terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas pada reformasi John Calvin saja. Dengan kata lain, Penulis ingin secara khusus menyelidiki sikap John Calvin terhadap tradisi gereja. Pembatasan ini diambil berdasarkan beberapa pertimbangan.
Pertama, semi-jurnal Reformata berlatarbelakang theologi Reformed (bukan Protestan secara umum). Kedua, setiap reformator memiliki pandangan dan sikap yang berbeda tentang tradisi gereja, sehingga semuanya tidak mungkin dibahas dalam satu tulisan. Mengingat tulisan ini dirancang untuk sebuah semi-jurnal, Penulis akan menghindari pembahasan yang bersifat sangat teknis dan terlalu mendetail.
JOHN CALVIN DAN TRADISI
Earle E. Cairns, seorang ahli sejarah gereja, memberikan perbandingan singkat yang sangat bermanfaat tentang Luther dan Calvin. Salah satu yang disinggung adalah perbedaan sikap terhadap praktek gerejawi sehubungan dengan liturgi dan pemakaian hal-hal tertentu di dalam ibadah: “Luther rejected only what the Scriptures would not prove, but Calvin refused everything of the past that could not be proved by the Scriptures.”4 Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Dari tulisan-tulisan Calvin terlihat jelas bahwa ia memang sangat menentang apa pun yang diyakini dan dipraktekkan oleh gereja kalau hal-hal itu tidak diajarkan oleh Alkitab. Dalam hal seputar kontroversi penggunaan gambar (iconoclastic controversy), Calvin memberikan penolakan yang sangat tegas dan komprehensif: gereja hanya boleh mempraktekkan apa yang memang diajarkan oleh Alkitab.
Pernyataan ini di atas bisa menimbulkan kesan bahwa dibandingkan Luther, Calvin memiliki pandangan yang lebih negatif terhadap tradisi gereja. Seandainya kesan ini benar, maka sikap tersebut merupakan sesuatu yang luar biasa, karena Calvin sendiri mengakui betapa ia “was more stubbornly addicted to the superstitions of the Papacy.”5 Beberapa sarjana, mengikuti pandangan Theodorus Beza, bahkan berpendapat bahwa pertobatan Calvin sudah terjadi jauh sebelum ia akhirnya memisahkan diri secara total dengan Gereja Roma Katolik pada tahun 1533.6
Penyelidikan yang lebih komprehensif ternyata mampu memberikan penjelasan yang lebih seimbang dan tepat tentang sikap Calvin terhadap tradisi. Ia sebenarnya tidak bersikap negatif secara mutlak terhadap gereja dan tradisinya.
Hal pertama yang perlu dipahami adalah pengertian “tradisi.” Istilah “tradisi” berasal dari kata Latin tradition/traditio, yaitu tindakan meneruskan sesuatu.7 Pemakaian istilah ini dalam sejarah gereja menunjukkan adanya perubahan (keberagaman) konsep tentang tradisi.8 Pada zaman gereja mula-mula istilah “tradisi” bermakna positif. Sebagai reaksi terhadap ajaran sesat Gnostisisme yang menekankan “pewahyuan” Allah yang eksklusif dan mistis, para bapa gereja membuktikan bahwa ajaran mereka mengikuti tradisi para rasul. Apa yang bapa gereja sampaikan bukanlah sesuatu yang baru. Sebaliknya, mereka hanya meneruskan apa yang sebelumnya telah diteruskan oleh para rasul. Hal ini sesuai dengan sikap para rasul sendiri. Paulus menekankan bahwa ajarannya adalah apa yang dia terima sendiri dari Tuhan dan ia teruskan kepada jemaat (1Kor. 11:23; 15:1-3). Yohanes memberitakan apa yang telah para rasul dengar, lihat dan raba dari Yesus (1Yoh. 1:1). Lukas menginformasikan adanya penerusan tradisi tentang Yesus, baik secara lisan maupun tertulis (Luk. 1:1-4).
Pada periode abad pertengahan, pengertian seperti di atas mengalami pergeseran. Tradisi dianggap sebagai sumber otoritas baru yang sifatnya melengkapi atau menambahkan Alkitab. Mula-mula pemahaman ini hanya diterapkan pada hal-hal yang tidak dibicarakan secara jelas dalam Alkitab. Selanjutnya tradisi justru semakin mendapat tempat. Tradisi tidak lagi menyentuh hal-hal yang “Alkitab diam”, tetapi tradisi juga menetapkan hal-hal yang bertentangan dengan Alkitab. Calvin dapat dikatakan anti tradisi hanya dalam pengertian tradisi yang populer waktu itu. Beberapa kutipan dari tulisan Calvin yang tampak sangat anti tradisi, sebenarnya hanya ditujukan pada pemahaman gereja waktu itu yang menganggap tradisi sebagai firman Allah atau sejajar dengan firman Allah. Berikut ini adalah dua pernyataan Calvin tentang tradisi yang dikutip oleh Alister E. McGrath:
Let this then be a sure axiom: that nothing ought to be admitted in the church as the Word of God, save that which is contained, first in the Law and the Prophets, and secondly in the writings of the Apostles; and that there is no other method of teaching in the church than according to the prescription and rule of his Word...I approve only of those which are founded upon the authority of God and derived from Scriptures (garis bawah ditambahkan)9
Sehubungan dengan pengertian tradisi sebagai warisan para rasul, Calvin justru bersikap sangat positif, bahkan lebih positif daripada Luther. Ketika Gereja Roma Katolik menuduh para reformator telah mengobarkan konsep dan praktek yang inovatif, Luther dan Calvin meresponi dengan cara yang berbeda. Luther merasa sudah cukup untuk meresponi tuduhan tersebut dengan berdiri di atas firman Allah. Calvin, di sisi lain, juga berusaha menunjukkan bahwa ajarannya sesuai dengan theologi bapa-bapa gereja awal. Hal ini tentu saja tidak berarti bahwa Calvin telah menggantikan Alkitab dengan tradisi bapa gereja abad permulaan. Calvin memang mengakui bahwa Kekristenan abad awal lebih murni dan benar, namun “for him, only Scripture contains the authentic, reliable, and normative tradition in the truest sense.”10
Calvin ingin menunjukkan bahwa ketika ajaran Gereja Roma Katolik berbeda dengan ajarannya, pihak Gereja Roma Katoliklah yang telah melenceng dari tradisi gereja yang sebenarnya di abad permulaan. Dengan kata lain, Gereja Roma Katolik telah mengadakan inovasi.11 Dalam The Institutes of the Christian Religion, Calvin secara khusus mengutip banyak bapa gereja dan mengontraskan pandangan mereka dengan pandangan Gereja Roma Katolik.12 Ketika ia terlibat dalam Perdebatan Lausanne (the Lausanne Disputation) melawan para pengikut Gereja Roma Katolik pada Oktober 1536, ia berhasil mematahkan tuduhan mereka. Ia mengutip kalimat-kalimat bapa-bapa gereja di luar kepala – lengkap dengan nama dan sumber tulisan tersebut – untuk membuktikan bahwa tuduhan terhadap orang Protetan yang dianggap telah menyalahi ajaran bapa-bapa gereja tentang Perjamuan Kudus adalah tidak benar.13 Pengenalannya yang luar biasa terhadap tulisan bapa-bapa gereja telah mempertobatkan seorang imam Katolik saat itu juga dan 200 imam lainnya selanjutnya juga meninggalkan Gereja Roma Katolik.14
Walaupun studi detail tentang pengaruh bapa-bapa gereja bagi pemikiran Calvin merupakan tugas yang sangat kompleks,15 mayoritas sarjana umumnya sepakat bahwa Calvin sangat berhutang pada bapa-bapa gereja. Dalam pembahasannya tentang sumber-sumber yang dipakai Calvin dalam buku The Institutes of the Christian Religion, Francois Wendel tidak lupa menyebutkan tulisan-tulisan bapa gereja.16 Pendapat ini sangat bisa dibenarkan. Jumlah kutipan dari bapa-bapa gereja abad permulaan dalam tulisan Calvin sangat melimpah.17 Pendeknya, Calvin bisa disebut sebagai murid bapa-bapa gereja.18 Di antara bapa gereja yang ia kutip, Calvin terutama sangat berhutang pada Agustinus: jumlah kutipan dari tulisan Agustinus melebihi jumlah total kutipan dari tulisan bapa gereja yang lain (Lane); 2000 kutipan dari Agustinus tersebut tidak ditemukan dalam tulisan-tulisan Agustinus yang ditemukan (Payne).19 Perbandingan antara tulisan Agustinus dan Calvin juga menunjukkan bahwa Calvin sangat dipengaruhi oleh Agustinus, baik pengaruh secara langsung dari tulisan-tulisan Agustinus yang dipelajari Calvin maupun dari tulisan tokoh-tokoh Kristen abad pertengahan yang mengikuti tradisi Agustinus.20
KONKLUSI DAN REFLEKSI
Gerakan reformasi pada abad ke-16, terutama reformasi dalam tradisi Calvinis/Reformed, bukanlah upaya untuk meletakkan hal-hal yang baru dalam Kekristenan. Sebaliknya, sama seperti semboyan ad fontes (lit. “kembali ke sumber”) dari para pemikir renaissance, reformasi Calvinis benar-benar ingin mengembalikan gereja pada sumber utama Kekristenan, yaitu ajaran Alkitab yang diteruskan (ditradisikan) kepada bapa-bapa gereja awal. Konsistensi ajaran inilah yang menjadi ciri khas dari theologi Reformed.
Situasi dunia dan tantangan gereja terus berubah, tetapi gereja harus mampu meresponi situasi ini dan merelevansikan Injil sambil terus berdiri di atas konsistensi ajaran para pemikir Reformed, pendahulu gerakan reformasi, bapa-bapa gereja, dan Alkitab. Hal ini semakin penting untuk direnungkan seiring dengan semangat zaman yang mendewakan perubahan dan kebebasan. Semangat ini tidak jarang juga berimbas pada mereka yang mengaku memegang pandangan Reformed, tetapi tidak mengenal dan mengajarkan kekayaan warisan theologi Reformed yang terprasasti dalam berbagai tulisan theolog Reformed dan kredo/pengakuan iman yang ada. Mereka merasa berhak mengklaim sebagai orang Reformed tanpa harus terikat pada sistem theologi dan tradisi Reformed. Akhirnya, saya ingin menutup dengan sebuah pertanyaan, “hal esensial apa yang menjadikan seorang menjadi Reformed?” #
Catatan kaki:
1. J. J. Pelikan, H. C. Oswald & H. T. Lehmann, Ed. Luther, M. 1999, c1958. Luther's works, vol. 32: Career of the Reformer II (Philadelphia: Fortress Press, 1999, c1958), hlm. 112-113.
2. Beberapa topik seputar konsep bibliologi Calvin yang dianggap kontroversial adalah pernyataan Calvin dalam The Institutes 4.8.9 (“sure and genuine scribes of the Holy Spirit” who composed Scripture “under the Holy Spirit’s dictation”) yang dianggap mendukung teori pengilhaman dikte. Di sisi yang lain, sebagian sarjana berpendapat bahwa Calvin tidak menerima ketidakbersalahan (inerrancy) Alkitab. Calvin dianggap membatasi ketidakbersalahan Alkitab hanya pada masalah iman. Terhadap mereka yang melihat doktrin inspirasi Calvin (dan Luther) berbeda dengan doktrin Injili modern, Louis Berkhof mengatakan, “But why should they rely on mere inferences, when these great Reformers use several expressions and make many plain statements, which are clearly indicative of the fact that they held the strictest view of inspiration” (Systematic Theology: New Combined Edition, Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1996, 145).
3. Gereja Katolik memakai istilah deuterokanonika (lit. “kanon kedua”) daripada apokrifa (lit. “kitab-kitab yang tidak jelas”).
4. Christianity Through the Centuries: A History of the Christian Church (3rd. Rev & exp. ed., Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1996), 302.
5. John Thomas McNeill, The History and Character of Calvinism (New York: Oxford University Press, 1954), hlm. 108.
6. Kisah pertobatan Calvin merupakan salah satu topik yang sampai sekarang masih diperdebatkan. Tidak seperti Agustinus, Luther maupun Wesley, Calvin jarang sekali menceritakan tentang kehidupan pribadinya, termasuk pertobatannya. Para sarjana modern berusaha merekonstruksi kapan dan bagaimana Calvin bertobat berdasarkan rujukan yang sangat terbatas. Dua teks yang sering dijadikan dasar (sekaligus pusat perdebatan) adalah surat kepada Sadoleto dan tafsiran kitab Mazmur. Lihat, John Bratt, The Rise and Development: A Concise History (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1964), hlm. 12.
7. Secara umum dalam bidang keagamaan dan sosial, tradisi dapat dipahami sebagai “an inherited, established, or customary pattern of thought, action, or behavior (as a religious practice or a social custom).” Merriam-Webster, I. 1996, c1993. Merriam-Webster's Collegiate Dictionary. Includes index. (10th ed.). Merriam-Webster: Springfield, Mass., U.S.A.
8. Lihat bab terakhir dari Heiko A. Oberman, The Dawn of the Reformation: Essays in Late Medieval and Early Reformation Thought (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1992, c1986), hlm. 269-296.
9. Historical Theology: An Introduction to the History Christian Thought (Malden, Massachusets: Blackwell Publishers, 1998), hlm. 177.
10. John E. Burkhart, “Tradition” in Encyclopedia of the Reformed Faith, ed. Donald K. McKim (Louisville/Edinburgh: Westminster/John Knox Press/Saint Andrew Press, 1992), hlm. 373.
11. David J. Marshall, “Calvin, John” dalam Augustine Through the Ages: An Encyclopedia, Allan D. Fitzgerald, gen. ed., (Grand Rapids: William. B. Eerdmans Publishing Company, 1999), 116-117.
12. James Swan dalam artikelnya yang berjudul “Calvin, the Church Fathers and the Roman Church” (http://beggarsallreformation.blogspot.com/2005/12/calvin-church-fathers) memberikan 13 kontras antara bapa-bapa gereja dan Gereja Roma Katolik, sekaligus menjelaskan nama dan sumber tulisan bapa gereja yang dikutip oleh Calvin.
13. Donald K. McKim, ed., The Cambridge Companion to John Calvin (excerpt; Cambridge: Cambridge University Press, t.th), 10.
14. Erroll Hulse, “John Calvin and his Missionary Enterprise”, http://www.reformedtheology.org/html/issue04/calvin.htm, 1. Posted on 9/29/2006.
15. Kesulitan dalam diskusi ini terkait dengan metodologi yang dipakai, lingkup rujukan yang ada (hanya yang eksplisit atau termasuk yang implisit), pembuktian pengaruh (apakah kesamaan konsep secara otomatis mengindikasikan pengaruh?), mediasi (apakah Calvin dipengaruhi bapa-bapa gereja secara langsung atau melalui para pemikir skolastik?), dll.
16. Calvin: Origins and Development of His Religious Thought (terj. Philip Mairet; Durham: The Labyrinth Press, 1987), hlm. 123-125.
17. Artikel terbaik yang membahas tentang hal ini, sejauh yang saya tahu, ditulis oleh A. N. S. Lane, “Calvin’s Use of the Fathers and the Medieval”, CTJ 16/2 (1981), hlm. 149-190.
18. A. N. S. Lane, John Calvin: Student of the Church Fathers (Grand Rapids: Baker Book House, 2000). Sejauh ini, buku ini adalah yang paling komprehensif dan spesifik dalam memaparkan pengaruh bapa-bapa gereja bagi pemikiran Calvin.
19. David E. Parks, John Calvin: The Man and His Doctrine. www.wcofc.org/going_deep.htm, Oktober 03, 2002. Menurut Smits, jumlah kutipan dari Agustinus dalam tulisan Calvin adalah 1700 kutipan eksplisit dan 2400 kutipan/alusi yang tidak disertai referensi. Lihat, Marshall, “John Calvin”, hlm. 117.
20. Sebuah buku klasik tentang perbandingan kedua tokoh ini ditulis oleh seorang theolog Reformed yang bernama B. B. Warfield, Calvin and Augustine (Philadelphia: Presbyterian and Reformed, 1956). Sayangnya, buku ini tidak terlalu menolong para pemula untuk mengetahui benang merah pemikiran Agustinus ke Calvin.
Sumber:
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/HIS%2015%20John%20Calvin%20&%20Tradisi.pdf
Profil Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.:
Ev. Yakub Tri Handoko, S.Th., M.A., Th.M., Ph.D. (Cand.), yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus.org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia. Beliau menikah dengan Ev. Nike Pamela, M.A. dan dikaruniai 2 orang putra: Calvin Gratia Handoko dan Aurel Fide Handoko.
Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.
No comments:
Post a Comment